Anda di halaman 1dari 19

Referat

POST HERPETIK NEURALGIA

oleh:
M. Renaldi Fahlevi, S.Ked
NIM : 71 2019 015

Pembimbing :
dr. Budiman Juniwijaya, Sp. S

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul:

Post Herpetik Neuralgia

Oleh

M. Renaldi Fahlevi, S.Ked

NIM: 71 2019 015

Telah dilaksanakan pada bulan Agustus 2020 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit
Umum Daerah Palembang BARI Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang.

Palembang, Agustus 2020

Pembimbing,

dr. Budiman Juniwijaya, Sp. S

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Post
Herpetik Neuralgia” sebagai syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di
Bagian Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI. Shalawat
beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad
Shallallahu alaihi wassalam beserta para keluarga, sahabat, dan pengikut-
pengikutnya sampai akhir zaman. Penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna perbaikan di masa mendatang.

Dalam penyelesaian Referat ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan


dan saran. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :

1. Allah subhanahu wata ‘ala, yang telah memberi kehidupan dengan sejuknya
keimanan.
2. Kedua orang tua yang selalu memberi dukungan materil maupun spiritual.
3. dr. Budiman Juniwijaya, Sp.S selaku pembimbing Referat.
Semoga Allah subhanahu wata ‘ala memberikan balasan pahala atas segala amal
yang diberikan kepada semua orang yang telah mendukung penulis dan semoga
laporan kasus ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan
kedokteran. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah subhanahu wata ‘ala. Amin.

Palembang, Agustus 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL`

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... ii

KATA PENGANTAR........................................................................................... iii

DAFTAR ISI......................................................................................................... iv

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................................................................. 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi............................................................................................ 2

2.2 Epidemiologi………………………………………………………. 2

2.3 Etiologi............................................................................................ 3

2.4 Patofisiologi .................................................................................... 3

2.5 Manifestasi Klinis............................................................................ 6

2.6 Diagnosis......................................................................................... 7

2.7 Tatalaksana...................................................................................... 9

2.8 Prognosis......................................................................................... 12

BAB III. KESIMPULAN.................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Herpes zoster (HZ) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
reaktivasi virus varisela zoster (VVZ) yang laten berdiam terutama dalam sel
neuronal dan kadangkadang di dalam sel satelit ganglion radiks dorsalis dan
ganglion sensorik saraf kranial menyebar ke dermatom atau jaringan saraf yang
sesuai dengan segmen yang dipersyarafinya.1
Neuralgia pascaherpetika (NPH) didefinisikan sebagai nyeri yang terus
berlangsung selama 3 bulan setelah lesi herpes zoster sembuh, atau nyeri yang
terus berlangsung selama 120 hari sejak timbulnya lesi herpes zoster. Dari data
yang ada, disimpulkan bahwa 10-25% pasien herpes zoster akan mengalami
neuralgia pascaherpetika dan kebanyakan pada pasien berusia lanjut.2,3
Di Amerika Serikat, NPH merupakan penyebab nyeri neuropatik tersering
ketiga setelah low back pain dan neuropati diabetik. Baik frekuensi dan durasi
NPH keduanya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Di antara pasien
dengan herpes zoster (HZ) akut, NPH berkembang pada 73% pasien diatas 70
tahun, 47% pasien diatas 60 tahun sedangkan untuk usia diatas 55 tahun hanya
27%. Hampir setengah dari pasien diatas 70 tahun tersebut (48%) menderita
NPH dengan durasi lebih dari 1 tahun.4
Nyeri yang terjadi pada NPH ini dapat menimbulkan gangguan tidur,
depresi, anoreksia, penurunan berat badan, kelelahan kronis dan mengganggu
aktivitas sehari-hari seperti berpakaian, mandi, belanja, memasak, pekerjaan
rumah dan dalam melakukan perjalanan.5 Oleh sebab itu, diperlukan pencegahan
yang tepat yang dapat dilakukan saat pasien terkena herpes zoster sehingga
diharapkan dapat menurunkan risiko komplikasi NPH.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Herpes zoster (HZ) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
reaktivasi virus varisela zoster (VVZ) yang laten berdiam terutama dalam sel
neuronal dan kadangkadang di dalam sel satelit ganglion radiks dorsalis dan
ganglion sensorik saraf kranial menyebar ke dermatom atau jaringan saraf yang
sesuai dengan segmen yang dipersyarafinya.1
Herpes zoster (HZ) biasanya ditandai dengan nyeri, ruam yang terjadi
sesuai dengan dermatomal. Perkiraan faktor risiko HZ pada populasi umum
adalah sekitar 30%, dengan risikonya meningkat tajam setelah berusia 50 tahun.
Setelah melakukan studi observasional jangka panjang yang di tahun 1960an,
Hope-Simpson menunjukkan HZ adalah hasil reaktivasi dari Virus varicella-
zoster (VZV) yang ada di dalam sensorik Ganglia setelah melewati masa laten
yang panjang dari infeksi primer varicella (cacar air).6
Neuralgia pascaherpetika (NPH) didefinisikan sebagai nyeri yang terus
berlangsung selama 3 bulan setelah lesi herpes zoster sembuh, atau nyeri yang
terus berlangsung selama 120 hari sejak timbulnya lesi herpes zoster. Dari data
yang ada, disimpulkan bahwa 10-25% pasien herpes zoster akan mengalami
neuralgia pascaherpetika dan kebanyakan pada pasien berusia lanjut.2,3

