Anda di halaman 1dari 14

PEMIKIRAN POLITIK AL-FARABI

Makalah
Dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Pemikiran Politik Islam

Disusun Oleh:
Kelompok 9

Fajar Saris Hendarsah 11191130000004

Aulia Noor Syahida 11191130000023

Dosen Pengampu: Dr. Sirojuddin Aly, M. A.


ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan
dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Politik Islam yang
berjudul “Pemikiran Politik Al-Farabi”. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Sirojuddin Aly, M. A., selaku dosen mata
kuliah Pemikiran Politik Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami meminta
maaf atas kekurangan dari makalah ini.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II: PEMBAHASAN


A. Integrasi Politik dengan Akhlak dan Logika
B. Pengkategorian Masyarakat
C. Klasifikasi Model Negara

BAB III: PENUTUP


A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nashar Muhammad bin Muhammad bin Thurkhan bin Unzalag atau yang lebih dikenal
sebagai al-Farabi dilahirkan di Turki dari seorang ayah berketurunan Turki dan ibu
berketurunan Persia (Iran). Tepatnya ia dilahirkan di kota Wasij, wilayah Farab, termasuk
wilayah Turkistan pada tahun 257 H/870 M dan wafat pada tahun 339 H/950 M.1
Sebagai seorang Ilmuan, al-Farabi dari segi pamor jauh lebih terkenal (masyhur)
dibandingkan dengan Ibnu Abi Rabi. Al-Farabi tergolong tokoh Filsafat terkemuka di Dunia
Islam (Kana akbaru Falasifah al-Muslimin `alal ithlaqhaytsu ansya`a mazhaban falsafiyan
kaamilan). Karya-karya al-Farabi sangat beragam dan banyak sekali. Setidaknya ada delapan
belas (18) buku (kitab) yang ditulisnya. Tiga buku diantaranya berkaitan dengan pandangan-
pandangannya tentang teori politik, yaitu:
1. Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Pandangan Penduduk Negara Ideal).
2. Tahsil al-Sa’adah (Mencapai Kebahagiaan atau Kesejahteraan).
3. Al-Siyasah al-Madaniyah (Politik Orang-Orang Peradaban).2
Al-Farabi hidup di masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang pada saat itu latar belakang
situasi dan kondisi politiknya sangat kacau dan tidak kondusif. Hal tersebut terjadi karena
banyaknya goncangan sebagai akibat dari berbagai gejolak, gesekan, konflik, dan
pemberontakan; suatu periode pemerintahan yang paling buruk dalam sepanjang sejarah
pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Situasi ini berdampak pada tidak adanya stabilitas politik
dalam kehidupan masyarakat dan penduduk wilayah kekuasaan pemerintah Dinasti
Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Mu’tamid hingga Khalifah al-
Mu’thi.3
Secara rinci dapat disampaikan hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya goncangan-
goncangan ini sebagai berikut:

Pertama: Masalah kehidupan keagamaan (diniyyah), masalah ras, etnik (syu’ubiyah), budaya
(tsaqafiyyah), dan lain-lain.
1
Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 245.
2
Ibid. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 49.
3
Muhammad Jalal Syaraf, et al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 250.
Kedua: Pada periode ini juga bermunculan berbagai gerakan dan konspirasi yang dilakukan
oleh anak-anak mantan para raja dan pemimpin negara dahulu, mereka berusaha
mendapatkan kembali wilayah dan kekuasaan yang pernah dikuasai oleh nenek moyang
mereka dahulu, khususnya di wilayah Persia (Iran) dan Turki. Mereka berupaya dengan
berbagai cara untuk melemahkan pusat pemerintahan yang berada di tangan Khalifah. Upaya
ini dilakukan dengan bekerja sama dengan kelompok Syiah yang sudah lama menentang
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, bahkan pemerintahan Umayyah sebelum ini.
Ketiga: Pada masa hidup al-Farabi muncul juga situasi yang memberikan tekanan pada para
penguasa sebagai implikasi dari menghilangnya Imam terakhir (Ikhtifa al-Imam al-akhir)
dari Imam dua belas kelompok Syiah Imamiyah Itsnay ‘Asyariayah, yaitu Muhammad al-
Mahdi al-Muntazar; seorang Imam ke dua belas dalam pahaman Syiah Imamiyah al-Itsnay
‘asyariyah.

