Anda di halaman 1dari 17

Visum Et Repertum Terhadap Korban Perkosaan

A. Latar Belakang
Dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan
suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau
hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di
luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat
penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi
para penegak hukum tersebut.
Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat penyidik
membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada
pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan
seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan
menggunakan ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli
dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang
dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan
dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan
pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Fungsi visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan sebagaimana
terjadi dalam pemberitaan surat kabar di atas, menunjukkan peran yang cukup penting bagi
tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana
perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan
langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus perkosaan.
Mengungkap kasus perkosaan yang demikian, tentunya pihak Kepolisian selaku penyidik
akan melakukan upaya-upaya lain yang lebih cermat agar dapat ditemukan kebenaran
materiil yang selengkap mungkin dalam perkara tersebut.Sehubungan dengan fungsivisum et
repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan, pada kasus
perkosaan dimana pangaduan atau laporan kepada pihak Kepolisian baru dilakukan setelah
tindak pidana perkosaan berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda
kekerasan pada diri korban, hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum
tentunya dapat berbeda dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan segera setelah terjadinya
tindak pidana perkosaan.
B. Pengertian Visum Et Repertum
Sebagaimana telah dikemukakan oleh M. Yahya Harahap bahwa VER tergolong Ilmu
Kedokteran Forensik. Oleh karena itu VER termasuk kedalam Ilmu Kedokteran
Kehakiman. Menurut R. Atang Ranoemihardja menjelaskan bahwa Ilmu Kedokteran
Kehakiman atau Ilmu Kedokteran Forensik adalah ilmu yang menggunakan pengetahuan
Ilmu Kedokteran untuk membantu peradilan baik dalam perkara pidana maupun dalam
perkara lain (perdata). Tujuan serta kewajiban Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah
membantu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam menghadapi kasus-kasus perkara
yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan kedokteran.1
Abdul Mun’im Idris memberikan pengertian VER sebagai berikut: Suatu laporan tertulis
dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti
yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna
kepentingan peradilan.
R. Soeparmono, pengertian harafiah VER berasal dari kata-kata “visual” yaitu melihat
dan “repertum” yaitu melaporkan. Sehingga VER merupakan suatu laporan tertulis dari ahli
dokter yang dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti
hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan
berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya.
C. Jenis Visum et Repertum
VER merupakan hasil pemeriksaan ahli dalam ini dokter yang dapat dijadikan sebagai alat
bukti untuk kepentingan peradilan. Hamdani (1992) melaporkan bahwa adapun jenis-
jenisnya sebagai berikut:
a) VER untuk orang hidup yang terdiri dari:
1) VER biasa. VER ini diberikan kepada pihak peminta (penyidik) untuk korban yang
tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.
2) VER sementara. VER sementara diberikan apabila korban memerlukan perawatan
lebih lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila
sembuh dibuatkan VER lanjutan.
1
R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), (Bandung: Tarsito, Edisi Kedua,
1983), hal. 18.
3) VER lanjutan. Dalam hal ini korban tidak memerlukan perawatan lebih lanjut karena
sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain, atau meninggal dunia.
b) VER untuk orang mati (jenazah). Pada pembuatan VER ini, dalam hal korban mati maka
penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk
dilakukan bedah mayat (outopsi).
c) VER Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat setelah dokter selesai
melaksanakan pemeriksaan di TKP.
d) VER penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan
penggalian jenazah.
e) VER psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang pada saat pemeriksaan di sidang
pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa.
f) VER barang bukti, misalnya visum terhadap barang bukti yang ditemukan yang ada
hubungannya dengan tindak pidana, contohnya darah, bercak mani, selongsong peluru,
pisau.2
Pada dasarnya dalam ilmu kedokteran dan kehakiman ada 3 (tiga) jenis visum et
repertum, yaitu sebagai berikut:
1. Pertama, Visum et repertum orang hidup. Adapun Visum et repertum orang hidup, terdiri
dari 3 (tiga) jenis yaitu:
a) Visum et repertum luka/visum et repertum seketika/visum et repertum defenitif.
Visum ini tidak membutuhkan perawatan dan pemeriksaan lanjut sehingga
tidakmenghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi luka yang dokter tulis pada bagian
kesimpulan visum etrepertum yakni luka derajat I (satu) atau luka golongan C. Dokter
tidak diperkenankan menulis lukapenganiayaan ringan karena ini istilah hukum.
b) Visum et repertum sementara. Visum ini membutuhkan perawatan dan pemeriksaan
lanjut sehinggamenghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi lukanya tidak ditentukan
dan tidak ditulis oleh dokter padabagian kesimpulan visum et repertum.
c) Visum et repertum lanjutan. Visum ini dilakukan bilamana luka korban telah
dinyatakan sembuh. Alasanlain pembuatannya yaitu korban pindah rumah sakit,
korban pindah dokter atau korban pulang paksa.

