Anda di halaman 1dari 15

TUGAS KBM1

RESUME DAN SOP MANUAL FEKAL

DISUSUN OLEH:

NAMA : TOMI YAWAN DANGU RAMBA


NIM : PO 5303203191100

KELAS: 2A

POLTEKES KESEHATAN KEMENKES KUPANG

PRODI KEPERAWATAN WAINGAPU

TAHUN 2020/2021
1
A. Definisi Eliminasi Fekal
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa urin
atau feses. Eliminasi fekal adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa
metabolisme berupa feses yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. Perawat
sering kali menjadi tempat konsultasi atau terlibat dalam membantu klien yang
mengalami eliminasi.
B. Fisiologi Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum, sedangkan fisiologi
defekasi adalah mekanisme perjalanan makanan hingga akhirnya keluar menjadi feses
melalui anus dalam proses defekasi. Frekuensi defekasi sangat bersifat individual,
yang beragam dari beberapa kali sehari hingga dua atau tiga kali seminggu. Jumlah
yang dikeluarkan juga bervariasi pada setiap orang. Jika gelombang peristaltic
menggerakkan feses ke kolon sigmoid dan rektum,saraf sensorik di rektum di
stimulasi dan individu menjadi ingin defekasi. Jika sfingter anal internal relaks, maka
feses akan bergerak menuju anus. Setelah individu di dudukkan pada toilet, sfingter
anal eksternal akan berelaksasi secara volunter. Pengeluaran feses dibantu oleh
kontraksi otot abdomen dan diagfragma, yang meningkatkan tekanan abdomen dan
oleh kontraksi otot dasar panggul, yang memindahkan feses ke saluran anus.
Berikut ini akan dibahas secara singkat organ-organ yang berperan dalam
sistem pencernaan beserta fungsinya.
1. Mulut
Proses pertama dalam sistem pencernaan berlangsung di mulut. Makanan
akan dipotong, diiris, dan dirobek dengan bantuan gigi. Makanan yang masuk
ke mulut dipotong menjadi bagian yang lebih kecil agar mudah di telan dan
untuk memperluas permukaan makanan yang akan terkena enzim. Setelah
makanan dipotong menjadi bagian yang lebih kecil, maka selanjutnya
makanan akan diteruskan ke faring dengan bantuan lidah.
2. Faring
Faring adalah rongga dibelakang tenggorokan yang berfungsi dalam sistem
pencernaan dan pernafasan. Dalam sistem pencernaan, faring berfungsi
sebagai penghubung antara mulut dan esofagus.
3. Esofagus
Esofagus adalah saluran berotot yang relatif lurus yang terbentang antara
faring dan lambung. Pada saat menelan, makanan akan dipicu oleh gelombang
2
peristaltik yang akan mendorong bolus menelusuri esofagus dan masuk ke
lambung.
4. Lambung
Lambung adalah organ yang terletak antara esofagus dan usus halus. Di
dalam lambung makanan yang masuk akan disimpan lalu disalurkan ke usus
halus. Sebelum makanan masuk ke usus halus, makanan terlebih dahulu akan
dihaluskan dan dicampurkan kembali sehingga menjadi campuran cairan
kental yang biasa disebut dengan kimus. Lambung menyalurkan kimus ke
usus halus sesuai dengan kapasitas usus halus dalam mencerna dan menyerap
makanan dan biasanya satu porsi makanan menghabiskan waktu dalam
hitungan menit
5. Usus halus
Usus halus adalah tempat sebagian besar pencernaan dan penyerapan
berlangsung.
6. Usus besar
Usus besar adalah organ pengering dan penyimpan makanan. Kolon
mengekstrasi H2O dan garam dari isi lumennya untuk membentuk masa padat
yang disebut feses. Fungsi utama usus besar adalah untuk menyimpan feses
sebelum defekasi. Kolon terdiri dari 7 bagian, yaitu sekum, kolon asendens,
kolon transversal, kolon desendens, kolon sigmoid, rektum dan anus.
Usus besar adalah sebuah saluran otot yang dilapisi oleh mukosa. Serat
otot yang dilapisi oleh membrane mukosa. Serat otot berbentuk sikular dan
longitudinal yang memungkinkan usus membesar dan berkontraksi melebar
dan memanjang. Otot longitudinal lebih pendek dibandingkan kolon, oleh
karena itu usus besar membentuk kantung atau yang biasa disebut dengan
haustra. Kolon juga memberi fungsi perlindungan karena mensekresikan
lendir.
Lendir ini berperan untuk melindungi usus besar dari trauma akibat
pembentukan asam di dalam feses dan berperan sebagai pengikat yang akan
menyatukan materi fekal. Lendir ini juga akan melindungi usus besar dari
aktifitas bakteri.
Di dalam usus besar terdapat 3 tipe pergerakan yaitu gerakan haustral
churning, peristalsis kolon, peristalsis masa. Gerakan haustral churning akan
menggerakan makanan ke belakang dan ke depan yang berperan untuk
menyatukan materi feses, membantu penyerapan air dan untuk menggerakan

