Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Landasan Filosofis Al-qur'an tentang Konsep Manusia


sebagai Obyek Dakwah
Mata Kuliah: Ilmu Dakwah

Dosen Pengampu:
Hj. Nunung Khoiriyah, MA

Disusun oleh:
Kelompok 4
- M Syafri aziz 11200541000101
- Nurhanifah .11200541000105
- Virgie Aningtama Rusnadi 11200541000121

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Jurusan Kesejahteraan Sosial
2020
DAFTAR ISI

Cover
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah

BAB II Pembahasan
A. Landasan Filosofis Al-Quran Tentang Konsep Manusia Sebagai Objek
Dakwah.
1. Dimensi Penyadaran
2. Dimensi Pembebasan
3. Dimensi Pelembagaan

BAB III Penutup


A. Kesimpulan
B. Saran

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN.

A. Latar Belakang

Ada yang berpendapat bahwa aktivitas dakwah dalam kontek mengajak


kepada kebaikan harus disebut “dakwah Islamiyah”, sebab terdapat ajakan
yangmenjerumskan kepada hal kemunkaran. Namun ada pula yang
menegasakan,teminologi dakwah telah maklum (dikenal) di kalangan masysrakat islam
muslimsebagai kegiatan ajakan yang brsifat Islami. Dengan demikian, istilah
dakwah suadah jelas keberadaannya, yakni aktivitas mengajak/menyeru ke jalan Allah dan 
Rasul- Nya. Karenanya, segala bentuk ajakan ysng tidsk Islami bukanlah dakwah.Dakwah
dalam praktiknya merujuk pada fitrah manusia, karena dalam fitrahitulah ada kebenaran
yang diharapkan akan hadir pada diri mad’u (objek dakwah),
dan diterimanya dengan ketulusan. Maka dalam aktivitas dakwah tidak ada paksaan,tidak
ada tipu muslihat, tidak ada pendangkalan fungsi akal, tidak ada pengaburankesadaran dan
penciptaan prakondisi negatif yang akan mendorong pada penerimaandakwah secara paksa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa landasan filosofis al-qur’an ?
2. Apa dimensi yang integral didalam dakwah ?
3. Apa tujuan dimensi didalam ilmu dakwah ?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui dan memahami landasan filosofis al-qur’an
2. Memahami dimensi-dimensi yang ada didalam ilmu dakwah
3. Mengetahui maksud dan tujuan dimensi ilmu dakwah
BAB II
PEMBAHASAN
 

A. Landasan Filosofis Al-Quran Tentang Konsep Manusia Sebagai


Objek Dakwah.

Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu prosesyang


berkesinambungan yang ditangani oleh pengemban dakwah untukmengubah sasaran
dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan
secara bertahap, menuju perikehidupan yang Islami. Sudah bukan waktunya lagi,dakwah
dilakukan asal jalan, tanpa sebuah perencanaan yang matang, baik yangmenyangkut
materinya, tenaga pelakasananya, ataupun metode yangdigunakannya. Memang benar,
sudah menjadi sunatullah bahwa yang hak akanmenghancurkan yang bathil (Al-Isra:81),
tetapi sunatullah ini berkaitan puladeangan sunatullah yang lain, yaitu bahwasannya Allah
mencintai dan meridhaikebenaran yang diperjuangkan dalam sebuah barisan yang rapid an
teratur (Ash-Shaff:4).

Kata dakwah (mengajak), secara esensial mengandung tiga dimensi yangsangat


integral, yaitu yang tidak bisa dipaisahkan antara satu dengan lainnya. Tigadimensi tersebut
ialah penyadaran yang ditunjukan kepada fitrah manusia sebagaimakhluk monoteis
(bertauhid) dan beriman kepada Allah, pengarahan yangditunjukan kepada hawa nafsu, dan
bimbingan yang ditunjukan kepada Akalsebagai power of reason (kekuatan penalaran).
Dari ketiga dimensi diatas, jelaslah bahwa yang menjadi subjek dan objek dakwah adalah
manusia.