2
Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Jakarta: Gramedia Pustaka Tama, 1992).
2. Kedua, Visum et repertum jenasah. Visum ini dilakukan Jika korban meninggal dunia
maka dokter membuat visum et repertum jenasah. Dokter menuliskualifikasi luka pada
bagian kesimpulan visum et repertum kecuali luka korban belum sembuh ataukorban
pindah dokter.
3. Ketiga, Expertisemerupakan visum et repertum khusus yang melaporkan keadaan benda
atau bagian tubuhkorban. Misalnya darah, mani, liur, jaringan tubuh, rambut, tulang, dan
lain-lain. Ada pihak yangmengatakan bahwa expertise bukan termasuk visum et
repertum.
Ada 8 (delapan) hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter untuk
membuat visum et repertum korban hidup, yakni sebagai berikut: Pertama, Harus tertulis,
tidak boleh secara lisan; Kedua, Langsung menyerahkannya kepada dokter, tidak boleh
dititip melalui korban atau keluarganya, serta tidak boleh melalui jasa pos; Ketiga, Bukan
kejadian yang sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan dokter; Keempat, Ada alasan
mengapa korban dibawa kepada dokter; Kelima, Ada identitas korban; Keenam, Ada
identitas pemintanya; Ketujuh, Mencantumkan tanggal permintaannya; Kedelapan, Korban
diantar oleh polisi atau jaksa.
D. Dasar Hukum Visum et Repertum
Berdasarkan ketentuan hukum acara pidana Indonesia, khususnya KUHAP tidak
diberikan pengaturan secara eksplisit mengenai pengertian VER. Satu-satunya ketentuan
perundangan yang memberikan pengertian mengenai VER yaitu Staatsblad Tahun 1937
Nomor 350. Disebutkan dalam ketentuan Staatsbladtersebut bahwa visa reperta van
genesskundigen yang banyak dilampirkan dalam BAP (Berita Acara Pengadilan): “VER
adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang
berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan
pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta
berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.” 3
VER merupakan laporan ahli dan berdasarkan LN 1937-380 RIB/306 melalui
ketentuan Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 187 huruf c KUHAP.
Selanjutnya, permintaan keterangan ahli dilakukan penyidik secara tertulis, kemudian ahli
yang bersangkutan membuat “laporan” yang berbentuk “surat keterangan” atau VER.
3
Setyo Trisnadi, Ruang Lingkup Visum et Repertum sebagai Alat Bukti pada Peristiwa Pidana yang Mengenai
Tubuh Manusia, (Semarang: Sains Medika, Vol. 5, No. 2, Juli - Desember 2013), hal. 126.
Dalam praktek pengadilan sepanjang pengalaman penulis maka keterangan ahli dalam bentuk
VER (diatur dalam staatsblad Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22 mei 1937 tentang visa
reperta van genesskundigen yang banyak dilampirkan dalam BAP (Berita Acara Pengadilan).
Terutama diatur oleh Pasal 1 berbunyi:
“Visa reperta dari dokter-dokter yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada
waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau di Indonesia, atau atas
sumpah khusus sebagai dimaksud dalam Pasal 1, mempunyai daya bukti dalam perkara
pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada benda yang
diperiksa
Sedangkan Pasal 2 berbunyi:
“Dokter-dokter yang tidak mengikrarkan sumpah jabatan di Negeri Belanda maupun di
Indonesia, sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, boleh mengikrarkan sumpah (atau janji)”
Kemudian ketentuan lain juga mengenai VER diatur di dalam Peraturan Menteri
Kesehatan No.749a tahun 1989 menyatakan bahwa rekam medik adalah dokumen mengenai
identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan dan pelayanan lain yang diberikan kepada pasien
pada sarana pelayanan kesehatan. Pada kasus kejahatan yang korbannya tidak bisa dijadikan
barang bukti, maka untuk pembuktiannya didasarkan pada data medis. Laporan medis dari
pemeriksaan yang diminta oleh penyidik disebut VER. Laporan medis dari pemeriksaan yang
diminta oleh pasien disebut surat keterangan medis. Dokter dalam tugasnya harus hati-hati
membuat laporan dengan benar dan membuat laporan secara obyektif yang dapat diperiksa
secara ilmiah.4
Sebelumnya diatur dalam Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman
No.M04.UM.01.06 Tahun 1983 bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman
disebut dengan VER. Dengan demikian menurut KUHAP keterangan ahli yang diberikan
oleh ahli kedokteran kehakiman oleh dokter ahli atau ahli lainnya disebut VER.
E. Tindak Pidana Perkosaan
Tindak pidana perkosaan dalam kosa kata bahasa Indonesia berasal dari kata perkosaan
yang berarti menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan atau menggagahi
(Diknas, 2002: 94). Pengertian tindak pidana perkosaan tersebut mempunyai makna yang

