Anda di halaman 1dari 34

PRA-PROPOSAL

HUBUNGAN ANTARA AKTIVITAS FISIK DENGAN KUALITAS HIDUP PADA


LANSIA PENDERITA HIPERTENSI DI YAYASAN PELAYANAN KASIH
BETHESDHA MALANG.

DI SUSUN

ALOYSIUS OKTAVIANUS KUSUMA

( 1507.14201.383 )

PROGRAM STUDI ILMU S1 KEPERAWATAN

STIKES WIDYAGAMA HUSADA

MALANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan masalah yang ditemukan


pada masyarakat baik di negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia.
Hipertensi merupakan suatu keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih dari
sama dengan 140 mmHg dan diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg. Hipertensi
dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu hipertensi primer atau esensial yang
penyebabnya tidak diketahui dan hipertensi sekunder yang dapat disebabkan oleh
penyakit ginjal, penyakit endokrin, penyakit jantung, dan gangguan anak ginjal.
Hipertensi seringkali tidak menimbulkan gejala, sementara tekanan darah yang terus-
menerus tinggi dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena
itu, hipertensi perlu dideteksi dini yaitu dengan pemeriksaan tekanan darah secara
berkala (Sidabutar, 2009).
Hipertensi belum banyak diketahui sebagai penyakit yang berbahaya,
padahal hipertensi termasuk penyakit pembunuh diam-diam, karena penderita
hipertensi merasa sehat dan tanpa keluhan berarti sehingga menganggap ringan
penyakitnya. Sehingga pemeriksaan hipertensi ditemukan ketika dilakukan
pemeriksaan rutin/saat pasien datang dengan keluhan lain. Dampak gawatnya
hipertensi ketika telah terjadi komplikasi, jadi baru disadari ketika telah menyebabkan
gangguan organ seperti gangguan fungsi jantung koroner, fungsi ginjal, gangguan
fungsi kognitif/stroke. Hipertensi pada dasarnya mengurangi harapan hidup para
penderitanya. Penyakit ini menjadi muara beragam penyakit degeneratif yang bisa
mengakibatkan kematian. Hipertensi selain mengakibatkan angka kematian yang
tinggi juga berdampak kepada mahalnya pengobatan dan perawatan yang harus
ditanggung para penderitanya. Perlu pula diingat hipertensi berdampak pula bagi
penurunan kualitas hidup.
Bila seseorang mengalami tekanan darah tinggi dan tidak mendapatkan
pengobatan secara rutin dan pengontrolan secara teratur, maka hal ini akan
membawa penderita ke dalam kasus-kasus serius bahkan kematian. Tekanan darah
tinggi yang terus menerus mengakibatkan kerja jantung ekstra keras, akhirnya
kondisi ini berakibat terjadi kerusakan pembuluh darah jantung, ginjal, otak dan mata
(Wolff, 2006). Kurangnya pengetahuan akan mempengaruhi pasien hipertensi untuk
dapat mengatasi kekambuhan atau melakukan pencegahan agar tidak terjadi
komplikasi. Hal ini dikarenakan sebagian besar penderita hipertensi lansia bertempat
tinggal di pedesaan dan pendidikannya masih rendah. Pendidikan yang rendah pada
pasien hipertensi lansia tersebut mempengaruhi tingkat pengetahuan mengenai
penyakit hipertensi secara baik. Pengetahuan pasien hipertensi lansia yang kurang
ini berlanjut pada kebiasaan yang kurang baik dalam hal perawatan hipertensi.
Lansia tetap mengkonsumsi garam berlebih, kebiasaan minum kopi merupakan
contoh bagaimana kebiasaan yang salah tetap dilaksanakan.
Pengetahuan yang kurang dan kebiasaan yang masih kurang tepat pada
lansia hipertensi dapat mempengaruhi motivasi lansia dalam berobat. Motivasi
merupakan dorongan, keinginan dan tenaga penggerak yang berasal dari dalam diri
seseorang untuk melakukan sesuatu dengan mengesampingkan hal-hal yang
dianggap kurang bermanfaat. Motivasi yang kuat yang berasal dari diri pasien
hipertensi untuk sembuh akan memberikan pelajaran yang berharga. Proses untuk
menjaga tekanan darah pasien hipertensi tidak hanya dengan perawatan non
farmakologi seperti olah raga, namun juga dilakukan dengan cara pengobatan
farmakologi. Pengobatan farmakologi diperoleh salah satunya dengan cara
melakukan kontrol ke puskesmas. Pengobatan pasien hipertensi lansia di
puskesmas yang rutin sesuai jadwal kunjungan, akan mempercepat kondisi tekanan
darah pasien hipertensi lansia tetap terjaga dengan normal.
Penelitian Mubin dkk (2010) tentang Karakteristik dan Pengetahuan Pasien
dengan Motivasi Melakukan Kontrol Tekanan Darah di Wilayah Kerja Puskesmas
Sragi I Pekalongan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita hipertensi paling
sering terjadi pada usia 60 tahun, perempuan, pendidikan SD, bekerja sebagai buruh
petani dan berpengetahuan sedang. Tidak ada hubungan yang signifikan antara
karakteristik pasien dengan motivasi kontrol tekanan darah. Ada hubungan yang
signifikan antara pengetahuan dengan motivasi kontrol tekanan darah Hasil studi
pendahuluan yang dilakukan peneliti dengan metode wawancara terhadap 11 lansia
di Puskesmas Arjowinangun pada bulan Juni 2012, didapatkan data 7 lansia
mengatakan kurang mengetahui penyebab, tanda dan gejala hipertensi. Lansia
menyatakan hanya merasakan keluhan seperti pusing dan mual. Pasien juga
menyatakan bahwa jarang melakukan kontrol ke puskesmas, karena pasien merasa
sehat dan tidak merasakan pusing-pusing sehingga tidak melakukan kontrol ke
puskesmas. Selain itu jarak rumah yang cukup jauh dengan puskesmas menjadikan
pasien hipertensi lansia enggan untuk kontrol pengobatan. Berbeda halnya dengan
4lansia penderita hipertensi pertanyaan yang diajukan mengenai pengertian, tanda
dan gejala hipertensi keempat lansia tersebut dapat menjawab tetapi pasien
hipertensi tidak selalu kontrol ke puskesmas sesuai jadwal.
Berdasarkan hasil studi awal tersebut menunjukkan bahwa ada berbagai
