Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A219061/ Oktober 2020


**Pembimbing/ dr. Vivi Septriani, Sp.A

TB EKSTRAPULMONAR PADA ANAK

Syerent Mitasari Ketlin, S.Ked*


dr. Vivi Septriani, Sp.A **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020

i
REFERAT

TB EKSTRAPULMONAR PADA ANAK

DISUSUN OLEH
Syerent Mitasari Ketlin, S.Ked
G1A219061

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas


Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Jambi
Program Studi Pendidikan Kedokteran Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Jambi, November 2020

PEMBIMBING

dr. Vivi Septriani, Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan Referat ini dengan judul
“TB Ekstrapulmonar pada Anak”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Jambi.

Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai
pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Vivi Septriani,
Sp.A selaku pembimbing yang telah memberikan arahan sehingga laporan Referat ini dapat
terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
laporan Referat ini.

Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai penutup semoga kiranya
laporan Referat ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada
umumnya.

Jambi, Oktober 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................................... I
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1


1.1. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 2
2.1. Definisi TB................................................................................................................... 2
2.2. Epidemiologi TB.......................................................................................................... 2
2.3. Patogenesis TB.. .......................................................................................................... 3
2.4. Klasifikasi TB.............................................................................................................. 6
2.4.1 Tuberkulosis Kelenjar Limfe............................................................................... 6
2.4.2 Tuberkulosis Pleura..............................................................................................8
2.4.3 Tuberkulosis Perikardium.................................................................................... 9
2.4.4 Tuberkulosis Tulang/Sendi.................................................................................. 9
2.4.5 Tuberkulosis Susunan Syaraf Pusat (SSP)........................................................... 13
2.4.6 Tuberkulosis Abdomen 16
2.4.7 Tuberkulosis Hati 17
2.4.8 Tuberkulosis Ginjal 18
2.4.9 Sklofuloderma 19
2.10 Tuberkulosis Milier 20
2.5. Pemeriksaan Penunjang TB pada Anak....................................................................... 22
2.6. Tatalaksana TB pada Anak.......................................................................................... 27
BAB III KESIMPULAN ................................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 32

iv
BAB I
PENDAHULUAN

TB merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian yang sering


terjadi pada anak. Anak sangat rentan terinfeksi TB terutama yang kontak erat
dengan pasien TB terkonfirmasi bakteriologis dan anak juga lebih beresiko untuk
menderita TB berat seperti TB milier (TB diseminata) dan TB meningitis. Infeksi
TB anak saat ini menunjukkan sumber penyakit TB di masa depan. 1
Beban kasus TB Anak di dunia tidak dapat diketahui karena kurangnya
alat diagnostik yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan
pelaporan kasus TB Anak, sehingga diperkirakan banyak anak menderita TB yang
tidak mendapatkan penanganan yang benar. Pada tahun 2017 terdapat 10 juta
kasus TB di dunia dan terdapat 1,6 juta jiwa meninggal karena TB. Diantara kasus
tersebut terdapat 1 juta kasus TB anak (0-14 tahun) yang diperkirakan sekitar 7.5
juta anak terinfeksi TB setiap tahunnya. Selain itu, lebih dari 1 juta kasus baru TB
Anak terjadi setiap tahun.1,2
Urgensi masalah TB pada anak yang belum diketahui secara utuh ruang
lingkupnya, tidak bisa dianggap remeh. Menurut perkiraan WHO, diperkirakan
pada tahun 2017 terdapat 1 juta anak menderita TB dan 233.000 anak meninggal
karena TB . Namun, beban sebenarnya dari TB pada anak mungkin lebih tinggi
mengingat tantangan dalam mendiagnosis TB pada masa kanak-kanak.3
WHO dan mitranya telah mengembangkan upaya untuk mencapai tujuan
nol kematian TB di antara anak-anak di seluruh dunia. Untuk mencapai hal ini
diperlukan advokasi yang berkelanjutan, komitmen yang lebih besar, mobilisasi
sumber daya yang lebih banyak dan upaya bersama dari semua pemangku
kepentingan yang terlibat dalam menyediakan perawatan kesehatan untuk anak-
anak dan pengendalian TB.1,3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi1,3

1
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.Tuberculosis ekstra paru
adalah tuberculosis yang menyerang organ tubuh selain jaringan paru,misalnya
pleura (selaput paru), selaput otak, selaput jantung, kelejar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
2.2 Epidemiologi1,2,4
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB pada anak terjadi pada
anak usia 0-14 tahun. Di negara-negara berkembang jumlah anak berusia kurang
dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi umum dan terdapat
sekitar 500.00 anak di dunia menderita TB setiap tahun, Proporsi kasus TB Anak
di antara semua kasus TB di Indonesia pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian
menjadi 8,5% pada tahun 2011; 8,2% pada tahun 2012; 7,9% pada tahun2013;
7,16% pada tahun 2014, dan 9% di tahun 2015. Proporsi tersebut bervariasi antar
provinsi, dari 1,2 % sampai 17,3%.
Variasi proporsi ini mungkin menunjukkan endemisitas yang berbeda
antara provinsi, tetapi bisa juga karena perbedaan kualitas diagnosis TB anak pada
levcl provinsi. Faktor risiko penularan TB pada anak sama halnya dengan TB
pada umumnya, tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan, dan daya tahan
tubuh. Pasicn TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan
lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif. Pasicn TB dengan BTA
ncgatif masih memiliki kemungkinan mcmularkan penyakit TB. Tingkat
penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan
hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif
dan foto toraks positif adalah 17%.

2.3 Patogenesis1,2,5
Paru merupakan port d'entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya (<5 um) akan terhirup darı
dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan

2
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi
respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya,
dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman,
makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan.
Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus
berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.
Selanjutnya, kuman TB kecil tidak seluruhnya dapat membentuk lesi di tempat
tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika
fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary
complex). Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal
ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung sclama 4-8
minggu. Sclama masa inkubasi tcrscbut, kuman berkembang biak hingga
mencapai jumlah 10-100, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas selular. Pada saat terbentuknya komplcks primer, TB primer dinyatakan
telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh tcrhadap TB
terbentuk, yang dapat dikctahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin
masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi
baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli

3
akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated
immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB. Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus
di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-
valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai
lesi segmental kolaps-konsolidasi. Sclama masa inkubasi, sebclum terbentuknya
imunitas sclular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada
penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga
terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
mcnycbabkan TB discbut scbagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang
paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar
(occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.

