Anda di halaman 1dari 37

PRESENTASI KASUS

Kolelitiasis

Disusun oleh:
Nisa Austriana Nuridha
1102012305

Pembimbing:
dr. Nanang Wahyu Hidayat, Sp. B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD KABUPATEN BEKASI


PERIODE 9 NOVEMBER – 19 DESEMBER 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad
SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas rahmat dan ridha-
Nya, penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul “Kolelitiasis”. Penulisan
laporan kasus ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas dalam menempuh kepanitraan klinik di
bagian departemen ilmu bedah di RSUD Kabupaten Bekasi.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan laporan kasus ini tidak terlepas
dari bantuan dan dorongan banyak pihak. Maka dari itu, perkenankanlah penulis
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
membantu, terutama kepada dr. Nanang Wahyu Hidayat, Sp. B yang telah memberikan
arahan serta bimbingan ditengah kesibukan dan padatnya aktivitas beliau.
Penulis menyadari penulisan presentasi kasus ini masih jauh dari sempurna mengingat
keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan
kritik yang bersifat membangun demi perbaikan penulisan presentasi kasus ini. Akhir kata
penulis berharap penulisan presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membacanya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Bekasi, 2020

Penulis
BAB II
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 61 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Tenaga Buruh Lepas
Status : Menikah
Alamat : Kp. Gandaria, Cikarang Timur
Tanggal masuk RS : 05 November 2020
Tanggal pemeriksaan : 11 November 2020

II. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis
Tanggal : 11 November 2020
Tempat : Ruang Anggrek Lt. 4
1. Keluhan utama :
Nyeri perut kanan atas sejak 1 minggu SMRS
2. Keluhan Tambahan :
Nyeri ulu hati, sesak, mual sejak 1 minggu SMRS
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan nyeri pada bagian perut
kanan atas sejak  1 minggu SMRS, nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk, muncul
mendadak dan berlangsung terus-menerus serta semakin memberat. Pasien mengatakan
nyeri menjalar hingga ke punggung dan ulu hati hingga terkadang timbul sesak.
Keluhan demam (-), mual (+), muntah (-).Pasien sulit BAB namun masih bisa kentut,
terakhir BAB 3 hari SMRS, warna BAB tidak dempul. Tak ada keluhan saat BAK,
warna BAK normal dan nafsu makan baik. Riwayat trauma pada perut (-).

4. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa. Pasien mengatakan memiliki riwayat
penyakit lambung. Riwayat HT (-), DM (-), penyakit kuning (-), gangguan jantung (-),
gangguan ginjal (-), TB (-), Riwayat operasi sebelumnya (-). Riwayat trauma atau
operasi dibagian abdomen (-)

5. Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.

6. Riwayat Pengobatan
Sebelum dibawa ke RSUD Kabupaten Bekasi pasien sempat pergi berobat ke klinik
dekat rumahnya dan diberikan obat untuk lambung, namun tidak ada perbaikan.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis. GCS 15 (E4 M6 V5)
Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : 120/80 mmHg
 Frekuensi nadi : 72 x/menit
 Frekuensi napas : 20 x/menit
 Suhu : 36,7°C
 SpO2 : 98% terpasang kanul Oksigen
B. Pemeriksaan Fisik
 Kepala : Normochepale, rambut hitam, rambut tidak mudah dicabut
 Mata : Pupil bulat, isokor, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 Telinga : Simetris kanan-kiri, sekret (-/-)
 Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), sekret (-)
 Mulut : Bibir tidak kering, Sianosis (-)
 Leher : Trakea letak normal, pembesaran KGB (-)
 Thorax
Inspeksi : Simetris bilateral saat statis dan dinamis
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+), wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ 1 & 2 reguler, gallop (-), murmur (-)
 Abdomen : Lihat status lokalis
 Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2”, edema -/-, sianosis -/-
C. Status Lokalis
Regio Abdomen
Inspeksi : Datar, sikatrik (-), massa (-), darm contour (-), darm steifung (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 2x/menit normal
Palpasi : Defans muskular (-), Massa (-), Nyeri tekan pada regio kanan atas, Murphy sign
(+),McBurney (-), Rovsing (-).
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang perut (+)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium darah (05 November 2020)
Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Darah Lengkap
Hemoglobin 12.7 g/dL 13.0 – 18.0
Hematokrit 34 % 40 - 54
Eritrosit 4.40 10^6/μL 4.60 – 6.20
MCV 78 fL 80 – 96
MCH 29 Pg/mL 28 – 33
MCHC 37 g/dL 33 – 36
Trombosit 281 103/μL 150 – 450
Leukosit 8.4 103/μL 5.0 – 10.0
Hitung Jenis
Basofil 0 % 0-1
Eusinofil 5 % 1–6
Neutrofil 55 % 50 – 70
Limfosit 30 % 20 – 40
NLR 1.83 <= 5.80
Monosit 10 % 2–9
Laju Endap Darah (LED) 33 mm/jam < 10
Kimia Klinik
SGOT (AST) 17 U/L < 38
SGPT (ALT) 9 U/L < 41
Ureum Kreatinin
Ureum 21 mg/dL 13 – 43
Kreatinin 1.0 mg/dL 0.67 – 1.17
eGFR 80.9 mL/min/1.73 m^2 > 60
Elektrolit
Natrium 147 mmol/L 136 – 146
Kalium 3.1 mmol/L 3.5 – 5.0
Clorida (Cl) 103 mmol/L 98 - 106