masalah yang menyebabkan pasien hipertensi tidak melaksanakan kontrol darah,
diantaranya adalah scbagian besar pasien hipertensi tidak mera sakan 6 adanya
keluhan, kurangnya pengetahuan pasien hipertensi tentang bahaya penyakit
hipertensi itu sendiri, aktiiitas atau kesibukan klien hipertensi sehingga sebagian dari
mereka kurang termotivasi untuk melakukan kontrol. Berdasarkan latar belakang
tersebut diatas peneliti ingin meneliti mengenai hubungan tingkat pengetahuan
dengan motivasi untuk memeriksakan diri pasien hipertensi pada lansia di
Puskesmas Arjowinagun Peningkatan kondisi sosial masyarakat dan usia harapan
hidup (UHH) menyebabkan jumlah lanjut usia (lansia) semakin bertambah (Utomo,
2010).
Menurut data Badan Pusat Statistik (2015) hasil proyeksi penduduk tahun
2014 menunjukkan umur harapan hidup penduduk Indonesia sebesar 70,6 tahun.
Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, lanjut usia di Indonesia pada tahun 2014
sebesar 8,2 persen. Peningkatan jumlah lansia tersebut perlu mendapatkan
perhatian karena lansia beresiko tinggi mengalami berbagai gangguan kesehatan
khususnya penyakit degeneratif. Menurut Tamher & Noorkasiani (2009) gangguan
kesehatan utama yang sering terjadi pada lansia salah satunya adalah tekanan
darah tinggi (hipertensi). Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah
sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitya 90 mmHg (Irmawati,
2013). Gangguan kesehatan tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup
pada lansia. Kualitas hidup berhubungan dengan kepuasan atau kebahagiaan dalam
kehidupan individu yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kesehatan. Kualitas
hidup mencakup emosianal, sosial, kesejahteraan fisik, serta kemampuan seseorang
dalam kehidupan sehari-hari (Donald, 2009).
Dari banyak penelitian di dapatkan bahwa dengan meningkatnya usia, maka
tekanan darah akan meningkat. Hipertensi menjadi masalah pada usia lanjut karena
sering ditemukan dan menjadi faktor utama stroke, payah jantung, dan penyakit
jantung koroner (Surya, 2010). Penanganan hipertensi dapat dilakukan dengan
memperbaiki pola hidup (terapi non farmakologis) dan terapi farmakologis. Salah
satu cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pola hidup adalah dengan
melakukan latihan fisik secara teratur. Latihan fisik tersebut bertujuan untuk
menurunkan tekanan darah dan terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup pada
penderita hipertensi (Setiawan dkk., 2012).
Latihan fisik yang sesuai dengan lansia diantaranya berjalan-jalan,
bersepeda, berenang, melakukan pekerjaan rumah dan senam. Latihan fisik seperti
senam yang teratur juga membantu mencegah keadaan atau penyakit kronis, seperti
tekanan darah tinggi (hipertensi) (Astari, 2012). Senam dapat meningkatkan aktivitas
metabolisme tubuh dan kebutuhan oksigen. Senam lansia sangat penting untuk para
lanjut usia, karena dapat menjaga kesehatan tubuh mereka. Berdasarkan hasil
penelitian Astari (2012) perbedaan perubahan tekanan darah sebelum dan setelah
diberikan senam lansia terdapat penurunan rata-rata tekanan darah sistolik
sebanyak 21,67 mmHg dan diastolik sebanyak 12,50 mmHg.
Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi penurunan nilai rata-rata tekanan
darah sistolik dan diastolik setelah melakukan senam lansia. Hasil penelitian yang
dilakukan Setiawan dkk (2013) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan skor kualitas
hidup rata-rata dengan Mac New Heart Disease Health Related QoL sebesar 9,27
yang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan senam bugar lansia terhadap
kualitas hidup penderita hipertensi. Berdasarkan dari hasil penelitian tersebut penulis
menyimpulkan bahwa senam bugar lansia merupakan salah satu aktivitas fisik yang
dapat dilakukan untuk menurunkan tekanan darah dan meningkatkan kualitas hidup
pada penderita hipertensi. Sehingga, peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh
senam bugar lansia terhadap tekanan darah dan kualitas hidup pada lansia
hipertensi.
Menurut WHO tahun 2010 menunjukkan sekitar 972 juta orang atau 26,4%
penduduk dunia menderita hipertensi, dengan perbandingan 50,54% pria dan 49,49
% wanita. Jumlah ini cenderung meningkat tiap tahunnya (Ardiansyah, 2012). Data
statistic dari Nasional Health Foundation di Australia memperlihatkan bahwa sekitar
1.200.000 orang Australia (15% penduduk dewasa di Australia) menderita hipertensi.
Besarnya penderita di negara barat seperti, Inggris, Selandia Baru, dan Eropa Barat
juga hampir 2 15% (Maryam, 2008).
Di Amerika Serikat 15% ras kulit putih pada usia 18-45 tahun dan 25-30% ras
kulit hitam adalah penderita hipertensi (Miswar, 2009). the International Society of
Hypertension (ISH), saat ini terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia,
dan 3 juta di antaranya meninggal setiap tahunnya. Tujuh dari setiap 10 penderita
tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat. (Rahajeng,2009)
Berdasarkan hasil survei Dinkes Propinsi Jawa Timur pada tahun 2008 Hipertensi
merupakan penyakit terbanyak peringkat ke-3 di puskesmas sentinel dengan angka
11,77 %, pada tahun 2009 naik ke peringkat 2 dengan angka 17,39%, pada tahun
2010 turun lagi ke peringkat 3 dengan angka 12,41%. (Dinkes Jatim,2008) Di
posyandu lansia Dusun Buntut Desa candi sewo Kecamatan Lowok Waru, sekitar
80% lansia yang berkunjung mengalami hipertensi. Ditempat tersebut pernah
diadakan program senam lansia tapi tidak berjalan. (Malang,2013)
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan masalah


