Anda di halaman 1dari 30

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/278412627

SENI BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA

Conference Paper · June 2012

CITATION READS
1 7,287

9 authors, including:

Muhammad Takari
University of Sumatera Utara
70 PUBLICATIONS   33 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

My current project is research about senam Melayu in Serdang culture area. View project

All content following this page was uploaded by Muhammad Takari on 17 June 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


SENI BUDAYA DAN
KARAKTER BANGSA
Muhammad Takari

Departemen Adat, Seni, dan Budaya Pengurus


Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia

Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu


Budaya, Universitas Sumatera Utara

Medan
2012
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

SENI BUDAYA DAN


KARAKTER BANGSA
Muhammad Takari
Ketua Departemen Adat, Seni, dan Budaya PB MABMI
dan Ketua Departemen Etnomusikologi FIB USU

1. Pendahuluan
Sebagai warga negara Indonesia, kita bangga dengan berbagai
“keunggulan” bangsa ini. Misalnya kita selepas tiga setengah abad dijajah
Belanda, dapat merdeka dengan perjuangan yang panjang. Begitu pula
pada masa sekarang ini, kita memiliki jumlah penduduk nomor kelima
terbesar di dunia, yaitu lebih dari 240 juta jiwa, dengan segala masalah
dan keberhasilan sosiobudaya dan teknologinya. Bahkan kalau di tingkat
Asia Tenggara, Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI) adalah
negara yang terbesar penduduknya yaitu sekitar 240 juta jiwa, dengan
wilayah kepualauan yang terluas, dan memiliki peran dan geopolitik yang
paling menonjol. 1
Seterusnya bangsa ini juga memiliki prestasi-prestasi internasional,
seperti berkali-kali siswa-siswi sekolah menengahnya memenangkan
olimpiade fisika dan matematika. Seni budaya di Asia Tenggara pun
sebahagian besarnya tumbuh dan berkembang di Indonesia. Kawasan
Indonesia juga merupakan induk dari Dunia Melayu bersama Malaysia
dan Brunei Darussalam. Peran strategis dapat dimainkan dalam rangka
mengintegrasikan umat Melayu di kawasan ini, serta diaspora Melayu di
seluruh dunia. Ke masa depan peran ini terus perlu dikembangkan oleh
organisasi sosiobudaya atau antar pemerintah di kawasan ini, sambil

1
Di peringkat internasional kita pernah menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika,
tahun 1955, yang menghasilkan dasasila Bandung. Prinsipnya melalui konferensi ini
bangsa-bangsa Asia dan Afrika ingin bebas dari cengkeraman kolonialisme, yang telah
berabad-abad berlangsung. Mereka juga tidak mau ditarik dalam dua polarisasi ideologi
dan kekuasaan yaitu liberalisme dan sosialis-komunisme. Muncullah kelompok negara-
negara non-blok, yang dampak positifnya terasa sampai sekarang dalam konteks politik
internasional. Indonesia juga berperan aktif dalam menjaga perdamaian dunia. Bahkan
merelakan Timor Timur (kini Timor Leste) menjadi negara merdeka, untuk membuktikan
kepada dunia kita bukan bangsa penjajah.
1
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

memperbaiki kinerja sosiobudaya dari dalam, yang lazim disebut sebagai


inovasi.
Namun di tengah-tengah keberhasilan dan kebanggan tersebut, kita
juga tidak lupa, ada berbagai faktor yang berasal dari dalam atau dari
luar, yang bisa menghambat daya lesat perkembangan segala bidang,
bangsa Indonesia dalam konteks Dunia Melayu, Dunia Islam, dan global.
Yang dapat kita rasakan adalah “penyakit” korupsi yang tidak mereda.
Kemudian pencarian demokrasi cara kita, yang selalu menimbulkan
permasalahan. Kita masih mencari-cari format yang tepat bentuk
pemerintahan, antara sentralisasi atau desentralisasi, antara unitarianisme
atau federalisme, antara pemusatan pemerintahan atau otonomi
provinsialis. Begitu juga kita masih “kebingungan” menentukan
kebijakan perekonomian. Haruskah kita menjadi negara yang liberal,
yang semua keputusan ditentukan oleh mekanisme pasar. Atau kita
menjadi negara yang sosialis, yang serba diatur oleh negara, atau
gabungan keduanya, atau memiliki ciri khas sendiri, misalnya
perekonomian khas Indonesia yang berdasar pada nilai-nilai Pancasila.
Dalam kenyataannya berbagai aset negeri ini “dikuasai” oleh asing,
menyebabkan kita sebagai tuan rumah menjadi asing di negeri sendiri.
Namun demikian, sebagai warga Indonesia yang mencintai negeri
ini, kita pun tidak boleh apatis dan serba menyalahkan pemimpin atau
orang lain, yang kita pandang tidak betul dan bijaksana. Masih ada Tuhan
yang selalu beserta kita. Rintisan-rintisan menuju ke masa depan yang
lebih baik, tidak pernah berhenti kita lakukan. Kita pun percaya ada
campur tangan Tuhan dalam memelihara negeri ini dari perbuatan-
perbuatan insan yang tidak bertanggung jawab.
Ikhtiar perlu terus kita lakukan untuk menjadikan bangsa ini menjadi
unggul dan bermartabat, dengan tetap menjunjung konsistensi integrasi
sebagai makhluk, baik secara internal dan eksternal. Di antaranya adalah
melalui pembentukan karakter yang didukung oleh identitas atau jatidiri,
yang mengakar pada kebudayaan kita.
Kebudayaan yang salah satu unsurnya adalah seni, merupakan dasar
kita dalam membentuk karakter yang kuat. Sebelum kita merdeka, kita
belum mempunyai budaya nasional, yang ada barulah budaya etnik.
Kemudian selepas kita merdeka pada menjelang paruh kedua abad kedua
puluh, barulah kita memiliki seni budaya kebangsaan. Namun demikian
gagasan budaya nasional itu sudah mulai diwacanakan oleh para pemikir
budaya di dasawarsa 1930-an.

2
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

Melalui tulisan ini, penulis akan menguraikan hubungan seni budaya,


baik dari lingkup etnik atau nasional dalam rangka mendukung karakter
kita sebagai sebuah bangsa yang majemuk (multikultur). Karaker yang
dimaksud adalah karakter positif, seperti karakter religius, nasionalis,
menjunjung kebersamaan, musyawarah dan mufakat, dan sejenisnya.
Pendekatan yang digunakan adalah melalui multidisiplin ilmu, dan tentu
saja pengalaman penulis sebagai seorang ilmuwan di bidang
etnomusikologi dan pengkajian media, khususnya untuk seni budaya
Melayu.

2. Muncul dan Berkembangnya Istilah Indonesia


Kepulauaan yang ada di Nusantara ini, sejak awal dihuni oleh
berbagai kelompok etnik, dengan bahasa dan kebudayaan mereka
masing-masing. Sebelum lahirnya negara-negara bangsa, di kawasan ini
muncul kerajaan-kerajaan yang besar atau kecil, baik dilihat dari
kekuasaan atau wilayahnya. Yang paling besar dan menonjol adalah
Kerajaan (Melayu) Sriwijaya dan Kerajaan (Jawa) Majapahit. Setelah
Islam datang pun, sistem kerajaan itu terus berlanjut, yaitu pemerintahan
dalam sistem kesultanan. Akhirnya masyarakat yang demikian heterogen
di Nusantara ini membentuk negara-negara bangsa, yaitu Indonesia,
Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, dan Thailand. Di
antara negara-negara rumpun Melayu di atas, yang paling besar jumlah
penduduk dan wilayahnya adalah Indonesia.
Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang dibentuk berdasarkan
realitas keberagaman, baik itu agama, etnik, ras, maupun golongan. Sejak
awal, pembentukan Indonesia telah dirintis oleh para pendiri bangsa
untuk menjadi sebuah negara yang plural, namun diikat oleh berbagai
persamaan. Konsep bhinneka tunggal ika, walau berbeda tetap satu jua,
adalah yang dipandang paling sesuai untuk berdirinya negara Indonesia
merdeka. Dalam sejarah perjuangan bangsa, umat Islam yang mayoritas,
dengan berbesar hati merelakan Piagam Jakarta digantikan dengan
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Indonesia bukan negara
agama, tetapi negara yang setiap umatnya wajib beragama.
Secara harfiah, Indonesia berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu
dari akar kata Indo yang artinya Hindia dan nesos yang artinya pulau-
pulau. Jadi Indonesia maksudnya adalah pulau-pulau Hindia (jajahan
Belanda). Dalam sejarah ilmu pengetahuan sosial, pencipta awal istilah
Indonesia adalah James Richardson Logan tahun 1850, ketika ia
menerbitkan jurnal yang berjudul Journal of the India Archipelago and

