Anda di halaman 1dari 136

TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Ketentuan Pidana
Pasal 113 Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan atau huruf h, untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan atau huruf g untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau pidana
denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah).
TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Bhayu Rhama

PENERBIT PT KANISIUS
Taman Nasional dan Ekowisata
1019003xxx
© 2019 - PT Kanisius

PENERBIT PT KANISIUS (Anggota IKAPI)


Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, INDONESIA
Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349
E-mail : office@kanisiusmedia.co.id
Website : www.kanisiusmedia.co.id

Cetakan ke- 3 2 1
Tahun 21 20 19

Editor : Erni Setyowati


Desain isi : Oktavianus
Sampul : Joko Sutrisno

ISBN 978-979-21-xxxx-x

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan
cara apa pun, tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh PT Kanisius Yogyakarta
KATA PENGANTAR

Pariwisata telah menjadi sebuah fenomena sosial dan


ekonomi karena melibatkan dan memberi manfaat terhadap
banyak stakeholder. Selain itu pariwisata juga telah diratifikasi
oleh banyak negara sehingga menjadi bagian dari salah satu
kegiatan yang mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan/
sustainable development goals (SDGs).
Pariwisata pada perkembangannya muncul dengan ber­
bagai konsep dan jenis dimana salah satunya adalah pariwisata
alam yang dapat diartikan secara sederhana adalah pariwisata
yang berbasis alam. Implementasi yang paling mudah untuk
melakukan pariwisata alam yaitu dengan memanfaatkan ka­
wasan konservasi seperti taman nasional. Namun demikian,
definisi taman nasional yang dimiliki masing-masing negara
tidak sama dan tidak ada definisi baku untuk taman nasional
yang dapat diterima secara global. Oleh karena itu, pengunjung
setiap taman nasional memiliki misi yang berbeda-beda namun
semuanya sama-sama memberikan dampak kepada lingkungan
di taman nasional dalam tingkatan yang berbeda.
Dampak terhadap lingkungan yang pada umumnya di­
terima secara negatif seperti sampah modern, kepadatan
p­engun­jung dan munculnya bangunan-bangunan baru di lokasi

v
vi TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

taman nasional disebabkan karena pemahaman yang kurang


tentang bagaimana melakukan kegiatan wisata di alam. Selain
itu eksploitasi kegiatan pariwisata alam yang berlebihan pada
akhirnya membuat pariwisata memunculkan sifat aslinya yaitu
untuk rekreasi dan dikonsumsi oleh wisatawan.
Situasi ini mendorong para pemerhati pariwisata untuk
memikirkan agar pariwisata yang mengandalkan alam juga harus
dilakukan secara berkelanjutan. Hadirnya konsep pariwisata
berkelanjutan memunculkan sebuah kesempatan bahwa pari­
wisata harus dapat memberikan manfaat bagi generasi saat
ini namun juga masih dapat dinikmati oleh generasi yang
akan datang karena dikelola secara berhati-hati dengan
meminimalkan dampaknya terhadap lingkungan.
Salah satu konsep yang muncul untuk melakukan pari­
wisata berkelanjutan adalah ekowisata. Konsep ekowisata
dipercaya oleh beberapa kalangan dapat memberikan solusi
yang adil dan seimbang untuk kegiatan konservasi dan rekreasi
di taman nasional. Namun demikian, ekowisata terkadang
disalahgunakan sebagai sebuah ‘green product’ oleh beberapa
pihak untuk menawarkan produk wisata yang memiliki nilai jual
tinggi.
Oleh karena itu, buku ini memberikan penjelasan tentang
perkembangan taman nasional dan ekowisata yang terdiri dari
dua bagian yaitu (i) Taman nasional dan dilengkapi dengan
ulasan taman nasional di Indonesia, serta (ii) Perkembangan
ekowisata dan konsep ekowisata di Indonesia. Buku ini
diharapkan dapat menambah literatur pariwisata khususnya
Bhayu Rhama vii

tentang taman nasional dan ekowisata di Indonesia serta


dapat dijadikan pegangan bagi para akademisi dan praktisi
untuk memahami dan menerapkan konsep ekowisata di taman
nasional.

Palangka Raya, Februari 2019


Penulis,

Bhayu Rhama
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................... v


Daftar Isi ........................................................................... ix

Bab I Pendahuluan........................................................... 1
Bab II Konsep Taman Nasional.......................................... 11
A. Definisi Taman Nasional..................................... 11
B. Fungsi Taman Nasional...................................... 22
C. Manajemen Taman Nasional............................. 37
Bab III Manajemen Taman Nasional di Indonesia.............. 55
Bab IV Ekowisata................................................................ 77
A. Definisi Ekowisata.............................................. 77
B. Ekowisata di Indonesia....................................... 84

Referensi ........................................................................... 89
Biodata Penulis..................................................................... 125

ix
Bab I
PENDAHULUAN

Fenomena pariwisata dapat dijelaskan dengan berbagai


macam penjelasan. Salah satu penjelasan pariwisata disampai­
kan oleh UNWTO (United Nation World Tourism Organisation),
sebuah organisasi internasional PBB (Perserikatan Bangsa-
Bangsa) yang membidangi pariwisata. UNWTO menjelaskan
pariwisata dengan luas sebagai:
sebuah fenomena sosial, budaya, dan ekonomi yang
memperlihatkan pergerakan orang ke negara atau tempat
di luar lingkungan mereka sehari-hari untuk tujuan
pribadi atau bisnis/profesional. Orang-orang ini disebut
pengunjung (yang bisa saja turis (wisatawan) atau pesiar,
penduduk, atau non-penduduk) dan pariwisata ada
hubungannya dengan kegiatan mereka, di mana beberapa
di antaranya menyiratkan adanya pengeluaran untuk
pariwisata (UNWTO, 2015).

Definisi pariwisata lainnya juga ditawarkan oleh Masyarakat


Pariwisata Inggris (UK’s Tourism Society), yang menganggap
pariwisata sebagai “pergerakan jangka pendek sementara waktu
yang dilakukan orang-orang ke tujuan di luar tempat di mana
mereka biasanya tinggal dan bekerja ... pergerakan itu termasuk

1
2 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

gerakan untuk semua tujuan, serta kunjungan-kunjungan”


(Telfer & Sharpley, 2008: 5). Pada umumnya, definisi tersebut
berusaha untuk membedakan pariwisata atau, lebih spesifik,
wisatawan sebagai orang yang bepergian karena alasan tertentu
dalam periode waktu tertentu (biasanya hingga satu tahun),
tujuannya secara implisit adalah untuk menyediakan parameter
bagi pengukuran pariwisata. Faktanya, Organisasi Pariwisata
Dunia (UNWTO) telah lama memberikan daftar bagi siapa
saja yang bepergian yang seharusnya atau tidak seharusnya
dikategorikan dalam keperluan statistik sebagai wisatawan
(Tabel 1.1).
Berbeda dengan definisi “teknis” seperti di atas, beberapa
pihak lainnya berusaha mendefinisikan pariwisata secara
konseptual, terutama berfokus pada makna pariwisata bagi
mereka yang berpartisipasi di dalamnya, sebagaimana Nash
(1981: 461) mengemukakan bahwa jantung dari definisi
pariwisata adalah orang yang kita anggap sebagai seorang
wisatawan. Oleh karena itu, Smith (1989: 1), misalnya, mem­
perkenalkan tulisannya yang terkenal, yaitu Hosts and Guests:
The Anthropology of Tourism, menggambarkan seorang turis
sebagai “orang yang sedang bersantai untuk sementara waktu
yang secara sukarela mengunjungi suatu tempat dengan tujuan
mengalami perubahan”. Namun demikian, baru-baru ini, telah
disarankan bahwa pariwisata tidak dapat lagi dibedakan dari
kegiatan sosial lainnya dan sekarang paling baik dianggap
sebagai “sebuah kesatuan, semua dimensi yang sangat signifikan
dari kegiatan mobilitas sementara” (Hall, 2005: 21; lihat juga
Sharpley, 2015: 17).
Bhayu Rhama 3

Tabel 1.1 Definisi Wisatawan


Tidak termasuk dalam
Termasuk dalam statistik pariwisata
statistik pariwisata
Kategori Tujuan Kategori
Wisatawan: Liburan Petugas perbatasan
Bukan penduduk Bisnis Penumpang transit
Warga negara Kesehatan Penduduk berpindah
Pekerja luar negeri Studi Pencari suaka
Pertemuan/misi Pasukan militer
Pesiar: khusus Diplomat
Penumpang kapal Kunjungan teman/ Imigran sementara
pesiar keluarga Imigran tetap
Pengunjung harian Agama
Anak buah kapal Olahraga
Lainnya
Sumber: diadaptasi dari data UNWTO (1994)

Meskipun banyak definisi tentang pariwisata telah disam­


paikan, bagaimanapun juga, dapat dikatakan bahwa tidak ada
yang memperhatikan signifikansi pariwisata kontemporer. Arti­
nya, selama setengah abad terakhir, pariwisata telah muncul
sebagai salah satu fenomena sosial dan ekonomi paling signifi­
kan dari zaman modern. Situasi ini telah ditunjang oleh data
yang dapat dilihat dari Tabel 1.2 yang menunjukkan bahwa
pariwisata telah tumbuh luar biasa dan konsisten baik dari
segi kedatangan maupun penerimaan, khususnya tahun 2012
yang menjadi istimewa ketika total kedatangan wisatawan
internasional melampaui satu miliar orang untuk pertama
kalinya. Tentu saja kegiatan pariwisata juga meliputi pariwisata
domestik. Meskipun bisa dibilang menarik perhatian, namun
literatur akademik jarang mendiskusikan pariwisata domestic.
Volume dan nilai pariwisata domestik secara global tidak dapat
4 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

diabaikan, apalagi benar bahwa volume pariwisata domestik


diprediksi sekitar enam kali lebih besar daripada pariwisata
internasional (UNWTO, 2015a).
Tabel 1.2 Kedatangan dan Penerimaan Wisatawan Internasional Tahun 1950-
2013

Tahun Kedatangan Penerimaan Tahun Kedatangan Penerimaan


(juta) (US$miliar) (million) (US$miliar)
1950 25.3 2.1 1999 639.6 464.5
1960 69.3 6.9 2000 687.0 481.6
1965 112.9 11.6 2001 686.7 469.9
1970 165.8 17.9 2002 707.0 488.2
1975 222.3 40.7 2003 694.6 534.6
1980 278.1 104.4 2004 765.1 634.7
1985 320.1 119.1 2005 806.6 682.7
1990 439.5 270.2 2006 847.0 742.0
1991 442.5 283.4 2007 903.0 856.0
1992 479.8 326.6 2008 917.0 939.0
1993 495.7 332.6 2009 882.0 851.0
1994 519.8 362.1 2010 940.0 927.0
1995 540.6 410.7 2011 995.0 1,042.0
1996 575.0 446.0 2012 1,035.0 1,075.0
1997 598.6 450.4 2013 1,087.0 1,159.0
1998 616.7 451.4 2014 1,133.0 1,245.0
Sumber: diambil dari data UNWTO

Namun, sekali lagi, keseluruhan gambaran angka menutupi


lingkup dan keragaman pariwisata. Sebagai suatu fenomena
sosial, pariwisata sekarang dimanifestasikan dan, memang,
dipasarkan dalam berbagai bentuk dan jenis. Dengan kata lain,
tidak hanya lokasi di mana pariwisata menjadi lebih beragam,
tetapi dimulai ketika orang-orang pergi ke lokasi-lokasi tertentu,
berapa lama mereka tinggal, dan apa yang mereka lakukan di
Bhayu Rhama 5

sana, menjadi jauh lebih bervariasi. Singkatnya, pariwisata telah


ditandai oleh semakin banyaknya jenis pariwisata yang diikuti
oleh orang-orang.
Salah satu jenis pariwisata disebut wisata alam (Whelan,
1991; Valentine, 1992). Wisata alam secara luas didefinisikan
sebagai perjalanan dan pengalaman ke lingkungan alam
yang bukan buatan manusia, tetapi terbentuk sebagai hasil
dari proses alami yang bebas dari campur tangan manusia.
Wisata alam dapat mengambil banyak bentuk dan diberi label
beragam (misalnya ekowisata, wisata hutan belantara, dan
wisata pedesaan); itu juga bukan bentuk baru pariwisata karena
sebenarnya tempat-tempat alami telah lama berhasil menarik
banyak pengunjung. Namun demikian, bisa diperdebatkan
bahwa semakin populernya pariwisata alam mencerminkan
peningkatan kesadaran tentang lingkungan di kalangan wisa­
tawan, terutama yang berkaitan dengan isu pemanasan global
di mana beberapa penulis menunjukkan bahwa pariwi­sata alam
mendorong orang untuk lebih menghargai alam (Hoag, 2007;
Shum, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Eagles, (2003: 3)
mengungkapkan bahwa “penggunaan wilayah alam liar sebagai
sarana untuk refleksi pribadi dan pemulihan diri menjadi sebuah
tema umum” pada beberapa latar belakang studi tentang
wisata alam, sementara itu pada umumnya, Levy dan Hawkins
(2009) mengamati bahwa dalam dunia sosial kontemporer yang
menjadi semakin kompetitif, orang semakin terdorong untuk
mencari destinasi wisata alam sebagai tempat untuk bersantai
dan merenung.
6 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Tidak hanya sejarah panjang pariwisata ke tempat-


tempat alami, namun telah lama diakui bahwa ada kebutuhan
untuk melestarikan atau melindungi kawasan alam tidak hanya
untuk kepentingan alam, tetapi juga dapat digunakan sebagai
tempat untuk mencari kesenangan, rekreasi, dan pariwisata.
Perlindungan alam secara maksimal dimanifestasikan dalam
penciptaan taman nasional, sebuah konsep yang diduga
pertama kali diusulkan oleh penyair Inggris, William Wordsworth
(Sharpley & Sharpley, 1997), dan kemudian diikuti dengan
penunjukan Taman Nasional Yellowstone di Amerika Serikat
pada 1872 (Albright & Cahn, 1985). Sejak itu, jumlah taman
nasional di seluruh dunia telah berlipat ganda secara signifikan.
Menurut Daftar Kawasan yang Dilindungi PBB tahun 2003,
misalnya, ada 3.381 Daerah Kategori II (Taman Nasional) secara
global (Chape, Blyth, Fish, Fox, & Spalding, 2003) sementara
laporan yang lebih baru (misalnya, Deguignet, Juffe Bignoli,
Harrison, MacSharry, Burgess, & Kingston, 2014) menunjukkan
pertumbuhan yang berkelanjutan di sejumlah kawasan yang
dilindungi di seluruh dunia.
Taman nasional sangat bervariasi, tentu saja, dalam
ukuran, karakter, dan tujuan. Selain daripada itu tidak semua
taman nasional memenuhi definisi taman nasional yang diakui
secara internasional, yaitu sebagai berikut.
Area alami yang dekat dengan alam atau wilayah alamnya
luas atau yang disisihkan untuk melindungi proses ekologi
dalam skala besar, bersama dengan spesies pendukungnya
dan karakteristik ekosistem di daerah tersebut, yang juga
menyediakan tempat bagi lingkungan dan budaya spiritual
yang kompatibel, ilmiah, pendidikan, rekreasi, dan
memberikan kesempatan untuk dikunjungi (IUCN, 2015)
Bhayu Rhama 7

Namun demikian, taman nasional biasanya ditetapkan


tidak hanya “untuk melestarikan lingkungan alam dari pem­
bangunan di sekitarnya” (Obenaus, 2005: 36), tetapi juga
untuk menawarkan peluang untuk pariwisata. Seperti halnya
IUCN (International Union of Conservation for Nature) menya­
takan bahwa salah satu tujuan taman nasional yaitu untuk
“berkontribusi terhadap ekonomi lokal melalui pariwisata”
(IUCN, 2015) dan di banyak negara taman nasional menjadi
tujuan pariwisata yang populer sehingga mendukung per­
ekonomian lokal, bahkan secara nasional. Di Afrika, misalnya,
taman nasional dan pariwisata dengan menggunakan kawasan
yang dilindungi adalah bagian ekonomi yang besar dan ber­
kembang di beberapa negara, seperti Kenya, Tanzania, dan
Botswana; memang, pariwisata di taman nasional telah menjadi
industri ekspor terpenting (Eagles, 2003). Oleh karena itu, salah
satu tantangan mendasar untuk pengelolaan taman nasional
adalah untuk menyeimbangkan kebutuhan peningkatan jumlah
pengunjung dengan pemeliharaan kualitas dan integritas ekosis­
tem taman.
Pada umumnya diperlukan beberapa tingkatan intervensi
manusia untuk mengelola taman nasional secara efektif,
paling tidak untuk memastikan bahwa fungsi penelitian, sains,
pendidikan, budaya, pariwisata, dan rekreasi dapat disam­
paikan. Namun, intervensi manusia semacam itu hampir dapat
dipastikan menghasilkan konsekuensi negatif bagi ekosistem
alam sehingga menyiratkan bahwa pengelolaan sumber daya
yang cermat diperlukan untuk meminimalkan dampak terhadap
lingkungan. Hal ini banyak terjadi dalam kegiatan pariwisata
di taman nasional. Artinya, di banyak taman nasional, ada
8 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

konflik mendasar antara konservasi alam dan pengembangan


pariwisata; memang, ada kepercayaan umum bahwa dampak
negatif manusia terkait pariwisata pada taman dan kawasan
yang dilindungi terjadi secara secara inheren (Eagles, 2003).
Di satu sisi, pembukaan taman nasional untuk wisata alam
dapat menghasilkan kontribusi positif bagi ekonomi lokal
dalam hal pekerjaan dan pendapatan, meskipun kemungkinan
akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Di sisi lain, ke­
bijakan konservasi dapat berkontribusi terhadap pelestarian
keanekaragaman hayati. Tetapi, pada saat yang sama, mungkin
memiliki efek negatif dari “sterilisasi” taman, tidak hanya
berpotensi membatasi ruang lingkup untuk pengembangan
pariwisata alam, tetapi juga menciptakan konflik dengan
masyarakat adat yang secara tradisional bergantung pada
sumber daya alam di daerah tersebut (Burnham, 2000; Dowie,
2011; Griffiths, 2000; Jacoby, 2014; Vernizzi, 2011; West &
Brockington, 2006).
Dalam konteks Indonesia, pengertian dan definisi taman
nasional mirip dalam beberapa hal dengan definisi IUCN.
Taman nasional didefinisikan oleh UU No. 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (bab pertama),
sebagai:
kawasan konservasi alam yang memiliki ekosistem asli,
dikelola oleh sistem zonasi yang digunakan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, pari­
wisata, dan rekreasi alam.

Namun demikian, definisi taman nasional di Indonesia


mengalami bias dengan definisi hutan konservasi, yang me­
rupakan kawasan hutan yang bertujuan untuk melestarikan
Bhayu Rhama 9

keanekaragaman hayati (van Noordwijk, Mulyoutami,


Sakuntala dewi, & Agus, 2008). Pengelolaan hutan konservasi
di Indonesia, yang dapat termasuk taman nasional, cagar
alam, taman berburu, hutan untuk pariwisata dan hutan
lindung, didasarkan pada Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.03/Menhut-II/2007 dan diawasi oleh pemerintah pusat
melalui Kantor Taman Nasional (UPT Balai Taman Nasional).
Namun demikian, Kantor Taman Nasional banyak didukung
oleh organisasi konservasi internasional seperti WWF dan The
Nature Conservancy (organisasi konservasi AS yang berusaha
melindungi lahan dan perairan ekologi yang penting bagi alam
dan manusia). Sebagai contoh, pengelolaan Taman Nasional
Wakatobi dan Taman Nasional Komodo di Indonesia didukung
oleh organisasi-organisasi ini (Geatz et. Al., 2009; Harvey &
Yusamandra, 2010). Oleh karena itu, konsep pengelolaan
konservasi hutan di Indonesia sangat terpusat dan sering
mengabaikan keberadaan masyarakat adat yang mungkin
telah tinggal di daerah-daerah ini selama beberapa generasi
(Nugroho, 2012). Artinya, pengelolaan konservasi hutan
berlanjut tanpa partisipasi masyarakat setempat, terutama
karena kebijakan pemerintah untuk pengelolaan hutan
dipengaruhi oleh keyakinan bahwa kawasan konservasi harus
“steril” dari intervensi manusia. Dengan demikian, tujuan
dari taman nasional untuk “memperhitungkan kebutuhan
masyarakat adat dan masyarakat lokal, termasuk penggunaan
sumber daya di dalamnya, sejauh ini tidak akan memengaruhi
tujuan manajemen utama” sesuai dengan tujuan IUCN, menjadi
tantangan untuk diimplementasikan di Indonesia. Pemerintah
Indonesia, di masa lalu, memberikan prioritas terbatas pada
10 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

pengembangan bentuk-bentuk pariwisata yang sesuai di ta­


man nasional, seperti ekowisata. Bahkan, ekowisata di taman
nasional di Indonesia kebanyakan dikelola secara spontan untuk
menang­gapi permintaan pasar sehingga bertentangan dengan
paradigma konservasi dari Barat yang diwujudkan dalam
peren­canaan yang ketat berdasarkan dengan menggunakan
pendekatan yang dapat diterima untuk melakukan manajemen
keanekaragaman hayati (Cochrane, 2006).
Di tempat lain, tentu saja, konsep ekowisata telah lama
dipro­mosikan sebagai sarana menjembatani kesenjangan antara
kegiatan konservasi dan pariwisata yang pada umumnya ber­
saing di kawasan alam, khususnya di taman nasional (Cater &
Lowman, 1994; Fennell, 2007; Wearing & Neill, 2009). Namun,
ada perdebatan yang terus berlangsung seputar konsep dan
wacana ekowisata, termasuk argumen bahwa paradigma
ekowisata yang dipengaruhi Barat tidak dapat diterapkan secara
langsung pada pengembangan kebijakan pariwisata taman
nasional di negara-negara berkembang (Cater, 2006).
Bab II
KONSEP TAMAN NASIONAL

A. Definisi Taman Nasional


Menurut Nash (1970), konsep taman nasional merupakan
“penemuan Amerika” yang berevolusi dari pengalaman Amerika
dengan alam dan satwa liar, yang pertama kali diwujudkan
pada tahun 1872 dalam pendirian Yellowstone, taman nasional
pertama di dunia. Pendirian ini segera diikuti oleh penunjukan
taman nasional di negara lain, seperti Taman Nasional Royal
di Port Hacking, di selatan Sydney, Australia tujuh tahun
kemudian dan Taman Nasional Bow Valley di Pegunungan
Rocky, Kanada. Taman Nasional Bow Valley yang didirikan pada
tahun 1885, kemudian berganti nama menjadi Taman Nasional
Banff, demikian juga badan taman nasional pertama di dunia,
Dominion Parks Bureau, juga didirikan di Kanada pada tahun
1911 (Eagles, McCool & Haynes, 2002). Pembentukan badan
ini kemudian diikuti oleh US National Park Service (USNPS)
yang didirikan pada tahun 1916 (Albright & Cahn, 1985). Sistem
manajemen taman yang diimplementasikan oleh kedua lembaga
ini telah diadopsi secara luas di negara lain, yang memiliki fokus
pada pencapaian keseimbangan antara pelestarian lingkungan

11
12 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

alam dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk


mengaksesnya dan menikmati lingkungan tersebut (Butler &
Boyd, 2000; Frost & Hall, 2009c).
Sejak awal mula taman nasional dibentuk, telah terjadi
pertumbuhan signifikan baik dari segi jumlah maupun luas
keseluruhan taman nasional di seluruh dunia, khususnya dalam
setengah abad terakhir. Menurut Deguignet, Juffe-Bignoli,
Harrison, MacSharry, Burgess dan Kingston (2014), dalam
laporan mereka untuk Daftar Kawasan yang Dilindungi PBB 2014,
ada dua alasan utama yang dapat menjelaskan pertumbuhan
ini. Pertama, konsep taman nasional telah didefinisikan dan
ditafsirkan semakin luas. Misalnya, penyair Inggris, Wordsworth,
diakui sebagai orang pertama yang mengusulkan konsep taman
nasional pada tahun 1810 (Sharpley & Sharpley, 1997) yang
kemudian diikuti oleh adanya Freedom to Roam Bill pertama
yang diajukan ke Parlemen pada tahun 1884 oleh James Bryce
MP untuk memulai kampanye akses publik ke pedesaan yang
signifikan dalam pembentukan undang-undang untuk taman
nasional pada tahun 1949 (National Parks UK, 2015b). Taman
nasional Inggris pertama adalah Peak District, yang ditetapkan
pada tahun 1951 dan mengikuti model Amerika Utara. Taman
nasional ini memiliki tujuan melestarikan keindahan alam
daerah tersebut dan memberikan kesempatan rekreasi bagi
publik (MacEwen & MacEwen, 1982; National Parks UK, 2015b).
Namun demikian, taman nasional di Inggris adalah lanskap
hidup dan aktif, yang termasuk kota, desa, dan lahan pertanian
yang tidak dimiliki oleh negara dan, karenanya, menyimpang
secara signifikan dari definisi IUCN tentang taman nasional
(lihat di bawah). Kedua, telah ada pengakuan yang lebih luas
Bhayu Rhama 13

oleh pemerintah di sebagian besar atau seluruh dunia tentang


tujuan dan manfaat penunjukan taman nasional, yaitu untuk
melindungi satwa liar dan lingkungan alam, terutama yang
dapat mewakili identitas negara (Carruthers, 2009; Knudsen
& Greer, 2008; Medina, 2009). Namun demikian, sejak awal
berdirinya taman nasional, dimensi rekreasi, dibandingkan
dengan tujuan altruistik, telah pasti menjadi hal utama dalam
pembentukannya (Eagles et al., 2002; Hall & Frost, 2009c).
Dengan semakin berkembangnya konsep taman nasional,
bagaimanapun juga, konsep taman nasional dari Amerika tetap
menjadi titik referensi untuk penciptaan taman nasional yang
paling baru, kecualli yang didirikan di dan oleh negara-negara
di Eropa dengan alasan-alasan seperti: (i) taman nasional
didirikan untuk koloni mereka; (ii) kurangnya lahan publik;
dan (iii) keyakinan bahwa warisan budaya lebih memiliki daya
tarik wisata daripada pemandangan alam (Frost & Hall, 2009b;
Timothy, 2013). Secara khusus, konsep taman nasional Amerika
mengungkapkan bahwa orang bersedia membayar untuk
mengunjungi taman nasional dan, dengan demikian, manfaat
ekonomi dapat bertambah ke area di sekitar taman nasional,
tidak hanya ke taman nasional itu sendiri (Carruthers, 1995).
Namun demikian, konsep tersebut tidak dapat diterapkan
secara umum karena perbedaan kondisi dan karakter masing-
masing taman nasional dan, sebagai akibatnya, pengelolaan
taman nasional juga bervariasi dalam konteks atau negara yang
berbeda. Sebagai contoh, beberapa taman nasional didirikan di
wilayah laut dengan tujuan untuk konservasi terumbu karang,
rumput laut, situs arkeologi, pantai, tebing, dan sebagainya
(Liburd, 2006). Dengan demikian, pengelolaan daerah-daerah
14 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

ini pasti akan berbeda dari taman nasional berbasis darat.