2.2. Epidemiologi
Pada penelitian klinis dan komunitas, insidensi NPH secara keseluruhan
yaitu 8-15% tergantung dari definisi operasionalnya.5 Di Amerika Serikat, NPH
merupakan penyebab nyeri neuropatik tersering ketiga setelah low back pain dan
neuropati diabetik. Baik frekuensi dan durasi NPH keduanya meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. Di antara pasien dengan herpes zoster (HZ) akut,
NPH berkembang pada 73% pasien diatas 70 tahun, 47% pasien diatas 60 tahun
sedangkan untuk usia diatas 55 tahun hanya 27%. Hampir setengah dari pasien

2
diatas 70 tahun tersebut (48%) menderita NPH dengan durasi lebih dari 1 tahun. 4
Wiryadi dkk melaporkan angka kejadian NPH pada pasien HZ yang berobat
antara tahun 1995-1996 sebesar 11% dari 738 pasien HZ di 6 rumah sakit
pendidikan di Indonesia.7 Selama periode tahun 2006-2010, terdapat 82 pasien
didiagnosis NPH dari seluruh pasien yang berobat ke poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Dr. Kariadi Semarang.8

2.3. Etiologi
Neuralgia pascaherpetika disebabkan oleh kerusakan neuron perifer dan
sentral, yang diakibatkan oleh respon imun dari reaktivasi virus varicella zoster. 9
Setelah perbaikan infeksi primer VZV, virus menetap secara laten di dalam
ganglion radiks dorsalis saraf kranial atau saraf spinal. Reaktivasi virus VZ yang
diikuti replikasi menginduksi terjadinya perubahan inflamasi pada neuron perifer
dan ganglion sensoris. Hal ini dapat menginduksi siklus sensitisasi yang
mengakibatkan nyeri yang menetap.8

2.4. Patofisiologi
Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varicella atau cacar
air. Pajanan pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke
tubuh melalui sistem respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster
bereplikasi dan menyebar melalui aliran darah sehingga terjadi viremia dengan
manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh. Periode inkubasi sekitar 14-
16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di
ganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun.10
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus
varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan
dalam pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan
mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan
bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi
klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit.