3
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

Eastern Asia, di Pulau Pinang, Malaya. Jurnal ini terbit dari tahun 1847
sampai 1859. Selain beliau, tercatat juga dalam sejarah, yang
menggunakan istilah ini adalah seorang Inggris yang bernama Sir
William Edward Maxwell tahun 1897. Ia adalah seorang pakar ilmu
hukum, pegawai pamongpraja, dan sekali gus sekretaris jendral Straits
Settlements, kemudian menjabat sebagai Gubernur Pantai Emas
(Goudkust). Ia memakai istilah Indonesia dalam bukunya dengan sebutan
The Islands of Indonesia.
Selain itu, ilmuwan yang paling membuat populer istilah Indonesia
di kalangan ilmuwan dunia, adalah Prof. Adolf Bastian, seorang pakar
etnologi (antropologi) yang ternama. Dalam bukunya yang bertajuk
Indonesian Order die Inseln des Malayeschen Archipels (1884-1849), ia
menegaskan arti kepulauan ini. Dalam tulisan ini ia menyatakan bahwa
kepulauan Indonesia meliputi suatu daerah yang sangat luas--termasuk di
dalamnya Madagaskar di Barat, sampai Formosa di Timur. Nusantara
adalah pusatnya. Keseluruhan wilayah itu adalah sebagai satu kesatuan
wilayah budaya. Pengertian istilah Indonesia ini juga digunakan oleh
William Marsden (1754-1836), seorang gewestelijk secretaris Bengkulen.
Sementara itu, Gubernur Jenderal Jawa di zaman pendudukan Inggris
(1811-1816), Sir Stanford Raffles (1781-1826) dalam bukunya yang
bertajuk The History of Java, menyebut juga istilah Indonesia, dengan
pengertian yang sama. Kesatuan kepulauan dan lautnya itu disebut dan
dijelaskan pula oleh John Crawfurd (1783-1868), seorang pembantu
Raffles.
Pada awalnya, istilah Indonesia hanya digunakan sebagai istilah ilmu
pengetahuan saja. Namun, ketika pergerakan nasional muncul di sini,
nama tersebut digunakan secara resmi oleh para pemuda Indonesia untuk
mengganti istilah Nederlandsch-Indië. Organisasi yang pertama kali
memakai istilah Indonesia adalah Perhimpunan Indonesia, yaitu satu
perkumpulan mahasiswa di Negeri Belanda.
Di zaman penjajahan Belanda, tokoh-tokoh nasional kita telah
mencoba mengganti istilah Nederlandsch-Indië dengan istilah Indonesia.
Juga mencoba menukar istilah Inboorling, Inlander dan Inheemsche,
dengan Indonesiër. Namun pemerintah Hindia Belanda tetap kukuh
dengan pendiriannya, dengan alasan yuridis. Namun setelah Undang-
undang Dasar Belanda diubah, sejak 20 September 1940, istilah
Nederlandsch-Indië diubah menjadi Indonesië.

4
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

Selain istilah Indonesia, dikenal pula istilah sejenis yang juga


merujuk kepada pengertian Indonesia. Istilah itu adalah Nusantara.
Istilah ini awal kali dikemukakan oleh Patih Gadjah Mada, seorang
panglima kerajaan Majapahit di abad ke-12, ketika ia mengucapkan
sumpah palapa. Istilah Nusantara ini mengandung makna kawasan
pulau-pulau yang terletak di antara dua samudera dan dua benua.
Berdasarkan sejarah, kawasan Nusantara pernah diperintah oleh dua
kerajaan besar, yaitu Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Secara historis, masyarakat Indonesia mengalami sejarah yang
hampir sama. Dimulai dari masa animisme dan dinamisme sampai abad
pertama Masehi. Dilanjutkan masa Hindu dan Budha dari abad pertama
sampai ketiga belas. Selanjutnya Islam datang secara masif sejak abad
ketiga belas, dan kontinuitasnya terjadi sampai sekarang ini. Sementara
pengaruh Eropa sudah masuk sejak dasawarsa kedua abad keenam belas.
Penjajahan Belanda selama tiga setengah abad dan Jepang selama tiga
setengah tahun, menciptakan polarisasi masyarakat Nusantra membentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemudian merdeka tahun
1945. Dalam era kemerdekaan ini, bangsa Indonesia melalui masa Orde
Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi, dengan penonjolan paradigmanya
masing-masing. Orde Lama dengan ideologinya, Orde Baru dengan
ekonominya, dan Era Refomasi dengan demokratisasinya.
Kini bangsa Indonesia dihadapkan dengan globalisasi, yaitu proses
sosiobudaya dalam tingkatan global, yang memandang manusia berada
dalam satu kampung dunia (global village). Dalam keadaan sedemikian
rupa, berbagai dampak positif maupun negatif akan datang dan
menggerus semua bangsa atau kelompok manusia di dunia. Dalam rangka
mengisi dan menghadapi proses globalisasi, serta untuk mengisi
kemerdekaan dan pembangunan, diperlukan penguatan karakter bangsa
Indonesia, yang heterogen.

3. Aneka Agama, Budaya, dan Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia


Karakter bangsa Indonesia sangat didukung oleh eksistensinya yang
beragam, dalam konsepsi multikultural. Gagasan tentang multikultural
yang dikembangkan di dunia sains sosial, baru muncul di dekade 1970-
an. Agama dan budaya, dan dalam way of life nasional, yaitu konsep
bhinneka tunggal ika, yang ada di Indonesia sendiri sudah sangat
mendukung bagaimana menerima, menghargai, menghormati, dan
melakukan toleransi kepada orang yang lain dari diri kita, dalam rangka
menuju cita-cita bersama dalam sebuah negara bangsa.

5
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

Dalam rangka menerima orang lain yang berbeda, baik itu agama,
suku, atau ras, masing-masing agama juga telah menganjurkannya.
Sebagai contoh, agama Islam mengajarkan bahwa pada dasarnya manusia
di dunia ini terdiri dari laki-laki, perempuan, bersuku-suku, dan
berbangsa-bangsa. Untuk saling kenal mengenal sesamanya. Semuanya
sama di depan Tuhan. Yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka
yang bertakwa. Ukuran takwa ini juga Allah langsung yang menilainya,
bukan manusia. Konsep menghargai perbedaan manusia ini, dalam ajaran
Islam tercermin dalam Al-Qur’an, surat Hujurat ayat 13, seperti berikut.

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Secara teologis dan sosioreligius, Islam tidak memaksa manusia


mana pun di muka bumi ini untuk masuk Islam (mualaf). Islam
menghargai orang menganut agama atau religi apapun. Bahkan ketika
Islam ditawari untuk beribadah di tempat ibadah agama bukan Islam dan
mesjid secara bersama-sama dan bergantian, maka muncul ajaran Allah,
bahwa dalam ibadah tidak mungkin disatukan atau dicampuradukkan
perbedaan teologis dan tata cara ibadahnya antara agama Islam dengan
agama lainnya. Ini tercermin dalam Al-Qur’an, surat Al-Kafirun, ayat 6
sebagai berikut.

Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Nabi Muhammad sendiri sejak awal telah mendisain masyarakat


multikultur melalui Piagam Madina. Dalam konsepnya, Nabi Muhammad
6
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

ingin menciptakan masyarakat yang terdiri dari berbagai agama, yaitu


Islam, Kristen, Yahudi dan lainnya (Majusi dan Musyrikin Arab) dalam
sebuah negara, yang diperintah langsung oleh Nabi. Jauh sebelum
munculnya Perserikatan Bangsa-bangsa dengan Deklarasi Hak Azasi
Manusia, Nabi Muhammad telah mengkonsepkan dan melakukannya.
Dalam teologi Kristen pula, penghargaan dan menghormati orang
yang berbeda agama juga diajarkan oleh agama ini. Ajaran tentang
menghormati perbedaan ini dikonsepkan dalam inkulturasi, yaitu sebuah
istilah yang digunakan di dalam paham Kristiani, terutama dalam Gereja
Katolik Roma, yang merujuk pada adaptasi dari ajaran-ajaran Gereja
pada saat diajukan kepada kebudayaan-kebudayaan non-Kristiani, dan
untuk mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan tersebut pada evolusi
ajaran-ajaran Gereja.
Selain agama yang telah berabad-abad mengajarkan
multikulturalisme, budaya-budaya yang ada di Nusantara juga
mengajarkannya. Sebagai contoh, orang Aceh bukanlah satu entitas
monokultur tetapi mereka terdiri dari berbagai suku. Di antara suku-suku
yang ada di Aceh adalah: (1) Aceh Rayeuk memiliki wilayah budaya di
Utara Aceh, dengan pusatnya di Banda Aceh atau Kutaraja, (2) etnik
Alas berdiam di Kabupaten Aceh Tenggara dan sekitarnya, (3) etnik
Gayo mendiami Kabupaten Aceh Tengah dan sekitarnya, (4) etnik
Kluet mendiami Kabupaten Aceh Selatan dan sekitarnya, (5) etnik
Aneuk Jamee mendiami Kabupaten Aceh Barat dan sekitarnya, (6)
etnik Semeulue mendiami Kabupaten Aceh Utara dan Kepulauan
Semeulue dan sekitarnya, serta (7) etnik Tamiang mendiami Kabupaten
Aceh Timur dan sekitarnya. Etnik Tamiang secara budaya
mempergunakan beberapa unsur kebudayaan yang sama dengan etnik
Melayu Sumatera Utara, dan bahasa mereka adalah bahasa Melayu.
Keadaan multikultur ini secara etnik ini, diwujudkan juga dalam
kesenian mereka. Katakanlah kesenian saman awalnya ada di Alas dan
Gayo, kesenian ula-ula lembing ada di Tamiang. Dalam proses interaksi,
akhirnya semua kesenian yang beridentitaskan suku-suku di Aceh ini
dipandang sebagai milik bersama.
Di Sumatera Utara, hal yang sama juga terjadi. Antara orang yang
disebut Batak itu sendiri, bukanlah masyarakat yang homogen. Mereka
terdiri dari sub-sub etnik, yang berbeda kebudayaan dan bahasanya. Di
antaranya adalah suku Karo, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Simalungun, dan
Mandailing-Angkola. Mereka memiliki kesenian yang berbeda-beda.
Bahkan bahasa pun misalnya antara Karo dengan Batak Toba juga