4
Setyo Trisnadi, Ruang Lingkup Visum et Repertum sebagai Alat Bukti pada Peristiwa Pidana yang Mengenai
Tubuh Manusia, (Semarang: Sains Medika, Vol. 5, No. 2, Juli - Desember 2013), hal. 126.
luas yang tidak hanya terjadi pada hubungan sexual (sexual intercouse) tetapi dapat terjadi
dalam bentuk lain seperti pelanggaran hak asasi manusia yang lainnya.
Menurut Soetardjo Wignjo Soebroto (1997: 20), yang dimaksud dengan perkosaan adalah
Suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang
menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar. Dalam pengertian demikian
bahwa apa yang dimaksud perkosaan di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan
(yaitu perbuatan seorang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya) dan di lain
pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa pelanggaran norma serta tertib sosial.
Pengertian perkosaan tersebut diatas, menunjukkan bahwa perkosaan merupakan bentuk
perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki terhadap perempuan yang berkaitan atau ditujukan
pada pelampiasan nafsu seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya baik secara moral maupun
hukum melanggar norma kesopanan dan norma kesusilaan di masyarakat. Terhadap hal ini
adalah wajar dan bahkan keharusan untuk menjadikan perbuatan perkosaan sebagai suatu
tindak pidana yang diatur bentuk perbuatan dan pemidanannya dalam hukum pidana materiil
yang berlaku.
Ketentuan yang mengatur mengenai bentuk perbuatan dan pemidanaannya tindak pidana
perkosaan atau verkrachting terdapat dalam Pasal 285 KUHP. Dirumuskan dalam pasal
tersebut : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan,
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”5.
Rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP tersebut, menurut Adami
Chazawi (2002: 56), dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana perkosaan adalah sebagai
berikut: Pertama, Perbuatannya: memaksa, Kedua, Caranya, dilakukan dengan sebagai
berikut: 1) dengan kekerasan, 2) dengan ancaman kekerasan; Ketiga, seorang wanita bukan
istrinya; Keempat, bersetubuh dengan dia.
Berbicara tentang Visum Et Refertum sebagai alat bukti yang kuat dalam mengungkap
tindak pidana pemerkosaan. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada dasarnya penyidikan
yang dilakukan oleh penyidik kepolisian terhadap peristiwa tindak pidana pemerkosaan
sangat sulit untuk dibuktikan, hal ini seringkali pelaku dan korban itu sendiri mengelak
dalam hal perbuatannyanya. Alat bukti Visum Et Refertum sangat penting dalam pembuktian
5
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , (Jakarta: Cetakan kesembilan belas, Bumi Aksara, 1996),
hal.104.
tindak pidana pemerkosaan. Berikut akan diuraikan peranan visum et repertum dalam proses
penyidikan kasus pemerkosaan.

F. Peranan Visum Et Repertum dalam Proses Penyidikan Kasus Pemerkosaan


Dalam tahap penyidikan suatu tindak pidana perkosaan dapat diketahui
bahwa pada tiap perkara tindakpidana perkosaan, barang bukti yang diperoleh oleh
penyidik terdiri daribarang-barang yang hampir sama seperti pakaian yang dikenakan
korban khususnya celana dalam, alat yang dipergunakan pelaku untuk melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan dalam perkosaan (seperti pisau ataucerulit), serta pada semua
perkara tersebut terdapat barang bukti berupavisum et repertum.
Keberadaanvisum et repertum yang selalu menjadi barang bukti dalam penyidikan
tindak pidana perkosaan, hal ini dimungkinkan sebagaimana ketentuan dalam Pasal
133 ayat (1) KUHAP jo Pasal 1 butir28 KUHAP yang mengatur perihal permintaan
bantuan keterangan ahli yang dapat dimintakan oleh penyidik dalam rangka membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan medis yang dilakukannya
terhadap korban perkosaan merupakan bentuk keterangan ahli sebagaimana
dimaksud dalam kedua pasal KUHAP tersebut yang diberikan dalam bentuk
keterangan tertulis.
Dalam prosedur untuk mendapatkan visum et repertum korban perkosaan,
sebagaimana ketentuan yang ada penyidik membuat Surat Permintaan visum et
repertum (selanjutnya disingkat SPVR) Korban Perkosaan yang secara administratif
ditujukan kepada Kepala Rumah Sakit tempat dilakukan pemeriksaan medis terhadap
korban. Dalam surat tersebut termuat keterangan mengenai korban sebagai berikut:6
1. Nama, tanggallahir/umur, kewarganegaraan, pekerjaan, agama,dan alamat;
2. Tempat dan waktu terjadinya perkosaan;
3. Tanggal dan jam pengaduan atau pelaporan kepada Polisi atauditemukan Polisi;
4. Dibawa/datang ke kantor Polisi oleh siapa, tanggal dan jamnyaatau ditemukanoleh
Polisi;
5. Barang bukti yang disertakan agar disebutkan secara lengkapdan jelas.