Pemeriksaan Kimia Klinik (06 November 2020)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Bilirubin Total 0.5 mg/dL 0.3 – 1.2
Bilirubin Direk 0.1 mg/dL 0 – 0.52
Bilirubin Indirek 0.4 mg/dL < 0.6
Laboratorium darah (08 November 2020)
Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Darah Lengkap
Hemoglobin 11.3 g/dL 13.0 – 18.0
Hematokrit 31 % 40 - 54
Eritrosit 3.90 10^6/μL 4.60 – 6.20
MCV 81 fL 80 – 96
MCH 29 Pg/mL 28 – 33
MCHC 36 g/dL 33 – 36
Trombosit 229 103/μL 150 – 450
Leukosit 7.7 103/μL 5.0 – 10.0
Hitung Jenis
Basofil 0 % 0-1
Eusinofil 5 % 1–6
Neutrofil 60 % 50 – 70
Limfosit 28 % 20 – 40
NLR 2.14 <= 5.80
Monosit 7 % 2–9
Laju Endap Darah (LED) 25 mm/jam < 10
Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu (Stik) 89 Mg/dL 80 - 170
SGOT (AST) 62 U/L < 38
SGPT (ALT) 38 U/L < 41
Ureum Kreatinin
Ureum 24 mg/dL 13 – 43
Kreatinin 0.9 mg/dL 0.67 – 1.17
eGFR 91.9 mL/min/1.73 m^2 > 60
Elektrolit
Natrium 137 mmol/L 136 – 146
Kalium 3.3 mmol/L 3.5 – 5.0
Clorida (Cl) 103 mmol/L 98 - 106

Laboratorium darah (10 November 2020)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu (Stik) 94 Mg/dL 80 - 170
SGOT (AST) 19 U/L < 38
SGPT (ALT) 18 U/L < 41
Ureum Kreatinin
Ureum 16 mg/dL 13 – 43
Kreatinin 0.9 mg/dL 0.67 – 1.17
eGFR 91.9 mL/min/1.73 m^2 > 60
Elektrolit
Natrium 136 mmol/L 136 – 146
Kalium 3.1 mmol/L 3.5 – 5.0
Clorida (Cl) 101 mmol/L 98 - 106
Imunologi
Anti COVID ( Rapid IgG/M)
Anti COVID IgM Non reaktif
Anti Covid IgG Non reaktif
Anti HIV Penyaring
HIV Reagen 1 Non reaktif
Penanda Hepatitis
Anti HCV (Rapid) Non reaktif
HBsAg (Rapid) Non reaktif
2. Pencitraan
A. Foto Polos Abdomen 3 Posisi ( 05 November 2020)

Kesan: Tidak terlihat adanya tanda-tanda ileus


Tidak terlihat adanya pneumoperitoneum
Tidak tampak urolithiasis opak
Osteofit pada vertebrae lumbalis
Saran USG Abdomen

B. Foto Rontgent Thoraks


Kesan: Cor dan pulmo dalam batas normal.

C. USG Abdomen (06 November 2020)

Findings:
Hepar : Kedua lobus hepar tidak membesar, permukaan rata, tidak tampak
pelebaran system vaskuler dan bilier intrahepatic dan ekstrahepatik.
Gallblader : Tampak membesar, tampak sludge di dalamnya, dinding tidak
menebal
Pankreas : Bentuk dan ukuran normal, ductus pankreatikus tidak dilatasi.
Kesan:
Cholesistitis

V. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhannyeri pada
perut bagian kanan atas. Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan menjalar hingga ke
pinggang dan ulu hati, hingga terkadang muncul sesak. Keluhan demam ( - ), Mual
(+), dan muntah (-). Pasien masih bisa BAB namun sulit, terakhir BAB 2 hari
SMRS warna kuning kecokelatan. BAK normal, warna kencing seperti teh
disangkal. Riwayat trauma pada perut (-). Riwayat penyakit kuning (-).
Pada status generalis tidak ditemukan kelainan. Pada status lokalis terdapat
nyeri tekan pada regio kanan atas dengan Murphy sign (+). Pada pemeriksaan foto
rontgen normal, dan USG ditemukan kesan cholesistitis

VI. DIAGNOSIS
Kolelitiasis

VII. DIAGNOSIS BANDING


1. Kolesistitis
2. Kolangitis
3. Hepatolitiasis

VIII. PENATALAKSANAAN
NON MEDIKAMENTOSA
 Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit pasien dan rencana tatalaksana.
 Bed rest
 Informed consent tindakan pembedahan
 Observasi tanda-tanda perforasi
MEDIKAMENTOSA

Tindakan
Dilakukan tindakan operasi laparoskopi kolesistektomi

Post Operatif
- Pasien dipuasakan
- Asering 500cc/8 jam
- Meropenem 3x1
- Metronidazole 3x500mg
- Tramadol 3x1
- Sucralfat 2x1
- Asam Tranexamat 3x1
Post Laparoskopi Kolesistektomi

IX. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

Follow up 11 November 2020


S - Post operasi
- Nyeri luka operasi dengan VAS score 3
- Pasien masih belum bisa berdiri dan mobilisasi
- Demam (-) BAB (-)
O - Suhu: 36,5℃
- Nadi: 77 kali/menit
- Frekuensi nafas: 20 kali/menit
- Tekanan darah : 127/80 mmHg
Pemeriksaan Fisik:
- Dalam batas normal
A Post laparoskopi kolesistektomi
P - IVFD Asering 500cc/8 jam
- Meropenem 3x1
- Metronidazole 3x500mg
- Tramadol 3x1
- Sucralfat 2x1
- Asam Tranexamat 3x1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. KANTUNG EMPEDU
Anatomi Kantung Empedu
Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir, yang
terletak pada permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan lobus kanan
dan kiri, yang disebut dengan fossa kandung empedu. Ukuran kandung empedu
pada orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm dengan kapasitas lebih kurang 30mL.
Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat longgar , yang
mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan kandung empedu
dengan hati1
Vesica felea merupakan suatu kantong yang berfungsi memekatkan dan
menyimpan empedu. Dibagi menjadi 4 bagian : fundus , corpus, infundibulum
dan collum. Dari collum berlanjut menjadi ductus cysticus. Infundibulum menonjol
seperti kantong disebut kantong HARTMANN.
Vesica felea diperdarahi oleh a. cystica cabang a.hepatica dekstra. Ada suatu
daerah yang dibentuk oleh ductus cysticus, CBD, dan cabang a.cysticus disebut
TRIGONUM CALOT, daerah ini penting untuk identifikasi a.cysticus dan ductus
cysticus pada tindakan Cholecystektomi.1
Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang kemudian menuju
ke duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan
kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta hepatis.
Ketika duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus
hepatikus komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris
komunis secara umum memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati
duodenum menuju pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri
(Avunduk, 2002).
Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang
berasal dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi pada tiap tiap
orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan (Debas, 2004). Aliran vena
pada kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena vena kecil.
Vena-vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati dan
bergabung dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan akhirnya menuju
vena portal. Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran venanya.
Cairan limfa mengalir dari kandung empedu ke hati dan menuju duktus sistika dan
masuk ke sebuah nodus atau sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan limfa pada
akhinya akan masuk ke nodus pada vena portal. Kandung empedu diinervasi oleh
cabang dari saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati pleksus seliaka.
Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf postganglionik
simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan arteri hepatik
dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf parasimpatetik berasal dari cabang
nervus vagus 1
Anatomi Duktus Biliaris

