Anda di halaman 1dari 18

TETANUS

A. Pendahuluan
Tetanus adalah penyakit akut yang ditandai oleh kekakuan otot dan spasme,
yang diakibatkan oleh toksin dari Clostridium tetanii. Berasal dari kata Yunani
“Tetanos” yang berarti “berkontraksi”. Pada luka dimana terdapat keadaan yang
anaerob, seperti pada luka yang kotor dan nekrotik, bakteri ini memproduksi
tetanospasmin, naurotoksin yang cukup poten. Neurotoksin ini menghambat
pengeluaran neurotransmitter inhibisi pada system saraf pusat, yang mengakibatkan
kekauan otot. Sejak jaman dahulu telah ditemukan catatan tentang kasus dimana luka
yang berhubungan dengan kekakuan otot, dibuktikan dari catatan Papyrus Edwin
Smith (1000 SM) dan catatan Hippocrates (400 SM). Hal ini menandakan bahwa
C.tetanii, sudah lama ada, dan tidak bisa dieradikasikan dari bumi. Namun dengan
ditemukannya vaksin tetanus, angka kejadian penyakit tetanus dapat ditekan. Program
imunisasi yan tidak adekuat dapat mengakibatkan kejadian penyakit tetanus
meningkat. (IPD)
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh
dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan
tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60% (WHO, 2011). Selama 30 tahun
terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials)
mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus
tetanus yang dilaporkan ke World Health Organization (WHO). Sekitar 76 negara,
termasuk di dalamnya negara yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali
tidak memiliki informasi yang lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar
3% tetanus neonatorum yang dilaporkan (Thwaites & Farrar, 2003). Berdasarkan data
penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka pada tahun 2002 dan data dari
Vietnam diperkirakan insidensi tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 –
1.000.000 kasus per tahun. (134)
Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
signifi kan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga
penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU)
yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat.1 Di negara
berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian
800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus. Kematian tetanus
neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian per tahun. Di bagian Neurologi RS
Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun 1999-2000 dengan
mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian retrospektif tahun 2003- Oktober 2004 di
RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas 47%. (3220)
Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi tetanus
global telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas terhadap tetanus
tidak berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster jika seseorang
mengalami luka yang rentan terinfeksi tetanus. Akses program imunisasi yang buruk
dilaporkan menyebabkan tingginya prevalensi penyakit ini di negara sedang
berkembang. (3220)

B. Definisi
Tetanus adalah penyakit akut yang ditandai oleh kekakuan otot dan spasme,
yang diakibatkan oleh toksin dari Clostridium tetanii. Tetatnus merupakan penyakit
yang bisa mengenai banyak orang, tidak mempedulikan umur maupum jenis kelamin.
Ada beberapa batasan mengenai penyakit tetanus, khususnya pada neonatus dan
maternal. Tetanus pada neonatus dan maternal, biasanya berhubungan erat dengan
hygiene serta sanitasi saat proses melahirkan. Tetanus didefinisikan sebagai keadaan
hypertonia akut atau kontraksi otot yang mengakibatkan nyerim(biasanya pada rahang
bawah dan leher) dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab lain, dan terdapat
Riwayat luka ataupun kecelakaan sebelumnya. Neonatal tetanus didefinisikan sebagai
suatu penyakit yang terjadi pada anak yang memiliki kemampuan normal untuk
menyusu dan menangis pada dua hari pertama kehidupannya tapi kehilangan
kemampuan ini antara hari ke 3-28 serta menjadi kaku dan spasme. Maternal tetanus
didefinisikan sebagai tetanus yang terjadi saat kehamilan sampai 6 minggu setelah
selesai kehamilan (baik dengan kelahiran maupun abortus). (IPD)
Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan
kejangkejang otot rangka. (3220)
Tetanus adalah penyakit infeksi sporadic yang melibatkan sistem saraf
disebabkan oleh eksotoksin, tetanospasmin yang diproduksi oleh Clostridium tetani.
Karakteristik penyakit ini adalah peningkatan tonus dan spasme otot pada individu
yang tidak memiliki kekebalan tubuh terhadap tetanus. Terkadang infeksi juga
menyerang individu yang sudah memiliki imunitas tetapi gagal mempertahankan daya
imun tubuh yang adekuat. Sehingga meskipun penyakit ini dapat dicegah dengan
imunisasi, akan tetapi insidensinya di masyarakat masih cukup tinggi. (1872)