3
Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara
parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan,
vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang
dikenal dengan nama ‘Lipschutz inclusion body’.10
Pada keadaan fisiologis, stimulus nosiseptif diterima oleh 3 macam
reseptor saraf, yakni mekanoseptor, termoreseptor, dan nosiseptor polimodal.
Mekanoseptor diaktivasi oleh stimulus mekanis, kemudian ditransmisikan oleh
serabut saraf Aδ dan C, sedangkan termoreseptor diaktivasi oleh stimulus termal
yang kebanyakan ditransmisikan oleh serabut saraf C. Serabut saraf Aδ dan C
merupakan serabut saraf aferen pada akson distal dari neuron sensoris primer.
Serabut saraf C sangat halus, tidak bermyelin, mengalirkan stimulus secara
lambat. Serabut saraf C adalah serabut saraf polimodal dan mentransmisikan
nyeri tumpul atau seperti terbakar. Serabut saraf Aδ bermyelin tipis dan
mengalirkan stimulus dengan cepat. Serabut saraf Aδ merespons sentuhan
ringan, suhu, tekanan, serta nyeri bersifat tajam dan dapat meletupkan potensial
aksi sesuai dengan proporsi intensitas stimulus yang diterimanya.11
Neuralgia pascaherpetika termasuk nyeri neuropatik, yakni nyeri yang
disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi primer pada sistem saraf. Pada nyeri
neuropatik terjadi kerusakan saraf perifer dan perubahan sinyal sistem saraf
pusat, sehingga terjadi letupan potensial aksi spontan, ambang aktivasi saraf yang
menurun, dan peningkatan respon terhadap stimulus.12,13
Mekanisme terjadinya neuralgia pascaherpetika dapat berlainan pada
setiap individu sehingga manifestasi nyeri yang berhubungan dengan neuralgia
pascaherpetika juga berlainan. Replikasi virus di dalam ganglion dorsalis
menyebabkan respon inflamasi berupa pembengkakan, perdarahan, nekrosis dan
kematian sel neuron. Kemudian virus akan menyebar secara sentrifugal
sepanjang saraf menuju ke kulit, menyebabkan inflamasi dan kerusakan saraf
perifer. Kadang-kadang virus menyebar secara sentripetal ke arah medula
spinalis (mengenai area sensorik dan motorik) serta batang otak. Hal ini
menyebabkan sensitisasi ataupun deaferenisasi elemen saraf perifer dan

4
sentral.2,14
Sensitisasi saraf perifer terutama terjadi pada nosiseptor serabut saraf C
yang halus dan tidak bermyelin. Sensitisasi ini menyebabkan ambang sensoris
terhadap suhu menurun, menimbulkan heat hyperalgesia, yakni nyeri seperti
terbakar. Selain itu juga terjadi letupan ektopik dari nosiseptor C yang rusak
sehingga timbul alodinia, yakni rasa nyeri akibat stimulus yang pada keadaan
normal tidak menimbulkan rasa nyeri. Sebagai respon atas menghilangnya
sebagian besar input serabut saraf C karena kerusakan tersebut, terbentuk tunas-
tunas serabut saraf Aβ yang menerima rangsang non-noksius mekanoseptor di
lapisan superfi sial kornu dorsalis medula spinalis. Pertunasan ini menyebabkan
hubungan antara serabut saraf Aβ yang tidak menghantarkan nyeri dengan
serabut saraf C, sehingga stimulus yang tidak menyebabkan nyeri (raba halus)
dipersepsikan sebagai nyeri.2,12
Selain sensitisasi perifer dapat juga terjadi sensitisasi sentral yang
menyebabkan terjadinya nyeri spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa
alodinia dan hiperalgesia. Sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas ektopik
dari serabut saraf aferen. Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis
adalah glutamat yang berikatan dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA).
Glutamat diproduksi oleh serabut saraf aferen primer di kornu dorsalis. Pada
keadaan istirahat glutamat akan mengaktivasi reseptor ionotropik α-amino-3-
hidroksi-5-metil-4-isoksazol propionat (AMPA), reseptor kainat, dan reseptor
metabotropik glutamat (mGluRs), sedangkan reseptor NMDA diblok oleh ion
magnesium sehingga mencegah masuknya ion natrium dan kalsium yang akan
terjadi saat glutamat berikatan dengan reseptor NMDA tersebut. Aktivasi
pascasinap yang berulang akan menyebabkan sumasi potensial sinaptik dan
depolarisasi membran yang progresif. Hal ini menyebabkan reseptor NMDA
terbebas dari blok ion magnesium yang selanjutnya menyebabkan infl uks
kation-kation ke dalam sel dan depolarisasi membran makin progresif.13
Neuralgia pascaherpetika juga dapat terjadi akibat proses deaferenisasi,
yakni hilangnya serabut saraf aferen sensoris baik yang berdiameter besar