7
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

berbeda. Namun demikian ada pula persamaan di antara mereka yaitu tiga
struktur sosial masyarakat yang dilihat dari keturunan dari pihak ayah
(patrialineal) dan hubungan perkawinan. Kesemua suku tersebut
mendasarkan pengelompokan manusia berdasarkan tiga komposisi, yaitu
yang pertama saudara satu klen dari pihak ayah yang disebut dongan
sabutuha di Batak Toba, kahanggi di Mandailing, dengan sibeltek di
Pakpak-Dairi Yang kedua adalah pihak pemberi isteri, yang disebut hula-
hula di Toba, mora di Mandailing, kalimbubu di Karo. Yang ketiga
adalah pihak penerima isteri yang disebut anak boru, atau boru.
Masyarakat yang disebut Batak ini juga telah secara alamiah menerapkan
konsep multikultural.
Masyarakat Minangkabau, yang kita anggap homogen pun,
sebenarnya memiliki konsep-konsep multikulturalis-menya sendiri.
Secara wilayah budaya, orang Minangka-bau terdiri dari tiga kawasan,
yaitu darek, pasisie, dan rantau. Darek berada di kawasan Pegunungan
Bukit Barisan dengan pusatnya di Parahyangan Padangpanjang. Wilayah
pasisie adalah seputar pantai Barat Minangkabau. Yang ketiga adalah
wilayah rantau yang terdiri dari kawasan seperti Riau, Deli, Jambi,
Bangka-Belitung, sampai Negeri Sembilan Malaysia. Mereka juga
mengenal suku-suku yang ditarik dari garis keturunan ibu (matrilineal).
Suku-suku itu antara lain: Piliang, Koto, Sikumbang, Bodi, Chaniago,
Sijambak, Malayu, dan Mandahiling. Sistem pemerintahan tradisionalnya
juga ada dua yaitu sistem katamanggungan dan sistem datuk perpatih
nan sabatang. Dalam sejarah pun mereka memiliki hubungan dengan
kerajaan di Jawa, yakni dengan dikirimnya Dara Petak dan Dara Jingga,
yang mencerminkan sejak awal budaya Minangkabau telah mengakui
keberagaman (multikultur) sosiobudaya.
Bhinneka tungal ika sendiri adalah konsep kebangsaan Indonesia,
yang didasari secara realitasnya Indonesia itu adalah multikultur. Terdiri
dari berbagai suku bangsa, agama dan sistem religi yang berbeda. Ras
yang menghuni Indonesia juga bermacam-macam. Apalagi kebudayaan
etnik atau kebudayaan pendatang muncul di kawasan ini. Bagi bangsa
Indonesia, perbedaan itu adalah rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Perbedaan adalah mozaik atau zamrud di Khatulistiwa. Perbedaan
membuat pribadi bangsa Indonesia semakin dewasa dan matang.
Perbedaan yang dapat menimbulkan konflik, semestinya dimanaje-meni
menjadi pemicu integrasi dalam perbedaan.

8
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

Di sisi lain, selain dari perbedaan-perbedaan yang ada, semestinya


setiap warga negara Indonesia juga paham bahwa di antara mereka ada
persamaan-persamaan--baik itu agama, ras, atau budaya. Sebagai contoh,
Indonesia terdiri dari berbagai agama. Di antara agama-agama yang
berbeda ini terdapat berbagai kesamaan. Agama Islam, Katolik, dan
Protestan berasal dari induk agama Ibrahim, dengan pusat persebaran
awal di Timur Tengah. Sehingga sebenarnya tidak ada alasan untuk
saling menghujat, menghina, atau sampai berperang, meneteskan darah
ke bumi pertiwi. Antara Islam, Hindu, dan Budha juga memiliki
hubungan genealogis, terutama di awal perkembangan Islam di Jawa.
Orang yang beragama Islam saat itu, keluarganya ada yang beragama
Budha atau Hindu. Ini pun terus berlanjut sampai sekarang. Islam yang
mayoritas menjadi rahmat kepada semua penganut agama sesuai dengan
ajaran Islam.
Selain itu, persamaan lainnya adalah bahwa bangsa Indonesia ini
dalam tataran yang general, terdiri dari ras Melayu Tua, Melayu Muda,
dan Melanesia, dan pendatang. Ras ini sebenarnya dapat menjadi unsur
pemersatu mereka. Bahwa kawasan kebudayaan (atau bahasa) Melayu-
Polinesia pada prinsipnya memiliki kesamaan kultural. Sama halnya
masyarakat Semit dan Arab di Timur Tengah. Jadi selain multikultur, di
dalamnya juga terkandung persamaan kultur, tetapi kita tidaklah
menganut monokultur, seperti yang diterapkan dan dianut beberapa
negara di dunia ini.
Yang penting dipahami adalah bahwa di antara perbedaan ada faktor
pemersatu budaya. Di antaanya adalah sumbangan bahasa Melayu kepada
bahasa nasional. Demikian juga seni-seni Melayu seperti Serampang Dua
Belas, Orkes Melayu, dangdut, kini sudah menjadi identitas kebudayaan
nasional Indonesia. Genre sastra seperti syair, talibun, gurindam, ghazal,
pantun, dan lain-lainnya sudah menjadi bahan kajian di sekolah-sekolah
di seluruh Indonesia, yang berdampak memberikan karakter dan identitas
bangsa Indonesia, yang sedang menjalani proses pembentukan
kebudayaan nasionalnya.

4. Gagasan Kebudayaan Nasional


Sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia telah meletakkan dasar
konstitusionalnya mengenai kebudayaan nasional, seperti yang termaktub
dalam pasal 32 Undang-undang Dasar 1945. Bahkan lambang negara
Indonesia, Garuda Pancasila merentangkan tulisan Bhinneka Tunggal Ika

9
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

(yang artinya biar berbeda-beda tetapi tetap satu). Selengkapnya pasal 32


ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32

(1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah


peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat
dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya. ****)

(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai


kekayaan budaya nasional. ****)

Pasal 32 UUD 1945 yang diamandemen pada kali yang keempat


tersebut di atas, pada pasal (1) memberikan arahan bahwa negara
memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia,
dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya. Artinya bangsa Indonesia sadar
bahwa budaya nasional mereka berada di dalam arus globalisasi, namun
untuk mempertahankan jatidiri masyarakat diberi kebebasan dan bahkan
sangat perlu memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya (tradisi
atau etniknya). Pada pasal (2) pula, negara menghormati dan
memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dengan
demikian jelas bagi kita bahwa bahasa daerah (dan juga kesenian atau
budaya daerah/etnik) sebagai bahagian penting dari kebudayaan nasional.
Artinya kebudayaan nasional dibentuk oleh kebudayaan (bahasa) etnik
atau daerah—bukan kebudayaan asing. Dengan demikian jelas bahwa
Indonesia memiliki budaya nasional, yang berasal dari budaya etnik, ran
bukan penjumlahan budaya etnik.
Beberapa dasawarsa menjelang terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia, para intelektual dan aktivis budaya kita telah
memiliki gagasan tentang kebudayaan nasional. Dalam konteks ini,
mereka mengajukan pemikirannya masing-masing sambil berpolemik apa
itu kebudayaan nasional dan ke mana arah tujuannya. Pelbagai tulisan
membahas gagasan itu dari berbagai sudut pandang, yang terbit dalam
kurun masa dekade 1930-an.
Sebahagian tulisan ini merupakan hasil dari Permusyawaratan
Perguruan Indonesia di Surakarta (Solo), pada 8 sampai 10 Juni 1935. Di
10
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

