Anda di halaman 1dari 10

Korban Perkosaan dan Permasalahannya

A. Pengertian dan Pola Korban Perkosaan


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta,
pengertian perkosaan dilihat dari etiologi/asal kata yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Perkosa : gagah; paksa; kekerasan; perkasa.
2) Memperkosa : menundukkan dan sebagainya dengan kekerasan; melanggar (menyerang
dsb) dengan kekerasan.
3) Perkosaan : perbuatan memperkosa; penggagahan; paksaan; pelanggaran dengan
kekerasan.
Menurut Soetardjo Wignjo Soebroto yang dimaksud dengan perkosaan adalah suatu
usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang
menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar.1 Menurut Wirdjono Prodjodikoro
mengungkapkan bahwa perkosaan adalah seorang laki-laki yang memaksa seorang
perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia
tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu
Pengertian perkosaan tersebut diatas, menunjukkan bahwa perkosaan merupakan
bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki terhadap perempuan yang berkaitan atau
ditujukan pada pelampiasan nafsu seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya baik secara moral
maupun hukum melanggar norma kesopanan dan norma kesusilaan di masyarakat. Terhadap
hal ini adalah wajar dan bahkan keharusan untuk menjadikan perbuatan perkosaan sebagai
suatu tindak pidana yang diatur bentuk perbuatan dan pemidanannya dalam hukum pidana
materiil yang berlaku.
Ketentuan yang mengatur mengenai bentuk perbuatan dan pemidanaannya tindak
pidana perkosaan atau verkrachting terdapat dalam Pasal 285 KUHP. Dirumuskan dalam
pasal tersebut : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan,
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Resolusi PBB No. 40/43 Tahun 1985 mendefinisikan korban sebagai seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/kerugian psikis maupun ekonomi yang diakibatkan

1
Suparman Marzuki (et.al), Pelecehan Seksual, (Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1997),
hlm. 25.
oleh suatu tindak pidana. Menurut pasal 1 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban,
korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/ kerugian ekonomi
yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Menurut kamus bahasa Umum Bahasa Indonesia,
korban adalah orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan hawa nafsu sendiri atau
orang lain.
Didalam bukunya Arif Gosita diterangkan bahwa yang dimaksud dengan korban
adalah mereka yang menderita jasmaniah maupun rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain
yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan dan hak asasi yang menderita. Mereka disini dapat berarti: individu, atau
kelompok baik swasta maupun pemerintah. Selain itu korban juga diartikan bukan hanya
terbatas pada perseorangan atau kelompok yang mengalaminya secara langsung tetapi juga
menyangkut orang secara tidak lansung seperti keluarga korban yang menjadi tanggunganya.
Menurutnya korban perkosaan adalah seorang wanita, yang dengan kekerasan atau dengan
ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan.2
Khusus untuk korban perkosaan, derita yang dialaminya tidak dapat dibandingkan
dengan korban perampokan, pencurian, atau penjambretan. Korban semacam ini umumnya
terbatas kehilangan harta benda, relative tidak menderita batin dan tekanan social
berkepanjangan. Namun sebaliknya korban perkosaan, mereka kehilangan harga kehormatan,
harga diri yang tidak mungkin bisa diganti, dibeli atau disembuhkan sekalipun mencincang
pelaku hingga mati. Lebih-lebih korban perkosaan adalah anak-anak dibawah umur, mereka
akan mengalami penderitaan yang lebih berat lagi, sebab kekerasan yang dialaminya akan
menjadi trauma yang membayangi perjalanan hidupnya, kalau bertemu dengan kaum laki-
laki, mereka tidak hanya membencinya, tapi juga takut menjalin relasi denganya.
Markom dan Dolan menyebutkan tentang akibat yang lebih parah,“perkosaan adalah
keadaan darurat baik secara psikologis maupun medis. Tujuan dari prosedur ini (penanganan
medis korban kasus perkosaan) termasuk luka-luka fisik, intervensi krisis dengan dukungan
emosional, propylaksis untuk penyakit kelamin dan pengobatan terhadap kemungkinan
terjadinya kehamilan”.
Pendapat di atas secara lebih rinci antara lain sebagai berikut:

2
Arif Gosita, Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan),
(Jakarta, IND.HILL-CO, 1987), hlm. 12.
1) Penderitaan secara psikologis, seperti merasa tidak lagi berharga akibat kehilangan
keperawanan (kesucian) dimata masyarakat, dimata suami, calon suami (tunangan)
atau pihak-pihak lain yang terkait dengannya. Penderitaan psikologis lainnya dapat
berupa kegelisahan, kehilangan rasa percaya diri, tidak lagi ceria, sering menutup diri
atau menjauhi kehidupan ramai, tumbuh rasa benci (antipati) terhadap lawan jenis dan
curiga berlebihan terhadap pihak-pihak lain yang bermaksud baik padanya.
2) Kehamilan yang dimungkinkan dapat terjadi. Hal ini dapat berakibat lebih fatal lagi
bilamana janin yang ada tumbuh menjadi besar (tidak ada keinginan untuk
diabortuskan). Artinya, anak yang dilahirkan akibat perkosaan tidak memiliki
kejelasan statusnya secara yuridis dan norma keagamaan.
3) Penderitaan fisik, artinya akibat perkosaan itu akan menimbulkan luka pada diri
korban. Luka bukan hanya terkait pada alat vital (kelamin perempuan) yang robek,
namun tidak menutup kemungkinan ada organ tubuh lainnya yang luka bilamana
korban lebih dulu melakukan perlawanan dengan keras yang sekaligus mendorong
pelakunya untuk berbuat lebih kasar dan kejam guna menaklukkan perlawanan dari
korban.
4) Tumbuh rasa kekurang-percayaan pada penanganan aparat praktisi hukum, bilamana
kasus yang ditanganinya lebih banyak menyita perhatiannya, sedangkan penanganan
kepada tersangka terkesan kurang sungguh-sungguh. Korban merasa diperlakukan
secara diskriminasi dan dikondisikan makin menderita
5) Korban yang dihadapkan pada situasi sulit seperti tidak lagi merasa berharga dimata
masyarakat, keluarga, suami dan calon suami dapat saja terjerumus dalam dunia
prostitusi. Artinya, tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat pelampiasan diri untuk
membalas dendam pada laki-laki dan mencari penghargaan.3
Perkembangan ilmu viktimologi mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan
posisi korban kejahatan juga memilah-milah jenis korban kejahatan hingga kemudian
munculah berbagai jenis korban, yaitu:
1) Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya
penanggulangan kejahatan;