5
maupun kecil. Lesi pada serabut saraf perifer maupun sentral dapat memacu
terjadinya remodeling dan hipereksitabilitas membran sel. Lesi yang masih
terhubung dengan badan sel akan membentuk tunas-tunas baru. Tunastunas baru
ini ada yang mencapai organ target, sedangkan yang tidak mencapai organ target
akan membentuk neuroma, di neuroma ini akan terakumulasi berbagai kanal ion,
terutama kanal ion natrium, molekul-molekul transduser dan reseptor-reseptor
baru, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya letupan ektopik,
mekanosensitivitas abnormal, sensitivitas terhadap suhu dan kimia. Letupan
ektopik dan sensitisasi berbagai reseptor akan menyebabkan timbulnya nyeri
spontan dan nyeri yang diprovokasi. Letupan spontan pada neuron sentral yang
terdeaferenisasi akan menyebabkan terjadinya nyeri konstan pada area
tersebut.2,12

Gambar 1. Sensitisasi dan Deaferensiasi12

2.5. Manifestasi Klinis


Neuralgia paska herpetika sering mengenai dermatom regio torakal
diikuti divisi oftalmik pada regio trigeminal, regio saraf kranial lainnya dan regio
servikal kemudian dermatom lumbar dan sakral (lihat tabel 1).
Tabel 1. Distribusi Dermatomal Herpes Zoster pada Pasien Imunokompeten13
Regio Jumlah kasus
Torakal >50% dari semua kasus

6
Kranial 10-20%
Servikal 10-20%
Lumbar 10-20%
Sakral 2-8%
Generalisata <1%
Pasien NPH biasanya mengeluh nyeri yang bersifat spontan
(dideskripsikan sebagai rasa terbakar, aching, throbbing), nyeri yang intermiten
(nyeri seperti ditusuk, ditembak) dan/atau nyeri yang dibangkitkan oleh stimulus
seperti alodinia. Alodinia (nyeri yang dibangkitkan oleh stimulus yang secara
normal tidak menimbulkan nyeri) merupakan nyeri yang terdapat pada hampir
90% pasien NPH. Pasien dengan alodinia dapat menderita nyeri yang hebat
setelah tersentuh baik dengan sentuhan yang paling ringan sekalipun seperti
angin sepoi-sepoi ataupun selembar pakaian. Biasanya alodinia terjadi jelas di
daerah yang masih mempunyai sensasi, sedangkan nyeri spontan terjadi terutama
di daerah yang sensasinya terganggu atau hilang. Hampir seluruh pasien
memiliki sensasi abnormal pada raba halus, suhu, dan getar pada dermatom yang
terkena. Pasien juga sering mengalami disestesia, hiperalgesia, anestesia dan
parestesia yang kontinyu.5,16,17
Nyeri seperti ini dapat menimbulkan gangguan tidur, depresi, anoreksia,
penurunan berat badan, kelelahan kronis dan mengganggu aktivitas sehari-hari
seperti berpakaian, mandi, belanja, memasak, pekerjaan rumah dan dalam
melakukan perjalanan.5