antara intelektual budaya yang mengemukakan gagasannya adalah: Sutan


Takdir Alisyahbana (STA) pengarang dan juga mahasiswa Sekolah
Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta; Sanusi Pane, seorang
pengarang; Soetomo, dokter dan pengarang; Tjindarbumi, wartawan;
Poerbatjaraka, pakar filologi; Ki Hajar Dewantara, pendiri dan pemimpin
perguruan nasional Taman Siswa (lihat Koentjaraningrat 1995).
Gagasan-gagasan mereka secara garis besar adalah sebagai berikut.
Sutan Takdir Alisyahbana yang berasal dari Sumatera, berpendirian
bahwa gagasan kebudayaan nasional Indonesia, yang dalam artikelnya
diistilahkan dengan Kebudayaan Indonesia Raya, sebenarnya baru mulai
muncul dan disadari pada awal abad kedua puluh, oleh generasi muda
Indonesia yang berjiwa dan bersemangat keindonesiaan. Menurutnya,
sebelum gagasan Indonesia Raya disadari dan dikembangkan, yang ada
hanyalah kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di daerah. STA
menganjurkan agar generasi muda Indonesia tidak terlalu tersangkut
dalam kebudayaan pra-Indonesia, dan dapat membebaskan diri dari
kebudayaan etniknya--agar tidak berjiwa provinsialis, tetapi dengan
semangat Indonesia baru. Kebudayaan Nasional Indonesia merupakan
satu kebudayaan yang dikreasikan, yang baru sama sekali, dengan
mengambil banyak unsur dari kebudayaan yang kini dianggap paling
universal, yaitu budaya Barat. Unsur yang diambil terutama dalam 4
bidang yaitu teknologi, orientasi ekonomi, organisasi, dan sains (ilmu
pengetahuan). Orang Indonesia harus mempertajam rasio akalnya dan
mengambil dinamika budaya Barat. Pandangan ini mendapat sanggahan
sengit dari beberapa pemikir lainnya.
Sanusi Pane yang juga berasal dari Sumatera, menyatakan bahwa
kebudayaan nasional Indonesia sebagai kebudayaan Timur, harus
mementingkan aspek kerohanian, perasaan, dan gotong-royong, yang
bertentangan dengan kebudayaan Barat yang sangat berorientasi kepada
materi, intelektualisme, dan individualisme. Sanusi Pane tidak begitu
setuju dengan STA yang dianggapnya dalam menggagas kebudayaan
nasional Indonesia terlalu berorientasi kepada kebudayaan Barat dan
harus membebaskan diri dari kebudayaan pra-Indonesia. Karana itu
berarti pemutusan diri dari kesinambungan sejarah budaya dalam rangka
memasuki zaman Indonesia baru.
Poerbatjaraka yang berasal dari Jawa, menganjurkan agar orang
Indonesia banyak mempelajari sejarah kebudayaannya, agar dapat
membangun kebudayaan yang baru. Kebudayaan Indonesia baru itu harus

11
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

berakar kepada kebudayaan Indonesia sendiri atau kebudayaan pra-


Indonesia.
Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa kebudayaan nasional
Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Soetomo
menganjurkan pula agar dasar-dasar sistem pendidikan pesantren
dipergunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional Indonesia,
yang ditentang oleh STA. Sementara itu, Adinegoro mengajukan sebuah
gagasan yang lebih moderat, yaitu agar pendidikan nasional Indonesia
didasarkan pada kebudayaan nasional Indonesia, sedangkan kebudaya-
annya harus memiliki inti dan pokok yang bersifat kultur nasional
Indonesia, tetapi dengan kulit (peradaban) yang bersifat kebudayaan
Barat.
Sebuah gagasan akan dilanjutkan ke dalam praktik, agar fungsional
dalam masyarakat pendukungnya. Fungsi sebuah gagasan bisa saja
relatif sedikit, namun boleh pula menjadi banyak. Demikian pula gagasan
kebudayaan nasional memiliki berbagai fungsi dalam negara Indonesia
merdeka. Koentjaraningrat (1995) seorang ilmuwan antropologi
kenamaan Indonesia, menyebutkan bahwa kebudayaan nasional
Indonesia memiliki dua fungsi, yaitu: (i) sebagai suatu sistem gagasan
dan pralambang yang memberi identitas kepada warga negara Indonesia
dan (ii) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang dapat
dipergunakan oleh semua warga negara Indonesia yang bhinneka itu,
untuk saling berkomunikasi, sehingga memperkuat solidaritas. Dalam
fungsinya yang pertama, kebudayaan nasional Indonesia memiliki tiga
syarat: (1) harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia, atau
hasil karya orang-orang zaman dahulu yang berasal dari daerah-daerah
yang sekarang merupakan wilayah negara Indonesia; (2) unsur itu harus
merupakan hasil karya warga negara Indonesia yang tema pikirannya atau
wujudnya mengandung ciri-ciri khas Indonesia; dan (3) harus sebagai
hasil karya warga negara Indonesia lainnya yang dapat menjadi
kebanggaan mereka semua, sehingga mereka mau mengidentitaskan diri
dengan kebudayaan tersebut.
Dalam fungsi kedua, harus ada tiga syarat yaitu dua di antaranya
sama dengan syarat nomor satu dan dua fungsi pertama, syarat nomor
tiga yaitu harus sebagai hasil karya dan tingkah laku warga negara
Indonesia yang dapat dipahami oleh sebahagian besar orang Indonesia
yang berasal dari kebudayaan suku-suku bangsa, umat agama, dan ciri
keturunan ras yang aneka warna, sehingga menjadi gagasan kolektif dan

12
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

unsur-unsurnya dapat berfungsi sebagai wahana komunikasi dan sarana


untuk menumbuhkan saling pengertian di antara aneka warna orang
Indonesia, dan mempertingi solidaritas bangsa.
Menurut penulis, dalam proses pembentukan budaya nasional
Indonesia, selain orientasi dan fungsinya, juga harus diperhatikan
keseimbangan etnisitas, keadilan, dan kejujuran dalam mengangkatnya
dari lokasi daerah (etnik) ke tingkat nasional. Sebaiknya proses ini
terjadi secara wajar, alamiah dan natural, dan bukan bersifat pemaksaan
pusat terhadap daerah atau sebaliknya. Di samping itu proses itu harus
pula menyeimbangkan antara bhinneka dan ikanya budaya Indonesia.
Perlu disadari pula bahwa budaya nasional bukan penjumlahan kuantitatif
budaya etnik Indonesia. Budaya nasional terjadi sebagai proses dialogis
antara budaya etnik dan setiap etnik merasa memilikinya.
Budaya nasional kita yang dapat kita rasakan wujudnya adalah
bahasa Indonesia. Kemudian pakaian dalam bentuk peci, batik, jas,
kebaya, baju kurung juga menjadi pakaian nasional. Kesenian seperti
keroncong, tari Serampang Dua Belas, tari Poco-poco, dangdut, dapat
pula kita kategorikan sebagai kesenian nasional Indonesia. Sistem
pertanian subak di Bali, budaya kegotongroyongan, sikap peramah,
pemaaf, suka mengolah secara kreatif budaya seluruh dunia, adalah
beberapa hal yang mendukung kebudayaan nasional.
Budaya nasional ini menjadi jatidiri tersendiri bagi bangsa
Indonesia. Budaya nasional dibentuk dan didukung terutama oleh budaya
etnik atau daerah. Untuk itu diperlukan pemeliharaan dan pengembangan
warisan budaya etnik atau tradisi Indonesia dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Agar kita memiliki jatidiri yang kokoh seacara etnik dan
nasional maupun transnasional. Caranya ialah seperti kata pepatah tak
kenal maka tak sayang. Oleh karena itu, perlu dilakukan pagelaran seni
pertunjukuan, pameran seni rupa, penayangan budaya etnik dalam media
massa seperti televisi, koran, video, internet, dan media-media lainnya.
Selain itu, setiap etnik di Indonesia juga jangan hanya mengapresiasi
kesenian etniknya sendiri. Mereka harus mampu menjadi pengamat
outsider bagi kesenian-kesenian etnik lain. Kesadaran kultural tentang
keberanekaragaman adalah anugerah dan kekayaan dari Tuhan dan perlu
terus menerus ditumbuhkembangkan, bukan saling menghina dan
mengejek. Agama, budaya, dan konsep ketatanegaraan kita juga
menganjurkan tentang pentingnya menghargai perbedaan kultural ini.