3
isi usus kedepan. Gerakan peristalsis kolon adalah gerakan yang menyerupai
gelombang yang akan mendorong isi usus kedepan. Gerakan ini sangat lambat
dan diduga sangat sedikit menggerakan materi feses tersebut disepanjang usus
besar. Yang ketiga adalah gerakan peristalsis massa. Gerakan ini melibatkan
suatu gerakan kontraksi yang sangat kuat sehingga menggerakkan sebagian
besar kolon. Biasanya gerakan ini terjadi setelah makan, distimulasi oleh
keberadaan makanan di dalam lambung dan usus halus. Gerakan peristalsis
massa hanya terjadi beberapa kali dalam sehari pada orang dewasa.
7. Rektum dan Anus
Rektum pada orang dewasa biasanya memiliki panjang 10 – 15 cm
sedangkan saluran anus memiliki panjang 2,5 – 3 cm. Di dalam rektum
terdapat lipatan-lipatan yang dapat meluas secara vertical. Setiap lipatan
vertikal berisi sebuah vena dan arteri. Diyakini bahwa lipatan ini membantu
menahan feses di dalam rektum. Jika vena mengalami distensi seperti yang
dapat terjadi jika terdapat tekanan berulang.
Saluran anus diikat oleh otot sfingter internal dan eksternal. Sfingter
internal berada dibawah kontrol involunter dan dipersarafi oleh sistem saraf
otonom, sedangkan sfingter eksternal berada di bawah kontrol volunter dan
dipersarafi ooleh sistem saraf somatik.
C. Proses Pembentukan Feses
Setiap harinya, sekitar 750 cc chyme masuk ke kolon dari ileum. Dikolon,
chyme tersebut mengalami proses absorbsi air, natrium, dan klorida.Absorbsi ini
dibantu dengan adanya gerakan peristaltik usus. Dari 750 chyme tersebut, sekitar
150-200 cc mengalami proses reabsorbsi. Chyme yangtidak direabsorbsi menjadi
bentuk semisolid yang disebut feses (Asmadi,2008).
Selain itu, dalam saluran cerna banyak terdapat bakteri. Bakteri tersebut
mengadakan fermentasi zat makanan yang tidak dicerna. Proses fermentasi akan
menghasilkan gas yang dikeluarkan melalui anus setiap harinya, yang kita kenal
dengan istilah flatus. Misalnya, karbohidrat saat difermentasi akan menjadi
hidrogen, karbondioksida, dan gas metan. Apabila terjadi gangguan pencernaan
karbohidrat, maka akan ada banyak gas yang terbentuk saat fermentasi. Akibatnya,
seseorang akan merasa kembung. Protein, setelah mengalami proses fermentasi
oleh bakteri, akan menghasilkan asam amino, indole, statole, dan hydrogen
sulfide. Oleh karenannya, apabila terjadi gangguan pencernaan protein, maka
flatus dan fesesnya menjadi sangat bau (Asmadi, 2008).

4
D. Proses Defekasi
Defekasi adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisametabolisme berupa
feses dan flatus yang berasal dari saluran pencernaanmelalui anus. Terdapat dua pusat
yang menguasai refleks untuk defekasi, yaituterletak di medula dan sumsum tulang
belakang. Apabila terjadi rangsanganparasimpatis, sfingter anus bagian dalam akan
mengendur dan usus besarmenguncup. Refleks defekasi dirangsang untuk buang air
besar kemudian sfingter anus bagian luar diawasi oleh sistem saraf parasimpatis,
setiap waktu menguncup atau mengendur. Selama defekasi, berbagai otot lain
membantu proses tersebut, seperti otot-otot dinding perut, diafragma, dan otot-otot
dasar pelvis (Hidayat, 2008).
Defekasi bergantung pada gerakan kolon dan dilatasi sfingter ani. Kedua faktor
tersebut dikontrol oleh sistem saraf parasimpatis. Gerakan kolon meliputi tiga gerakan
yaitu gerakan mencampur, gerakan peristaltik, dan gerakan massa kolon. Gerakan
massa kolon ini dengan cepat mendorong feses makanan yang tidak dicerna (feses)
dari kolon ke rektum (Asmadi,2008).
E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal
Pada defekasi bertahap dalam kehidupan yang berbeda. Keadaan diet, asupan
dan haluran cairan, aktivitas, faktor psikologis, gaya hidup, pengobatan dan prosedur
medis, serta penyakit juga mempengaruhi defekasi.
1. Perkembangan

Bayi yang baru lahir, batita, anak – anak,dan lansia adalah kelompok
yang anggotanya memiliki kesamaan dalam pola eliminasi.

a. Bayi yang baru lahir

Mekonium, adalah materi feses pertama yang dikeluarkan oleh bayi


baru lahir, normalnya terjadi dalam 24 jam pertama setelah lahir. Bayi
sering mengeluarkan feses, sering kali setiap sesudah makan. Karena usus
belum matur, air tidak diserap dengan baik dan feses menjadi lunak, cair,
dan sering dikeluarkan. Apabila usus telah matur, flora bakteri meningkat.
Setelah makanan padat diperkenalkan, feses menjadi lebih keras dan
frekuensi defekasi berkurang.

b. Batita

Sedikit kontrol defekasi telah mulai dimiliki pada usia 1 ½ sampai 2


tahun. Pada saat ini anak – anak telah belajar berjalan dan sistem saraf dan

5
sistem otot telah terbentuk cukup baik untuk memungkinkan kontrol
defekasi. Keinginan untuk mengontrol defekasi di siang hari dan untuk
menggunakan toilet secara umum dimulai pada saat anak menyadari
ketidaknyamanan yang disebabkan oleh popok yang kotor dan sensasi
yang menunjukkan kebutuhan untuk defekasi. Kontrol di siang hari
umumnya diperoleh pada usia 2 ½ tahun., setelah sebuah proses pelatihan
eliminasi.

c. Anak usia sekolah dan remaja

Anak usia sekolah dan remaja memiliki kebiasaan defekasi yang


sama dengan kebiasaan mereka saat dewasa. Pola defekasi beragam dalam
hal frekuensi, kuantitas, dan konsistensi. Beberapa anak usia sekolah
dapat menunda defekasi karena aktivitas seperti bermain.

d. Lansia

Konstipasi adalah masalah umumpada populasi lansia. Ini,


sebagian, akibat pengurangan tingkat aktivitas, ketidakcukupan jumlah
asupan cairan dan serat, serta kelemahan otot. Banyak lansia percaya
bahwa “keteraturan” berarti melakukan defekasi setiap hari. Mereka yang
tidak memenuhi kriteria ini sering kali mencari obat yang dijual bebas
untuk meredakan kondisi yang mereka yakini sebagai konstipasi. Lansia
harus dijelaskan bahwa pola normal eliminasi fekal sangat beragam.

Bagi beberapa orang dapat setiap dua hari sekali bagi orang lain,
dua kali dalam satu hari. Kecukupan serat dalam diet, kecukupan latihan,
dan asupan cairan 6 sampai 8 gelas sehari merupakan upaya pencegahan
yang essensial terhadap konstipasi. Berespons terhadap refleks gastrokolik
(peningkatan peristalsis kolon setelah makanan memasuki lambung) juga
merupakan pertimbangan yang sangat penting. Individu paruh baya harus
diperingatkan bahwa penggunaan laksatif secara konsisten akan
menghambat refleks defekasi alamiah dan diduga menyebabakan
konstipasi dan bukan menyembuhkannya.

2. Diet

Bagian massa (selulosa, serat) yang besar di dalam diet dibutuhkan


untuk memberikan volume fekal. Diet lunak dan diet rendah serat berkurang

6
memiliki massa dan oleh karena itu kurang menghasilkan sisa dalam produk
buangan untuk menstimulasi refleks defekasi. Makanan tertentu sulit atau
tidak mungkin untuk dicerna oleh beberapa orang. Ketidakmampuan ini
menyebabkan masalah pencernaan dan dalam beberapa keadaan dapat
menghasilkan feses yang encer.

3. Cairan
Bahkan jika asupan cairan atau haluaran (misalnya urine atau muntah)
cairan berlebihan karena alasan tertentu, tubuh terus akan menyerap kembali
cairan dari kime saat bergerak di sepanjang kolon. Kime jadi lebih lebih
kering dibandingkan normal, menghasilkan feses yang keras. Selain itu
pengurangan asupan cairan memperlambat perjalanan kime disepanjang usus,
makin meningkatkan penyerapan kembali cairan dari kime.
4. Aktivitas
Aktivitas menstimulasi peristalsis, sehingga memfasilitasi pergerakan
kime disepanjang kolon. Otot abdomen dan panggul yang lemah sering kali
tidak efektif dalam meningkatkan tekanan intra abdomen selama defekasi
atau dalam mengontrol defekasi.
5. Faktor psikologis
Beberapa orang yang merasa cemas atau marah mengalami
peningkatan aktivitas peristaltik dan selanjutnya mual dan diare. Sebaliknya,
beberapa orang yang mengalami depresi dapat mengalami perlambatan
motilitas usus, yang menyebabkan konstipasi. Bagaimana seseorang
berespons terhadap keadaan emosional ini adalah hasil dari perbedaaan
individu dalam respons sistem saraf enterik terhadap vagal dari otak.
6. Kebiasaan defekasi
Pelatihan defekasi sejak dini dapat membentuk kebiasaan defekasi
pada waktu yang teratur. Banyak orang yang melakukan defekasi setelah
sarapan, saat refleks gastrokolik menyebabkan gelombang peristaltik massa di
usus besar.
7. Obat-obatan
Beberapa orang memiliki efek samping yang dapat mengganggu
eliminasi normal. Beberapa obat menyebabkan diare: obat lain seperti obat
penenang tertentu dalam dosis besar dan pemberian morfin dan kodein secara
berulang, menyebabkan konstipasi karena obat tersebut menurunkan aktivitas
gastrointestinal melalui kerjanya pada sistem saraf pusat.
7
8. Proses diagnostik
Sebelum prosedur diagnostik tertentu seperti visualisasi kolon, klien
dilarang mengomsumsi makanan atau minuman. Bilas enema dapat dilakukan
pada klien sebelum pemeriksaan. Dalam kondisi ini, defekasi normal
biasanya tidak akan terjadi sampai klien mengomsumsi makanan kembali.
9. Anastesia dan pembedahan
Anestesi umum menyebabkan pergerakan kolon normal berhenti atau
melambat dengan menghambat stimulasi saraf parasimpatis ke otot kolon.
Klien yang mendapatkan anastesia regional atau spinal kemungkinan lebih
jarang mengalami masalah ini. Pembedahan yang melibatkan penanganan
usus secara langsung dapat menyebabkan penghentian pergerakan usus secara
sementara. Kondisi ini disebut ileus.
10. Kondisi patologis
Cedera medula spinalis dan cedera kepala dapat menurunkan stimulasi
sensorik untuk defekasi. Hambatan mobilitas dapat membatasi kemampuan
klien untuk merespons terhadap desakan defekasi dan klien dapat mengalami
konstipasi, atau seorang klien dapat mengalami inkontinensia fekal karena
buruknya fungsi sfingter anal.
11. Nyeri
Klien yang tidak mengalami ketidaknyamanan saat defekasi sering
menekan keinginan akibat defekasinya untuk menghindari nyeri. Akibatnya
klien tersebut dapat mengalami konstipasi. Klien yang meminum analgesik
narkotik untuk mengatasi nyeri dapat juga mengalami konstipasi sebagai efek
samping obat tersebut.
F. Definisi tindakan manual fekal
Manual Fekal (menggunakan jari) adalah tindakan memasukkan jari kedalam
rectum pasien untuk mengambil atau menghancurkan feses, kemudian
mengeluarkannya. Prosedur ini dilakukan pada pasien lansia, pasien yang mengalami
kesulitan mengeluarkan feses secara volunteer akibat imobilisaasi yang lama, atau
pelaksaan enema yang tidak berhasil. Akan tetapi, prosedur ini tidak boleh dilakukan
pada pasien yang memiliki masalah kardiovaskuler karena dapat menyebabkan aritmia
jantung akibat respons verbal yang berlebihan.
Pengeluaran feses secara manual adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk
membantu memenuhi kebutuhan eliminasi fekal dengan cara mengeluarkan feses

8
mengeras dengan tangan. Tindakan ini memberikan bantuan pada pasien yang
mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan dasar eliminasi fekal karena feses yang
mengeras didaerah sigmoid. Kondisi ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih
lama, sehingga banyak air yang diserap.

G. Tujuan tindakan manual fekal


a. Membantu mengeluarkan feses yang keras dari rectum
b. Mengeluarkan feses sehingga pasien akan terhindar dari konstipasi dan kanker
kolon.
c. Pola defekasi klien kembali normal dan peristaltic usus kembali normal
d. Brbas dari rasa nyeri dan tidak nyaman
H. Indikasi Pasien yang dilakukan manual fekal
a. Dilakukan jika pemberian enema tidak berhasil
b. Masa feses terlalu besar untuk dikeluarkan secaravolunter
c. Klien lansia yang gagal mempertahankan keseimbangan diet dan asupan cairan
rentan terhadap impaksi feses
I. Prosedur Manual Fekal
A. PENGKAJIAN
- Baca kembali pesanan dokter
- Observasi daerah sekitar anus, bokong, adanya luka, hemoroid, kulit lecet
atau mengelupas
- Observasi status kesehatan klien dalam catatan keperawatan
- Kaji adanya distensi abdomen
- Kaji TTV klien sebelum tindakan dilakukan
- Kaji indikasi dan komplikasi pada saat tindakan ini dilakukan ( seperti :
Gangguan jantung, trauma tulang belakang).
- Kaji riwayat diet ( mis: makanan gandum, sereal,dll), perubahan aktivitas
sehari-hari, frekuensi penggunaan laxantia atau enema.
- Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang pola defekasi yang normal
B. PELAKSANAAN
 Persiapan alat
1 Sarung tangan
2 Masker
3 Baraschort
4 Bengkok

9
5 Kantong sampah non-medis
6 Jelly
7 Tissu
8 Waslap
9 Sabun
10 Baskom berisi air dua buah
11 Handuk
12 Pispot beserta tutupnya
13 Perlak atau pengalas
14 Selimut mandi
 Persiapan pasien dan lingkungan
1 Salam terapeutik
2 Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan
3 Dekatkan alat ke pasien
4 Tutup sampiran atau jaga privasi pasien
 Tindakan:
1 Cuci tangan
2 Pakai APD (Baraschort, Masker, Handscoon)
3 Atur posisi pasien
4 Pasang selimut ekstra (ganti selimut)
5 Letakkan perlak atau pengalas dibokong pasien
6 Buka pakaian bawah pasien
7 Anjurkan pasien untuk miring kerah kiri dengan lutut sedikit fleksi
Tindakan
8 Oleskan jari telunjuk dengan jelly diatas bengkok
9 Masukkan jari telunjuk perlahan-lahan kedalam anus sampai terasa
adanaya feses yang keras
10 Buat gerakan melingkar/sirkuler dengan jari telunjuk 2-5 kali untuk
merangsang sfingter anus dan pelan- pelan pecah-pecahkan feses yang
keras, kemudian keluarkan jari telunjuk dari anus
11 Keluarkan feses dengan telunjuk ke dalam pispot
12 Bersihkan anus dengan tissue, lalu bilas dengan waslap basah dan sabun
13 Keringkan gluteus atau bokong dengan handuk
14 Kenakan kembali pakaian pasien
 Terminasi

10
1 Rapihkan alat dan rapihkan pasien
2 Laps sarung tangan, masker, dan baraschort
3 Tanyakan respons pasie setelah dilakukan tindakan
4 Cuci tangan
5 Dokumentasikan tindakan dalam catatann tindakan keperawatan
J. Hal yang perlu diperhatikan
a. Lakukan tindakan dengan hati-hati, jangan sampai terjadi luka hingga berdarah
b. Bila terasa feses masih keras berikan pelumas secukupnya menghindari luka
pada anus
c. Instruksikan pada klien untuk tetap minum banyak dan makan makanan
berserat serta buah-buahan sehingga tidak terjadi konstipasi

11
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Dwi Widya. 2019. Manual Fecal [internet]. [diunduh tahun 2019 april 01].
Tersedia pada: https://id.scribd.com/document/403952754/Manual-fecal-docx

Dila Arnela Nadya. 2109. Gambaran Gangguan Eliminasi Fekal Pada Pasien Anak
Dengan Hirshprung Diseanse Di Ruang Cendana 4 Irna Rsup Dr.Sardjito
Yogyakarta[KTI]. Yogyakarta: Akademi Keperawatan Yogyakarta.

Kozier, dkk. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 7 Volume 2. Jakarta:
EGC.

Sherwood, Lauralee. 2014. Fisiologi Manusia Edisi 8. Jakarta : EGC

PURBA, M. A. M. (2017). HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN


KONSUMSI SERAT TERHADAP POLA DEFEKASI DAN INDEKS MASSA
TUBUH (IMT) MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
HASANUDDIN

12
STANDAR
OPERASIONAL TANGGAL TERBIT
PROSEDUR SOP PERSIAPAN HD

HD (Hemodialisis) adalah : Unit Dialisis yang didirikan untuk memperbaiki dan


Pengertian meningkatkan kualitas hidup penderita Gagal Ginjal Kronik agar dapat aktif dan
produktif.

 Memperoleh data pasien sebelum dilakukan dialysis.


Tujuan  Menentukan program dialisis
 Pasien nyaman dan proses dialysis dapat segera dilakukan.
 Termometer
 Tensi meter
 ECG monitor
 Oksigen
Persiapan alat dan
 Alat tulis
bahan
 Catatan observasi (status pasien)
 Kaca mata, masker, apron, sarung tangan
 Timbangan berat badan

13
 Mengecek program terapi
 Mencuci tangan
Tahap prainteraksi  Menyiapkan alat

Memberikan salam dan sapa nama pasien


Tahap orientasi Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
Menanyakan persetujuan/kesiapan pasien
1. Observasi keadaan umum pasien.
2. Jika keadaan umum pasien baik, anjurkan pasien mencuci tangan
3. Pasien timbang berat badan
4. Anjurkan pasien berbaring di tempat tidur/di kursi tindakan dialysis.
5. Posisi mesin cuci darah disesuaikan dengan posisi cimino (jika cimino
ditangan kiri, maka posisi mesin disebelah kiri dan sebaliknya).
6. Berikan pasien posisi yang nyaman.
7. Lakukan pemeriksaan :
a. Tanda-tanda vital (tensi, nadi, pernafasan, dan suhu badan)
Tahap kerja b. Anamnese riwayat dialysis yang lalu
c. Kaji keluhan pasien hari ini
d. Jika sesak, k/p pasang oksigen
e. Jika ada keluhan sakit dada atau riwayat sakit jantung (pasang ECG).
8. Tentukan daerah punksi atau tempat cimino
k/p dengarkan dengan stetoscope untuk memastikan desiran cimino

9. Jelaskan ke pasien bahwa tindakan akan dimulai


10. Letakkan perlak atau kain alas pada bagian bawah tangan pasien.
11. Dekatkan alat-alat punksi ke tempat pasien.Perawat mencuci tangan
12. Pakailah apros, masker, kacamata, dan sarung tangan untuk memulai
tindakan Memulai punksi cimino
Tahap terminasi  Melakukan evaluasi tindakan
 Berpamitan dengan pasien/keluarga
 Membereskan alat

14
 Mencuci tangan
 Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan

15

Anda mungkin juga menyukai