4
Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang
di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa,
dan kelenjar limfe superfisialis.
Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang,
ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi
tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks
paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami
reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa. Bentuk penyebaran hematogen
yang hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic lain adalah
penyebaran spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan
beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB
diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah
terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata
terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi
infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua
tahun. Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding
vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman
TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic
spread

5
Gambar 1. Patogenesis TB2

2.4 Klasifikasi1,2,3,4,5,6
Klasifikasi TB ekstra paru dibagi berdasarkan organ yang terkena, diantaranya
adalah:
2.4.1. Tuberkulosis Kelenjar Limfe
Tuberkulosis kelenjar merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada anak
yang paling sering terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe leher.
a. Anatomi dan Fisiologi
Kelenjar getah bening termasuk dalam susunan retikuloendotel, yang
tersebar di seluruh tubuh. Kelenjar ini mempunyai fungsi penting berupa barier
atau filter terhadap kuman – kuman / bakteri – bakteri yang masuk kedalam badan
dan barier pula untuk sel – sel tumor ganas ( kanker ). Di samping itu bertugas
pula membentuk sel-sel limfosit darah tepi.

6
b. Definisi
Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial disebut dengan skrofula
sementara limfadenitis tuberkulosis adalah suatu peradangan pada satu atau lebih
kelenjar getah bening. Penyakit ini masuk dalam kategori tuberkulosis di luar
paru. Tuberkulosis sendiri dikenal sejak 1000 tahun sebelum Masehi seperti yang
tertulis dalam kepustakaan Sanskrit kuno. Nama "tuberculosis" berasal dari kata
tuberculum yang berarti benjolan kecil yang merupakan gambaran patologik khas
pada penyakit ini. Begitu juga dengan limfadenitis, penyakit ini ditandai benjolan
pada bagian leher penderitanya
c. Patogenesis
Siklus munculnya penyakit ini adalah bakteria dapat masuk melalui
makanan ke rongga mulut dan melalui tonsil mencapai kelenjar limfa di leher,
sering tanpa tanda TBC paru. Kelenjar yang sakit akan membengkak dan mungkin
sedikit nyeri. Mungkin secara berangsur kelenjar di dekatnya satu demi satu
terkena radang yang khas dan dingin ini. Di samping itu, dapat terjadi juga
perilimfadenitis sehingga beberapa kelenjar melekat satu sama lain berbentuk
massa. Bila mengenai kulit, kulit akan meradang, merah, bengkak, mungkin
sedikit nyeri. Kulit akhirnya menipis dan jebol, mengeluarkan bahan keperti keju.
Tukak yang terbentuk akan berwarna pucat dengan tepi membiru dan
menggangsir, disertai sekret yang jernih. Tukak kronik itu dapat sembuh dan
meninggalkan jaringan parut yang tipis atau berbintil-bintil. Suatu saat tukak
meradang lagi dan mengeluarkan bahan seperti keju lagi, demikian berulang-
ulang. Kulit seperti ini disebut skrofuloderma. Limfadenitis sendiri disebabkan
oleh berbagai infeksi dari berbagai organisme, seperti bakteri, virus, protozoa,
riketsia, dan jamur. Untuk penyebarannya ke kelenjar getah bening melalui infeksi
pada kulit, hidung, telinga, dan mata.
d. Manifestasi Klinis
Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, dan di tempat yang
mempunyai kelompok kelenjar limfe, misalnya di daerah parotis, submandibula,
supraklavikula, dan daerah lateral leher. Pada penyakit ini didapatkan berbagai
bentuk lesi, yaitu plak dengan fibrosis padat, sinus yang mengeluarkan cairan,
serta massa yang fluktuatif. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak

7
keras, diskret, dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi pada
jaringan di bawah atau di atasnya. Gejala sistemik biasanya demam dengan suhu
yang tidak terlalu tinggi.
e. Diagnosis
Awitan penyakit kadang-kadang berlangsung lebih akut, dengan demam
tinggi dan pembesaran kelenjar limfe yang cepat, disertai nyeri tekan dan terdapat
fluktuasi. Untuk menegakkan diagnosa pada anak perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan. Uji tuberkulin biasanya menunjukkan hasil yang positif, sedangkan
gambaran foto toraks terlihat normal pada 70% kasus.
Diagnosis definitif memerlukan pemeriksaan histologis dan bakteriologis
yang diperoleh melalui biopsi kelenjar limfe dengan cara aspirasi jarum halus
(fine needle aspiration biopsy: FNAB,) ataupun secara biopsi terbuka (open
biopsy), dan harus didiagnosis banding dengan mikobakterium atipik.
f. Pengobatan
Pengobatannya sama dengan TB paru, demikian juga dengan lamanya
makan obat. Bila terjadi abses yang di sertai infeksi sekunder tentunya di perlukan
antibiotika. Kadang-kadang di perlukan operasi untuk mengeluarkan kelenjar
yang membesar. Pengobatan yang tidak teratur akan menyebabkan penyakitnya
tidak kujung sembuh dan menjadi kronis dimana seringnya terjadi fistel dan ulkus
baru.
Pengobatan berupa 3 macam OAT (rifampisin, INH, PZA). INH,
rifampisin, dan PZA diberikan selama 2 bulan pertama, sedangkan rifampisin dan
INH dilanjutkan sampai 6 bulan. Selain itu perlu diperhatikan penanganan
suportif seperti perbaikan gizi. Tatalaksana lokal/topikal tidak ada yang khusus,
cukup dengan kompres atau higiene yang baik.
2.4.2. Tuberkulosis Pleura
a.Manifestasi Klinis
Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam akut yang
disertai batuk nonproduktif (94%) dan nyeri dada (78%) tanpa peningkatan
leukosit darah tepi. Penurunan BB dan malaise dapat dijumpai, demikian juga
menggigil. Sebagian besar efusi pleura TB bersifat unilateral (95%), agak lebih

8
sering di sisi kanan. Jumlah cairan efusi bervariasi dari sedikit hingga banyak dan
meliputi setengah dari hemitoraks.

b. Diagnosis
Dari pemeriksaan foto toraks dapat dijumpai kelainan parenkim paru.
Efusi pleura hampir selalu terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim
parunya. Spesimen diagnostik utama efusi pleura TB adalah cairan pleura dan
jaringan pleura.
c. Penatalaksanaan
Terapi sama dengan terapi TB paru. Bila respons terhadap terapi baik,
maka suhu akan turun dalam 2 minggu terapi, dan cairan pleura akan diserap
dalam 6 minggu. Pada beberapa pasien, demam dapat berlangsung hingga 2 bulan
dan penyerapan cairan memerlukan waktu hingga 4 bulan. Steroid dapat
memperpendek fase demam dan mempercepat penyerapan cairan serta mencegah
perlekatan, walaupun rasio manfaat dan risiko penggunaannya belum diketahui
pasti. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2−6 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off selama 2−6 minggu, sesuai dengan lamanya pemberian
dosis penuh.
2.4.3. Tuberkulosis Perikardium
a. Epidemiologi
Yang umum terjadi adalah perikarditis TB. Tuberkulosis ini jarang terjadi,
hanya 0,5−4% dari TB anak.
b. Diagnosis
Gejalanya tidak khas, yaitu demam subfebris, lesu, dan BB turun,
sedangkan nyeri dada jarang timbul pada anak. Dari pemeriksaan fisis dapat
ditemukan friction rub dan suara jantung melemah dengan pulsus paradoksus.
Terdapat pula cairan perikardium yang khas, yaitu serofibrinosa atau hemoragik.
c. Penanganan
Pada pengobatan perikarditis TB, selain OAT diberikan juga
kortikosteroid. Perikardiotomi parsial atau komplit dapat diperlukan jika terjadi
penyempitan perikardium.
2.4.4. Tuberkulosis Tulang/Sendi