sebagai berikut: Apakah ada pengaruh senam bugar lanjut usia terhadap tekanan
darah dan kualitas hidup pada lanjut usia hipertensi?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh senam bugar lanjut usia terhadap tekanan darah dan
kualitas hidup pada lanjut usia hipertensi.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengatahui gambaran tekanan darah lanjut usia di Posyandu Lansia


Sejahtera Kartasura
2. Untuk mengetahui gambaran kualitas hidup lanjut usia di Posyandu Lansia
Sejahtera Kartasura
3. Untuk mengetahui gambaran senam aerobic yang cocok untuk lanjut usia.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Institusi

Untuk menambah wawasan tentang pengaruh senam bugar lanjut usia


terhadap tekanan darah dan kualitas hidup pada lanjut usia hipertensi.

1.4.2 Praktis

1. Bagi Penulis

Melatih kreatifitas penulis dalam menuangkan gagasan pemikiran tentang


suatu kajian atau topik dari ilmu-ilmu yang sudah dipelajari.

2. Bagi Pembaca

1. Profesi Fisioterapi,sebagai bahan masukan untuk mengoptimalkan


pelayanan fisioterapi khususnya di bidang fisioterapi kardiovaskuler dan
fisioterapi geriatri.
1.2.3 Masyarakat
Diharapkan bagi masyarakta agar dapat menerapkan dan memahami
sumber-sumber makanan yang dapat menurunkan tekanan darah dan manfaat
melakukan aktifitas fisik, se sebagai tambahan pengetahuan dan edukasi tentang
senam bugar lanjut usia terhadap tekanan darah dan kualitas hidup pada lanjut
usia hipertensi.

1.2.4 Bagi Praktek Keperawatan


Diharapkan hasil penelitian ini digunakan untuk nonfarmakologi sebagai
pedukung terapi medis dalam keperawatan pasien Hipertensi.
BAB ll