Dari berbagai peristiwa dan situasi politik yang penuh gejolak sebagaimana disebutkan
diatas, Munawir Sjadzali menegaskan bahwa al-Farabi kemudian gemar berkhalwat atau
mengisolir diri dan merenung, ia merasa terpanggil untuk mencari pola kehidupan bernegara
dan bentuk pemerintahan yang ideal4 seolah-olah al-Farabi tidak peduli dengan hiruk-pikuk
perpolitikan yang tengah terjadi saat itu. Meskipun begitu, al-Farabi tetap mengamati apa
yang terjadi di sekelilingnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran politik gagasan al-Farabi yang terkait dengan integrasi politik
dengan akhlak dan etika?
2. Apa saja kategori masyarakat yang diklasifikasikan oleh al-Farabi?
3. Bagaimana klasifikasi model negara menurut al-Farabi?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat memahami dan
menjelaskan pemikiran politik yang digagas oleh al-Farabi, diantaranya yang terkait dengan
integrasi politik dengan akhlak dan etika, pengkategorian masyarakat, dan klasifikasi model
negara.

4
Lihat di Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 50.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Integrasi Politik dengan Akhlak dan Logika


Pada dasarnya setiap manusia memiliki masalah dalam hidupnnya. Dia tidak bisa
menghindar dari masalah. Dengan masalah manusia bisa mencapai kebahagiaan, apabila dia
tepat dalam menyikapi masalah tersebut. Sebaliknya apabila manusia salah dalam
menghadapi dan menyikapi masalah, ia peru mendayagunkan potensi piker yang dimilikinya.
Ilmu yang mempelajari cara atau Teknik berpikir disebut logika ( mantik). Bagi oang yang
berkecimpung dalam dunia Pendidikan mempelajari logika merupakan suatu kebutuhan.
Logika itu mengutamakan Teknik berpikir. “ logika adalah filsafat tentang pikiran yang
benar dan yang salah”.
“ilmu mantik bagi pikiran, adalah sebagai ilmu nahwu bagi lisan, artinya ilmu mnatik
digunakan sebagai alat berpikir ( memikirkan sesuatu ) jangan sampai cara berpikir itu keliru,
disamping digunakan untuk menguak tabir/penutupnnya pengertian yang rumit-rumit.
1. Asal-usul Logika (mantik ) dan perkembangannya
Logika berasal dari Bahasa Yunani yaitu logos yang berarti perkataan sebagai
manipestasi dari pikiran manusia. Dengan demikian terdapatlah suatu jalinan yang kuat
antara pikiran dan kata yang dimanipestasikan dalam Bahasa. Secara etimologis dapatlah
diartikan bahwa logika itu adalah ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam
Bahasa.
Kalua kita berkaca lebih jauh lagi logika itu merupakan hasil karya ahli-ahli filsafat
Yunani kuno sejak abad kelima sebelum masehi. Peletak pertamanya Socrates. Kemudian
dilanjutkan oleh plato dan dilengkapi lagi oleh Aristoteles, yang Menyusun ilmu ini
dengan pembahasan-pembahasan yang teratur dan dibuat dari ilmu falsafah. Dengan
demikian maka Aristoteles diberi gelar pertama dari ilmu pengetahuan. Ilmu ini sejak
dari Aristoteles tidak ada tambahan apa-apa. Baru setelah lahir ahli-ahli filsafat di abad
pertengahan, disitulah banyak tambahan dalam persoalan-persoalan, apalagi pembahasan
mengenai lafadhnya banyak di tambah oleh ahli-ahli filsafat islam.
Kalua Aristoteles diberi galar guru pertama ilmu pengetahuan, maka galar keduanya
adalah Al Farabi. Hal ini karena Al Farabi berhasil memperbaharui pembahasan ilmu
mantik, dimana ilmu mantik dulu hanya merupakan teori-teori belaka, tetapi sejak Al
Farabi kemudian dimulainya ilmu mantik ini diperlajaari secara amali ( praktek, dalam
arti tiap-tiap qodhiyah di uji kebenarannya ).
Ibnu sina pernah mempelajari buku metafisika karangan Aristoteles lebih dari 40 kali,
tetapi belum juga mengerti maksudnya. Setelah ia membaca buku Al Farabi yang
berjudul Intisari Buku Metafisika, baru ia mengerti apa yang selama ini dirasakan sukar.
Al Farabi memberi perhatian khusus terhadap logika.
 Definisi logika: logika ialah ilmu tentang pedoman ( peraturan ) yang dapat
menegakan pikiran dan menunjukan kepada kebenaran dalam lapangan yang tidak
bisa dijamin kebenarannya.
 Guna logika: maksud logika ialah agar kita dapat membetulkan pikiran orang lain,
atau agar orang lain dapat membenarkan pemikiran kita, atau kita dapat
membetulkan pemikiran kita sendiri.
 Lapangan logika: lapangannya ialah segala macam pikiran yang bisa diutarakan
dengan kata-kata, dan juga segala macam kata-kata dalam kedudukannya sebagai
alat menyatakan pikiran.
 Bagian-bagian logika: bagian-bagainnya ada delapan, yaitu 1. Categori (al
maqullat al’asyr) : 2. Kata-kata (al barah ;terms ); 3. Analogi pertama ( al qiyas );
4. Analogi kedua ( al Burhan ); 5 jadal ( debat ); 6. Sofistika; 7. Retorika dan 8.
Putika ( syair).