9
a. Definisi
Spondilitis Tuberkulosa ialah suatu bentuk infeksi tuberkulosis
ekstrapulmoner yang mengenai tulang belakang (vertebra). Infeksi mulai dari
korpus vertebra, menjalar ke diskus intervertebralis dan kemudian mencapai alat-
alat dan jaringan di dekatnya.Tuberkulosis sebagai suatu penyakit sistemik yang
dapat menyerang berbagai organ termasuk tulang dan sedi. Lesi pada tulang dan
sendi hampir selalu disebabkan penyebaran hematogen dari kompleks primer pada
bagian tubuh lain. Biasanya tejadi 6 – 36 bulan setelah infeksi primer, tetapi dapat
saja timbul bertahun – tahun kemudian.
b. Etiologi
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari berkulosis
di tempat lain di tubuh,90 – 95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis
tipik ( 2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin ) dan 5 – 10 % oleh
mikobakterium tuberkulosa atipik. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama
pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas.
c. Patogenesis
Tiga mekanisme terjadinya patogenesis tuberculosis tulang :
· Kompleks Primer
Lesi primer biasanya pada paru – paru, faring atau usus dan kemudian
melalui saluran limfe menyebar ke limfonodulus regional dan disebut primer
kompleks.
· Penyebaran Sekunder
Bila daya tahan tubuh penderita menurun, maka terjadi penyebaran
melalui sirkulasi darah yang akan menghasilkan tuberkulosis milier dan
meningitis. Keadaan ini dapat terjadi setelah beberapa bulan atau beberapa tahun
kemudian dan bakteri dideposit pada jaringan ekstra – pulmoner.
· Lesi Tersier
Tulang dan sendi merupakan tempat lesi tersier dan sebanyak 5 % dari
tuberkulosis paru akan menyebar dan akan berakhir sebagai tuberkulosis sendi
dan tulang. Pada saat ini kasus – kasus tuberkulosis paru masih tinggi dan kasus
tuberkulosis tulang dan sendi juga diperkirakan masih tinggi.
d. Manifestasi klinis

10
Manifestasi klinis bersifat lambat dan tidak khas. Gejala atau tanda pada
TB tulang atau sendi bergantung pada lokasi kelainan. Gejala spesifik berupa
bengkak, kaku, kemerahan, dan nyeri pada pergerakan. Secara klinik gejala
tuberculosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberculosis pada
umumnya yaitu badan lemah lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun,
suhu sedikit meningkat ( subfebris ) terutama pada malam hari serta sakit pada
punggung. Pada anak – anak sering disertai dengan menangis pada malam hari
( night cries ). Pada tuberculosis vertebrae servikal ditemukan nyeri di daerah
belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya
abses retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala abses pada daerah
paravetebral, inguinal, poplitea atau bokong, adanya sinus pada daerah
paravetebral atau penderita datang dengan gejala – gejala paraparesis, paraplegia,
keluhan gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme atau gibus
e. Diagnosis
Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan gambaran
klinis dan pemeriksaan radiologis. Untuk melengkapkan pemeriksaan, maka
dibuat suatu standar pemeriksaan pada penderita tuberkulosis tulang dan sendi,
yaitu :
1. pemeriksaan klinik dan neurologis lengkap
2. foto tulang belakang posisi AP dan lateral
3. foto polos toraks posisi PA
4. uji mantoux
5. biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa
Pemeriksaan laboratorium
1. Peningkatan LED dan mungkin disertai dengan leukositosis
2. uji mantoux positif
3. pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikrobakterium
4. biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
5. pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
Pemeriksaan radiologis
 Pemeriksaan foto thorax untuk melihat adanya tuberkulosis paru

11
 foto polos vertebrae, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi
korpus vertebrae, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada
di antara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa
abses paravetebral.
 pada foto AP, abses paravetebral di daerah servikal berbentuk sarang
burung ( bird’s nets ), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah
lumbal abses berbentuk fusiform
 pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebrae yang hebat sehingga timbul
kifosis
 pemeriksaan foto dengan zat kontras
 pemeriksaan melografi dilakukan bila terdapat gejala – gejala penekanan
sumsum tulang
 pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi
 pemeriksaan MRI
Tuberkulosis ini juga seringkali ditemukan atau disadari setelah terjadi trauma.
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan penunjang untuk TB pada anak
secara umum dan pemeriksaan radiologis pada lokasi yang dicurigai. Pemeriksaan
lain yang dianjurkan adalah aspirasi cairan sendi dengan bantuan ultrasonografi
(USG).
f. Penatalaksanaan
Terapi konservatif berupa :
1. Tirah baring
2. memperbaiki keadaan umum penderita
3. pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi maupun yang tidak
dioperasi
4. pemberian obat anti tuberkulosa
Medikamentosa berupa rifampisin, INH, PZA, dan ETB. Rifampisin dan
INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan PZA dan ETB selama 2 bulan
pertama.
Selain itu dapat juga diberikan terapi suportif. Indikasi tindakan bedah
umumnya adalah adanya kelainan neurologis, instabilitas spinal, dan tidak respons
terhadap OAT.

12
g. Prognosis
Prognosis penyakit ini sangat bergantung pada derajat kerusakan sendi
atau tulangnya.