Selain itu, penelitian telah menunjukkan bahwa konsep taman
nasional terus berkembang, terutama yang berkaitan dengan
tujuan taman nasional itu sendiri. Misalnya, Obenaus (2005: 36)
mengemukakan bahwa taman nasional adalah area yang dibuat
atau digunakan “untuk melestarikan lingkungan alam dari
pembangunan di sekitarnya dan untuk memberikan manfaat
sosial dalam bentuk pembelajaran, rekreasi, dan pariwisata”.
Demikian pula, Holden (2008) mengusulkan bahwa tujuan
taman nasional adalah untuk melindungi lingkungan alam dari
pembangunan yang berlebihan dan memberikan akses bagi
pengunjung untuk menggunakan alam sebagai tujuan rekreasi
sementara. Alternatifnya, Timothy (2013: 38) menunjukkan
bahwa tujuan nasional taman adalah “untuk mengabadikan
pemandangan alam sebagai tanah suci yang berkontribusi pada
rasa kebangsaan”. Oleh karena itu, meskipun konsep asli tentang
taman nasional dari Amerika telah memberikan kerangka kerja,
namun tidak dapat sepenuhnya diadopsi oleh setiap taman
nasional, apalagi juga tidak ada mekanisme global yang dapat
digunakan untuk mengakreditasi atau mendefinisikan konsep
taman nasional.
Namun demikian, pada tahun 1969, Persatuan Inter­
nasional untuk Pelestarian Alam (International Union of
Conseation for Nature atau IUCN), sebuah organisasi inter­
nasional yang peduli dengan konservasi alam dan penggunaan
sumber daya alam yang berkelanjutan, menerima dukungan
antarpemerintah untuk mengklasifikasikan taman nasional
sebagai salah satu dari sejumlah kategori kawasan yang
dilindungi (Phillips, 2004). IUCN juga menyarankan proses
Bhayu Rhama 15

klasifikasi kawasan yang dilindungi harus dilakukan di tingkat


internasional agar menjadi tanggung jawab global (Chape, Blyth,
Fish, Fox & Spalding, 2003; Hall & Frost, 2009a).
Tabel 2.1 Kategori Kawasan yang Dilindungi Berdasarkan IUCN Sejak 1995
Perlindungan alam ketat, contohnya: a) Cagar Alam, dan b)
I
Area Alam Liar.
Konservasi dan perlindungan ekosistem, contohnya: Taman
II
Nasional.
III Konservasi fungsi alam, contohnya: Monumen Alam.
Konservasi melalui manajemen aktif, contohnya: Area
IV
Pengelolaan Habitat/Spesies.
Pelestarian daratan/lautan dan rekreasi, contohnya: Peman­
V
dangan Darat/Laut yang Diproteksi.
Pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan, contohnya:
VI
Pengelolaan Sumber Daya di Kawasan Konservasi.
Sumber: IUCN (2015); Phillips (2004)

Kategorisasi IUCN dari kawasan lindung (lihat Tabel 2.1


di atas), yang telah dimodifikasi sepanjang waktu, diterima
secara internasional karena memberikan standar internasional
untuk klasifikasi kawasan yang dilindungi sesuai dengan tujuan
manajemen masing-masing (Phillips, 2004). Namun demikian,
kategori tersebut tetaplah berupa konsep dan tidak mengikat
sebagai sebuah peraturan (Hall & Frost, 2009a); lebih jauh
lagi, penerapan kategori ini bersifat sukarela dan penting
untuk dicatat bahwa beberapa negara memilih untuk tidak
menerapkannya.
Secara khusus, IUCN telah secara jelas mendefinisikan di­
men­si taman nasional sebagai kawasan lindung sebagaimana
diperinci dalam Tabel 2.2 berikut ini.
16 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Tabel 2.2 Dimensi Taman Nasional Sebagai Kawasan yang Dilindungi


Berdasarkan IUCN

IUCN Kategori II

Definisi Taman nasional adalah kawasan yang dilindungi


dan dikelola terutama untuk perlindungan
ekosistem dan rekreasi: ini termasuk “kawasan
alam di darat dan atau laut, yang ditujukan
untuk (a) melindungi integritas ekologi satu
atau lebih ekosistem untuk generasi sekarang
dan mendatang, (b) menghindari eksploitasi
atau pekerjaan yang bertentangan dengan
tujuan penunjukan daerah dan (c) memberikan
landasan bagi spiritual, ilmiah, pendidikan,
rekreasi dan peluang pengunjung, di mana
semuanya harus kompatibel dengan lingkungan
dan budaya” (IUCN 1994).
Tujuan • untuk melindungi daerah dan pemandangan
Pengelolaan alam yang penting untuk nasional dan
internasional dengan tujuan spiritual, ilmiah,
pendidikan, rekreasi atau wisata;
• untuk mengabadikan, sedapat mungkin
keadaan alamiah, sebagai contoh
representatif dari wilayah fisiografi,
komunitas biotik, sumber daya genetis, dan
spesies, untuk memberikan stabilitas dan
keragaman ekologis;
Bhayu Rhama 17

• untuk mengelola kegunaan dari pengunjung


untuk tujuan yang menginspirasi,
pendidikan, budaya, dan rekreasi
pada tingkat tertentu sehingga dapat
mempertahankan area tersebut dalam
keadaan alamiah atau mendekati aslinya;
• untuk menghilangkan dan setelah itu
mencegah eksploitasi atau pendudukan yang
bertentangan dengan tujuan penunjukan;
• untuk memberikan penghormatan terhadap
hal-hal ekologi, geomorfologi, sacral, atau
estetika yang dibenarkan; dan
• untuk memperhitungkan kebutuhan
masyarakat adat, termasuk penggunaan
sumber daya subsistensi, sejauh tidak
memengaruhi tujuan manajemen lainnya.

Panduan • Daerah tersebut harus berisi sampel


Karakter representatif dari kawasan alam utama,
memiliki fitur atau pemandangan, di mana
spesies tanaman dan hewan, habitat, dan
situs geomorfologi memiliki makna spiritual,
ilmiah, pendidikan, rekreasi, dan pariwisata
khusus.
• Daerah tersebut harus cukup besar untuk
memuat satu atau lebih seluruh ekosistem
yang tidak diubah secara material oleh
pendudukan atau eksploitasi manusia saat
ini.
18 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Pengelola Kepemilikan dan manajemen terhadap taman


nasional umumnya harus dilakukan oleh otoritas
tertinggi dari negara yang memiliki yurisdiksi.
Namun demikian, taman nasional juga dapat
diberikan di tingkat pemerintahan yang lain,
dewan masyarakat adat, yayasan, atau badan
yang didirikan secara hukum lainnya, yang
telah mendedikasikan wilayah tersebut untuk
konservasi jangka panjang.
Sumber: Hall & Frost (2009c); IUCN (2015)

Berdasarkan Daftar Kawasan yang Dilindungi PBB 2014,


saat ini ada 5.346 Taman Nasional yang ditunjuk (IUCN Category
II) dari total 209.429 kawasan yang dilindungi di seluruh dunia.
Taman Nasional Northeast Greenland adalah taman nasional
terbesar di dunia dengan luas 972.000 km2; Peggy Island serta
Taman Nasional Elbow Beach di Bermuda adalah yang terkecil,
masing-masing dengan luas 200 m2 (UNEP-WCMC, 2015). Taman
Nasional Qomolangma di Tibet, termasuk di dalamnya Gunung
Everest, adalah taman nasional tertinggi dunia, lebih dari 8.848
mdpl (Shasha, 2012), sementara Taman Nasional Grand Canyon
di Arizona adalah taman nasional yang memiliki ngarai terdalam,
1.828 meter (US National Park Service, 2015).
Namun, harus diingat bahwa jumlah total taman nasional
yang diidentifikasi di atas tidak termasuk taman nasional
yang tercatat di bawah kategori IUCN lainnya, maupun yang
tidak dapat dikategorikan karena perbedaan sistem taman
nasional di banyak negara, istilah “taman nasional” sebenarnya
diaplikasikan secara berbeda ke beberapa tipe kawasan yang
dilindungi daripada ditafsirkan secara tegas (Frost & Hall,
Bhayu Rhama 19

2009a). Misalnya, dan seperti yang disebutkan sebelumnya,


Taman Nasional Inggris berada di Kategori V (Lanskap yang
Dilindungi), karena taman nasional adalah tempat di mana
orang telah hidup dan bekerja selama ribuan tahun dan, karena­
nya, daerah tersebut dilindungi untuk membantu melestarikan
warisan alam dan budaya (lihat Tabel 2.3). Taman Non-
Kategori II lainnya termasuk Taman Nasional Fuji-Hakone-Izu
di Jepang (Kategori V), Taman Nasional Kafue di Zambia (tidak
dikategorikan), Taman Nasional Djurdjura di Aljazair (Kategori
IV), dan Taman Nasional di Angkor Wat (Kategori I). Dengan
demikian, jumlah global taman nasional yang dikenal karena
sebutannya mungkin secara signifikan lebih banyak daripada
yang diakui secara resmi.
Tabel 2.3 Perbedaan antara Taman Nasional Internasional, Inggris, dan Afrika
Selatan
Taman Nasional
Taman Taman Nasional di di Afrika Selatan
Nasional secara Inggris - Lanskap yang - Wilayah
Internasional (IUCN Dilindungi (IUCN Pengelolaan Habitat
Kategori II) Kategori V) (IUCN Kategori IV/
Non-Kategori)
Daerah alam yang Lanskap yang hidup dan Tanah tidak
luas, sebagian besar berfungsi, yang dibentuk produktif secara
tidak tersentuh oleh oleh interaksi antara ekonomi dan
manusia, hampir manusia dan alam. digunakan sebagai
tidak ada orang tempat berburu.
yang tinggal di sana.
20 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Taman Nasional
Taman Taman Nasional di di Afrika Selatan
Nasional secara Inggris - Lanskap yang - Wilayah
Internasional (IUCN Dilindungi (IUCNPengelolaan Habitat
Kategori II) Kategori V) (IUCN Kategori IV/
Non-Kategori)
Umumnya dimiliki Sebagian besar tanah Beberapa lahan
oleh public. dimiliki pemilik tanah dimiliki oleh pemilik
perorangan. tanah perorangan
dan komunal, tetapi
sebagian besar
tanah yang diklaim
di taman nasional
sedang dalam tahap
negosiasi.
Memberikan Dapat diakses oleh Pemanfaatan
peluang bagi semua orang untuk satwa liar untuk
pengunjung untuk menikmati dan belajar pendidikan
pendidikan dan tentang kualitas khusus. lingkungan dan
rekreasi. pariwisata.
Melindungi Melindungi lanskap Melindungi
ekosistem dan yang memiliki karakter ekosistem dan
spesies secara luas. khusus, warisan budaya spesies hewan liar
dan alam. terutama badak.
Sumber: Campaign for National Parks (2013); Carruthers (2009); Child (2009); National
Parks UK (2015a)

Meskipun karakter taman nasional bervariasi secara signi­


fikan, semuanya secara umum berbagi untuk tujuan yang sama,
yaitu untuk melindungi keindahan alam suatu daerah dan untuk
memungkinkan akses supaya dapat dinikmati pengunjung,
meskipun tetap dengan batasan tertentu untuk menghindari
eksploitasi berlebihan terhadap alam (Frost & Hall, 2009c).
Bhayu Rhama 21

Namun demikian, tujuan-tujuan ini menimbulkan paradoks


karena sifat konsumsi wisata (Sharpley, 2006); artinya, tidak
ada batasan konkret dan tidak mungkin menjamin bahwa
pengunjung tidak akan mengganggu lingkungan alam di taman
nasional. Sebagai contoh, Sharpley (2009) mengamati bahwa
Taman Nasional Lake District Inggris sekarang dilihat sebagai
taman bermain, situasi yang mungkin tidak dibayangkan oleh
Wordsworth pada tahun 1810 ketika ia menyatakan potensi
Lake District untuk dilindungi sebagai “milik nasional”.
Sama halnya, sebagai kawasan yang dilindungi, taman
nasional didukung oleh para konservasionis yang lebih memilih
agar wilayah tersebut bebas dari gangguan manusia (Szaro
& Johnston, 1996). Dengan demikian, potensi konflik antara
konservasi dan rekreasi telah menjadi sumber perdebatan yang
tidak pernah berakhir mengenai tujuan utama taman nasional,
meskipun Runte (1983) berpendapat secara persuasif bahwa
preservasionis tidak akan memenangkan pertempuran ekologi.
Secara khusus, masalah ekonomi dan politik di sekitar taman
nasional mengharuskan preservasionis untuk berkompromi
supaya tetap dapat bekerja setidaknya untuk meminimalkan
dampak rekreasi. Namun, dalam konteks ekologis, kompromi
disesali dan dipandang sebagai kata lain untuk kekalahan
sehingga hubungan antara konservasi dan rekreasi di taman
nasional selalu menjadi isu kontroversial (Budowski, 1976;
Daponte, 2004; MacEwen & MacEwen, 1982; Sharpley &
Sharpley, 1997)
Terlepas dari perdebatan ini, bagaimanapun, ada konsen­
sus bahwa bagaimana setiap taman nasional direncanakan dan
dikelola tergantung pada undang-undang negara “tuan rumah”
22 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

sehingga peran, definisi, dan interpretasi taman nasional juga


berbeda (Frost & Hall, 2009c). Hal ini disebabkan karena status
taman nasional biasanya ditetapkan dalam undang-undang
oleh pemerintah nasional (Frost & Hall, 2009c). Definisi Taman
Nasional Malaysia dapat diambil sebagai contoh perbandingan
dari negara Asia Tenggara yang paling dekat dengan Indonesia,
di mana taman nasional didefinisikan sebagai:
setiap area yang dibentuk untuk konservasi dan per­
lindungan kehidupan liar dan habitatnya; pelestarian fitur
geologis atau fisiologis; memfasilitasi studi dan penelitian
tentang keanekaragaman hayati; perlindungan keindahan
pemandangan alam, dan situs sejarah dan monumen;
dan memberi peluang untuk apresiasi, kenikmatan, dan
pendidikan publik atas keindahan pemandangan alam,
habitat kehidupan liar, flora dan fauna, fitur geologis dan
fisiografis, situs sejarah dan monumen bersejarah Negara
(Sarawak, 2008; Tisen, 2004).

Definisi ini mengungkapkan beberapa fungsi taman nasio­


nal yang mencerminkan manfaat yang dapat diberikan oleh
taman nasional. Studi yang dilakukan Bangarwa (2006) mena­
warkan salah satu tinjauan paling komprehensif dari fungsi
taman nasional dan, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya,
yang berfungsi sebagai kerangka diskusi yang berguna untuk
mengeksplorasi taman nasional secara lebih perinci.

B. Fungsi Taman Nasional


Dari beberapa literatur yang mengajukan fungsi taman
nasional, Bangarwa (2006:35) memberikan sembilan fungsi
taman nasional yang paling komprehensif, yaitu:
Bhayu Rhama 23

1. Fungsi Pelestarian Keanekaragaman Hayati


Keanekaragaman hayati patut dilindungi karena
me­nye­diakan keseimbangan ekologi, khususnya rantai
makanan, sehingga tidak ada populasi yang terlalu besar
sehingga mengganggu kehidupan manusia. Selain itu,
masih banyak yang belum dipelajari manusia mengenai
manfaat makhluk hidup tertentu, misalnya tumbuhan,
untuk kepentingan manusia, seperti obat-obatan dan
sumber makanan. Menurut Bangarwa (2006: 34), fungsi
keanekaragaman hayati mencakup memberikan sumber
daya gen, melindungi spesies, menjaga keanekaragaman
ekosistem, dan mendukung proses evolusi.
2. Fungsi Pelestarian Proses Ekologis
Fungsi utama taman nasional kedua adalah melin­
dungi proses ekologis yang ada di dalamnya. Proses
ekologis patut dilindungi karena berhubungan dengan
ling­kungan yang lebih luas. Sebagai contoh, taman nasio­
nal memberikan kemampuan menyerap air yang tinggi
se­hing­ga mencegah kawasan di sekitarnya meng­alami
banjir. Menurut Bangarwa (2006: 34), fungsi ekologis
yang diberikan taman nasional mencakup perbaikan dan
peng­edaran nutrisi, pembentukan tanah, sirkulsai dan
pembersihan udara dan air, mendukung udara global,
mem­ berikan keseimbangan air, memberikan oksigen,
dan menyerap karbondioksida yang berarti menurunkan
suhu udara dan efek rumah kaca. Dengan kata lain, taman
nasional berkontribusi terhadap reduksi pemanasan
global.
24 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

3. Fungsi Pelestarian Sumber Air


Fungsi ini mencakup pengendalian erosi, reduksi
banjir lokal, dan regulasi aliran sungai (Bangarwa, 2006:
35). Masyarakat yang berada di sekitar taman nasional
dapat menikmati air bersih yang berasal dari fungsi
pelestarian ini (Holtz dan Edwards, 2003: 53). Hal ini
disebabkan karena air dan udara tidak mengikuti batasan
taman nasional (Obenaus, 2005: 44).
4. Fungsi Konsumsi
Fungsi ini lebih berorientasi pada masyarakat lokal
yang bertopang pada hasil-hasil hutan. Sejauh terkendali,
masyarakat lokal dapat memperoleh manfaat kayu bakar,
makanan, dan serat yang dibutuhkan untuk kebutuhan
dasar hidup mereka (Bangarwa, 2006: 35).
5. Fungsi Penelitian dan Pendidikan
Manfaat sekunder dari taman nasional dapat be­
ragam. Taman nasional memungkinkan studi menge­
nai sejarah alam dan keanekaragaman hayati di suatu
wilayah. Fungsi penelitian ini setidaknya memiliki empat
manfaat, yaitu: refleksi, identitas, kontinuitas, dan keter­
lekatan (Jorgensen, 2009:14). Pengetahuan mengenai
sejarah alam dan keanekaragaman hayati membuat
manusia merefleksikan hakikat dirinya dan karenanya
mem­­berikan kepuasan epistemologis manusia. Adanya
hewan, tumbuhan, atau fitur geologis/geografis unik juga
memberikan suatu negara atau wilayah asalnya suatu
identitas. Di Indonesia dan AS, setiap negara bagian atau
provinsi memiliki flora dan fauna identitas. Sungguh
ironis jika setiap wilayah tersebut tidak mengetahui
Bhayu Rhama 25

perilaku hidup atau karakteristik flora dan fauna identitas


tersebut. Hal yang lebih ironis lagi adalah ketika wilayah
tersebut tidak mampu melindungi lambang mereka
sehingga flora dan fauna tersebut punah. Penelitian juga
memberikan kontinuitas historis bagi suatu wilayah. Data-
data mengenai sejarah geologis wilayah dapat ditemukan
di tempat-tempat terpencil di dalam taman nasional. Hal
ini memungkinkan suatu negara atau bangsa membangun
sejarahnya dengan lebih detail dan memberikan kebang­
gaan tersendiri bagi mereka. Manfaat lainnya adalah
manfaat keterlekatan, yaitu bagaimana masyarakat sekitar
melihat bahwa lokasi taman nasional menjadi sebuah
lokasi ikonik yang memberikan rasa memiliki bagi bangsa
atau masyarakat tersebut.
Selain itu, keberadaan taman nasional memberikan
pelajaran berharga bagi manusia mengenai interaksi
antara makhluk hidup dan tak hidup dan bagaimana
lingkungan dapat memberikan manfaat bagi kelangsungan
hidup manusia. Fungsi ini merupakan fungsi pendidikan
dari taman nasional. Fungsi ini menunjukkan bahwa
pengunjung berkesempatan untuk lebih mengenal flora
dan fauna serta fitur geologis maupun budaya langsung di
tempat aslinya. Di Australia, misalnya, nama tempat dan
sejarah taman nasional diambil dari perspektif Aborigin
sehingga memberikan pemahaman pengunjung mengenai
budaya Aborigin sekaligus memberikan rasa bangga bagi
masyarakat asli tersebut (Thomlinson & Crouch, 2012).
Begitu pula, taman nasional dapat memberikan ilham
untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang berada di
26 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

kawasan di luarnya, khususnya di kawasan terbangun


(Obenaus, 2005: 44).
6. Fungsi Rekreasi
Balmer dan Clarke (1997) mendaftarkan banyak
fungsi rekreasi dari taman yang berpengaruh lebih
lanjut pada fungsi-fungsi lainnya, seperti aktivitas gerak
yang tinggi dan olahraga luar ruangan. Dalam bidang
kesehatan pribadi, rekreasi di taman berkontribusi pada
kesehatan mental, dalam bentuk mengurangi stres,
depresi, dan meningkatkan kesejahteraan emosional
dan psikologi. Selain itu, rekreasi mendorong kesehatan
dan kesejahteraan secara umum. Dalam bidang pengem­
bangan manusia, rekreasi dan taman membantu pengem­
bangan anak dan remaja, pengembangan potensi diri,
mem­berikan kesempatan belajar, dan memberikan
makna spiritual. Dalam konteks mutu hidup, rekreasi
dan taman meningkatkan tingkat kepuasan hidup dan
persepsi mutu hidup. Pada konteks perilaku antisosial,
rekreasi membantu mengurangi kenakalan remaja,
kejahatan, rasisme, isolasi, rasa kesendirian, dan rasa
keterasingan. Dalam konteks keluarga dan masyarakat,
rekreasi membantu keterikatan keluarga, mendorong
kualitas kepemimpinan, kecakapan sosial, partisipasi,
membangun masyarakat, memahami tetangga, sejarah,
lingkungan, dan kebanggaan sebagai anggota masyarakat.
Dari segi keuangan, rekreasi membantu menurunkan
biaya perawatan kesehatan dan pelayanan sosial serta
penjagaan keamanan. Dalam hal ekonomi, rekreasi me­
nolong meningkatkan kinerja tugas, menarik bisnis, nilai
Bhayu Rhama 27

properti, wisatawan, dan ketenagakerjaan. Dalam segi


ekologis, rekreasi membantu pendidikan lingkungan.
7. Fungsi Nonkonsumsi
Fungsi lain yang tidak dinyatakan umumnya dalam
aspek legalitas taman nasional adalah fungsi restoratif
(Kaplan, 1995; Ulrich et al, 1991). Fungsi restoratif merujuk
pada efek positif lingkungan alami pada perasaan dan
pengalaman manusia (Bell et al, 2007: 23). Manusia ketika
melihat gambar atau potret lingkungan alami mengalami
perubahan fisiologis yang mendorong berkurangnya stres
dalam dirinya (Bell et al, 2007: 22). Perubahan fisiologis
ini terukur dari tingkat ketegangan otot, aktivitas listrik
otak, dan tekanan darah (Ulrich et al, 1991). Selain itu,
ketika berjalan di lingkungan alami, manusia dapat lebih
mengenali arah daripada ketika ia berada di lingkungan
perkotaan (Hartig et al, 2003). Kemampuan mengenali arah
ini dimediasi oleh rasa kekaguman yang dimiliki manusia
terhadap lingkungannya (Hartig, 2007: 4). Sementara
itu, ketika dipertontonkan film yang memberikan stres,
individu yang menonton film tentang kehidupan di
alam hijau lebih cepat pulih dibandingkan individu yang
menonton film tentang kehidupan di perkotaan (Balmer
dan Clarke, 1997; Ulrich et al, 1991). Manusia yang datang
ke lingkungan alami merasakan berkurangnya stres,
kekhawatiran, dan meningkatkan fokus kesadaran setelah
mengunjungi lingkungan alamiah, termasuklah taman
nasional (Korpela dan Hartig, 1996). Efek ini semakin besar
ketika individu baru saja mengalami situasi stres atau berat
secara mental (Bell et al, 2007; Parsons et al, 1998). Selain
28 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

itu, keberadaan orang lain dalam lingkungan yang sama


juga memperkuat efek restorasi lingkungan alami dalam
diri manusia (Hartig, 2007:3). Dalam kondisi dunia modern
yang penuh dengan kelelahan mental, tidak mengherankan
jika banyak tempat favorit manusia merupakan lingkungan
alamiah (Hammitt, 2012; Kaplan, 1995).
Adanya fungsi restorasi lingkungan alamiah da­
tang dari teori restorasi atensi (Kaplan, 1995). Teori ini
menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk visual
meng­­arahkan indranya untuk memperhatikan sesuatu.
Proses memperhatikan sesuatu ini dapat bersifat terarah
atau tidak terarah. Secara normal, proses memperhatikan
secara terarah semestinya dimotivasi oleh ketertarikan.
Walau begitu, di perkotaan, atensi manusia terarahkan
oleh berbagai syarat. Di perkotaan, manusia harus
memperhatikan beraneka ragam kegiatan, mulai dari
bekerja hingga berkendara, sehingga mengalami kelelahan
atensi. Kelelahan ini harus disantaikan dengan melepaskan
keterarahan dari atensi manusia. Walau begitu, hal ini
tidak dapat dilakukan di lingkungan perkotaan yang
memberikan banjir informasi yang terlalu besar untuk
dapat diatasi manusia. Atensi ini dicirikan oleh jauh dari
lingkungan sehari-hari, mengandung pola yang menarik
atensi tanpa usaha, memiliki koherensi dan lingkup yang
cukup untuk menggantikan atensi terarahkan, dan sejalan
dengan keinginan individu itu sendiri (Cole dan Hall, 2012;
Kaplan, 1995). Alam memberikan hal ini dan karenanya
menjadikan manusia terlepas dari stres hidupnya.
Bhayu Rhama 29

Selain fungsi restorasi, taman nasional juga mem­


berikan fungsi rekreasi. Fungsi rekreasi taman nasional
muncul ketika ia memenuhi semua persyaratan lokasi
wisata yang diinginkan. Taman nasional tidak menun­
jukkan tanda komersialisasi yang besar-besaran, ia
menarik, tenang, trendi, menggugah rasa ingin tahu, dan
mem­berikan jejak hidup yang santai (Walmsley, 2004: 56).
Dengan kata lain, taman nasional dapat menjadi tujuan
wisata karena ia menggugah dan nyaman (Russell, 1980).
Fungsi psikologis lainnya dari lingkungan alamiah,
ter­masuk taman nasional, adalah fungsi spiritual (Borrie,
Meyer, Foster dan Hall, 2012; Fredrickson dan Andersen,
1999; Heintzman, 2000; Marsh, 2007). Fungsi spiritual
ditunjukkan oleh kemampuan pengalaman berada di alam
menghasilkan inspirasi spiritual, pengalaman emosional,
dan perasaan transendental (Cole dan Williams, 2012;
Williams dan Harvey, 2001). Inspirasi spiritual terlihat
dari bagaimana ketiadaan modernisasi lewat distraksi dan
komunikasi memberikan kesempatan bagi individu untuk
merenung dan merefleksikan diri mereka sendiri baik
tentang hakikat hidupnya ataupun masa depannya (Cole
dan Hall, 2012: 38).
Pengalaman emosional datang dari tantangan
hidup yang terlihat nyata ketika individu harus jauh dari
pertolongan dan kepedulian orang lain sehingga harus
bertopang sepenuhnya pada kemampuan dirinya (Cole
dan Hall, 2012: 38). Perasaan yang hadir berupa takut,
bangga, tertantang, dan berbagai bentuk emosi lainnya
yang berasosiasi dengan risiko (Talbot dan Kaplan, 1986;
30 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Glaspell, Kneeshaw, dan Pendergrast, 2003; Patterson et al,