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Hipertensi

2.1.1 Definisi Hipertensi


Hipertensi adalah tidak berubah sesuai dengan umur. tekanan darah
sistolik (TDS) > 140 mmHg dan/ atau tekanan darah diastolik (TDD) > 90
mmHg. The joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,
and treatment of High Bloodpressure (JNC VI) dan WHO/lnternational Society
of Hypertension guidelines subcommittees setuju bahwa TDS & keduanya
digunakan untuk klasifikasi hipertensi. (Kuswardhani,2006) Hipertensi
dikelompokkan menjadi dua, yaitu Hipertensi esensial atau idiopatik, dan
hipertensi sekunder. Hipertensi essensial merupakan 95% dari semua kasus
hipertensi dan masih dicari etiologinya.
Beberapa faktor dikemukakan relevan terhadap mekanisme penyebab
hipertensi, yaitu Genetik, Jenis kelamin, Usia, Natrium, Obesitas, Perokok,
Aktivitas Fisik, dan Stress.Hipertensi sekunder sekitar 5% telah diketahui
penyebabnya dan dapat dikelompokkan menjadi: penyakit parenkim ginjal
3%, penyakit renovaskuler 1%, Endokrin 1%. (Gray,2005) Hipertensi dengan
peningkatan tekanan sistol tanpa disertai peningkatan diastole lebih sering
pada lansia, sedangkan hipertensi dengan peningkatan diastole tanpa sistol
sering terjadi pada dewasa muda (Tambayong,2000) 5 6 Olahraga atau
senam hipertensi adalah bagian dari usaha untuk mengurangi berat badan
dan mengelola stress dua faktor yang mempertinggi hipertensi. Pada tahun
1993. American Collage of Sport Medicine (ACSM) menganjurkan latihan-
latihan aerobic (olahraga ketahanan) yang teratur serta cukup takarannya
untuk mencegah risiko hipertensi. Dengan melakukan gerakan yang tepat
selama 30-40 menit atau lebih sebanyak 3-4 hari perminggu, dapat
menurunkan tekanan darah sebanyak 10 mmHg pada bacaan sistolik dan
diastolik. Menurut American Society of Hypertension (ASH), pengertian
hipertensi adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler yang
progresif, sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling
berhubungan. (Informasi Lengkap Untuk Penderita Dan Keluarga
Hipertensi,2008) Olahraga yang teratur berkaitan dengan penurunan penyakit
jantung koroner sebesar 20-40%. (Gray,2005)
2.2 Epidemiologi
Walaupun peningkatan tekanan darah bukan merupakan bagian
normal dari ketuaan, insiden hipertensi pada lanjut usia adalah tinggi. Setelah
umur 69 tahun, prevalensi hipertensi meningkat sampai 50%. Pada tahun
1988- 1991 National Health and Nutrition Examination Survey menemukan
prevalensi hipertensi pada kelompok umur 65-74 tahun sebagai berikut:
prevalensi keseluruhan 49,6% untuk hipertensi derajat 1 (140-159/90-99
mmHg), 18,2% untuk hipertensi derajat 2 (160-179/100-109 mmHg), dan
6.5% untuk hipertensi derajat 3 (>180/110 mmHg). Ditengarai bahwa 7
hipertensi sebagai faktor risiko pada lanjut usia. Pada studi individu dengan
usia a 50 tahun mempunyai tekanan darah sistolik terisolasi sangat rentan
terhadap kejadian penyakit kardiovaskuler. (Kuswardhani,2006) Diperkirakan
50 juta orang dewasa amerika serikat menderita hipertensi. Hipertensi
merupakan factor resiko untuk arteri koroner, gagal jantung kongestif, stroke
dan gagal ginjal. Orang Amerika keturunan Afrika cenderung menderita
hipetensi lebih berat dan pada usia yang lebih dini, serta memiliki resiko
stroke dan infark miokard dua kali lebih besar disbanding dengan orang kulit
putih. (Brashers,2008).

2.3 Patofisiologi
Baik TDS maupun TDD meningkat sesuai dengan meningkatnya
umur. TDS meningkat secara progresif sampai umur 70-80 tahun, sedangkan
TDD meningkat samapi umur 50-60 tahun dan kemudian cenderung menetap
atau sedikit menurun. Kombinasi perubahan ini sangat mungkin
mencerminkan adanya pengakuan pembuluh darah`dan penurunan
kelenturan arteri dan ini mengakibatkan peningkatan tekanan nadi sesuai
dengan umur. Scperti diketahui, takanan nadi merupakan predictok terbaik
dari adanya perubahan struktural di dalam arteri. Mekanisme pasti hipertensi
pada lanjut usia belum sepenuhnya jelas. Efek utama dari ketuaan normal
terhadap sistem kardiovaskuler meliputi perubahan aorta dan pembuluh
darah sistemik. Penebalan dinding aorta dan pembuluhn darah besar
meningkat dan elastisitas pembuluh darah menurun sesuai umur. Perubahan
ini menyebabkan penurunan kelenturan aorta dan pembuluh darah besar dan
mengakibatkan pcningkatan TDS. Penurunan elastisitas pembuluh darah
menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler perifer. Sensitivitas
baroreseptor juga berubah dengan umur. (Kuswardhani,2006)
Perubahan mekanisme refleks baroreseptor mungkin dapat
menerangkan adanya variabilitas tekanan darah yang terlihat pada
pemantauan terus menerus. Penurunan sensitivitas baroreseptor juga
menyebabkan kegagalan refleks postural, yang mengakibatkan hipertensi
pada lanjut usia sering terjadi hipotensi ortostatik. Perubahan keseimbangan
antara vasodilatasi adrenergik beta dan vasokonstriksi adrenergik alfa akan
menyebabkan kecenderungan vasokontriksi dan selanjutnya mengakibatkan
pcningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan darah. Resistensi
Natrium akibat peningkatan asupan dan penurunan sekresi juga berperan
dalam terjadinya hipertensi. Walaupun ditemukan penurunan renin plasma
dan respons renin terhadap asupan garam, sistem renin-angiotensin tidak
mempunyai peranan utama pada hipertensi pada lanjut usia Berbagai
perubahan di atas bertanggung jawab terhadap penurunan curah jantung
(cardiac output), penurunan denyut jantung, penurunan kontraktilitas miokard,
hipertrofi ventrikcl kiri, dan disfungsi diastolik. Ini menyebabkan penurunan
fungsi ginjal dengan penurunan perfusi ginjal dan laju filtrasi glomerulus.
(Kuswardhani,2006)

2.4 Klasifikasi Hipertensi.


Tabel 2.1. Definisi dan Klasifikasi Tingkat Tekanan Darah (mmHg). Menurut WHO Tahun 1999.

Kategori Sistolik Diastolik


(mmHg). (mmHg).
Optimal <120 <80
Normal <130 < 85
Normal-tinggi 130-139 85-89
Hipertensi derajat 1 (ringan) 140-159 90-99
Subkelompok : borderline 140-149 90 – 94
Hipertensi derajat 2 (sedang) 160-179 100-109
Hipertensi derajat 3 (berat) ≥ 180 ≥110
Hipertensi sistolik terisolasi ≥ 140 < 90
Subkelompok : borderline 140 – 149 < 90

Sumber: (Dalimartha,dkk,2008)

Jika tekanan darah sistolik dan diastolik berbeda kategori, dipakai kategori yang lebih tinggi.

Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi menurut Joint National Committee 7th


Kategori Sistol (mmHg) Dan/atau Diastole (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Pre hipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi tahap 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi tahap ll ≥ 160 Atau ≥ 100
Sumber: (Chobanian,2003

Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Hasil Konsensus Perhimpunan Hipertensi


Indonesia Tahun 2007.

Kategori Sistol(mmhg) Dan/atau Dioatole(mmhg)


Normal <120 Dan <80
Pre hipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi tahap 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi tahap 2 ≥ 160 Atau ≥ 100
Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 Dan < 90
Sumber: (Jafar,2010).

2.5 FAKTOR RISIKO YANG MEMPENGARUHI HIPERTENSI


Fakktor risiko yang mempengaruhi hipertensi ada dua yaitu yang
dapat atau tidak dapat dikontrol:
2.5.1 Faktor Risiko Yang Tidak Dapat Dikontrol:
1. Jenis kelamin
Prevalensi hipertensi pada wanita (25%) lebih besar daripada
pria (24%) (Tesfaye et al,2007). Namun wanita terlindung dari
penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum
mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang
berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL).
Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam
mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan
estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada
usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan
sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi
pembuluh darah dari kerusakan Hormon estrogen ini kadarnya akan
semakin menurun setelah menopause. (Armilawati,2007).
2. Umur
Semakin meningkat umur responden semakin tinggi risiko
hipertensi.Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur,
disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar,
sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah
menjadi kaku, sebagai akibat adalah meningkatnya tekanan darah
sistolik.(Rahajeng,2009). Pada wanita, hipertensi sering terjadi pada
usia diatas 50 tahun. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan hormon
sesudah menopause.
Kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah produk samping
dari keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta,
dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya
banyak arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu
kehilangan daya penyesuaian diri. (Hanns Peter, 2009) Pada umur 25-
44 tahun prevalensi hipertensi sebesar 29%, pada umur 45-64 tahun
sebesar 51% dan pada umur >65 Tahun sebesar 65%. Penelitian
Hasurungan15 pada lansia menemukan bahwa dibanding umur 55-59
tahun, pada umur 60-64 tahun terjadi peningkatan risiko hipertesi
sebesar 2,18 kali, umur 65-69 tahun 2,45 kali dan umur >70 tahun
2,97 kali.(Rahajeng,2009)
3. Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan
menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal
ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan
rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium Individu dengan
orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar
untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai
keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80%
kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga
(Anggraini dkk,2009).

1.5.2 Faktor Resiko Yang Dapat Dikontrol:


1. Obesitas
Untuk mengetahui seseorang mengalami obesitas atau tidak,
dapat dilakukan dengan mengukur berat badan dengan tinggi badan,
yang kemudian disebut dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Rumus
perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

IMT =
Berat Badan (kg)
Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)

Seseorang dikatakan kegemukan atau obesitas jika memiliki


nilai IMT≥25.0. Obestitas merupakan faktor risiko munculnya berbagai
penyakit degeneratif, seperti hipertensi, penyakit jantung koroner dan
diabetes mellitus. Data dari studi Farmingham (AS) yang diacu dalam
Khomsan (2004) menunjukkan bahwa kenaikan berat badan sebesar
10% pada pria akan meningkatkan tekanan darah 6.6 mmHg, gula
darah 2 mg/dl, dan kolesterol darah 11 mg/dl. Prevalensi hipertensi
pada seseorang yang memiliki IMT>30 pada lakilaki sebesar 38% dan
wanita 32%, dibanding dengan 18% laki-laki dan 17% perampuan
yang memiliki IMT<25. (Krummel,2004)
2. Kurang Olahraga
Olahraga seperti bersepeda, jogging, dan aerobik yang teratur
dapat memperlancar peredaran darah sehingga menurunkan tekanan
darah. Orang yang kurang aktif berolah raga umumnya cenderung
mengalami kegemukan. Olahraga juga dapat mengurangi atau
mencegah obesitas serta mengurangi asupan garam kedalam tubuh.
Garam akan keluar dari tubuh bersama keringat. (Dalimartha,2008)
Melakukan aktivitas secara teratur (aktivitas fisik aerobic selama 30-45
menit/hari) diketahui sangat efektif dalam mengurangi risiko relatif
hipertensi hingga mencapai 19% hingga 30%. Begitu juga halnya
dengan kebugaran kardiorespirasi rendah pada usia paruh baya
diduga meningkatkan risiko hipertensi sebesar 50%. (Rahajeng,2009)
3. Kebiasaan Merokok
Hipertensi dirangsang oleh adanya nikotin dalam batang rokok
yang dihisap seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nikotin
dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh darah.
Selain itu, nikotin juga dapat menyebabkan terjadinya pengapuran
pada dinding pembuluh darah. (Dalimartha,2008)

4. Mengkonsumsi makanan asin dan berpengawet


Makanan asin dan makanan yang diawetkan adalah makanan
dengan kadar natrium tinggi. Natrium adalah mineral yang sangat
berpengaruh pada mekanisme timbulnya hipertensi. Makanan asin
dan awetan biasanya memiliki rasa gurih (umami), sehingga dapat
meningkatkan nafsu makan (Krisnatuti, 2005)
5. Minum alkohol
Minum alcohol dapat memicu terjadinya hipertensi karena
adanya peningkatan sintetis katekolamin yang dalam jumlah besar
dapat memicu kenaikan tekanan darah. (Dalimartha,2008)

