Anda di halaman 1dari 41

Clinical Science Session

* Program Studi Profesi Dokter / Juli 2020


** Pembimbing / dr. H. Ali Imran Lubis, Sp. Rad

GAMBARAN CT-SCAN COVID-19

Oleh:
Hairon Dhiyaulhaq, S.Ked*
G1A219067

Pembimbing:
dr. H. Ali Imran Lubis, Sp. Rad**

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN RADIOLOGI RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
LEMBAR PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION


GAMBARAN CT-SCAN COVID-19

Oleh:
Hairon Dhiyaulhaq, S. Ked
G1A218080

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN RADIOLOGI RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020

Jambi, Juli 2020


Pembimbing:

dr. H. Ali Imran Lubis, Sp. Rad **

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat / Clinical Science
Session (CSS) yang berjudul “Gambaran CT-Scan COVID-19” sebagai salah satu
syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Radiologi di Rumah
Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Ali Imran Lubis, Sp. Rad
yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Radiologi di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada referat / Clinical
Science Session (CSS) ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Penulis mengharapkan semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri dan pembaca.

Jambi, Juli 2020

Penulis

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN

Beberapa kasus pneumonia dengan asal yang tidak dikenal muncul dari
Wuhan, Cina, dan dilaporkan ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 31
Desember 2019. Pada tanggal 7 Januari 2020, coronavirus novel 2019 (2019-
nCoV; kemudian berganti nama menjadi Severe Acute Respiratory Sindrom
Corona Virus-2 [SARSCoV- 2]) dikonfirmasi sebagai penyebab dari kasus yang
dilaporkan ini, dan wabah itu kemudian dinamai penyakit corona virus (COVID-
19).1
Pada mulanya transmisi virus ini belum dapat ditentukan apakah dapat
melalui antara manusia-manusia. Jumlah kasus terus bertambah seiring dengan
waktu. Selain itu, terdapat kasus 15 petugas medis terinfeksi oleh salah satu
pasien. Salah satu pasien tersebut dicurigai kasus “super spreader”. Akhirnya
dikonfirmasi bahwa transmisi pneumonia ini dapat menular dari manusia ke
manusia. Sampai saat ini virus ini dengan cepat menyebar masih misterius dan
penelitian masih terus berlanjut.2
Pada tanggal 9 April 2020, telah terkonfirmasi sebanyak 1.395.136 total
kasus diseluruh dunia, dengan jumlah kematian sebanyak 81.580 jiwa dan jumlah
kesembuhan sebanyak 330.782. Negara dengan jumlah kasus terbanyak terdapat
di Amerika Serikat, Spanyol, Itali, Jerman, dan Cina. Jumlah kasus ini akan terus
bertambah akan seiringnya waktu dimana setiap negara masih melakukan
pemindaian terhadap masyarakatnya.3
Untuk Indonesia sendiri pada tanggal 9 April 2020, tercatat sebanyak 3.293
jumlah kasus yang terkonfirmasi, dengan jumlah kematian sebanyak 280 jiwa
(8,503%) dan jumlah kesembuhan sebanyak 252 jiwa (7,653%). Untuk Provinsi
dengan jumlah kasus terbanyak terdapat pada DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Timur, Banten, dan Jawa Tengah. Segala macam cara untuk menghentikan
penyebaran dari virus ini telah dilakukan oleh pemerintah, baik dari physical
distancing, aturan jam malam, hingga pembatasan sosial berskala besar (PSBB),
tetapi jumlah kasusnya tetap meningkat.4
Penyakit ini disebabkan oleh sebuah virus baru yaitu SARS-CoV-2 yang
didapatkan pertama kali di pasar seafood Huanan di Wuhan China. SARS- CoV-2
telah terbukti menginfeksi sel epitel pernapasan manusia melalui interaksi antara
protein S virus dan reseptor angiotensin converting enzyme 2 pada sel manusia.
Dengan demikian, SARS-CoV-2 memiliki kemampuan yang kuat untuk
menginfeksi manusia.
Gambaran klinis yang terlihat dari pasien dengan COVID-19 memiliki
gejala seperti penyakit saluran pernapasan bagian bawah dengan demam, batuk
kering, dan dispnea (sesak nafas), manifestasi ini mirip dengan dua penyakit lain
yang disebabkan oleh coronavirus yaitu SARS dan MERS. Namun, perubahan
radiologis pada paru-paru orang dengan pneumonia COVID-19 belum sepenuhnya
ditandai. CT-Scan penting dalam diagnosis dan pengobatan penyakit paru-paru.
Dalam berbagai pengalaman yang telah dilakukan, pencitraan pneumonia COVID-
19 beragam, mulai dari penampilan normal hingga perubahan difus di paru-paru.
Selain itu, pola radiologis yang berbeda diamati pada waktu yang berbeda
sepanjang perjalanan penyakit. Pengenalan dini penyakit sangat penting untuk
pengelolaan pasien ini.5 Oleh karena itu, penulis ingin sedikit mengulas mengenai
gambaran CT-Scan pada pasien COVID-19 dalam referat kali ini.

2
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) didefinisikan sebagai penyakit yang
disebabkan oleh coronavirus baru yang sekarang disebut Severe Acute Respiratory
Syndrome 2 (SARS-CoV-2; sebelumnya disebut 2019-nCoV), yang pertama kali
diidentifikasi di tengah merebaknya kasus penyakit pernapasan di Kota Wuhan,
Provinsi Hubei, Cina. Penyakit yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 baru-baru ini
disebut COVID-19 oleh WHO, akronim baru yang berasal dari "Corona Virus
Disease 2019." Nama itu dipilih untuk menghindari stigmatisasi asal virus dalam
hal populasi, geografi, atau asosiasi hewan.6
2.2 Epidemiologi
Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus COVID-19 di
China setiap hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga awal Februari
2020. Awalnya kebanyakan laporan datang dari Hubei dan provinsi di sekitar,
kemudian bertambah hingga ke provinsi-provinsi lain dan seluruh China. Tanggal
30 Januari 2020, telah terdapat 7.736 kasus terkonfirmasi COVID-19 di China.7
Pada tanggal 9 April 2020, COVID-19 telah dikonfirmasi terdapat 1.395.136
total kasus diseluruh dunia, dengan jumlah kematian sebanyak 81.580 jiwa di
seluruh dunia. Lebih dari 180 negara telah melaporkan kasus COVID-19 yang
dikonfirmasi laboratorium di semua benua kecuali Antartika. Jumlah kasus
terbanyak terdapat di Amerika Serikat, Spanyol, Itali, Jerman, dan Cina. Italia
memiliki tingkat mortalitas paling tinggi di dunia, yaitu 12,7%.3, 7, 8
COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020
sejumlah dua kasus. Data 9 April 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi
berjumlah 3.293 kasus dan 280 kasus kematian. Tingkat mortalitas COVID-19 di
Indonesia sebesar 8,503%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia
Tenggara.4,7
Sampai saat ini, beberapa laporan wabah telah mencatat hemat relatif
populasi anak-anak, terutama dari penyakit parah. Sementara laporan kasus (dan
4

baru-baru ini laporan berita dari Chicago) menggambarkan penyakit parah pada
anak-anak,
ini jarang terjadi dan sering dikaitkan dengan komorbiditas.6
Dari 149.082 kasus COVID-19 yang dikonfirmasi laboratorium di mana usia
pasien diketahui dilaporkan antara 12 Februari dan 2 April 2020, di Amerika
Serikat, 2.572 kasus (1,7%) melibatkan anak-anak (<18 tahun). Di antara sebagian
kecil kasus di mana gejala pasien, kondisi yang mendasarinya, dan status rawat
inap diketahui, 73% anak-anak dengan COVID-19 mengalami demam, batuk, atau
sesak napas (dibandingkan 93% pada orang dewasa berusia 18-65 tahun) dan 20%
dirawat di rumah sakit (dibandingkan 33% pada orang dewasa). Anak-anak yang
lebih tua menyumbang jumlah rawat inap yang lebih besar daripada anak-anak
yang lebih muda (karena keseluruhan infeksi lebih banyak), tetapi proporsi
terbesar rawat inap di antara anak-anak melibatkan anak-anak di bawah 1 tahun.
Tiga anak meninggal karena komplikasi COVID-19. Temuan penelitian ini terus
menguatkan pengamatan bahwa anak-anak cenderung kurang bergejala dan bisa
melewatkan infeksi.6
Zhu et al menganalisis hasil 10 neonatus yang lahir dari ibu dengan COVID-
19 yang dikonfirmasi. Dari 9 ibu (satu melahirkan kembar), 4 adalah gejala
sebelum melahirkan, 2 menjadi gejala saat melahirkan, dan 3 mengembangkan
gejala pada periode postpartum. Sembilan dari 10 neonatus dites negatif COVID-
19 dari 1-9 hari setelah persalinan. Satu ibu meninggal, 5 dipulangkan, dan 4
dirawat di rumah sakit. Bayi-bayi paling sering mengalami gangguan pernapasan,
tetapi fungsi hati abnormal dan trombositopenia sadar juga diamati. Kelahiran
prematur diamati pada 6 wanita, konsisten dengan laporan kasus oleh Wang et al.6
Chen et al melaporkan data pada 9 wanita hamil dengan COVID-19 dengan
kelahiran hidup yang dilahirkan melalui persalinan sesar di Wuhan, Cina. [49]
Tujuh dari 9 wanita mengalami demam; gejala lain termasuk batuk (4 dari 9
pasien), mialgia (3), sakit tenggorokan (2), dan malaise (2). Lima dari sembilan
pasien menderita limfopenia (<1,0 × 109 sel / L). Tiga pasien mengalami
peningkatan konsentrasi aminotransferase. Tidak ada pasien yang mengalami
pneumonia COVID-19 yang parah atau meninggal pada 4 Februari 2020. Di
antara 9 neonatus, 2 dilaporkan memiliki gawat janin. Semua bernasib baik,
dengan skor Apgar yang sangat baik. Cairan ketuban, darah tali pusat, usap