C. Etiologi
Sejarah tetanus diawali karena penyebab tetanus oleh neurotoksin yang kuat,
yaitu tetanospasmin yang dihasilkan sebagai protein protoplasmik oleh bentuk
vegetatif C. Pembentukan toksin ini dikendalikan oleh plasmid. Tetanospasmin dapat
terikat secara kuat pada gangliosida neural, dan tempat masuk yang terpenting adalah
ke susunan saraf yaitu myoneural junction pada neuron motorik alfa. Toksin ini akan
masuk dan menjalar ke dalam neuron dan tidak dapat lagi dinetralkan. Tetanospasmin
dibawa melalui transpor aksonal retograd ke neuroaksis dan mulailah toksin tersebut
akan bermigrasi secara transinaptik ke neuron lainnya, akibat dari hal tersebut sel
penghambat presinaptik pada neuroaksis mencegah pelepasan transmiter. Karena
tidak ada hambatan tersebut, maka neuron motorik yang lebih bawah akan
meningkatkan tonus otot sehingga timbul kekakuan otot. Hal ini dapat memungkinkan
timbulnya spasme otot agonis secara simultan yang merupakan ciri khas terjadinya
tetanus. Tetospasmin dapat pula memudahkan kontraksi otot spontan pada tetanus
yang berat tanpa potensial aksi pada saraf eferen. (tetanus 2)
Tetanus merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh tetanospasmin, yaitu
sejenis neurotoksin atau racun yang diproduksi oleh Clostridium tetani.
Mycrobacterium ini berbentuk spora dan biasanya masuk ke dalam luka yang terbuka,
berkembangbiak secara anaerobik, dan akan membentuk toksin. Kuman tetanus ini
membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan ujung yang butat, khas seperti
batang korek api (drum stick). Sifat spora ini tahan dalam air mendidih selama 4 jam,
obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 15–20 menit pada
suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan
bahkan sampai tahunan. Juga dapat merupakanflora usus normal dari kuda, sapi, babi,
domba, anjing, kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk
vegetatif dalam anaerob dan kemudian berkembang biak. Kuman tetanus tidak
invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan
tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton,
larut dalam air labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi
stabil dalam bentuk murni dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena
toksin ini melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan
menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang.
Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah (tetanus 2).

D. Epidemilogi
Secara global selama tahun 2011-2016 laporan kasus tetanus selalu kurang
dari 20.000 kasus per tahun. Di Inggris kasus tetanus yang ditemukan antara bulan
Januari sampai Desember 2017 berjumlah 5 kasus. Dari 5 kasus tersebut usia pasien
berkisar antara 26 hingga 81 tahun. Semua pasien memiliki riwayat luka baru, yang
didapat dari tempat yang bervariasi (rumah, kebun, di jalan, pantai).(hpr 1019)

Di Amerika Serikat pada tahun 2015, sebanyak 29 kasus tetanus dilaporkan


melalui sistem National Notifiable Diseases Surveillance System (NNDSS). Dari 29
kasus tersebut, 2 pasien meninggal akibat tetanus. Dari tahun 2009 hingga 2015, di
Amerika Serikat terdapat 197 kasus dan 16 kematian akibat tetanus yang dilaporkan. 
Sejumlah 49 kasus (25%) merupakan pasien berusia ≥ 65 tahun, 124 pasien (63%)
berusia 20-64 tahun, dan 24 kasus (12%) terjadi pada pasien dengan usia <20 tahun,
dimana 2 diantaranya merupakan kasus tetanus neonatorum. Empat puluh sembilan
pasien dari 197 kasus tersebut diketahui riwayat vaksinasinya dan hanya 10 pasien
yang pernah mendapatkan vaksin tetanus toxoid sebanyak 3 dosis atau lebih.(CDC)
Di Indonesia, antara tahun 1990 sampai 1993 telah dirawat rata-rata 3363
kasus tetanus per tahun dengan case fatalitiy rate (CFR) berkisar antara 9,9 sampai
15,3% (Dir Jen P2M-PLP Depkes RI). Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM
Jakarta, dari tahun 1990 sampai 1993 telah dirawat rata-rata 20,3 kasus tetanus anak
per tahun dengan CFR berkisar antara 12,9 sampai 27,4%. (3599)
Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar penyebab
kematian pada anak (Pusponegoro dkk., 2004). Meskipun insidensi tetanus saat ini
sudah menurun, namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%.
Selain itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun
penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan imunisasi
sudah diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih
lanjut mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus guna menurunkan angka
kematian penderita tetanus, khususnya pada anak. (134)