6
Buku Petunjuk Administrasi Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Administrasi Penyidikan,2001,dalam Himpunan
Bujuklak, Bujuklap, dan Bujukmin Proses Penyidikan Tidak Pidana,Kepolisian Negara RI, Jakarta, Hlm.408.
Pembuatan SPVR korban perkosaan ini sebagaimana pelaksanaanketentuan Pasal
133 ayat (2) KUHAP mengenai bentuk permintaan keterangan ahli oleh penyidik
dimana disebutkan bahwa “Permintaanketerangan ahli sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan secaratertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaanluka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat”.
Permintaan visum et repertum ini tidak hanya dapat dimintakan pada rumah sakit
pemerintah saja namun juga dapat dimintakan pada rumah sakit swasta. Setelah
dipenuhinya syarat administrasi pembuatan SPVR oleh penyidik, kemudian oleh penyidik
korban diantar ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan. Selama pemeriksaan medis
tersebut, petugas harus memastikan bahwa benar telah dilakukan pemeriksaan medis
terhadap korban yang dimaksud.
Dalam pembuatan visum et repertum perkosaan, pemeriksaan medis terhadap korban
sebaiknya dilakukan oleh dokter yang memiliki keahlian/spesialis kandungan dan
penyakit kebidanan (Spesialis Obstetri Ginikelogi) yang memang berkompeten dalam
melakukan pemeriksaan untuk membuktikan unsur persetubuhan yang dialami korban
perkosaan,yang dengan sendirinya pemeriksaan medis terhadap hal ini akan lebih
terkosentrasi pada alat kelamin korban. Sebagaimana prosedur yang telah dilakukan oleh
penyidik untuk mendapatkan visum et repertum di atas, hasil visum et repertum dapat
diketahui oleh penyidik selambat-lambatnya 1 bulan setelah pemeriksaan terhadap
korban. Hal ini mengingat bahwa dalam pembuatan visum et repertum juga dilakukan
beberapa tes laboratorium terhadap beberapa hal yang ditemukan pada korban saat
pemeriksaan.
Visum et repertum yang dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan medis terhadap
korban perkosaan mempunyai fungsi yang sangat penting bagi penyidik khusunya untuk
mengetahui adanya unsur persetubuhan yang terjadi pada diri korban. Mengingat
penyidik tidak mempunyai kemampuan dan keahlian untuk membuktikan
adanya tanda persetubuhan pada diri korban perkosaan. Pemeriksaan yang dilakukan
penyidik terhadap korban perkosaan hanya sebatas pemeriksaan fisik bagian luar dan
tidak mungkin mengetahui tanda persetubuhan yang terdapat dalam alat kelamin korban.
Selain untuk mengetahui adanya tanda persetubuhan,visum et repertum juga memuat
hasil pemeriksaan terhadap adanya tanda-tanda kekerasan pada diri korban. Dimana
unsur ini juga merupakan unsur penting dalam mengungkap suatu tindak pidana perkosaan
selain dengan unsur persetubuhan. Dimana kedua unsur ini merupakan unsur utama
yang harus ditemukan oleh penyidik dalam mengungkap suatu kasus perkosaan.
Visum et repertum yang memuat hasil pemeriksaan medis mengenai keadaan korban
yang dilakukan oleh dokter yang berwenang merupakan salah satu barang bukti
yang sangat penting bagi penyidik untuk mengadakan penyedikan lebih lanjut,
seperti melakukan penggeledahan, penyitaan, penahanan atau tindakan lainnya.
Mengenai hal-hal yang secara umum termuat dalam visum et repertum yang
dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap korban tindak pidana perkosaan yang
dapat membantu penyidik dalam mengungkap terjadinya tindak pidana perkosaan:
1. Pada bagian Pemberitahuan atau Hasil Pemeriksaan Dalam visum et repertum yang
dimintakan untuk penyidikan kasus perkosaan, hasil pemeriksaan medis terhadap
korban yang termuat pada bagian ini pada umumnya adalah sebagai berikut :
a. Keterangan mengenai waktu dan keadaan fisik luar korban yang dilihat pada
saat dilakukan pemeriksaan oleh dokter. Keadaan luar korban seperti pakaian
yang dikenakan (meliputi pakaian dalam), alas kaki yang dikenakan dan barang
lain yang dikenakan korban. Mengenai barang yang dikenakan korban, hal ini
diuraikan sejelas mungkin oleh dokter pemeriksa mengingat hal tersebut juga
penting bagi penyidik untuk menjadikan barang tersebut sebagai barang bukti
jika pakaian tersebut digunakan korban pada saat terjadinya tindak pidana