2.4.5. Tuberkulosis susunan syaraf pusat (SSP)


a. Definisi
Bentuk TB SSP berupa meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis.
Meningitis TB dalah radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis primer.
Secara histiologik meningitis tuberkulosis merupakan meningo-ensefalitis
tuberkulosa dimana terjadi invasi ke selaput dan jaringan susunan saraf pusat.
b. Etiologi
Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosa jenis
hominis, jarang oleh bovinum atau aves. Faktor risiko:
sosio ekonomi rendah
- penghasilan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari
- perumahan tidak memenuhi syarat kesehatan minimal
- hidup dan tinggal atau tidur berdesakan
- kekurangan gizi
- higiene yang buruk
- faktor suku atau ras
- kurang atau tidak mendapatfasilitas imunisasi
Meningitis tuberkulosa dapat terjadi pada semua umur terutama pada anak
usia 6 bulan sampai 5 tahun, paling sering terjadi pada umur di bawah 2 tahun
yaitu antara 9 sampai 15 bulan. Jarang pada umur di bawah 6 bulan.
c. Patofisiologi
Meningitis tuberkulosa selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis primer di
luar otak. Fokus primer biasanya di paru- paru. Meningitis tuberkulosa terjadi
sebagai komplikasi penyebaran tuberkulosis paru-paru. Terjadinya meningitis
bukan karena peradangan langsung oleh karena penyebaran hematogen,
melainkan melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil berwarna putih. Tuberkel

13
kemudian melunak, pecah dan masuk ke dalam ruang sub arakhnoid dan
ventrikulus sehingga terjadi peradangan yang difus.
Penyebaran kuman dalam ruang subarakhnoid menyebabkan reaksi radang pada
pia dan arakhnoid, CSS, ruang sub arakhnoid dan ventrikulus. Akibat reaksi
radang ini terbentuknya eksudat kental serofibrinosa dan gelatinosa oleh kuman-
kuman dan toksin yang mengandung sel-sel mononuklear, limfosit, sel plasma,
makrofag, sel raksasa dan fbroblas. Ekudat ini dapat juga terkumpul terutama di
dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui pembuluh – pembuluh darah pia
dan menyerang jaringan otak di bawahnya sehingga proses sebenarnya adalah
meningoensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat akuaduktus sylvii, foramen
magendi, foramen luschka dengan akibat terjadinya hidrosefalus, edema pail dan
peningkatan tekanan intrakranial. Kelainan juga terjadi di pembuluh darah yang
berjalan dalam ruang subarakhnoid berupa kongesti, peradangan dan
penyumbatan, sehingga selain ateritis dan flebitis juga mengakibatkan infark otak
terutama pada bagian korteks, medula oblongata dan ganglia basalis yang
kemudian mengakibatkan perlunakan otak dengan segala akibatnya.
d. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda meningitis TB dapat dibagi menjadi 3 fase.
 Fase prodormal
Fase ini berlangsung selama 2−3 minggu, ditandai dengan malaise, sefalgia,
demam tidak tinggi, dan dapat dijumpai perubahan kepribadian. Permualaan
bersifat sub akut dengan tanda-tanda infeksi umum.
a. Pada anak kecil, gejala dan tanda nya :
- tanpa panas atau kenaikan suhu yang ringan
- muntah
- tidak nafsu makan dan berat badan turun
- murung, cengeng, dan mudah tersinggung
- tidur terganggu
- gangguan kesadaran apatis
b. Pada anak yang lebih besar, gejala dan tandanya :
- nyeri kepala
- tidak nafsu makan

14
- muntah-muntah
- obstipasi
- pola tidur terganggu
 Fase meningitik
Gejala dan tandanya yaitu :
- kejang umum atau fokal terutama anak bayi
- tanda-tanda rangsangan meningeal nyata, tubuh kaku dan opistotonus
- peningkatan tekanan intrakranial
- muntah lebih hebat
- nyeri kepala yang bertambah berat
- kesadaran yang makin menurun
- terdapat gangguan nervi kranialis : N. II, III, IV, VI, VII dan VIII
 Fase paralitik
Fase ini merupakan fase percepatan penyakit.Gejala dan tanda yaitu :
- suhu tidak teratur dan semakin tinggi
- pernapasan dan nadi tidak teratur ( cheyne-stokes atau kussmaul)
- retensi atau inkotinensia urin
- gangguan kesadaran makin menurun sampai koma
e. Diagnosis
Anamnesis diarahkan pada riwayat kontak dengan penderita tuberkulosi,
keadaan sosioekonomi, imunisasi, dsb. Gejala-gejala yang khas untuk meningitis
tuberkulosa ditandai dengan tekanan intrakranial yang meninggi : muntah yang
hebat, nyeri kepala yang progresif. Pungsi lumbal memperlihatkan CSS yang
jernih, kadang sedikit keruh atau ground glass appearance. Bila CSS didiamkan
akan terjadi pengendapan fibrin yang halus seperti sarang laba-laba. Jumlah sel
antara 10 – 500/ml dan kebanyakan limfosit, kadar glukoasa rendah antara 20 -40
mg%, kadar klorida di bawah 600 mg%. CSS dan endapan sarang laba-laba dapat
dibiakan atau dikultur menurut pengecatan Ziehl-Nielsen atau Tan Thiam Hok.
Tes tuberkulin biasa dilakukan pada bayi dan anak, hasil sering kali negatif karena
keadaan anergi. Pemeriksaan lain yang sangat penting adalah pemeriksaan apusan
langsung untuk menemukan BTA dan biakan dari cairan serebrospinal. Untuk
mendapatkan hasil positif dianjurkan melakukan pungsi lumbal selama 3 hari

15
berturut-turut. Pemeriksaan lainnya seperti :foto dada dan kolumna vertebralis,
rekaman EEG, dan CT scan
f. Penanganan
Untuk keperluan terapi dan penentuan prognosis, perjalanan penyakit
pasien dibagi menjadi tiga tahapan klinis berdasarkan temuan klinis dan
radiologis. - Tahap 1, pasien relatif tenang, tidak ada tanda kelainan neurologis
fokal dan tidak ada bukti hidrosefalus. - Tahap 2, pasien kebingungan, tampak
kelainan fokal seperti kelumpuhan saraf kranialis atau hemiparesis. - Tahap 3,
penyakit berada dalam tahap lanjut dimana pasien delirium, stupor, koma, atau
hemiplegia.
Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan
pungsi lumbal ke-2 dan ke-3. Untuk menentukan adanya dan luasnya kelainan di
daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus, dapat dilakukan pemeriksaan
CT-scan dengan kontras. Terapi segera diberikan bila secara klinis meningitis TB.
Medikamentosa berupa OAT, 2 bulan fase intensif dengan 4 OAT (INH,
rifampisin, PZA, dan ETB), dilanjutkan dengan 2 OAT (INH dan rifampisin)
hingga 12 bulan. Steroid dapat sebagai terapi ajuvantivus, yaitu prednison dengan
dosis 1−2 mg/kgBB/hari, diberikan selama 4 minggu dosis penuh, lalu selama 4
minggu dilakukan penurunan dosis bertahap (tappering off). Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2−6 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off
selama 2−6 minggu, sesuai dengan lamanya pemberian dosis penuh.
2.4.6. Tuberkulosis Abdomen
a. Definisi
Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal
atau visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, dan
terlihat penyakit ini juga sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat system
gastroinbtestinal, mesenterium dan organ genetalia interna. Penyakit ini jarang
berdiri sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan proses tuberkulosa di tempat
lain terutama dari tuberkulosa paru, namun sering ditemukan bahwa pada waktu
diagnosa ditegakkan proses tuberkulosa di paru sudah tidak kelihatan lagi. Hal ini
bisa terjadi karena proses tuberkulosa di paru mungkin sudah menyembuh terlebih
dahulu sedangkan penyebaran masih berlangsung di tempat lain. Di Negara yang