E. Gejala Klinis
Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90%
penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu sejak
munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset.
Periode onset maupun periode inkubasi secara signifikan menentukan prognosis.
Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari) menunjukkan
makin berat penyakitnya. (3220)
Masa inkubasi tetanus umumnya 3 – 21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari
atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsug disebabkan karena jarak dari
tempat masuknya kuman C. Tetani seperti dari tempat luka ke susunan saraf pusat.
Secara umum, semakin besar jarak antara tempat luka dengan susunan saraf pusat
maka masa inkubasi akan semakin lama. Sebaliknya, semakin pendek masa inkubasi,
makan akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian. (tetanus 2)
Setelah luka terkontaminasi dengan C.tetani, terdapat masa inkubasi selama
beberapa hari (7-10) sebelum gejala pertama muncul. Gejala yang pertama kali
muncul adalah trismus atau rahang yang terkunci. (IPD)
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme
otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih
dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak
pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan
nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas
risus sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus otototot trunkal
meng akibatkan opistotonus. Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat infeksi
sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak simetris. (3220)
Tetanus memiliki gejala klinik yang luas dan beragam. Namun dapat dibagi
menjadi 4 tipe secara klinik, yaitu tetanus generalized, localized, cephalic dan
neonatal. Variasi gambaran klinik ini hanya menunjukkan tempat dimana toksin
bekerja. Tetanus generalized adalah tetanus yang paling sering dijumpai. Gejalanya
adalah trismus, kekakuan otot maseter, punggung serta bahu. Gejala lain, bisa
didapatkan antara lain opistotonus, posisi dekortikasi, serta ekstensi dari ekstremitas
bawah. Tetanus localized gejalanya meliputi kekakuan dari daerah dimana terdapat
luka (hanya sebatas daerah terdapat luka), biasanya ringan, bertahan beberapa bulan,
dan sembuh dengan sendirinya. Pasien kadang mengalami kelemahan, kekakuan serta
nyeri pada daerah yang terkena tetanus localized. (IPD)
Tetanus cephalic meliputi gangguan pada otot yang diperantarai oleh susunan
saraf perifer bagian bawah. Biasa terjadi setelah kecelakaan pada daerah wajah dan
leher. Sering gejalanya agak membingungkan, seperti disfagia, trismus dan focal
cranial neuropathy. Namun dengan perjalanan penyakit dapat timbul parese wajah,
disfagia serta gangguan pada otot ekstraokuler. Pada beberapa kasus tetanus cephalic
mengakibatkan tetanus ophthalmologic, supranuclear oculomotor palsy serta
sindroma Horner. Tetanus neonatal, biasa terjadi karena proses kebersihan saat
melahirkan tidak bersih. Biasa terjadi pada minggu kedua kehidupan, ditandai oleh
kelemahan dan ketidakmampuan menyusu, kadang disertai opistotonus. Pada tetanus
sering juga disertai gangguan otonomik berupa tekanan darah yang labil (takikardia
maupun bradikardia), peningkatan respirasi serta juga hiperpireksia. (IPD)
Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fi sik,
visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat
menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat
terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest.
Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada;
selama spasme yang memanjang, dapat terjadi hipoventilasi berat dan apnea yang
mengancam nyawa. Tanpa fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot
adalah penyebab kematian paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus
akibat spasme atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan
aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan
dapat berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi
sampai beberapa minggu lagi. (3220)
Tetanus berat berkaitan dengan hyperkinesia sirkulasi, terutama bila spasme
otot tidak terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah
spasme dan berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis biasanya
dominan menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi. Autonomic
storm berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini silih berganti
dengan episode hipotensi, bradikardia dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran
gangguan otonom lain meliputi salivasi, berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus,
hiperpireksia, stasis lambung dan ileus. (3220)
Pada keadaan berat dapat timbul berbagai komplikasi. Intensitas spasme
paroksismal kadang cukup untuk mengakibatkan rupture otot spontan dan hematoma
intramuskular. Fraktur kompresi atau subluksasi vertebra dapat terjadi, biasanya pada
vertebrathorakalis. 5 Gagal ginjal akut merupakan komplikasi tetanus yang dapat
dikenali akibat dehidrasi, rhabdomiolisis karena spasme, dan gangguan otonom.
Komplikasi lain meliputi atelektasis, penumonia aspirasi, ulkus peptikum, retensi
urine, infeksi tractus urinarius, ulkus dekubitus, thrombosis vena, dan thromboemboli.
(3220)
Ada tiga manifestasi klinis dari infeksi tetanus yaitu tetanus generalisata
adalah bentuk tetanus yang paling umum ditandai dengan peningkatan tonus otot dan
spasme otot generalisata. Tetanus neonatorum adalah jenis tetanus yang generalisata
dan berakibat fatal apabila tidak ditangani dengan adekuat. Sedangkan tipe tetanus
lokal adalah infeksi tetanus dimana manifestasi klinisnya terbatas pada otot-otot dekat
luka yang menjadi sumber inokulasi kuman. Salah satu tipe tetanus lokal adalah
cephalic tetanus. (1872)
Karakteristik Tetanus secara umum antara lain:

a. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari
b. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya
c. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang
d. Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dari leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw) karena spasme otot
masetter.
e. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus, muchal rigidity)
f. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik ke atas,
sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat.
g. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus
h. Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
i. Karena kontraksi otot sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin,
bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak) (tetanus 2)

Ada empat bentuk tetanus secara klinis, yaitu:

1. Generalized tetanus (Tetanus umum)

Tetanus ini paling umum ditemukan. Derajat luka bervariasi, mulai dari luka yang
tidak disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari
tergantung jarak luka dengan susunan saraf pusat. Penyakit ini memilki pola desendens,
dengan tanda pertama berupa trismus yang diikuti dengan kekauan leher, kesulitan
menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus yang terjadi
sekitar 75% kasus, dan seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut.
Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia dengan
hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Spasme dapat terjadi berulang kali
dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat terjadi hingga 3-4 minggu.

2. Localized tetanus (Tetanus lokal)


Tetanus lokal pada ektrmitas dengan luka yang terkontaminasi serta memiliki
derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki
prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya
menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului derajat tetanus umum tetapi
dengan derajat yang lebih ringan yaitu sekita 1% dalam menyebabkan kematian.

3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)

Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi
telinga tengah. Gejalanya terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali pada
saraf fasialis). Gejala lain dapat berupa gejala pada tetanus lokal hingga tetanus umum.
Bentuk tetanus ini memliki masa inkubasi 1 – 2 hari dan prognosis biasanya buruk.

4. Tetanus neonatorum

Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus, dan pada negara yang belum
berkembang telah menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang
sering adalah akibat dari penggunaan alat – alat yang terkontaminasi untuk memotong tali
pusat ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekita 3 – 10 hari. Gejala pada neonatus
ini biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut mecucu, dan spasme berat. Angka
mortalitas dapat melebihi 70% (tetanus 2)

Tabel 1. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Klinis Tetanus

Derajat Manifestasi Klinis


I : Ringan Trismus ringan sampai sedang, spasisitas umum tanpa spasme
atau gangguan pernapasan, tanpa disfagia atau disfagia ringan
II : Sedang Trismus sedang, rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang
dalam waktu singkat, laju napas >30 x/menit, disfagia ringan
III : Berat Trismus berat, spasisitas umum : spasmenya lama, laju napas >40
x/menit, laju nadi >120x/menit, apneic spell, disfagia berat
IV : Sangat (derajat III + gangguan sistem otonom termasuk kardiovaskular)
Berat Hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan
dengan hipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan
tersebut dapat menetap

(tetanus 2)