Menurut Al Farabi umat islam sendiri harus di ajarkan bagaimana cara berpikir yang benar,
supaya bisa bertindak dengan semestinya, berpikir logikka adalah salah satunya untuk kita
menjauhkan dari konflik. Seorang pemimpin juga menurut Al Farabi harus bisa berpikir secara
logika. Kalua dalam hal guna logika: maksud logika ialah agar kita dapat membetulkan
pemikiran orang lain, atau agar orang lain dapat membenarkan pemikiran kita, atau kita dapat
membetulkan pemikiran diri kita sendiri.

Dengan demikian jelas bahwa apabila kita menguasai logika, kita bisa menilai atau mengukur
hasil pemikiran kita Dan orang lain apakah benar atau salah. Apabila benar itu yang diaharapkan
dan apabila salah harus segera dan siap dibetulkan. Sebab apabila pemikiran yang salah
dibiarkan bisa menimbulkan kesalahpahaman dan mencelakakan atau menyesatkan. Dalam hal
ini seorang pemimpin harus berpikir secara logika karena menentukan kebijakan politik dan
jalanya pemerintah.

Etika dalam pandangan Al Farabi

Diskusi tentang etika adalah salah satu pembicaraan paling tua sepanjang sejarah. Ini
terutama diawali oleh para filsuf yang tertarik pada eksistensi manusia, yang di dalamnya
disinggung tentang tingkah laku manusia. Diketahui bahwa etika mulai didiskusikan pertama kali
oleh murid-murid Phytagoras ( 570-496 SM ) yang mempersoalkan tentang metode penyucian
diri sebagai norma etis dalam mengatur tingkah laku sehari-hari. Kemudian dilanjutkan oleh
demokritus ( 460-371 SM ) Dan kalangan kaum sofis (abad ke-5 SM), serta dalam tulisan-tulisan
serius yang dihasilkan oleh plato ( 427-347 SM) dan Aristoteles ( 384-322 SM), Adapun
Sokrates yang menulis, “kita sedang membicarakan masalah yang tidak kecil, yakni mengenai
bagaimana kita harus hidup.

Jiks melihat dalam Islam sendiri, etika sesungguhnya pembicaraan yang menjadi esensi dari
ajaran agama. Bahkan sejak awal kehadiran Islam di dunia, ajaran yang sangat ditekankan dan
menjadi fondasi bagi Islam itu sendiri adalah etika. Al-Qur’an menyebutkan dalam QS. Al-
Qalam: 4 yang artinya : dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang lubur, dan
dalam hadits yang masyhur disebutkan sesungguhnya aku ( Muhammad ) diutus untuk
menyempurnakan akhlak. Dalam hal ini tampak etika tidak hanya menjadi persoalan pokok
dalam agama, tetapi juga kehidupan manusia secara universal. Etika mengharuskan manusia
memilih jalan hidup dan caranya bertindak agar ia bisa mencapai kebahagiaan. Tentu, memilih
jalan hidup dan mempertimbangkan cara bertinndak yang baik dan benar adalah bagian dari
moral. Konsep moral sendiri berlandaskan pada etika.

Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-kindi, tetapi kompetensi, kreativitas, kebebasan
berpikir dan tingkat sofistikasinya lebih tinggi lagi. Jika al kindi dipandang sebagai seorang filsuf
Muslim dalam arti kata yang sebenernya, maka al-farabi disepakati sebagai peletak
sesungguhnya dasar piramida studi filsafat dalam islam yang sejak irtu terus dibangun dengan
tekun. Ia termashyur karena telah memperknelkan doktrin “harmonisasi pendapat Plato dan
Aristoteles “ lewat risalahnya al-jam’u baina Ra’yay al-Hakimaini Aflathun wa Aristhu ini
sangat dipengaruhi oleh pandangan plato ( Republic ) dan Aristoteles ( Nicomachean Ethics )
tentang kebaikan manusia ( human good ). Bahkan sejumlah kalangan menyebutnya sebagai the
second master atau maha guru kedua setelah Aristoteles .

Al Farabi menulis al-madinah al-fadhilah dan Takhshil al-Sa’adah . dengan dua karya tersebut,
virtues ( eudomonia ) menjadi state of mind bagi umat manusia untuk melakukan Tindakan
kebaikan. Pada saat yang sama, usaha-usaha untuk membentuk jati diri individu dan masyarakat
yang memiliki basis etika yang baik harus dijalankan oleh system sosial ( pemerintah ) yang juga
baik. Oleh karena itu, al Farabi lebih memposisikan gagasan-gagasan etika dalam pemikirannya
ke konsep besar politik di satu sisi dan konnsep metafisika disisi lain.

Dengan prinsip demikian, membagi keutamaan ( yang harus dibangun dan disadari oleh
setiap manusia ke dalam empat macam: keutamaan teoritis ( al-fadhl al-nazhraiyyah ),
keutamaan epistemik (al-fadhail al-fikriyyah ), keutamaan kosmis ( al-fadhail al khalqiyyah) dan
keutamaan praksi ( al-fadhail al-amaliyahh).

Sebagai seorang tokoh awal yang serius dalam bidang filsafat, konsep etika yang
ditawarkan al-Farabi menjadi salah satu hal penting dalam karya-karyanya, yang berkaitan erat
dengan pembicaraan tentang jiwa dan politik. Begitu juga erat dengan pembicaraan tentang jiwa
dan politik. Begitu juga erat kaitannya dengan persoalan etika ini adalah persoalan kebahagiaan
ini baik secara teoritis tentang kebahagiaan.

B. Pengkategorian Masyarakat
Al-Farabi berpendapat bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup
berkumpul dan bermasyarakat. Kecenderungan ini menurutnya adalah fitrah atau alami, yaitu
karakter dasar yang harus ada pada manusia. 5 Hal ini karena manusia tidak akan mencapai
kesempurnaan hidupnya jika dalam keadaan sendirian. Dalam keadaan ini, Al-Farabi
menegaskan bahwa manusia secara individu tidak mungkin mencapai kesempurnaan hidup
tanpa bantuan orang lain (orang banyak) karena secara fitrah setiap manusia selalu
berinteraksi dengan manusia lain untuk mendapatkan apa yang menjadi kemestiannya. Oleh
karena itu, manusia selalu hidup berdampingan dan menetap di suatu tempat. Hal itulah yang
5
Muhammad Jalal Syaraf, et. al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 250.
menyebabkan manusia disebut sebagai makhluk sosial (hayawanun ijtimaiyyun).6 Apa yang
disampaikan al-Farabi bahwa manusia adalah makhluk sosial atau secara karakteristiknya
adalah makhluk berperadaban (madaniyyun). Pandangan ini sama seperti yang disampaikan
oleh Plato dan Aristoteles di alam pemikiran Yunani, begitu pula yang disampaikan Ibnu Abi
Rabi’ di dunia Islam.7 Atas dasar kecenderungan manusia untuk berkomunikasi, berkumpul,
bermasyarakat, dan bertempat tinggal di suatu tempat, maka dengan sendirinya akan muncul
seorang pemimpin (bersama dengan para pembantunya).
Dalam hubungan ini, perlu diperhatikan bahwa tujuan mulia manusia dalam pandangan
al-Farabi bukan hanya sebatas untuk bermasyarakat, tetapi lebih dari itu adalah untuk
menghasilkan kesempurnaan hidup. Dari kesempurnaan hidup ini akan diperoleh
kesejahteraan dan kebahagiaan yang bukan hanya sebatas di dunia saja, tetapi juga di akhirat
nanti.
Selanjutnya al-Farabi mengklasifikasikan masyarakat ke dalam beberapa kategori, yaitu
masyarakat sempurna dan masyarakat tidak sempurna.
1) Masyarakat Sempurna
Masyarakat sempurna terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
a) Masyarakat Sempurna Besar
Masyarakat sempurna besar adalah bentuk masyarakat yang terdiri dari berbagai
bangsa dan bertempat tinggal di berbagai wilayah dan mengadakan persatuan serta
sepakat untuk membentuk gabungan atau organisasi besar yang saling membantu
serta bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama. Dalam kerangka pikir al-
Farabi, masyarakat sempurna besar adalah bentuk masyarakat perserikatan bangsa-
bangsa.
b) Masyarakat Sempurna Sedang
Masyarakat sempurna sedang adalah bentuk masyarakat yang terdiri dari satu
bangsa yang menghuni di satu wilayah. Dalam kerangka pemikiran al-Farabi,
masyarakat sempurna sedang adalah masyarakat dalam bentuk negara nasional.
c) Masyarakat Sempurna Kecil