2.6. Diagnosis
Diagnosis NPH merupakan diagnosis klinis. Adanya riwayat HZ diikuti
nyeri yang menetap dikaitkan dengan dermatom yang terkena atau daerah yang
berdekatan merupakan ciri khas NPH. Namun pada beberapa kasus tidak terdapat
riwayat erupsi HZ. Pada kasus seperti ini diagnosis definitif berdasarkan
pemeriksaan serologik serial yang kadang-kadang dapat dimungkinkan praktik
klinis. Uji diagnostik ini berguna dalam penelitian yang dapat membantu dalam
penetapan protokol terapi. Uji diagnostik ini meliputi uji sensoris kuantitatif,

7
biopsi kulit dan uji konduksi saraf.16 Langkah diagnosis NPH dapat dilihat pada
tabel berikut :18
Tabel 2. Langkah-langkah Diagnosis NPH
Langkah Catatan Pendukung Diagnosis
Anamnesis - Tanyakan sumber nyeri pasien
- Nyeri biasanya menyebar unilateral, bersifat gatal,
terbakar, tajam, atau ditusuk
- Nyeri cukup berat hingga mengganggu aktivitas
- Nyeri mengikuti episode herpes zoster akut
Pemeriksaan Fisik - Terdapat bekas luka dari lokasi infeksi herpes
zoster sebelumnya
- Allodynia ditemukan di lokasi nyeri
- Perubahan autonom dapat terjadi di area yang
terkena, seperti berkeringat.
Laboratorium - Diagnosis NPH tidak terlalu bergantung pada
pemeriksaan laboratorium
- Kultur virus atau pewarnaan immunofloresense
dapat membedakan virus herpes zoster atau herpes
simpleks
- Ditemukan antibodi herpes zoster dapat
mendukung diagnosis infeksi herpes zoster
subklinis.
- Pemeriksaan lain yang mendukung diagnosis yaitu
pewarnaan immunoperoksidase, histopatologi, dan
Tzanck tes

2.7. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Terdapat beberapa pilihan untuk penatalaksanaan neuralgia pasca
herpetika. Obat yang sering digunakan adalah antikonvulsan gabapentin dan
pregabalin. Gabapentin dan pregabalin bekerja di subunit α2δ yang terdapat

8
pada kanal kalsium untuk menurunkan influks kalsium, sehingga
menginhibisi keluarnya neurotransmiter eksitatorik termasuk glutamat yang
merupakan neurotransmiter utama yang memelihara sensitisasi sentral. Dosis
awal gabapentin 300 mg pada hari pertama, 2 x 300 mg pada hari ke dua, 3 x
300 mg pada hari ke tiga. Titrasi lalu diperlambat sampai mencapai 3 x 600
mg dalam 2 minggu. Dosisnya harus dibagi 3-4 kali sehari karena waktu
paruhnya pendek. Dosis pregabalin 150-600 mg perhari, dibagi 2 dosis.
Gabapentin dan pregabalin akan mengurangi nyeri sehingga akan
memperbaiki tidur, mood, dan kualitas hidup. Pregabalin sendiri memiliki
efek antiansietas. Kedua obat ini memiliki insiden efek samping yang
rendah, dan biasanya bersifat ringan sehingga sering disarankan sebagai obat
lini pertama. Efek samping yang dapat dialami pasien antara lain somnolen,
pusing, edema perifer, dan gangguan keseimbangan.2,12,14
Selain gabapentin dan pregabalin, dapat juga digunakan antidepresan
trisiklik yang bekerja menginhibisi ambilan kembali norepinefrin dan
serotonin, memblok kanal natrium, kalsium, dan reseptor NMDA.
Amitriptilin diindikasikan untuk pasien neuralgia pascaherpetika yang
mengalami insomnia karena obat ini memiliki efek sedasi. Pemberian
antidepresan trisiklik harus lebih hati-hati pada pasien dengan kelainan
jantung karena dapat menyebabkan takiaritmia dan perpanjangan interval
QT, sehingga harus dilakukan pemeriksaan gelombang EKG dasar sebelum
pengobatan. Selain efek samping pada jantung, obat golongan ini dapat
menyebabkan mulut kering, pusing, peningkatan berat badan, sedasi,
konstipasi, retensi urin, impotensi, dan hipotensi ortostatik. Efek samping
dapat dikurangi dengan memulai terapi dengan dosis rendah, titrasi lambat,
dan diberikan pada malam hari. Dosisnya dapat dimulai dengan 10-20 mg
pada malam hari dititrasi sampai 75- 100 mg/ hari, sekali sehari. Selain
amitriptilin, obat golongan antidepresan trisiklik lain yang dapat digunakan
antara lain desipramin dan nortriptilin.2,14
Opioid hanya diindikasikan pada pasien dengan nyeri sangat berat,