1. Dimensi penyadaran
Pada hakikatnya dakwah menghendaki agar manusia sadar terhadap jatidirinya sebagai
makhluk yang beriman kepada Allah. Menurut Ibnu
Taimiyah “padadasarnya manusia dilahirkan ke dunia tidak memiliki pengetahuan apapun.”
 Ungkapan ini berlandaskan pernyataan Al-Quran surat Al-Naml, 27: 28,
“Sesungguhnya Tuhanmu akan menyelesaikan perkara diantara manusia
dengan keputusan- Nya.” Ayat ini menjelaskan bahwa manusia kondisi awalnya
tidakmemiliki pengetahuan apa-apa. Namun demikian manusia dibekali dengan daya-
daya potensialyang disebut fitrah.
Daya-daya tersebut inheren pada diri manusia, sehingga ia dapat menduduki posisi sebagai
al-Ahsan at-Taqwim. Mengenai hal ini Ibnu Taimiyah membagi daya-daya yang
terkandung dalam fitrah pada tiga bagian, yaitu :

a. Daya intelek (quwwah al-aql), yaitu suatu daya yang berpotensi untuk mengenaldan
mentauhidkan Allah. Dengan daya ini manusia dapat membedakan anarayang benar dan
yang salah
(yufariq baina‘l-haq wa’l-batil). Disamping itu, dengandaya ini manusia memperoleh
pengetahuan. Inilah yang menjadi indicatormanusia berbedadengan makhluk lainnya, yakni
berpikir untuk mencarikebenaran. Oleh karenanya, manusia yang mengingkari terhadap
daya ini,konsekuensinya ia akan menjadi kufur atau musyrik.
Menurut Dr. Juhaya S. Praja, “di dalam daya intelek terkandung daya
nadzhar dan iradah. Daya nadzhar terdiri dari dimensi kognisi, persepsi dankomprehensi.
Sedangkan daya iradah terdiri dari dimensi emosional dankemampuan menilai. Dengan
demikian, secara naluriah manusia cederung untuk berbuat kebajikan. Maka dakwah
dalam proses penyadaran adalah membimbingakal manusia agar mampu mengontrol jati
dirinya sebagai manusia yang ideal dan beriman.

b. Daya ofentif (quwwah al-shahlah) yakni suatu daya yang berpotensi menginduksiobjek-
objek yang menyenangkan dan pragmatis. Jika seseorang mengingkaritrhadap daya ini,
maka ia akan terjerumus pada perbuatan-perbuatan hedonistisyang bertentangan dengan
syariat, seperti perzinaan, perjudian korupsi dan jenis perbuatan lain yang serupa.
c. Daya defensif (quwwah al-ghadab), yaitu daya yang berpotensi untukmenghindari
kejahatan dan kekemafsadatan. Dengan demikian, orang yang
mengingkari daya ini, niscaya ia kan berbuat kejahatan yang tidak manusiawi,seperti
pembunuhan dan penganiyayaan.
Jika ada daya ofensif dan daya defensif tersebut terkontrol oleh dayaintelek,
konsekuensinya manusia akan menjadi makhluk yang paling mulia
di bumi ini. Sebab dengan akalnya ia dapt melebihi malaikat. Namun demikian,seandainya
daya intelek tidak dapat mengontrol kedua daya itu, bahkan dayaintelek dapat dikuasai oleh
daya ofensif dan defensif, maka manusia kan tersesatmenjadi asfal al-safilin (makhluk yang
terendah) melebihi binatang. Karenanya,tahap awal dalam berdakwah adalah mengingatkan
kembali pada fitrah manusiadengan proses penyadaran bahwasannya ia dilahirkan ke dunia
ini dalam keadaansuci. Tentunya dalam penyadaran output yang diharapkan adalah taubat,
yaknisebuah proyeksi pengakuan kembali manusia terhadap eksistensinya sebagaimakhluk
yang harus mengabdi kepada Allah.
2. Dimensi Pembebasan