perkosaan.
b. Hasil pemeriksaan medis terhadap adanya tanda kekerasan pada bagian tubuh
korban yang meliputi : kepala, leher, dada, perut, punggung, anggota gerak atas
kiri dan kanan, anggota gerak bawah kiri dan kanan.
c. Hasil pemeriksaan alat kelamin dengan colok dubur, meliputi pemeriksaan terhadap
:-Otot lingkar dubur (regangan baik atau tidak) ;
 Selaput lendir poros usu (licin atau tidak) ;
 Selaput dara (mengalami robekan atau tidak, lama atau baru robekan
tersebut dan pada arah jam berapa robekan tersebut berada);
 Kerampang kemaluan (terdapat luka atau tidak);
 Rahim (dalam ukuran normal atau mengalami pembesaran karena
kehamilan)
d. Hasil pemeriksaan laboratoriumyang dilakukan terhadap :-
 Lendir liang senggema (apakah ditemukan sel mani atau tidak) ;
 Air seni untuk pemeriksaan adanya kehamilan (positif atau negatif).
2. Pada Bagian Kesimpulan
Bagian ini merupakan kesimpulan yang diambil dari hasil pemeriksaan
terhadap korban, pada umumnya berisi keterangan tentang :
a. Keadaan selaput dara penderita (Pernah mengalami persetubuhan atau
tidak);
b. Adanya kehamilan atau tidak dan jika ada berapa usia kehamilan tersebut;
c. Adanya tanda kekerasan atau tidak pada tubuh korban;
d. Ditemukan sel mani atau tidak dalam liang senggama korban.
Bagian dari laporan atau hasil pemeriksaan merupakan bagian yang terpenting
dari visum et repertum karena memuat hal-hal yang ditemukan pada korban
saat dilakukan pemeriksaan oleh dokter. Bagian ini merupakan bagian yang paling
obyektif dan menjadi inti visum et repertum karena setiap dokter diharapkan dapat
memberikan keterangan yang selalu sama yang sesuai dengan pengetahuan dan
pengalamannya. Setiap bentuk kelainan yang terlihat akan dijumpai langsung
dituliskan apa adanya tanpa disisipi pendapat-pendapat pribadi. Pada bagian ini terletak
kekuatan bukti suatu visum et repertum yang bila perlu dapat dipakai sebagai dasar
oleh dokter lain sebagai pembanding untuk menentukan pendapatnya.
Dengan membaca hal-hal yang termuat dalam visum et repertum terutama pada
bagian pemberitaan seperti tersebut diatas, penyidik dapat memperoleh gambaran
yang cukup penting dan tidak sedikit mengenai tindak pidana perkosaan yang terjadi
pada korban.
Berdasarkan hasil pemeriksaan korban yang termuat dalam visum et repertum
penyidik dapat menjadikannya gambaran petunjuk mengenai hal-hal sebagai berikut :
 Terdapatnya unsur persetubuhan pada diri korban
Unsur pesetubuhan merupakan unsur penting dalam tindak pidana perkosaan,
unsur ini merupakan unsur yang harus dibuktikan oleh penyidik dalam mengungkap
suatu tindak pidan perkosaan. Menurut ahli kedokteran forensik persetubuhan
mempunyai arti sebagai suatu peristiwa dimana terjadi penis ke dalam
vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai
ejakulasi. Pemeriksaan unsur persetubuhan dalam hal ini dipengaruhi dari bentuk
elastisitas selaput dara, besarnya penis dan derajat penetrasinya, ada tidaknya
ejakulasi dan keadaan ejakulat itu sendiri, posisi persetubuhan, serta keaslian pada
korban pada waktu pemeriksaan.7
Terhadap unsur persetubuhan, dalam visum et repertum tanda terjadinya
persetubuhan dapat dilihat pada hasil pemeriksaan selaput dara korban, apabila
terjadi robekan kemungkinan besar korban telah mengalami persetubuhan,
namun demikian tidak terdapatnya robekan juga tidak berarti korban tidak
mengalami persetubuhan. Elastisitas selaput dara, besar kecilnya penis, derajat
penetrasi penis, serta posisi persetubuhan, dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
selaput dara korban.
Namun apabila menurut hasil pemeriksaan laboratorium terhadap lendir liang
senggama korban ditemukan sel mani maka hal ini merupakan tanda pasti telah
terjadi persetubuhan pada korban. Demikian juga apabila terjadi kehamilan serta
adanya penyakit kelamin tertentu yang hanya menular dari persetubuhan jelas
merupakan tanda pasti akibat adanya persetubuhan.
Mengenai unsur persetubuhan apakah korban seperti wanita yang belum
atau pernah bersetubuh, hal ini selalu dinyatakan oleh Dokter pada bagian
kesimpulan visum et repertum tersebut. Untuk mengetahui dan membuktikan adanya
