Anda di halaman 1dari 5

UPAYA PENINGKATAN KOMPETENSI PERAWAT

DALAM PENJEMPUTAN ODGJ (ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA)


Oleh : Tri Andri Pujiyanti

Kesehatan jiwa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan dan
merupakan bagian integral dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia
yang utuh. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 144
Ayat 1(2.1) menyatakan, upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap
orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan,
tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa1.
Upaya-upaya kesehatan jiwa dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitative yang dilaksanakan secara terintegrasi, komprehensif,
dan juga berkesinambungan sepanjang siklus kehidupan manusia. Koordinasi
perlu dilakukan demi menjamin pelaksanaan upaya-upaya kesehatan jiwa yang
terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan2.
Koordinasi dilakukan antar petugas kesehatan, lembaga pemerintahan,
masyarakat dan keluarga. Salah satu peran dan tugas kesehatan keluarga adalah
merawat anggota keluarga yang sakit, keluarga berperan penting sebagai
pendukung selama masa pemulihan serta rehabilitasi pasien, dukungan yang
diberikan keluarga akan mencegah kekambuhan pada pasien skizofrenia.
Kekambuhan pada penderita gangguan jiwa terjadi karena keluarga yang tidak
tahu cara menangani perilaku pasien dirumah3.
Seseorang yang mengalami gangguan jiwa di masyarakat disebut pula Orang
Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ, yang mengalami
kekambuhan menjadi sulit diarahkan, daya tiliknya buruk, merasa tidak sakit, dan
lebih banyak menunjukkan gejala positif yang membahayakan orang lain dan
lingkungan. Keluarga tidak mampu membawa anggota keluarga yang menderita
gangguan jiwa tersebut ke rumah sakit atau pusat pelayanan kesehatan lainnya,
karena merasa takut bila ODGJ menjadi dendam dan mengancam mereka saat
keluar dari rumah sakit.
Keluarga membutuhkan pelayanan penjemputan ODGJ yang dapat membantu
mereka membawa ODGJ ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan dan
perawatan. Ketidakmampuan Keluarga dalam membawa ODGJ ke rumah sakit
menggerakkan warga masyarakat untuk membantu membawa ODGJ ke rumah
sakit. Berbagai upaya dilakukan keluarga dan masyarakat untuk melumpuhkaan
ODGJ yang memberontak atau mengamuk. Pengikatan dan pengamanan yang
tidak sesuai karena ketidaktahuan keluarga dan masyarakat mengakibatkan ODGJ
cedera, contohnya pengikatan menggunakan tambang / tali jemuran atau stagen.
Sebagian Keluarga meminta bantuan pihak kepolisian untuk membawa ODGJ ini
ke rumah sakit.
Pelayanan penjemputaan dari rumah sakit dengan petugas penjemputan yang
kompeten di bidangnya sangat dibutuhkan keluarga saat ini. Permintaan
penjemputan semakin meningkat setelah keluarga mengetahui layanan ini.
Permasalahan lain timbul dari petugas penjemputan. Mencari petugas / tenaga
penjemputan sangat sulit. Tidak banyak yang bersedia melaksanakan tugas ini
karena penjemputan ini beresiko tinggi dan memerlukan kompetensi khusus yang
harus dimiliki perawat jiwa. Penunjukkan petugas dan jadwal penjemputan sudah
dibuat. Permasalahan lain muncul yaitu adanya kesulitan mendapatkan tim
penjemputan karena jadwal ruangan belum disesuaikan dengan jadwal
penjemputan. Perawat yang yang dijadwalkan penjemputan tidak dijadwalkan
dinas di ruangan.

Penjemputan ODGJ
Penjemputan ODGJ dapat diartikan suatu proses menjemput ODGJ dari
tempat ODGJ tersebut tinggal menuju pusat layanan kesehatan (rumah sakit jiwa)
oleh tim penjemputan, dengan tujuan menjaga keamanan dan keselamatan ODGJ
dalam perjalanan menuju RS untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan.
Penjemputan ini diperlukan karena ketidakmampuan keluarga untuk membawa
ODGJ ke rumah sakit.
Tim Penjemputan terdiri dari dua Perawat, atau bisa disertai satu dokter
beserta sopir dan seorang satpam. Prosedur penjemputan pasien meliputi; keluarga
OGDJ menghubungi Rumah sakit, keluarga ODGJ mengajukan permohonan
tertulis untuk penjemputan, rumah sakit menunjuk tim penjemputan, tim
penjemputan berkoordinasi dengan keluarga ODGJ, kemudian tim penjemputan
menjemput ODGJ dan bersama keluarga medampingi ODGJ menuju RS.