Duktus biliaris extrahepatik terdiri dari Ductus hepatikus kanan dan kiri,
Ductus hepatikus komunis, Ductus sisticus dan Ductus koledokus. Ductus
koledokus memasuki bagian kedua dari duodenum lewat suatu struktur muskularis
yang disebut Sphincter Oddi.(
▪ Duktus sistikus : Panjangnya kurang lebih 3 ¾ cm, berjalan dari leher kandung
empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus membentuk saluran empedu ke
duodenum. Bagian dari duktus sistikus yang berdekatan dengan bagian leher
kandung empedu terdiri dari lipatan-lipatan mulkosa yang disebut valvula heister.
Valvula ini tidak memiliki fungsi valvula, tetapi dapat membuat pemasukan kanul
ke duktus sistikus menjadi sulit
▪ Duktus hepatikus komunis : Ductus hepaticus communis umumnya 1-4cm dengan
diameter mendekati 4 mm. Berada di depan vena porta dan di kanan Arteri
hepatica. duktus hepatikus komunis dihubungkan dengan duktus sistikus
membentuk duktus
koledokus
▪ Duktus koledokus : Panjang Ductus choledochus kira-kira 7-11 cm dengan
diameter 5-10 mm. Bagian supraduodenal melewati bagian bawah dari tepi bebas
dari ligamen hepatoduodenal, disebelah kanan arteri hepatica dan di anterior vena
porta. Ductus koledokus bergabung dengan ductus pankreatikus masuk ke dinding
duodenum (Ampulla Vateri) kira-kira 10cm distal dari pylorus.

Suplai arteri untuk Duktus biliaris berasal dari Arteri gastroduodenal dan Arteri
hepatika kanan, dengan jalur utama sepanjang dinding lateral dan medial dari Ductus
koledokus (kadang-kadang pada posisi jam 3 dan jam 9). Densitas serat saraf dan
ganglia meningkat di dekat Sphincter Oddi tetapi persarafan dari Ductus koledokus dan
Sphinchter Oddi sama dengan persarafan pada kandung empedu.

1.1 HISTOLOGI

Kandung empedu terdiri dari epitel columnar tinggi yang mengandung kolesterol dan
tetesan lemak. Mukus disekresi ke dalam kandung empedu dalam kelenjar tubuloalveolar
yang ditemukan dalam mukosa infundibulum dan leher kandung empedu, tetapi tidak pada
fundus dan corpus. Epitel yang berada sepanjang kandung empedu ditunjang oleh lamina
propria. Lapisan ototnya adalah serat longitudinal sirkuler dan oblik, tetapi tanpa lapisan yang
berkembang sempurna. Perimuskular subserosa mengandung jaringan penyambung, syaraf,
pembuluh darah, limfe dan adiposa. Kandung empedu ditutupi oleh lapisan serosa kecuali
bagian kandung empedu yang menempel pada hepar. Kandung empedu di bedakan secara
histologis dari organ-organ gastrointestinal lainnya dari lapisan muskularis mukosa dan
submukosa yang sedikit.
Fisiologi

Fungsi kandung empedu, yaitu:


a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada di
dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan
elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati.
b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin
yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin yang
berasal dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen utama
dalam empedu) dan dibuang ke dalam empedu.2
Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Diluar waktu makan, empedu
disimpan sementara di dalam kandung empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk ke
duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus
sistikus dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan pembuluh
darah mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam kandung
empedu kira-kira lima kali lebih pekat dibandingkan empedu hati
Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan diantarkan ke
duodenum setelah rangsangan makanan.Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3 faktor,
yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter
koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam
kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan
empedu mengalir ke duodenum.
Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum, yaitu
kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama bagi pengosongan kandung
empedu, lemak merupakan stimulus yang lebih kuat. Reseptor CCK telah dikenal terletak
dalam otot polos dari dinding kandung empedu. Pengosongan maksimum terjadi dalam
waktu 90-120 menit setelah konsumsi makanan. Empedu secara primer terdiri dari air,
lemak, organik, dan elektrolit, yang normalnya disekresi oleh hepatosit. Zat terlarut
organik adalah garam empedu, kolesterol, dan fosfolipid. Sebelum makan, garam- garam
empedu menumpuk di dalam kandung empedu dan hanya sedikit empedu yang mengalir
dari hati. Makanan di dalam duodenum memicu serangkaian sinyal hormonal dan sinyal
saraf sehingga kandung empedu berkontraksi. Sebagai akibatnya, empedu mengalir ke
dalam duodenum dan bercampur dengan makanan. Empedu memiliki fungsi, yaitu
membantu pencernaan dan penyerapan lemak, berperan dalam pembuangan limbah
tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah
dan kelebihan kolesterol, garam empedu meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak dan
vitamin yang larut dalam lemak untuk membantu proses penyerapan, garam empedu
merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu menggerakkan isinya,
bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu sebagai limbah dari sel
darah merah yang dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya dibuang dalam empedu dan
selanjutnya dibuang dari tubuh. Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus,
disuling oleh hati dan dialirkan kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai
sirkulasi enterohepatik. Seluruh garam empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi
sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk ke
dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri memecah garam empedu menjadi
berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok ini diserap kembali dan sisanya dibuang
bersama tinja.Hanya sekitar 5% dari asam empedu yang disekresikan dalam feses.2