unsur persetubuhan, pada umumnya penyidik mengacu pada hasil pemeriksaan selaput
dara di bagian hasil pemeriksaan serta pendapat dokter dibagian hasil kesimpulan visum
et repertum.
Dengan demikian terkait dengan hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan selaput dara untuk menetukan adanya tanda-tanda persetubuhan
sebagaimana disebutkan di atas, hal ini tidak begitu diperhatikan oleh penyidik,
penyidik hanya berpatokan pada hasil pemeriksaan yang sudah termuat dalam
visum et repertum tersebut.
7
Abdul Mun’im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama, (Jakarta Barat: Binarupa Aksara,
1997), hal.222.
 Perkiraan saat terjadinya persetubuhan terhadap korban
Saat terjadinya persetubuhan pada korban penting diketahui oleh penyidik
dalam hal memeriksa alibi tersangka yang dapat mengelak tindak pidana
perkosaan yang disangkakan.
Ada tidaknya sel mani pada liang senggama korban yang dapat termuat dalam
visum et repertum dapat menunjukkan saat terjadinya pesetubuhan. Mengenai hal ini
terdapat dasar pemeriksaan sperma yang menunjukkan bahwa sperma di dalam
liang vagina masih dapat bergerak dalam waktu 4-5 jam post-coital, sperma masih
dapat ditemukan tidak bergerak sampai sekitar 24-36 jam post-coital dan bila
wanitanya mati masih akan dapat ditemukan 7-8 hari. Beradasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium terhadap lendir liang senggema korban yang termuat
dalam visum et repertum, hal ini dapat dijadikan petunjuk bagi penyidik untuk
memperkirakan saat terjadinya persetubuhan dalam suatu tindak pidana perkosaan.
Demikian pula mengenai hasil pemeriksaan terhadap umur kehamilan, hal ini juga
dapat dijadikan petunjuk oleh penyidik dalam hal menentukan kebenaran kapan tindak
pidana perkosaan dilakukan.
 Adanya unsur kekerasan pada tubuh korban.
Unsur kekerasan atau ancaman kekerasan dalam penyidikan tindak pidana
perkosaan harus dapat ditemukan dan dibuktikan oleh penyidik agar dapat memproses
perkara tersebut lebih lanjut. Adanya unsur persetubuhan tanpa ditemukannya unsur
kekerasan atau ancaman kekerasan pada diri korban, dapat menjadikan perkara tersebut
diberhitakan penyidikannya.Visum et repertum yang menerangkan mengenai tanda
kekerasanpada pengungkapan tindak pidana perkosaan.
Untuk pembuktian adanya kekerasan pada tubuh korban perkosaan, sebelumnya
perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering ditemukan, yaitu seperti di daerah mulut
dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta disekitar pada alat
genital. Luka-luka akibat kekerasan pada kejahatan seksual biasanya berbentuk luka
lecet bekas kuku, bekas gigitan (bitemarks) serta luka-luka memar.8
Dalam membuktikan tindak pidana perkosaan tidak selamanya kekerasan
meninggalkan jejak atau bekas yang berbentuk luka. Oleh karena itu tindakan
8
Abdul Mun’im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama, (Jakarta Barat: Binarupa Aksara,
1997), hal.225.
pembiusan juga dikategorikan pula sebagai tindakan kekerasan, maka dari itu
diperlukan tindakan medis untuk menentukan ada atau tidaknya obat-obatan atau
racun yang mungkin dapat membuat korban menjadi pingsan.
Dalam visum et repertum tanda-tanda kekerasan pada diri korban dapat diketahui
dari pemeriksaan terhadap anggota tubuh korban seperti kepala, leher, dada, perut,
punggung, anggota gerak atas kiri dan kanan, anggota gerak bawah kiri dan kanan
serta keadaan kerampang kemaluan korban yang selalu termuat pada bagian
pemberitaan.
 Hasil pemeriksaan terhadap alat bukti lain yang terkait dengan tindak pidana perkosaan.
Pada saat pembuatan visum et repertum dilakukan terhadap korban perkosaan,
biasanya barang bukti yang dapat menunjukkan bekas terjadinya tindak pidana
perkosaan, seperti misalnya celana dalam korban, pakaian korban yang dipakai pada
saat kejadian. Pemeriksaan terhadap benda-benda tersebut dimaksudkan untuk
memeriksa adanya bekas darah atau sperma yang dapat dicocokkan dengan darah
dan sperma pelaku, disamping kemungkinan adanya bekas perlawanan/tanda kekerasan
yang terdapat pada pakaian tersebut.
Hasil pemeriksaan barang bukti ini dengan sendirinya dapat menguatkan
kedudukan benda-benda tersebut sebagai salah satu barang bukti dalam tindak