6. Minum kopi
Dari hasil penelitian di Journal of Nutrition Collage dikatakan
bahwa kopi 1-2 cangkir perhari meningkatkan risiko hipertensi 4,11
kali lebih tinggi dibanding tidak meminum kopi. (Martiani,2012)
7. Stres
Pengaruh stres juga masih kontroversi, pengaruhnya diduga
melalui aktivitas saraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan
darah sebagai reaksi fisik bila sesorang mengalami ancaman (fight or
flight response). (Rahajeng,2009)
8. Diagnosis Hipertensi
Pada semua umur, diagnosis hipertensi memerlukan
pengukuran berulang dalam keadaan istirahat, tanpa ansietas, kopi,
alkohol, atau merokok. Namun demikian, salah diagnosis lebih sering
terjadi pada lanjut usia, terutama perempuan, akibat beberapa faktor
seperti berikut. Panjang cuff mungkin tidak cukup untuk orang gemuk
atau berlebihan atau orang terlalu kurus. Penurunan sensitivitas
refleks baroreseptor sering menyebabkan fluktuasi tekanan darah dan
hipotensi postural. Fluktuasi akibat ketegangan (hipertensi jas putih
=white coat hypertension) &latihan fisik juga lebih sering pada lanjut
usia. Arteri yang kaku akibat arterosklerosis menyebabkan tekanan
darah terukur lebih tinggi. Kesulitan pengukuran tekanan darah dapat
diatasi dengan cara pengukuran ambulatory.
Bulpitt et al. menganjurkan bahwa sebelum menegakkan
diagnosis hipertensi pada lanjut usia, hendaknya paling sedikit
dilakukan pemeriksaan di klinik sebanyak tiga kali dalam waktu yang
berbeda dalam beberapa minggu. (Kuswardhani,2006) Gejala HTS
yang sering ditemukan pada lanjut seperti ditemukan pada the SYST-
EUR trial adalah: 25% dari 437 perempuan dan 21% dari 204 laki-laki
menunjukkan keluhan. Gejala yang menonjol yang ditemukan pada
penderita perempuan dibandingkan penderita laki-laki adalah; nyeri
sendi tangan (35% pada perempuan vs. 22% pada laki-laki), berdebar
(33% vs.17%), mata kering (16% vs. 6%), penglihatan kabur (35% vs.
23%), kramp pada tungkai (43% vs. 31 %), nyeri tenggorok (15% vs.
7%), Nokturia merupakan gejala tersering pada kedua jenis kelamin,
68%.(Kuswardhani,2006)

2.6 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Penderita Lanjut Usia


Joint National Committee VII merekomendasikan konsep
terapi yang terbaru yaitu :
2.6.1. Pasien dengan tekanan darah sistolik 120-139 mmHg dan tekanan
darah diastolik 80-89 mmHg hanya memerlukan penatalaksanaan
nonfarmakologis dengan cara modifikasi gaya hidup.
2.6.2. Pasien yang tidak memiliki komplikasi hipertensi, diperlukan
penatalaksanaan secara farmakologis dengan diberikan obat
golongan diuretik atau bisa juga diberikan obat dari golongan lain.
2.6.3. Lebih memperhatikan tekanan darah sistolik dan penanganannya
harus dimulai jika tekanan darah sistolik meningkat walaupun
tekanan darah diastoliknya tidak.
2.6.4.Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan obat kombinasi
antihipertensi, salah satunya adalah obat dari golongan diuretik
tiazid.
2.6.5. Kebanyakan pasien hipertensi memerlukan 2 atau lebih pengobatan
untuk mencapai tekanan darah } 20/10 mmHg di atas tekanan
darah yang diinginkan.
2.6.6. Golongan ACE Inhibitor sendiri atau kombinasi dengan golongan
diuretic masih merupakan terapi pilihan yang terbaik untuk
pasien dengan hipertensi yang sudah mengalami komplikasi
penyakit jantung. Selain itu, juga diperlukan modifikasi pola hidup
bisa dilakukan dengan cara memperbaiki beberapa pola hidup,
seperti menurunkan berat badan jika ada kegemukan, mengurangi
minum alkohol, meningkatkan aktivitas fisik aerobik, mengurangi
asupan garam,mempertahankan asupan kalium yang adekuat,
mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat,
menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan
kolesterol. Seperti halnya pada orang yang lebih muda, intervensi
nonfarmakologis ini harus dimulai sebelum menggunakan obat-
obatan (Kuswardhani,2006).