Setelah melakukan penyadaran, maka langkah selanjutnya adalah


aktualisasi pembebasa, yaitu menghapus dunia lam yang tidak Islami menjadi Islami. Deng
ankata lain dakwah dalan konteks pembebasan berarti melakukan rekontruksimasyarakat
yang Islami. Oleh karena itulah pemahaman dakwah dalam
proses pembebasan identik dengan islamisasi seluruh kehidupan mabusia karena, dakwahm
erupakan salah satu manifestasai keimanan seseorang (muslim) dalam amal shaleh.
Dari uraian tersebut, dapat diambil suatu penakaran bahwa Islam sangatmenitik
beratkan peranan etika (akhlak) dalam kehidupan. Sebagauman dikatakan
oleh Fazhur Rahman, “Al
-Quran yang dijadikan sumber dan pedoman utama dalamIslam memiliki tujuan sentral,
yaitu menciptakan tata sosial yang mantap dan adil di bumi ini berlandaskan etika.
 Oleh karenanya proses dakwah dalam pembebasan inimencakuo empat unsur yaitu:

 Keyakinan
 Fikrah (pemikiran)
 Sikap, dan
 Perilaku

Menurut Muhammad Naquib al-Atas (seorang ilmuan dari Malaysia), yamgdimaksud


dengan Islamisasi adalah proses pembebasan manusia, mulai darisegenap tradisi yang
bersifat magis, mitologis, animistis dan budaya local yangirasional hingga pada
pembebasan manusia dari pengaruh sekuler yangmembelenggu pikiran dan perilakunya.

Pendapat Naquib al-Atas ini sangat argumentative, sebab kata Islam


sendirimengandung pengertian selamat, berarti bebas dari ekploitasi dan
penundasan.Dengan itu manusia yang Islami adalah manusia yang pikiran dan bahasanya
tidaklagi dikendalikan oleh magis, mutologi, animisme, tradisi-taradisi kultural
dansekularisme, sehingga sikap dan perilakunya mengekspresikan nilai-nilai Islam.

Dalam rangka mengislamisasikan empat unsur tersebut, yakni keyakinan,fikrah, sikap,


dan perilaku, maka diperlukan aktuisasi konsep Tuhid, sebab disamping merupakan proses
seluruh ajaran Islam, juga sebagai pandangan
yang paling fundamentaldalam Islam, karena di dalamnya tersirat koherensi dankeselarasan
antara semua bagian alam semesta ini. Minimal ada tiga hal yangdapat diambil dari esensi
ajaran tauhid, yaitu:

1) Tujuan penciptaan alam semesta


2) Pembebasan dan kemerdekaan manusia dari perbudakan, dan
3) Penghambaan yang dilakukan hanya kepada Allah serta meniadaansemua hak
kedaulatan dan perwalian siapapun di atas masyarakat manusiaselain Allah.

Hal ini menunjukan bahwa tauhid mampu menggerakan aktivitas dakwah


untukmembebasakab manusia dari perangkap-perangkap nativisme yang mengajakagar
kembali ke ajaran nenek moyang tanpa melihat apakah ajaran tersebutrasional atagu
tidak. Jika tauhid ini dijadikan landasan dalam proses dakwah,maka fungsi dakwah juga
akan mampu menyelamatkan manusia dari keangkuhan, sekularisme yang cenderung
mengkultuskan manusia sebagai Tuhan, sehinggamereduksi nilai-nilai agama dengan
memunculkan nilai-nilai humanistic.Sebagaimana halnya syahadatain dalam Islam,
ternyata konsep humanismesekularpum memiliki kredo khusus, yakni “ Man is Measure
of All Thing”(manusia dalah ukuran segala-galanya).

Dalam pernyataan tersebut menggambarkan bahwa penghambaan


itu berlaku hanya kepada Allah semata. Dengan demikian, diharuskan meniadakansetiap
komunikasi dan pesan-pesanyang bersifat intelektual, cultural, ekonomidan politik yang
dapat menundukan manusia kepada sesama makhluk. Darisinilah terlihat bahwa tauhid
adalah ruh dakwah yang memotivasi perbaikankembali sistem sosial yang sesuai dengan
ajaran-ajaran Allah. Jika konsep tauhidini dilaksanakan dalam proses berdakwah, maka
akan memberikan bimbingan principal di dalam menetapkan batas-batas
legistimasi politis, sosial dan kulturaloleh suatu sistem yang Islami. Karenanya semakin
jelas bahawa dengan landasantauhid, fungsi penting dalam dakwah adalah
menghancurkan mitos-mitos. Di erasekarang, mungkin mitos-mitos itu meliputi
kekuasaan, kemajuan, dan modernisasi.