pidanap erkosaan yang penting, baik dalam tahap penyidikan maupun dalam tahap
pemeriksaan persidangan perkara tersebut.
Sebagai mana yang terurai diatas menujukkan peranan visum et repertum yang
sangat membantu dan dapat memberi petunjuk bagi penyidik dalam mengungkap suatu
kasus tindak pidana perkosaan. Lengkapnya hasil pemeriksaan visum et repertum terhadap
korban perkosaan yang tercantum dalam hasil pemeriksaan, serta kemampuan dan
keterampilan penyidik dalam membaca dan menerapkan hasil visum et repertum,
menjadi hal yang sangat penting dalam menemukan kebenaran materil yang selengkap
mungkin pada pemeriksaan suatu perkara tindak pidana perkosaan.
Visum et repertum dalam tahap penyidikan tindak pidana perkosaan sangat membantu
penyidik dalam mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang cukup disamping bukti-
bukti lainnya seperti keterangan korban, keterangan saksi, keterangan tersangka serta
pemeriksaan barang bukti lainnya. Dengan adanya hasil visum et repertum terhadap
seseorang yang diduga korban tindak pidana perkosaan, seorang penyidik akan memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana yang dimaksud benar terjadi begitupun sebaliknya.
Peranan visum et repertum dalam mengungkap tindak pidana perkosaan pada
tahap penyidikan, tentunya harus diperkuat dengan pemeriksaan bukti-bukti lainnya
agar dicapai kebenaran materil yang seharusnya dalam perkara tersebut.Visum et
repertum juga mempunyai keterbatasan dalam peranannya membantu penyidik dalam
mengungkap suatu tindak pidana perkosaan, hal ini biasa terjadi khususnya terkait
dengan keaslian korban perkosaan pada waktu pemeriksaan, keadaan lainnya yang sudah
pernah terjadi pada diri korban sebelum tindak pidana perkosaan terjadi seperti korban
sebelumnya sudah tidak perawan, serta jangka waktu diketahuinya atau dilaporkannya
tindak pidana tersebut. Dengan adanya keterbatasan dalam laporan hasil pemeriksaan
visum et repertum, maka diperlukan tindakan lain oleh penyidik agar hasil visum et
repertum tersebut tidak ditafsirkan dengan salah. Tindakan lain yang dimaksud yaitu
mencari keterangan dari korban, menemukan tersangka serta mencari keterangan dari
tersangka, pemeriksaan barang bukti dan bila perlu pemeriksaan terhadap tempat kejadian
perkara (TKP).
Dalam hasil pemeriksaan visum et repertum yang menyebutkan tentang adanya tanda
persetubuhan dan kekerasan pada diri korban, apabila terdapat kesesuaian dengan
pengaduan dan laporan tindak pidana tersebut, maka hal ini dapat membantu penyidik dalam
melakukan proses penyidikan lebih lanjut dalam mengungkap lebih jauh tindak pidana
perksoaan. Hasil pemeriksaan visum et repertum dapat menjadi bukti permulaan yang cukup
yan menjadi dasar penyidik dalam melakukan penindakan lebih lanjut. Dimana bukti
permulaan yang cukup yaitu untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan syarat
adanya minimal Laporan Polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah. Penindakan
yaitu setiap tindakan hukum yang dilakukan terhadap orang maupun benda yang ada
hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi, seperti pemanggilan tersangka dan saksi,
penangkapan, penahanan, penggeledahan serta penyitaan.
Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kolaka dalam pemeriksaan perkara
pidana di persidangan visum et repertum dianggap sebagai alat bukti surat. Sebagaimana
jenis-jenis alat bukti yang sah yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP jo
Pasal 187 KUHAP tentang penjelasan yang dimaksud dengan alat bukti surat, visum et
repertum telah memenuhi kriteria alat bukti tersebut. Pembuatan visum et repertum yang
dilakukan oleh dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan dan permintaan
pembuatannya yang dilakukan dengan mengajukan Surat Permintaan Visum et Repertum
korban perkosaan, hal ini telah memenuhi ketentuan mengenai bantuan keterangan ahli
yangdapat dimintakan penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 133 ayat (1) dan (2)
KUHAP.
Berdasarkan peranan yang dapat diberikan visum et repertum dalam tahap penyidikan
tindak pidana perkosaan sebagaimana yang di jelaskan diatas, hal ini menyebabkan