1998). Perasaan transendental hadir dari kesadaran baru
yang muncul pada diri individu pengunjung yang merasa
orientasi hidup mereka berubah, lebih berfokus pada hal-
hal yang dipandang lebih bernilai dalam hidup, dan merasa
kemampuannya lebih harmonis dengan kecenderungannya
(Kellert, 1998; Talbot dan Kaplan, 1986).
Fungsi sosial juga dapat hadir dari kegiatan di alam
(Arnould dan Price, 1993; Fredrickson dan Anderson,
1999). Sejumlah kunjungan ke lingkungan alam meng­
hasilkan pengalaman bersama yang dapat menguat­kan
ikatan sosial, bahkan sejak perencanaan kedatangan (Cole
dan Hall, 2012: 38). Di lokasi, keberadaan beberapa orang
dalam satu kelompok dapat memperkuat tali persahabatan
antarmereka lewat kebersamaan di tempat yang asing
(Arnould dan Price, 1993). Hubungan dengan pasangan
atau keluarga (Nickerson dan Cook, 2002) juga lebih
erat ketika berbagi pengalaman bersama di lingkungan
alamiah.
Fungsi spiritual (kontemplasi), restorasi (rejuvenasi),
dan sosial (confiding) merupakan tiga fungsi yang
diturunkan dari karakteristik perjalanan ke alam liar yang
mengandung privasi. Privasi sendiri adalah “kemampuan
mengendalikan jumlah dan tipe akses yang dimiliki
seseorang terhadap orang lain“ (Cole dan Hall, 2012:
78). Hal ini yang membedakan perjalanan wisata massal
dengan perjalanan wisata privasi. Privasi sendiri terbagi
menjadi sendiri bersama keluarga, sendiri bersama teman,
bebas dari pengawasan orang lain, bebas dari pengamatan
Bhayu Rhama 31

orang lain secara geografis, terlihat namun tidak dikenali,


dan tidak mengungkapkan aspek diri pada orang lain
(Cole dan Hall, 2012; Dawson dan Hammit, 1996). Sedikit
banyak, kunjungan ke alam liar memberikan privasi
bagi pengunjung. Selain fungsi yang telah disebutkan
sebelumnya, privasi juga berfungsi otonom, yaitu mem­
bebaskan individu untuk berbuat dan memilih, dan
berfungsi kreativitas, yaitu mengembangkan gagasan dan
solusi baru (Cole dan Hall, 2012: 78).
Fungsi lain yang semakin memperoleh prioritas
saat ini dari taman nasional adalah fungsi kultural. Fungsi
kultural datang dari kenyataan bahwa penetapan taman
nasional di suatu lokasi hampir selalu datang belakangan
setelah lokasi tersebut didiami oleh manusia. Masyarakat
yang mendiami lokasi ini adalah masyarakat asli yang
sering kali hidup terpencil dan bergantung pada hasil
taman nasional. Adalah kewajiban moral bagi pemerintah
untuk menjaga kehidupan masyarakat asli ini agar tidak
merasa dirugikan, apalagi terusir dari taman nasional.
Pentingnya masyarakat asli berada di dalam kawasan
taman nasional berkaitan dengan rasa tempat (Brooks
dan Williams, 2012: 21). Sebagai individu yang tinggal di
lokasi alamiah dalam waktu lama, masyarakat asli telah
membangun dan mempertahankan identitas dirinya dalam
berbagai aspek lewat aktivitas dan pengalaman hidupnya
di tempat tersebut (Hay, 1998; Manzo, 2008). Tempat
memberikan sebuah perasaan stabilitas, keamanan,
kepemilikan, keintiman, keterletakan, dan komitmen hidup
(Brooks dan Williams, 2012: 26). Penduduk yang telah lama
32 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

tinggal di suatu tempat memiliki kelekatan emosional yang


lebih kuat daripada penduduk baru. Kelekatan emosional
ini hadir lewat pembentukan diri secara berkelanjutan
di lokasi yang sama sedemikian hingga identitas individu
menjadi berhubungan erat dengan lokasi (Twigger-Rose
dan Uzzel, 1996).
8. Fungsi Penyangga Bencana
Fungsi penyangga bencana berkaitan dengan taman
nasional yang berada di lokasi rawan bencana. Cochrane
(1997: 15) menyebutkan salah satu fungsi Taman Nasional
Bromo-Tengger-Semeru adalah sebagai daerah penyangga
jika terjadi erupsi vulkanis dari salah satu gunung api
tersebut. Selain itu, suatu taman nasional yang berlokasi
di pantai dapat menjadi penyangga bagi bencana tsunami
yang mungkin terjadi. Taman nasional juga dapat berfungsi
sebagai penyangga bagi bencana badai (Bushell, 2001:9).
Sebagai daerah penyangga, taman nasional mampu
mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh bencana
alam sekaligus mengurangi korban jiwa.
9. Fungsi Masa Depan
Fungsi ini berkaitan dengan fungsi yang belum di­
temukan dan dapat ditemukan di masa depan (Bangarwa,
2006: 35).

Sebagian fungsi taman nasional di atas adalah fungsi
yang mengandung intervensi manusia. Intervensi manusia ke
dalam taman nasional menjamin agar fungsi penelitian, sains,
pendidikan, budaya, pariwisata, dan rekreasi dapat berjalan.
Walau begitu, dampak dari intervensi manusia ke dalam
Bhayu Rhama 33

ekosistem alami akan menjadikan ekosistem tersebut tidak lagi


terlalu alami. Untuk itu, diperlukan manajemen jalan masuk ke
dalam suatu taman nasional yang dapat memberikan dampak
minimum pada lingkungan. Bahkan, ketika jalan masuk ini
dibuat dan dijaga dengan baik, sejumlah masalah dapat muncul.
Menurut Marion dan Leung (2001: 19), intervensi
manusia pada taman nasional dapat berbentuk erosi tanah,
pem­­bentukan jalan sekunder, pengaliran air, pembentukan
jalan oleh pengunjung, akar yang terpapar, tanah basah, dan
pelebaran. Kondisi ini memberikan efek ekologis maupun
sosial. Efek ekologis mencakup hilangnya nutrisi dan tanah,
sedimentasi/turbiditas air, perubahan jalur air, kerusakan
akar, berkurangnya kesehatan pohon, menurunnya toleransi
pada kekeringan, hilangnya vegetasi, terpaparnya tanah, pem­
bentukan lumpur, meningkatnya debit air mengalir, percepatan
laju erosi, dan fragmentasi habitat kehidupan liar (Marion
dan Leung, 2001). Efek sosial yang terarah pada pengunjung
sendiri berbentuk peningkatan pada kesulitan perjalanan,
menurunnya estetika, isu keselamatan, dan hadirnya gangguan
manusia. Dampak ini hadir tidak semata karena manusia yang
berjalan kaki, namun juga penggunaan kuda (Marion dan
Leung, 2001). Malahan, penggunaan kuda memberikan efek
yang paling tinggi dibandingkan berjalan kaki, sepeda, kambing,
atau sepeda motor (Cole dan Spildie, 1998; Wilson dan Seney,
1994). Karenanya, semakin sering dikunjungi, maka efek pada
ekosistem di taman nasional akan semakin besar.
Modernisasi dengan membangun jalan yang lebih baik
dengan penutup aspal atau semen dapat mengurangi ma­
salah karena dapat mencegah terjadinya erosi tanah. Walau
34 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

begitu, hal ini justru akan mengurangi nilai “alamiah” taman


nasional, dan karenanya membuat pengunjung ragu dengan
keaslian Taman Nasional. Selain itu, pembangunan jalan yang
memuaskan seperti ini membutuhkan banyak biaya, baik dalam
konstruksi maupun pemeliharaan (Marion dan Leung, 2001:
18).
Langkah lain adalah memberikan tanda-tanda yang
jelas bagi pengunjung. Manusia memiliki kemampuan yang
berbeda-beda dalam menemukan arah (wayfinding) (Findlay
et al, 2002). Kemampuan menemukan arah merupakan sebuah
bentuk pemecahan masalah spasial yang tergantung pada
gender, familiaritas pada lingkungan, rasa arah, dan strategi
pencarian arah. Pengunjung perempuan, yang tidak terbiasa
dengan taman nasional, kurang memiliki naluri arah, dan tidak
memiliki strategi yang baik untuk mencari arah, dapat tersesat
di dalam taman nasional dan memberikan ongkos lingkungan
yang besar terkait dampak keberadaan manusia di dalamnya.
Tanda penunjuk jalan bukan saja membantu untuk keselamatan
pengunjung, namun juga membantu dalam upaya konservasi
taman nasional itu sendiri.
Besarnya efek ini tentu saja kembali pada perilaku individu
yang datang ke taman nasional maupun sifat lingkungan itu
sendiri. Para pengunjung yang kurang menghargai alam atau
terlalu menuntut kenyamanan dapat memberikan dampak yang
lebih besar. Kondisi-kondisi alam tertentu, seperti kemiringan,
topografi, jenis tanah, kelembapan tanah, kandungan lumpur,
tipe vegetasi, dan kepadatan vegetasi juga dapat memberikan
efek besar pada kerusakan ketimbang kondisi alam lainnya
(Marion dan Leung, 2001).
Bhayu Rhama 35

Perencanaan suatu taman nasional menjadi objek wisata


juga memiliki efek bagi berbagai pihak (Haukeland, 2011:4).
Wisatawan akan memiliki pandangan kalau objek wisata yang
memiliki label taman nasional merupakan objek wisata alam
yang bermutu tinggi (Lindberg dan Dellaert, 2003). Semakin tua
taman nasional tersebut, semakin tinggi jumlah kunjungan yang
datang ketika ia dibuka untuk pariwisata (Wang et al, 2012: 249).
Karenanya, promosi wisata memberikan penekanan pada frasa
“taman nasional” dan menjadikannya semacam merek penting
yang harus dijaga identitasnya (Haukeland, 2011; Eagles, 2003).
Ia dipandang sebagai tempat yang menyediakan pemandangan
yang indah, unik, sangat menarik untuk dikunjungi, dan sulit
ditemukan di tempat lain. Sebagai akibatnya, promosi ini
mendorong banyak wisatawan datang, kadang dalam jumlah
yang tidak diperkirakan sebelumnya. Hal ini memberikan efek
tekanan yang lebih besar lagi pada lingkungan.
Efek taman nasional terhadap lingkungan sosial-budaya
masih merupakan sebuah bidang yang penuh perdebatan
(Pelser, Redelinghuys, dan Velelo, 2012: 57). Sebagian pihak
memandang bahwa penyediaan manfaat untuk sosial dan
manfaat untuk konservasi bersifat antagonis (Upton et al,
2008). Ketika kita berusaha untuk melakukan konservasi sebaik
mungkin, hal ini akan berdampak buruk bagi masyarakat
yang tinggal di sekitar kawasan konservasi atau di dalamnya.
Pandangan ini berangkat dari asumsi dasar kalau konservasi
berarti lingkungan yang sepenuhnya alamiah tanpa ada manusia
di dalamnya (Pimbert dan Pretty, 1997: 5). Paradigma ini telah
lama dianut oleh banyak negara (Manning, 1989). Sebagai
contoh, masyarakat yang tinggal di kawasan taman nasional
36 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

praktis akan tidak memiliki listrik, air bersih, dan akses jalan raya
selama status taman nasional tetap berjalan. Mereka terbatasi
dalam mengumpulkan tanaman obat-obatan, memancing,
mengumpulkan kayu, mengumpulkan makanan, mencari
makanan untuk ternaknya, berburu, atau mengumpulkan
sumber daya lain dari taman nasional (Pimbert dan Pretty, 1997:
7). Di Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan, satu-satunya
akses ke desa yang berada di dalam Taman Nasional adalah
dengan jalan air dan tidak ada listrik yang menerangi rumah
warga. Akan menjadi pertanyaan apakah mereka memilih jalan
hidup tradisional atau terpaksa melalui jalan hidup tersebut.
Mereka akan tertinggal dari segi pembangunan atau terpaksa
mengungsi keluar dari tanah kelahirannya.
Sebaliknya, ketika status taman nasional dicabut atau
disandingkan dengan status sebagai objek wisata, para
wisatawan akan datang dan membawa modernisasi bagi
masyarakat. Masyarakat akan mengenal uang dan akhirnya
mengenal bagaimana menjadi kapitalis, yang kadang kala harus
mengorbankan dan mengeksploitasi alam sebesar-besarnya
untuk mendapatkan kesejahteraan individual. Pihak lain dapat
berpendapat bahwa pembangunan dan konservasi dapat
berjalan beriringan. Ada sebuah titik optimal di mana setiap
stakeholder, termasuk alam itu sendiri, memperoleh manfaat
maksimal dan kerugian minimum. Ini adalah sebuah solusi
strategis yang membutuhkan kerja sama semua pihak dan inilah
yang diusung oleh wacana pembangunan berkelanjutan.
Bhayu Rhama 37

C. Manajemen Taman Nasional


Taman nasional sudah banyak dibahas dalam berbagai
literatur, mulai dari sejarah perkembangannya dalam konteks
masing-masing negara (sebagai contoh, Frost & Hall, 2009a;
MacEwen & MacEwen, 1982; Runte, 2010) atau dalam ber­
bagai edisi tentang tantangan pariwisata di taman nasional
(Butler & Boyd, 2000) sampai dengan dokumen “teknis” yang
mendefinisikan dan mengategorisasikan area yang dilindungi,
termasuk taman nasional (Dudley, 2008). Secara khusus dan
tanpa disadari, apa pun latar belakangnya, studi tentang mana­
jemen taman nasional kebanyakan merupakan studi kasus di
berbagai negara. Dari berbagai studi tersebut dapat disim­
pulkan beberapa isu utama pengelolaan taman nasional yang
dirangkum berikut ini.
1. Mana yang Harus Diutamakan: Konservasi atau
Ekonomi?
Tujuan utama penunjukan taman nasional terus men­
jadi subjek perdebatan. Ada beberapa contoh tujuan mem­
bangun taman nasional, seperti menciptakan area untuk
pengetahuan, pembelajaran dan rekreasi, untuk melindungi
budaya masyarakat adat (Zeppel, 2009) atau, sangat khas,
untuk pelestarian lanskap penting atau monumental (Frost and
Hall, 2009b). Selain itu, taman nasional dapat didirikan atau
ditetapkan untuk menambah nilai pada lahan tertentu (Runte,
2010), sebagai simbol identitas nasional dan kesatuan, serta
lebih umum sebagai aset nasional yang perlu dipertahankan
(Howard, 2003).
38 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Seperti telah dibahas sebelumnya, pembangunan


akan berhenti ketika masyarakat asli tinggal di dalam taman
nasional. Hal ini tidak akan menjadi masalah jika masyarakat
asli memandang itu memang bukan masalah. Mereka akan
mungkin memilih hidup sederhana asalkan tinggal di tanah
sendiri daripada harus bermigrasi ke luar taman nasional
untuk hidup yang lebih baik dalam standar kapitalisme.
Keberhentian pembangunan mungkin tidak dapat begitu saja
terjadi. Masyarakat lokal tetap terkena pengaruh ekonomi
bagaimanapun juga jika tidak diisolasi. Para pengunjung dari
kota besar cenderung mencari desa-desa yang terpencil
untuk kebutuhan rekreasi (Lankford et al, 2004; Jacob dan
Luloff, 1995). Tetapi, karena mereka tidak memahami konteks
ekonomi untuk dapat menaikkan kesejahteraan, keuntungan
dari kunjungan tersebut tidak sampai kepada mereka. Hal ini
menurut Fennell (2013), tergantung pada bagaimana orientasi
pada kepuasan pengunjung.
Ada dua tipe orientasi, yaitu orientasi kepuasan pe­
ngunjung dan orientasi keuntungan. Orientasi kepuasan pe­
ngunjung datang dari kegiatan rekreasi. Karena kebanyakan
masyarakat desa cenderung ramah dan kebanyakan pendatang
cenderung bersahabat dengan masyarakat desa, maka hal
ini tidak akan memberikan masalah pada kesejahteraan
masyarakat desa. Pengunjung dapat memberikan sumbangan
langsung pada ekonomi masyarakat lewat prinsip resiprokasi.
Sebaliknya, orientasi keuntungan datang dari kegiatan wisata.
Dalam kegiatan pariwisata, pengunjung tidak menjadi bagian
sentral, tetapi uanglah yang menjadi sasaran utama. Tentu
masyarakat desa dapat menjadi aktor yang mengarah pada uang
Bhayu Rhama 39

ini, namun sejauh masyarakat desa tersebut tidak terlalu peduli


dengan uang, mereka dapat dimanfaatkan oleh pihak ketiga.
Pihak ketiga, biasanya penyedia jasa wisata, akan menjadikan
masyarakat desa sebagai aset, begitu pula lingkungan per­
desaan. Sering kali bangunan-bangunan hotel atau pelayanan
dengan berbagai jenjang harga ditawarkan kepada pengunjung,
tidak peduli apakah pengunjung merasa terganggu atau
masyarakat desa merasa diintervensi dalam hubungan antara
tuan rumah (masyarakat desa) dan tamu (pengunjung). Karena
para pengunjung adalah masyarakat kelas atas dari kota yang
memiliki banyak dana, tidak mengherankan jika terdapat sebuah
kesempatan bisnis yang besar bagi pihak ketiga untuk membuka
pelayanan wisata di lokasi terpencil.
Pemerintah sendiri dilarang untuk mengusir masyarakat
asli dari suatu taman nasional. Zaire Resolution on the
Protection of Traditional Ways of Life (IUCN, 1975) melarang hal
ter­sebut dilakukan. Lebih jauh, kebutuhan masyarakat asli harus
diperhatikan dalam manajemen taman nasional (Poirier dan
Ostergren, 2002: 341). Hal ini dipertegas lagi lewat Deklarasi
Caracas tahun 1992 dan Konferensi Rio di tahun yang sama
yang menambahkan aspek kepedulian masyarakat asli sebagai
bagian yang harus ikut dipertimbangkan (Poirier dan Ostergren,
2002: 341). Kebijakan ini akan terlihat berkonflik dengan upaya
pemerataan pembangunan atau pengentasan kemiskinan yang
berskala menyeluruh yang dilakukan oleh negara. Apalagi ketika
pertanyaan yang muncul adalah bagaimana jika masyarakat
asli menginginkan modernisasi tanpa harus keluar dari taman
nasional?
40 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Aspek ekonomi yang harus diperhitungkan bukan saja


aspek ekonomi dari masyarakat asli, namun dari taman
nasional itu sendiri. Perawatan taman nasional membutuhkan
biaya dan biaya ini hadir dari pemerintah. Walau begitu, dana
dari pemerintah dapat tidak mencukupi, apalagi bagi negara
berkembang. Karenanya, pengelola taman nasional, baik legal
atau tidak, dapat mengambil dana dari sumber lain, yang dapat
mengorbankan sisi konservasi taman nasional. Pertaruhan ini
teramati pada negara seperti China (Ma et al, 2009), Pakistan
(Khan, 2004), dan Skotlandia (McCarthy, Lloyd, dan Illsley,
2002).
2. Siapa yang Mengelola
Menurut IUCN (1994), kepemilikan dan pengelolaan ta­
man nasional seharusnya berada di tangan otoritas tertinggi
negara yang memiliki yurisdiksi atasnya. Namun demikian,
pengendalian taman nasional juga dapat diberikan di tingkat
pemerintahan yang lain, dewan lokal, yayasan, atau bentuk
lain dari badan yang didirikan secara hukum yang didedikasikan
untuk konservasi kawasan jangka panjang (Tabel 2.4).
Oleh karena itu, setidaknya terdapat dua stakeholder
taman nasional, yaitu pemerintah dan masyarakat asli. Walau­
pun dua stakeholder ini telah terlihat sangat minim, tetapi
sesungguhnya terdapat faksi-faksi di dalam masyarakat asli
yang berbeda pendapat. Bahkan, ketika faksi-faksi di dalam
masyarakat asli telah sependapat, terdapat isu kepercayaan
terhadap pemerintah yang harus diselesaikan (Chi, 2007: 17).
Hal ini membuat upaya manajemen bersama akan menjadi
sulit. Dalam pemerintahan otoriter, seperti Indonesia di masa
Bhayu Rhama 41

lalu, pemerintah dapat dengan tegas mengelola taman nasional


tanpa perlu kerja sama dari masyarakat asli. Seperti disarankan
oleh Chi (2007: 20), masyarakat asli hanya cukup memperoleh
“pengakuan” ketimbang “kedaulatan”. Sungguhpun demikian,
dalam pemerintahan yang demokratis, hal ini harus dilakukan.
Table 2.4 Tipe Pengelola dan Subkategori Menurut IUCN

A. Dikelola oleh pemerintah B. Pengelolaan bersama


Kementerian atau lembaga Manajemen lintas batas.
federal atau nasional
bertanggung jawab.
Kementerian atau lembaga sub- Manajemen kolaboratif (berbagai
nasional. bentuk pengaruh pluralis).
Manajemen yang didelegasikan Manajemen bersama (dewan
oleh pemerintah (misalnya ke manajemen pluralis).
LSM).
C. Dikelola swasta D. Dikelola penduduk asli dan
lokal
Dideklarasikan dan dijalankan Daerah perlindungan masyarakat
oleh individu pemilik tanah. adat dan wilayah - didirikan dan
dijalankan oleh masyarakat adat.
Oleh organisasi nirlaba Kawasan konservasi masyarakat –
(misalnya LSM, universitas). dideklarasikan dan dijalankan oleh
Oleh organisasi nirlaba (mis. komunitas lokal.
Pemilik perusahaan, koperasi).
Sumber: Borrini-Feyerabend, G., Dudley, N., Jaeger, T., Lassen, B., Broome, N. P., Phillips,
A. & Sandwith, T. (2013); Deguignet et al. (2014); Dudley (2008)

Pihak lain yang dapat masuk adalah ilmuan dan kapitalis.


Ilmuan memberikan banyak masukan, namun sifat dari sains
yang dinamis membuat manajemen taman nasional harus ikut
beradaptasi dan berubah. Ilmuan dapat berkonflik dengan
42 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

penduduk lokal terkait masalah manajemen karena perbedaan


paradigma. Di Kanada, pemerintah lebih memihak para ilmuan
sehingga kearifan lokal dikesampingkan (Markel dan Clark, 2012;
Thomlinson dan Crouch, 2012; Clark, Fluker, dan Risby, 2008).
Alasannya, selain karena sains lebih homogen, pengetahuan
lokal sangat kompleks dan kadang bertentangan satu sama lain
(White, 2006). Di tempat lain, suara ilmuwan mungkin tidak
didengar dan pemerintah lebih bertopang pada pengetahuan
lokal masyarakat asli. Kapitalisme dapat menekan dengan me­
nawarkan dana yang besar untuk sumber daya tertentu yang
tersimpan dalam taman nasional, baik berupa sumber daya fisik
(misalnya kayu) atau nonfisik (misalnya atraksi wisata).
Selanjutnya, paradigma positivis dan rasionalis yang di­
adopsi oleh para ilmuwan dapat mendukung keyakinan
mereka bahwa mereka paling mampu memahami alam dan
mempertahankan secara mandiri keberlanjutan sumber daya
alam (Morrison, 1997). Sebaliknya, ada banyak bukti empiris
untuk mendukung argumen bahwa keterlibatan masyarakat
lokal dalam pengelolaan ekosistem juga memberikan dam­
pak positif pada keanekaragaman hayati. Memang, pada
kenyataannya, bukti menunjukkan bahwa hutan primer telah
lama memberikan dukungan kepada penduduk setempat dan
pengetahuan lokal mereka telah diambil untuk memastikan
bahwa sumber daya alam ini tetap terlindungi saat ini
(misalnya, Massawe, 2010; Pearl, 1994; Smyth, Yunupingu,
& Roeger, 2010; Susan, 2010; Usop & Kristianto, 2011). Oleh
karena itu, paradigma ilmu pengetahuan bisa dibilang perlu
dipikirkan kembali dan tantangan terbesar adalah menemukan
cara untuk melibatkan masyarakat dalam rangka menciptakan
Bhayu Rhama 43

struktur manajemen holistik untuk kegiatan konservasi di taman


nasional.
Pimbert dan Pretty (1997) membedakan dengan tajam
sejumlah aspek yang dimiliki oleh manajemen taman nasional
berbasis ilmiah dan berbasis holistik. Tabel 2.5 menunjukkan
perbedaan tersebut. Dapat dilihat bahwa kedua model mana­
jemen tersebut mencerminkan perbedaan antara manajemen
dalam latar otoritarianisme dan manajemen dalam latar
demokrasi.
Tabel 2.5 Perbedaan Manajemen Berbasis Ilmiah (Cetak Biru) dan
Manajemen Berbasis Holistik (Proses)
Model Cetak Biru Model Proses
Titik Keanekaragaman hayati, Keanekaragaman nilai
keberangkatan estetika, dan potensi manusia dan alam.
nilai komersialnya.
Lokus Sentralistis. Gagasan Desentralistis. Gagasan
pembuatan datang dari ibu kota. datang dari desa.
keputusan
Desain Statis, berdasarkan para Berevolusi, melibatkan
ilmuwan. masyarakat.
Metode dan Standar, universal, dan Beranekaragam, lokal,
aturan tetap. banyak pilihan.
Fokus Menghabiskan anggaran, Perbaikan dan kinerja
manajemen menyelesaikan proyek berkelanjutan.
tepat waktu.
Evaluasi Eksternal, berkala Internal, berkelanjutan
44 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Model Cetak Biru Model Proses