13
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

5. Aneka Seni Budaya sebagai Dasar Pembentukan Karakter


Bangsa
Indonesia terdiri dari masyarakat2 yang heterogen dan kompleks.
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari aneka-ragam agama, bahasa,
kebudayaan, kelompok etnik, ras, dan lainnya tersebut, dalam ilmu-ilmu
sosial lazim dikenali dengan mayarakat multikultural. Multikultural dapat
diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap berbagai
kebudayaan. Masyarakat multikultural dapat dimaknakan sebagai
sekelompok manusia yang hidup menetap di satu tempat, namun
memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri. Dari istilah multikultural
akhirnya muncul istilah derivatnya yaitu multikulturalisme. Istilah ini
dapat diartikan sebagai pandangan tentang realitas keanekaragaman
budaya. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan
dunia yang kemudian diwujudkan dalam politics of recognition
(Azyumardi Azra 2007).
Dari wilayah Sabang sampai Merauke, dari Pulau Rote sampai
Talaud, terdapat berbagai kesenian tradisi yang hidup menyatu dengan
kebudayaan masyarakatnya. Kesenian tradisi ini sangat banyak jenis dan

2
Istilah yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup ma-
nusia, baik dalam tulisan ilmlah maupun dalam bahasa sehari-hari adalah masyarakat.
Padanannya dalam bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata Latin socius, yang
berarti "kawan.” Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang
berarti "ikut serta, berpartisipasi.” Masyarakat adalah memang sekumpulan manusia yang
saling bergaul (berinteraksi). Satu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui
apa warga-warganya dapat saling berinteraksi. Satu negara modem adalah kesatuan
manusia dengan berbagai macam prasarana, yang memungkinkan para warganya
berinteraksi secara intensif. Selain ikatan adat-istiadat khas yang meliputi sektor
kehidupan serta suatu kontinuitas dalam waktu, sebuah masyarakat mempunyai ciri lain,
yaitu satu rasa identitas. Mereka merupakan satu kesatuan khusus yang berbeda dengan
kesatuan manusia lainnya. Ciri-ciri memang dimiliki oleh penghuni suatu asrama kos
atau anggota suatu sekolah, tetapi tidak adanya sistem norma yang menyeluruh serta tidak
adanya kesinambungan, menyebabkan penghuni suatu asrama atau murid suatu sekolah
tidak disebut masyarakat. Sebaliknya suatu negara, kota, atau desa, merupakan kesatuan
manusia yang memiliki ciri-ciri: (a) interaksi antara warga-warganya, (b) adat-istiadat, (c)
norma-norma, (d) hukum dan aturan-aturan khas; (e) kontinuitas dalam waktu; dan (f)
memiliki rasa identitas yang mengikat semua warga. Itulah sebabnya satu negara atau
desa dapat kita sebut masyarakat. Dari uraian di atas dapat didefinisikan istilah
masyarakat dalam konteks antropologi: masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang
berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifiat kontinu, dan yang
terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat 1990:146-147).

14
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

genrenya. Di Aceh ditemui genre seni: shaman, rapai Pasai, rapai dabus,
rapai lahee, rapai grimpheng, rapai pulot, alue tunjang, poh kipah, biola
Aceh, meurukon, dan sandiwara Aceh. Pada masa kini berkembang tari
kreasi baru, yang berbasis dari tari-tarian tradisional. Di antara contoh
tari kreasi baru adalah Tari Ranup Lampuan, Rampoe Aceh, Pemulia
Jame, Tarek Pukat, Limong Sikarang, Ramphak Dua, dan lainnya. Istilah
seudati berasal dari kata yahadatin, yang mengandung makna pernyataan
atau penyerahan diri memasuki agama Islam dengan mengucapkan dua
kalimah syahadat. Tari Seudati dipertunjukkan oleh delapan orang laki-
laki dan dua orang aneuk syeh (syahie) yang bertugas mengiringi tarian
dengan syair dan lagu. Seluruh gerakan Tari Seudati berada di bawah
pimpinan seorang syeh seudati. Musik dalam Tari Seudati hanya
berbentuk bunyi yang ditimbulkan oleh hentakan kaki, kritipan tangan,
serta tepukan dada para penari, yang diselingi dengan syair lagu dari
aneuk syeh. Ini baru sebahagian kecil kesenian Aceh, masih banyak lagi
yang lainnya.
Sumatera Utara yang terdiri dari delapan kelompok etnik setempat
ditambah suku-suku pendatang dari Nusantara dan etnik-etnik dunia,
menjadikan kawasan ini kaya akan seni budaya. Di antara seni budaya
yang khas berasal dari Sumatera Utara adalah tari tortor dalam
kebudayaan Batak Toba, Simalungun, dan Mandailing-Angkola.
Repertoar tortor itu di antaranya adalah Tortor Somba-somba, Tortor
Nauli Bulung, Tortor Saoan, Tortor Hatasopisik, Tortor Naposo Bulung,
dan lainnya. Dalam budaya Karo dikenal pula landek, seni tari tradisional
Karo. Contohnya Tari Peseluken, Mulih-mulih, Piso Surit, Guro-giro
Aron, dan lainnya. Seni musik tradisional dari kawasan ini di antaranya
ensambel gondang sabangunan Batak Toba, gondang hasapi, berbagai
lagu (ende), gordang sambilan, gordang tano, gondang aek, gonrang
sipitu-pitu, gonrang dua, gendang telu sedalanen, gendang lima
sedalanen, sikambang, musik ronggeng Melayu, musik Makyong, dan
masih banyak lagi yang lainnya.
Lagu-lagu Melayu Deli yang berasal dari Sumatera Utara juga
memberikan identitas yang khas Melayu Sumatera Utara. Lagu seperti
Kuala Deli, Seri Langkat, Zapin Deli, Zapin Serdang, menguatkan
identitas kebudayaan Melayu Sumatera Utara. Dari kawasan Mandailing
ada musik jeir dan onang-onang. Begitu juga dari Nias ada tarian hombo
batu (melompati batu), maena, faluaya, maluaya, dan lain-lainnya.
Di Sumatera Barat, wilayah budaya Minangkabau terdapat ensambel
musik tradisional talempong, dengan berbagai derivatnya seperti

15
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

talempong unggan, talempong jao, talempong rea, talempong pacik,


talempong pentatonik, dan talempong diatonik. Kemudian ada genre
musik dan tari gamat, tari piring, tari galombang, randai, dikie, salawaik
talam, zapin, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua ini
memperlihatkan betapa kayanya seni budaya di kawasan ini.
Selanjutnya di Jawa ada pula tradisi wayang kulit purwa.
Pertunjukan wayang dengan kemahiran sang dalang, dapat menyajikan
berbagai macam pengetahuan, filsafat hidup berupa nilai-nilai budaya dan
berbagai unsur budaya seni yang terpadu dalam seni pendalangan.
Pertunjukan wayang yang di dalamnya terdapat perpaduan antara seni
suara, seni musik (gamelan), dan seni rupa, merupakan bentuk kesenian
sangat disukai masyarakat Jawa. Menurut penelitian para ahli, wayang
kulit diciptakan oleh Sunan Kalijaga (salah seorang dari wali songo) pada
abad 15 dan 16 di daerah Pesisir Utara Jawa yang dipakai untuk
menyebarkan agama Islam.
Cerita pewayangan ini bersumber pada epos Ramayana dan
Mahabrata yang diadopsi dari India. Kemudian cerita pertunjukan
wayang dalam perkem-bangan selanjutnya juga menampilkan
cerita-cerita di luar patokan yang ada, sehingga merupakan bentuk variasi
untuk menghilangkan kebosanan para penontonnya. Cerita-cerita tersebut
pada akhimya juga kembali lagi pada inti atau sumber cerita. Semula
pertunjukan kesenian wayang hanya wayang kulit, kemudian berkembang
menjadi pertunjukan wayang golek, wayang beber, wayang orang
(wong), dan sebagainya. Selain itu ada pula reyog Ponorogo yang
berasal dari kawasan Ponorogo Jawa Timur. Ditambah lagi dengan teater
ludruk. Begitu pula dengan tari-tarian seperti Bedhaya Ketawang, Srimpi,
Tari Tayub atau Ronggeng, dan lain-;lainnya. Ensambel gamelan yang
sebahagian besar merupakan alat musik yang terbuat dari logam
perunggu dengan tangga nada pelog dan slendronya menjadi ciri khas
tradisi karawitan atau musik Jawa.
Di Kalimantan dijumpai tarian jepen, yaitu tarian zapin yang berasal
dari Timur Tengah dan menjadi ciri khas kawasan Kalimantan. Lagu
Paris Berantai menjadi ciri khas daerah ini pula, khususnya di wilayah
Selatan Kalimantan. Tari-tarian dan musik sapeh dari budaya masyarakat
Dayak dengan suku-sukunya seperti Modang, Kenyah, Iban, Muruts,
Kadazan, Iban, Melanau, dan lainnya memberikan suasana dan nuansa
tersendiri kesenian-kesenian di Pulau Kalimantan.