16
sedang berkembang tuberculosis peritoneal masih sering dijumpai termasuk di
Indonesia.
Penyakit ini jarang dijumpai, yaitu sekitar 1−5% dari kasus TB anak.
b. Patogenesis
Peritoneum dapat dikenai oleh tuberculosis melalui beberapa cara:
1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru
2. Melalui dinding usus yang terinfeksi
3. Dari kelenjar limfe mesenterium
4. Melalui tuba falopi yang terinfeksi
Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat
penyebaran perkontinuitatum tapi sering karena reaktifasi proses laten yang
terjadipada peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses
primer erdahulu (infeksi laten “Dorman infection”. Seperti diketahui lesi
tuberkulosa bisa mengalami supresi dan menyembuh. Infeksi masih dalam fase
laten dimana ia bisa menetap laten selama hidup namun infeksi tadi bisa
berkembang menjadi tuberkulosa pada setiap saat. Jika organism nintrasseluler
tadi mulai bermutiplikasi secara cepat.
c. Diagnosis
Selain gejala khusus peritonitis TB, dapat timbul gejala klinis umum TB
pada anak. Manifestasi klinis TB abdomen terbagi dua, yaitu terdapatnya asites
dan adanya gambaran fenomena papan catur.
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan sama dengan pemeriksaan pada
TB secara umum, bila perlu dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen, analisis
cairan asites, dan biopsi peritoneum. Tatalaksana medikamentosa peritonitis TB
sama dengan tatalaksana TB ekstrapulmonal lain seperti spondilitis TB, yaitu
rifampisin, INH, dan PZA. Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan,
sedangkan PZA selama 2 bulan pertama. Kortikosteroid diberikan 1−2 mg/kg BB
selama 1−2 minggu pertama. Pada keadaan obstruksi usus karena perlengketan
perlu dilakukan tindakan operasi.
2.4.7. Tuberkulosis Hati
Manifestasi klinis TB hati adalah gejala klinis umum TB anak dan gejala
tambahan, yaitu hepatomegali, splenomegali, nyeri perut, dan ikterus.

17
Pemeriksaan tambahan adalah uji fungsi hati, USG hati, dan biopsi hati.
Pengobatan pada TB hati adalah pemberian OAT berupa empat macam obat, yaitu
rifampisin, INH, PZA, dan ETB, dengan dosis OAT sama seperti TB lainnya.
Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan PZA dan ETB
diberikan selama 2 bulan pertama pengobatan. Penyakit ini memerlukan
pemantauan terhadap uji fungsi hati. Pemantauan ketat sebaiknya dilakukan
selama 2 bulan pertama dengan perhatian khusus pada 2 minggu pertama
pengobatan.
2.4.8. Tuberkulosis Ginjal
a. Patogenesis
Basil tuberkulosis mencapa ginjal atau epididimis secara hematogen dan
menyebabkan gambaran patologik yang khas berupa kelainan granulomatosa
dengan pengkijauan sentral yang akhirnya cenderung mengalami kalsifikasi atau
membentuk kaverne. Dari ginjal terjadi penyebaran infeksi secara desendens
melalui ureter yang dapat mengalami striktur fibrosa. Di kandung kemih,
tuberkulosis mulai tampak sebagai bengkak dan kemerahan sekitar muara ureter
di trigonum. Tuberkulosis menyebar di kandung kemih dengan tukak kecil di
mukosa yang menjadi fibrotik dan mengakibatkan pengerutan. Penyebaran
tuberkulosis ke saluran kemih dapat terjadi puluhan tahun setelah kompleks
primer. Tuberkulosis saluran kemih tidak jarang ditemukan bersamaan dengan
tuberkulosis sekunder tulang belakang.
Penyebaran hematogen ke prostat atau epididimis tidak berkaitan dengan
tuberkulosis ginjal. Tuberkulosis ginjal pada awalnya merupakan penyebaran
milier kiri dan kanan di korteks. Sarang milier ini berkembang menjadi rahang
granulasi yang mengalami nekrosis secara perkijauan yang mungkin membentuk
kaverne atau sembuh lokal dengan fibrosis, pengerutan, retraksi dan kalsifikasi.
Perforasi nekrosis kaliks di pielum menyebabkan penyebaran secara desendens.
Tuberkulosis di pielum, ureter, kandung kemih dan prostat pada prinsipnya
menunjukkan gambaran yang sama, kecuali pengkijauan tidak menyebabkan
kaverne melainkan ulkus. Fibrosis menyebabkan retraksi dan penyempitan
sehingga terjadi obstruksi dengan segala konsekuensinya.
b. Diagnosis

18
Pasien dengan TB ginjal, seringkali secara klinis tenang pada fase awal,
hanya ditandai piuria yang steril dan hematuria mikroskopis. Namun demikian,
disuria, nyeri pinggang atau nyeri abdomen, dan hematuria makroskopis dapat
terjadi sesuai dengan berkembangnya penyakit. Superinfeksi dengan kuman lain,
yang sering kali menyebabkan gejala yang lebih akut, dapat memperlambat
diagnosis TB sebagai penyakit dasarnya. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah biakan TB dari urin, pielografi intravena (PIV), USG, dan CT- scan.

c. Penatalaksanaan
Pengobatan TB ginjal bersifat holistik, yaitu selain pemberian OAT juga
dilakukan penanganan terhadap kelainan ginjal yang terjadi. Pemberian OAT
terdiri dari sedikitnya empat macam obat pada 2 bulan pertama, dan dilanjutkan
dengan dua macam obat sampai 12 bulan. Bila diperlukan, tindakan bedah dapat
dilakukan setelah pemberian OAT selama 4−6 minggu
2.4.9 Sklofuloderma
Skrofuloderma merupakan manifestasi TB di kulit yang paling sering
dijumpai pada anak, tcrjadi akibat penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar limfe
yang terkena Manifestasi klinis skrofuloderma adalah sama dengan gejala umum
TB pada anak. Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher atau di tempat yang
mempunyai kelompok kelenjar limfe, misalnya di daerah parotis, submandibula,
supraklavikula, dan daerah lateral leher. Selain itu, skrofuloderma dapat timbul di
ekstremitas atau trunkus tubuh, yang disebabkan oleh TB tulang dan sendi.
Lesi awal skrofuloderma berupa nodul subkutan atau infiltrat subkutan
dalam yang keras, berwarna merah kebiruan, dan tidak (asimtomatik).
meluas/membesar dan menjadi padat kenyal. Selanjutnya mengalami pencairan,
fluktuatif, lalu pecah (terbuka ke permukaan kulit), membentuk ulkus berbentuk
linear atau serpiginosa, dasar yang bergranulasi dan tidak beraturan, dengan tepi
bergaung, berwarna kebiruan, disertai fistula dan nodul granulomatosa yang
sedikit lebih keras. Kemudian terbentuk jaringan parut berupa pita/benang fibrosa
padat, yang membentuk jembatan di antara ulkus-ulkus atau daerah kulit yang
normal. Pada pemeriksaan, didapatkan berbagai bentuk menimbulkan keluhan