Hubungan Mengendalikan, Memungkinkan,
dengan mengatur, mendorong, mendukung,
masyarakat memotivasi, memberdayakan.
menciptakan Masyarakat dipandang
ketergantungan. sebagai pelaku.
Masyarakat dipandang
sebagai penerima
manfaat.
Keluaran Keanekaragaman Keanekaragaman
konservasi, keseragaman sebagai prinsip produksi
produksi, pemberdayaan dan konservasi,
profesional. pemberdayaan
masyarakat desa.
Berasosiasi Profesionalisme normal. Profesionalisme baru.
dengan
Kesalahan Dikubur. Dijadikan pembelajaran.
Komunikasi Vertikal, perintah turun, Lateral, belajar dan
laporan naik. berbagi pengalaman
bersama.
Asumsi analitis Reduksionis dengan bias Sistem dan holistik.
sains alam.
Sumber daya Dana dari pusat dan Masyarakat lokal dan
utama sumber daya manusia aset mereka.
terlatih dan terdidik.
Langkah awal Pengumpulan data dan Kesadaran dan
perencanaan. tindakan.
Kata kunci Perencanaan strategis. Partisipasi.
Penyusun Profesional di bidang Masyarakat lokal dan
prioritas konservasi. profesional bekerja
sama.
Bhayu Rhama 45

Model Cetak Biru Model Proses


Strategi Profesional tahu apa Profesional memang
dan konteks yang mereka inginkan, tahu apa yang mereka
intervensi mereka membuat inginkan, tetapi tidak
rencana penelitian tahu bagaimana
atau desain proyek, hasilnya. Ini menjadi
informasi dan hasil proses belajar terbuka
diperoleh dari situasi dan pembelajaran hadir
terkontrol, konteks lewat interaksi dengan
bersifat independen dan penduduk lokal. Konteks
terkendali. menjadi penting dan
mendasar.
Hubungan Profesional Profesional
antara semua mengendalikan dan memberdayakan
aktor dalam memotivasi klien dari masyarakat lokal lewat
proses jarak jauh; mereka tidak dialog, membangun
percaya pada masyarakat kepercayaan, melakukan
lokal. negosiasi dan analisis
bersama, semua pihak
dilibatkan.
Teknologi atau Teknologi diutamakan, Masyarakat
pelayanan masyarakat lokal diutamakan, teknologi
konservasi dipandang terbelakang. dipandang milik
bersama.
Pengembangan Bersifat vertikal dan Bersifat horizontal dan
karir semakin tinggi jabatan, semakin tinggi jabatan,
semakin jauh dari semakin dekat dengan
lapangan. masyarakat.
Mode kerja Satu disiplin, bekerja Multidisiplin, bekerja
sendiri. dalam kelompok.
Asumsi tentang Singular, tampak. Jamak dan dikonstruksi
realitas sosial.
46 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Model Cetak Biru Model Proses


Ilmu dan Positivisme atau post- Konstruksionisme,
metode positivisme; sains alam, holistik (sains alam
konservasi mencari hubungan sebab dan sosial), mencari
akibat, kategori dan kesepakatan, kategori
persepsi pakar penting. dan persepsi masyarakat
lokal penting.
Sumber: Pimbert dan Pretty (1997:20-21; 36-37); Pretty dan Chambers (1993)

Dari tabel di atas terlihat bahwa paradigma baru lebih


masuk akal dan lebih memenuhi kebutuhan masa kini. Para­
digma baru yang partisipatif merupakan jawaban atas komplek­
sitas masalah yang semakin besar, seiring dengan sema­kin
besarnya kesadaran bahwa manajemen taman nasional tidak
semata masalah manajemen benda mati. Pimbert dan Pretty
(1997: 47) sadar bahwa paradigma partisipatif adalah para­
digma yang sulit untuk dijangkau dan dilaksanakan, apalagi di
negara berkembang. Masyarakat lokal telah sampai pada titik
di mana mereka dipandang sebagai pencuri sumber daya alam
di tanah mereka sendiri, hanya untuk mencari makanan, bahan
bakar, pemenuhan kebutuhan kultural, kesehatan, dan naungan
(Pimbert dan Pretty, 1997: 48). Sementara itu, pemerintah
dipandang sebagai pihak yang tidak dapat diandalkan dalam
menjaga kelangsungan hidup alam dan mereka. Sebagai contoh,
pada era 1980-an, 600 ribu dari 1,6 juta penduduk lokal yang
tinggal di 118 taman nasional di India telah diusir keluar dari
taman nasional tersebut (Pimbert dan Pretty, 1997: 3).
Sungguhpun demikian, Pimbert dan Pretty (1997: 38-
40) optimistis dengan berusaha membangun sejumlah isu
operasional yang patut dialamatkan untuk menjadi sebuah
Bhayu Rhama 47

jalan mencapai manajemen taman nasional yang partisipatif. Isu


tersebut antara lain:
a. Manajemen dan pengetahuan lokal
Taman nasional mengandung komponen masyarakat
yang telah lama tinggal di lokasi dan mengenal akrab
wilayah tersebut selama bergenerasi. Mereka telah me­
miliki sistem pengetahuan lokal yang walaupun sebagian
mungkin berupa mitos, sebagian lagi dapat jauh lebih
ber­harga daripada hasil penelitian yang singkat oleh
para profesional. Pengetahuan dan manajemen ini perlu
dipelajari dan ketika memang terbukti, tidak ada alasan
untuk tidak disertakan dalam manajemen taman nasional.
Penggunaan pengetahuan dan manajemen lokal yang
relevan ini memberikan manfaat dalam bentuk mem­
baiknya perlindungan dan manajemen keaneka­ragam­an
hayati dan budaya maupun pengunjung (Horstman dan
Wightman, 2001: 108).
b. Kelembagaan dan organisasi sosial lokal
Masyarakat lokal juga telah lama memiliki sistem
kelembagaan tersendiri yang memiliki para sesepuh yang
terpandang dan berpengaruh. Selain itu, kelembagaan
yang mereka miliki lebih mampu bergerak cepat dalam
mengelola wilayah taman nasional. Sejumlah organisasi
berbasis lokal juga perlu dibangun untuk mengelola taman
nasional sehingga lebih menumbuhkan rasa memiliki di
kalangan lokal. Jika lembaga lokal dapat dimanfaatkan
dan organisasi berbasis lokal dapat dibangun dan
dikembangkan, manfaat yang diperoleh bersama akan
lebih besar dan bersifat berkelanjutan.
48 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

c. Hak masyarakat lokal atas sumber daya alam


Sebagai penduduk asli, masyarakat lokal harus
mera­sakan kepemilikan atas sumber daya alam yang ada.
Merasakan kepemilikan di sini berarti mereka memiliki
hak untuk memanfaatkan tanpa dibatasi oleh larangan
yang diberikan pada orang di luar taman nasional. Hal
ini misalnya, telah ditunjukkan dalam kasus Taman
Nasional Wasur di Papua yang dijaga oleh masyarakat
lokal dari suku Kanum, Marori, Marin, dan Yei (Pimbert
dan Pretty, 1997: 39). Masyarakat tentu dapat memilih
untuk memanfaatkan hak yang mereka miliki atas tanah
untuk kebutuhan kapitalisme yang destruktif bagi taman
nasional, misalnya untuk perusahaan kayu, sawit, atau
pertambangan (Colchester, 1994). Karenanya, selain hak
yang jelas untuk siapa, harus ada pintu komunikasi untuk
membangun kepahaman mengenai pemanfaatan hak
yang bijaksana dan menguntungkan bagi taman nasional
maupun masyarakat lokal (Colchester, 1994).
d. Sumber daya dan teknologi lokal dimanfaatkan untuk me­
menuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Isu ini yang telah diperdebatkan lama. Dalam para­
digma partisipatif, pemerintah tidak dapat mening­galkan
masyarakat begitu saja dan membiarkan mereka hidup
dalam kemiskinan. Harus ada sebuah upaya pemberdayaan
masyarakat lokal sehingga mereka dapat memperoleh
kebutuhan hidup dasar dalam standar modern seperti ke­
se­hatan, sanitasi, pendapatan, perumahan, dan air bersih.
Bhayu Rhama 49

e. Partisipasi masyarakat lokal pada tahap perencanaan, ma­


najemen, dan evaluasi.
Partisipasi menimbulkan rasa memiliki dan ini mem­
be­rikan keuntungan bagi taman nasional secara keselu­
ruhan. Bagaimana peran masyarakat dalam partisipasi
pada seluruh aspek pengelolaan taman nasional ini
digariskan oleh Pimbert dan Pretty (1997: 39) seperti
dalam tabel 2.6 berikut. Dalam tabel tersebut terdapat
tujuh level partisipasi. Partisipasi tipe apa yang dapat
diambil oleh masyarakat lokal harus ditegaskan sejak
tahap awal sehingga masyarakat menjadi jelas tentang
hak dan kewajibannya dalam pengelolaan taman nasional.
Sedapat mungkin, partisipasi masyarakat harus berada
pada level fungsional atau interaktif, karena level di
bawah fungsional lebih berorientasi pada otoritarianisme
profesional sementara di atas interaktif akan berorientasi
pada otoritarianisme masyarakat lokal.
Tabel 2.6 Alternatif Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Taman
Nasional
Tipe partisipasi Penjelasan
Partisipasi pasif Informasi di tangan profesional. Masyarakat
hanya berpartisipasi sebagai pendengar.
Partisipasi dalam Keputusan di tangan profesional. Masyarakat
pemberian informasi hanya memberikan informasi dengan
menjawab pertanyaan.
Partisipasi lewat Keputusan di tangan profesional. Masyarakat
konsultasi hanya memberikan saran dan masukan.
Partisipasi untuk Insentif ada di tangan profesional. Masyarakat
insentif material menukarkan sumber dayanya dengan insentif
sejauh profesional membutuhkan.
50 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Tipe partisipasi Penjelasan


Partisipasi fungsional Perencanaan di tangan profesional.
Masyarakat terlibat dalam kelompok-
kelompok yang tergantung pada rencana yang
telah dibuat.
Partisipasi interaktif Masyarakat lokal dan profesional menjadi
pihak yang bersama-sama melakukan analisis
situasi dan membuat keputusan.
Mobilisasi mandiri Masyarakat lokal bergerak sendiri lepas dari
profesional. Konflik kekuasaan dan kekayaan
dapat terjadi dan menjadikan sistem tidak
teratur.
Sumber: Pimbert dan Pretty (1997:30-31)

f. Proyek bersifat fleksibel dan berorientasi pada proses.


Perlu disadari oleh para pengelola kalau manajemen
taman nasional lebih bersifat adaptif dan karenanya, akan
sangat bertopang pada karakteristik lokal. Pola mana­
jemen di satu taman nasional akan berbeda dengan taman
nasional lainnya. Begitu pula, pengelolaan di satu waktu
dapat berbeda di waktu lainnya, walaupun di taman
nasional yang sama. Karakteristik ini menjauh dari standar
dan karenanya, lebih ke arah seni ketimbang sains. Hal
ini dibutuhkan untuk menghadapi lingkungan yang terus
berubah dan menuntut evolusi yang berkelanjutan.

Baik paradigma profesional maupun partisipatif meru­


pakan dua ekstrem yang berbeda tajam. Pada kenyataannya,
mana­jemen taman nasional akan selalu berada dalam dua
titik ekstrem tersebut. Gambaran yang lebih realistis adalah
sintesis antara kedua paradigma. Sintesis ini dapat dilihat dari
Bhayu Rhama 51

aspek kata kunci yang melibatkan, baik perencanaan strategis


dari paradigma profesional maupun partisipasi dari paradigma
partisipatif. Hasilnya adalah strategic integrated sustainable
management (SISM). Kerangka SISM dapat dirumuskan sebagai
berikut:

Sumber: Tantisirak, 2007:36

Dalam gambar di atas, idealnya prinsip partisipasi diterap­


kan pada semua tahapan. Walau begitu, besar kemungkinan
kalau hanya ada satu pihak yang memulai siklus yang kemudian
menambah jumlah partisipan dalam tahapan develop stake­
holder.
52 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

3. Apa yang Dikelola


Taman nasional merupakan sebuah sistem yang sangat
luas dan mengandung banyak komponen yang saling ber­
interaksi. Setiap pengelola taman nasional harus berhadapan
dengan tiga pilihan indikator untuk diutamakan: (a) indikator
yang mudah diawasi, (b) indikator yang bernilai ekologis, dan
(c) indikator yang bernilai bagi stakeholder (Timko dan Innes,
2009: 10). Indikator yang bernilai secara ekologis adalah
indikator yang paling sulit diawasi dan memakan biaya yang
besar tetapi merupakan tujuan utama taman nasional sebagai
lahan konservasi. Indikator ini mencakuplah misalnya konservasi
keanekaragaman hayati endemik, konservasi proses ekosistem
(manajemen api, tipe gangguan, produktivitas primer, erosi,
kesehatan tanah, dan heterogenitas hayati), dan adaptasi
dan mitigasi ancaman (spesies invasif, penyakit, kuantitas dan
kualitas air, pengaruh populasi masyarakat sekitar, interaksi
pemangsa dan mangsa, kuantitas dan kualitas pengunjung,
perubahan iklim, pencurian dan pembakaran, dan pelintas
batas) (Timko dan Innes, 2009: 5). Untuk dapat melakukan hal
ini, taman nasional harus memiliki sumber daya finansial yang
besar dan karenanya, ia harus memuaskan bagi stakeholder
yang memberi dana. Hal ini akan mengarahkan manajer pada
indikator yang bernilai bagi stakeholder seperti megafauna atau
lahan adat, atau manajer cukup melakukan pengawasan pada
indikator-indikator yang mudah seperti kerusakan jalan, dan
karenanya tidak menelan biaya atau tenaga yang besar.
Dalam konteks partisipatif, pendekatan yang dapat di­
lakukan untuk mengetahui apa yang harus diprioritaskan dapat
menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity,
Bhayu Rhama 53

Threat) yang dikombinasikan dengan AHP (Analytical Hierarchy


Process). Pendekatan SWOT menilai faktor-faktor yang menen­
tukan keberhasilan suatu langkah (Weihrich, 1992) sementara
AHP menilai kekuatan dari faktor-faktor dari sudut pandang
stakeholder utama: pemerintah, masyarakat lokal, dan lembaga
lingkungan hidup (Masozera et al, 2006: 207).
4. Bagaimana Mengelola
Ketika isu siapa yang mengelola dan apa yang harus di­
utamakan telah mencapai resolusi, bagaimana taman nasional
dikelola tidak akan sulit secara teoretis. Ada dua tipe umum
manajemen taman nasional yang dapat digunakan: manajemen
standar dan manajemen adaptif (Nelson & Serafin 1997).
Manajemen standar berlaku bagi aspek-aspek taman
nasional yang dapat diprediksi dengan mudah. Dalam penge­
lolaan jalan misalnya, telah terdapat banyak panduan yang dapat
digunakan (misalnya Cole, 1983). Jalan merupakan hal penting
karena kepuasan pengunjung didasarkan pada kondisi jalan,
kemampuan pengunjung lainnya, kerusakan yang disebabkan
oleh penggunaan berlebih, dan sistem reservasi jalan (Lankford
et al, 2004: 382). Menurut Marion dan Leung (2001: 22),
terdapat tiga langkah evaluasi jalan di dalam taman nasional,
yaitu inventori, perawatan, dan pengawasan. Langkah inventori
dijalankan dengan memetakan jalan sekaligus tampilan-
tampilannya mulai dari penggunaan, kesulitan, panjang, atau­
pun tampilan-tampilan alamiah. Setelah jalan dipetakan, pe­
rawatan dilakukan dengan memberikan rambu-rambu la­
rangan, petunjuk jalan, dan peringatan. Selain itu, perawatan
juga dilakukan dengan memberikan atau menghilangkan
54 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

sarana dan prasarana yang dapat mengompromikan antara


masalah konservasi dan intervensi (Williams dan Marion,
1992). Pengawasan berkelanjutan kemudian dilakukan untuk
memeriksa kondisi jalan dan efeknya bagi pengunjung maupun
lingkungan. Pengawasan dapat dilakukan lewat point sampling
sistematis atau berstrata, sensus, atau pengawasan berbasis
masalah (Leung dan Marion, 2000; Cole, 1983; Bratton, Hickler,
dan Graves, 1979).
Manajemen adaptif berhadapan dengan isu lingkungan
yang tidak pasti (Markel dan Clark, 2012; Prato, 2006; Ludwig,
Hillborn, dan Waters, 1993). Sistem ini diarahkan pada aspek
seperti perubahan iklim, wabah penyakit, perilaku spesies, dan
siklus alamiah yang terganggu. Langkah manajemen adaptif
bersifat kontekstual di mana manajer harus selalu siap untuk
menghadapi perubahan tak terduga di lapangan. Ketika manajer
melakukan langkah tertentu, ia juga harus siap menemukan
kalau langkah tersebut ternyata memberikan hasil yang berbeda
dari yang diharapkan. Hasil yang berbeda ini kemudian harus
dipandang sebagai sebuah pelajaran dan menjadi masukan
untuk langkah selanjutnya. Pendekatan ini karenanya lebih
bersifat trial error ketimbang penelitian dan pengembangan.
Sistem manajemen seperti ini akan sulit berkembang dalam
kondisi peraturan yang terlalu ketat dan ketidakberanian
manajer untuk mengambil risiko.
Bab III
MANAJEMEN TAMAN
NASIONAL DI INDONESIA

Indonesia adalah negara yang terletak di Khatulistiwa di


Asia Tenggara dan memiliki iklim tropis sepanjang tahun. Luas
wilayah Indonesia adalah 1.910.931 km2 atau delapan kali
lebih besar dari Negara Inggris dan terdiri dari 17.508 pulau.
Akibatnya, karena wilayahnya yang luas, Indonesia memiliki tiga
zona waktu (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2014).
World Factbook (2016) menunjukkan bahwa total pen­
duduk Indonesia adalah 255 juta orang, peringkat kelima di
dunia, mayoritas (87,2%) adalah Muslim (sensus 2014). Populasi
besar tidak diimbangi dengan pendapatan penduduk yang
tinggi; pada tahun 2014, per PDB modal di Indonesia hanya
US $10.700, atau hanya seperempat dari Inggris (Badan Pusat
Statistik, 2014; The World Factbook, 2016). Namun, Indonesia
adalah salah satu dari sedikit negara yang tidak terpengaruh
secara signifikan oleh Krisis Keuangan Global, masih mencatat
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 (Raz, 2012;
Sangsubhan & Basri, 2012).

55
56 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Indonesia diakui sebagai negara demokratis dengan


pemerintahan republik yang dipimpin oleh presiden. Ibu
kotanya adalah Jakarta dan ada 34 provinsi di mana sistem
pemerintahan desentralisasi negara diimplementasikan
(Darmawan, 2008). Untuk menyatukan populasi besar dengan
lebih dari 700 bahasa lokal, bahasa Indonesia, dimodifikasi dari
bahasa Melayu, digunakan sebagai bahasa resmi (Riza, 2008;
Sugiharto, 2013).
Tantangan utama yang dihadapi oleh Indonesia adalah
pengangguran dan kemiskinan, selain itu masih ada masalah
lingkungan seperti deforestasi, polusi air dari limbah industri,
limbah, polusi air di daerah perkotaan, dan asap dan kabut dari
kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun (Hays, 2008; World
Factbook, 2016; Tosca, Randerson, Zender, Nelson, Diner &
Logan, 2011; Miranti, 2010). Pada saat yang sama, Indonesia
telah lama diakui memiliki sumber daya alam yang melimpah
dan menarik untuk peneliti maupun wisatawan. Misalnya,
lingkungan alam yang unik dari taman nasional pertama
Indonesia, yaitu Ujung Kulon, didirikan pada tahun 1980, telah
terkenal sejak tahun 1846 sebagai hasil studi ahli botani Jerman,
Junghun. Memang, pada tahun 1921, pemerintah Belanda pada
saat itu menunjuk Ujung Kulon sebagai Kawasan Cagar Alam,
jauh sebelum kemerdekaan Indonesia pada 1945 (Suherman,
Yuwariah & Noor, 2015). Sama halnya Taman Nasional Komodo,
didirikan pada tahun 1980, yang dihuni oleh hewan asli yang
terkenal, kadal raksasa atau komodo yang dianggap sebagai
simbol nasional, juga telah diakui sejak tahun 1912 melalui
tulisan ilmiah Pieter Antonie Ouwens, On Spesies Besar dari
Bhayu Rhama 57

Pulau Komodo (Barnard, 2011; Walpole & Leader-Williams,


2002)
Selain itu, sumber daya alam Indonesia juga diklaim
menawarkan keragaman hayati terkaya di dunia. Sayangnya,
pembentukan kawasan lindung, terutama taman nasional, telah
terlambat dibandingkan dengan kawasan di negara-negara
Eropa. Sebagai akibatnya, kerusakan lingkungan seperti yang
dijelaskan di atas sering terjadi, yang juga mencerminkan kondisi
politik dan keamanan yang tidak stabil di negara ini (Brechin,
Wilshusen, Fortwangler & West, 2002; MacAndrews, 1998).
Namun, program pemerintah Indonesia untuk perlindungan
alam, terutama untuk pembentukan taman nasional, akhirnya
dimulai dalam rezim Orde Baru pada 1990-an (Jepson &
Whittaker, 2002) dan, sampai dengan tahun 2016, 50 taman
nasional telah ditetapkan (lihat Tabel 3.1 di bawah).
Manajemen taman nasional di Indonesia setidaknya telah
melalui tiga era (McCarthy dan Zen, 2005). Era pertama adalah
1980-an di mana taman nasional dikelola dengan perangkat
otoriter dan tindakan pemerintah secara langsung. Saat itu,
hanya ada 15 taman nasional yang dikelola oleh Kantor Taman
Nasional dan Kantor Konservasi Alam Regional (Hadisepoetro
dan Wardojo, 1991). Luas total taman nasional mencapai 4,56
juta hektar, tersebar di empat kelompok pulau besar: 6 di
Jawa, 4 di Sumatra, 2 di Kalimantan, dan 3 di Sulawesi. Era ini
ditandai dengan fungsi taman nasional yang masih diarahkan
pada fungsi ekonomi bagi sebagian pihak dan fungsi konservasi
dan pariwisata, apalagi fungsi partisipatif, masih sangat lemah
(Cochrane, 1993).
58 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Era kedua adalah era tahun 1990-an yang menandai


transisi dari sistem otoriter menuju sistem yang lebih partisi­
patif. Sebanyak 23 taman nasional baru didirikan dengan luas
9,99 juta hektar, tersebar di seluruh kelompok pulau besar.
Partisipasi sangat penting di Indonesia karena selain sebagai
negara kolektivis, terdapat begitu banyak kelompok etnik yang
memiliki wilayah tertentu, dengan karakteristik budaya berbeda.
Selain itu, program pembangunan yang dibantu oleh negara-
negara asing dan keanekaragaman hayati yang begitu besar
(Lindberg et al, 1997; Braatz, 1992) memunculkan kelompok-
kelompok kepentingan yang tegas dari lembaga supranasional,
negara donor, pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta,
dan masyarakat lokal.
Dalam era ini, manajemen taman nasional masih di­
arahkan pada kebijakan keanekaragaman hayati. National
park is defined by Law No. 5, 1990 on Conservation of
Natural Resources and Ecosystems, (first chapter), as ‘a nature
conservation area which has a native ecosystem, managed by
the zoning system that is utilized for the purpose of research,
science, education, culture, tourism, and nature recreation’.
More specifically, a conservation forest is a forest area that is
intended to preserve biodiversity (van Noordwijk et al, 2008:14).
Taman nasional kemudian telah diatur lewat sistem zonasi.
Zona wajib yang mesti ada adalah zona inti yang mutlak harus
digunakan sepenuhnya untuk konservasi. Selain zona inti,
variasi zona dapat mencakup zona rimba, zona pemanfaatan
penelitian dan pengembangan, zona pemanfaatan tradisional,
zona penyangga, zona budi daya, zona rehabilitasi, dan zona
pemanfaatan permukiman tradisional dan lainnya. Sistem
Bhayu Rhama 59

zonasi ini sebenarnya menggemakan World Network of


Biosphere Reserves tahun 1970-an yang membagi daerah
pelestarian biosfer ke dalam sejumlah zona (Vernhes dan
Bridgewater, 2008:28). Gambar 2.1 menunjukkan pembagian
zona yang didesain dan ditetapkan oleh World Network of
Biosphere Reserves.