3
Abul Fadl Mohsin Ebrahim, Isu-isu Biomedis dalam Perspekti Islam, Aborsi, Kontrasepsi dan Mengatasi
Kemandulan (Terjemahan Sari Meutia), (Bandung, Mizan, 1998), hlm. 82-83.
2) Latent Victims, yaitu mereka mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung
menjadi korban;
3) Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya
menjadi korban;
4) Proacative victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu atau yang
menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan sehingga cenderung menjadi korban;
5) False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya
sendiri.4
Menurut Arif Gosita, jenis-jenis korban perkosaan adalah sebagai berikut:
1) Korban murni
a) Korban perkosaan yang belum pernah berhubungan dengan pelaku sebelum
perkosaan.
b) Korban perkosaan yang pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum
perkosaan.
2) Korban Ganda
Adalah korban perkosaan selain mengalami penderitaan selama diperkosa, juga
mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosia, misalnya: mengalami
ancaman-ancaman yang mengganggu jiwanya, mendapat pelayanan yang tidak baik
selama pemeriksaaan pengadilan, tidak mendapat ganti kerugian, mengeluarkan uang
pengobatan, dikusilkan dari masyarakat karena sudah cacat khusus, dan lain-lain.
3) Korban Semu
Adalah korban yang sebenarnya sekaligus juga pelaku, ia berlagak diperkosa dengan
tujuan mendapat sesuatu dari pelaku.
a) Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena kehendaknya sendiri;
b) Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena disuruh, dipaksa untuk berbuat
demikian demi kepentingan yang menyuruh. Dalam pengertian tertentu, pelaku
menjadi korban tindakan jahat lain.
Khusus untuk korban kejahatan perkosaan, baik dari jenis korban murni, korban
ganda, dan korban semu, posisi wanita masih selalu berada pada pihak yang dilematis karena
kalau menuntut melalui jalur hukum, mengundang konsekuensi selain sering berbelit-belit
4
Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita,
(Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada, 2007), hlm. 49.
juga merasa malu karena terpublikasikan, selain itu sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak
menyediakan pidana ganti kerugian bagi korban perkosaan, jadi posisi wanita dalam hal ini
wanita korban perkosaan tetap pada posisi tidak diuntungkan sebagai korban kejahatan.5
B. Korban Perkosaan dari Aspek Sosial Budaya
Meningkatnya kasus perkosaan terkait erat dengan aspek sosial-budaya. Budaya yang
semakin terbuka, pergaulan yang semakin bebas, cara berpakaian kaum hawa yang semakin
merangsang, dan kadang-kadang dengan berbagai perhiasan mahal, kebiasaan bepergian jauh
sendirian, adalah faktor-faktor dominan yang mempengaruhi tingginya frekuensi kasus
perkosaan. Belum lagi mutu penghayatan keagamaan masyarakat yang semakin longgar.
Belum lagi vonis hakim terhadap pelaku perkosan yang tak setimpal. Dapat disimpulkan
bahwa faktor penyebab perkosaan setidak-tidaknya adalah sebagai berikut :
1) Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika berpakaian yang
menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.
2) Gaya hidup atau mode pergaulan di antara laki-laki dan perempuan yang semakin bebas,
tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan
yang dilarang dalam hubungannya dengan kaedah akhlaknya mengenai hubungan laki-laki
dengan perempuan.
3) Rendahnya pengalaman dan penghatayan terhadap norma-norma keagamaan yang terjadi
di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat, atau
pola relasi horizontal yang
4) Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku yang
diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamana kurang
mendapatkan responsi dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.
5) Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang dijatuhkan
pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong anggota-anggota masyarakat lainnya
untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut
lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya.
6) Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu
seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan kompensasi
pemuasnya.
5
Eko Prasetyo, dan Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset,
1997), hlm. 166.
7) Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan
(keputusan) dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikannya.6
C. Ganti Rugi Korban Perkosaan
Dalam putusan perkara pidana, terdakwa tindak pidana perkosaan yang dinyatakan
telah terbukti bersalah biasanya akan dijatuhi hukuman pidana yang berupa pidana penjara.