9
sebagai terapi lini ke dua atau ke tiga. Opioid dapat mengurangi alodinia dan
nyeri spontan. Namun obat golongan ini memiliki efek samping konstipasi,
mual, muntah, sedasi, ketergantungan, serta risiko penyalahgunaan obat dan
dapat terjadi toleransi. Sediaan yang dapat diberikan antara lain oksikodon,
morfin (rata-rata 91 mg/hari) atau metadon (rata-rata 15 mg/hari). Pada
penggunaan opioid jangka panjang, diperlukan pemantauan supresi imunitas
serta hipogonadisme yang mungkin terjadi.2,14 Rekomendasi penggunaan
opioid adalah sebagai berikut. Berikan dosis efektif sekecil mungkin,
dimulai dengan opioid kerja singkat, misalnya 5-10 mg oksikodon atau 10-
15 mg morfin setiap 4 jam. Jika pasien telah menunjukkan toleransi terhadap
terapi inisial ini, konversi terapi ke opioid kerja panjang. Jika tidak
memuaskan, terapi opioid harus dikurangi secara bertahap sampai akhirnya
berhenti sama sekali untuk menghindari terjadinya withdrawal symptoms.2
Obat lain adalah tramadol yang memiliki efek agonis pada reseptor μ dan
menginhibisi ambilan kembali serotonin dan norepinefrin. Tramadol
diberikan dengan dosis 50-100 mg tiap 4 jam, tidak lebih dari 400 mg per
hari. Dosis harus dikurangi pada pasien usia lanjut dan pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Efek sampingnya antara lain mual, muntah,
konstipasi, retensi urin, somnolen, nyeri kepala, dan pusing.2
Selain obat oral, dapat juga menggunakan terapi topikal. Keuntungan
pemakaian topikal adalah efek sistemik minimal karena absorpsi sistemik
yang minimal. Terapi topikal misalnya lidokain patch 5% yang efeknya
dapat terlihat mulai 2-3 minggu setelah pemakaian dimulai. Tiga buah patch
dapat digunakan dalam satu waktu pemberian. Caranya adalah 12 jam
digunakan, kemudian dilepaskan selama 12 jam. Lidokain topikal yang
dikombinasikan dengan gabapentin terbukti lebih efektif daripada pemberian
2 agen tersebut secara terpisah. Krim kapsaisin 0,025 dan 0.075% dapat
digunakan 3-4 kali sehari, namun harus diberitahu kepada pasien bahwa
akan terasa sensasi terbakar pada awal pemakaian.2,14
Selain modalitas terapi oral dan topikal, dapat digunakan juga terapi

10
invasif seperti blok saraf simpatis, penyuntikan metilprednisolon intratekal
dan epidural, serta stimulasi medula spinalis.2