19
Infiltrat kemudian lesi, yaitu plak dengan fibrosis padat, sinus yang mengeluarkan
cairan, serta massa yang fluktuatif.
Diagnosis definitif adalah biopsi aspirasi jarum halus/BAJAH/fine needle
aspiration biopsy) ataupun secara biopsi terbuka (open biopsy). Pada pemeriksaan
tersebut dicari adanya M. tuberculosis dengan cara kultur dan pemeriksaan
histopatologis jaringan. Hasil PA dapat berupa granuloma dengan nekrotik di
bagian tengahnya, terdapat sel datia Langhans, sel epiteloid, limfosit, serta BTA.
Tatalaksana pasicn dengan TB kulit adalah dcngan OAT dan tatalaksana
lokal/topikal dengan kompres atau higiene yang baik
2.4.10 Tuberkulosis Milier
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan
merupakan 3−7% dari seluruh kasus TB, dengan angka kematian yang tinggi
(dapat mencapai 25% pada bayi). Tuberkulosis milier merupakan penyakit
limfohematogen sistemik akibat penyebaran kuman M. tuberculosis dari
kompleks primer, yang biasanya terjadi dalam waktu 6 bulan pertama, sering
dalam 3 bulan pertama, setelah infeksi awal. Tuberkulosis milier lebih sering
terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama usia < 2 tahun, karena imunitas selular
spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme lokal pertahanan parunya belum
berkembang sempurna, sehingga kuman TB mudah berkembangbiak dan
menyebar ke seluruh tubuh. Akan tetapi, TB milier juga dapat terjadi pada anak
besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru primer sebelumnya yang tidak
adekuat, atau pada usia dewasa akibat reaktivasi kuman yang dorman. Terjadinya
TB milier dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kuman M. tuberculosis (jumlah dan
virulensi) dan status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik). Beberapa
kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat memudahkan timbulnya TB
milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi morbili, pertusis, diabetes melitus,
gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama.
Faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi perkembangan penyakit
adalah faktor lingkungan, yaitu kurangnya paparan sinar matahari, perumahan
yang padat, polusi udara, asap rokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta sosial
ekonomi. Manifestasi klinis TB milier bermacam-macam, bergantung pada
banyaknya kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala yang sering dijumpai

20
adalah keluhan kronik yang tidak khas, seperti TB pada umumnya, misalnya
anoreksia dan BB turun atau gagal tumbuh (dengan demam ringan atau tanpa
demam), demam lama dengan penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak
napas. Tuberkulosis milier juga dapat diawali dengan serangan akut berupa
demam tinggi yang sering hilang timbul (remittent), pasien tampak sakit berat
dalam beberapa hari, tetapi gejala dan tanda respiratorik belum ada. Pada lebih
kurang 50% pasien, limfadenopati superfisial, splenomegali, dan hepatomegali
akan terjadi dalam beberapa minggu. Demam kemudian bertambah tinggi dan
berlangsung terus-menerus/kontinu, tanpa disertai gejala respiratorik atau disertai
gejala minimal, dan foto toraks biasanya masih normal. Beberapa minggu
kemudian, hampir di semua organ, terbentuk tuberkel difus multipel, terutama di
paru, limpa, hati, dan sumsum tulang.
Gejala klinis biasanya timbul akibat gangguan pada paru, yaitu gejala
respiratorik seperti batuk dan sesak napas disertai ronki atau mengi. Pada kelainan
paru yang berlanjut, timbul sindrom sumbatan alveolar, sehingga timbul gejala
gangguan pernapasan, hipoksia, pneumotoraks dan atau pneumomediastinum.
Dapat juga terjadi gangguan fungsi organ, kegagalan multiorgan, serta syok.
Gejala lain yang dapat ditemukan adalah kelainan kulit berupa tuberkuloid, papula
nekrotik, nodul, atau purpura. Tuberkel koroid ditemukan pada 13−87% pasien,
dan jika ditemukan dini dapat menjadi tanda yang sangat spesifik dan sangat
membantu diagnosis TB milier. Maka, pada TB milier perlu dilakukan funduskopi
untuk menemukan tuberkel koroid. Meningitis TB dan peritonitis TB dapat
ditemukan pada 20−40% pasien yang berat. Sakit kepala kronik atau berulang
biasanya merupakan gejala telah terjadinya meningitis dan merupakan indikasi
untuk melakukan pungsi lumbal. Peritonitis TB ditandai oleh keluhan nyeri atau
pembesaran abdomen. Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu 2−3
minggu setelah penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas,
yaitu berupa tuberkel halus (millii) yang tersebar merata di seluruh lapangan paru,
dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1−3 mm). Lesi-lesi
kecil dapat bergabung membentuk lesi yang lebih besar, kadang-kadang
membentuk infiltrat yang luas. Sekitar 1−2 minggu setelah timbulnya penyakit,
pada foto toraks dapat dilihat lesi yang tidak teratur seperti kepingan salju.

21
Diagnosis TB milier pada anak dibuat berdasarkan adanya riwayat kontak
dengan pasien TB dewasa yang infeksius (BTA positif), gambaran klinis,
gambaran radiologis yang khas, serta uji tuberkulin yang positif. Uji tuberkulin
tetap merupakan alat bantu diagnosis TB yang penting pada anak. Uji tuberkulin
yang negatif belum tentu menunjukkan tidak adanya infeksi atau penyakit TB,
atau sebaliknya. Uji tuberkulin negatif terjadi pada lebih dari 40% TB diseminata.
Di bagian Kesehatan Anak FKUI-RSCM, dari 80 kasus TB milier yang
dilaporkan sejak bulan Januari 1981 hingga bulan Desember 1984, sebanyak 43
pasien (53,70%) memiliki hasil uji tuberkulin (-), 23 kasus diantara 43 kasus
tersebut memiliki hasil biakan M. tuberculosis (+). Pada ulangan uji tuberkulin,
sebanyak 24 kasus menjadi positif setelah adanya perbaikan klinis. Pemeriksaan
sputum atau bilas lambung dan kultur M. tuberculosis tetap penting dilakukan.
Pemeriksaan M. tuberculosis akan menunjukkan hasil positif pada 30−50%
pasien. Akan tetapi, untuk diagnosis dini, pemeriksaan sputum atau bilas lambung
kurang sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan bakteriologis dan histologis
dari biopsi hepar atau sumsum tulang. Untuk menentukan diagnosis meningitis
TB, sebaiknya dilakukan pungsi lumbal pada setiap pasien TB milier walaupun
belum timbul kejang atau penurunan kesadaran. Tatalaksana medikamentosa TB
milier adalah pemberian 4−5 macam OAT selama 2 bulan pertama, dilanjutkan
dengan isoniazid dan rifampisin selama 6−10 bulan sesuai dengan perkembangan
klinis. Dosis OAT dapat dilihat pada Tabel 2.4. Kortikosteroid (prednison)
diberikan pada TB milier, meningitis TB, perikarditis TB, efusi pleura, dan
peritonitis TB. Prednison biasanya diberikan dengan dosis 1−2 mg/kg BB/hari
selama 2−4 minggu, kemudian diturunkan perlahan-lahan (tappering off) selama
2−6 minggu. Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya
berjalan lambat. Respons keberhasilan terapi antara lain adalah menghilangnya
demam setelah 2−3 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan
kualitas hidup sehari-hari, dan peningkatan BB. Gambaran milier pada foto toraks
biasanya menghilang dalam 1 bulan, kadang-kadang berangsur-angsur
menghilang dalam 5−10 minggu, tetapi mungkin saja belum ada perbaikan hingga
beberapa bulan.
2.5 Pemeriksaan Penunjang TB pada Anak1,2,3,9,10

22
Beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis TB pada anak:
a. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis TB
pada anak, khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak jelas. Uji
tuberkulin tidak bisa membedakan antara infeksi dan sakit TB. Hasil positif uji
tuberkulin menunjukkan adanya infeksi dan tidak menunjukkan ada tidaknya sakit
TB. Sebaliknya, hasil negatif uji tuberkulin belum tentu menyingkirkan diagnosis
TB.
Pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya infeksi TB adalah dengan
Imunoglobulin Release Assay (IGRA). IGRA tidak dapat membedakan antara
infeksi TB laten dengan TB aktif. Penggunaannya untuk deteksi infeksi TB tidak
lebih unggul dibandingkan mcrckomcndasikan penggunaan IGRA di lapangan.
b. Foto toraks
Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas kecuali
gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB
adalah sebagai berikut:
1) Pembesaran kelenjar hilus infiltrat (visualisasinya selain dengan foto
toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)
2) Konsolidasi segmental/lobar
3) Efusi pleura atau paratrakeal dengan/tanpa
4) Milier
5) Atelektasis
6) Kavitas
7) Kalsifikasi dengan infiltrate
8) Tuberkuloma.
c. Pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi)
Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis
perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan
atau kuman TB. Pemeriksaan serologi TB (misalnya Ig G TB, PAP TB, ICT TB,
MycoDOT, dsb) tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai

23
sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan
Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode
serologi untuk penegakan diagnosis TB.
D.Alur diagnosis TB pada anak
Secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada hal,
yaitu:
1. Konfirmasi bakteriologis TB
2. Gejala klinis yang khas TB
3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat
dengan pasien TB)
4. Gambaran foto toraks sugestif TB.
Indonesia telah menyusun sistem skoring untuk membantu menegakkan
diagnosis TB pada anak (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Sistem Skoring TB anak1

Parameter Sistem Skoring:


1 Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis
hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB
01 atau dari hasil laboratorium.

24
2 Penentuan status gizi:
a. Berat badan dan panjang/tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment
opname).
b. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U.
Penentuan status gizi untuk anak usia s 6 tahun merujuk pada buku KIA
Kemenkes 2016, sedangkan untuk anak usia > 6 tahun merujuk pada standar
WHO 2005 yaitu grafik IMT/U.
c. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1-2
bulan.
Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam
mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga
mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB. Sistcm skoring
ini diharapkan dapat diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan primer, tetapi
tidak semua fasilitas pelayanan kesehatan primer di Indonesia mempunyai sarana
untuk melakukan uji tuberkulin dan foto toraks yang merupakan parameter pada
sistem skoring.
Oleh karena itu pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas
atau dengan akses yang sulit untuk pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks,
diagnosis TB pada anak dapat ditegakkan tanpa menggunakan sistem skoring
seperti pada alur diagnosis TB anak (Gambar 2.2). Alur diagnosis TB ini
digunakan untuk penegakan diagnosis TB pada anak yang bergejala TB, baik
dengan maupun tanpa kontak TB. Pada anak yang tidak bergejala tetapi kontak
dengan pasien TB dewasa, pendekatan tata laksananya menggunakan alur
investigasi kontak.

25
Gambar 2.2 Alur Penegakan Diagnosa TB Anak1
Keterangan:
* Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan sputum
**) Kontak TB paru dewasa dan kontak TB paru anak terkonfirmasi bakteriologis
***)Evaluasi respon pengobatan. Jika tidak ada respon dengan pengobatan
adekuat, evaluasi ulang diagnosis TB dan adanya komorbiditas atau rujuk
Jadi, pintu masuk alur ini adalah anak dengan gejala TB. Pada fasilitas
pelayanan kesehatan dengan sarana yang lengkap, semua pemeriksaan pcnunjang
scharusnya dilakukan, tcrmasuk pcmcriksaan sputum. Langkah awal pada alur
diagnosis TB adalah pengambilan dan pemeriksaan sputum:
1) Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM, sesuai dengan fasilitas yang
tersedia) positif, anak didiagnosis TB dan diberikan OAT.
2) Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM) negatif atau spesimen tidak
dapat diambil, lakukan pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks maka:
a. Jika tidak ada fasilitas atau tidak ada akses untuk uji tuberkulin dan foto toraks:
9) Jika anak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB menular, anak dapat
didiagnosis TB dan diberikan OAT.
10) Jika tidak ada riwayat kontak, lakukan observasi klinis selama 2- 4 minggu.
Bila pada follow up gejala menetap, rujuk anak untuk pemeriksaan uji
tuberkulin dan foto toraks.