F. Patomekanisme
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat
anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan
ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah
diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya
memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung
potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan
tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka
bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis,
persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai
untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin
tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang
bertanggungjawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit
memiliki efek klinis.
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui
pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih
penting, mungkin keduanya terlibat.
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction
lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke
saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd
menuju sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang merupakan zincdependent
endopeptidase memecah vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau
synaptobrevin) pada suatu ikatan peptide tunggal. Molekul ini penting untuk
pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi
sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan
γ-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron
alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refl eks motorik
sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan
tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal
ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur
axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin
akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas
otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan
dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel,
pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga
memanjangkan durasi penyakit ini. (3220)
C.tetani memerlukan tekanan oksigen yang rendah untuk berkembang biak
dan bermultiplikasi. Pada keadaan dimana jaringan sehat kaya oksigen, pertumbuhan
dan multiplikasi tidak terjadi dan spora dihilangkan oleh fagosit. (IPD)
C.tetani, memproduksi 2 toksin, tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin,
tidak berhubungan dengan pathogenesis penyakit. Tetanospasmin atau secara umum
disebut toksin tetanus, adalah neurotoksin yang mengakibatkan manifestasi dari
penyakit tersebut. (IPD)
Tetanospasmin adalah protein tunggal dengan berat molekul 150 kDa. Yang
terbagi menjadi 2 rantai, rantai berat (100 kDa) dan rantai ringan (50 kDa),
dihubungkan oleh ikatan disulfida. Toksin ini ditransportasikan secara intra axonal
menuju nuclei motoric dari saraf pusat. Sekuensi asam amino dari tetanospasmin ini
identic dengan toksin yang dihasilkan Clostridium botulism, namun pada C.botulism
toksin tidak ditransportasikan ke susunan saraf pusat sehingga memiliki gejala klinis
yang berbeda. (IPD)
Tetanospasmin masuk ke susunan saraf pusat melalui otot dimana terdapat
suasana anaerobic yang memungkinkan C.tetani untuk hidup dan memproduksi
toksin. Lalu setelah masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan ditransportasikan
secara retrograde menuju saraf presinaptik, dimana toksin tersebut bekerja. (IPD)
Toksin tersebut akan menghambat pelepasan transmitter inhibisi dan secara
efektif menghambat inhibisi sinyal interneuron. Tapi khususnya toksin tersebut
menghambat pengeluaran Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang spesifik
menginhibisi neuron motorik. Hal tersebut akan mengakibatkan aktivitas tidak
teregulasi dari system saraf motoric. Selain system saraf motoric, system saraf
otonomik juga terganggu. Peningkatan katekolamine mengakibatkan komplikasi
kardiovaskular. (IPD)

G. Stadium Tetanus

Berdasarkan gejala klinisnya maka stadium klinis tetanus dibagi menjadi


stadium klinis pada anak dan stadium klinis pada orang dewasa.

Stadium klinis pada anak. Terdiri dari :

Stadium 1 : dengan gejala klinis berupa trisnus (3 cm) belum ada kejang rangsang,
dan belum ada kejang spontan.
Stadium 2 : dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang rangsang, dan belum
ada kejang spontan.
Stadium 3 : dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang rangsang, dan kejang
spontan.

Stadium klinis pada orang dewasa. Terdiri dari :

Stadium 1 : trisnus
Stadium 2 : opisthotonus
Stadium 3 : kejang rangsang
Stadium 4 : kejang spontan
(tetanus 2)

H. Penularan Tetanus di dalam Tubuh


Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif yaitu Clostridium tetani dan
bakteri ini berspora. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika
ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain,
ia akan memasuki tubuh pendertita tersebut lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin(Adams, et al. 1997). Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia
melalui luka, misalnya luka tusuk, luka robek, luka tembak, luka bakar, luka gigit,
luka suntikan, infeksi telinga, rahim sesudah persalinan atau keguguran, pemotongan
tali pusat yang tidak steril (penyebab utama Tetanus neonatarum). (tetanus 2)

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada


beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan
acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

b. Karakteristik spasme dari tetanus (seperti strichmine) terjadi karena toksin


mengganggu fungsi dari reflex synaptic di spinal cord.

c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
genglioside.

d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomic Nervous System (NS)


dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia
jantung, peninggian cathecholamine dalam urin Kerja dari tetanospasmin analog
strychnine, di mana ia mengintervensi fungsi dari arcus reflex yaitu dengan cara
menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak. (tetanus 2)

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan


meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensyarafi otot masetter sehingga terjadi
trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitive terhadap toksin
tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferent tidak hanyamenimbulkan kontraksi yang kuat,
tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot
yang khas.
Terdapat dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu :
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa ke
kormu anterior susunan syaraf pusat.
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk ke dalam susunan syaraf pusat

Toksin tetanospasmin menyebar dari saraf perifer secara ascending bermigrasi secara
sentripetal atau secara retrogard mencapai CNS. Penjalaran terjadi di dalam axis silinder
dari sarung parineural. Teori terbaru berpendapat bahwa toksin juga menyebar secara luas
melalui darah (hematogen) dan jaringan / system limfatik. (tetanus 2)

I. Diagnosis

Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit


dan temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula,
dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan
ujung
yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter
(menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Laporan singkat The
American Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula
memiliki spesifi sitas tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94%
pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif ). Pemeriksaan darah dan cairan
cerebrospinal biasanya normal. Kultur C. tetani dari luka sangat sulit (hanya 30%
positif ), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi. (3220)
Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat adalah
meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta arthralgia
temporomandibular yang menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani
hipokalsemia, histeri, encefalitis, terapi phenotiazine, serum sickness, epilepsi dan
rabies. (3220)
Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena
pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Selain trismus, pemeriksaan fisik
menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat,
kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf sensoris
yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general.
Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara
umum tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas. (134)
Diagnosis pada pasien ini sudah sesuai dengan teori yang mana ditemukan
tanda-tanda klinis tetanus yaitu trismus 2 cm, risus sardonikus, defans muscular, dan
epistotonus, keluhan spasme otot tidak disertai dengan penurunan kesadaran. Serta
ditemukan penyakit OMSK dan kebiasaan korek–korek telinganya yang diduga
sebagi sumber masuknya bakteri C. tetani.
Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada hanya
sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa
isolasi C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah
menderita tetanus. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang.
Pemeriksaan cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat
kontraksi otot. Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan
penyakit. Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor
Phillips, Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak
sebagai penentu prognosis. (134)
Diagnosis tetanus sudah cukup kuat hanya dengan berdasarkan anamnesis
serta pemeriksaan fisik. Pemeriksaan kultur C.tetani pada luka hanya merupakan
penunjang diagnosis. Menurut WHO, adanya trismus, atau risus sardonikus atau
spasme otot yang nyeri serta biasanya didahului oleh Riwayat trauma sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis. (IPD)
J. Penatalaksanaan
Manajemen penanganan tetanus secara umum adalah suportif. Strategi
utamanya adalah menghambat pelepasan toksin, untuk menetralkan toksin yang
belum terikat, meminimalkan efek dari toksin dengan mempertahankan jalan napas
yang adekuat. (IPD)
Penanganan umum, sebisa mungkin tempat perawatan pasien tetanus
dipisahkan, sebaiknya ditempatkan di ruangan khusus. Ruangan yang tenang serta
terlindungi dari stimulasi taktil dan suara. Luka yang merupakan sumber infeksi
sebaiknya segera dibersihkan. (IPD)
Imunoterapi : jika memungkinkan berikan tetanus immunoglobulin manusia
(TIG) 500 unit secara IM atau IV (tergantung sediaan) sesegera mungkin. Pemberian
equine antitoksin juga bisa untuk menginaktifkan toksin. Pemberian 10.000 – 20.000
U equine antitoksin dosis tunggal secara intramuscular sudah cukup. Namun hati-hati
reaksi anafilaktoid. (IPD)
Antibiotic : pilihan antibiotic adalah metronidazole 500 mg setiap 6 jam (baik
secara IV maupun secara oral) selama 7 hari. Alternatif lain adalah Penicillin G
100.000-200.000 IU/kgBB/hari secara intervena, terbagi 2-4 dosis. Tetrasilkin,
makrolid, klindamisin, sefalosprorin serta kotrimoksazole juga cukup efektif. (IPD)
Pengontrolan spasme otot : Benzodiazepin lebih disukai. Diazepam dapat
ditingkatkan dititrasi perlahan 5 mg atau lorazepam 2 mg, sampai tercapai control
spasme tanpa sedasi maupun depresi napas yang berlebihan (maksimal 600 mg/hari).
Pada anak, dosis dapat dimulai dari 0,1-0,2 mg/kg berat badan, dinaikan sampai
tercapai control spasme yang baik. Magnesium sulfat Bersama dengan berzodiazepin
dapat digunakan untuk mengontrol spasme dan gangguan utonomik dengan dosis
loading 5 gram (75mg/kgBB) secara intravena, dilanjutkan dengan dosis 2-3
gram/jam sampai spasme terkontrol. Untuk mencegah overdosis diperlukan monitor
reflek patellar. Jika reflek patellar menghilang maka dosis obat harus diturunkan.
Obat lain yang dapat digunakan adalah klorpromasin (50-150 mg secara intramuscular
tiap 4-6 jam pada dewasa, atau 4-12 mg IM, tiap 4-6 jam pada anak-anak). (IPD)
Kontrol gangguan autonomik : magnesium sulfat seperti diatas, penggunaan
beta bloker seperti propranolol, saat ini kurang direkomendasikan karena
berhubungan dengan kematian. Penggunaan labetalol (penghambat reseptor
adrenergic alfa dan beta) secara parenteral, direkomendasikan pada pasien tetanus
dengan kelainan otonom yang menonjol. (IPD)
Kontrol jalan napas : kita harus benar-benar memonitor pernapasan, karena
obat-obatan yang digunakan dapat menyebabkan depresi napas serta kemungkinan
spasme yang tidak mungkin disingkirkan. Penggunaan ventilator mekanik dapat
pertimbangkan, khususnya bila terjadi spasme, dan trakeostomi juga dapat dilakukan
bila terjadi spasme, karena ditakutkan terjadi spasme laring saat pemasangan pipa
endotrakeal. (IPD)
Pemberian cairan dan nutrisi : pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat
membantu dalam proses penyembuhan tetanus.

K. Pencegahan
Tetanus dicegah dengan menanganan luka yang baik dan imunisasi. Rekomendasi
WHO tentang imunisasi tetanus adalah 3 dosis awal saat infan, booster pertama saat
umur 4-7 serta 12-15 tahun dan booster terakhir saat dewasa. Di Amerika CDC
merekomendasikan booster tiap 10 tahun. Pada orang dewasa yang menerima
imunisasi saat masih anak-anak, namun tidak mendapat booster, direkomendasikan
menerima dosis imunisasi 2 kali dengan selang 4 minggu.
Rekomendasi WHO, menganjurkan pemberian imunisasi pada wanita hamil yang
sebelumnya belum pernah diimunisasi, 2 dosis dengan selang 4 minggu tiap dosisnya.
Hal tersebut untuk mencegah tetanus maternal dan neonatal. (IPD)

L. Prognosis
Perjalanan penyakit tetanus yang cepat, menandakan prognosa yang jelek. Selain itu
umur dan tanda-tanda vital juga menunjukan prognosis dari penyakit tetanus. (IPD)
Factor-faktor prognosis yang menunjukan perburukan penyakit tetanus :
Tetanus Dewasa Neonatal Tetanus
Umur lebih dari 70 tahun Kejadian umur yang lebih muda,
kelahiran premature
Periode inkubasi < 7 hari Inkubasi < dari 6 tahun
Waktu saat gejala awal muncul saat Keterlambatan penanganan di rumah
penanganan di rumah sakit sakit
Adanya luka bakar, bekas luka operasi Higiene yang buruk saat proses
yang kotor kelahiran
Onset periode < 48 jam
Frekuensi jantung >140x/menit
Tekanan darah sistolik >140 mmHg
Spasme yang berat
Temperature >38,5 oC

M. Komplikasi
Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas, sehingga
pada tetanus yang berat, terkadang memerlukan bantuan ventilator. Kejang yang
berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang spinal dan tulang
panjang, serta rhabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut. Salah satu
komplikasi yang agak sulit ditangani adalah gangguan otonom, karena pelepasan
katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan otonom ini meliputi hipertensi dan
takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi dan bradikardia.
Pasien dengan tetanus juga beresiko terkena infeksi nosocomial karena masa
perawatan yang rata-rata agak lama. Kebutuhan nutrisi sering kurang memadai. Pada
kasus dengan spasme abdomen yang cukup berat, pemasangan vena sentral untuk
nutrisi dapat dipertimbangkan, namun car aini sulit dilakukan pada negara
berkembang. Pada negara kita, kita menggunakan terapi cairan untuk memperbaiki
status gizi dan kebutuhan hidrasi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Setiati, Siti. dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Interna Publishing :
Jakarta
Ghoniyyah, dkk. 2015. Tetanus (Isu Terkini Penyakit Menular). Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Diponegoro : Semarang.
Laksmi, Saraswita. 2014. Pentalaksanaan Tetanus : Continuing Professional Development
Novita dan Priambodo.

Anda mungkin juga menyukai