16
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

Sulawesi pula menyumbangkan berbagai kesenian tradisinya seperti


ensambel gendangnya, dengan berbagai tarian dan musik. Ada genre
musik kecapi, musik gendang tradisi Bugis, suling culalabai, suling
buluh. Ada pula Tari Pelangi, Tari Paduppa Bosara, Tari Pattenung,
Tari Pajoge, Tari Anak Masari, dan lain-lainnya. Kesemua ini
memberikan identitas khas kepada seni budaya di kawasan Sulawesi.
Begitu juga di wilayah-wilayah lain di seluruh Indonesia.
Keberadaan seni tradisi di seluruh kepulauan di Indonesia ini,
merupakan perwujudan alamiah, bahwa secara realitas Indonesia adalah
multikultur, tidak monokultur. Seni budaya yang ada ini menjadi modal
dasar dalam membina karakter dan jatidiri bangsa kita. Di dalam kesenian
terkandung nilai-nilai pendidikan untuk menyemai dan mengambangkan
karakter dan jatidiri bangsa kita. Karaker yang kuat akan menghasilkan
kepercayaan diri yang kuat dan mandiri, tidak mudah diintervensi oleh
siapa pun juga. Berikut ini menurut penulis adalah karakter dan identitas
khas bangsa Indonesia yang juga tercermindalam seni budaya

6. Karakter dan Jatidiri Bangsa dalam Seni


Di dalam kesenian terdapat berbagai macam karakter bangsa.
Karakter bangsa dalam disiplin antropologi (khususnya masa lampau)
dipandang sebagai tata nilai budaya dan keyakinan yang terekspresi
dalam kebudayaan suatu masyarakat, dan memancarkan ciri-ciri khas ke
luar. Sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian
masyarakat tersebut (Armando et al., 2008:8). Karakter ini biasanya
ditransmisikan melalui pendidikan budaya. Tujuan pendidikan budaya
dan karakter bangsa adalah untuk mengembangkan potensi kalbu peserta
didik sebagai manusia dan warga negara, yang memiliki nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku
peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan
tradisi budaya bangsa Indonesia yang religius.
Karakter adalah sebuah kualitas individu yang kompleks dan
bersifat unik, yang menjadikan sikap maupun perilaku setiap orang saling
berbeda. Namun dalam konteks yang lebih luas pasti terwujud latar
belakang budaya yang menyebabkan karakkter mereka sama, karena
memiliki sistem nilai yang sama. Karakter, sikap, dan perilaku dalam
praktiknya muncul bersamaan. Oleh karena itu, pembahasan tentang
karakter tidak dapat dipisahkan dengan sikap dan perilaku. Karakter ini
akan muncul pada saat seseorang berinteraksi dengan orang lain atau

17
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

makhluk lain cipataan Allah, yang dalam ajaran Islam disebut dengan
hablum minannas.
Secara psikologis konsep awal karakter ini adalah bersifat
perseorangan. Namun selepas itu, apabila menjadi karakter bangsa, maka
perlu adanya acuan nilai-nilai karakter, yaitu kebudayaan bangsa
(nasional). Secara ringkas kebudayaan berisi sistem nilai, norma, dan
kepercayaan. Budaya dikembangkan dan diamalkan oleh masyarakat
pendukungnya. Dampaknya sebahagian besar anggota masyarakat dalam
wilayah budaya ini memiliki kecenderungan yang sama dalam hal
mengamalkan sistem nilai, norma, dan kepercayaannya. Bahwa prilaku
merupakan resultan dari berbagai aspek pribadi dan lingkungan. Jadi
membincangkan karakter bangsa, akan melibatkan diskusi dalam ranah
psikologi dan kebudayaan.
Karakter bangsa bersifat dinamis. Dapat berubah dalam dimensi
waktu yang dilaluinya, walau tidak mudah. Contohnya adalah, dahulu
sering dikatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa Timur
(Oriental) yang mempunyai karakter sopan, santun, ramah-tamah,
berperasaan halus, tenggang rasa, toleran, dan lainnya yang
menggambarkan sebuah sikap atau prilaku yang mengindikasikan
keluhuran budi pekerti kita. Kini sedikit demi sedikit karakter tersebut
telah mengalami degradasi, distorsi, dan disorientasi.
Pada masa awal kemerdekaan kita, Bung Karno telah
memancangkan istilah nation and character building. Maknanya saat itu
telah wujud karakter bangsa, yang perlu terus dikembangkan dalam
rangka pembangunan bangsa. Jika perlu, karakter sebagai “abdi” harus
diubah menjadi egaliter. Pencanangan perlunya membangun karakter
atau watak bangsa sebagai bangsa Indonesia baru, sesungguhnya telah
direalisasikan. Karakter bangsa yang telah terbentuk ratusan tahun
sebagai pengabdi kepada penjajah, kegelapan, takhyul, feodalisme, dan
lainnya tidak sesuai lagi dengan polarisasi bangsa Indonesia yang
merdeka, berdaulat, bertakwa, beradab, bersatu, bermusyawarah, adil,
dan makmur.
Kini kita sepakat hendak membangun karakter bangsa. Namun
muncul persoalan yaitu karakter bangsa Indonesia itu seperti apa dan di
mana? Karakter bangsa berasal dari karakter-karakter etnik di seluruh
wilayah Indonesia, yang menjadi bahagian dari identitas nasional. Oleh
karena itu, karaker bangsa ini berjalan dan berkembang seiring dengan
terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia.

18
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

Karaker bangsa ini telah digagas oleh para pendiri negara dan
budayawan kita. Karakter tersebut tercermin dalam landasan ideal kita
yaitu Pancasila. Dengan menghayati dan mengamalkan Pancasila,
sejumlah besar karakter bangsa yang positif maka otomatis terwujud.
Kini yang menjadi hambatan dan tantangan adalah Pancasila tidak
tertransmisikan ke generasi muda secara baik. Bahkan beberapa tahun
belakangan di peringkat perguruan tinggi mata kuliah Pancasila dihapus.
Baru dua tahun belakangan dimunculkan kembali. Sama juga dengan
sejumlah mata elajaran pada kurikulum pesantren hendak dihapus. Ini
jelas adanya campur tangan pihak yang tidak setuju tegaknya karakter
bangsa yan berlandaskan Pancasila dan nilai-nilai agama yang dianut.
Tantangan lainnya adalah penerapan demokrasi di Indonesia cenderung
ke arah anarkis yang tidak sesuai dengan cita-cita luhur pendiri bangsa.
Demokrasi yang serba bebas mengalahkan nurani dan nilai religi.
Demokrasi menjadi sarana pemenuhan kehendak individu yang
memaksakan kehendak. Tentu bukan karakter seperti ini yang kita
inginkan.
Berdasarkan akar budaya dan seni universal milik bangsa Indonesia,
kita memiliki beberapa karakter positif seperti berikut ini. Bahwa kita
berkarakter religius, terekspresikan dalam sikap dan prilaku yang patuh
dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya dan toleran terhadap
pemeluk agama lain. Bahkan kebudayaan etnik kita pun selalu mengacu
kepada ajaran agama, misalnya di Aceh menyatunya adat dan agama
dikonsepkan dalam adat bak petumeuruhom, hukom bak syiah kuala.
Dalam budaya Melayu dan Minangkabau dikonsepkan adat bersendikan
syarak. Dalam Pancasila nilai religius ini juga terdapa dalam sila-silanya.
Nilai-nilai religius ini juga terdapat dalam seni di Indonesia, lihat saja
contohnya pada seni saman, hadrah, nasyid, kasidah, genjring bonyok,
salawaik dulang, dan lain-lainnya.
Karakter bangsa Indonesia lainnya adalah berjiwa merdeka, bebas,
dan tak mau dijajah. Ini tertuang dalam Pembukaan Undang-undang
Dasar 1945. Bahwa bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan adalah
hak semua bangsa oleh karena itu penjajahan harus dihapuskan, karena
tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. Dalam kesenian pun
karakter ini muncul, dalam bentuk kita harus berjiwa merdeka. Muali dari
lagu, pantun, puisi, prosa, dan lainnya mengekspresikan karakter ini.
Karakter bangsa kita lainnya adalah cinta kepada tanah air,
walaupun apa yang terjadi kita igin selalu menjaga keutuhannya. Wlu
terjadi pemberontakan, namun tidak sampai membuat negara baru.