Sumber: Vernhes dan Bridgewater, 2008: 29

Gambar 3.1 Sistem Zonasi Biosfer

Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang


Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya diatur
mengenai ketentuan pidana bagi yang melanggar aturan
zonasi ini. Tindakan yang dapat mengakibatkan perubahan
terhadap keutuhan zona inti (pasal 33 (1)) berupa mengurangi,
menghilangkan fungsi dan luas, serta menambah jenis tum­
buhan dan satwa lain yang tidak asli (pasal 33(2)) dihukum
paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp 200 juta jika
sengaja (pasal 40(1)) dan paling lama 1 tahun dan denda
maksimal Rp 100 juta jika dilakukan secara tidak sengaja (Pasal
60 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

40(3)). Pelanggaran berupa kegiatan yang tidak sesuai dengan


fungsi zona pemanfaatan dan zona lain di taman nasional (pasal
33(3)) dihukum paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp
100 juta jika dilakukan secara sengaja (pasal 40(2)) atau paling
lama 1 tahun dan denda maksimal Rp 50 juta jika tidak sengaja
(pasal 40(4)).
Dalam era ini, sejumlah langkah partisipatif memang
telah dijalankan dan berhasil seperti di Taman Nasional Wasur,
Papua, (Pimbert dan Pretty, 1997: 39), Pegunungan Lorenz,
Papua (Deddy, 2006: 95), Taman Nasional Kayan Mentarang,
Kalimantan (Deddy, 2006: 95), dan Bunaken di Sulawesi
(Sembiring, 2005). Kebijakan yang menaungi manajemen
taman nasional yang muncul di era ini adalah Peraturan
Pemerintah No. 68 tahun 1998 tentang Konservasi dan Daerah
Terlindungi dan serta Keputusan Menteri Kehutanan No. 56
tahun 2006 tentang Zonasi dalam Taman Nasional Keputusan
Menteri Kehutanan No. 129/Kpts/DJ-VI/1996 tentang Pedoman
Penetapan Zonasi Taman Nasional (Eghenter, 2006: 168).
Dalam Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998, taman
nasional ditetapkan setidak-tidaknya memiliki tiga zona, yaitu
zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan. Fungsi zona inti
adalah sebagai pelindung ekosistem serta keanekaragaman
hayati yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber
plasma nutfah dan jenis tumbuhan serta satwa liar, kepentingan
pendidikan, penelitian, dan pengembangan, dan penunjang
zona rimba dan pemanfaatan. Fungsi zona rimba mencakup
fungsi konservasi, penelitian, pendidikan, pengembangan,
wisata terbatas, habitat satwa migran, dan penunjang zona
pemanfaatan dan pendukung zona inti. Fungsi zona peman­
Bhayu Rhama 61

faatan mecakup pariwisata, jasa lingkungan, pendidikan,


pengem­­bangan, penelitian, dan pendukung zona inti dan rimba.
Secara hierarki, taman nasional tergolong sebagai kawasan
konservasi. Ada tiga jenis kawasan konservasi di Indonesia, yaitu
kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman
buru. Kawasan suaka alam terbagi menjadi cagar alam dan
suaka margasatwa. Kawasan pelestarian alam terbagi menjadi
taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya.
Suatu kawasan dapat ditetapkan sebagai taman nasional jika (1)
memiliki potensi keanekaragaman hayati tinggi, (2) mengandung
flora dan fauna khas yang terancam punah, dan (3) merupakan
daerah resapan air penting bagi kawasan sekitarnya (Nugroho,
2010: 121). Secara proporsional, taman nasional menempati
65% luas kawasan konservasi. Walau begitu, luas ini masih
dibawah 10% luas daratan yang disarankan oleh Convention on
Biodiversity (Nugroho, 2010: 121).
Era sekarang adalah era desentralisasi yang mulai
menyertakan paradigma partisipatif dalam pengelolaan taman
nasional. Era ini dimulai sejak tahun 1999 lewat UU No. 22
tentang Otonomi Daerah (Patlis, 2005). Sebanyak 12 taman
nasional baru didirikan dengan luas 1,71 juta hektar. Di tahun
2004 sendiri didirikan sekaligus sembilan taman nasional, kedua
terbesar setelah 10 taman nasional yang didirikan sekaligus
pada tahun 1982. Walau begitu, sementara rentang pendirian
taman nasional baru di tahun 1982 membutuhkan waktu tujuh
tahun ketika tahun 1989 dibuat Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai, tidak ada satu pun taman nasional baru dibuat
sejak tahun 2004 hingga sekarang (2016).
62 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Walaupun terdapat masalah mengenai fungsi tertentu,


terutama yang berurusan dengan kewenangan, apakah di
tingkat pusat, provinsi, atau kabupaten (Eghenter, 2006; Saruan,
1999), secara umum terdapat tekanan politik yang kuat untuk
pembentukan taman nasional di mana-mana (Lucas dan
Bachriadi, 2008). Hal ini terbukti dengan penggelembungan
jumlah taman nasional hingga mencapai lebih dari 50 buah.
Dalam era ini, konsep daerah penyangga taman nasional
lebih ditekankan. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan
No. 56 tahun 2006, daerah penyangga memiliki kriteria: (1)
berbatasan secara geografis dengan kawasan taman nasional,
(2) mempunyai pengaruh ekologis baik dari dan ke taman
nasional, (3) mampu menangkal gangguan dari dan ke taman
nasional, dan (4) ditetapkan dengan menghormati hak-hak yang
dimiliki masyarakat lokal.
Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 ten­
tang Konsesi Hutan Masyarakat lewat koperasi lokal, meng­
atur tentang panduan pemanfaatan sumber daya alam di
daerah konservasi (Eghenter, 2006: 169). Menurut peraturan,
taman nasional mengandung sejumlah zona, d iantaranya zona
pemanfaatan tradisional. Dalam zona ini, masyarakat lokal yang
bergantung pada hasil hutan diizinkan untuk melakukan aktivitas
dan memanfaatkan tanaman dan hewan secara terbatas.
Hanya masyarakat yang tinggal di dalam taman nasional yang
boleh melakukan aktivitas ini dan harus mendapatkan izin
dari pengelola taman nasional (Eghenter, 2006: 168). Selain
itu, aktivitas masyarakat harus bersifat tradisional dan sejalan
dengan fungsi utama ekosistem. Masyarakat lokal juga diizinkan
membuat usaha kecil dan manajemen sumber daya alam dalam
Bhayu Rhama 63

bagian konservasi tertentu lewat perusahaan atau koperasi


bersama. Selanjutnya, menteri kehutanan mengeluarkan arah­
an mengenai pelaksanaan kolaborasi kegiatan pengelolaan
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
Sejauh ini, rancangan peraturan mengenai manajemen
taman nasional mencakup antara lain (Eghenter, 2006: 169):
1. eksploitasi sumber daya alam harus sejalan dengan fungsi
utama taman nasional sebagai konservasi alam;
2. hanya hasil hutan non-kayu atau non-mineral yang boleh
diman­faatkan seperti karet, tanaman berkhasiat obat,
madu, sayur, rotan, sarang burung, ganggang, buah, dan
akar yang dapat dimakan 
3. hak manajemen diberikan pada organisasi masyarakat
lokal untuk periode waktu 30 tahun;
4. aktivitas berburu hanya dibolehkan dengan metode anjing
pemburu, tombak, panah, atau pisau;
5. manajemen ekowisata, perburuan, dan sumber daya alam
oleh masyarakat lokal diatur oleh koperasi dalam zonasi
yang telah diperuntukkan.

Sungguhpun demikian, warisan dari masa lalu menyisakan


pemanfaatan lahan berskala besar terdiri dari pemanfaatan
ekonomis dan konservasi dalam proporsi yang relatif tidak
sebanding. Indonesia memiliki 50 taman nasional (Moeliono,
2005), termasuklah 7 taman nasional perairan dan 4 taman
nasional lahan basah (Berbak, Danau Sentarum, Rawa Aopa
Watumohai, dan Sembilang) (Ministry of Environment, 2006).
Sembilan di antaranya merupakan taman nasional baru yang
dibentuk tahun 2004, seluas 1,3 juta hektar. Selain itu, terdapat
64 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

pula 104 ekowisata darat seluas 442 ribu hektar, 18 ekowisata


laut seluas 765 ribu hektar, dan 17 hutan raya seluas 334 ribu
hektar (Ministry of Environment, 2006). Sementara luas taman
nasional mencapai 16,4 juta hektar (ditambah 527 hutan
konservasi lainnya seperti cagar alam dan suaka margasatwa
menjadi seluas 48 juta hektar), luas ini masih tergolong kecil
dibandingkan 75 juta hektar tanaman industri (60 juta hektar
untuk kayu dan 15 juta hektar untuk tanaman perkebunan)
(Young, 2012; Fay, Sirait, dan Kusworo, 2000).
Tabel 3.2 Taman Nasional di Indonesia
Luas saat ini
Nama Lokasi Wisata Berdiri
(ha)
1. Gunung Gede Jawa Ya 1980 15.000,00
Pangrango
2. Baluran Jawa Ya 1980 25.000,00
3. Ujung Kulon Jawa Ya 1980 122.956,00
4. Gunung Leuser Sumatra Tidak 1980 1.094.692,00
5. Kerinci Seblat Sumatra Ya 1982 1.75.349,87
6. Way Kambas Sumatra Ya 1982 125.621,30
7. Bromo Tengger Jawa Ya 1982 50.276,20
Semeru
8. Laut Kepulauan Jawa Ya 1982 107.489,00
Seribu
9. Meru Betiri Jawa Ya 1982 58.000,00
10. Kutai Kalimantan Ya 1982 198.629,00
11. Tanjung Puting Kalimantan Ya 1982 415.040,00
12. Lore Lindu Sulawesi Ya 1982 217.991,18
13. Bogani Nani Sulawesi Tidak 1982 287.115,00
Wartabone
14. Bukit Barisan Sumatra Ya 1982 365.000,00
Selatan
Bhayu Rhama 65

Luas saat ini


Nama Lokasi Wisata Berdiri
(ha)
15. Rawa Aopa Sulawesi Tidak 1989 105.194,00
Watumohai
16. Gunung Palung Kalimantan Tidak 1990 90.000,00
17. Gunung Rinjani Nusa Ya 1990 40.000,00
Tenggara
18. Komodo Nusa Ya 1990 173.300,00
Tenggara
19. Teluk Cendrawasih Papua Tidak 1990 1.453.500,00
20. Wasur Papua Tidak 1990 413.810,00
21. Bunaken Sulawesi Tidak 1991 89.065,00
22. Berbak Sumatra Ya 1992 162.700,00
23. Alas Purwo Jawa Ya 1992 43.420,00
24. Gunung Halimun Jawa Ya 1992 40.000,00
25. Bukit Baka - Bukit Kalimantan Ya 1992 181.090,00
Raya
26. Kelimutu Nusa Ya 1992 5.356,50
Tenggara
27. Taka Bonerate Sulawesi Ya 1992 530.765,00
28. Siberut Sumatra Tidak 1993 190.500,00
29. Bukit Tigapuluh Sumatra Tidak 1995 127.000,00
30. Bali Barat Nusa Ya 1995 19.002,89
Tenggara
31. Betung Kerihun Kalimantan Ya 1995 800.000,00
32. Kayan Mentarang Kalimantan Ya 1996 1.360.500,00
33. Wakatobi Sulawesi Ya 1996 1.390.000,00
34. Karimunjawa Jawa Ya 1997 110.117,30
35. Manusela Maluku Ya 1997 189.000,00
36. Lorentz (Cyclops) Papua Tidak 1997 2.450.000,00
37. Laiwangi Nusa Tidak 1998 47.014,00
Wanggameti Tenggara
66 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Luas saat ini


Nama Lokasi Wisata Berdiri
(ha)
38. Manupeu Tanah Nusa Ya 1998 87.984,09
Daru Tenggara
39. Danau Sentarum Kalimantan Ya 1999 132.000,00
40. Bukit Duabelas Sumatra Ya 2000 60.500,00
41. Sembilang Sumatra Tidak 2001 205.750,00
42. Batang Gadis Sumatra Ya 2004 144.233,00
43. Tesso Nilo Sumatra Ya 2004 38.576,00
44. Gunung Ciremai Jawa Ya 2004 15.500,00
45. Gunung Merbabu Jawa Ya 2004 5.725,00
46. Bantimurung Sulawesi Ya 2004 10.282,65
Bulusaraung
47. Kepulauan Togean Sulawesi Tidak 2004 362.605,00
48. Aketajawe Maluku Tidak 2004 167.300,00
Lolobata
49. Gunung Merapi Jawa Tidak 2004 6.410,00
50. Sebangau Kalimantan Ya 2004 568.700,00
51. Gunung Tambora Nusa Tidak 2015 71.645,74
Tenggara
Barat
52. Zamrud Riau Tidak 2016 31.480
53. Gandang Dewata Sulawesi Tidak 2016 79.342
Barat
54. Gunung Maras Bangka Tidak 2016 16.806,91
Belitung
Total 16.430.968,72
Sumber: Dit PJLK, 2016 untuk data ekowisata dan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (2016) untuk data luas dan tahun berdiri

Keduanya saling berkontestansi akibat tidak jelasnya per­


izinan, definisi hutan, dan kewenangan (Young, 2012). Masalah
perizinan dan kewenangan muncul karena pergeseran dalam
Bhayu Rhama 67

sistem pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralisasi


(Piskorskaya et al, 2012: 118). Pergeseran ini mendorong
pemerintah lokal bertanggung jawab untuk mengatur sumber
daya alam, termasuklah taman nasional. Anggaran dari pusat
sendiri untuk pengawasan taman nasional hanya sebesar 1%
dari anggaran pembangunan 2012 dalam kategori “perhatian
terhadap lingkungan” yang diserahkan kepada Kementerian
Kehutanan. Taman Nasional Kerinci Seblat di Sumatra me­
rupakan suatu bentuk pengelolaan daerah untuk taman
nasional. Kabupaten Lebong di Provinsi Bengkulu menyatakan
dirinya sebagai kabupaten konservasi. Wacana ini menjadi
tempat kontestansi antara pemerintah daerah melawan
pengusaha kayu dan masyarakat lokal. Pengusaha kayu merasa
dirugikan karena, secara negatif, justru aktivitas mereka
yang berlebihanlah yang menyebabkan daerah ini menjadi
taman nasional. Masyarakat lokal berupaya menguasai taman
nasional untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik serta
memperoleh kekuasaan politik (Lucas dan Bachriadi, 2008).
Masalah ini terjadi bahkan di dalam taman nasional.
Malahan, diperkirakan kalau sebagian besar aktivitas illegal
logging di Indonesia terjadi di kawasan taman nasional
(Liswanto, 2005; Chan, 2010). Taman Nasional Danau Sentarum,
Kalimantan, misalnya, mengalami peningkatan eksploitasi kayu
ilegal yang dilakukan oleh penduduk lokal atau pendatang dari
daerah lain untuk dijual dalam jumlah besar ke para penadah
di perbatasan taman nasional (Wadley, 2006). Padahal,
diperkirakan 40-55% kayu produksi Indonesia memiliki sumber
yang ilegal (Young, 2012). Selain tekanan dari kapitalisme,
penyebab lain adalah pergeseran paradigma masyarakat
68 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

lokal. Studi di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan,


(Purwanto, 2008) menunjukkan masyarakat adat mulai
bergeser dari perilaku yang ramah lingkungan dengan hanya
memanfaatkan kayu secukupnya menjadi perilaku eksploitatif
yang memanfaatkan kayu secara kapitalistis. Hal ini memberikan
gambaran pesimistis mengenai masa depan taman nasional
tersebut dalam melindungi habitat orang utan (Purwanto,
2005).
Studi oleh Beukering, Cesar, dan Janssen (2003) di Taman
Nasional Leuser, Sumatra, menunjukkan kalau bahkan dari
perspektif ekonomi sekalipun, upaya konservasi lebih unggul
daripada upaya deforestrasi dan penggunaan selektif, hanya
saja manfaat yang diperoleh lebih tersebar. Dalam konteks
deforestrasi, hanya perusahaan kayu, pemerintah daerah, dan
sebagian anggota masyarakat lokal yang diuntungkan secara
ekonomi, dengan nilai sebesar US$7,0 miliar. Keuntungan
ini datang dari pendapatan kayu. Dalam konteks konservasi,
perusahaan kayu tidak menjadi pihak yang diuntungkan, tetapi
jumlah pihak yang diuntungkan menjadi sangat banyak, mulai
dari anggota masyarakat lokal, pemerintah daerah, pemerintah
pusat, dan masyarakat internasional, dengan nilai sebesar US$
9,5 miliar. Keuntungan ini datang dari pasokan air, pariwisata,
pencegahan banjir, dan pertanian. Penggunaan selektif sendiri
memberikan hasil sebesar US$9,1 miliar.
Isu kegagalan manajemen partisipatif juga berlaku di
Indonesia. Dalam tahap awalnya masih banyak masalah terkait
implementasi (Moore et al, 2012: 71). Studi sebelumnya,
misalnya Kristanti (2012: 99) yang dilakukan di Taman Nasional
Gunung Halimun, Jawa, menunjukkan kalau masyarakat lokal
Bhayu Rhama 69

juga mengalami fraksi dalam kepentingan dan motif. Studi


Borchers (2005) di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara,
menemukan kalau pendekatan cetak biru yang bersifat top-
down masih tetap dipertahankan dan partisipasi masyarakat
lokal tidak tampak. Hal ini telah berlangsung lama dan mengakar
sehingga menghasilkan ketidaksetaraan yang besar (Walpole
dan Goodwin, 2001). Masyarakat lokal bahkan dituduh sebagai
penyusup, dan pencuri kayu dan ikan di Taman Nasional ini
(Erb, 2005). Tanggal 10 November 2002, dua nelayan ditembak
oleh patroli karena dinilai mencuri ikan di kawasan ini (Gustave,
2005). Konflik sejenis juga terjadi di Taman Nasional Merapi,
Jawa, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi, Taman Nasional
Meru Betiri, Jawa, dan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi
(Sangadji, 2005; Gustave, 2005; Hoath, 2005). Di Taman
Nasional Bunaken, perkembangan yang terjadi justru destruktif
karena pola partisipatif yang dikembangkan di masa sentralistis
malah menjadi antikonservasi ketika di bawah pengelolaan
pemerintah daerah (Sembiring, 2005).
Dalam konteks Indonesia, Eghenter (2006: 174) menyaran­
kan langkah-langkah partisipatif dalam manajemen taman
nasional antara lain:
1. pengakuan lahan adat secara resmi dan pembangunan
dewan adat yang berperan sebagai pengelola taman
nasional;
2. menerima zona inti de facto sebagai daerah yang terlalu
jauh dari permukiman dan tidak dieksploitasi oleh masya­
rakat lokal, namun tetap mempertahankan fungsi ekologis
wilayah konservasi;
70 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

3. membentuk lembaga atau forum antar-adat yang meng­


atur aktivitas manajerial dan masalah lingkungan yang
sering melintasi batas adat;
4. melestarikan regulasi yang dikembangkan secara lokal
mengenai penggunaan hasil hutan yang menjamin keber­
lanjutan;
5. mengakui wilayah yang definitif dan tepat dalam mem­
bedakan masyarakat adat dan bukan adat;
6. mengakui kalau taman nasional yang dibangun dalam
wilayah masyarakat asli paling baik diatur dan dilindungi
sebagai hutan adat.

Arman (1998: 102-103) menyarankan penerapan seni


demokrasi untuk pengembangan partisipasi masyarakat lokal di
taman nasional. Seni demokrasi ini mencakup:
1. mendengarkan secara aktif dengan menangkap makna
dari apa yang dibicarakan masyarakat;
2. menonjolkan perbedaan secara positif untuk merangsang
pertumbuhan;
3. memberikan fasilitas agar pihak-pihak yang berbeda
pendapat untuk saling mendengarkan pendapat satu sama
lain;
4. menyelesaikan masalah yang menyentuh kepentingan
kunci semua pihak;
5. menggambarkan masa depan sesuai dengan nilai yang
dianut bersama;
6. membicarakan secara terbuka di depan umum tentang
hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan bersama;
Bhayu Rhama 71

7. memberi kesempatan pada masyarakat untuk memilih


alternatif yang bersedia mereka laksanakan;
8. mengekspresikan kegembiraan dan penghargaan atas apa
yang telah dipelajari dan dicapai;
9. menilai kembali dan mempergunakan hasil tersebut dalam
tindakan;
10. membimbing dan membantu anggota masyarakat dalam
proses belajar tentang seni kehidupan bermasyarakat.

Sejumlah kemajuan telah tercapai pula lewat tekanan


lembaga supranasional. Secara umum, Indonesia berkomitmen
meningkatkan pendapatan masyarakat lokal di dalam dan
sekitar taman nasional sebesar 30% (Ministry of Environment,
2006). Komitmen ini adalah sebuah kabar gembira bagi suku
terasing yang didefinisikan sebagai “masyarakat terisolasi
dan memiliki kapasitas terbatas untuk berkomunikasi dengan
kelompok masyarakat yang lebih maju, menghasilkan sikap yang
masih terbelakang dan tertinggal dari segi ekonomi, politik,
sosio-budaya, agama, dan ideologis” (Pimbert dan Pretty, 1997;
Colchester, 1994). Di Taman Nasional Lore Lindu, The Nature
Conservancy (TNC) membentuk Lembaga Konservasi Desa yang
mengawasi pengelolaan taman nasional tersebut (Acciaioli,
2005). Di Taman Nasional Gunung Halimun, masyarakat
Kasepuhan tetap dapat melestarikan hutan buatan leuweung
talon yang tidak terganggu selama bergenerasi (Adimihardja,
2005). Begitu pula, sejumlah langkah partisipatif mulai diambil
di Taman Nasional Bunaken dan Komodo (Suryanto et al, 2011).
Tahun 2010 proyek partisipatif telah dimulai di Meru Betiri
dengan tujuan membangun kerja sama saling menguntungkan
72 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

antar- stakeholder, membangun forum dan program kemitraan


taman nasional, membuat MoU multi-stakeholder, dan mere­
duksi emisi karbon dan meningkatkan stok karbon (Aliadi,
2010).
Proyek partisipatif yang melibatkan beberapa negara
juga telah dilakukan. Indonesia bekerja sama dengan Malaysia
dan Filipina mengelola kawasan perairan eko-region Sulawesi.
Bersama Malaysia, Indonesia mengelola Taman Nasional Betung
Kerihun, Lanjak Entimau, dan Kayan Mentarang. Selain itu, kerja
sama dengan Malaysia dan Brunei dilakukan untuk kawasan
Jantung Kalimantan seluas 22 juta hektar taman nasional lintas
negara yang saling terkoneksi. Di Papua, Indonesia bekerja sama
dengan Papua Nugini untuk pengelolaan Taman Nasional Wasur
dan Tonda. Di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Indonesia
bekerja sama dengan Norwegia (Ministry of Environment,
2006).
Kasus positif yang lebih klasik adalah Taman Nasional
Kayan Mentarang yang dibentuk tahun 1997 (Deddy, 2006;
Eghenter, 2006). Ini merupakan salah satu taman nasional
terbaik dari segi etnografis di Asia Tenggara. Rencana pem­
bentukan telah dibuat tahun 1992 dan didukung oleh WWF
Indonesia yang menyediakan penelitian untuk memetakan
aktivitas masyarakat pada tahun 1992 dan 1994 (Stockdale dan
Ambrose, 1996). Ketika status taman nasional telah diberikan,
WWF dapat dengan mudah menemukan dan memecahkan
konflik terkait permasalahan lahan dan mendorong partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan taman nasional. Selain itu,
peta aktivitas tersebut juga digunakan sebagai alat untuk
pembentukan zonasi dan bahan negosiasi antara masyarakat
Bhayu Rhama 73

lokal dan perusahaan kayu. Peta ini mencakup 65 desa dengan


1,5 juta hektar wilayah di sekitar dan di dalam taman nasional.
Selain peta masyarakat partisipatoris, WWF juga membantu
dalam penelitian lintas disiplin jangka panjang (Eghenter, Sellato
dan Devung, 2003) dan kompilasi hukum adat dan lembaga adat
(Eghenter, 2006).
Taman Nasional Gunung Merapi merupakan taman
nasional yang memiliki start awal yang buruk ketika peren­
canaan. Proses pembentukan taman nasional ini memakan
waktu tiga tahun sejak mengemuka tahun 2001. Protes
utama datang dari kalangan masyarakat sipil dan LSM yang
mencurigai inisiatif pembentukan taman nasional yang tidak
terbuka dan tidak partisipatif. Isu dasar yang dipertentangkan
saat itu yang mendukung pembentukan taman nasional
adalah penambangan pasir yang melebihi kapasitas akibat
permintaan yang mencapai hingga 300% dari daya dukung
sehingga berpotensi merusak ekosistem dan tandon air di
lereng Merapi. Dari pihak yang menolak, argumen utama
adalah (1) nasib masyarakat lokal yang berpotensi terancam jika
taman nasional dibentuk, (2) penetapan yang tidak transparan
dan berpotensi memunculkan kepentingan swastanisasi
hutan, (3) sejarah konflik antara masyarakat lokal dan LSM
konservasi, khususnya asing, di beberapa taman nasional, (4)
landasan hukum yang tidak jelas, (5) pembentukan forum
Tucangkem yang dimaksudkan untuk membenarkan rencana
pembentukan taman nasional namun tidak beranggotakan
para stakeholder yang berkepentingan, dan (6) adanya status
Merapi sebagai salah satu gunung api paling aktif di dunia
berulang kali mengeluarkan letusan dan sepanjang sejarah
74 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

pemerintah sebelumnya, pemerintah tidak mampu merespons


dengan baik kejadian bencana ter­sebut, sehingga pembentukan
taman nasional sebenarnya mengalihkan perhatian pada isu
yang lebih penting, yaitu kesiapsiagaan terhadap bencana
Merapi (Hidayat, 2009:88). Sebagai kompromi, akhirnya Taman
Nasional Merapi dibentuk dengan catatan berfokus pada
kesiapsiagaan menghadapi bencana letusan.
Setelah berdiri, berbagai upaya memperbaiki kegagalan
perencanaan tersebut dimulai. Inisiatif Silviculture Agroforestry
Regime (SAR) dikembangkan sebagai bentuk manajemen
rehabilitasi hutan dan sistem zonasi (Suryanto et al, 2011).
Inisiatif ini telah dirintis dan menemukan efektivitas yang
baik di Sumatra. SAR dipandang cukup menjanjikan untuk
model pengelolaan taman nasional partisipatif. Model SAR
mengarahkan penduduk lokal ke daerah penyangga sekitar
taman nasional untuk mengembangkan agroforestry. Penggu­
naan agroforestry cukup mampu meningkatkan kesejahteraan
penduduk lokal, yang ketimbang mengeksploitasi taman
nasional, diarahkan untuk mengelola pertanian hutan. Hal
ini bukan saja mengurangi ketergantungan penduduk pada
taman nasional, namun juga menjadi benteng bagi taman
nasional terhadap ekspansi kapitalisme yang bergerak ke arah
perbatasan taman nasional, maupun membantu dalam tugas
mitigasi perubahan iklim (FAO, 2005; IPCC, 2000). Langkah
ini merupakan langkah yang diberikan taman nasional ketika
menghadapi masalah di mana penduduk lokal melakukan
pemanenan rumput untuk ternak di kawasannya.
Model manajemen lainnya adalah ekowisata. Dalam
model ini, taman nasional dibuka untuk kegiatan pariwisata,
Bhayu Rhama 75

namun dengan batasan-batasan yang ketat. Taman Nasional


Gunung Gede Pangrango, Jawa, merupakan contoh yang positif
mengenai strategi ekowisata. Pendapatan yang diperoleh
taman nasional tidak terlalu besar, hanya Rp 452 juta per
tahun, namun ini telah cukup baik untuk tingkat taman
nasional di mana sejumlah keterbatasan harus dibuat dengan
tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal untuk
memperoleh kesejahteraan dan kebutuhan wisatawan untuk
memperoleh kepuasan (Nuva et al, 2009).
Bab IV
EKOWISATA

A. Definisi Ekowisata
Ekowisata dapat didefinisi secara luas atau secara ketat.
Secara luas, ekowisata tidak lain adalah pariwisata berbasis
alam (Barker, 2009: 51). Dalam definisi yang paling ketat,
ekowisata adalah “perjalanan menuju wilayah yang rapuh, asli,
dan biasanya terlindungi, yang diharapkan memberikan dampak
minimum dan berskala kecil, dan mendidik pengunjung,
menyediakan dana untuk konservasi, memberikan manfaat
ekonomi langsung dan pemberdayaan politik masyarakat lokal,
serta memberikan penghargaan terhadap berbagai budaya
dan hak asasi manusia” (John dan Pang, 2002: 4). Definisi yang
lebih renggang mencakup definisi dari International Ecotourism
Society (TIES) sebagai “perjalanan bertanggung jawab ke
daerah alami yang melestarikan lingkungan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal” (Chambliss, Slotkin, dan
Vamosi, 2008; TIES, 2007). Dalam disertasi ini, definisi yang
diadopsi adalah definisi yang paling ketat mengenai ekowisata.
Konsep ekowisata berkembang sebagai bentuk upaya
melawan efek negatif dari pariwisata massal yang terus