II. Kolelitiasis
2.1. Definisi
Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang dapat
ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam ductus koledokus, atau pada kedua-
duanya. Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam
kantung empedu (kolesistolitiasis). Kalau batu kantung empedu ini berpindah ke dalam
saluran kantung empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder atau
koledokolitiasis sekunder.3

2.2. Epidemiologi
Prevalensi batu empedu meningkat seiring dengan perjalanan usia, terutama
untuk pasien diatas 40 tahun. Perempuan berisiko dua kali lebih tinggi 7
mengalami batu empedu dibandingkan dengan pria. Kegemukan juga
meningkatkan resiko terjadinya batu empedu. Kejadian batu empedu bervariasi di
negara berbeda dan di etnis berbeda pada negara yang sama. Perbedaan ini
menunjukkan bahwa faktor genetik berperan penting dalam pembentukan batu
empedu. Prevalensi tinggi batu empedu campuran di negara Barat, sedangkan di
Asia umumnya dijumpai batu pigmen.4
Dikenal tiga jenis batu empedu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau batu
bilirubin, yang terdiri atas kalsium bilirubinat, dan batu campuran. Di negara Barat
80% batu empedu adalah batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu pigmen
meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya di Asia Timur, lebih banyak batu pigmen
dibandingkan dengan batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu kolesterol sejak
1965 makin meningkat. Diduga perubahan gaya hidup, termasuk perubahan pola
makanan, berkurangnya infeksi parasit, dan menurunnya frekuensi infeksi empedu,
mungkin menimbulkam perubahan insidens hepatolitiasis.4

2.3. Faktor Resiko dan Insidensi


Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,
semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk
terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain5

a. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar
esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi
dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu
dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.

b. Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan orang degan usia yang lebih muda.

c. Berat badan (BMI)

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.

d. Makanan

Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar


dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.

f. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis.


Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

g. Penyakit usus halus

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease,


diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.

h. Nutrisi intravena jangka lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi


untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung
empedu.5
2.4. Klasifikasi batu
Menurut Nian (2015) Kolelitiasis digolongkan atas 3 golongan :
a. Batu Kolesterol Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung
lebih dari 70% kolesterol.
b. Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat) Berwarna coklat atau coklat tua,
lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium- bilirubinat sebagai
komponen utama.
c. Batu pigmen hitam Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk,
seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi6
Menurut Corwin (2008) ada 3 tipe utama kolelitiasis :
a. Batu pigmen, kemungkinan berbentuk pigmen tak terkonjugasi dalam
empedu melakukan pengendapan sehingga terjadi batu
b. Batu kolesterol, terjadi akibat konsumsi makanan berkolesterol seperti fast
food dengan jumlah tinggi. Kolesterol yang merupakan unsur normal
pembentuk empedu tidak dapat larut dalam air. Pada pasien yang cenderung
menderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan
peningkatan sintesis kolesterol dalam hati. Keadaan ini mengakibatkan
supersaturasi getah empedu oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah
empedu, mengendap dan menjadi batu empedu.
c. Batu campuran, batu campuran dapat terjadi akibat kombinasi antara batu
pigmen dan batu kolesterol atau salah satu dari batu dengan beberapa zat lain
seperti kalsium karbonat, fosfat, dan garam empedu6

2.5. Patofisiologi
Menurut Corwin (2008) patofisiologi kolelitiasis yaitu perubahan
komposisi empedu. Perubahan komposisi ini membentuk inti, lalu lambat
laun menebal dan mengkristal. Proses pengkristalan dapat berlangsung
lama, bisa sampai bertahun-tahun dan akhirnya akan menghasilkan batu
empedu, bila adanya peradangan pada kandung empedu dapat
mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan sususan kimia dan
pengendapan beberapa unsur konstituen seperti kolesterol, kalsium,
bilirubin. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus. Mukus meningkatan viskositas dan unsur seluler
atau bakteri dapat berperan sebgai pusat presipitasi. Adanya proses infeksi
ini terkait mengubah komposisi empedu dengan meningkatkan reabsorpsi
garam empedu dan lesitin. Genetik. Salah satu faktor genetikk yang
menyebabkan terjadinya batu empedu adalah obesitas karena orang
dengan dengan obesitas cenderung mempunyai kadar kolesterol yang
tinggi. Kolesterol tersebut dapat mengendap di saluran pencernaan juga di
saluran kantung empedu, yang lama kelamaan akan berubah menjadi batu
empedu. 7

2.6. Manifestasi Klinis

Kolelitiasis dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu: asimptomatik


(adanya batu empedu tanpa gejala), simptomatik (kolik bilier), dan kompleks (
menyebabkan kolesistitis, koledokolitiasis, serta kolangitis). Sekitar 60-80 %
kolelitiasis adalah asimptomatik. Keluhan yang mungkin timbul adalah
dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada
yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran
kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang
beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi
pada 30% kasus timbul tiba-tiba.7

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak


bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita
melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau
terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik
nafas dalam. Episode kolik ini sering disertai dengan mual dan muntah-
muntah dan pada sebagian pasien diikuti dengan kenaikan bilirubin serum
bilamana batu migrasi ke duktus koledokus. Adanya demam atau menggigil
yang menyertai kolik bilier biasanya menunjukkan komplikasi seperti
kolesistitis, kolangitis atau pankreatitis. Kolik bilier dapat dicetuskan sesudah
makan banyak yang berlemak7
2.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
a. Manifestasi batu kandung empedu
Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung empedu,
empiema kandung empedu, atau pankreatitis. Pada pemeriksaan ditemukan
nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomi kandung
empedu. Tanda murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu
penderita menarik napas panjang karena kandung empedu yang meradang
tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik napas.
b. Manifestasi batu saluran empedu.3
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda dalam fase tenang.
Kadang teraba hepar agak membesar dan sclera ikterik. Apabila sumbatan
saluran empedu bertambah berat, baru akan timbul ikterus klinis. Apabila
timbul serangan kolangitis yg umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan
gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut.
Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial
nonplogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil,
nyeri didaerah hepar, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis biasanya berupa
kolangiti piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentaderainold, berupa 3
gejala trias charcot ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan
kesadaran sampai koma. Kalau ditemukan riwayat kolangitis yang hilang
timbul, harus dicurigai kemungkinan hepatolitiasis.7