4
tenggorokan neonatal, dan sampel ASI dari 6 neonatus diuji untuk SARS-CoV-2,
semuanya dengan hasil negatif.6
2.3 Etiologi
Penyebab dari penyakit COVID-19 ini adalah Coronavirus. Virus ini
utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah kelelawar dan unta.
Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak
bersegmen. Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae.
Coronaviridae dibagi dua subkeluarga dibedakan berdasarkan serotipe dan
karakteristik genom. Terdapat empat genus yaitu alpha coronavirus,
betacoronavirus, deltacoronavirus dan gamma coronavirus. Coronavirus yang
menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus betacoronavirus. Hasil analisis
filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang sama
dengan coronavirus yang menyebabkan wabah Severe Acute Respiratory Illness
(SARS) pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. Atas dasar ini, International
Committee on Taxonomy of Viruses mengajukan nama SARS-CoV-2.2, 7
Coronavirus memiliki kapsul, partikel berbentuk bulat atau elips, sering
pleimorfik dengan diameter sekitar 50-200m. Semua virus ordo Nidovirales
memiliki kapsul, tidak bersegmen, dan virus positif RNA serta memiliki genom
RNA sangat panjang. Struktur coronavirus membentuk struktur seperti kubus
dengan protein S berlokasi di permukaan virus. Protein S atau spike protein
merupakan salah satu protein antigen utama virus dan merupakan struktur utama
untuk penulisan gen. Protein S ini berperan dalam penempelan dan masuknya
virus kedalam sel host (interaksi protein S dengan reseptornya di sel inang).
Coronavirus bersifat sensitif terhadap panas dan secara efektif dapat diinaktifkan
oleh desinfektan mengandung klorin, pelarut lipid dengan suhu 56℃ selama 30
menit, eter, alkohol, asam perioksiasetat, detergen non-ionik, formalin, oxidizing
agent dan kloroform. Klorheksidin tidak efektif dalam menonaktifkan virus.2

5
Gambar 1. Struktur Coronavirus

Saat ini, penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi sumber


transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. Transmisi SARS-
CoV-2 dari pasien simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat batuk atau
bersin. Virus yang dikeluarkan dalam cairan pernapasan dapat menginfeksi orang
lain melalui kontak langsung dengan selaput lendir. Tetesan biasanya tidak bisa
berjalan lebih dari 6 kaki. Selain itu, telah diteliti bahwa SARS-CoV-2 dapat
viabel pada aerosol (dihasilkan melalui nebulizer) selama setidaknya 3 jam. WHO
memperkirakan reproductive number (R0) COVID-19 sebesar 1,4 hingga 2,5.
Namun, studi lain memperkirakan R0 sebesar 3,28.6, 7
Beberapa laporan kasus menunjukkan dugaan penularan dari karier
asimtomatis, namun mekanisme pastinya belum diketahui. Kasus-kasus terkait
transmisi dari karier asimtomatis umumnya memiliki riwayat kontak erat dengan
pasien COVID-19. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan efektivitas isolasi.
Zou et al mengikuti ekspresi virus melalui infeksi melalui usap hidung dan
tenggorokan pada kelompok pasien yang kecil. Mereka menemukan peningkatan
viral load pada saat pasien menjadi simtomatik. Satu pasien tidak pernah
mengalami gejala tetapi mulai melepaskan virus pada hari ke 7 setelah diduga
terinfeksi. Beberapa peneliti melaporan infeksi SARS-CoV-2 pada neonatus.
Namun, transmisi secara vertikal dari ibu hamil kepada janin belum terbukti pasti
dapat terjadi. Bila memang dapat terjadi, data menunjukkan peluang transmisi

6
vertikal tergolong kecil. Pemeriksaan virologi cairan amnion, darah tali pusat, dan
air susu ibu pada ibu yang positif COVID-19 ditemukan negatif.6, 7
SARS-CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran cerna berdasarkan hasil
biopsi pada sel epitel gaster, duodenum, dan rektum. Virus dapat terdeteksi di
feses, bahkan ada 23% pasien yang dilaporkan virusnya tetap terdeteksi dalam
feses walaupun sudah tak terdeteksi pada sampel saluran napas. Kedua fakta ini
menguatkan dugaan kemungkinan transmisi secara fekal-oral.7
Stabilitas SARS-CoV-2 pada benda mati tidak berbeda jauh dibandingkan
SARS-CoV. Eksperimen yang dilakukan van Doremalen, dkk. menunjukkan
SARSCoV-2 lebih stabil pada bahan plastik dan stainless steel (>72 jam)
dibandingkan tembaga (4 jam) dan kardus (24 jam). Studi lain di Singapura
menemukan pencemaran lingkungan yang ekstensif pada kamar dan toilet pasien
COVID-19 dengan gejala ringan. Virus dapat dideteksi di gagang pintu, dudukan
toilet, tombol lampu, jendela, lemari, hingga kipas ventilasi, namun tidak pada
sampel udara.7
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Kebanyakan Coronavirus menginfeksi hewan dan bersirkulasi di hewan.
Coronavirus menyebabkan sejumlah besar penyakit pada hewan dan
kemampuannya menyebabkan penyakit berat pada hewan seperti babi, sapi, kuda,
kucing dan ayam. Coronavirus disebut dengan virus zoonotik yaitu virus yang
ditransmisikan dari hewan ke manusia. Banyak hewan liar yang dapat membawa
patogen dan bertindak sebagai vektor untuk penyakit menular tertentu. Pada
SARS dan MERS, bersumber utama pada kalelawar. Secara umum, alur
Coronavirus dari hewan ke manusia dan dari manusia ke manusia melalui
transmisi kontak, transmisi droplet, rute feses dan oral.2
Patogenesis SARS-CoV-2 masih belum banyak diketahui, tetapi diduga
tidak jauh berbeda dengan SARS-CoV yang sudah lebih banyak diketahui. Pada
manusia, SARS-CoV-2 terutama menginfeksi sel-sel pada saluran napas yang
melapisi alveoli. SARS-CoV-2 akan berikatan dengan reseptor-reseptor dan
membuat jalan masuk ke dalam sel. Glikoprotein yang terdapat pada envelope
spike virus akan berikatan dengan reseptor selular berupa ACE2 pada SARS-CoV-

7
2. Di dalam sel, SARS-CoV-2 melakukan duplikasi materi genetik dan
mensintesis protein-protein yang dibutuhkan, kemudian membentuk virion baru
yang muncul di permukaan sel.7
Sama dengan SARS-CoV, pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus masuk
ke dalam sel, genom RNA virus akan dikeluarkan ke sitoplasma sel dan
ditranslasikan menjadi dua poliprotein dan protein struktural. Selanjutnya, genom
virus akan mulai untuk bereplikasi. Glikoprotein pada selubung virus yang baru
terbentuk masuk ke dalam membran retikulum endoplasma atau Golgi sel. Terjadi
pembentukan nukleokapsid yang tersusun dari genom RNA dan protein
nukleokapsid. Partikel virus akan tumbuh ke dalam retikulum endoplasma dan
Golgi sel. Pada tahap akhir, vesikel yang mengandung partikel virus akan
bergabung dengan membran plasma untuk melepaskan komponen virus yang
baru.7
Pada SARS-CoV, Protein S dilaporkan sebagai determinan yang signifikan
dalam masuknya virus ke dalam sel pejamu. Telah diketahui bahwa masuknya
SARS-CoV ke dalam sel dimulai dengan fusi antara membran virus dengan
plasma membran dari sel. Pada proses ini, protein S2’ berperan penting dalam
proses pembelahan proteolitik yang memediasi terjadinya proses fusi membran.
Selain fusi membran, terdapat juga clathrindependent dan clathrin independent
endocytosis yang memediasi masuknya SARS-CoV ke dalam sel pejamu.7
Faktor virus dan pejamu memiliki peran dalam infeksi SARS-CoV. Efek
sitopatik virus dan kemampuannya mengalahkan respons imun menentukan
keparahan infeksi. Disregulasi sistem imun kemudian berperan dalam kerusakan
jaringan pada infeksi SARS-CoV-2. Respons imun yang tidak adekuat
menyebabkan replikasi virus dan kerusakan jaringan. Di sisi lain, respons imun
yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan jaringan.7
Respons imun yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 juga belum sepenuhnya
dapat dipahami, namun dapat dipelajari dari mekanisme yang ditemukan pada
SARS-CoV dan MERS-CoV. Ketika virus masuk ke dalam sel, antigen virus akan
dipresentasikan ke antigen presentation cells (APC). Presentasi antigen virus
terutama bergantung pada molekul major histocompatibility complex (MHC)

8
kelas I. Namun, MHC kelas II juga turut berkontribusi. Presentasi antigen
selanjutnya menstimulasi respons imunitas humoral dan selular tubuh yang
dimediasi oleh sel T dan sel B yang spesifik terhadap virus. Pada respons imun
humoral terbentuk IgM dan IgG terhadap SARS-CoV. IgM terhadap SAR-CoV
hilang pada akhir minggu ke-12 dan IgG dapat bertahan jangka panjang. Hasil
penelitian terhadap pasien yang telah sembuh dari SARS menujukkan setelah 4
tahun dapat ditemukan sel T CD4+ dan CD8+ memori yang spesifik terhadap
SARS-CoV, tetapi jumlahnya menurun secara bertahap tanpa adanya antigen.7
Virus memiliki mekanisme untuk menghindari respons imun pejamu.
SARS-CoV dapat menginduksi produksi vesikel membran ganda yang tidak
memiliki pattern recognition receptors (PRRs) dan bereplikasi dalam vesikel
tersebut sehingga tidak dapat dikenali oleh pejamu. Jalur IFN-I juga diinhibisi
oleh SARS-CoV dan MERS-CoV. Presentasi antigen juga terhambat pada infeksi
akibat MERS-CoV.7
Secara patofisiologi, pemahaman mengenai COVID-19 masih perlu studi
lebih lanjut. Pada SARS-CoV-2 ditemukan target sel kemungkinan berlokasi di
saluran napas bawah. Virus SARS-CoV-2 menggunakan ACE-2 sebagai reseptor,
sama dengan pada SARS-CoV. Sekuens dari RBD (Reseptor-binding domain)
termasuk RBM (receptorbinding motif) pada SARS-CoV-2 kontak langsung
dengan enzim ACE 2 (angiotensin-converting enzyme 2). Hasil residu pada
SARS-CoV-2 RBM (Gln493) berinteraksi dengan ACE 2 pada manusia, konsisten
dengan kapasitas SARS-CoV-2 untuk infeksi sel manusia. Beberapa residu kritis
lain dari SARS-CoV-2 RBM (Asn501) kompatibel mengikat ACE2 pada manusia,
menunjukkan SARS-CoV-2 mempunyai kapasitas untuk transmisi manusia ke
manusia. Analisis secara analisis filogenetik kelelawar menunjukkan SARS-CoV-
2 juga berpotensi mengenali ACE 2 dari beragam spesies hewan yang
menggunakan spesies hewan ini sebagai inang perantara. Pada penelitian 41
pasien pertama pneumonia COVID-19 di Wuhan ditemukan nilai tinggi dari IL1β,
IFNγ, IP10, dan MCP1, dan kemungkinan mengaktifkan respon sel T-helper-1
(Th1). Selain itu, berdasarkan studi terbaru ini, pada pasien-pasien yang
memerlukan perawatan di ICU ditemukan konsentrasi lebih tinggi dari GCSF,

9
IP10, MCP1, MIP1A, dan TNFα dibandingkan pasien yang tidak memerlukan
perawatan di ICU. Hal tersebut mendasari kemungkinan adanya cytokine storm
yang berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit. Selain itu, pada infeksi SARS-
CoV2 juga menginisiasi peningkatan sekresi sitokin T-helper-2 (seperti IL4 dan
IL10) yang berperan dalam menekan inflamasi, yang berbeda dengan infeksi
SARS-CoV.2
2.5 Manifestasi Klinis
Spektrum klinis COVID-19 bervariasi dari bentuk asimptomatik atau
paucisimptomatik hingga kondisi klinis yang ditandai oleh kegagalan pernapasan
yang memerlukan ventilasi mekanis dan dukungan di unit perawatan intensif
(ICU), hingga manifestasi multiorgan dan sistemik dalam hal sepsis, syok septik,
dan multipel sindrom disfungsi organ (MODS).9
Penyakit pernapasan muncul seperti flu, demam, batuk, mialgia, dan
kelelahan adalah gejala yang paling umum terjadi. Ciri-ciri lain termasuk dispnea,
sakit kepala, malaise, gejala gastrointestinal (GI) non-spesifik seperti nyeri perut,
mual, diare. Gejala GI diduga disebabkan oleh pengikatan glikoprotein virus
dengan reseptor enzim pengonversi angiotensin (ACE2) usus.7
COVID-19 dapat berkisar dari penyakit tanpa gejala dan ringan hingga
penyakit parah. Sebagian besar pasien memiliki penyakit yang tidak rumit,
pneumonia ringan sampai sedang. Beberapa pasien memiliki penyakit pernapasan
akut yang parah (SARI) yang meliputi pneumonia berat, ARDS, sepsis, dan syok
septik. CDC Cina telah menerbitkan data COVID-19 yang menunjukkan 80,9%
kasus ringan. Penyakit parah dan kasus kritis masing-masing adalah 13,8% dan
4,7%.7
Penyakit kritis termasuk kegagalan pernafasan, syok septik, dan kegagalan
multi-organ. Mayoritas kematian diamati pada usia> 60 tahun dan / atau yang
pernah mengalami kondisi komorbiditas sebelumnya seperti hipertensi, penyakit
kardiovaskular, dan diabetes. Tingkat fatalitas kasus tertinggi di antara kasus kritis
di 49%. Di antara kondisi komorbiditas, penyakit kardiovaskular lebih tinggi
(10,5%). Petugas kesehatan (petugas kesehatan) juga terpengaruh (3,8%) dan
kematian 0,5%.7

10
Para penulis laporan CDC Cina membagi manifestasi klinis penyakit dengan
tingkat keparahan di sana:9
a. Penyakit ringan: non-pneumonia dan pneumonia ringan; ini terjadi
pada 81% kasus.
b. Penyakit berat: dispnea, frekuensi pernapasan ≥ 30 / menit, saturasi
oksigen darah (SpO2) ≤ 93%, rasio PaO2 / FiO2 atau P / F [rasio
antara tekanan darah oksigen (tekanan parsial oksigen, PaO2) dan
persentase oksigen yang disuplai (fraksi oksigen terinspirasikan,
FiO2)] <300, dan / atau infiltrat paru> 50% dalam 24 hingga 48 jam;
ini terjadi pada 14% kasus.
c. Penyakit kritis: gagal pernapasan, syok septik, dan / atau disfungsi
organ multipel (MOD) atau kegagalan (MOF); ini terjadi pada 5%
kasus.
COVID-19 dapat muncul dengan penyakit ringan, sedang, atau berat. Di
antara manifestasi klinis yang parah, ada pneumonia berat, ARDS, sepsis, dan
syok septik.
Tidak berkomplikasi. Kondisi ini merupakan kondisi teringan. Gejala yang
muncul berupa gejala yang tidak spesifik. Gejala utama tetap muncul seperti
demam, batuk, dapat disertai dengan nyeri tenggorok, kongesti hidung, malaise,
sakit kepala, dan nyeri otot. Perlu diperhatikan bahwa pada pasien dengan lanjut
usia dan pasien immunocompromises presentasi gejala menjadi tidak khas atau
atipikal. Selain itu, pada beberapa kasus ditemui tidak disertai dengan demam dan
gejala relatif ringan. Pada kondisi ini pasien tidak memiliki gejala komplikasi
diantaranya dehidrasi, sepsis atau napas pendek.2
Pneumonia ringan. Gejala utama dapat muncul seperti demam, batuk, dan
sesak. Namun tidak ada tanda pneumonia berat. Pada anak-anak dengan
pneumonia tidak berat ditandai dengan batuk atau susah bernapas atau tampak
sesak disertai napas cepat atau takipneu tanpa adanya tanda pneumonia berat.9
Pneumonia Sedang. Gejala pernapasan seperti batuk dan sesak napas (atau

11
takipnea pada anak-anak) hadir tanpa tanda-tanda pneumonia berat.2

Pneumonia Berat. Demam berhubungan dengan dispnea berat, gangguan


pernapasan, takipnea (> 30 napas / menit), dan hipoksia (SpO2 <90% pada udara
kamar). Namun, gejala demam harus ditafsirkan dengan hati-hati karena bahkan
dalam bentuk penyakit yang parah, bisa sedang atau bahkan tidak ada. Sianosis
dapat terjadi pada anak-anak.2,9
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Diagnosis memerlukan
kriteria klinis dan ventilasi. Sindrom ini menunjukkan kegagalan pernapasan baru-
awal yang serius atau untuk memburuknya gambaran pernapasan yang sudah
diidentifikasi. Berbagai bentuk ARDS dibedakan berdasarkan derajat hipoksia.
Parameter referensi adalah PaO2 / FiO2:
a. ARDS ringan: 200 mmHg <PaO2 / FiO2 ≤ 300 mmHg. Pada pasien
yang tidak berventilasi atau pada pasien yang dikelola melalui
ventilasi non-invasif (NIV) dengan menggunakan end-
expiratorypressure (PEEP) positif atau tekanan saluran napas positif
terus menerus (CPAP) ≥ 5 cmH2O.
b. ARDS sedang: 100 mmHg <PaO2 / FiO2 ≤ 200 mmHg.
c. ARDS parah: PaO2 / FiO2 ≤ 100 mmHg.
Ketika PaO2 tidak tersedia, rasio SpO2 / FiO2 ≤ 315 menunjukkan ARDS.
Pencitraan dada yang digunakan termasuk radiografi dada, CT scan, atau USG
paru yang menunjukkan kekeruhan bilateral (infiltrat paru> 50%), tidak
sepenuhnya dijelaskan oleh efusi, lobar, atau kolaps paru. Meskipun dalam
beberapa kasus, skenario klinis dan data ventilator bisa menjadi sugestif untuk
edema paru, asal pernapasan primer edema terbukti setelah pengecualian gagal
jantung atau penyebab lain seperti kelebihan cairan. Ekokardiografi dapat
membantu untuk tujuan ini.2,9
Sepsis. Sepsis merupakan suatu kondisi respons disregulasi tubuh terhadap
suspek infeksi atau infeksi yang terbukti dengan disertai disfungsi organ. Tanda
disfungsi organ perubahan status mental, susah bernapas atau frekuensi napas
cepat, saturasi oksigen rendah, keluaran urin berkurang, frekuensi nadi meningkat,

12
nadi teraba lemah, akral dingin atau tekanan darah rendah, kulit mottling atau
terdapat bukti laboratorium koagulopati, trombositopenia, asidosis, tinggi laktat
atau hiperbilirubinemia.
Skor SOFA dapat digunakan untuk menentukan diagnosis sepsis dari nilai 0-
24 dengan menilai 6 sistem organ yaitu respirasi (hipoksemia melalui tekanan
oksigen atau fraksi oksigen), koagulasi (trombositopenia), liver (bilirubin
meningkat), kardivaskular (hipotensi), system saraf pusat (tingkat kesadaran
dihitung dengan Glasgow coma scale) dan ginjal (luaran urin berkurang atau
tinggi kreatinin). Sepsis didefinisikan peningkatan skor Sequential (Sepsis-related)
Organ Failure Assesment (SOFA) ≥ 2 poin.2
Syok septik. Definisi syok septik yaitu hipotensi persisten setelah resusitasi
volum adekuat sehingga diperlukan vasopressor untuk mempertahankan MAP ≥
65 mmHg dan serum laktat > 2 mmol/L.
Definisi syok septik pada anak yaitu hipotensi dengan tekanan sistolik <
persentil 5 atau >2 SD dibawah rata rata tekanan sistolik normal berdasarkan usia
atau diikuti dengan 2-3 kondisi berikut:2
a. Perubahan status mental
b. Bradikardia atau takikardia
 Pada balita: frekuensi nadi <90 x/menit atau >160x/menit
 Pada anak-anak: frekuensi nadi <70x/menit atau
>150x/menit26
c. Capillary refill time meningkat (>2 detik) atau vasodilatasi hangat
dengan bounding pulse
d. Takipnea
e. Kulit mottled atau petekia atau purpura
f. Peningkatan laktat
g. Oliguria
h. Hipertemia atau hipotermia
2.6 Alur Penegakan Diagnosis
A. Anamnesis
Pada anamnesis gejala yang dapat ditemukan yaitu, tiga gejala utama:

13
demam, batuk kering (sebagian kecil berdahak) dan sulit bernapas atau sesak. Tapi
perlu dicatat bahwa demam dapat tidak didapatkan pada beberapa keadaan,
terutama pada usia geriatri atau pada mereka dengan imunokompromis. Gejala
tambahan lainnya yaitu nyeri kepala, nyeri otot, lemas, diare dan batuk darah.
Pada beberapa kondisi dapat terjadi tanda dan gejala infeksi saluran napas akut
berat (Severe Acute Respiratory Infection-SARI). Definisi SARI yaitu infeksi
saluran napas akut dengan riwayat demam (suhu≥ 38 C) dan batuk dengan onset
dalam 10 hari terakhir serta perlu perawatan di rumah sakit. Tidak adanya demam
tidak mengeksklusikan infeksi virus.2
COVID-19 harus dipertimbangkan sebagai kemungkinan pada (1) pasien
dengan gejala saluran pernapasan dan demam yang baru timbul atau (2) pada
pasien dengan gejala saluran pernapasan bawah yang parah tanpa penyebab yang
jelas. Kecurigaan meningkat jika pasien tersebut telah berada di daerah dengan
transmisi komunitas SARS-CoV-2 atau telah melakukan kontak dekat dengan
seseorang dengan COVID-19 yang dikonfirmasi atau dicurigai dalam 14 hari
sebelumnya.6
B. Pemeriksaan Fisik
Pasien yang sedang diselidiki untuk COVID-19 harus dievaluasi di ruang
pribadi dengan pintu tertutup (ruang isolasi infeksi udara sangat ideal) dan diminta
untuk memakai masker bedah. Semua kontak standar dan tindakan pencegahan
melalui udara harus diperhatikan, dan petugas kesehatan yang merawat harus
mengenakan pelindung mata.6
Manifestasi serius paling umum dari COVID-19 pada presentasi awal adalah
pneumonia. Demam, batuk, dispnea, dan kelainan pada pencitraan dada adalah
umum dalam kasus ini.6
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tergantung ringan atau beratnya
manifestasi klinis.2
a. Tingkat kesadaran: kompos mentis atau penurunan kesadaran
b. Tanda vital: frekuensi nadi meningkat, frekuensi napas meningkat,
tekanan darah normal atau menurun, suhu tubuh meningkat. Saturasi
oksigen dapat normal atau turun.

14
c. Dapat disertai retraksi otot pernapasan
d. Pemeriksaan fisis paru didapatkan inspeksi dapat tidak simetris statis
dan dinamis, fremitus raba mengeras, redup pada daerah konsolidasi,
suara napas bronkovesikuler atau bronkial dan ronki kasar.
C. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lain seperti hematologi rutin, hitung jenis, fungsi
ginjal, elektrolit, analisis gas darah, hemostasis, laktat, dan prokalsitonin dapat
dikerjakan sesuai dengan indikasi. Trombositopenia juga kadang dijumpai,
sehingga kadang diduga sebagai pasien dengue. Yan, dkk.67 di Singapura
melaporkan adanya pasien positif palsu serologi dengue, yang kemudian diketahui
positif COVID-19. Karena gejala awal COVID-19 tidak khas, hal ini harus
diwaspadai.
2) Spesimen Saluran Napas Atas & Bawah
Untuk spesimen saluran napas atas diambil dengan swab tenggorok
(nasofaring dan orofaring). Sedangkan spesimen saluran napas bawah diambil
sputum, bilasan bronkus, BAL, bila menggunakan endotrakeal tube dapat berupa
aspirat endotrakeal.2
Setelah spesimen diambil, pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan antigen-antibodi atau bisa juga pemeriksaan virologi.
Untuk pemeriksaan virologi, metode yang dianjurkan untuk deteksi virus
adalah amplifikasi asam nukleat dengan real-time reversetranscription
polymerase chain reaction (rRTPCR) dan dengan sequencing. Sampel dikatakan
positif (konfirmasi SARS-CoV-2) bila rRT-PCR positif pada minimal dua target
genom (N, E, S, atau RdRP) yang spesifik SARSCoV-2; ATAU rRT-PCR positif
betacoronavirus, ditunjang dengan hasil sequencing sebagian atau seluruh genom
virus yang sesuai dengan SARS-CoV-2.7
Untuk pemeriksaan RT-PCR SARS-CoV-2, (sequencing bila tersedia).
Ketika melakukan pengambilan spesimen gunakan APD yang tepat. Ketika
mengambil sampel dari saluran napas atas, gunakan swab viral (Dacron steril atau
rayon bukan kapas) dan media transport virus. Jangan sampel dari tonsil atau

15
hidung. Pada pasien dengan curiga infeksi COVID-19 terutama pneumonia atau
sakit berat, sampel tunggal saluran napas atas tidak cukup untuk eksklusi
diagnosis dan tambahan saluran napas atas dan bawah direkomendasikan. Klinisi
dapat hanya mengambil sampel saluran napas bawah jika langsung tersedia seperti
pasien dengan intubasi. Jangan menginduksi sputum karena meningkatkan risiko
transmisi aerosol. Kedua sampel (saluran napas atas dan bawah) dapat
diperiksakan jenis patogen lain.2
Untuk pemeriksaan antigen-antibodi perlu mempertimbangkan onset
paparan dan durasi gejala sebelum memutuskan pemeriksaan. IgM dan IgA
dilaporkan terdeteksi mulai hari 3-6 setelah onset gejala, sementara IgG mulai hari
10-18 setelah onset gejala. Pemeriksaan jenis ini tidak direkomendasikan WHO
sebagai dasar diagnosis utama. Pasien negatif serologi masih perlu observasi dan
diperiksa ulang bila dianggap ada faktor risiko tertular.7
3) Pencitraan
Modalitas pencitraan utama yang menjadi pilihan adalah foto toraks dan
Computed Tomography Scan (CTscan) toraks. Pada foto toraks dapat ditemukan
gambaran seperti opasifikasi ground-glass, infiltrat, penebalan peribronkial,
konsolidasi fokal, efusi pleura, dan atelectasis. Foto toraks kurang sensitif
dibandingkan CT scan, karena sekitar 40% kasus tidak ditemukan kelainan pada
foto toraks.7
Pada penelitian Liu KC dkk, didapatkan dari enam pasien dengan
pneumonia tipe ringan, tiga pasien tidak memiliki perubahan abnormal yang jelas
di kedua paru-paru, dan tiga kasus ditemukan pembesaran hilus paru-paru dan
penebalan thickening tekstur paru-paru. Semua 43 pasien tipe umum menunjukkan
opasitas groundglass unik atau multipel (GGO) di pinggiran kedua paru-paru. Dua
belas kasus menunjukkan GGO sebagai manifestasi unik (28%, 12/43), 15 kasus
(35%, 15/43) disertai dengan tanda paving stone, dengan (27%, 4/15) atau tanpa
(73%, 11 / 15) penebalan septum inter dan intralobular; beberapa dari mereka
(7%, 3/43) menyajikan air-bronchogram. Kekeruhan memiliki distribusi berbentuk
kipas dalam 3 kasus (7%, 3/43), terutama terlihat di bidang punggung paru-paru.
Pada 21 pasien dengan tipe berat, GGO luas dan konsolidasi paru ditemukan

16
masing-masing pada 16 (76%, 16/21) dan 5 kasus (24%). Beberapa pasien
mengalami penebalan peribronkial (14/21, 67%). Bronkogram udara jarang
ditemukan. Manifest Manifestasi CT tipe kritis termasuk lesi konfluen dan
melibatkan beberapa lobus, fibrosis paru, dan pembentukan "paru-paru putih".
Atelektasis dan efusi pleura ditemukan pada 1 dan 3 pasien, masing-masing.10
Pada penelitian Zhou Shuchang dkk, dapat disimpulkan bahwa temuan CT
untuk pasien dengan pneumonia COVID-19 menunjukkan bahwa penyakit ini
memiliki pola campuran dan beragam, dengan melibatkan parenkim paru dan
interstitium. Kehadiran GGO dan lesi tunggal pada awal pneumonia COVID-19
menunjukkan bahwa penyakit ini berada pada fase awal. Tanda-tanda
pembengkakan dan perbaikan CT berdampingan dalam pemeriksaan pasien
dengan penyakit tahap lanjut. Efusi pleura dapat terjadi pada fase lanjut.
Multifocality serta distribusi primer lesi di zona tengah dan bawah dan area
posterior paru-paru adalah manifestasi yang agak khas.11
Pada penelitian Zao Wei dkk terdapat fitur pencitraan yang khas, seperti
GGO (86,1%), GGO campuran dan konsolidasi (64,4%), dan retikulasi (48,5%)
hadir. Hasil ini mirip dengan fitur CT infeksi virus lain pada paru-paru, seperti
SARS dan MERS. Menariknya, kami menemukan bahwa sebagian besar pasien
memiliki pembesaran lesi vaskular (71,3%) yang mungkin disebabkan oleh respon
inflamasi akut. Namun, perubahan vaskular tidak menyerupai perubahan lesi
ganas, seperti adenokarsinoma paru-paru, yang menyajikan dilatasi vaskular yang
terdistorsi atau tidak teratur dan konvergensi vaskular, yang dapat disebabkan oleh
perkembangan kronis dan infiltrasi tumor. Mengenai distribusi lesi, pasien dengan
COVID-19 lebih cenderung memiliki distribusi perifer (87,1%), keterlibatan
bilateral (82,2%), dominasi paru yang lebih rendah (54,5%), dan distribusi
multifokal (54,5%), yang konsisten dengan hasil pelajaran sebelumnya.12
Pada penelitian Cheng Zenghui dkk, Frekuensi kekeruhan pada pasien
dengan temuan positif dan pasien dengan temuan negatif, masing-masing, adalah
sebagai berikut: GGO, 100,0% (11/11) dibandingkan 90,9% (20/22); GGO
campuran, 63,6% (7/11) dan 72,7% (16/22); dan konsolidasi, 54,5% (6/11) dan
77,3% (17/22). Kekeruhan yang paling umum diamati pada kelompok A adalah

17
GGO (100,0% [11/11]). Kekeruhan paru sebagian besar terletak di zona perifer
pada pasien dengan hasil positif dibandingkan dengan pasien dengan hasil negatif
(100,0% vs 31,8%; p = 0,00). Meskipun bronkogram udara dan pola retikuler
terlihat lebih sering pada pasien dengan hasil positif daripada pada pasien dengan
hasil negatif (untuk bronkogram, 72,7% [8/11] vs 27,3% [6/22] [p = 0,02 ]; untuk
pola retikuler, 81,8% [9/11] vs 22,7% [5/22] [p <0,05]), nodul centrilobular
(Gambar 6) lebih jarang terlihat (27,3% [3/11] vs 77,3%) [17/22]; p = 0,01).13
Pada penelitian Shi Heshui dkk dapat disumpulkan bahwa pneumonia
COVID-19 cenderung bermanifestasi pada CT scan paru-paru sebagai bilateral,
subpleural, GGO dengan bronkogram udara, margin yang tidak jelas, dan sedikit
dominasi di lobus kanan bawah. Temuan CT paru yang abnormal dapat hadir
bahkan pada pasien tanpa gejala, dan lesi dapat dengan cepat berevolusi menjadi
dominasi opacity ground-glass atau pola konsolidasi dalam 1-3 minggu setelah
timbulnya gejala, memuncak sekitar 2 minggu setelah onset. Usia tua, jenis
kelamin laki-laki, komorbiditas yang mendasari dan penurunan radiografi
progresif pada tindak lanjut CT mungkin menjadi faktor risiko untuk prognosis
buruk pada pasien dengan pneumonia COVID-19.14
Penelitian Zao Wei dkk yang lain menerangkan bahwa terdapat Ground-
Glass Opacity (GGO) (101, 85,6%) atau GGO campuran dan konsolidasi (74,
62,7%) terdeteksi pada sebagian besar pasien dengan NCP. Gambar CT juga
menunjukkan pembesaran vaskular pada lesi pada sebagian besar pasien (92,
78,0%). Pembesaran kelenjar getah bening intrathoracic dan efusi pleura adalah
gambaran pencitraan yang jarang pada pasien dengan NCP. Temuan CT abnormal
lebih cenderung menjadi distribusi perifer (97, 82,2%), keterlibatan bilateral
(94,79,7%), dan multifokal (65, 55,1%). Kavitasi tidak ada dalam kelompok kami;
8 pasien diidentifikasi sebagai temuan negatif pada gambar CT. Skor rata-rata
keterlibatan paru pada awal adalah 6,18. Enam puluh empat (54,2%) pasien
menunjukkan peningkatan berdasarkan perubahan CT, sedangkan perubahan CT
berkembang pada 49 (41,5%) pasien. Enam pasien tetap sama pada temuan CT
selama pengobatan dan 5 dari 6 pasien tidak memiliki temuan CT abnormal pada
awal. Di antara 49 pasien dengan kemajuan perubahan CT, durasi rata-rata

18
kemajuan pencitraan adalah 6 hari (kisaran, 2-14 hari). Satu pasien menunjukkan
lesi baru dalam CT scan terbaru dan waktu perkembangan tidak dihitung. Pada
pasien dengan perbaikan dari tindak lanjut CT, lesi GGO berkurang secara
langsung atau diubah menjadi konsolidasi dan kemudian menjadi fibrosis.15
Jadi dari beberapa penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan beberapa
gambaran dari CT-Scan paru pada pasien COVID-19 yaitu ground-glass
opafication, consolidation, crazy paving, liniear, cavitation, discrete nodules,
pleural effusion, lymphadenopathy, bilateral distribution, peripheral distribution,
posterior involvement, multilobar involvement, bronchovascular thickening in the
lesion, traction bronchiectasis dan lain-lain. Gambaran paling sering terjadi
adalah ground-glass opacity yang terjadi pada keadaan umum dan ringan, dan
gambaran konsolidasi pada keadaan berat dan kritis.
Ground-glass opacity merupakan istilah radiologis yang menunjukan area
hazy atay buram paru-paru yang meningkat namun pembuluh darah dan struktur
bronkial masih terlihat. GGO kurang buram daripada konsolidasi. Konsolidasi
lebih kabur dan padat, dan lebih mengaburkan struktur pembuluh darah dan
bronkial. GGO dapet terjadi bilateral, subpleural, dan periferal. GGO yang disertai
penebalan inter dan intra lobular disebut crazy paving pattern. Air-bronchogram
merupakan gambaran bronkus berisi udara (gelap) yang terlihat oleh kekeruhan
alveoli di sekitarnya (abu-abu / putih). Bronchovascular thickening adalah istilah
deskriptif pencitraan luas yang biasanya digunakan untuk menggambarkan
penebalan dari setiap atau kombinasi dari: penebalan interstitial
peribronkovaskular; penebalan dinding bronkial (dapat dibedakan dari penebalan
peribronkovaskular sejati pada pencitraan cross-sectional); konsolidasi
peribronkovaskular. Bronchiectasis Traction adalah mengacu pada subtipe
etiologis bronkiektasis di mana terdapat dilatasi bronkus dan bronkolus yang tidak
dapat dibalik dalam area fibrosis paru atau arsitektur parenkim paru yang
terdistorsi.10, 11, 12, 13, 14, 15, 16,17

19
Gambar 2. Gambaran CT-Scan COVID A) multiple ground-glass opacity di lobus
inferior paru-paru kiri; B) konsolidasi disertai ground-glass opacity di lobus
superior paru-paru kiri serta ada air-bronkogram didalam kosolidasi; C) ground-
glass opacity dengan pola retikular di lobus inferior paru-paru kanan11

Gambar 3. Macam-macam gambaran CT-Scan pasien COVID-19. A) Gambaran


ground-glass opacity; B) Gambaran Crazy-paving; C) Konsolidasi; D)
Airbronkogram14

20
Gambar 4. Perubahan CT-Scan pasien dari hari 1 – hari 4. A) Hari pertama
gambaran ground-glass oppacity; C) Hari keempat GGO berkembang menjadi
konsolidasi.18

2.7 Diagnosis Banding


A) Pneumonial Viral lain
Pada pneumonia virus umum disebabkan oleh virus Influenza A dan B, virus
parainfluenza, cytomegalovirus, adenovirus, virus syncytial pernapasan. Gejala
pertama yang muncul adalah Demam tinggi, batuk, faringalgia, mialgia, dll. Di
musim dingin dan musim semi, umum pada anak-anak, dan kurang umum pada
orang dewasa atau masyarakat. Pemeriksaan Laboratorium: Hasil NAAT positif
untuk mendeteksi virus influenza A dan B, virus parainfluenza, cytomegalovirus,
adenovirus, dan virus syncytial pernapasan; peningkatan jumlah limfosit.
Jenis virus baru ini memiliki kemiripan dengan virus SARS dan MERS
namun analisis genetik menunjukkan serupa tetapi tidak sama. Virus jenis baru ini
sudah mengalami evolusi. Studi menunjukkan virus baru ini kemampuan
penyebaran dan patogenisitasnya lebih rendah daripada SARS.2
Dalam diagnosis pencitraan, COVID-19 sulit dibedakan dari pneumonia
yang disebabkan oleh virus influenza A, virus influenza B, cytomegalovirus,
adenovirus, virus syncytial pernapasan, SARS-CoV, MERS coronavirus, dan
pneumonia virus lainnya serta pneumonia bakteri. Untungnya, metode perawatan
mereka serupa. Tidak ada obat khusus yang menargetkan COVID-19. Pneumonia
virus selain COVID-19 terutama bermanifestasi sebagai inflamasi interstitial
peribronkial dan perivaskular yang bergerak ke arah bagian dalam interstitium
paru, dan manifestasi CT-nya adalah beberapa bercak serat atenuasi tinggi yang

21
berpasangan atau paralel, atau pola retikulasi tinggi yang disebabkan oleh infiltrasi
interlobular septa. Lesi terutama terjadi di daerah hilar dan subpleural. Jika
pneumonia sekunder karena bronkitis dan tidak melibatkan alveoli, peradangan
sering berkembang lebih lanjut ke dinding bronkial. Ketika bronkiolus diblokir
sebagian atau seluruhnya, gambar CT menunjukkan edema paru lokal dan / atau
atelektasis. Terjadinya pneumonia virus berkorelasi dengan virulensi virus, rute
penularan, dan usia serta status imunologis inang. Secara umum, kejadian
pneumonia virus lebih tinggi pada anak-anak daripada orang dewasa. Sebaliknya,
COVID-19 biasanya terjadi pada pasien 40-60 tahun dengan komorbiditas
multipel. Dibandingkan dengan pasien dengan SARS dan MERS, pasien dengan
COVID-19 tidak memiliki komplikasi atau infeksi yang jelas, dan perkembangan
penyakit relatif lambat.19

Gambar 5. Perbedaan SARS, MERS, dan COVID-1920

22
B) Pneumonia Bakteri
Gejala umum yang muncul diantaranya batuk, batuk berdahak, atau
memberat seperti muncul dahak purulen, dahak berdarah, dengan atau tanpa
adanya nyeri dada. Pada umumnya tidak bersifat infeksius, dan bukan penyakit
infeksius.2
Gejala Pertama: Obstruksi hidung, rinore, dll, ringan pada sebagian besar
kasus. Umum di musim dingin, umum pada anak-anak dan masyarakat.
Pemeriksaan laboratorium: Peningkatan jumlah WBC, tingkat sedimentasi eritrosit
yang tinggi, dan konsentrasi CRP yang sangat tinggi. Manifestasi CT: pneumonia
bronkial, pneumonia lobar, penebalan dinding bronkial, nodul centrilobular,
beberapa konsolidasi terutama melibatkan parenkim paru.19
C) Pneumonia Jamur
D) Edema Paru
2.8 Tatalaksana
A) Terapi Etiologi/Definitif
Biarpun belum ada obat yang terbukti meyakinkan efektif melalui uji klinis,
China telah membuat rekomendasi obat untuk penangan COVID-19 dan
pemberian tidak lebih dari 10 hari. Rincian dosis dan administrasi sebagai
berikut:7
1) IFN-alfa, 5 juta unit atau dosis ekuivalen, 2 kali/hari secara inhalasi;
2) LPV/r, 200 mg/50 mg/kapsul, 2 kali 2 kapsul/hari per oral;
3) RBV 500 mg, 2-3 kali 500 mg/hari intravena dan dikombinasikan
dengan IFN-alfa atau LPV/r;
4) Klorokuin fosfat 500 mg (300 mg jika klorokuin), 2 kali/hari per oral;
5) Arbidol (umifenovir), 200 mg setiap minum, 3 kali/hari per oral.
Selain China, Italia juga sudah membuat pedoman penanganan COVID-19
berdasarkan derajat keparahan penyakit:7
1) Asimtomatis, gejala ringan, berusia <70 tahun tanpa faktor risiko:
observasi klinis dan terapi suportif.
2) Gejala ringan, berusia >70 tahun dengan faktor risiko dan bergejala

23
demam, batuk, sesak napas, serta rontgen menunjukkan pneumonia:
LPV/r 200 mg/50mg, 2 x 2 tablet per hari; atau Darunavir/ritonavir
(DRV/r) 800 mg/100 mg, 1 x 1 tablet per hari; atau Darunavir/cobicistat
800 mg/150 mg, 1 x 1 tablet per hari; DAN klorokuin fosfat 2 x 500
mg/hari atau hidroksiklorokuin (HCQ) 2 x 200 mg/hari. Terapi
diberikan selama 5-20 hari berdasarkan perubahan klinis.
3) Pada kasus membutuhkan terapi oksigen atau perburuk secara cepat,
terapi poin 2 dihentikan dan diganti remdesivir (RDV) 200 mg (hari 1)
dilanjutkan 100 mg (hari 2-10) dan klorokuin 2 x 500 mg/hari atau
HCQ 200 mg, 2 kali perhari. Obat selama 5-20 hari, berdasarkan
perubahan klinis. Jika nilai Brescia-COVID respiratory severity scale
(BCRSS) ≥2, berikan deksametason 20 mg/hari selama 5 hari
dilanjutkan 10 mg/hari selama 5 hari dan/atau tocilizumab.
4) Pneumonia berat, ARDS/gagal napas, gagal hemodinamik, atau
membutuhkan ventilasi mekanik: RDV 200 mg (hari 1), 100 mg (hari 2-
10); DAN klorokuin fosfat 2 x 500 mg/hari atau HCQ 2 x 200 mg/hari.
Kombinasi diberikan selama 5-20 hari. Jika RDV tidak tersedia, berikan
suspensi LPV/r 5 mL, 2 kali per hari atau suspensi DRV/r; DAN HCQ 2
x 200 mg/hari.
5) Terapi ARDS: deksametason 20 mg/hari selama 5 hari dilanjutkan 10
mg/hari selama 5 hari atau tocilizumab. Rekomendasi dosis tocilizumab
adalah 8 mg/kgBB pada ≥ 30 kg dan 12 mg/kgBB pada < 30 kg. Dapat
diberikan sebanyak 3 kali dengan jarak 8 jam bila dengan satu dosis
dianggap tidak ada perbaikan.
WHO sedang merencanakan uji klinis tidak tersamar dan multinasional
terkait COVID-19 bernama SOLIDARITY. Uji tersebut akan membuat empat
kelompok, yaitu kelompok LPV/r dan IFN-beta, kelompok LPV/r, kelompok CLQ
atau HCQ, dan kelompok remdesivir.7
Berikut adalah obat-obat yang diduga dapat bermanfaat untuk COVID-19:7
1) Lopinavir/Ritonavir (LPV/r) Chu, dkk. menunjukkan kombinasi RBV
dan LPV/r menurunkan angka kematian ARDS pada SARS-CoV

24
dibandingkan RBV pada hari ke-21 pasca onset gejala. Kemudian, Cao,
dkk.93 melakukan uji klinis tak tersamar pada 199 subjek untuk menilai
LPV/r dibandingkan pelayanan standar pada pasien COVID-19. Tidak
terdapat perbedaan bermakna pada waktu perbaikan klinis. Pada
penilaian mortalitas 28-hari didapatkan angka yang lebih rendah pada
kelompok LPV/r (19.2% vs 25.0%). Baden, dkk. berpendapat bahwa
LPV/r memiliki kemampuan inhibisi replikasi, bukan supresi jumlah
virus. Oleh karena itu, mereka mengusulkan perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut untuk menyimpulkan efektivitasnya.
2) Remdesvir (RDV). Remdesivir adalah obat antivirus spektrum luas
yang telah digunakan secara luas untuk virus RNA, termasuk
MERS/SARS-CoV, penelitian in vitro menunjukkan obat ini dapat
menginhibisi infeksi virus secara efektif. Uji klinis fase 3 acak tersamar
terkontrol plasebo pada pasien COVID-19 telah dimulai di China. Studi
ini membandingkan remdesivir dosis awal 200 mg diteruskan dosis 100
mg pada 9 hari dan terapi rutin (grup intervensi) dengan plasebo dosis
sama dan terapi rutin (grup kontrol). Uji klinis ini diharapkan selesai
pada April 2020. Obat ini juga masuk dalam uji klinis SOLIDARITY.
3) Klorokuin (CQ/CLQ) dan Hidroksiklorokuin (HCQ). Klorokuin,
obat antimalaria dan autoimun, diketahui dapat menghambat infeksi
virus dengan meningkatkan pH endosomal dan berinteraksi dengan
reseptor SARS-CoV. Efektivitas obat ini semakin baik karena memiliki
aktivitas immunomodulator yang memperkuat efek antivirus. Selain itu,
klorokuin didistribusi secara baik di dalam tubuh, termasuk paru. Yao,
dkk. mengajukan HCQ sebagai alternatif klorokuin. Studi in vitro
tersebut menelaah efektivitas kedua obat. Hasil studi menunjukkan
HCQ lebih baik dalam pengobatan yang dibuktikan dengan nilai EC50
yang lebih rendah (0.72 vs 5.47 μM). Selain itu, HCQ lebih ditoleransi.
Penelitian pada manusia direkomendasikan dengan dosis anjuran yang
memiliki potensi tiga kali lipat dibandingkan klorokuin, yaitu
hidroklorokuin 400 mg dua kali sehari sebagai dosis awal dilanjutkan

25
200 mg dua kali sehari selama 4 hari sebagai dosis lanjutan. Uji klinis
tak tersamar tanpa acak yang dilaporkan Gautret, dkk. meneliti
efektivitas HCQ terhadap jumlah virus SARS-CoV-2 yang dilakukan
evaluasi setiap harinya sampai 6 hari pasca perekrutan. Total sampel 42
dengan rincian 26 masuk kelompok HCQ. Dari 20 kelompok HCQ,
enam diantaranya mendapat azitromisin sebagai profilaksis bakteri.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna kadar virus
pada kelompok HCQ dan kelompok dengan tambahan azitromisin
menunjukkan supresi virus sebanyak 100% dibandingkan kelompok
HCQ. Hasil yang menjanjikan ini dapat menjadi landasan penggunaan
HCQ sebagai pengobatan COVID-19. Namun, hasil ini perlu
diwaspadai juga karena 6 dari pengguna HCQ lost to follow-up dan
tidak dianalisis (termasuk 1 meninggal dan 3 dipindahkan ke perawatan
intensif). Perlu juga diperhatikan interaksi obat HCQ dan azitromisin,
karena bersama dapat menyebabkan pemanjangan gelombang QT.
4) Favipiravir (FAVI). Favipiravir merupakan obat baru golongan
inhibitor RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) yang dapat
menghambat aktivitas polimerasi RNA. Hasil penelitian sementara di
China menunjukkan bahwa favipiravir lebih poten dibandingkan LPV/r
dan tidak terdapat perbedaan signifikan reaksi efek samping.89 Studi uji
klinis tanpa acak tak tersamar menunjukkan favipiravir lebih baik dalam
median waktu bersihan virus dibandingkan LPV/r (4 hari vs 11 hari).
Selain itu, favipiravir juga lebih baik dalam perbaikan gambaran CT
scan dan kejadian lebih sedikit efek samping.
5) Umifenovir (Arbidol®). Obat antivirus ini merupakan terapi rutin pada
kasus influenza yang telah diketahui kemampuan inhibisinya pada
SARS-CoV-2 berdasarkan penelitian in vitro. Chen, dkk. telah
melakukan komparasi LPV/r dan umifenovir pada tatalaksana COVID-
19, dan menemukan tidak terdapat perbedaan bermakna pada perbaikan
gejala atau kadar virus.
6) Oseltamivir. Guan, dkk menemukan bahwa dari 1.099 pasien di China,

26
393 (35.8%) diberikan oseltamivir dan 36 di antaranya masuk ICU,
menggunakan ventilator atau meninggal. Studi ini tidak melanjutkan
dengan analisis sehingga tidak dapat disimpulkan manfaat dari
oseltamivir. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa kelompok inhibitor
neuraminidase tidak memiliki aktivitas antivirus pada coronavirus.
7) Interferon-α (IFN-α). IFN-α terbukti menghambat produksi SARS-
CoV secara in vitro.101 Uji klinis penggunaannya sedang berlangsung.
8) Tocilizumab (inhibitor reseptor IL-6). Obat ini telah dicoba pada 21
pasien COVID-19 berat atau kritis di China dalam studi observasi.
Tocilizumab digunakan bersamaan dengan terapi standar lainnya, yaitu
LPV/r dan metilprednisolon. Dilaporkan bahwa demam pada semua
pasien hilang dalam satu hari setelah mendapatkan tocilizumab, diikuti
dengan perbaikan klinis dan radiologis. Demikan juga dengan kadar
CRP, kebutuhan dan saturasi oksigennya. Laporan ini tentunya
menjanjikan, tetapi perlu disikapi dengan cermat karena studi masih
dalam skala kecil dan tidak ada kelompok pembanding
9) Meplazumab/antibodi anti-CD147. Antibodi anti-CD147 diketahui
mampu menghambat kemotaksis sel T yang diinduksi CyPA dan
berdampak berkurang inflamasi. Selain itu, antibodi ini juga dapat
menghambat replikasi SARS-CoV-2 berdasarkan studi in vitro yang
membuat pengetahuan baru, ada kemungkinan virus masuk melalui
reseptor CD147. Bian, dkk. menunjukkan penambahan meplazumab
mempercepat waktu rawat, perbaikan klinis dan bersihan virus.
10) Nitazoxanide. Wang, dkk. melakukan uji in vitro guna mengetahui
efektivitas nitazoxanide. Obat antiprotoza ini diketahui memiliki potensi
antivirus karena dapat menghambat SARS-CoV-2 (EC50=2.12 μM)
dengan meningkatkan regulasi mekanisma antivirus bawaan via
amplifikasi jalur IFN tipe I dan sensing sitoplasmik RNA. Dosis yang
diajukan 600 mg, 2 kali sehari atau 500 mg, 3 kali sehari selama 7 hari.
11) Direct-acting Antiviral (DAA). Sofosbuvir, salah satu obat DAA yang
biasanya digunakan untuk terapi HCV, diketahui memiliki kemampuan

27
untuk menempel pada tempat aktif RdRp, bersaing dengan nukleotida
fisiologis. Efilky melakukan uji genetik untuk melihat kekuatan afinitas
sofosbuvir dan obat lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa sofosbuvir
memiliki afinitas yang kuat terhadap COVID-19 dan SARSCoV dan
atas dasar ini sofosbuvir berpotensi sebagai antivirus SARS-CoV-2.
12) Imunoglobulin Intravena (IVIg). Cao W, dkk. melaporkan serial
kasus COVID-19 yang menambahkan IVIg (dosis 0,3-0,5 g/kgBB)
selama lima hari pada terapi standar. Seluruh pasien yang diberikan
merupakan pasien kategori berat. Hasil terapi menunjukkan terdapat
percepatan perbaikan klinis demam dan sesak napas serta perbaikan
secara CT-scan.
13) Obat Lain. Obat lain yang sedang dalam uji klinis dan berpotensi
dalam penanganan SARS-CoV-2 adalah darunavir, type II
transmembrane serine protease inhibitor (TMSPSS2) dan BCR-ABL
kinase inhibitor imatinib. Darunavir terbukti menghambat replikasi
virus pada penelitian in vitro. TMPSPSS2 bekerja dengan menghambat
jalur masuk virus dan imatinib menghambat fusi virus dengan membran
endosomal namun untuk dua obat ini belum terdapat studinya.
Penggunaan obat-obatan secara bersamaan harus diperhatikan karena
interaksi satu sama lain. Lopinavir/ritonavir menyebabkan peningkatan
konsentrasi klorokuin atau HCQ. Tidak diperbolehkan
mengombinasikan klorokuin dan HCQ karena efek samping jantung
berupa pemanjangan QT atau interval PR. Oleh karena itu, setiap
pemberian klorokuin atau HCQ perlu dilakukan pemantauan
elektrokardiografi secara berkala. Oseltamivir diketahui tidak memiliki
interaksi dengan obat COVID-19 lainnya. Penggunaan bersamaan
dengan metotreksat harus berhati-hati karena meningkatkan efek
samping. Penggunaan bersama dengan klopidogrel dapat menurunkan
kadar oseltamivir dalam darah. Interaksi minor terjadi pada penggunaan
bersama dengan probenecid dan warfarin.
B) Simtomatik & Suportif7

28
1) Oksigen. Indikasi oksigen adalah distress pernapasan atau syok dengan
desaturase, target kadar saturasi oksigen >94%. Oksigen dimulai dari 5
liter per menit dan dapat ditingkatkan secara perlahan sampai mencapai
target. Pada kondisi kritis, boleh langsung digunakan nonrebreathing
mask.
2) Antibiotik. Pemberian antibiotik hanya dibenarkan pada pasien yang
dicurigai infeksi bakteri dan bersifat sedini mungkin.
3) Kortikosteroid. Pedoman di Italia merekomendasikan deksametason 20
mg/hari selama 5 hari dilanjutkan 10 mg/hari selama 5 hari pada kasus
pasien COVID-19 dengan ARDS. Society of Critical Care Medicine
merekomendasikan hidrokortison 200 mg/hari boleh dipertimbangkan
pada kasus COVID-19 yang kritis.
4) Vitamin C. Vitamin C diketahui memiliki fungsi fisiologis pleiotropik
yang luas. Kadar vitamin C suboptimal umum ditemukan pada pasien
kritis yang berkorelasi dengan gagal organ dan luaran buruk. Penurunan
kadar vitamin C disebabkan oleh sitokin inflamasi yang mendeplesi
absorbsi vitamin C. Kondisi ini diperburuk dengan peningkatan
konsumsi vitamin C pada sel somatik. Oleh karena itu, dipikirkan
pemberian dosis tinggi vitamin C untuk mengatasi sekuens dari kadar
yang suboptimal pada pasien kritis.
5) Ibuprofen & Tiazolidindion. Muncul kontroversi akibat artikel yang
menuliskan ibuprofen dan golongan tiazolidindion dapat meningkatkan
ekspresi ACE2 sehingga dikhawatirkan akan terjadi infeksi yang lebih
berat. Pernyataan ini dibuat tanpa sitasi bukti yang sahih sehingga saat
ini tidak ada rekomendasi untuk melarang penggunaan kedua obat ini.
6) Profilaksis Tromboemboli Vena. Profilaksis menggunakan
antikoagulan low molecular-weight heparin (LMWH) subkutan dua kali
sehari lebih dipilih dibandingkan heparin. Bila ada kontraindikasi,
WHO menyarankan profilaksis mekanik, misalnya dengan compression
stocking.
7) Plasma Konvalesen. Plasma dari pasien yang telah sembuh COVID-19

29
diduga memiliki efek terapeutik karena memiliki antibodi terhadap
SARS-CoV-2. Shen C, dkk. melaporkan lima serial kasus pasien
COVID-19 kritis yang mendapatkan terapi plasma ini. Seluruh pasien
mengalami perbaikan klinis, tiga diantaranya telah dipulangkan.

8) Imunoterapi. Wang C, dkk melakukan identifikasi antibodi yang


berpotensial sebagai vaksin dan antibodi monoklonal. Mereka
menggunakan ELISA untuk menemukan antibodi yang sesuai, sampel
berasal dari tikus percobaan. Hasil akhir menemukan bahwa antibodi
47D11 memiliki potensi untuk menetralisir SARS-CoV-2 dengan
berikatan pada protein S. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk
mempelajari perannya dalam COVID-19.
C) Pasien Kritis
Tatalaksana pasien kritis COVID-19 memiliki prinsip penanganan yang
sama dengan ARDS pada umumnya. Pedoman penangan meliputi:7
1) Terapi cairan konservatif;
2) Resusitasi cairan dengan kristaloid;
3) Norepinefrin sebagai lini pertama agen vasoaktif pada COVID-19
dengan syok;
4) Antibiotik spektrum luas sedini mungkin pada dugaan koinfeksi bakteri
sampai ditemukan bakteri spesifik;
5) Pilihan utama obat demam adalah acetaminofen;
6) Penggunaan imunoglobulin intravena (IVIg) dan plasma konvalesen
COVID-19 telah dilaporkan, tetapi belum direkomendasikan rutin;
7) Mobilisasi pasien setiap 2 jam untuk mencegah ulkus dekubitus;
8) Berikan nutrisi enteral dalam 24-48 jam pertama.
D) Kriteria Pulang dari Rumah Sakit
WHO merekomendasikan pasien dapat dipulangkan ketika klinis sudah
membaik dan terdapat hasil tes virologi yang negatif dua kali berturut-turut.
Kedua tes ini minimal dengan interval 24 jam.7
2.9 Pencegahan

30
Untuk saat ini, pencegahan adalah pendekatan terbaik untuk menghentikan
penyebaran infeksi. Cina telah berusaha sebaik mungkin untuk menahan infeksi
dengan membatasi perjalanan meskipun WHO tidak merekomendasikan
penahanan tersebut. Sebaliknya, WHO sangat merekomendasikan kebersihan
tangan dan pernapasan untuk kasus, kontak, penjaga, dan petugas kesehatan.21
Kebersihan tangan melibatkan penggunaan gosok tangan berbasis alkohol
sebelum dan setelah setiap kontak pasien. Mencuci tangan dengan air sabun
selama 20 detik juga efektif. Jika tangan terlihat kotor maka disarankan untuk
menggunakan air sabun. Handuk kertas sekali pakai harus digunakan untuk
mengeringkan tangan. Jika tidak tersedia maka kain bersih dapat digunakan dan
yang basah harus diganti. Dianjurkan juga untuk mengikuti kebersihan tangan
sebelum dan sesudah menyiapkan makanan, sebelum makan, sebelum dan sesudah
melepas sarung tangan dan masker, dan setelah menggunakan toilet. Peralatan
reusable yang terpisah dapat digunakan oleh pasien setelah dibersihkan dengan
benar.21
Mendisinfeksi lingkungan terdekat pasien termasuk toilet dan furnitur
dengan 0,5% natrium hipoklorit bermanfaat.21
Mempertahankan etiket batuk seperti menggunakan tissue selama batuk atau
bersin dan membuangnya di tempat sampah yang tertutup. Jika tissue tidak
tersedia maka batuk atau bersin dalam siku tertekuk. Kain bersih dapat digunakan
sebagai pengganti tisu dan dicuci dengan air sabun untuk digunakan kembali.
Menghindari berjabat tangan juga disarankan untuk saat ini. Bersihkan dan
disinfeksi permukaan kamar mandi dan toilet setidaknya sekali sehari. Sabun atau
deterjen rumah tangga biasa harus digunakan terlebih dahulu untuk pembersihan,
dan kemudian, setelah dibilas, disinfektan rumah tangga biasa yang mengandung
natrium hipoklorit 0,5% harus diterapkan.21
Masker medis tidak dianjurkan untuk orang sehat kecuali jika itu adalah
praktik budaya. Pasien dan perawat termasuk petugas kesehatan disarankan untuk
memakai masker. Disarankan untuk melepas masker dari belakang dan
mempraktikkan kebersihan tangan sesudahnya. Masyarakat pakai masker kain.21
Di isolasi rumah, pasien dan perawat harus memakai masker dan mengikuti

31
pernapasan dan kebersihan tangan.21
Petugas kesehatan terutama disarankan untuk memakai alat pelindung diri
(APD) termasuk masker respirator N95 dan pelindung mata saat mengambil
sampel pernapasan. Menghindari kontak dengan cairan tubuh sangat penting.
Peralatan medis khusus seperti stetoskop, manset tekanan darah, dan termometer
harus disimpan untuk setiap pasien. Jika peralatan perlu dibagi di antara pasien,
pembersihan dan disinfeksi antara penggunaan untuk setiap pasien dengan
menggunakan etil alkohol 70% dianjurkan.21
Pelacakan kontak dan karantina kontak langsung (pengasuh langsung tanpa
APD, anggota keluarga, teman sekelas, pelancong yang duduk dalam jarak satu
meter) dari COVID-19 yang dikonfirmasi direkomendasikan dengan bermartabat.
Durasi 14 hari dari kontak terakhir dengan kasus COVID-19 yang dikonfirmasi.
Kontak harus mempraktikkan kebersihan tangan dan pernapasan. Mereka harus
diperiksa setiap hari untuk demam dan gejala lain yang menunjukkan COVID-
19.21
2.10 Prognosis
Prognosis COVID-19 dipengaruhi banyak faktor. Studi Yang X, dkk.
melaporkan tingkat mortalitas pasien COVID-19 berat mencapai 38% dengan
median lama perawatan ICU hingga meninggal sebanyak 7 hari. Peningkatan
kasus yang cepat dapat membuat rumah sakit kewalahan dengan beban pasien
yang tinggi. Hal ini meningkatkan laju mortalitas di fasilitas tersebut. Laporan lain
menyatakan perbaikan eosinofil pada pasien yang awalnya eosinofil rendah
diduga dapat menjadi prediktor kesembuhan.7
Reinfeksi pasien yang sudah sembuh masih kontroversial. Studi pada hewan
menyatakan kera yang sembuh tidak dapat terkena COVID-19, tetapi telah ada
laporan yang menemukan pasien kembali positif rRT-PCR dalam 5-13 hari setelah
negatif dua kali berturut-turut dan dipulangkan dari rumah sakit. Hal ini
kemungkinan karena reinfeksi atau hasil negatif palsu pada rRT-PCR saat
dipulangkan.Peneliti lain juga melaporkan deteksi SARS-CoV-2 di feses pada
pasien yang sudah negatif berdasarkan swab orofaring.

32
33

BAB III
PENUTUP

Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebelumnya dikenal sebagai


Severe Acute Respiratiory Syndrome-Corona Virus 2 (SARS-Cov-2) berawal
disebabkan oleh virus korona yang terdapat di kalelawar di Wuhan, China.
Penyakit ini terus berkembang ke hampir seluruh dunia, ada > 180 negara terkena
penyakit ini dengan jumlah kasus sebanyak 1.395.136 dan jumlah kematian
sebanyak 81.580 jiwa. Jumlah ini akan terus bertambah dikarenakan penularan
dari virus ini yang masif. Penularan terjadi dari manusia ke manusia melalui
droplet, aerosol, dan bahkan sekarang sudah bisa melalui fecal-oral.
COVID-19 ini sendiri dapat menimbulkan gejala (simtomatik) dan bisa tidak
menimbulkan gejala (asimtomatik). Untuk gejalanya umum yang sering terjadi
yaitu gejala pernafasan seperti flu, demam, batuk, mialgia, kelelahan, dispnea,
malaise, dan gejala gastrointestinal seperti nyeri perut, mual, diare. Gejala dapat
bersifat ringan sampai berat. Dapat terjadi pula pneumonia ringa-berat, ARDS,
sepsis, hingga syok sepsis.
Untuk penegakkan diagnosis, dapat dilakukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnsosis pasti didapatkan dari
pemeriksaan virologi melalui real-time reversetranscription polymerase chain
reaction (rRTPCR), tetapi sulit untuk mendapatkan pemeriksaannya. Hal
sederhana yang bisa menegakkan diagnosis adalah penggunaan pencitraan (dalam
hal ini CT-Scan lebih efektif dibandingkan dengan fotopolos).
Gambaran CT-Scan dari pasien COVID-19 yang tersering adalah ground-
glass opafication, consolidation, crazy paving, liniear, cavitation, pleural
effusion, lymphadenopathy, bilateral distribution, peripheral distribution,
multilobar involvement, bronchovascular thickening in the lesion, traction
bronchiectasis. Setiap kondisi pasien memiliki gambaran yang berbeda. Pada
kondisi akut/tanpa gejala biasanya gambaran yang terlihat adalah GGO, dan ketika
telah menuju ke kondisi yang berat dia akan berubah menjadi konsolidasi. Tetapi
dengan seiring kesembuhan pasien, gambaran radiografi ini akan menjadi normal
34

kembali.
35

DAFTAR PUSTAKA

1. Salehi S, Abedi A, Balakrishnan S, Gholamrezanezhad A. Coronavirus


Disease 2019 (COVID-19): A Systematic Review of Imaging Findings in 919
Patients. American Journal of Radiology. 2020; 215: 1-7
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. COVID-19: Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. 202
3. World Health Organization. Coronavirus (Covid-19) (serial online) (diakses 9
April 2020). Diunduh dari URL: https://who.sprinklr.com/
4. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Situasi Virus Corona (serial
online) (diakses 9 April 2020). Diunduh dari URL:
https://www.covid19.go.id/situasi-virus-corona/
5. Shi H, Han X, Jiang N etc. Radiologic Findings From 81 patients with
COVID-19 Pneumonia in Wuhan, China: A Descriptive Study. The Lancet.
2020; 20(4): 425-34
6. Cennimo D. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). (serial online) Apr 2020
(diakses 9 April 2020). Diunduh dari URL:
https://emedicine.medscape.com/article/2500114-overview#a6
7. Susilo A, Rumenda CM, Pitoyo CW, dkk. Coronavirus Disease 2019:
Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. 2020; 7(1): 45-
63
8. Jhon Hopkins University & Medicine. Coronavirus Resource Center:
COVID-19 Case Tracker (serial online) (diakses 9 April 2020). Diunduh dari
URL: https://coronavirus.jhu.edu/
9. Cascella M, Rajnik M, Cuomo A, et al. Features, Evaluation and Treatment
Coronavirus (COVID-19). Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. 2020
10. Liu, Kai-Cai & Xu, Ping & Lv, Wei-Fu & Qiu, Xiao-Hui & Yao, Jin-Long &
Jin-Feng, Gu & Wei-Wei. CT manifestations of coronavirus disease-2019: A
retrospective analysis of 73 cases by disease severity. European Journal of
Radiology. 2020;126
11. Zhou, Shuchang & Wang, Yujin & Zhu, Tingting & Xia, Liming. CT
Features of Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Pneumonia in 62 Patients
in Wuhan, China. American Journal of Roentgenology. 2020;1-8
12. Zhao, Wei & Zhong, Zheng & Xie, Xingzhi & Yu, Qizhi & Liu, Jun. Relation
Between Chest CT Findings and Clinical Conditions of Coronavirus Disease
(COVID-19) Pneumonia: A Multicenter Study. American Journal of
Roentgenology. 2020;1-6
13. Cheng, Zenghui & Lu, Yong & Cao, Qiqi & Qin, Le & Pan, Zilai & Yan,
Fuhua & Yang, Wenjie. Clinical Features and Chest CT Manifestations of
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) in a Single-Center Study in
Shanghai, China. American Journal of Roentgenology. 2020;1-6
14. Shi, Heshui & Han, Xiaoyu & Jiang, Nanchuan & Cao, Yukun & Alwalid,
Osamah & Gu, Jin & Fan, Yanqing & Zheng, Chuansheng. Radiological
findings from 81 patients with COVID-19 pneumonia in Wuhan, China: a
descriptive study. The Lancet Infectious Diseases. 2020;20
36

15. Zhao W, Zhong Z, Xie X, Yu Q, Liu J. CT Scans of Patients with 2019 Novel
Coronavirus (COVID-19) Pneumonia. Theranostics 2020; 10(10):4606-4613.
16. Kanne, Jeffrey. Chest CT Findings in 2019 Novel Coronavirus (2019-nCoV)
Infections from Wuhan, China: Key Points for the Radiologist. Radiology.
2020;295
17. Niknejad MT, Bell DJ. COVID-19 (serial online) 2020 (diakses 10 Apr
2020). Diunduh dari URL: https://radiopaedia.org/articles/covid-19-3?
lang=us
18. Salehi, Sana & Abedi, Aidin & Balakrishnan, Sudheer & Gholamrezanezhad,
Ali. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19): A Systematic Review of
Imaging Findings in 919 Patients. American Journal of Roentgenology.
2020;1-7.
19. Dai, Wei-cai & Zhang, Han-wen & Yu, Juan & Xu, Hua-jian & Chen, Huan
& Luo, Si-ping & Zhang, Hong & Liang, Li-hong & Wu, Xiao-liu & Lei, Yi
& Lin, Fan. CT Imaging and Differential Diagnosis of COVID-19. Canadian
Association of Radiologists Journal. 2020;71
20. Hosseiny, Melina & Kooraki, Soheil & Gholamrezanezhad, Ali & Reddy,
Sravanthi & Myers, Lee. Radiology Perspective of Coronavirus Disease 2019
(COVID-19): Lessons from Severe Acute Respiratory Syndrome and Middle
East Respiratory Syndrome. American Journal of Roentgenology. 2020;1-5
21. Rahman, Shaila & Bahar, Tamanna. COVID-19: The New Threat.
International Journal of Infection. 2020;7

37

Anda mungkin juga menyukai