Dampak bila tidak ada penjemputan ODGJ


ODGJ harus mendapatkan pengobatan dan perawatan. ODGJ tidak boleh
putus obat. Selama di rumah harus tetap mengkonsumsi obat untuk membantu
menjaga kestabilan jiwanya. Keluarga mempunyai kewajiban mendampingi dan
mengawasi OGDJ patuh minum obat. Putus obat dapat menyebabkan
kekambuhan. ODGJ menjadi lebih sulit mengkonsumsi obatnya, OGDJ menjadi
tidak terkontrol dan dapat membahayakan diri dan lingkungan. Keluarga akan
mengalami kesulitan mengarahkan OGDJ dan kesulitan membawa OGDJ ke
rumah sakit. Layanan penjemputan menjadi solusi yang terbaik. Tanpa ada
bantuan penjemputan ini, ODGJ tidak akan mendapatkan penganganan yang tepat.
ODGJ dibiarkan tanpa pengobatan, yang bisa dikategorikan pemasungan.

Upaya peningkatan Kompetensi perawat


Kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang yang dapat
terobservasi mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas dengan standar kinerja (performance)
yang ditetapkan4. Kompetensi perawat jiwa dapat diperoleh melalui proses
pendidikan formal maupun pelatihan dalam lingkup kesehatan jiwa. Kompetensi
yang dimiliki seorang perawat dapat menjadi sebuah kemampuan yang maksimal
apabila didukung dengan persepsi perawat yang positif tentang kompetensi itu
sendiri5.
Pendidikan dan pelatihan memproses SDM menjadi kompeten, dimana ranah
kognitif, afektif dan psikomotorik dibangun dan dikembangkan secara simultan
menjadi SDM yang menguasai aspek pengetahuan, keterampilan sekaligus sikap
kerja sesuai tuntutan standar kompetensi6.
Kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh perawat yang bertugas melakukan
penjemputan pasien / ODGJ di masyarakat pun mencakup
pengetahuan/pendidikan minimal D3 Keperawatan, memiliki ketrampilan
komunikasi efektif, kemampuan persuasif, dan manajemen krisis pasien jiwa serta
memiliki sikap yang menjunjung tinggi kode etik perawat.

Kompensasi bagi Tim Penjemputan


Kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung
atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atas jasa yang diberikan
kepada instansi.
Menurut Sutrisno (2009), kompensasi dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1)
Kompensasi Langsung (Financial) adalah kompensasi yang langsung dirasakan oleh
penerimanya, yakni berupa gaji, tunjangan, dan insentif merupakan hak karyawan dan
kewajiban perusahaan untuk membayarnya. Insentif adalah kompensasi yang
diberikan perusahaan kepada karyawan tertentu, karena keberhasilan prestasinya di
atas standar atau mencapai target, dan 2) Kompensasi Tidak Langsung (Non
Financial) adalah kompensasi yang tidak dapat dirasakan secara langsung oleh
karyawan, yakni benefit dan service adalah kompensasi tambahan yang diberikan
berdasarkan kebijaksanaan perusahan terhadap semua karyawan dalam usaha
meningkatkan kesejahteraan mereka seperti uang pensiun, dan olah raga.
Kompensasi yang dapat diberikan pada petugas penjemputan, dapat berupa
pemberian bobot angka kredit pada item pengabdian masyarakat yang
disesuaikan dengan nilai yang ditetapkan. Setiap penjemputan ODGJ masuk
dalam 1 kegiatan pengabdian, dengan melampirkan copy surat permohonan, copy
surat tugas, dan copy laporan hasil penjemputan yang diketahui oleh perangkat
Desa dan atasan langsung.

Kesimpulan
Penjemputan ODGJ sebagai salah satu jenis pelayanan rumah sakit jiwa
dilakukan oleh tim penjemputan yang berkompeten. Kompetensi perawat yang
harus dimiliki adalah pengetahuan, ketrampilan dan sikap dalam melaksanakan
tugas penjemputan tersebut. Pembentukan dan penjadwalan tim penjemputan
direncanakan dan dibuat dengan menyesuaikan dinas ruangan. Kompensasi
diberikan sebagai bentuk penghargaan dan untuk meningkatkan motivasi perawat
dalam melaksanakan tugas penjemputan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36


Tahun 2009 Tentang Kesehatan. 2009;
2. Kementrian Kesehatan RI. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa. 2014;1–42.
3. Dewi E. Pengalaman keluarga dalam merawat pasien skizofrenia tak
terorganisir di rumah sakit jiwa daerah surakarta. 2015;
4. PPNI. Standar Kompetensi Perawat Indonesia. 2013;1–5.
5. Yusuf A, Fitryasari R, Nihayati HE, Tristiana D. Kompetensi Perawat
Dalam Merawat Pasien Gangguan Jiwa. 2016;230–9.
6. Shabrina D. Pembelajaran Dengan Pendekatan Competency Based Training
(CBT). Pembelajaran Dengan Pendekatan Inq [Internet]. 2016; Available
from: https://femilliaelsa.wordpress.com/2016/10/18/80/

Anda mungkin juga menyukai