26
b. Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberkulin dan foto toraks, hitung skor total
menggunakan sistem skoring:
1) Jika skor total > 6 > diagnosis TB dan obati dengan OAT
2) Jika skor total < 6, dengan uji tuberkulin positif atau ada kontak erat >
diagnosis TB dan obati dengan OAT
3) Jika skor total < 6, dan uji tuberkulin negatif atau tidak ada kontak erat →
observasi gejala selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi ulang
kemungkinan diagnosis TB atau rujuk ke faislitas pelayanan kesehatan yang
lebih tinggi.
Catatan penggunaan alur diagnosis TB anak:
Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan:
1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya:
a. Kejang, kaku kuduk
b. Penurunan kesadaran
c. Kegawatan lain, misalnya sesak napas
2.6 Tatalaksana TB pada Anak1,2,9
Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan TB dewasa, dengan tujuan
utama pemberian obat anti TB sebagai berikut:
1. Menyembuhkan pasien TB
2. Mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjangnya
3. Mencegah TB relaps
4. Mencegah terjadinya dan transmisi resistensi obat
5. Menurunkan transmisi TB
6. Mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas seminimal
mungkin
7. Mencegah reservasi sumber infeksi di masa yang akan datang
Beberapa hal penting dalam tata laksana TB Anak adalah:
1. Obat TB diberikan dalam paduan obat, tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi.

27
2. Pengobatan diberikan setiap hari.
3. Pemberian gizi yang adekuat.
4. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditata laksana secara bersamaan.
A. Obat yang digunakan pada TB anak
1.Obat anti tuberkulosis (OAT)
Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit (pausibasiler)
sehingga rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase intensif hanya
diberikan kepada anak dengan BTA positif, TB berat dan TB tipe dewasa. Terapi
TB pada anak dengan BTA negatif menggunakan paduan INH, Rifampisin, dan
Pirazinamid pada fase inisial (2 bulan pertama) diikuti Rifampisin dan INH pada 4
bulan fase lanjutan.

Tabel 2.2 Dosis OAT pada Anak1

Tabel 2.3 Paduan OAT dan lama pengobatan TB pada Anak1

28
Tabel 2.4 Dosis OAT Kombinasi Dosis Tetap (KDT) pada TB anak1

Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
1. Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk KDT
dan sebaiknya dirujuk ke RS
2. Apabila ada kenaikan BB maka dosis atau jumlah tablet yang diberikan
disesuaikan dengan berat badan saat itu
3. Untuk anak dengan obesitas, dosis KDT berdasarkan Berat Badan ideal
(sesuai umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
4. OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh
digerus)
5. Obat dapat diberikan dengan ditelan utuh, cara dikunyah/dikulum (chewable),
atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
6. Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
7. Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari
8. Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada kondisi :
a. TB meningitis

29
b. sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar (endobronkhial TB)
c. perikarditis TB
d. TB milier dengan gangguan napas yang berat,
e. efusi pleura TB
f. TB abdomen dengan asites.
Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kg/ hari,
sampai 4 mg/kg/hari pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60 mg/hari
selama 4 minggu. Tappering-off dilakukan sccara bcrtahap sctelah 2 minggu
pemberian kccuali pada TB meningitis pemberian selama 4 minggu sebelum
tappering-off.
Piridoksin Isoniazid dapat menycbabkan defisiensi piridoksin
simptomatik, terutama pada anak dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV
yang mendapatkan anti retroviral therapy (ART) Suplementasi piridoksin (5-10
mg/hari) direkomendasikan pada HIV positif dan malnutrisi berat.
B. Nutrisi
Status gizi pada anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan
pengobatan TB. Malnutrisi berat meningkatkan risiko kematian pada anak dengan
TB. Penilaian status gizi harus dilakukan secara rutin selama anak dalam
pengobatan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi, lingkar lengan
atas atau pengamatan gejala dan tanda malnutrisi seperti edema atau muscle
wasting. Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan selama pengobatan.
Jika tidak memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai anak stabil
dan TB dapat di atasi. Air susu ibu tetap diberikan jika anak masih dalam masa
menyusu.

30
BAB III
KESIMPULAN

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.Tuberculosis ekstra paru
adalah tuberculosis yang menyerang organ tubuh selain jaringan paru,misalnya
pleura (selaput paru), selaput otak, selaput jantung, kelejar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Pada keadaan yang terakhir ini, bakteri yang berperan adalah
Mycobacterium bovis. Terjadinya peningkatan kasus ini disebabkan dipengaruhi
oleh daya tahan tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu dan kepadatan
hunian lingkungan tempat tinggal. Penyakit tuberkulosis ini dijumpai disemua
bagian penjuru dunia. Di beberapa Negara telah terjadi penurunan angka kesakitan
dan kematiannya. Angka kematian berkisar dari kurang 5 - 100 kematian per
100.000 penduduk pertahun. Angka kesakitan dan kematian meningkat 100.000
penduduk.

31
Faktor risiko penularan TB pada anak sama halnya dengan TB pada
umumnya, tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan, dan daya tahan tubuh.
Penegakan diagnosa TB pada anak umumnya tidak begitu mudah, sehingga
pengenalan terhadap gejala klinis dan perjalanan penyakit yang didukung dengan
hasil pemeriksaan penunjang, diharapkan dapat membantu mengatasi TB pada
anak.
Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan TB dewasa, dengan tujuan
utama pemberian obat anti TB sebagai berikut: menyembuhkan pasien tb,
mencegah kematian akibat tb atau efek jangka panjangnya ,mencegah tb relaps ,
mencegah terjadinya dan transmisi resistensi obat ,menurunkan transmisi tb ,
mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas seminimal mungkin,
mencegah reservasi sumber infeksi di masa yang akan datang.
Beberapa hal penting dalam tata laksana TB Anak adalah: obat tb diberikan
dalam paduan obat, tidak boleh diberikan sebagai monoterapi. pengobatan
diberikan setiap hari. pemberian gizi yang adekuat. mencari penyakit penyerta,
jika ada ditata laksana secara bersamaan.

DAFTAR PUSTAKA

1. KEMENKES RI. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB Anak.


Bakti Husada.2016
2. Buku Pegangan Pembimbing. Tuberkulosis Anak, FK UNAIR diunduh
September 2020 dari http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-
content/uploads/2017/03/RS13_TB-Paru-Q.pdf
3. World Health Federation ( WHO).Guidline for national tuberculosis
programmes in the management of tuberculosis in children. 2014
4. KEMENKES RI. Konsensus Pengelolaan Tuberkulosis dan Diabetes
Melitus ( TB-DM) Di Indonesia. 2015
5. Asti Retno W. Patofisiologi, Diagnosis dan klasifikasi Tuberkulosis.
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi dan Keluarga.
FKUI.2013
6. McKenna Lindsay. Pipeline Report. Pediatric Tuberculosis Diagnosis,
treatment and Prevention. Treatment Action Group.2019
7. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta. 2013
8. Sjamsuhidajat. R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Penerbit
Buku Kedokteran. EGC. Jakarta. 2005.

32
9. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.Pedoman
Bagi RS Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta : 2009.
10. Behrman, Kliegman , Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15.
Jakarta: EGC. 2000

33

Anda mungkin juga menyukai