3.Dimensi Pelembagaan
Sebagai manifestasi teo;ogis, dakwah harus diimplementasikan dalamkehidupan sosial,
yakni dengan melembagakan nilai-nilai Islam ke dalam tatananmasyarakat.kewajiban
mengajak manusia supaya masuk ke jalan Allah (sistemIslam), pertama-tama ditunjukan
kepada setiap muslim. Namun karena dalammasyarakat terdapat kompleksitas masalah,
maka usaha-usaha dakwah tidak akanefektif jika dilakukan secara individual. Oleh
karenanya dalam Al-Quran surat at-Taubah, 9:71, dijelaskan bahwa untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan sertamencegah kezhaliman, sesame muslim diharuskan bekerja
sama. Dalam hal initentunya ada realisasi pelembagaan, yakni nilai-nilai yang telah
diperoleh
dalam proses penyadaran, dan pembebasan, kemudian dilembagakan dalam sebuahsistem
yang kokoh.

Pelembagaan yang dimaksud di sini adalah pelembagaan Islam dalamkehidupan usrah,


jamaah dan umat sebagai proses institusional. Misalnya
usrah pengajian majlis taklim kaum ibu kemudian dilembagakan menjadi himpunan pengaji
an dalam sebuah lembaga formal. Atau jamaah mendirikan lembaga-lembaga Islam, seperti
pondok pesantren, TK Al-Quran, TPA, srkolah-sekolahIslam dan lain-lain.

Jika proses dakwah telah menginjak pada tahap pelembagaan, padadasarnya kewajiban
dakwah merupakan kewajiban setiap pemeluk. Dalam tahapini proses dakwah dilakukan
oleh lembaga formal yang telah dikelola dandigerakan dengan menejemen yang Islami. Di
Indonesia sendiri sudah banyaklembaga formal
yang bergerak dibidang dakwah bidang ekonomi dankeejahteraan sosial seperti, BAZIS
DKI Jakarta, Dompet Du’afa, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Lembaga Dakwah
Nahdatul Ulama ( LDNU), LembagaDakwah Muhammadiyah (LDM) dan sebagainya.

Tujuan sentral dari pelembagaan dakwah, yaitu mewujudkan sistemkemasyarakatan yang


Islami, sehingga melahirkan ummatan khairan ( umat yangterbaik). Dari sinilah terjadi
inter aksi antara da’idengan jamaah dakwah.
Konsekuensi logisnya diharapkan dapat melahirkan kepemimpinan
dakwah yang professional seperti diungkapkan dalam Al-Quran terma uli’l-albab (orang-
orangyang professional).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa landasan filosofi Al-Qurantentang


konsep manusia sebagai objek dakwah, meliputi tiga tahapan, yaitu:

 Dimensi penyadaran, pada hakikatnya dakwah menghendaki agar manusia sadarterhadap


jati dirinya sebagai makhluk yang beriman kepada Allah.
 Dimensi pembebasan yaitu, proses islamisasi dengan mengganti dunia lama yangtidak
Islami menjadi Isalmi. Dengan kata lain membenahi diri dari hal-hal yanghuruk.
 Dimensi pelembagaan, yaitu suatu dakwah yang dilaksanakan oleh sekelompokorang
yang sudah termasuk dalam lembaga-lembaga formal.

B. Saran
Saya sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat
jauh dari kesempurnaan.Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu
pada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.
DAFTAR PUSTAKA

Abda, Slamet Muhaimin. 2009. Prinsip- Prinsip Metodologi Dakwah. Surabaya: Al-
Ikhlas.

Abdullah, M. Yatimin. 2012. Studi Akhlak Dalam Perspektif Al Qur’an. Jakarta:

Amzah. AS, Enjang. 2015.Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, Bandung: Widya Padjajaran.

Anda mungkin juga menyukai