19
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

Pemberontaka di daerah sebenarnya adalah sebagai bentuk kritik


ketidakdilan pemerintah pusat kepada daerah. Dalam seni pun kita
memiliki karakter demikian. Yang paling kuat adalah pada lagu-lagu
nasional seperti pada lagu kebangsaan Indonesia Raya, Padamu negeri,
Satu Nusa Satu Bangsa, Dari Sabang Sampai Merauke, dan lainnya.
Karakter bangsa Indonesia lainnya adalah jujur, yatu perilaku yang
didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat
dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Kejujuran ini
terdapat dalam kearifan lokal di Indonesia. Di lingkungan masyarakat
adat kejujuran ini amatlah diutamakan.
Karakter bangsa kita lainnya adalah membangun keadilan. Dalam
berbagai kebudayaan etnik keadilan ini menjadi inti dari hukum adat
mereka. Bahkan walau diperintah raja pun, masyarakat kita tetap
menginginkan adanya pembahagian kuasa. Rakyat bisa mengawasi raja.
Ini tercermin dalam ajaran politis raja adil raja disembah dan raja lalim
raja disanggah. Di dalamnya telah termuat nilai-nilai demokrasi ala
Indonesia.
Karakter bangsa Indonesia lainnya adalah ingin menegakkan
peradaban yang abadi, yang berdasar kepada panduan religi dan
konsistensi internal masyarakat. Ini tercantum dalam konsep biar mati
anak asal jangan mati adat. Artinya kesinambungan peradaban lebih
utama ketimbang penonjolan hak pribadi.
Seterusnya kita memiliki karakter disiplin, yang merupakan tindakan
yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan. Kita juga berkarakter sebagai pekerja keras. Perilaku yang
menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai
hambatan, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Selain itu
bangsa kita memiliki karakter kreatif. Berpikir dan melakukan sesuatu
untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
Kita juga memiliki karakter mandiri yang merupakan ikap dan perilaku
yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan
tugas-tugas.
Selanjutnya bangsa kita juga berkarakter untuk menjdi orang yang
berilmu. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui
lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan
didengar. Karakter bangsa Indonesia lainnya yang menonjol adalah
menjaga keseimbangan alam atau kosmologi. Budaya kita mengenal
pembagian alam seperti pada masyarakat Batak yang mengenal trikotomi

20
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

alam (banua datas, banua tengah, dan banua teruh). Adanya


kepercayaan dunia ini ada dua yaitu dunia nyata yaitu bumi dan alam
semesta dengan dunia makhluk gaib yang perlu dijaga keseimbangannya.
Orang rumpun Melayu seperti masyarakat Talang Mamak, Solai, dan
Bonai di Riau juga hidupnya bergantung kepada hutan, dan cenderung
berladang berpindah-pindah tempat untuk menjaga kelestarian alam.
Sayangnya habitat itu kini telah diubah, yang membuat
ketidakseimbangan ekosistem. Dalam kesenian misalnya terdapat dalam
ensambel gendang telu sidalanen Karo yang digunakan dalam upacara
erpangir ku lau, yang merupakan komunikasi dengan alam gaib.
Masih bayak karakter positif lainnya yang melekat kepada jatidiri
bangsa Indonesia. Dari sema karakter positif tersebut penulis
menggeneralisasiannya dengan sebutan bahwa bangsa Indonesia yang
berasal dari budaya etniknya, memiliki karakter yang menjaga
harmonisasi manusia degan manusia dan makhluk lain, serta manusia
dengan Tuhannya. Karakter ini dipancarkan melalui jatidiri atau identitas
yang kuat secara humaniora.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia (versi elektronik 2012)
jatidiri atau identitas (iden·ti·tas/ idéntitas, noun) dimaknakan sebagai
ciri-ciri atau keadaan seseorang. Misalnya dalam kalimat: Identitas
pembunuh itu sudah diketahui polisi. Kata turunan lainnya, yaitu
beridentitas (verbal), maknanya adalah mempunyai identitas
Identitas merujuk kepada kesadaran diri terhadap berbagai kelompok
karakteristik yang unik dan kesadaran diri individu dimasukkan dalam
kelompok tersebut. Kesadaran diri mungkin dirumuskan dalam bentuk
budaya yang komprehensif (identitas etnik), menyangkut pula biogenetik
(identitas ras), identitas jenis kelamin atau orientasi seksual, dan gender.
Individu dan kelompok manusia ada pula yang sering mengikuti beberapa
identitas yang sifatnya tentu saja lentur dan cair.
Jatidiri atau identitas bangsa Indonesia dibentuk oleh setiap warga
negara Indonesia. Jatidiri sangat diperlukan dalam rangka memperkuat
ketahanan sosiokultural masing-masing warga Indonesia. Seperti apa
jatidiri yang kita konsepkan dan amalkan? Menurut penulis, jatidiri ini
berada dalam empat dimensi dasar.
Yang pertama, adalah jatidiri individu atau setiap orang. Jatidiri
individu ini adalah ciri-ciri khusus yang membedakan seorang dengan
orang lainnya. Jatidiri individual ini merupakan anugerah Tuhan kepada
setiap orang. Ia menjadi bahagian dari takdir dirinya, untuk menjadi siapa
dan apa dirinya di dunia ini. Jatidiri individu ini dapat pula dibentuk oleh

21
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

lingkungan dan pendidikan di mana individu itu hidup dan berinteraksi


sosial. Contoh jatidiri individual adalah sifat-sifat yang dimiliki
seseorang. Bisa juga ciri-ciri fisik. Atau juga perilaku dalam pergaulan
sosialnya.
Dimensi jatidiri yang kedua adalah jatidiri dalam kelompok, bisa jadi
keluarga, klen, masyarakat, atau lazim dikenali sebagai identitas
kelompok etnik. Jatidiri etnik ini biasanya dilatarbelakangi oleh
kebudayaan di mana kelompok itu berkembang. Misalnya jatidiri orang
Aceh dibentuk oleh konsep-konsep adat seperti yang termaktub dalam
adat bak petomeuruhom, hukom bak syiah kuala. Orang Minangkabau
jatidiri etniknya didasari oleh konsep adat basandikan syarak—syarak
basandikan kitabullah, syarak mangato adat mamakai. Etnik Batak Toba
mengenal konsep 3h yaitu: hagabeon, hamoraon, dan hasangapon,
sebagai jatidiri mereka. Konsep ini mengarahkan setiap warga Batak
Toba dalam hidup di dunia untuk mencari kedudukan, pangkat, harta,
agar terhormat dan dihormati orang.
Dalam konteks sosial juga, jatidiri etnik ini bisa terwujud. Misalnya
dalam masyarakat Karo, terdapat organisasi sosial yang khas bersifat
etnik Karo yaitu persatuan merga silima. Persatuan ini merupakan wadah
silaturahmi etnik Karo, baik di wilayah budaya Karo atau di perantauan,
seperti Medan, Riau, Jakarta, dan lainnya. Begitu juga dengan organisasi
sirombuk-rombuk, yang mewadahi aspirasi dan keinginan persatuan etnik
Mandaling dan Angkola. Gereja-gereja di Sumatera Utara juga ada yang
mendasarkan kepada kelompok etnik tertentu. Misalnya Huria Kristen
Batak Protestan (HKBP), yang berdasar kepada budaya etnik Batak Toba.
Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang berdasar kepada
budaya etnik Simalungun.
Selain dari tataran konseptual dan sosial, jatidiri etnik ini bisa pula
berwujud dalam bentuk fisik atau material. Orang Minangkabau memiliki
jatidiri rumah adatnya dalam bentuk bagonjong, serta makanan khas
Minangkabau seperti randang, nasi kapau, gulai cubadak, karupuak
jangek, sanjai, dan lainnya. Orang Melayu Deli memiliki bentuk
arsitektur seperti Mesjid Raya Al-Manshon yang merupakan paduan
antara arsitektur Melayu, India, Persia, dan Eropa. Begitu juga makanan
khas Melayu Deli seperti kue karas-karas, kari kambing, roti jala, dodol
Melayu, lemang Tebingtinggi, dan lain-lainnya. Dalam bentuk pakaian
Melayu misalnya penggunaan songket, destar, teluk belanga, seluar, dan