Gambar 2. Mekanisme Pengobatan NPH15


b. Pencegahan
Pencegahan neuralgia pascaherpetika dapat diusahakan dengan
kombinasi agen antiviral dan usaha agresif mengurangi nyeri akut pada pasien
herpes zoster. Kombinasi ini diharapkan akan mengurangi kerusakan saraf dan
nyeri akut. Terapi antiviral harus dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan,
dan lebih baik jika dimulai pada tiga atau empat hari pertama. Terapi antiviral
diharapkan dapat menghentikan replikasi virus, sehingga durasi penyakit akan
lebih singkat, dan menurunkan kejadian neuralgia pascaherpetika. Antiviral
yang dapat digunakan adalah asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir.
Asiklovir diberikan dengan dosis anjuran 5x800 mg/hari selama 7-10 hari
diberikan pada 3 hari pertama lesi muncul. Terapi analgetika akan mengurangi
nyeri yang merupakan faktor risiko utama neuralgia pasca herpetika.12
Selain itu, telah dikembangkan vaksin pencegahan herpes zoster yang
direkomendasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
bagi mereka yang berusia 60 tahun atau lebih. Dalam penelitian klinis yang

11
melibatkan ribuan lansia berusia 60 tahun atau lebih, vaksin ini mengurangi
risiko herpes zoster sebesar 51% dan risiko neuralgia pascaherpetika sebesar
67%. Efek proteksi vaksin ini dilaporkan dapat mencapai 6 tahun atau bahkan
lebih.19

2.8. Prognosis
Faktor risiko utama untuk terjadinya neuralgia pascaherpetika antara
lain usia tua, lesi kulit yang hebat, nyeri akut yang berat, dan nyeri prodromal
pada dermatom sebelum munculnya ruam. Kurang lebih 20% pasien berusia
lebih dari 50 tahun mengalami nyeri sampai 6 bulan sejak awitan ruam kulit
walaupun telah mendapatkan terapi antiviral. Pada orangtua terjadi polineuropati
subklinis sehingga hanya dibutuhkan jumlah virus yang lebih sedikit untuk
menyebabkan neuralgia pasca herpetika dibandingkan pada pasien muda.2
Neuralgia pascaherpetika jarang terjadi pada pasien di bawah usia < 50
tahun dengan herpes zoster. Insidensi, durasi, dan tingkat keparahan NPH
meningkat seiring dengan usia, akan tetapi semakin tua usia pasien maka nyeri
yang dirasa biasanya nyeri ringan. Sebagian besar kasus NPH sembuh sendiri
dalam 3 bulan. Bahkan pada kelompok risiko tinggi, pasien berusia > 70 tahun,
25% di antaranya mengalami nyeri selama 3 bulan, dan hanya 10% yang
menetap hingga 1 tahun dan tidak ada yang mengalami nyeri yang berat. Pada
beberapa kasus, nyeri dapat menetap hingga bertahun-tahun.20

BAB III
KESIMPULAN

1. Neuralgia pascaherpetika (NPH) didefinisikan sebagai nyeri yang terus

12
berlangsung selama 3 bulan setelah lesi herpes zoster sembuh, atau nyeri yang
terus berlangsung selama 120 hari sejak timbulnya lesi herpes zoster.
2. Neuralgia pascaherpetika disebabkan oleh kerusakan neuron perifer dan sentral,
yang diakibatkan oleh respon imun dari reaktivasi virus varicella zoster.
3. Neuralgia pascaherpetika termasuk nyeri neuropatik, yakni nyeri yang
disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi primer pada sistem saraf perifer dan
pusat.
4. Pasien NPH biasanya mengeluh nyeri yang bersifat spontan (dideskripsikan
sebagai rasa terbakar, aching, throbbing), nyeri yang intermiten (nyeri seperti
ditusuk, ditembak) dan/atau nyeri yang dibangkitkan oleh stimulus seperti
alodinia.
5. Obat-obatan yang sering digunakan pada kasus NPH adalah gabapentin atau
pregabalin, antidepresan trisiklik (amitriptilin), dan opioid jika nyeri sangat berat.
Obat topikal, injeksi untuk blok saraf simpatis, injeksi intratekal dan epidural
juga dapat menjadi pilihan terapi.
6. Pencegahan neuralgia pascaherpetika dapat diusahakan dengan kombinasi agen
antiviral dan usaha agresif mengurangi nyeri akut pada pasien herpes zoster.
7. Insidensi, durasi, dan tingkat keparahan NPH meningkat seiring dengan usia.
Sebagian besar kasus NPH sembuh sendiri dalam 3 bulan. Pada beberapa kasus,
nyeri dapat menetap hingga bertahun-tahun.