a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita batu empedu
diantaranya hitung sel darah lengkap, urinalisis, pemeriksaan feses, tes fungsi hepar,
dan kadar amilase serta lipase serum.
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Diduga terdapat kolesistitis akut jika ditemukan
leukositosis dan hingga 15% penderita memiliki peningkatan sedang dari enzim
hepar, bilirubin serum dan alkali fosfatase. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan
ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh
batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam
duktus koledukus. Kadar alkali fosfatase serum dan mungkin juga kadar amilase
serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.(26)Alkali
fosfatase merupakan enzim yang disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Pada
obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus
meningkatkan sintesis enzim ini. Kadar yang sangat tinggi, menggambarkan
obstruksi saluran empedu. Tetapi alkasi fosfatase juga ditemukan di dalam tulang
dan dapat meningkat pada kerusakan tulang. Selain itu alkali fosfatase juga
meningkat selama kehamilan karea sintesis plasenta.)Pada pemeriksaan urinalisis
adanya bilirubin tanpa adanya urobilinogen dapat mengarahkan pada kemungkinan
adanya obstruksi saluran empedu. Sedangkan pada pemeriksaan feses, tergantung
pada obstruksi total saluran empedu, maka feses tampak pucat.3,8
b. Pemeriksaan Radiologis
Diagnosis batu empedu dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan radiologis
terutama pemeriksaan Ultrasonography (USG). Pemeriksaan radiologis lain yang
dapat dilakukan adalah dengan foto polos abdomen, Computed tomography [CTl,
Magnetic nesonance cholangiography [MRCP], Endoscopic ultrasound [EUS], dan
Biliary scintigraphy. Hanya sekitar l0% dari kasus batu empedu adalah radioopak
karena batu empedu tersebut mengandung kalsium dan dapat terdeteksi dengan
pemeriksaan foto polos abdomen. Ultasonography (USG) dan cholescintigraphy
adalah pemeriksaan imaging yang sangat membantu dan sering digunakan untuk
mendiagnosis adanya batu empedu.8
1. Ultrasonography (USG)
Ultrasonography (USG) merupakan suatu prosedur non-invasif yang cukup aman,
cepat, tidak memerlukan persiapan khusus, relatif tidak mahal dan tidak melibatkan
paparan radiasi, sehingga menjadi pemeriksaan terpilih untuk pasien dengan dugaan
kolik biliaris. Ultrasonography mempunyai spesifisitas 90% dan sensitivitas 95%
dalam mendeteksi adanya batu kandung empedu. Prosedur ini menggunakan
gelombang suara (sound wave) untuk membentuk gambaran (image) suatu organ
tubuh. Indikasi adanya kolesistitis akut pada pemeriksaan USG ditunjukkan dengan
adanya batu, penebalan dinding kandung empedu, gas intramural, pengumpulan
cairan perikolesistikus dan Murphy sign positif akibat kontak dengan probe USG.
USG juga dapat menunjukkan adanya obstruksi distal dengan ditemukannya
pelebaran saluran intrahepatik atau saluran empedu ekstrahepatik. Tes ini kurang
berguna untuk menemukan batu yang berada di common bile duct8
.
1. Computed Tomography(CT) Scan
Pada pemeriksaan ini gambaran suatu organ ditampilkan dalam satu
seripotongan cross sectional yang berdekatan, biasanya 10-12 gambar. Deteksi
batu empedu dapat dilakukan juga dengan Computed tomography, tetapi tidak
seakurat USG dalam mendeteksi batu empedu, oleh karena itu CT scan tidak
digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan kemungkinan penyakit biliaris
kronik. CT scan berguna dalam menunjukkan adanya massa dan pelebaran
saluran empedu Pada kasus akut, pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya
penebalan dinding kandung empedu atau adanya cairan perikolesistikus akibat
kolesistitis akut. 12
2. Cholescintigraphy
Pemeriksaan cholescintigraphy menggunakan zat radioaktif, biasanya derivat
imidoacetic acid, yang dimasukkan ke dalam tubuh secara infravena, zat ini
akan diabsorpsi hati dan diekskresikan ke dalam empedu. Scan secara serial
menunjukkan radioaktivitas di dalam kandung empedu, duktus koledokus dan
usus halus dalam 30-60 menit. Pemeriksaan ini dapat memberikan keterangan
mengenai adanya sumbatan pada duktus sistikus. Cholescintigraphy mempunyai
nilai akurasi 95% untuk pasien dengan kolesistitis akut, tetapi pemeriksaan ini
mempunyai nilai positif palsu 30-40% pada pasien yang telah dirawat beberapa
minggu karena masalah kesehatan lain, terutama jika pasien tersebut
telah mendapat nutrisi parenteral12

3. Magnetic Resonance Cholangio Pancreatography


Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) adalah suatu
pemeriksaan yang menggunakan MRI imaging dengan software khusus.
Pemeriksaan ini mampu menghasilkan gambaran (images) yang serupa
Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) tanpa risiko sedasi,
pankreatitis atau perforasi. MRCP membantu dalam menilai obstruksi biliaris
dan anatomi duktus pankreatikus. Pemeriksaan ini lebih efektif dalam
mendeteksi batu empedu dan mengevaluasi kandung empedu untuk melihat
adanya kolesistitis. 12
4. Oral Cholecystography
Oral Cholecystography adalah suatu pemeriksaan non invasif lain, tetapi jarang
dilakukan. Pemeriksaan ini memerlukan persiapan terlebih dahulu, yaitu pasien
harus menelan sejumlah zat kontras oral yang mengandung iodine sehari
sebelum dilakukan pemeriksaan. Zat kontras tersebut akan diabsorpsi dan
disekresikan ke dalam empedu. Iodine di dalam zat kontras menghasilkan
opasifikasi dari lumen kandung empedu pada foto polos abdomen keesokan
harinya. Batu empedu tampak sebagai gambaran fiiling defects. Pemeriksaan ini
terutama digunakan untuk menentukan keutuhan duktus sistikus yang
diperlukan sebelum melakukan lithotripsy atau metode lain untuk
menghancurkan batu empedu. Pemeriksaan ini memerlukan persiapan 48 jam
sebelumnya. 12

5. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography


Endoscopic Retrograde Cholangio pancreatography (ERCP) adalah pemeriksaan
gold standard untuk mendeteksi batu empedu di dalam duktus koledokus dan
mempunyai keuntungan terapeutik untuk mengangkat batu empedu. ERCP
adalah suatu teknik endoskopi untuk visualisasi duktus koledokus dan duktus
pankreatikus. Pada pemeriksaan ini mengggunakan suatu kateter untuk
memasukkan alat yang dimasukkan ke dalam duktus biliari dan pankreatikus
untuk mendapatkan gambaran x-ray dengan fluoroscop. Selama prosedur, klinisi
dapat melihat secara langsung gambaran endoskopi dari duodenum dan papila
major, serta gambaran duktus biliari dan pankreatikus seperti
tampak pada gambar berikut. 12

6. Endoscopic Ultrasonography Endoscopic Ultrasonography (EUS)


Endoscopic Ultrasonography Endoscopic Ultrasonography (EUS) adalah suatu
prosedur diagnostik yang menggunakan ultrasound frekuensi tinggi untuk
mengevaluasi dan mendiagnosis kelainan traktus digestivus. EUS menggunakan
duodenoskop dengan probe ultrasound pada bagian distal yang dapat
menggambarkan organ, pembuluh darah, nodus limfatikus dan duktus empedu.
Dari bagian dalam lambung atau duodenum, endoskop dapat memberikan
gambaran pankreas dan struktur yang berdekatan. EUS dapat mendiagnosis
secara akurat adanya batu empedu di dalam duktus koledokus tetapi tidak
mempunyai nilai terapeutik seperti ERCP. 12

7. Foto Polos Abdomen


Pemeriksaan foto polos abdomen dapat mengidentifikasi batu jika batu tersebut
radio opak atau terbuat dari kalsium dalam konsentrasi tinggi. Pada radiografi
polos, batu empedu biasanya muncul sebagai tunggal atau ganda, piramida,
faceted, atau kalsifikasi cuboidal yang terletak di kuadran kanan atas (kuadran
kanan atas). Kalsifikasi mungkin terjadi di pusat, homogen, atau rimlike. Ketika
beberapa batu empedu terlihat, biasanya batu-batu berkerumun dan membentuk
segi. Udara dapat terlihat pada celah pusat, menciptakan lucency stellata yang
disebut tanda Mercedes Benz. Pada film tegak, batu mungkin terlihat berlapis
pada kantong empedu. 12
Diagnosis Banding 9
▪ Kolangitis
▪ Hepatitis
▪ Pankreatitis
▪ Appendisitis

2.8. Tatalaksana
Terapi pasien dengan batu empedu tergantung pada derajat keparahan penyakit. Idealnya,
intervensi dalam keadaan litogenik dapat mencegah pembentukan batu empedu, meskipun,
saat ini, opsi ini terbatas pada beberapa keadaan khusus. Setelah batu empedu menjadi
simtomatik, intervensi bedah definitif dengan kolesistektomi biasanya diindikasikan
(kolesistektomi laparoskopi adalah terapi lini pertama).

Pada pasien dengan komplikasi kolesistitis yang parah , stabilisasi pasien dan drainase
kandung empedu, diikuti dengan kolesistektomi, dapat dipertimbangkan. Peran manajemen
medis batu empedu telah menurun dalam beberapa tahun terakhir. Namun, terapi medis
mungkin menjadi alternatif yang berguna untuk kolesistektomi pada pasien tertentu, terutama
pada mereka yang tidak memenuhi kriteria untuk pembedahan dan yang tidak ingin menjalani
pembedahan. Perawatan medis, selain pereda nyeri , tidak diberikan pada bagian gawat
darurat sebagai terapi awal. 9

Perawatan medis untuk batu empedu, digunakan tunggal atau dalam kombinasi, yaitu:

1. Terapi garam empedu oral (asam ursodeoxycholic) (terutama untuk batu empedu
kolesterol x-ray-negatif pada pasien dengan fungsi kandung empedu normal)

2. Extracorporeal shockwave lithotripsy (terutama untuk batu empedu kolesterol


nonkalsifikasi pada pasien dengan fungsi kandung empedu normal)

Terapi kolelitiasis asimtomatik


Perawatan bedah batu empedu tanpa gejala tanpa penyakit yang rumit secara
medis tidak dianjurkan. Risiko komplikasi yang timbul dari intervensi lebih tinggi
daripada risiko penyakit simptomatik. Sekitar 25% pasien dengan batu empedu tanpa
gejala mengalami gejala dalam 10 tahun.

Penderita diabetes dan wanita hamil harus melakukan tindak lanjut yang ketat
untuk menentukan apakah mereka mengalami gejala atau mengalami komplikasi.

Namun, kolesistektomi untuk batu empedu tanpa gejala dapat diindikasikan


pada pasien berikut:
a. Pasien dengan batu empedu besar, dengan diameter lebih dari 2 cm
(Dalam studi kasus kontrol dari 81 kasus kanker kandung empedu, risiko
keganasan lebih dari dua kali lipat [rasio ganjil: 2,4] untuk pasien
dengan diameter batu empedu 2,0-2,9 cm; Risiko neoplastik lebih dari
10 kali lipat [10.1] pada mereka yang memiliki diameter batu empedu ≥3
cm. [22] Penemuan ini menunjukkan implikasi untuk pengelolaan batu
empedu tanpa gejala, termasuk tindak lanjut tahunan dengan
pemeriksaan fisik, ultrasonografi perut, dan penelitian lain. sebagaimana
mestinya. [21])
b. Pasien dengan kandung empedu nonfungsional atau kalsifikasi
(porselen) yang diamati pada studi pencitraan dan yang berisiko tinggi
terkena karsinoma kandung empedu
c. Pasien dengan cedera sumsum tulang belakang atau neuropati sensorik
yang mempengaruhi perut
d. Pasien dengan anemia sel sabit yang sulit membedakan antara krisis
nyeri dan kolesistitis
Pasien dengan faktor risiko komplikasi batu empedu dapat ditawarkan kolesistektomi elektif,
bahkan jika mereka memiliki batu empedu tanpa gejala. Kelompok ini termasuk orang
dengan kondisi dan demografi berikut10,11:

1. Sirosis
2. Hipertensi portal
3. Anak-anak
4. Kandidat transplantasi
5. Diabetes dengan gejala ringan
6. Pasien dengan kalsifikasi atau kandung empedu porselen harus mempertimbangkan
kolesistektomi elektif karena kemungkinan peningkatan risiko karsinoma (25%).
Rujuk ke ahli bedah untuk pengangkatan sebagai prosedur rawat jalan. 10,11

Penghancuran batu empedu secara medis


Asam ursodeoxycholic (ursodiol) adalah zat pelarutan batu empedu. Pada
manusia, pemberian asam ursodeoxycholic jangka panjang mengurangi saturasi
kolesterol empedu, baik dengan mengurangi sekresi kolesterol hati dan dengan
mengurangi efek deterjen garam empedu di kantong empedu (dengan demikian
melindungi vesikula yang memiliki daya dukung kolesterol tinggi). Desaturasi
empedu mencegah pembentukan kristal dan, pada kenyataannya, memungkinkan
ekstraksi kolesterol secara bertahap dari batu yang ada.
Pada pasien dengan batu empedu kolesterol, pengobatan dengan asam
ursodeoxycholic dengan dosis 8-10 mg / kg / hari PO dibagi dua / dua dapat
menyebabkan pembubaran batu empedu bertahap. Intervensi ini biasanya
membutuhkan 6-18 bulan dan hanya berhasil dengan batu kolesterol murni yang kecil.
Pasien tetap berisiko mengalami komplikasi batu empedu sampai pembubaran selesai.
Tingkat kekambuhan adalah 50% dalam 5 tahun. Selain itu, setelah penghentian
pengobatan, kebanyakan pasien membentuk batu empedu baru selama 5-10 tahun
berikutnya. 10,11

Terapi kolelitiasis simtomatik


Pada pasien dengan gejala batu empedu, diskusikan pilihan untuk intervensi
bedah dan non-bedah; dokter darurat harus merujuk pasien ke penyedia perawatan
primer mereka dan mendapatkan konsultasi bedah untuk tindak lanjut pasien rawat
jalan. 9

1. Kolesistektomi
Pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya diindikasikan pada
pasien yang mengalami gejala atau komplikasi batu empedu, kecuali usia pasien dan
kesehatan umum membuat risiko pembedahan menjadi penghalang. Dalam beberapa
kasus empiema kandung empedu, drainase sementara nanah dari kantong empedu
(kolesistostomi) mungkin lebih disukai untuk memungkinkan stabilisasi dan
memungkinkan kolesistektomi selanjutnya dalam keadaan elektif.

Pada pasien dengan batu kandung empedu yang diduga memiliki batu saluran
empedu yang terjadi bersamaan, ahli bedah dapat melakukan kolangiografi
intraoperatif pada saat kolesistektomi. Saluran empedu umum dapat dieksplorasi
menggunakan koledokoskop. Jika batu saluran umum ditemukan, batu tersebut
biasanya dapat diekstraksi secara intraoperatif. Alternatifnya, ahli bedah dapat
membuat fistula antara saluran empedu bagian distal dan duodenum yang berdekatan
(choledochoduodenostomy), sehingga batu dapat masuk ke usus tanpa
membahayakan. 9

Kolesistektomi terbuka versus laparoskopi


Kolesistektomi pertama dilakukan pada akhir tahun 1800-an. Pendekatan terbuka
yang dipelopori oleh Langenbuch tetap menjadi standar perawatan sampai akhir 1980-
an, ketika kolesistektomi laparoskopi diperkenalkan. Kolesistektomi laparoskopi
adalah pelopor revolusi invasif minimal, yang telah memengaruhi hampir semua
bidang praktik bedah modern. Saat ini, kolesistektomi terbuka terutama dilakukan
untuk situasi khusus.
Pendekatan terbuka tradisional untuk kolesistektomi menggunakan sayatan
subkostal kanan yang besar. Sebaliknya, kolesistektomi laparoskopi menggunakan
empat sayatan yang sangat kecil. Waktu pemulihan dan nyeri pasca operasi sangat
berkurang dengan pendekatan laparoskopi.
Saat ini, kolesistektomi laparoskopi biasanya dilakukan dalam pengaturan rawat
jalan. Dengan mengurangi rawat inap dan waktu yang hilang dari pekerjaan,
pendekatan laparoskopi juga mengurangi biaya kolesistektomi.
Dalam pedoman 2010 untuk aplikasi klinis bedah saluran empedu laparoskopi,
Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES) menyatakan
bahwa pasien dengan gejala kolelitiasis memenuhi syarat untuk menjalani operasi
laparoskopi. Pasien cholelithiasis yang laparoskopi kolesistektomi tanpa komplikasi
dapat dipulangkan pada hari yang sama jika nyeri pasca operasi dan mual terkontrol
dengan baik. Pasien yang berusia lebih dari 50 tahun mungkin berisiko lebih besar
untuk masuk kembali.
Selama laparoskopi kolesistektomi, ahli bedah harus mengambil batu yang
mungkin keluar melalui kantong empedu yang berlubang. Konversi ke prosedur
terbuka mungkin diperlukan dalam kasus tertentu.
Pada pasien yang batu empedu telah hilang di rongga peritoneum, rekomendasi
saat ini adalah tindak lanjut dengan pemeriksaan ultrasonografi selama 12 bulan.
Sebagian besar komplikasi (biasanya, pembentukan abses di sekitar batu) terjadi
dalam jangka waktu ini.
Komplikasi yang paling ditakuti dan tidak wajar dari kolesistektomi adalah
kerusakan saluran empedu. Insiden cedera saluran empedu meningkat dengan
munculnya kolesistektomi laparoskopi, tetapi insiden komplikasi ini telah menurun
seiring dengan peningkatan pengalaman dan pelatihan dalam bedah invasif minimal.
Kolangiografi rutin hanya sedikit membantu dalam mencegah cedera saluran
empedu yang umum. Namun, bukti yang baik menunjukkan bahwa hal itu mengarah
pada deteksi intraoperatif dari cedera tersebut. 9

2. Kolesistostomi
Pada pasien yang sakit kritis dengan empiema dan sepsis kandung empedu,
kolesistektomi bisa berbahaya. Dalam keadaan ini, ahli bedah dapat memilih untuk
melakukan kolesistostomi, prosedur minimal yang melibatkan penempatan tabung
drainase di kantong empedu. Ini biasanya menghasilkan perbaikan klinis. Setelah
pasien stabil, kolesistektomi definitif dapat dilakukan dalam keadaan elektif.
Kolesistostomi juga dapat dilakukan dalam beberapa kasus oleh ahli radiologi
invasif di bawah panduan CT-scan. Pendekatan ini menghilangkan kebutuhan akan
anestesi dan sangat menarik bagi pasien yang secara klinis tidak stabil.9

3. Sfingterotomi endoskopi
Jika operasi pengangkatan batu saluran empedu tidak dapat segera dilakukan,
sfingterotomi retrograde endoskopik dapat digunakan. Dalam prosedur ini, ahli
endoskopi mengkanulasi saluran empedu melalui papilla Vater. Dengan menggunakan
elektrokauter sfingterotom, ahli endoskopi membuat sayatan berukuran kira-kira 1 cm
melalui sfingter Oddi dan bagian intraduodenal dari saluran empedu umum, membuat
lubang di mana batu dapat diekstraksi.
Sfingterotomi retrograde endoskopi sangat berguna pada pasien yang sakit kritis
dengan kolangitis asendens yang disebabkan oleh impaksi batu empedu di ampula
Vater. Indikasi lain untuk prosedur ini adalah sebagai berikut:
a. Pengangkatan batu saluran empedu secara tidak sengaja tertinggal selama
kolesistektomi sebelumnya

b. Pembersihan batu sebelum operasi dari saluran empedu untuk


menghilangkan kebutuhan eksplorasi saluran empedu umum intraoperatif,
terutama dalam situasi di mana keahlian ahli bedah dalam eksplorasi
saluran empedu laparoskopi terbatas atau risiko anestesi pasien tinggi,

c. Mencegah kambuhnya pankreatitis batu empedu akut atau komplikasi


koledocholitiasis lainnya pada pasien yang terlalu sakit untuk menjalani
kolesistektomi elektif atau yang prognosis jangka panjangnya buruk.
Sfingterotomi endoskopi intraoperatif (IOES) selama laparoskopi kolesistektomi
telah disarankan sebagai pengobatan alternatif untuk sfingterotomi endoskopi pra
operasi (POES) diikuti dengan kolesistektomi laparoskopi; ini karena IOES sama
efektif dan amannya dengan POES dan menghasilkan masa tinggal di rumah sakit
yang jauh lebih singkat. 9

2.9. Komplikasi
1. Kolesistisis akut
Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu
tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung
empedu.
2. Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi yang
menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran
menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu.
3. Koledokolithiasis
Koledokolithiasis dapat didiagnosis dan diobati dengan endoskopi atau
cholangiography perkutan. Ini adalah komplikasi yang terjadi ketika batu
empedu berpindah ke saluran empedu. Choledocholithiasis disebabkan oleh
migrasi kolesterol atau pigmen hitam batu dari kandung empedu ke dalam
saluran empedu. Gejala terkait dengan tingkat onset dan derajat obstruksi dan
potensi kontaminasi bakteri dari empedu terhambat. Temuan fisik sering tidak
hadir jika obstruksi intermiten; Namun, jika obstruksi terjadi kemudian, akan ada
ikterus. Standar emas untuk diagnosis dan pengobatan batu empedu menghalangi
saluran empedu umum dan / atau saluran utama pankreas ERCP.
4. Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung
empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang
berkaitan dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang normal.
Kolesistektomi bersifat kuratif.

5. Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat
membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.
6. Pankreatitis Bilier
Batu yang menyebabkan batu empedu pankreatitis bisa lewat dari saluran tanpa
intervensi atau mungkin memerlukan endoskopi atau pembedahan. Dalam kasus
jaringan pankreas yang terinfeksi, atau kondisi yang disebut nekrosis pankreas
(jaringan mati) terjadi, antibiotik dapat digunakan untuk mengendalikan atau
mencegah infeksi.8

2.10. Prognosis
Data menunjukkan bahwa hanya 50% pasien batu empedu yang mengalami gejala.
Angka kematian setelah kolesistektomi laparoskopi elektif kurang dari 1%. Namun,
kolesistektomi darurat dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi. Masalah lain
termasuk batu di saluran empedu setelah operasi, hernia insisional, dan cedera pada
saluran empedu. Beberapa persen pasien mengalami nyeri pasca kolesistektomi.9
DAFTAR PUSTAKA

1. AvundukC.Manual of Gastroenterology: Diagnosis and Theraphy 4th Edition.

Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins. 2008.


2. Richard, S., 2002. Anatomi klinik. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Jakarta
3. Sjamsuhidajat R, de Jong W., 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
4 Ko CW, Lee SP (2009). Gallstones. Dalam: Yamada T, Alpers DH, Kallo AN,
Kaplowitz N, Owyang C, Powell DW (eds). Textbook of gastroenterology.
Fifth edition Volume 1. UK: Blackwell Publishing, p: 1952.
5 Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi IV.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.479 –
481
6 Kim IS, Myung S, Lee SS, Lee SK, Kim MH. Classification and nomenclature
of gallstones revisited. Yonsei Med J.2003;44:561-70
7 Price, S, Lorraine, M., 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit. Volume 1. Edisi 6. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta

8. Schwartz, dkk., 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Penerbit buku

Kedokteran EGC. Jakarta

9. Allen J. Cholelithiasis. (diakses 22 November 2020). Tersedia dari: http :


//www.emedicine. com/

10. Robbins, dkk., 2007. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. Penerbit buku

Kedokteran EGC. Jakarta

11. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th
edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.

Anda mungkin juga menyukai