6
Muhammad Jalal Syaraf, et. Al, al-Fikr al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 255.
Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 50-51.
7
Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam, h. 255.
Masyarakat sempurna kecil menurut pandangan al-Farabi adalah bentuk
masyarakat yang terdiri dari para penghuni yang menduduki satu kota, atau
masyarakat sempurna kecil adalah bentuk negara kota.
2) Masyarakat Tidak Sempurna
Masyarakat tidak sempurna (belum sempurna) menurut al-Farabi adalah kehidupan
masyarakat yang berada di tingkat desa, kampung, lorong (gang), dan keluarga. Diantara
beberapa masyarakat tidak sempurna tersebut adalah kehidupan sosial di dalam rumah
atau keluarga, dan ini merupakan kehidupan masyarakat yang paling tidak sempurna.
Selanjutnya, al-Farabi berbicara tentang pembagian masyarakat ini secara hierarkis dan
administratif, yaitu bahwa keluarga sebagai bagian dari masyarakat lorong (gang).
Masyarakat lorong sebagai bagian dari masyarakat kampung. Masyarakat kampung atau
desa sebagai bagian dari masyarakat negara kota. Oleh karena itu, menurut al-Farabi
terbentuknya masyarakat kampung dan desa diperlukan oleh negara kota. Hanya saja,
masyarakat kampung dalam pemikiran al-Farabi merupakan bagian dari negara kota,
sementara masyarakat desa dalam hubungannya dengan negara kota sebagai pelengkap
untuk memberikan pelayanan pada keperluan negara kota.8
C. Klasifikasi Model Negara
Al-Farabi tidak mempersoalkan bentuk negara seperti apa, apakah monarchi atau
khilafah. Bentuk negara yang berjalan pada masa hidup al-Farabi adalah bentuk monarchi,
yang dipimpin oleh kepala negara yang dapat disebut dengan berbagai gelar, seperti
Khalifah, Sulthan, atau Raja. Meskipun demikian, al-Farabi juga berbicara tentang negara
tetapi sebagai suatu kesatuan yang terstruktur di bawah satu koordinasi kepemimpinan yang
dibantu oleh para pembantu setia yang berada pada berbagai tingkatannya dari tingkat atas
sampai bawah. Negara yang dibentuk seperti ini dalam konsepsi al-Farabi disebut sebagai
negara utama (negara ideal).
Menurutnya, negara terbagi ke dalam beberapa kategori, yaitu negara utama (al-Madinah
al-Fadhilah), negara bodoh (al-Madinah al-jahilah), negara fasik (al-Madinah al-fasiqah),
negara sesat (al-Madinah al-dhallah), dan negara rawan konflik, yakni negara yang tidak
stabil dan sering berganti-ganti pemerintahan (al-Madinah al-mutabaddilah).9