DAFTAR PUSTAKA

1. HD Pusponegoro, Nilasari H, et al. Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia


Tahun 2014. Badan Penerbit FKUI. 2014.
2. Thakur R, Kent JL, Dworkin RH. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia. in:

13
Fishman SM, Ballantyne JC, Rathmell JP, eds. Bonica’s Management of Pain. 4
ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010; p. 348-55.
3. Scadding JW, Koltzenburg M. Painful Peripheral Neuropathies. in: McMahon
SB, Koltzenburg M, eds. Wall and Melzack’s Textbook of Pain. 5 ed.
Philadelphia: Elsevier, 2006; p. 992-4
4. Weaver DA. The burden of herpes zoster and postherpetic neuralgia in the
United States. J Am Osteopath Assoc 2007;107(supll 1):S2-S7
5. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and herpes zoster Dalam:
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ
penyunting. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. 7nded. New
York: Mc Graw-Hill;2008. hlm.1885-98
6. Martin K, Norberta, Matheus T. Varicella Zoster pada Anak. Fakultas
Kedokteran, Universitas Pelita Harapan Departemen Patologi Klinik,
Universitas Pelita Harapan Departemen Anak, Univeritas Pelita Harapan.
Jakarta. 2013
7. Pusponegoro EHD. Neuralgia paska herpes. Dalam: Daili SF, Makes WIB,
penyunting. Infeksi virus herpes. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2002.hlm 208-21

8. Sumaryo, S. 2011. Prevention and Treatment of Post Herpetic Neuralgia to be


Treavelling. Semarang : SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi Semarang.

9. Searle, M., Snodgrass B., Brant JM. 2016. Postherpetic neuralgia: epidemiology,
pathophysiology, and pain management pharmacology. J Multidiscip Healthc. 9 :
447-454.
10. Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of
Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada: Elsevier.
p654-674.
11. Ropper AH, Samuels MA. Adams and Victor’s Principles of Neurology. Ed. 7.
USA: McGraw-Hill Co, 2009; p. 125-6

14
12. Meliala L, Suryamiharja A, Wirawan RB, Sadeli HA, Amir D. Nyeri Neuropatik.
ed. 2. Yogyakarta: Medikagama Press, 2008; p. 1-75.
13. Scholz J, Woolf CJ. Mechanisms of Neuropathic Pain. Dalam: Pappagallo M, ed.
The Neurological Basis of Pain. USA: McGraw-Hill Companies, 2005; p. 84-5
14. Cruciani R, Jabati S. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia. Dalam: Johnson
RT, Grifn JW, McArthur JC. eds. Current Therapy in Neurologic Disease.
Philadelphia: Mosby Inc, 2006; p.83-6
15. Clinical Manifestations and Treatment Options for Diabetic Neuropathies:
Treatment [internet]. 2007 http://www.medscape.com/viewarticle/565795_4.
Diakses pada 12 Agustus 2020.
16. Philip A, Thakur R. Post herpetic neuralgia. J Pall Med 2011;14(6):765-73.
17. Pusponegoro EHD. Neuralgia paska herpes. Dalam: Daili SF, Makes WIB,
penyunting. Infeksi virus herpes. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2002.hlm 208-21
18. Nalamachu S., Patricia MF. 2012. Diagnosing and Managing Postherpetic
Neuralgia. Drugs Aging. 29 (11) : 863-869.
19. Vaccines and Preventable Diseases: Shingles Vaccination: What You Need to
Know [internet]. http://www.cdc.gov/vaccines/vpd-vac/shingles/vacc-need-
know.htm. Diakses pada 12 Agustus 2020.
20. Meadwos, S. 2003. What is the prognosis of postherpetic neuralgia? J Fam
Pract. 52 (6) : 485-497.

15

Anda mungkin juga menyukai