77
78 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

berkembang dan memberikan efek buruk pada lingkungan


hidup (McGahey, 2012: 75). Konsep ini hadir setidaknya di
pertengahan 1960-an ketika Hetzer (1965 dalam Blamey, 2001:
5) mengemukakan empat pilar pariwisata yang bertanggung
jawab, mencakup minimalisasi dampak lingkungan, memak­
simalkan manfaat bagi penduduk lokal, menghargai negara
sumber, dan memaksimalkan kepuasan wisatawan. Walau
begitu, Hetzer sendiri mendefinisikan ekowisata sebagai
“bentuk pariwisata yang berdasarkan pada sumber daya alam
dan arkeologis seperti gua, lokasi fosil, dan situs arkeologi”
(Higham, 2007: 2). Walau begitu, konsep awal ini telah menem­
patkan perlindungan alam sebagai fungsi utama di atas fungsi
menghasilkan uang. Fungsi pendidikan, mutu pariwisata, dan
partisipasi lokal baru datang kemudian (Ross dan Wall, 1999:
125).
Konsep ini baru mengalami perkembangan di akhir tahun
1970-an sebagai bagian dari kesadaran lingkungan global
(CREST, 2010:3). Tahun 2002 PBB menyatakan bahwa tahun
tersebut adalah tahun ekowisata internasional (Miller, 2008:10).
Walau begitu, seiring perkembangan, konsep ekowisata sering
digunakan untuk praktik promosi pariwisata alam yang tidak
menggunakan prinsip-prinsip berkelanjutan (Ceylan dan Guven,
2010: 1947). Operator tur sering hanya memberikan label eko-
pada paketnya, tanpa menerapkan prinsip-prinsip ekowisata
secara ketat (Himoonde, 2007: 2).
Prinsip-prinsip ekowisata tersebut sejalan dengan konsep
pembangunan berkelanjutan sehingga dapat digunakan untuk
memandu pengembangan dan manajemen wisata berbasis
alam dan berlaku untuk masyarakat lokal, wisatawan, dan
Bhayu Rhama 79

pengelola (Dawson, 2008; UNESCAP, 1995). Terdapat beberapa


versi prinsip ekowisata (Fennell, 2003; Diamantis, 1999;
Sirakaya, Sasidharan, dan Sonmez, 1999). Menurut Fennell
(2003), prinsip ini mencakup (1) keberminatan pada alam, (2)
kontribusi pada konservasi, (3) kebertopangan pada taman dan
daerah terlindungi, (4) manfaat jangka panjang atau manfaat
bagi masyarakat lokal, (5) pendidikan dan studi, (6) berdampak
rendah dan non-konsumtif, (7) berkelanjutan, (8) manajemen
bertanggung jawab dan etis, (9) menikmati dan mengapresiasi
budaya, dan (10) berskala kecil dan bertualang.
Dengan melihat prinsip tersebut, maka ekowisata
akan berhubungan dengan nilai-nilai lingkungan yang dianut
oleh stakeholders (Zografos dan Allcroft, 2007: 46). Karena
nilai lingkungan dari stakeholders dapat berbeda, maka
tidak mengherankan jika pada akhirnya, sering kali konsep
ekowisata dipahami berbeda dan disesuaikan dengan tujuan
masing-masing stakeholder (Dam, 2013). Ada dua cara untuk
menghadapi permasalahan ini. Pertama, adalah membangun
satu definisi bersama antar-stakeholder (UNWTO, 2002:17),
atau menggunakan satu perspektif saja, lalu memaksakan
perspektif tersebut. Untuk mempermudah penyelesaian
masalah, prinsip ekowisata dapat dibangun hanya dari
perspektif pemerintah atau masyarakat. Dari upaya ini lahirlah
konsep ekowisata berbasis masyarakat (Scheyvens, 1999: 246).
Ekowisata berbasis masyarakat didefinisikan sebagai “bentuk
ekowisata di mana masyarakat lokal memiliki kendali mendasar
pada, dan terlibat dalam, pengembangan dan manajemen, ser-
ta memperoleh keuntungan dalam proporsi yang besar dalam
masyarakat itu sendiri” (Miller, 2008: 12; Denman, 2001: 4).
80 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Implementasi prinsip-prinsip ekowisata termasuk sulit


dilakukan. Banyak proyek ekowisata akhirnya gagal menghadapi
masalah mendasar dan tidak menghasilkan manfaat yang
diharapkan dari ekowisata (Buchsbaum, 2004: 1). Sebagai
contoh, banyak proyek ekowisata tidak mampu menghadapi
masalah manajemen sampah (Meletis, 2007: 7). Selain itu,
banyak proyek ekowisata harus melibatkan perjalanan yang
mahal dan jauh ke lokasi tujuan, sehingga untuk menjaga
kenyamanan, terdapat beban berat bagi lingkungan dan
masyarakat terkait sarana dan pelayanan ekowisata (Meletis,
2007; Mowforth dan Munt, 2003). Masalah sosio-budaya
dapat muncul, bahkan dalam saat kontak pertama, karena
perbedaan budaya yang kadang sangat besar antara wisatawan
dan masyarakat asli (Lindberg et al, 1997: 21). Sementara itu,
masalah terkait energi dan emisi juga muncul ketika perjalanan
menuju dan dari lokasi ekowisata (Hall, 2007: 252). Kelly (2009),
Nash (2001), Stem et al (2003) dan Weinberg, Bellows, dan
Ekster (2002) mendaftarkan banyak efek negatif dari ekowisata
antara lain: (1) masyarakat lokal dipasarkan sebagai objek,
(2) ketidaksetaraan sosial, (3) meningkatkan akses pada obat-
obatan dan alkohol, (4) pertumbuhan populasi tidak terkendali,
(5) kegagalan menyediakan manfaat ekonomi, (6) masyarakat
lokal terbatas dalam membuat keputusan, (7) pencemaran
limbah dan suara, (8) gangguan habitat, (9) degradasi hutan
karena jalan masuk, (10) urbanisasi yang mengikis budaya dan
nilai, dan (11) bocornya pendapatan ekowisata ke negara maju.
Banyak masyarakat lokal yang tidak memperoleh man­
faat dari ekowisata (Meletis, 2007; Scheyvens, 1999), padahal
banyak profesional ekowisata beranggapan kalau merekalah
Bhayu Rhama 81

yang harus bertanggung jawab dalam perlindungan sumber


daya (Lash, 2003). Ketika benar mereka mendapatkan
manfaat, pergeseran ekonomi yang terjadi pada masyarakat
lokal (Meletis, 2007; Campbell, 1999; Mowforth dan Munt,
2003) sering ditandai dengan ketidaksiapan dalam memitigasi
efek lingkungan dan budaya dari pergeseran tersebut. Hal ini
didukung oleh kenyataan kalau banyak ekowisata di negara
berkembang berhadapan dengan masalah staf yang tidak
efisien dan tidak berpengalaman (Leung, Marion, dan Farrell,
2009: 30). Ketika sumber daya manusia dari luar masuk, banyak
hanya bersifat musiman dan sekadar paruh waktu (Drumm dan
Moore, 2005: 33).
Gouvea (2004) menyebutkan banyak manfaat potensial
dari ekowisata antara lain:
1. transaksi yang menggunakan mata uang asing memberikan
nilai ekspor yang baik;
2. memberikan perlindungan keanekaragaman hayati;
3. menciptakan lapangan kerja, baik langsung maupun tidak
langsung;
4. mendorong pembentukan usaha kecil menengah masya­
rakat lokal;
5. menciptakan kesempatan pengembangan kewirausahaan
lokal;
6. menciptakan pendapatan pajak yang dapat dialihkan ke
masyarakat lokal;
7. memberikan pelatihan personil bagi masyarakat lokal.

Secara empiris, manfaat-manfaat ini masih patut diper­


tanyakan. Krüger (2005) melakukan studi komprehensif ter­
82 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

hadap 188 proyek ekowisata di penjuru dunia. Dari studi ini


dapat diperoleh gambaran manfaat dari ekowisata. Krüger
(2005) menemukan kalau lebih banyak proyek ekowisata
tergolong berhasil (62,7%). Menurut hasil penelitian Krüger
(2005: 592), manfaat yang paling mungkin dari ekowisata
adalah lebih banyak konservasi berupa daerah baru atau
penanganan konservasi yang lebih efektif. Walau begitu, hal ini
hanya ditemukan pada 44,1% kasus ekowisata yang berhasil.
Berbagai hasil temuan dari Krüger (2005) dapat dilihat pada
tabel berikut.
Efek Per Grup Total
Keberhasilan Ekowisata    
Konservasi lebih baik 44,1% 27,7%
Non-konsumtif dan peningkatan pendapatan
masyarakat lokal 28,8% 18,1%
Meningkatnya pendapatan lokal dan nasional 21,2% 13,3%
Sikap masyarakat lokal membaik mengenai
konservasi 5,9% 3,7%
Kegagalan Ekowisata    
Perubahan habitat, erosi tanah, dan polusi 45,6% 17,0%
Masyarakat lokal tidak terlibat dan penggunaan
konsumtif 25,0% 9,3%
Spesies simbolis terganggu, populasi menurun,
perilaku memburuk 20,6% 7,7%
Pendapatan tidak cukup untuk konservasi 8,8% 3,3%
Sumber: Krüger, 2005: 592

Krüger juga mendaftarkan faktor-faktor yang menyebabkan


keberhasilan atau kegagalan dari proyek ekowisata. Faktor
utama yang mendukung keberhasilan suatu proyek ekowisata
Bhayu Rhama 83

adalah keterlibatan dari masyarakat lokal (38,5%) dan peren­


canaan serta manajemen yang efektif (33,3%). Sementara
itu, faktor utama yang menyebabkan kegagalan adalah ter­
lalu banyaknya wisatawan (36,8%) dan tidak dilibatkannya
masyarakat lokal (27,9%).
Faktor Penyebab Per Grup Total
Keberhasilan Ekowisata    
Masyarakat lokal dilibatkan dalam banyak
tahapan 38,5% 24,2%
Perencanaan dan manajemen yang efektif 33,3% 20,9%
Ekowisata semata keuntungan ekonomi, baik
lokal maupun nasional 17,1% 10,7%
Spesies simbolis tidak terganggu 6,0% 3,8%
Harga tiket masuk yang bersifat diferensial 5,1% 3,2%
Kegagalan Ekowisata    
Terlalu banyak wisatawan 36,8% 13,7%
Masyarakat lokal tidak dilibatkan 27,9% 10,4%
Kontrol dan manajemen kurang 14,7% 5,5%
Pendapatan lokal tidak cukup 10,3% 3,8%
Wilayah terlindungi lebih diprioritaskan daripada
masyarakat lokal 7,4% 2,8%
Masyarakat lokal tidak memperoleh pendidikan
tentang lingkungan 2,9% 1,1%
Sumber: Kruger, 2005: 592

Dari sisi wisatawan, survei yang dilakukan oleh HLA


dn ARA tahun 1998 mengungkapkan sejumlah karakteristik
ekowisatawan yang berasal dari Amerika Utara (Drumm
dan Moore, 2002: 25). Karakteristik ekowisatawan ini yang
mencolok adalah 82% merupakan lulusan universitas, yang
berarti memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Mayoritas
84 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

(60%) melakukan perjalanan secara berpasangan dan hanya


13% yang berwisata sendirian dan 15% bersama keluarga.
Sebanyak 50% wisatawan melakukan perjalanan dalam waktu
8-14 hari. Kelompok pengeluaran terbesar (26%) adalah $1,001
- $1,500 per perjalanan. Motivasi utama dari perjalanan adalah
menikmati alam dan mendapatkan pengalaman baru sementara
elemen terpenting dari ekowisata adalah latar alam, latar ke­
hidupan liar, dan perjalanan.

B. Ekowisata di Indonesia
Ekowisata di Indonesia baru muncul pada tahun 1995 dari
sebuah seminar dan workshop yang melibatkan Pact-Indonesia
dan WALHI di Bogor (Dalem, 2003: 86). Workshop ini langsung
mengarah pada ekowisata berbasis masyarakat dengan
membawa tema “Community-based Ecotourism: Opportunity
or Illusion?” Sebanyak 65 partisipan ikut serta, mencakup
LSM, para pembuat kebijakan, spesialis ekowisata, komunitas,
dan operator tour (Lindberg et al, 1997: 68). Dalam seminar
ini disimpulkan prinsip-prinsip ekowisata sebagai berikut
(Sembiring et al, 2004: 3).
1. Perjalanan yang bertanggung jawab, di mana seluruh pihak
yang terlibat dalam kegiatan ekowisata harus berupaya
melakukan perlindungan alam atau setidak-tidaknya me­
mi­nimalkan pengaruh negatif terhadap lingkungan alam
dan budaya di lokasi objek ekowisata.
2. Lokasi ekowisata merupakan wilayah yang alami atau
wilayah yang dikelola dengan mengacu kepada kaidah
alam atau wilayah yang dikelola dengan kaidah alam.
Kawasan yang dikelola mengacu kepada kaidah alam
Bhayu Rhama 85

mencakup kawasan konservasi hutan dan kawasan non­


konservasi. Kawasan konservasi hutan terdiri dari taman
nasional, taman wisata alam, taman hutan rakyat, dan
cagar alam, sementara kawasan nonkonservasi adalah
hutan adat. Wilayah yang dikelola dengan kaidah alam
mencakup hutan wanagama, hutan produksi, taman hutan
raya, dan cagar budaya.
3. Tujuan perjalanan ke objek ekowisata adalah untuk
menikmati pesona alam, mendapatkan pengetahuan, dan
meningkatkatkan pemahaman berbagai fenomena alam
dan budaya.
4. Semua pihak harus mendukung konservasi alam dan
budaya dengan tindakan nyata baik secara moral maupun
materiel. Dana yang diperoleh dari kegiatan ekowisata
harus digunakan untuk kelestarian alam, memberikan
penghasilan kepada pelaku ekowisata, dan mendukung
pertumbuhan kegiatan dan usaha bagi masyarakat di
sekitarnya.
5. Peran masyarakat di sekitar lokasi ekowisata harus diting­
katkan dalam penetapan perencanaan, pembangunan
dan pengoperasiannya, agar dapat meningkatkan kese­
jahteraan mereka.

Setahun kemudian, Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI)


dibentuk lewat Deklarasi Ekowisata Bali. Tujuan dibentuknya MEI
adalah untuk (1) meningkatkan kesadaran untuk melestarikan
sumber daya alam di Indonesia, (2) mengembangkan materi
pendidikan lingkungan untuk wisatawan yang mengunjungi
daerah tujuan ekowisata, dan (3) menekankan perlunya
86 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

memberikan manfaat bagi masyarakat lokal (Lindberg et al,


1997: 68). Selain itu, sebuah jaringan ekowisata Indonesia
(Indecon) dibentuk untuk memfasilitasi jaringan antar-aktor
ekowisata di Indonesia. Jaringan ini mendefinisikan ekowisata
sebagai “perjalanan yang bertanggung jawab ke wilayah
alam terlindungi maupun tak terlindungi yang melestarikan
lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal” (Lindberg et al, 1997: 68).
MEI menyelenggarakan rapat pertama di Flores, Nusa
Tenggara pada tahun 1997 dan yang kedua di Tana Toraja,
Sulawesi (Dalem, 2003: 86). Upaya MEI berhasil mendorong
Pemerintah untuk merancang panduan umum pengembangan
ekowisata pada tingkat pemerintah daerah pada tahun 2000
lewat Surat Edaran Dirjen Pembangunan Daerah Departemen
Dalam Negeri No. 660.1/836/V/bangda tertanggal 28 April 2000
tentang Pedoman Umum Pengembangan Ekowisata Daerah
(Dalem, 2003: 86). Prinsip-prinsip ekowisata yang dipegang oleh
pemerintah yang diarahkan pada kawasan konservasi mencakup
(Manurung, 2003: 102):
1. mempertahankan keseimbangan alam dalam ekosistem
dan sistem pendukung hidupnya;
2. melindungi keanekaragaman hayati dan menggunakannya
sebagai kolam genetik;
3. menyediakan fasilitas untuk penelitian, pengembangan,
pendidikan, dan pelatihan;
4. memberikan fasilitas untuk wisata alam dan pelestarian
budaya lokal;
5. mempertahankan keseimbangan antara kepentingan eko-
nomi dan konservasi sumber daya alam dan ekosistem­nya.
Bhayu Rhama 87

Sungguhpun demikian, masing-masing lembaga pemerin­


tahan menggunakan definisi ekowisata yang berbeda. Sebelum
MEI dibentuk, pemerintah lewat Peraturan Pemerintah No.
18 tahun 1994 memandang kalau ekowisata semata aktivitas
yang berhubungan dengan wisata alam (Tomomi, 2010: 80).
Berdasarkan peraturan ini, Kementerian Kehutanan tetap me­
nyamakan wisata alam dengan ekowisata (Tomomi, 2010: 80).
Tujuan dari wisata alam (ekowisata dalam bahasa Kementerian
Kehutanan) saat ini adalah (Lindberg et al, 1997: 67-68):
1. mendukung upaya konservasi pada lokasi wisata ber­
orientasi alam dan lingkungan sekitarnya untuk memas­
tikan keberlanjutan daya tarik daerah wisata;
2. menggunakan secara optimal potensi khusus dan unit
setiap lokasi sebagai daerah kunjungan wisata;
3. mendukung ketenagakerjaan selain kesempatan bisnis;
4. mengembangkan nilai budaya nasional dalam masyarakat
internasional dan untuk melawan kesan negatif saat ini
mengenai manajemen hutan tropis di Indonesia.

Definisi ekowisata yang lebih tepat datang dari Kemen­


terian Lingkungan Hidup. Kementerian ini mendefinisikan eko­
wisata sebagai “wisata dalam bentuk perjalanan ke tempat-
tempat di alam terbuka yang relatif belum terjamah atau
tercemar dengan tujuan khusus untuk mempelajari,
mengagumi, dan menikmati pemandangan dengan tumbuh-
tumbuhan serta satwa liarnya (termasuk potensi kawasan
berupa ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan
jenis tumbuhan dan satwa luar) juga semua manifestasi
kebudayaan yang ada (termasuk tatanan lingkungan sosial
88 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

budaya), baik dari masa lampau maupun masa kini di tempat-


tempat tersebut dengan tujuan untuk melestarikan lingkungan
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat”
(Sembiring et al, 2004: 2-3). Begitu pula, Kementerian
Pariwisata memiliki definisi yang lebih ramping, namun telah
cukup tepat dibandingkan dengan Kementerian Kehutanan
sebagai “suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan
yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian
lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan yang konservatif, sehingga
memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat”
(Sembiring et al, 2004: 2). Tahun 2002, sejalan dengan
penetapan PBB sebagai tahun ekowisata internasional,
Indonesia juga menetapkan tahun gunung dan ekowisata
Indonesia (Hidayat, 2009: 87).
REFERENSI

Acciaioli, G. (2005). Conserving Custom, Policing Parkland:


Customary Custodianship, Multi-ethnic Participation
and Resource Entitlement in the Lore Lindu National
Park (Central Sulawesi, Indonesia). Paper presented
at the conference of Conservation For/By Who: Social
Controversies & Cultural Contestations Regarding National
Parks and Reserves in The Malay Archipelago, Singapore.
Diambil dari https://ari.nus.edu.sg/Assets/repository/
files/events/abs_parks.pdf (Diakses pada 20 April 2014).
Adimihardja, K. (2005). Leuweung talun: Community forest
management in Mount Halimun, West Java, Indonesia.
Paper presented at the conference of Conservation For/
By Who: Social Controversies & Cultural Contestations
Regarding National Parks and Reserves in The Malay
Archipelago, Singapore. Diambil dari https://ari.nus.edu.
sg/Assets/repository/files/events/abs_parks.pdf (Diakses
pada 20 April 2014).
Albright, H. M. and Cahn, R. (1985). The Birth of The National
Park Service. Salt Lake City, Utah: Howe Brothers.
Aliadi, A. (2010). Developing partnership for conservation at
Meru Betiri National Park. (Technical Report No. 6). Bogor,
Indonesia: Ministry of Forestry. Diambil dari http://forda-
mof.org/files/Developing%20Partnership.pdf (Diakses
pada 17 March 2014)

89
90 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Arman, S. (1999). Potensi dan Kendala Pembangunan


Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Bentuang
Karimun Khususnya Daerah Perbatasan Kalimantan
Barat. In Soedjito, H. (ed.). Prosiding Lokakarya Rencana
Pengelolaan Taman Nasional Bentuang Karimun: Usaha
Mengintegrasikan Konservasi Keanekragaman Hayati
Dengan Pembangunan Propinsi Kalimantan Barat.
(89-106). Jakarta: WWF Indonesia, PHPA & ITTO. (In
Indonesian)
Arnould, E. J. and Price, L. L. (1993). River Magic: Extraordinary
Experience and The Extended Service Encounter. Journal
of Consumer Research, 20(1), pp. 24-45.
Badan Pusat Statistik Indonesia. (2014). Luas Daerah dan Jumlah
Pulau Menurut Provinsi, 2002-2014. Jakarta, Indonesia:
Author. Diambil dari http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/
view/id/1366 (10 December 2015).
Balmer, K. and Clarke, B. (1997). The benefits catalogue.
Gloucester, Ont.: Canadian Parks / Recreation Association.
Bangarwa, K. S. (2006). Biodiversity and Its Conservation. In
R. N. Kumar (Ed.), Environmental Studies (26-40). India:
Chaudhary Charan Singh Haryana Agricultural University.
Barker, A. (2009). Wind Power and Ecotourism (Unpublished
doctoral thesis). University of Oslo, Blindern, Norway.
Barnard, T. P. (2011). Protecting the Dragon: Dutch Attempts at
Limiting Access to Komodo Lizards in the 1920s and 1930s.
Indonesia, (92), pp. 97-123.
Bell, S., Tyrväinen, L., Sievänen, T., Pröbstl, U. and Simpson,
M. (2007). Outdoor Recreation and Nature Tourism:
A European Perspective. Living Reviews in Landscape
Research, 1(2), pp. 1-46.
Bhayu Rhama 91

Blamey, R. K. (2001). Principles of Ecotourism. In D. B. Weaver


(Ed.), The Encyclopedia of Ecotourism (pp. 5-22). Oxon,
UK: CABI.
Borchers, H. (2005). Structural Impediments to Community
Participation in Komodo National Park, Indonesia. Paper
presented at the conference of Conservation For/By Who:
Social Controversies & Cultural Contestations Regarding
National Parks and Reserves in The Malay Archipelago,
Singapore. Diambil dari https://ari.nus.edu.sg/Assets/
repository/files/events/abs_parks.pdf (Diakses pada 20
April 2014).
Borrie, W. T., Meyer, A. M., Foster, I. M. and Hall, D. E. (2012).
Wilderness Experiences as Sanctuary and Refuge from
Society. In D. N. Cole (Ed.), Proceedings of the Conference
of Wilderness Visitor Experiences: Progress in Research
and Management (pp. 70-76). Missoula: U.S. Department
of Agriculture, Forest Service, Rocky Mountain Research
Station.
Borrini-Feyerabend, G., Dudley, N., Jaeger, T., Lassen, B.,
Broome, N. P., Phillips, A. and Sandwith, T. (2013).
Governance of Protected Areas: From Understanding to
Action. Best Practice Protected Area Guidelines Series no.
20. Gland, Switzerland: IUCN.
Braatz, S. M. (1992). Conserving Biological Diversity: A strategy
for protected areas in the Asia-Pacific region. Washington:
World Bank Publications.
Bratton, S. P., Hickler, M. G. and Graves, J. H. (1979). Trail
erosion patterns in Great Smoky Mountains National Park.
Environmental Management, 3(5), pp. 431-445.
Brechin, S. R., Wilshusen, P. R., Fortwangler, C. L. and West,
P. C. (2002). Beyond the square wheel: Toward a more
92 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

comprehensive understanding of biodiversity conservation


as social and political process. Society &Natural Resources,
15(1), pp. 41-64.
Brooks, J. J. and Williams, D. R. (2012). Continued Wilderness
Participation: Experience and Identity as Long-term
Relational Phenomena. In D. N. Cole (Ed.), Proceedings of
the Conference of Wilderness Visitor Experiences: Progress
in Research and Management (pp. 21-36). Missoula:
U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Rocky
Mountain Research Station.
Buchsbaum, B. D. (2004). Ecotourism and Sustainable
Development in Costa Rica (Unpublished Master
Dissertation). Virginia Polytechnic Institute and State
University, Virginia, US.
Budowski, G. (1976). Tourism and Environmental Conservation:
Conflict, Coexistence, or Symbiosis? Environmental
Conservation, 3(01), pp. 27-31.
Burnham, P. (2000). Indian Country, God’s Country: Native
Americans and The National Parks. Washington: Island
Press.
Bushell, R. (2001). The Place of Ecotourism, with Particular
Reference to Australia. Presentation to NSW Geography
Teachers in Service “The Geography of Tourism” with
NSW Department Education and Training, Tourism NSW,
NSW National Parks & Wildlife Service, held at the UWS,
Hawkesbury. Diambil dari https://www.hitpages.com/
doc/4653995423432704/1#pageTop (Diakses pada 15
April 2014).
Butler, R. W. and Boyd, S. W. (2000). Tourism and National
Parks: Issues and Implications. Chichester, England: John
Wiley & Sons Ltd.
Bhayu Rhama 93

Campaign for National Parks. (2013). National Park FAQs.