2.7 Latihan Fisik

2.7.1 Defenisi Latihan Fisik


Latihan fisik dalam pelaksanaannya lebih difokuskan kepada proses
pembinaan kondisi fisik atlet secara keseluruhan, dan merupakan salah satu
faktor utama dan terpenting yang harus dipertimbangkan sebagai unsur yang
diperlukan dalam proses latihan guna mencapai prestasi yang tertinggi.
Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan potensi fungsional atlet dan
mengembangkan kemampuan biomotor ke derajat yang paling tinggi. Melalui
latihan kondisi fisik kebugaran jasmanai atlet dapat dipertahankan atau
ditingkatkan, baik yang berhubungan dengan keterampilan maupun dengan
kesehatan secara umum. Dimana kebugaran jasmani ini sebagai penentu
ukuran kemampuan fisik seseorang (atlet) dalam melaksanakan tugasnya
sehari-hari. Makin tinggi derajat kesegaran jasmani atlet makin tinggi pula
kemampuan kerja fisiknya.
Latihan kondisi fisik merupakan program pokok dalam pembinaan
atlet untuk berprestasi seperti halnya dalam prestasi bulutangkis atau bola
voli. “Latihan kondisi fisik adalah proses memperkembangkan kemampuan
aktivitas gerak jasmani yang dilakukan secara sistematik dan ditingkatkan
secara progresif untuk mempertahankan atau meningkatkan derajat
kebugaran jasmani agar tercapai kemampuan kerja fisik yang optimal”.
Kondisi fisik merupakan unsur yang sangat penting hampir diseluruh cabang
olahraga. Oleh karena itu latihan kondisi fisik perlu mendapat perhatian yang
serius direncanakan dengan matang dan sistematis sehingga tingkat
kesegaran jasmani dan kemampuan fungsional alat-alat tubuh lebih baik.
Apabila kodisi fisik baik, maka :
1. Akan ada peningkatan dalam kemampuan sistem sirkulasi dan kerja
jantung.
2. Terjadi peningkatan dalam kekuatan, kelentukan, stamina, kecepatan,
dan komponen kondisi fisik lainnya.
3. Akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi gerak kearah yang lebih
baik. LATIHAN FISIK
4. Waktu pemulihan akan lebih cepat. e. Respon bergerak lebih cepat
apabila dibutuhkan.

2.7.2 Perubahan-perubahan Fisik pada Lansia


Banyak perubahan-perubahan yang terjadi pada Lansia, diantaranya
perubahan komposisi tubuh, otot, tulang dan sendi, sistem kardiovaskular,
respirasi, dan kognisi. Distribusi lemak berubah dengan bertambahnya usia.
Laki-laki dengan bertambahnya usia akan mengakumulasi lemak terutama di
sekitar batang tubuh (truncus) dan di sekitar organ-organ dalam, sedangkan
wanita terutama di sekitar organ-organ dalam. Penelitian pada atlet senior
menunjukkan bahwa mereka mempunyai kadar lemak lebih renda
dibandingkan dengan non-atlet, namun apabila dibandingkan dengan atlet
muda mempunyai kadar lemak 5-10% lebih tinggi (Wojtek, 2000).
Pada Lansia, ada penurunan massa otot, perubahan distribusi darah
ke otot, penurunan PH dalam sel otot, otot menjadi lebih kaku, dan ada
penurunan kekuatan otot. Olahraga dapat meningkatkan kekuatan otot,
massa otot, perfusi otot, dan kecepatan konduksi saraf ke otot. Pada usia
90-an, 32% wanita dan 17% laki-laki mengalami patah tulang panggul dan
12-20% meninggal karena komplikasi. Massa tulang menurun 10% dari
massa puncak tulang pada usia 65 tahun dan 20% pada usia 80 tahun. Pada
wanita, kehilangan massa tulang lebih tinggi, kira-kira 15-20% pada usia 65
tahun dan 30% pada usia 80 tahun. Lakil-laki kehilangan massa tulang
sekitar 1% per tahun sesudah usia 50 tahun, sedangkan wanita mulai
kehilangan massa tulang pada usia 30-an, dengan laju penurunan 2-3% per
tahun sesudah menopause. Tulang, sendi, dan otot saling terkait. Jika sendi
tidak dapat digerakkan sesuai dengan ROM-nya maka gerakan menjadi
terbatas sehingga fleksibilitas menjadi komponen esensial dari program
latihan bagi Lansia. Jika suatu sendi tidak digunakan, maka otot yang
melintasi sendi akan memendek dan mengurangi ROM.
Latihan fleksibilitas dapat meningkatkan kekuatan tendon dan
ligamen, mempertahankan kekuatan otot yang melintasi sendi, mengurangi
nyeri pada kasus osteoartritis sehingga ROM bisa dipertahankan.
Perubahan pada sistem kardiovaskular ditandai dengan adanya perubahan
anatomi di jantung dan pembuluh darah, menurunnya denyut nadi maksimal,
meningkatnya tekanan darah, hipotensi postural, perubahan dalam pemulihan
denyut nadi sesudah aktivitas fisik, menurunnya jumlah darah yang dipompa
dalam tiap denyutan, dan perubahan dalam darah (sel darah merah,
hemoglobin). Olahraga disebutkan dapat menurunkan tekanan darah pada
hipertensi, meningkatkan stroke volume (jumlah darah yang dikeluarkan
jantung dalam satu kali denyutan), meningkatkan produksi sel darah merah,
menurunkan LDL dan menaikkan HDL, dan mempercepat pemulihan setelah
aktivitas fisik. Beberapa kondisi Lansia yang terkait dengan fungsi paru
diantaranya meningkatnya infeksi saluran nafas atas, berkurangnya luas
permukaan paru (75m2 pada usia 20 tahun menjadi 50-60 m2 pada usia 80
tahun, berkurangnya elastisitas paru, perubahan volume paru, dan
kemungkinan terjadi penyakit paru obstruktif menahun yang dapat
memperpend ek nafas, batuk, lendir yang berlebihan, dan rendahnya
toleransi terhadap latihan fisik. Olahraga dikatakan dapat mencegah
osteoporosis pada tulang dada, memperbaiki kondisi otot-otot pernafasan,
dan meningkatkan sistem imun, sedangkan kerusakan jaringan paru
tampaknya merupakan proses yang ireversibel.
Fungsi kognitif akan menurun dengan bertambahnya usia. Olahraga
dihipotesiskan dapat memperbaiki fungsi kognitif dengan cara meningkatkan
aliran darah ke otak dan meningkatkan pembentukan neurotransmiter otak.
Sementara dalam hal emosi, Lansia berisiko untuk mengalami depresi dan
menurunnya kemampuan dalam menghadapi stres. Depresi dapat timbul
karena menurunnya status kesehatan, kehilangan kemampuan fisik,
kehilangan pasangan hidup, tidak mempunyai pekerjaan, uang, ketakutan
hidup sendiri, dan lain sebagainya. Olahraga dapat memperbaiki mood,
meningkatkan kemampuan menghadapi stres, menurunkan angka depresi
melalui interaksi sosial saat olahraga. Lansia juga mengalami kendala
pengaturan keseimbangan karena menurunnya persepsi terhadap
kedalaman, menurunnya penglihatan perifer, menurunnya kemampuan untuk
mendeteksi informasi spatial. Kondisi ini berakibat meningkatnya risiko jatuh
pada Lansia. Olahraga yang ditujukan untuk memperbaiki keseimbangan
sangat bermanfaat, misalnya Tai Chi, dansa.