Namun, pertanggungjawaban pelaku tidak cukup sampai disitu, viktimologi sebagai ilmu
yang mempelajari tentang korban kejahatan berupaya untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap hak-hak korban agar tidak terabaikan, yang salah satu hak korban tindak pidana
perkosaan adalah mendapatkan ganti kerugian. Pemberian ganti kerugian ini tidak serta merta
menghapuskan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku. Untuk mendapatkan ganti kerugian ini
korban, keluarganya, atau kuasanya harus mengajukan permohonan ke pengadilan melalui
LPSK.
Bentuk ganti kerugian ini dapat berupa materiil dan immanteriil. Bentuk ganti
kerugiaan materiil berupa restitusi, yaitu sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 butir 5 PP
No. 44 Tahun 2008, restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, yang dapat berupa pengembalian harta milik,
pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk
tindakan tertentu dan kompensasi, yaitu sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 butir 4 PP
No. 44 Tahun 2008 adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak
mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggungjawabnya. Kemudian
untuk bentuk ganti kerugian immaterial dapat berupa bantuan, yaitu layanan yang diberikan
kepada korban dan/atau saksi oleh LPSK dalam bentuk bantuan medis dan rehabilitasi psiko-
sosial, pengertian ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 butir 7 PP No. 44 Tahun 2008.
Untuk korban tindak pidana perkosaan ganti kerugian yang paling harus diutamakan
adalah rehabilitasi psiko-sosialnya, karena dampak dari tindak pidana perkosaan tersebut
terhadap korbannya membuat mental korban terpuruk dan mendapatkan stigma negatif dari
masyarakat. Melalui rehabilitasi psiko-sosial, diupayakan mental dari korban tindak pidana
perkosaan dapat dipulihkan lagi seperti semula dan agar korban dapat bergaul kembali secara
normal dengan lingkungan sosial disekitarnya, karena biasanya korban tindak pidana
perkosaan akan merasa malu terhadap lingkungan sosialnya. Dan yang tidak kalah pentingnya
6
Andika Legesan, Okt-Des 2012, Korban Kejahatan Sebagai Salah Satu Faktor Terjadinya Tindak Pidana
Pemerkosaan, Lex Crimen Vol.I/No.4, hlm. 14.
adalah ganti kerugian materiil yang berupa restitusi. Restitusi ini merupakan cerminan
tanggung jawab pelaku terhadap tindak pidana yang telah dilakukannya dengan wujud
hukuman pemberian ganti kerugian kepada korban kejahatan. 7 Namun, apabila pelaku tidak
mampu memberikan ganti kerugian sebagaimana mestinya maka pemerintah yang akan
memberikan ganti kerugiannya, karena salah satu tugas dari pemerintah adalah melindungi
warga negaranya dari segala tindakan yang dapat mengganggu ketentraman masyarakatnya.
Hal yang memerlukan perhatian penting dalam pelaksanaan pembayaran ganti
kerugian pada korban adalah perlunya diupayakan agar sistem pemberian ganti kerugian
dilaksanakan dengan sederhana dan singkat sehingga apa yang menjadi hak korban dapat
segera direalisasikan. Apabila jangka waktu yang diperlukan untuk merealisasikan
pembayaran ganti kerugian ini membutuhkan waktu yang lama, dikhawatirkan konsep
perlindungan korban dalam kaitan pembayaran ganti kerugian akan terabaikan.
D. Pelayanan terhadap Korban Perkosaan.
Dalam rangka memberi perlindungan terhadap korban, maka perlu diadakan
pengelolaan korban tindak pidana perkosaan, yang meliputi prevensi, terapi dan rehabilitasi.
Perhatian seyogyanya ditujukan pada korban, keluarga, lingkungan dan masyarakat luas.
Jelasnya dalam pengelolaan korban tindak pidana perkosaan itu akan dapat melibatkan
banyak orang dari berbagai macam disiplin.
a) Prevensi dapat berarti pencegahan timbulnya perkosaan dan dapat pula dimaksudkan
sebagai pencegahan timbulnya masalah seksual di kemudian hari. Untuk menghindari
terjadinya tindak pidana perkosaan maka disarankan agar para wanita untuk tidak
bepergian seorang diri terutama pada waktu malam hari dan ke tempat yang lenggang dan
sunyi. Ada baiknya kalau wanita belajar juga olahraga beladiri, sekedar untuk melindungi
diri dari orang-orang yang berbuat jahat. Hindari membawa senjata tajam pada waktu
bepergian, bila terjadi usaha perkosaan maka bertindaklah wajar, sedapat mungkin tidak
panik atau ketakutan.
b) Terapi pada korban tindak pidana perkosaan memerlukan perhatian yang tidak hanya
terfokus pada korban saja. Selain keluhan dari para korban, perlu pula didengar keluhan
dari keluarga, keterangan orang yang menolongnya pertama kali dan informasi dari
lingkungannya. Kebutuhan akan terapi justru sering ditimbulkan oleh adanya gangguan
7
Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana-Perspektif, Teoritis,dan Praktik, P.T. Alumni, Bandung, hlm.
253-254.
keluarga atau lingkungannya. Tujuan terapi pada korban tindak pidana perkosaan adalah
untuk mengurangi bahkan dimungkinkan untuk menghilangkan penderitaannya. Di
samping itu juga untuk memperbaiki perilakunya, meningkatkan kemampuannya untuk
membuat dan mempertahankan pergaulan sosialnya. Hal ini berarti bahwa terapi yang
diberikan harus dapat mengembalikan si korban pada pekerjaan atau kesibukannya dalam
batas-batas kemampuannya dan kebiasaan peran sosialnya. Terapi harus dapat memberi
motivasi dan rangsangan agar korban tindak pidana perkosaan dapat melakukan hal-hal
yang bersifat produktif dan kreatif.
c) Rehabilitasi korban tindak pidana perkosaan adalah tindakan fisik dan psikososial sebagai
usaha untuk memperoleh fungsi dan penyesuaian diri secara maksimal dan untuk
mempersiapkan korban secara fisik, mental dan sosial dalam kehidupannya dimasa
mendatang. Tujuan rehabilitasi meliputi aspek medik, psikologik dan sosial. Aspek medik
bertujuan mengurangi invaliditas, dan aspek psikologik serta sosial bertujuan kearah
tercapainya penyesuaian diri, harga diri dan juga tercapainya pandangan dan sikap yang
sehat dari keluarga dan masyarakat terhadap para korban tindak pidana perkosaan. Untuk
mencapai tujuan tersebut maka para korban tindak pidana perkosaan selalu mendapatkan
pelayanan medik psikiatrik yang intensif.8
Ada beberapa perlindungan terhadap korban kejahatan yang lazim diberikan, antara lain
sebagai berikut:
1) Pemberian Restitusi dan Kompensasi
Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 memberikan pengertian
kompensasi, yaitu kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu
memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan
restitusi, yaitu ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku
atau pihak ketiga.
2) Konseling
Pada umumnya perlindungan ini diberikan kepada korban sebagai akibat munculnya
dampak negatif yang sifatnya psikis dari suatu tindak pidana. Pemberian bantuan dalam
bentuk konseling sangat cocok diberikan kepada korban kejahatan yang menyisakan
trauma berkepanjangan, seperti pada kasus-kasus yang menyangkut kesusilaan.
8
Ira Dwiati, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Peradilan Pidana, (Semarang:
Tesis Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2007), hlm. 20-22.
3) Pelayanan/Bantuan Medis
Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana.
Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis
(visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat
bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama apabila korban hendak melaporkan
kejahatan yang menimpanya ke kepolisian untuk ditindak lanjuti. Perlindungan ini sangat
dibutuhkan oleh korban tindak pidana perkosaan.
4) Bantuan Hukum
Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan. Di
Indonesia, khususnya di Semarang- Jawa Tengah, bantuan ini lebih banyak diberikan oleh
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pemberian bantuan hukum terhadap korban
kejahatan haruslah diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban. Hal ini
penting, mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban
yang menderita kejahatan ini. Sikap membiarkan korban kejahatan tidak memperoleh
bantuan hukum yang layak dapat berakibat pada semakin terpuruknya kondisi korban
kejahatan.
5) Pemberian Informasi
Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses
penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban. Pemberian
informasi ini memberikan peranan yang sangat penting dalam upaya menjadikan
masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi inilah diharapkan
fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Marzuki, Suparman (et.al). 1997. Pelecehan Seksual. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia.
Gosita, Arif. 1987. Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan
(Beberapa Catatan). Jakarta: IND.HILL-CO.

Ebrahim, Abdul Fadl Mohsin. 1998. Isu-isu Biomedis dalam Perspekti Islam, Aborsi,
Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan (Terjemahan Sari Meutia). Bandung: Mizan.

Gultom, Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris. 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan-


Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT.Radja Grafindo Persada.

Prasetyo E & Marzuki S (eds). 1997. Perempuan dalam Wacana Perkosaan. Yogyakarta: PKBI
Yogyakarta.

Mulyadi, Lilik. 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana-Perspektif, Teoritis,dan Praktik. Bandung:
P.T. Alumni.

Anda mungkin juga menyukai