8
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 52.
9
Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 264.
Negara utama, Al-Farabi menyebutkan al-Madinah al-Fadhilah adalah sebuah negara
dimana masyarakatnya bersatu padu dan saling bantu-membantu antara sesama mereka
dalam mencapai kebahagiaan (al-sa'adah) dengan sebenar-benarnya.10 Jadi, negara yang
mempunyai rakyat dan memiliki sikap tolong-menolong dalam rangka mencapai
kebahagiaan atau kesejahteraan, maka pada hakikatnya menurut al-Farabi adalah negara
utama (al-Madinah al-Fadhilah).11
Selanjutnya dalam menjelaskan negara ideal (al-Madinah al-Fadhilah), al-Farabi
menganalogikannya dengan tubuh manusia yang utuh dan sehat, dimana semua organ dan
anggota badannya bekerja sama sesuai dengan tugasnya masing-masing. Tubuh manusia
mempunyai sejumlah organ atau anggota badan dengan berbagai fungsi yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya dengan kadar kekuatan dan tingkat kepentingan yang tidak sama
pula.
Demikian pula halnya dengan negara. Menurut al-Farabi, negara mempunyai warga-
warganya dengan skill dan kapabilitas yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.
Di antara mereka terdapat seorang kepala (pemimpin) dengan sejumlah warga yang posisinya
mendekati level kepala, dan masing-masing dari mereka memiliki bakat dan keahlian untuk
melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kebijakan kepala. Di bawah mereka terdapat
sekelompok warga yang tugasnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan untuk membantu warga-
warganya di level pertama tadi, dan kelompok ini berada pada posisi kedua. Kemudian
dibawah mereka terdapat kelompok lain lagi yang bertugas membantu kelas yang diatasnya,
dan seterusnya sampai pada kelas terakhir dan terendah yang terdiri dari warga-warga yang
tugasnya dalam negara itu hanya melayani kelas-kelas yang lain, dan mereka sendiri tidak
dilayani oleh siapapun.12
Berdasarkan apa yang disampaikan al-Farabi tentang konsepsi negara, dapat ditegaskan
bahwa negara merupakan suatu kesatuan di bawah satu koordinasi seorang pemimpin.
Adanya keharusan saling membantu antara sesama mereka sesuai dengan skill dan
kapabilitas yang dimiliki mereka masing-masing. Dari semua organ tubuh manusia ini ada
satu organ yang paling utama dan penting, yaitu hati (al-qalbu). Organ tubuh itulah yang
10
Ibid. h. 263. Lihat juga Idris Zakaria, Teori Politik Al-Farabi dan Masyarakat Melayu, h. 46.
11
Lihat Idris Zakaria, Teori Politik Al-Farabi dan Masyarakat Melayu (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka, 1991), h. 46.
12
Muhammad Jalal Syaraf et al, al-Siyasiy Fiy al-Islam, h. 364-365. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam
dan Tata Negara, h. 53-54.
menurut jalan al-Farabi merupakan penguasa yang mengarahkan organ-organ tubuh yang
lain, sama seperti kepala negara dalam sebuah negara.
Klasifikasi yang kedua adalah lawan dari negara utama, terdapat 4 tingkatan yaitu:
1. Negara bodoh; yaitu negara tidak mengenal kebahagiaan dan kebahagiaan tidak
pernah terlintas dalam hatinya. Jikalau diingatkan mereke tidak akan
mempercayainya. Kebahagiaan menurut meneka hanya sekedar badan sehat, harta
yang cukup sehingga jika tidak memiliki keduanya sebuha kesengsaraan.
2. Negara fasik; negara yang penduduknya menegenal kebahagiaan, Tuhan dan akal
fa'al layaknya negara utama. Namun, tingkah lakunya sama seperti tingkah laku
negara bodoh.
3. Negara sesat; negara yang penduduknya memiliki pemikiran yang salah mengenai
Tuhan dan akal fa'al. Sehingga, kepala negaranya menganggap dirinya menerima
wahyu dan kemudian menipu warganya dengan ucapan dan tingkah lakunya.
4. Negara yang berubah; awalnya mereka penduduk negara utama, namun mereka
terbawa perubahan karena perkembangan zaman dan membawa mereka kepada
kerusakan pikirannya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Aly, Sirojuddin. 2018. Pemikiran Politik Islam: Sejarah, Praktik dan Gagasan. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.

Salsabila, Nabilah. 2019. Konsep Negara Menurut Al-Farabi. https://www.google.com/amp/s/


www.kompasiana.com/amp/alibaaan/5db3ad7b0d82301a3007b652/konsep-negara-menurut-al-
farabi. Diakses pada 17 November 2020 pukul 00:13 WIB.

Anda mungkin juga menyukai