Diambil dari http://www.cnp.org.uk/national-park-faqs
(Diakses pada 4 Januari 2016).
Campbell, L. M. (1999). Ecotourism in Rural Developing
Communities. Annals of Tourism Research, 26(3), pp. 534-
553.
Carruthers, J. (1995). The Kruger National Park: A Social and
Political History. Scottsville, South Africa: University of
Natal Press.
Carruthers, J. (2009). National Parks in South Africa. In H. Suich,
B. Child and A. Spenceley (Ed.), Evolution and Innovation
in Wildlife Conservation: Parks and Game Ranches to
Transfrontier Conservation Areas (1st ed., pp. 35-50).
London: Earthscan London.
Cater, E. (2006). Ecotourism as A Western Construct. Journal of
Ecotourism, 5 (1-2), pp. 23-39.
Cater, E. and Lowman, G. (1994). Ecotourism: A Sustainable
Option? Chichester: John Wiley & Sons.
Ceylan, U. and Güven, Ö. Z. (2010). Review: Evaluation of
Tourism Management and Ecotourism. Journal of Applied
Sciences Research, 6(12), pp. 1943-1952.
Chambliss, K., Slotkin, M. H. and Vamosi, A. R. (2007).
Sustainability of Avian Ecotourism. In G. Nelson and I.
Hronszky (Ed.), Proceedings of the An International Forum
on Sustainability (pp. 34-43). Budapest: Arisztotelész
Publishing.
Chan, A. (2010). Illegal Logging in Indonesia: The
environmental, economic and social costs. Minneapolis:
BlueGreen Alliance.
Chape, S., Blyth, S., Fish, L., Fox, P. and Spalding, M. (2003).
2003 United Nations List of Protected Areas. IUCN,
94 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Gland, Switzerland and Cambridge, UK and UNEP-WCMC,


Cambridge.
Chi, C. (2007). The Ideas and Ideals of First Nations and Their
Application in Taiwan: A Critical Evaluation. Taiwan
International Studies Quarterly, 3(2), pp. 1-22.
Child, B. (2009). Conservation in Transition. In H. Suich, B.
Child and A. Spenceley (Ed.), Evolution and Innovation
in Wildlife Conservation: Parks and Game Ranches to
Transfrontier Conservation Areas (1st ed., pp. 3-18).
London: Earthscan London.
Clark, D. A., Fluker, S. and Risby, L. (2008). Deconstructing
Ecological Integrity Policy in Canadian National Parks.
In K. S. Hanna, D. A. Clark and D. S. Slocombe (Ed.),
Transforming Parks and Protected Areas: Policy and
Governance in A Changing World (1st ed., pp. 154-168).
New York: Routledge.
Cochrane, J. (1993). Tourism and Conservation in Indonesia and
Malaysia. In M. Hitchcock, V. T. King and M. J. G. Parnwell.
(Ed.), Tourism in South-East Asia (pp. 317-326). London:
Cengage Learning.
Cochrane, J. (1997). Tourism and Conservation in Bromo Tengger
Semeru National Park. Hull: University of Hull.
Cochrane, J. (2006). Indonesian National Parks: Understanding
Leisure Users. Annals of Tourism Research, 33 (4), pp. 979-
997.
Colchester, M. (1994). Sustaining the Forests: The Community‐
based Approach in South and South‐East Asia.
Development and Change, 25(1), pp. 69-100.
Cole, D. N. (1983). Assessing and Monitoring Backcountry Trail
Conditions. Ogden, Utah: U.S. Dept. of Agriculture, Forest
Bhayu Rhama 95

Service, Intermountain Forest and Range Experiment


Station.
Cole, D. N. and Hall, T. E. (2012). The Effect of Use Density and
Length of Stay on Visitor Experience in Wilderness. In
D. N. Cole (Ed.), Proceedings of the Wilderness Visitor
Experiences: Progress in Research and Management (pp.
77-95). Missoula: U.S. Department of Agriculture, Forest
Service, Rocky Mountain Research Station.
Cole, D. N. and Hall, T. E. (2012). Wilderness Experience Quality:
Effects of Use Density Depend on How Experience
is Conceived. In D. N. Cole (Ed.), Proceedings of the
Wilderness Visitor Experiences: Progress in Research and
Management (pp. 96-109). Missoula: U.S. Department
of Agriculture, Forest Service, Rocky Mountain Research
Station.
Cole, D. N., & Spildie, D. R. (1998). Hiker, Horse and llama
Trampling Effects on Native Vegetation in Montana, USA.
Journal of Environmental Management, 53 (1), 61-71.
Cole, D. N. and Williams, D. R. (2012). Wilderness Visitor
Experiences: Lessons from 50 Years of Research. In
D. N. Cole (Ed.), Proceedings of the Wilderness Visitor
Experiences: Progress in Research and Management (pp.
3-20). Missoula: U.S. Department of Agriculture, Forest
Service, Rocky Mountain Research Station.
CREST. (2010). Market Trends Series: Responsible Travel Global
Trends & Statistics. Stanford University & Washington, DC:
Center for Responsible Travel.
Dalem, A. (2002). Ecotourism in Indonesia. In T. Hundloe (Ed.),
Linking Green Productivity to Ecotourism: Experiences
in the Asia-Pacific Region (pp. 85-97). Tokyo: Asian
Productivity Organization.
96 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Dam, S. (2013). Issues of Sustainable Ecotourism Development


in Sikkim: An Analysis. Sajth, 6(2), pp. 32-48.
Daponte, R. (2004). Tourism and Recreation Conflicts in The New
Forest. Lyndhurst, Hampshire: Forestry Commission.
Darmawan, R. E. D. (2008). The Practices of Decentralization in
Indonesia and Its Implication on Local Competitiveness.
(Unpublished Master Dissertation). University of Twente,
Enschede, The Netherlands.
Dawson, C. P. (2008). Ecotourism and Nature-based Tourism
One End of The Tourism Opportunity Spectrum? In S. F.
McCool and R. N. Moisey (Ed.), Tourism, Recreation and
Sustainability; Linking Culture and The Environment (2nd
ed., pp. 38-50). Montana, US: CABI.
Dawson, C. P. and Hammitt, W. E. (1996). Dimensions of
Wilderness Privacy for Adirondack Forest Preserve Hikers.
International Journal of Wilderness, 2 (1), pp. 37-41.
Deddy, K. (2006). Community Mapping, Tenurial Rights and
Conflict Resolution in Kalimantan. In F. M. Cooke (Ed.),
State, Communities and Forests in Contemporary Borneo
(pp. 89-110). Canberra: ANU E Press.
Deguignet, M., Juffe-Bignoli, D., Harrison, J., MacSharry, B.,
Burgess, N. and Kingston, N. (2014). United Nations List of
Protected Areas. UNEP-WCMC, Cambridge, UK.
Denman, R. (2001). Guidelines for Community-based Ecotourism
Development. Gland, Switzerland: WWF International.
Diamantis, D. (1999). The Concept of Ecotourism: Evolution and
Trends. Current Issues in Tourism, 2 (2-3), pp. 93-122.
Dowie, M. (2011). Conservation Refugees: The Hundred-year
Conflict between Global Conservation and Native Peoples.
Cambridge, Massachusetts: MIT Press.
Bhayu Rhama 97

Drumm, A. and Moore, A. (2005). Ecotourism Development - A


Manual for Conservation Planners and Managers. Volume
I - An Introduction to Ecotourism Planning. Arlington,
Virginia, USA: The Nature Conservancy.
Dudley, N. (2008). Guidelines for Applying Protected Area
Management Categories. Gland, Switzerland: IUCN.
Eagles, P. F. J. (2003). International Trends in Park Tourism: The
Emerging Role of Finance. The George Wright Forum, 20
(1), pp. 25-57.
Eagles, P. F. J. and McCool S. F. (2002). Tourism in National
Parks and Protected Areas: Planning and Management.
Wallingford: CABI.
Eagles, P. F., McCool, S. F. and Haynes, C. D. (2002). Sustainable
Tourism in Protected Areas: Guidelines for Planning and
Management. Gland, Switzerland and Cambridge, UK:
IUCN.
Eghenter, C. (2006). Social, Environmental and Legal Dimensions
of Adat as An Instrument of Conservation in East
Kalimantan. In F. M. Cooke (Ed.), State, Communities and
Forests in Contemporary Borneo (pp. 163-180). Canberra:
ANU E Press.
Eghenter, C., Sellato, B. and Devung, G. S. (Ed.). (2003). Social
Science Research and Conservation Management in
The Interior of Borneo: Unravelling Past and Present
Interactions of People and Forests. Jakarta: Center for
International Forestry Research.
Erb, M. (2005). ‘Trespassing’, ‘Indigeneity’ and ‘Conservation’:
Exploring The Incidents and The Language of Contestation
Over Protected Areas in The Manggarai Regency,
Eastern Indonesia. Paper presented at the conference of
Conservation For/By Who: Social Controversies & Cultural
98 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Contestations Regarding National Parks and Reserves in


The Malay Archipelago, Singapore. Diambil dari https://
ari.nus.edu.sg/Assets/repository/files/events/abs_parks.
pdf (Diakses pada 20 April 2014).
FAO. (2005). State of The World’s Forests 2005 (6th ed.). Rome,
Italy: Food and Agriculture Organization of the United
Nations.
Fay, C., Sirait, M. and Kusworo, A. (2000). Getting the Boundaries
Right: Indonesia’s Urgent Need to Redefine Its Forest
Estate. Bogor, Indonesia: ICRAF SE-Asia.
Fennell, D. (2013). Ecotourism. In A. Holden and D. Fennell (Ed.),
The Routledge Handbook of Tourism and The Environment
(323-333). Oxon: Routledge.
Fennell, D. A. (2003). Ecotourism. Oxon: Routledge.
Fennell, D. A. (2007). Ecotourism (3rd ed.). Oxon: Routledge.
Fredrickson, L. M. and Anderson, D. H. (1999). A Qualitative
Exploration of The Wilderness Experience as A Source of
Spiritual Inspiration. Journal of Environmental Psychology,
19 (1), pp. 21-39.
Frost, W. and Hall, C. M. (2009a). National Parks, National
Identity and Tourism. In W. Frost and C. M. Hall (Ed.),
Tourism and National Parks: International Perspectives on
Development, Histories and Change (pp. 63-77). Abingdon,
Oxon: Routledge.
Frost, W. and Hall, C., M. (2009b). American Invention to
International Concept: The Spread and Evolution of
National Parks. In W. Frost and C. Hall M. (Ed.), Tourism
and National Parks: International Perspectives on
Development, Histories and Change (pp. 30-44). Abingdon,
Oxon: Routledge.
Bhayu Rhama 99

Frost, W. and Hall, C., M. (2009c). Reinterpreting The Creation


Myth: Yellowstone National Park. In W. Frost and C.
Hall M. (Ed.), Tourism and National Parks: International
Perspectives on Development, Histories and Change (pp.
16-29). Abingdon, Oxon: Routledge.
Geatz, R., Kearns, E., Simpson, A. and Southern, M. (2009).
Conservation Connections: Annual Report 2009. Arlington,
Virginia: The Nature Conservancy.
Glaspell, B., Watson, A., Kneeshaw, K. and Pendergrast, D.
(2003). Selecting Indicators and Understanding Their Role
in Wilderness Experience Stewardship at Gates of The
Arctic National Park and Preserve. The George Wright
Forum, 20(3) 59-71.
Gouvea, R. (2004). Managing The Ecotourism Industry in Latin
America: Challenges and Opportunities. Problems and
Perspectives in Management, 2, 71-79.
Griffiths, T. (2000). India: Indigenous Peoples Victims of
“Conservation” at Rajive Gandhi National Park. (No. 38).
Brazil: World Rainforest Movement.
Gustave, R. (2005). The Question of Ecotourism Benefits: A
Case Study from Komodo National Park. Paper presented
at the conference of Conservation For/By Who: Social
Controversies & Cultural Contestations Regarding National
Parks and Reserves in The Malay Archipelago, Singapore.
Diambil dari https://ari.nus.edu.sg/Assets/repository/
files/events/abs_parks.pdf (Diakses pada 20 April 2014).
Hadisepoetro, S. and Wardojo, W. (1991). Status of National
Parks Management in Indonesia. Tigerpaper, 18(1), pp.
16-20.
Hall, C. M. (2005). Tourism: Rethinking The Social Science of
Mobility. Harlow: Pearson Education.
100 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Hall, C. M. (2007). Scaling Ecotourisrn: The Role of Scale in. In J.


Higham (Ed.), Critical Issues in Ecotourism: Understanding
A Complex Tourism Phenomenon (pp. 243-255).
Burlington, MA, USA: Routledge.
Hammitt, W. E. (2012). Wilderness Naturalness, Privacy, and
Restorative Experiences in Wilderness: An Integrative
Model. In D. N. Cole (Ed.), Proceedings of The Conference
of Wilderness Visitor Experiences: Progress in Research
and Management (pp. 62-69). Missoula: U.S. Department
of Agriculture, Forest Service, Rocky Mountain Research
Station.
Hartig, T. (2007). Three Steps to Understanding Restorative
Environment as Health Resources. In C. W. Thompson and
P. Travlou (Ed.), Open Space: People Space (pp. 163-180).
London: Taylor and Francis.
Hartig, T., Evans, G. W., Jamner, L. D., Davis, D. S. and Gärling,
T. (2003). Tracking Restoration in Natural and Urban Field
Settings. Journal of Environmental Psychology, 23 (2), pp.
109-123.
Harvey, A. and Yusamandra, H. (2010). Reef Fish Spawning
Aggregations in Komodo National Park: Status 2009. Bali,
Indonesia: The Nature Conservancy and PT Putri Naga
Komodo.
Haukeland, J. V. (2011). Sustainable Tourism Development
in a Norwegian National Park Area - Exploring Social
Aspects. Diambil dari https://www.toi.no/getfile.php/
SUSTOUR/2011-Haukeland[1].pdf
Hay, R. (1998). Sense of Place in Developmental Context. Journal
of Environmental Psychology, 18(1), pp. 5-29.
Hays, J. (2008). Environmental Issues and Pollution in Indonesia.
Diambil dari http://factsanddetails.com/indonesia/
Bhayu Rhama 101

Nature_Science_Animals/sub6_8c/entry-4090.html
(Diakses pada 12 Februari 2016).
Heintzman, P. (2000). Leisure and Spiritual Well-being
Relationships: A Qualitative Study. Loisir et Société/Society
and Leisure, 23 (1), pp. 41-69.
Hidayat, A. W. (2009). Politik Kebijakan Konservasi: Studi
Kasus Taman Nasional Gunung Merapi. Jurnal Tanah Air,
(Oktober-Desember), 75-94.
Higham, J. (2007). Critical Issues in Ecotourism: Understanding A
Complex Tourism Phenomenon. Oxford: Elsevier.
Himoonde, T. (2007). Opportunities and Constraints of Local
Participation in Ecotourism: A Case Study of Kasanka
National Park (KNP), Zambia (Unpublished Master
Dissertation). Norwegian University of Science and
Technology, Norway.
Hoag, H. (2007, June 23). Green to Go. The Globe and Mail.
Diambil dari http://www.theglobeandmail.com/life/green-
to-go/article4095237/?page=all. (Diakses 16 Juni 2014).
Hoath, A. M. (2005). Re-imagining The National Park as Village
Domain: An Indonesian Case Study. Paper presented
at the conference of Conservation For/By Who: Social
Controversies & Cultural Contestations Regarding National
Parks and Reserves in The Malay Archipelago, Singapore.
Diambil dari https://ari.nus.edu.sg/Assets/repository/
files/events/abs_parks.pdf (Diakses pada 20 April 2014).
Holden, A. (2008). Environment and tourism (2nd ed.). London:
Routledge.
Holtz, C., Edwards, S. (2003). Linking Biodiversity and Sustainable
Tourism Policy. In D. A. Fennell and R. K. Dowling (Ed.),
Ecotourism Policy and Planning (pp. 39-54). Oxon: CABI.
102 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Horstman, M. and Wightman, G. (2001). Karparti Ecology:


Recognition of Aboriginal Ecological Knowledge and Its
Application to Management in North‐Western Australia.
Ecological Management & Restoration, 2(2), pp. 99-109.
Howard, P. (2003). Heritage: Management, Interpretation,
Identity. London and New York: Continuum.
Indonesian Ministry of Environment and Forestry. (2016). Data
and Information Centre Ministry of Environment and
Forestry Statistics 2016. Jakarta: Ministry of Environment
and Forestry.
Indonesian Ministry of Forestry, PJLK. (2016). Statistik Direktorat
Jenderal KSDAE: Indonesia Ministry of Environmental and
Forestry.
Indonesian Ministry of Environment and Forestry. (2014). Data
and Information Centre Ministry of Environment and
Forestry Statistics 2014. Jakarta: Ministry of Environment
and Forestry.
Indonesian Ministry of Forestry, PJLK. (2011). Statistik Direktorat
Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan
Hutan Lindung 2010. Bogor, Indonesia: Indonesia Ministry
of Forestry.
Indonesian Ministry of Forestry. (2010). Taman Nasional
Sebangau Kembangkan Pariwisata Alam. Diambil dari
http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/7098
(Diakses pada 17 Maret 2016).
IPCC (2000). Summary for Policymakers. Land Use, Land-
use Change, and Forestry: A Special Report of The
Intergovernmental Panel on Climate Change. Geneva,
Switzerland: Author.
IUCN (Ed.) (2015). Protected Areas Category II (National
Parks). Diambil dari http://www.iucn.org/about/
Bhayu Rhama 103

work/programmes/gpap_home/gpap_quality/gpap_
pacategories/gpap_pacategory2/ (Diakses pada 16
Oktober 2015).
Jacob, S. and Luloff, A. (1995). Exploring The Meaning of Rural
Through Cognitive Maps. Rural Sociology, 60(2), pp. 260-
273.
Jacoby, K. (2014). Crimes Against Nature: Squatters, Poachers,
Thieves, and The Hidden History of American Conservation.
Berkeley: University of California Press.
Jepson, P. and Whittaker, R. J. (2002). Histories of Protected
Areas: Internationalisation of Conservationist Values and
Their Adoption in The Netherlands Indies (Indonesia).
Environment and History, 8(2), pp. 129-172.
John, A. and Pang, D. (2002). Community Perceptions of Eco-
tourism. Annals School of Hotel & Tourism Management,
Hong Kong Polytechnic University. Hong Kong SAR,
CHINA. Diambil dari http://s3.amazonaws.com/
academia.edu.documents/10669745/COMMUNITY%20
PERCEPTIONS%20OF%20ECOTOURISM.PDF?AWSAcc
essKeyId=AKIAJ56TQJRTWSMTNPEA&Expires=14697
14783&Signature=ye1imGGPC2JCRzBHXHlxF7GpD4k
%3D&response-content-disposition=inline%3B%20file-
name%3DEcotourism_A_sustainable_option.pdf (Diakses
pada 9 April 2014).
Jorgensen, A. (2009). Evaluating the Benefits of Urban Green
Space- progressing The Research Agenda. Unpublished
manuscript.
Kaplan, S. (1995). The Restorative Benefits of Nature: Toward
An Integrative Framework. Journal of Environmental
Psychology, 15 (3), pp. 169-182.
104 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Kellert, S. R. (1998). A National Study of Uutdoor Wilderness


Experience. Unpublished manuscript.
Kelly, E. (2009). An Assessment of The Potential for Developing
Ecotourism in The San Francisco Menéndez Sector of El
Imposible National Park, El Salvador (Unpublished Master
Dissertation). University of Alaska Fairbanks, Alaska.
Khan, H. (2004). Demand for Eco-tourism: Estimating
Recreational Benefits from The Margalla Hills National
Park in Northern Pakistan. Kathmandu, Nepal: South Asian
Network for Development and Environmental Economics.
Knudsen, D. C. and Greer, C. E. (2008). Heritage Tourism,
Heritage Landscapes and Wilderness Preservation: The
Case of National Park Thy. Journal of Heritage Tourism, 3
(1), pp. 18-35.
Korpela, K. and Hartig, T. (1996). Restorative Qualities of
Favorite Places. Journal of Environmental Psychology, 16
(3), pp. 221-233.
Kristanti, Y. (2012). Gap of Knowledge. In N. Anderson, H.
Apfel and S. Boone (Ed.), Refining REDD+ in Indonesia.
Policy Recommendations for Increasing Effectiveness,
Efficiency, and Equity (pp. 99-108). Universitas Indonesia,
University of Washington, The Henry M. Jackson School of
International Studies.
Krüger, O. (2005). The Role of Ecotourism in Conservation:
Panacea or Pandora’s Box? Biodiversity & Conservation, 14
(3), pp. 579-600.
Lankford, S. V., Scholl, K., Pfister, R., Lankford, J., Williams, A.
and Bricker, K. (2004). Cognitive Mapping: An Application
for Trail Management. In K. Bricker, S. J. Millington and
West Virginia University (Ed.), Proceedings of the 2004
Northeastern Recreation Research Symposium (pp. 378-
Bhayu Rhama 105

384). Missoula: USDA Forest Service, Northeastern


Research Station.
Lash, G. Y. B. (2003). Sustaining Our Spirit: Ecotourism on
Privately-owned Rural Lands and Protected Areas
(Unpublished Doctoral Thesis). University of Georgia,
Athens, Georgia.
Leung, Y. and Marion, J. L. (2000). Recreation Impacts and
Management in Wilderness: A State-of-Knowledge
Review. In D. N. Cole, S. F. McCool, W. T. Borrie and J.
O’Loughlin (Ed.), Wilderness Science in A Time of Change
Conference—Volume 5: Wilderness Ecosystems, Threats,
and Management (pp. 23-48). Missoula: U.S. Department
of Agriculture, Forest Service, Rocky Mountain Research
Station.
Leung, Y. F., Marion, J. L. and Farrell, T. A. (2009). Recreation
Ecology in Sustainable Tourism and Ecotourism: A
Strengthening Role. In S. McCool and R. Moisey (Ed.),
Tourism, Recreation and Sustainability, Linking Culture and
The Environment (2nd ed., pp. 19-38). Montana, US: CABI.
Levy, S. E. and Hawkins, D. E. (2009). Peace Through Tourism:
Commerce Based Principles and Practices. Journal of
Business Ethics, 89 (4), pp. 569-585.
Liburd, J. J. (2006). Sustainable Tourism and National Park
Development in St. Lucia. In P. M. Burns and M. Novelli
(Ed.), Advances in Tourism Research: Tourism and Social
Identities: Global Frameworks and Local Realities (pp. 155-
176). Oxford: Elsevier.
Lindberg, K., & Dellaert, B. G. C. (2003). Preferences for
Developing-Country Nature Tourism in Overseas Markets:
A Case Study of the Netherlands. In B. Aylward, & E. Lutz
(Eds.), Nature Tourism, Conservation, and Development in
106 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Kwazulu-Natal, South Africa (pp. 131) The International


Bank for Reconstruction and Development/The World
Bank.
Lindberg, K., Furze, B., Staff, M. and Black, R. (1997). Ecotourism
and Other Services Derived from Forests in The Asia-
Pacific Region: Outlook to 2010. (FAO Working Paper
No: APFSOS/WP/24). Bangkok: FAO Forestry Policy and
Planning Division.
Liswanto, D. (2005). Decentralization and Park Management:
Challenges and Opportunities for Conservation. Paper
presented at the conference of Conservation For/By Who:
Social Controversies & Cultural Contestations Regarding
National Parks and Reserves in The Malay Archipelago,
Singapore. Diambil dari https://ari.nus.edu.sg/Assets/
repository/files/events/abs_parks.pdf (Diakses pada 20
April 2014).
Lucas, A. and Bachriadi, D. (2008). Trees, Money, Livelihood, and
Power: The Political-ecology of Conservation in Bengkulu
Province, in The Era of Decentralization. In Weilenmann,
M. (Ed.), Proceedings of the Commission on Legal
Pluralism Conference, Kunming (p. 19). Kunming, China:
Commission on Legal Pluralism.
Ludwig, D., Hilborn, R. and Walters, C. (1993). Uncertainty,
Resource Exploitation and Conservation: Lessons from
History. Ecological Applications, 3 (4), pp. 547-549.
Ma, X., Ryan, C. and Bao, J. (2009). Chinese National Parks:
Differences, Resource Use and Tourism Product Portfolios.
Tourism Management, 30 (1), pp. 21-30.
MacAndrews, C. (1998). Improving the Management of
Indonesia’s National Parks: Lessons from Two Case
Bhayu Rhama 107

Studies. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 34 (1),


pp. 121-137.
MacEwen, A. and MacEwen, M. (1982). National Parks:
Conservation or Cosmetics? London: George Allen and
Unwin.
Manning, R. E. (1989). Nature of America: Visions and Revisions
of Wilderness, The Nat. Resources J., 29, 25.
Manzo, L. C. (2008). Understanding Human Relationships to
Place and Their Significance for Outdoor Recreation and
Tourism. In L. E. Kruger, T. E. Hall & M. C. Stiefel (Ed.),
Understanding Concepts of Place in Recreation Research
and Management (pp. 135-174). Portland, Oregon:
University of Idaho and U.S. Department of Agriculture,
Forest Service Pacific Northwest Research Station.
Marion, J. L. and Leung, Y. (2001). Trail Resource Impacts and
An Examination of Alternative Assessment Techniques.
Journal of Park & Recreation Administration, 19 (3), pp.
17-37.
Markel, C. and Clark, D. (2012). Developing Policy Alternatives
for The Management of Wood Bison (Bison Bison
Athabascae) in Kluane National Park and Reserve of
Canada. Northern Review, 36, pp. 53-75.
Marsh, P. E. (2007). Backcountry Adventure as Spiritual
Experience: A Means-end Study. (Unpublished Doctoral
Thesis). Indiana University, Bloomington, US.
Masozera, M. K., Alavalapati, J. R., Jacobson, S. K. and Shrestha,
R. K. (2006). Assessing the Suitability of Community-based
Management for The Nyungwe Forest Reserve, Rwanda.
Forest Policy and Economics, 8 (2), pp. 206-216.
Massawe, J. L. (2010). Indigenous People and Conservation: The
Suledo Forest Community in Tanzania. In K. W. Painemilla,
108 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

A. B. Rylands, A. Woofter and C. Hughes (Ed.), Indigenous


Peoples and Conservation: From Rights to Resource
Management (pp. 73-80). Arlington: Conservation
International.
McCarthy, J. and Zen, Z. (2005). Between A Rock and A Hard
Place: Policy Approaches to Biodiversity Conservation,
Lessons from the Leuser Ecosystem. Paper presented
at the conference of Conservation For/By Who: Social
Controversies & Cultural Contestations Regarding National
Parks and Reserves in The Malay Archipelago, Singapore.
Diambil dari https://ari.nus.edu.sg/Assets/repository/
files/events/abs_parks.pdf (Diakses pada 20 April 2014).
McCarthy, J., Lloyd, G. and Illsley, B. (2002). National Parks in
Scotland: Balancing Environment and Economy. European
Planning Studies, 10 (5), pp. 665-670.
McGahey, S. (2012). The Ethics, Obligations, and Stakeholders
of Ecotourism Marketing. Intelektinė Ekonomika, 6 (2), pp.
75-88.
Medina, J. S. (2009). The National Park Concept in Spain:
Patriotism, Education, Romanticism and Tourism. In W.
Frost and C. M. Hall (Ed.), Tourism and National Parks:
International Perspectives on Development, Histories
and Change (1st ed., pp. 143-154). Abingdon, Oxon:
Routledge.
Meletis, Z. A. (2007). Wasted Visits? Ecotourism in Theory vs.
Practice, at Tortuguero, Costa Rica. (Unpublished Doctoral
Thesis). Duke University, North Carolina, US.
Miller, K. L. (2008). Evaluating The Design and Management
of Community-based Ecotourism Projects in Guatemala
(Unpublished Master Dissertation). University of Montana,
Missoula, US.
Bhayu Rhama 109