22
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

lain-lainnya. Semuanya itu memberikan jatidiri etnik yang membedakan


setiap etnik di dunia ini.
Jatidiri etnik ini juga selalu dihubungkaitkan dengan budaya tradisi.
Budaya tradisi ini adalah kebiasaan-kebiasaan yang telah digunakan oleh
sekelompok masyarakat tertentu, yang diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya, dan telah dianggap menjadi bahagian yang tidak
terpisahkan dari masyarakat tersebut. Budaya tradisi ini mencakup semua
unsur kebudayaan, termasuk religi, bahasa, organisasi sosial, ekonomi,
teknologi, pendidikan, dan kesenian.
Dimensi jatidiri yang ketiga adalah identitas nasional. Jatidiri
kebangsaan menjadi fokus perhatian dalam tulisan ini. Jatidiri bangsa,
terbentuk ketika satu atau beberapa kelompok etnik membentuk secara
bersama sebuah negara bangsa (nation state). Unsur jatidiri budaya
nasional ini, mungkin diambil dari nilai-nillai budaya tradisi yang
membentuk negara bangsa tadi, namun dengan berbagai persyaratan,
seperti bisa diterima dan menjadi kebanggaan dari mayoritas warga
negara bangsa berkenaan.
Dimensi jatidiri yang keempat adalah jatidiri yang berskala
internasional. Jatidiri ini terwujud karena proses pengadunan (akulturatif)
dengan berbagai budaya dunia. Seperti diketahui bahwa bangsa Indonesia
telah melakukan kontak budaya dengan berbagai bangsa di dunia.
Misalnya dengan Belanda, Spanyol, Portugis, Inggris, China, India, Arab,
Persia, dan lain-lainnya. Unsur kebudayaan asing yang kemudian diolah
atau diadun dengan cara Indonesia juga memberikan jatidiri mereka
secara khas. Sebagai contoh, penyerapan ilmu pengetahuan dunia
menjadi pengetahuan bangsa Indonesia, dan kemudian penemuan-
penemuannya, seperti teori aerodinamikanya Habibie, disumbangkan
kepada dunia internasional. Bahasa-bahasa internasional seperti bahasa
Inggris, Jepang, Mandarin, Korea, Perancis, Arab, dan lain-lainnya yang
diserap dan dipelajari orang Indonesia menjadi identitas tersendiri pula.
Walau bagaimanapun, seorang Indonesia yang dapat menguasai bahasa
asing, jangan terus menomorduakan bahasa nasional sendiri, yaitu bahasa
Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu. Ia harus tetap
memperkuatkan jatidirinya dengan mengutamakan bahasa Indonesia,
terutama di lingkungan yang semestinya. Tidak pula berusaha untuk
mencampuradukkan bahasa. Jatidiri yang diambil dari pergaulan
internasional ini adalah seperti band-band musik populer, rumah makan
Jepang, Kentucky Fried Chicken, Hoka-hoka Bento, makanan khas China
(Chinese Food) di Indonesia, dan lain-lainnya.

23
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

Keempat dimensi jatidiri tersebut memerlukan kemahiran


penanganan dan menempatkan polarisasi yang tepat untuk menjadi
sebuah bangsa yang berdaulat, berkepribadian, berperadaban, dan
disegani oleh bangsa-bangsa lain dalam proses globalisasi.

7. Penutup
Dari uraian di atas tergambar dengan jelas bahwa di dalam seni
budaya secara khusus, dan kebudayaan Nusantara secara umum,
terkandung sejumlah karakter dan identitas bangsa kita. Karakter dan
identitas bangsa ini berasal dari lingkup budaya etnik yang kemudian
secara alamiah selepas terbentuknya negara bangsa menjadi milik
bersama. Dengan tetap mengolah dengan budaya global. Tidak semua
karakter budaya etnik yang menjadi karakter bangsa. Umumnya yang
bersifat universal dan mendukung karakter bangsa. Nilai-nilai budaya
etnik yang kemudian menjadi karakter bangsa, telah dengan sangat
baiknya diekspresikan dalam ideologi Pancasila.
Selain itu kita pun dalam proses pembentukan budaya dan karakter
bangsa secara nasional. Kita sudah punya gagasan dan aplikasi tentang
budaya nasional. Beberapa budaya etnik mendukung budaya nasional ini.
Misalnya dari budaya Melayu kita menyumbangkan bahasa Indonesia
(mengingat bahasa Melayu sebagai lingua franca), pakaian nasional
seperti peci, kebaya, sanggul, musik nasional orkes Melayu dan dangdut
sebagai musica franca, tari nasional Serampang Dua Belas, penyebutan
sistem kekerabatan, dan seterusnya. Budaya Jawa menyumbang pakaian
nasional batik, sistem pemerintahan kelurahan, kabupaten (kadipaten),
sistem irigasi, organisasi, dan lainnya. Budaya Minangkabau
menyumbangkan makanan Minangkabau, yang eksis dari Sabang sampai
Merauke bahkan di beberapa negeri Melayu lainnya. Begitu juga dengan
sistem perekonomian Minangkabau, silat, dan seterusnya. Begitu juga
dari etnik-etnik lainnya seperti erahu Pinisi dari masyarakat Bugis dan
Makasar di Sulawesi yang menjadi identitas maritim nasional. Lukisan
dari masyarakat Asmat di Irian Jaya (Papua) yang juga sudah dipandang
menjadi identitas dan kebanggaan Indonesia. Yang paling jelas adalah
tim sepak bola nasional, yang terdiri dari para pemain yang berasal dari
berbagai tempat di Indonesia, ada Markus Horison, Firman Utina,
Bambang Pamungkas, Titus Bonay, Ely Eboy, Christan Gonzales, dan
kawan-kawannya.

24
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

Jadi seni budaya mengandung karakter bangsa, yang perlu terus


diasuh dan dikembangkan dalam rangka menuju bangsa yang beradab,
berdaulat, mandiri, tidak mudah diintervensi, memiliki jatidiri, serta
berorientasi untuk selalu lebih maju dalam dimensi ruang dan waktu
yang dilaluinya. Tentu saja jangan lupa selalu berdoa dan memohon
kepada Tuhan, untuk selalu memberkati negeri tercinta ini sebagai negeri
baldatun thoyibatun warobbun ghofur, atau meminjam istilah Sukarno
gemah ripah, lohjinawi, kertaraharja, lan tatatentrem, atau meminjam
istilah Mahathir Mohammad negeri yang madani di bawah lidungan
Allah. Semoga saja.

25
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

Bagan 1:
Hubungan antara Seni Budaya dan Karakter Bangsa
dalam Konteks Budaya Global

26
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

Bibliografi
Ade Armando dkk., 2008. Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Forum Kajian Antropologi.
Alfian (ed.), 1985. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia.
Azyumardi Azra, 2007. Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional
Formation. Bandung: Mizan.
Azyumardi Azra, 2007. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Jakarta: Kanisius.
Batara Sangti, 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar.
Crawfurd, J. 1820. History of the Indian Archipelago. Edinurg: Archibald Constable and
Co.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (versi elektronik), 2012.
Kincaid, D.L. & W. Schramm, 1978. Asas-asas Komunikasi antara Manusia. (Terjemhan
Ronny Adhikarya, Wan Firuz Wan Mustafa, dan Habsah Ibrahim). Pulau Pinang:
Penerbit Universiti Sains Malaysia.
Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Rineka Cistra.
Koentjaraningrat, 1985. “Konsep kebudayaan Nasional” dalam Persepsi Masyarakat
tentang Kebudayaan. Alfian (ed.). Jakarta: Gamedia.
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Leo Suryadinata, 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: Pustaka
LP3ES.
Malinowski, 1987. “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori Antroplologi I.
Koentjaraningrat (ed.), Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago: Nortwestern University.
Muhammad Takari dan Heristina Dewi, 2008. Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera
Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
Muhammad Takari, 2009. “Kebudayaan Nasional Indonesia dan Malaysia: Gagasan,
Terapan, dan Bandingannya.” dalam Setengah Abad Hubungan Malaysia—
Indonesia. (ed. Mohammad Redzuan Othman dkk.) Kuala Lumpur: Arah
Publications, pp. 439-472.
Onong U. Effendy, 1988. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remadja
Rosdakarya.
Radcliffe-Brown, A.R., 1952, Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free
Press.
Raffles, Sir Thomas Stanford, 1830. The History of Java. (Volume Satu). London:
Muray.
Syed Ameer Ali, 1002. Sejarah Evolusi dan Keunggulan Islam. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia.

Internet
www.wikipedia.org
www.sumut.go.id
www.aceh.go.id
http://karakterbangsa.net/Our-Services/Cakes-Cookies/Membangun-Karakter-
Bangsa.html

27
Muhammad Takari, Seni Budaya dan Karakter Bangsa

Tentang Penulis
Muhammad Takari bin Jilin Syahrial, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara, lahir pada tanggal 11 Januari 1966 di Labuhanbatu.
Menamatkan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah
Menengah Atas di Labuhanbatu. Tahun 1990 menamatkan studi sarjana
seninya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera
Utara. Selanjutnya tahun 1998 menamatkan studi magister humaniora pada
Program Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta. Tahun 2010 menyelesaikan studi S-3 Pengajian Media
Komunikasi di Universiti Malaya, Malaysia. Aktif sebagai dosen, peneliti, penulis di berbagai media
dan jurnal dalam dan luar negeri. Juga sebagai seniman khususnya musik Sumatera Utara, dalam
rangka kunjungan budaya dan seni ke luar negeri. Kini juga sebagai Ketua Departemen
Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara dan Ketua Departemen Adat,
Seni, dan Budaya, Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI). Kantor: Jalan
Universitas No. 19 Medan, 20155, telefon/fax.: (061)8215956, e-mail: mtakari@yahoo.com.

28

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai