Dosen Pengampu:
Hj. Nunung Khoiriyah, MA
Disusun oleh:
Kelompok 4
- M Syafri aziz 11200541000101
- Nurhanifah .11200541000105
- Virgie Aningtama Rusnadi 11200541000121
Cover
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
BAB II Pembahasan
A. Landasan Filosofis Al-Quran Tentang Konsep Manusia Sebagai Objek
Dakwah.
1. Dimensi Penyadaran
2. Dimensi Pembebasan
3. Dimensi Pelembagaan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa landasan filosofis al-qur’an ?
2. Apa dimensi yang integral didalam dakwah ?
3. Apa tujuan dimensi didalam ilmu dakwah ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui dan memahami landasan filosofis al-qur’an
2. Memahami dimensi-dimensi yang ada didalam ilmu dakwah
3. Mengetahui maksud dan tujuan dimensi ilmu dakwah
BAB II
PEMBAHASAN
1. Dimensi penyadaran
Pada hakikatnya dakwah menghendaki agar manusia sadar terhadap jatidirinya sebagai
makhluk yang beriman kepada Allah. Menurut Ibnu
Taimiyah “padadasarnya manusia dilahirkan ke dunia tidak memiliki pengetahuan apapun.”
Ungkapan ini berlandaskan pernyataan Al-Quran surat Al-Naml, 27: 28,
“Sesungguhnya Tuhanmu akan menyelesaikan perkara diantara manusia
dengan keputusan- Nya.” Ayat ini menjelaskan bahwa manusia kondisi awalnya
tidakmemiliki pengetahuan apa-apa. Namun demikian manusia dibekali dengan daya-
daya potensialyang disebut fitrah.
Daya-daya tersebut inheren pada diri manusia, sehingga ia dapat menduduki posisi sebagai
al-Ahsan at-Taqwim. Mengenai hal ini Ibnu Taimiyah membagi daya-daya yang
terkandung dalam fitrah pada tiga bagian, yaitu :
a. Daya intelek (quwwah al-aql), yaitu suatu daya yang berpotensi untuk mengenaldan
mentauhidkan Allah. Dengan daya ini manusia dapat membedakan anarayang benar dan
yang salah
(yufariq baina‘l-haq wa’l-batil). Disamping itu, dengandaya ini manusia memperoleh
pengetahuan. Inilah yang menjadi indicatormanusia berbedadengan makhluk lainnya, yakni
berpikir untuk mencarikebenaran. Oleh karenanya, manusia yang mengingkari terhadap
daya ini,konsekuensinya ia akan menjadi kufur atau musyrik.
Menurut Dr. Juhaya S. Praja, “di dalam daya intelek terkandung daya
nadzhar dan iradah. Daya nadzhar terdiri dari dimensi kognisi, persepsi dankomprehensi.
Sedangkan daya iradah terdiri dari dimensi emosional dankemampuan menilai. Dengan
demikian, secara naluriah manusia cederung untuk berbuat kebajikan. Maka dakwah
dalam proses penyadaran adalah membimbingakal manusia agar mampu mengontrol jati
dirinya sebagai manusia yang ideal dan beriman.
b. Daya ofentif (quwwah al-shahlah) yakni suatu daya yang berpotensi menginduksiobjek-
objek yang menyenangkan dan pragmatis. Jika seseorang mengingkaritrhadap daya ini,
maka ia akan terjerumus pada perbuatan-perbuatan hedonistisyang bertentangan dengan
syariat, seperti perzinaan, perjudian korupsi dan jenis perbuatan lain yang serupa.
c. Daya defensif (quwwah al-ghadab), yaitu daya yang berpotensi untukmenghindari
kejahatan dan kekemafsadatan. Dengan demikian, orang yang
mengingkari daya ini, niscaya ia kan berbuat kejahatan yang tidak manusiawi,seperti
pembunuhan dan penganiyayaan.
Jika ada daya ofensif dan daya defensif tersebut terkontrol oleh dayaintelek,
konsekuensinya manusia akan menjadi makhluk yang paling mulia
di bumi ini. Sebab dengan akalnya ia dapt melebihi malaikat. Namun demikian,seandainya
daya intelek tidak dapat mengontrol kedua daya itu, bahkan dayaintelek dapat dikuasai oleh
daya ofensif dan defensif, maka manusia kan tersesatmenjadi asfal al-safilin (makhluk yang
terendah) melebihi binatang. Karenanya,tahap awal dalam berdakwah adalah mengingatkan
kembali pada fitrah manusiadengan proses penyadaran bahwasannya ia dilahirkan ke dunia
ini dalam keadaansuci. Tentunya dalam penyadaran output yang diharapkan adalah taubat,
yaknisebuah proyeksi pengakuan kembali manusia terhadap eksistensinya sebagaimakhluk
yang harus mengabdi kepada Allah.
2. Dimensi Pembebasan
Keyakinan
Fikrah (pemikiran)
Sikap, dan
Perilaku
3.Dimensi Pelembagaan
Sebagai manifestasi teo;ogis, dakwah harus diimplementasikan dalamkehidupan sosial,
yakni dengan melembagakan nilai-nilai Islam ke dalam tatananmasyarakat.kewajiban
mengajak manusia supaya masuk ke jalan Allah (sistemIslam), pertama-tama ditunjukan
kepada setiap muslim. Namun karena dalammasyarakat terdapat kompleksitas masalah,
maka usaha-usaha dakwah tidak akanefektif jika dilakukan secara individual. Oleh
karenanya dalam Al-Quran surat at-Taubah, 9:71, dijelaskan bahwa untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan sertamencegah kezhaliman, sesame muslim diharuskan bekerja
sama. Dalam hal initentunya ada realisasi pelembagaan, yakni nilai-nilai yang telah
diperoleh
dalam proses penyadaran, dan pembebasan, kemudian dilembagakan dalam sebuahsistem
yang kokoh.
Jika proses dakwah telah menginjak pada tahap pelembagaan, padadasarnya kewajiban
dakwah merupakan kewajiban setiap pemeluk. Dalam tahapini proses dakwah dilakukan
oleh lembaga formal yang telah dikelola dandigerakan dengan menejemen yang Islami. Di
Indonesia sendiri sudah banyaklembaga formal
yang bergerak dibidang dakwah bidang ekonomi dankeejahteraan sosial seperti, BAZIS
DKI Jakarta, Dompet Du’afa, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Lembaga Dakwah
Nahdatul Ulama ( LDNU), LembagaDakwah Muhammadiyah (LDM) dan sebagainya.
A. Kesimpulan
B. Saran
Saya sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat
jauh dari kesempurnaan.Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu
pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Abda, Slamet Muhaimin. 2009. Prinsip- Prinsip Metodologi Dakwah. Surabaya: Al-
Ikhlas.