Ministry of Environment. (2006). Third National Report to The


Convention on Biological Diversity. Jakarta, Indonesia:
Author.
Ministry of Forestry. (2013). Profil Kehutanan 33 Provinsi.
Jakarta, Indonesia: Author.
Miranti, R. (2010). Poverty in Indonesia 1984–2002: The
Impact of Growth and Changes in Inequality. Bulletin of
Indonesian Economic Studies, 46 (1), pp. 79-97.
Moeliono, M. (2005). Hands off – hands on: Communities and
The Management of National Parks in Indonesia. Paper
presented at the conference of Conservation For/By Who:
Social Controversies & Cultural Contestations Regarding
National Parks and Reserves in The Malay Archipelago,
Singapore. Diambil dari https://ari.nus.edu.sg/Assets/
repository/files/events/abs_parks.pdf (Diakses pada 20
April 2014).
Moore, J., Anderson, N., Kristanti, Y., Piskorskaya, N. and Utama,
R. A. (2012). Community Participation. In N. Anderson,
H. Apfel and S. Boone (Ed.), Refining REDD+ in Indonesia.
Policy recommendations for increasing effectiveness,
efficiency, and equity (pp. 66-89). Universitas Indonesia,
University of Washington, The Henry M. Jackson School of
International Studies.
Morrison, J. (1997). Protected Areas, Conservationists and
Aboriginal Interests in Canada. In K. Ghimire and M.
P. Pimbert (Ed.), Social Change and Conservation:
Environmental Politics and Impacts of National Parks and
Protected Areas (pp. 270-296). Earthscan: London, UK.
Mowforth, M. and Munt, I. (2003). Tourism and Sustainability:
Development, Globalisation and New Tourism in The Third
World. Diambil dari Taylor & Francis e-Library.
110 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Nash, D. (1981). Tourism as An Anthropological Subject. Current


Anthropology, 22 (5), pp. 461-481.
Nash, J. (2001). Eco-tourism: Encouraging Conservation or
Adding to Exploitation? Diambil dari http://www.prb.
org/Publications/Articles/2001/EcoTourism Encouraging
Conservationor Addingto Exploitation.aspx (Diakses pada
4 Mei 2014).
Nash, R. (1970). The American Invention of National Parks.
American Quarterly, 22 (3), pp. 726-735.
National Parks UK. (2015a). History of The National Parks.
Diambil dari http://www.nationalparks.gov.uk/
learningabout/whatisanationalpark/history (Diakses pada
29 Desember 2015).
National Parks UK. (2015b). National Park or
Protected Landscape? Diambil dari http://
w w w . n a t i o n a l p a r k s . g o v. u k / l e a r n i n g a b o u t /
whatisanationalpark/nationalparksareprotectedareas/
nationalparksaroundtheworld (Diakses pada 29 Desember
2015).
Nelson, J. G. and Serafin, R. (Ed.). (1997). National Parks
and Protected Areas: Keystones to Conservation and
Sustainable Development. Berlin: Springer Science &
Business Media.
Nickerson, N. and Cook, C. (2002). Analysis of The Wilderness
Experience on Commercially Guided Trips. A Study in The
Bob Marshall Wilderness Complex, Montana. (Report
No. 2002-9). Missoula: Institute for Tourism & Recreation
Research School of Forestry, University of Montana.
Nugroho, A. (2012). Politik dan Konflik Konservasi di
Indonesia  (Ilusi Konservasionisme). Diambil dari http://
Bhayu Rhama 111

aryosangpenggoda.blogspot.co.uk/2012/04/politik-dan-
konflik-konservasi-di.html (Diakses pada 7 Mei 2014).
Nugroho, I. (2010). Nilai-nilai Pancasila Sebagai Falsafah
Pandangan Hidup Bangsa untuk Peningkatan Kualitas
Sumber Daya Manusia dan Pembangunan Lingkungan
Hidup. Jurnal Konstitusi, 3 (2), pp. 107-128.
Nuva, R., Shamsudin, M. N., Radam, A. and Shuib, A. (2009).
Willingness to Pay Towards The Conservation of
Ecotourism Resources at Gunung Gede Pangrango
National Park, West Java, Indonesia. Journal of Sustainable
Development, 2 (2), pp. 173-186.
Obenaus, S. (2005). Ecotourism – Sustainable Tourism in
National Parks and Protected Areas: A Case Study
of Banff National Park in Canada and National Park
Gesäuse in Austria – A Comparison (Unpublished Master
Dissertation). University of Vienna, Austria.
Parsons, R., Tassinary, L. G., Ulrich, R. S., Hebl, M. R. and
Grossman-Alexander, M. (1998). The View from The
Road: Implications for Stress Recovery and Immunization.
Journal of Environmental Psychology, 18 (2), pp. 113-140.
Patlis, J. M. (2005). What Protects The Protected Areas?
Decentralization in Indonesia, The Challenges Facing
Its Terrestrial and Marine National Parks, and The
Rise of Regional Protected Areas. Paper presented at
the conference of Conservation For/By Who: Social
Controversies & Cultural Contestations Regarding National
Parks and Reserves in The Malay Archipelago, Singapore.
Diambil dari https://ari.nus.edu.sg/Assets/repository/
files/events/abs_parks.pdf (Diakses pada 20 April 2014).
Patterson, M. E., Williams, D. R., Watson, A. E. and Roggenbuck,
J. R. (1998). An Hermeneutic Approach to Studying The
112 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Nature of Wilderness Experiences. Journal of Leisure


Research, 30, pp. 423-452.
Pearl, M. C. (1994). Local Initiatives and The Rewards for
Biodiversity Conservation: Crater Mountain Wildlife
Management Area, Papua New Guinea. In D. Western,
R. M. Wright and S. C. Strum (Ed.), Natural Connections
Perspectives in Community-based Conservation (pp. 193-
214). Washington DC: Island Press.
Pelser, A., Redelinghuys, N., & Velelo, N. (2011). People, Parks
and Poverty: Integrated Conservation and Development
Initiatives in The Free State Province of South Africa.
Biological Diversity and Sustainable Resources Use, 35-62.
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman
Nasional (2007).
Phillips, A. (2004). Protected Area Categories. Parks, 14 (3), pp.
4-14.
Pimbert, M. P. and Pretty, J. N. (1997). Parks, People and
Professionals: Putting Participation into Protected Area
Management. In K. B. Ghimire and M. P. Pimbert (Ed.),
Social Changes and Conservation: Environmental Politics
and Impacts of National Parks and Protected Areas (pp.
297-330). London: Earthscan.
Piskorskaya, N., Kristanti, Y., Lissandhi, A. N. and Ratri, S. D.
(2012). Knowledge Dissemination. In N. Anderson, H. Apfel
and S. Boone (Ed.), Refining REDD+ in Indonesia. Policy
Recommendations for Increasing Effectiveness, Efficiency,
and Equity (90-119). Universitas Indonesia, University of
Washington, The Henry M. Jackson School of International
Studies.
Bhayu Rhama 113

Poirier, R. and Ostergren, D. (2002). Evicting People from


Nature: Indigenous Land Rights and National Parks
in Australia, Russia, and The United States. Natural
Resources Journal, 42, pp. 331-351.
Prato, T. (2006). Adaptive Management of National Park
Ecosystems. The George Wright Forum, 23 (1), pp. 72-86.
Pretty, J. and Chambers, R. (1993). Towards A Learning
Paradigm: New Professionalism and Institutions for
Agriculture. In J. M. Harris (Ed.), Rethinking Sustainability:
Power, Knowledge and Institutions (pp. 189-227).
Michigan: University of Michigan Press.
Purwanto, S. A. (2005). Another Way to Live? Alternative
Economic Development for Local Peoples and Biodiversity
Conservation around Tanjung Puting National Park,
Central Kalimantan. Paper presented at the conference of
Conservation For/By Who: Social Controversies & Cultural
Contestations Regarding National Parks and Reserves in
The Malay Archipelago, Singapore. Diambil dari https://
ari.nus.edu.sg/Assets/repository/files/events/abs_parks.
pdf (Diakses pada 20 April 2014).
Purwanto, S. A. (2008). Another Way to Live: Developing A
Programme for Local People around Tanjung Puting
National Park, Central Kalimantan. In N. S. Sodhi, G.
Acciaioli, M. Erb and A. K. J. Tan (Ed.), Biodiversity and
Human Livelihoods in Protected Areas: Case Studies
from the Malay Archipelago (pp. 203-221). Cambridge:
Cambridge University Press.
Raz, A. F. (2012, June 7). The Euro Crisis and Its Impact on
Indonesia’s Economy. The Jakarta post. Diambil dari
http://www.thejakartapost.com/news/2012/06/07/the-
114 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

euro-crisis-and-its-impact-indonesia-s-economy.html
(Diakses pada 12 Februari 2016).
Riza, H. (2008). Resources Report on Languages of Indonesia.
Proceedings of The 6th Workshop on Asian Language
Resources (ALR 6) (93-94). India: Asian Federation of
Natural Language Processing.
Ross, S. and Wall, G. (1999). Ecotourism: Towards Congruence
between Theory and Practice. Tourism Management, 20,
pp. 123-132.
Runte, A. (1983). Reply to Sellars. Forest & Conservation History,
27 (3), pp. 135-141.
Runte, A. (2010). National Parks: The American Experience (4th
ed.). Lanham: Taylor Trade Publishing.
Russell, J. A. (1980). A Circumplex Model of Affect. Journal of
Personality and Social Psychology, 39 (6), pp. 1161-1178.
Sangadji, A. (2005). National Parks versus Farmers: The
Experience of Conflict between Dongi-Dongi Farmers
and The Managers of Lore Lindu National Park. Paper
presented at the conference of Conservation For/By Who:
Social Controversies & Cultural Contestations Regarding
National Parks and Reserves in The Malay Archipelago,
Singapore. Diambil dari https://ari.nus.edu.sg/Assets/
repository/files/events/abs_parks.pdf (Diakses pada 20
April 2014).
Sangsubhan, K. and Basri, M. C. (2012). Global Financial Crisis
and ASEAN: Fiscal Policy Response in The Case of Thailand
and Indonesia. Asian Economic Policy Review, 7 (2), pp.
248-269.
Sarawak Commissioner of Law Revision. (2008). Department
of Forest Sarawak. Diambil dari http://www.forestry.
Bhayu Rhama 115

sarawak.gov.my/page.php?id=148&menu_id=0&sub_
id=90 (Diakses pada 20 November 2013).
Saruan, J. (1999). Dukungan Pemda Mengintegrasikan
Pembangunan Wilayah dengan Pengelolaan Taman
Nasional dalam Antisipasi Pelaksanaan Otonomi Daerah.
Proceedings of the conferene of Pengelolaan Taman
Nasional Kawasan Timur Indonesia: Kelembagaan
Pengelolaan Taman Nasional, Manado, Indonesia
(Pp. D1-(1-12)). Jakarta, Indonesia: Natural Resources
Management/EPIQ Program’s Protected Areas & Forest
Management.
Scheyvens, R. (1999). Ecotourism and The Empowerment of
Local Communities. Tourism Management, 20 (2), pp. 245-
249.
Sembiring, I., Hasnudi, Irfan and Umar, S. (2004). Survei
Potensi Ekowisata di Kabupaten Dairi. Medan, Indonesia:
Universitas Sumatra Utara.
Sembiring, S. N. (2005). Autonomy and The Future of Protected/
Conservation Area Management in Indonesia: A
Legal Analysis. Paper presented at the conference of
Conservation For/By Who: Social Controversies & Cultural
Contestations Regarding National Parks and Reserves in
The Malay Archipelago, Singapore. Diambil dari https://
ari.nus.edu.sg/Assets/repository/files/events/abs_parks.
pdf (Diakses pada 20 April 2014).
Sharpley, R. (2006). Ecotourism: A Consumption Perspective.
Journal of Ecotourism, 5 (1-2), pp. 7-22.
Sharpley, R. (2009). The English Lake District – National Park
or Playground? In W. Frost and C. M. Hall (Ed.), Tourism
and National Parks: International Perspectives on
116 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Development, Histories and Change (1st ed., pp. 155-166).


Abingdon, Oxon: Routledge.
Sharpley, R. (2009). Tourism Development and The Environment:
Beyond Sustainability? London: Earthscan.
Sharpley, R. (2015). Tourism: A Vehicle for Development? In R.
Sharpley and D. J. Telfer (Ed.), Tourism and Development:
Concepts and Issues (2nd ed., pp. 3-30). Bristol: Channel
View Publications.
Sharpley, R. and Sharpley, J. (1997). Rural Tourism. An
Introduction. London: International Thomson Business
Press.
Shasha, D. (2012). World’s Highest National Park Opens in
China’s Tibet. Diambil dari http://news.xinhuanet.com/
english/travel/2012-10/26/c_131933174.htm (Diakses
pada 30 Desember 2015)
Shum, K. (2007). Trends in Ecotourism. Diambil dari http://www.
lohas.com/green-travel. (Diakses pada 7 November 2013).
Simmons, R. H., Davis, B. W., Chapman, R. J. and Sager, D. D.
(1974). Policy Flow Analysis: A Conceptual Model for
Comparative Public Policy Research. The Western Political
Quarterly, 27 (3), pp. 457-468.
Simpson, M. C. (2008). Community Benefit Tourism Initiatives -
A Conceptual Oxymoron? Tourism Management, 29 (1),
pp. 1-18.
Sirakaya, E., Sasidharan, V. and Sönmez, S. (1999). Redefining
Ecotourism: The Need for A Supply-side View. Journal of
Travel Research, 38 (2), pp. 168-172.
Smith, V. (1989). Hosts and Guests: The Anthropology of Tourism
(2nd ed.). Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Smyth, D., Yunupingu, D. and Roeger, S. (2010). Dhimurru
Indigenous Protected Area: A New Approach to Protected
Bhayu Rhama 117

Area Management in Australia. In K. W. Painemilla, A.


B. Rylands, A. Woofter and C. Hughes (Ed.), Indigenous
Peoples and Conservation: From Rights to Resource
Management (pp. 81-94). Arlington: Conservation
International.
Stem, C. J., Lassoie, J. P., Lee, D. R., Deshler, D. D. and Schelhas,
J. W. (2003). Community Participation in Ecotourism
Benefits: The Link to Conservation Practices and
Perspectives. Society & Natural Resources, 16 (5), pp. 387-
413.
Stockdale, M. and Ambrose, B. (1996). Mapping and NTFP
Inventory: Participatory Assessment Methods for Forest-
dwelling Communities in East Kalimantan, Indonesia. In
J. Carter (Ed.), Recent Approaches to Participatory Forest
Resource Assessment (pp. 170-211). London: Overseas
Development Institute, Regent’s College.
Sugiharto, S. (2013, October 28). Indigenous Language Policy
as A National Cultural Strategy. The Jakarta Post. Diambil
dari http://www.thejakartapost.com/news/2013/10/28/
indigenous-language-policy-a-national-cultural-strategy.
html (Diakses pada 12 Februari 2016).
Suherman, H. M., Yuwariah, Y. and Noor, T. I. (2015). Agricultural
Economic Development in The Conservation Area and
The Buffer Zone of The National Park West End, Banten,
Indonesia. International Journal of Scientific & Technology
Research, 4 (09), pp. 357-366.
Suryanto, P., Hamzah, M., Mohamed, A., Alias, M., Nawari and
Wiratno. (2011). Exploring The Potential of Silviculture
Agroforestry Regime as A Compatible Management in
Southern Gunung Merapi National Park, Java, Indonesia.
Journal of Sustainable Development, 4 (3), pp. 81-93.
118 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Susan, K. (2010). Final Report to The Royal Geographical Society.


The Role of Indigenous Knowledge in Conservation of
Uganda’s National Parks (Bwindi Impenetrable National
Park and Queen Elizabeth Conservation Area). Kampala,
Uganda: Uganda Conservation Foundation.
Szaro, R. C. and Johnston, D. W. (1996). Biodiversity in Managed
Landscapes: Theory and Practice. New York: Oxford
University Press.
Talbot, J. F. and Kaplan, S. (1986). Perspectives on Wilderness:
Re-examining The Value of Extended Wilderness
Experiences. Journal of Environmental Psychology, 6 (3),
pp. 177-188.
Tantisirirak, C. (2007). Development of Sustainable Tourism
along The Asian Highway Network. Exploring Possibilities
in The Case of Thailand. Sweden: IIIEE, Lund University.
Telfer, D. J. and Sharpley, R. (2008). Tourism and Development in
The Developing World. Abingdon: Routledge.
The World FactBook. (2016). Indonesia. Diambil dari https://
www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/
geos/id.html (Diakses pada 8 Februari 2016)
Thomlinson, E. and Crouch, G. (2012). Aboriginal Peoples,
Parks Canada, and Protected Spaces: A Case Study in Co-
management at Gwaii Haanas National Park Reserve.
Annals of Leisure Research, 15 (1), pp. 69-86.
TIES. (2007). Global Ecotourism Fact Sheet. Washington: Author.
Timko, J. A. and Innes, J. L. (2009). Evaluating Ecological Integrity
in National Parks: Case Studies from Canada and South
Africa. Biological Conservation, 142 (3), pp. 676-688.
Timothy, D. (2013). Religious Views of The Environment:
Sanctification of Nature and Implications for Tourism. In
A. Holden and D. Fennell (Ed.), The Routledge Handbook
Bhayu Rhama 119

of Tourism and The Environment (pp. 31-42). Oxon:


Routledge.
Tisen, O. B. (2004). Conservation and Tourism: A Case Study
of Longhouse Communities in and Adjacent to Batang Ai
National Park, Sarawak, Malaysia (Unpublished Master
Dissertation). Lincoln University, Lincoln, UK.
Tomomi, I. (2010). Ecotourism in Bali: Backgrounds, Present
Conditions and Challenges. (Unpublished Doctoral Thesis).
Ritsumeikan University, Kyoto, Japan.
Tosca, M., Randerson, J., Zender, C., Nelson, D., Diner, D. and
Logan, J. (2011). Dynamics of Fire Plumes and Smoke
Clouds Associated with Peat and Deforestation Fires
in Indonesia. Journal of Geophysical Research, 116 (D
08207), pp. 1-14.
Twigger-Ross, C. L. and Uzzell, D. L. (1996). Place and Identity
Processes. Journal of Environmental Psychology, 16 (3),
pp. 205-220.
Ulrich, R. S., Simons, R. F., Losito, B. D., Fiorito, E., Miles,
M. A. and Zelson, M. (1991). Stress Recovery During
Exposure to Natural and Urban Environments. Journal of
Environmental Psychology, 11 (3), pp. 201-230.
UNEP-WCMC. (2015). World Database on Protected Aeas User
Manual 1.0. Cambridge, UK: UNEP-WCMC.
UNESCAP. (1995). Guidelines on Environmentally Sound
Development of Coastal Tourism. New York: United
Nations.
UNWTO. (1994). Recommendations on Tourism Statistics.
Madrid: UN World Tourism Organization.
UNWTO. (2015). Understanding Tourism: Basic Glossary. UN
World Tourism Organization. Diambil dari http://media.
120 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

unwto.org/en/content/understanding-tourism-basic-
glossary (Diakses pada 6 Oktober 2015).
UNWTO. (2015a). Tourism Highlights 2015 Edition. UN World
Tourism Organization. Diambil dari mkt.unwto.org/
publication/unwto-tourism-highlights-2015-edition
(Diakses pada 28 September 2015).
UNWTO-UNEP. (2002). World Ecotourism Summit – Québec
Declaration on Ecotourism. Québec, Canada: Author.
Upton, C., Ladle, R., Hulme, D., Jiang, T., Brockington, D., &
Adams, W. M. (2008). Are Poverty and Protected Area
Establishment Linked at A National Scale? Oryx, 42 (01),
19-25.
US National Park Service. (2015). Nature - Grand Canyon
National Park. Diambil dari http://www.nps.gov/grca/
learn/nature/index.htm (Diakses pada 30 Desember
2015).
Usop, S. and Kristianto, D. (2011). Pembangunan Berbasis
Masyarakat. Model Pemberdayaan Masyarakat melalui
Corporate Social Responsibility. Diambil dari http://
www.academia.edu/3776357/pembangunan_berbasis_
masyarakat_model_pemberdayaan_masyarakat_melalui_
corporate_social_responsibility (Diakses pada 8 Desember
2014).
Valentine, P. (1992). Review: Nature-based Tourism. In B. Weiler
and C. M.Hall (Ed.), Special Interest Tourism (pp. 105-127).
London: Belhaven Press.
Van Beukering, P. J., Cesar, H. S. and Janssen, M. A. (2003).
Economic Valuation of The Leuser National Park on
Sumatra, Indonesia. Ecological Economics, 44(1), pp. 43-
62.
Bhayu Rhama 121

Van Noordwijk, M., Mulyoutami, E., Sakuntaladewi, N. and


Agus, F. (2008). Swiddens in Transition: Shifted Perceptions
on Shifting Cultivators in Indonesia. Occasional Paper No.
9. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre.
Vernhes, J. R. and Bridgewater, P. (2008). Biosphere Reserves.
In S. Chape, M. Spalding and J. Marton-Lefevre. (Ed.), The
World’s Protected Areas. Status, Values and Prospects in
The 21st Century (pp. 28-32). Berkeley, US: University of
California Press.
Vernizzi, E. A. (2011). The Establishment of The United States
National Parks and The Eviction of Indigenous People.
Unpublished manuscript.
Wadley, R. L. (2006). Community Cooperatives, ‘Illegal’ Logging
and Regional Autonomy in The Borderlands of West
Kalimantan. In F. M. Cooke (Ed.), State, Communities and
Forests in Contemporary Borneo (111-132). Canberra:
ANU E Press.
Walmsley, D. J. (2004). Behavioral Approaches in Tourism
Research. In A. A. Lew, C. M. Hall and A. M. Williams (Ed.),
A Companion to Tourism (pp. 49-60). Oxford: Blackwell
Publishing.
Walpole, M. J. and Goodwin, H. J. (2001). Local Attitudes
Towards Conservation and Tourism Around Komodo
National Park, Indonesia. Environmental Conservation, 28
(02), pp. 160-166.
Walpole, M. J. and Leader-Williams, N. (2002). Tourism and
Flagship Species in Conservation. Biodiversity and
Conservation, 11 (3), pp. 543-547.
Wang, G., Innes, J. L., Wu, S. W., Krzyzanowski, J., Yin, Y., Dai,
S., Liu, S. (2012). National Park Development in China:
122 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

Conservation or Commercialization? Ambio, 41 (3), 247-


261.
Wearing, S. and Neil, J. (2009). Ecotourism: Impacts, Potentials
and Possibilities? Oxford: Butterworth Heinemann.
Weihrich, H. (1982). The TOWS matrix—A Tool for Situational
Analysis. Long Range Planning, 1 5(2), pp. 54-66.
Weinberg, A., Bellows, S. and Ekster, D. (2002). Sustaining
Ecotourism: Insights and Implications from Two Successful
Case Studies. Society and Natural Resources, 15 (4), pp.
371-380.
West, P., Igoe, J. and Brockington, D. (2006). Parks and
Peoples: The Social Impact of Protected Areas. Annu.Rev.
Anthropol., 35, pp. 251-277.
Whelan, T. (1991). Nature Tourism: Managing for The
Environment. Washington: Island Press.
White, G. (2006). Cultures in Collision: Traditional Knowledge
and Euro-Canadian Governance Processes in Northern
Land-claim Boards. Arctic, 59 (4), pp. 401-414.
Williams, K. and Harvey, D. (2001). Transcendent Experience in
Forest Environments. Journal of Environmental Psychology,
21 (3), pp. 249-260.
Williams, P. B. and Marion, J. L. (1992). Trail Inventory and
Assessment Approaches Applied to Trail System Planning
at Delaware Water Gap National Recreation Area. In G.
A. V. Stoep (Ed.), Proceedings of the 1992 Northeastern
Recreation Research Symposium (pp. 80-83). Missoula:
USDA Forest Service, Northeastern Research Station.
Young, K. (2012). Laws. In N. Anderson, H. Apfel and S.
Boone (Ed.), Refining REDD+ in Indonesia. Policy
Recommendations for Increasing Effectiveness, Efficiency,
and Equity (pp. 25-30). Universitas Indonesia, University of
Bhayu Rhama 123

Washington, The Henry M. Jackson School of International


Studies.
Zeppel, H. (2009). National Parks as Cultural Landscapes:
Indigenous Peoples, Conservation and Tourism. In W.
Frost and C. M. Hall (Ed.), Tourism and National Parks:
International Perspectives on Development, Histories
and Change (1st ed., pp. 259-281). Abingdon, Oxon:
Routledge.
Zografos, C. and Allcroft, D. (2007). The Environmental Values
of Potential Ecotourists: A Segmentation Study. Journal of
Sustainable Tourism, 15 (1), pp. 44-66.
BIODATA PENULIS

Bhayu Rhama adalah seorang


dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik di Universitas Palangka Raya
dengan konsentrasi Kebijakan Publik
khususnya Kebijakan Ekowisata.
Karena kecintaannya pada
dunia pariwisata, maka selain sebagai
akademisi, Bhayu juga mengambil
peran sebagai praktisi dengan merintis
usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM) di bidang tour operator dan dipercaya menjadi Ketua
Asosiasi Agen dan Biro Perjalanan Wisata Indonesia Wilayah
Kalimantan Tengah/Association of Indonesian Tours and Travel
Agencies (ASITA) periode 2018-2023. Pada perkembangannya,
Bhayu Rhama juga diangkat oleh Walikota Palangka Raya
menjadi salah satu anggota Badan Promosi Pariwisata Daerah
Kota Palangka Raya periode 2016-2020.
Untuk menunjang bidang pariwisata, baik di sektor
akademik maupun praktisi yang ditekuninya, maka Bhayu telah
menyelesaikan studi S3 yang berfokus pada kebijakan pariwisata
di University of Central Lancashire, UK, setelah beberapa

125
126 TAMAN NASIONAL DAN EKOWISATA

tahun sebelumnya menyelesaikan studi S2 di University of


Wolverhampton, UK dalam bidang manajemen pariwisata.
Bhayu dilahirkan di Kota Jombang, Jawa Timur, namun
menghabiskan masa kecilnya di Palangka Raya, Kalimantan
Tengah untuk dibesarkan dan mendapatkan pendidikan awal
mulai dari SD Katolik St. Don Bosco sampai dengan SMP Katolik
St. Paulus. Selain itu, Kota Surakarta dan Yogyakarta juga
memberi andil dalam kehidupannya ketika harus bersekolah di
SMAN 1 Surakarta yang dilanjutkan ke Universitas Atma Jaya
Yogyakarta untuk mendapatkan gelar sarjana teknik sipil dengan
tugas akhir tentang manajemen keselamatan.
Setelah bekerja beberapa waktu di bidang perencanaan
objek wisata sambil bekerja sebagai dosen tidak tetap di
Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta (2005-2009),
Bhayu banyak terlibat dalam pengabdian kepada masyarakat
di sektor pariwisata yang menjadi sektor andalan di Kota
Yogyakarta antara lain pernah menjadi pengurus dalam
organisasi Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI), Asosisasi
Travel Agent Indonesia (ASITA), dan Asosiasi Perusahaan Tiket
Penerbangan Indonesia (ASTINDO).
Pada tahun 2010 Bhayu Rhama kembali ke Palangka
Raya untuk menjadi dosen di Universitas Palangka Raya
dengan fokus pada ilmu pengetahuan ekowisata dan konsisten
untuk melakukan penelitian demi pengembangan pariwisata
Indonesia, khususnya di Kalimantan Tengah.

Anda mungkin juga menyukai