kedudukan visum et repertum menjadi salah satu alat bukti yang sangat penting dan
harus ada dalam setiap pemeriksaan perkara hingga sampai ditahap persidangan. Pembuatan
visum et repertum dalam tahap penyidikan dalam tindak pidana perkosaan adalah hal yang
mutlak dan harus dilakukan.
Tidak adanya visum et repertum dalam berkas perkaratindak pidana perkosaan ke
Penuntut Umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) KUHAP,
dapat menyebabkan berkas tersebut dikembalikan oleh penuntut umum kepada
penyidik karena dianggap tidak lengkap/ tidak sempurna. Penuntut umum mempunyai
pandangan yang sama dalam melihat visum et repertum pada pemeriksaan tindak pidana
perkosaan, terhadap pembuktian adanya unsur persetubuhan dan kekerasan hal ini secara
mutlak dan lebih dapat dipertanggung jawabkan hanya dapat dibuktikan dari hasil visum
et repertum yang dilakukan terhadap korban.
Berdasarkan Pasal 138 ayat (2) KUHAP yaitu apabila hasil penyidikan ternyata oleh
penuntut umum dianggap belum lengkap, maka penuntut umum akan mengembalikan
berkas perkara kepada penyidik disertai dengan petunjuk mengenai hal yang harus
dilengkapi. Hal ini menandakan bahwa bukti-bukti yang dikumpulkan oleh penyidiklah yang
akan diajukan oleh penuntut umum ke pengadilan. Dalam hal pembuktian dalam
pemeriksaan suatu perkara pidana hakekatnya dilaksanakan oleh penyidik, karena itu
penyidik akan berupaya semaksimal mungkin untuk mengumpulkan bukti-bukti yang
selanjutnya akan diperiksa kembali oleh penuntut umum apakah alat bukti tersebut telah
cukup kuat dan memenuhi syarat pembuktian dalam KUHAP untuk dilanjutkan ke
persidangan.
Dengan adanya visum et repertum dalam tahap penyidikan suatu tindak pidana
perkosaan, merupakan salah satu bentuk upaya penyidik untuk mendapatkan alat bukti
yang selengkap dan semaksimal mungkin yang nantinya akan dipakai dalam
pemeriksaan perkara tersebut dipersidangan.Visum et repertum sebagai suatu alat bukti
yang dibuat beradasarkan sumpah jabatan seorang dokter berfungsi memberi
kenyakinan dan pertimbangan bagi hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.
Terhadap unsur persetubuhan dan kekerasan atau ancaman kekerasan yang harus ada
dalam tindak pidana perkosaan, hal ini salah satunya dapat dilihat dan dibuktikan
dalam visum et repertum terhadap korban. Hakim dapat mempunyai keyakinan dan
melihat terbuktinya unsur persetubuhan dan kekerasan pada diri korban serta petunjuk
lainnya dari hasil pemeriksaan visum et repertum yang disertakan sebagai alat bukti
dalam persidangan.
Melihat peranan visum et repertum dalam pemeriksaan suatu tindak pidana perkosaan
yang tidak hanya berperan dalam membantu penyidik mengungkap tindak pidana
tersbut, bahkan hal ini juga penting dalam pemeriksaan dipersidangan perkara tersebut,
maka upaya penyidik meminta pembuatan visum et repertum sejak tahap awal
pemeriksaan perkara tersebut merupakan hal yang penting dan harus dilakukan.
Kedudukan visum et repertum sebagai suatu alat bukti surat dalam pemeriksaan
persidangan perkara tersebut, dapat menjadi pertimbangan dari minimal dua alat bukti
yang disyaratkan bagi hakim dalam memutus suatu perkara sebagaimana hal ini
ditentukan dalam Pasal 6 ayat (2) UUNo.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.

DAFTAR PUSTAKA

Ranoemihardja, R. Atang, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Bandung: Tarsito,


Edisi Kedua, 1983.

Hamdani, Njowito, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Jakarta: Gramedia Pustaka Tama, 1992.

Trisnadi, Setyo, Ruang Lingkup Visum et Repertum sebagai Alat Bukti pada Peristiwa Pidana
yang Mengenai Tubuh Manusia, Semarang: Sains Medika, Vol. 5, No. 2, Juli - Desember 2013.
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Cetakan kesembilan belas, Bumi
Aksara, 1996.

Buku Petunjuk Admistrasi Tentang Tata Cara PenyelenggaraanAdministrasi


Penyidikan. 2001.Dalam Himpunan Bujuklak, Bujuklapdan Bujukmin Proses Penyidikan
Tindak Pidana. Kepolisian NegaraRI. Jakarta.

Abdul Mun’im Idries. 1997.Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik EdisiPertama. Binarupa


Aksara. Jakarta Barat.

Anda mungkin juga menyukai