2.7.3 Manfaat Olahraga pada Lansia


Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang membutuhkan energi
untuk mengerjakannya, seperti berjalan, menari, mengasuh cucu, dan lain
sebagainya. Aktivitas fisik yang terencana dan terstruktur, yang melibatkan
gerakan tubuh berulang-ulang serta ditujukan untuk meningkatkan kebugaran
jasmani disebut olahraga (Farizati, 2002).
Manfaat olahraga pada Lansia antara lain dapat memperpanjang
usia, menyehatkan jantung, otot, dan tulang, membuat Lansia lebih mandiri,
mencegah obesitas, mengurangi kecemasan dan depresi, dan memperoleh
kepercayaan diri yang lebih tinggi. Olahraga dikatakan dapat memperbaiki
komposisi tubuh, seperti lemak tubuh, kesehatan tulang, massa otot, dan
meningkatkan daya tahan, massa otot dan kekuatan otot, serta fleksibilitas
sehingga lansia lebih sehat dan bugar dan risiko jatuh berkurang. Olahraga
dikatakan juga dapat menurunkan risiko penyakit diabetes melitus, hipertensi,
dan penyakit jantung. Secara umum dikatakan bahwa olahraga pada lansia
dapat menunjang kesehatan, yaitu dengan meningkatkan nafsu makan,
membuat kualitas tidur lebih baik, dan mengurangi kebutuhan terhadap obat-
obatan.
Selain itu, olahraga atau aktivitas fisik bermanfaat secara fisiologis,
psikologis maupun sosial. Menurut Nina (2007), secara fisiologis, olahraga
dapat meningkatkan kapasitas aerobik, kekuatan, fleksibilitas, dan
keseimbangan. Secara psikologis, olahraga dapat meningkatkan mood,
mengurangi risiko pikun, dan mencegah depresi. Secara sosial, olahraga
dapat mengurangi ketergantungan pada orang lain, mendapat banyak teman,
dan meningkatkan produktivitas.

2.7.4 Jenis Aktivitas Fisik pada Lansia


Aktivitas fisik yang bermanfaat untuk kesehatan Lansia sebaiknya
memenuhi kriteria FITT (frequency, intensity, time, type). Frekuensi adalah
seberapa sering aktivitas dilakukan, berapa hari dalam satu minggu.
Intensitas adalah seberapa keras suatu aktivitas dilakukan. Biasanya
diklasifikasikan menjadi intensitas rendah, sedang, dan tinggi. Waktu
mengacu pada durasi, seberapa lama suatu aktivitas dilakukan dalam satu
pertemuan, sedangkan jenis aktivitas adalah jenis-jenis aktivitas fisik yang
dilakukan.
Jenis-jenis aktivitas fisik pada Lansia menurut Kathy (2002), meliputi
latihan aerobik, penguatan otot (muscle strengthening)), fleksibilitas, dan
latihan keseimbangan. Seberapa banyak suatu latihan dilakukan tergantung
dari tujuan setiap individu, apakah untuk kemandirian, kesehatan, kebugaran,
atau untuk perbaikan kinerja (performance).
1. Latihan Aerobik
Lansia direkomendasikan melakukan aktivitas fisik setidaknya selama
30 menit pada intensitas sedang hampir setiap hari dalam seminggu.
Berpartisipasi dalam aktivitas seperti berjalan, berkebun, melakukan
pekerjaan rumah, dan naik turun tangga dapat mencapai tujuan yang
diinginkan. Lansia dengan usia lebih dari 65 tahun disarankan melakukan
olahraga yang tidak terlalu membebani tulang, seperti berjalan, latihan
dalam air, bersepeda statis, dan dilakukan dengan cara yang
menyenangkan. Bagi Lansia yang tidak terlatih harus mulai dengan
intensitas rendah dan peningkatan dilakukan secara individual berdasarkan
toleransi terhadap latihan fisik. Olahraga yang bersifat aerobik adalah
olahraga yang membuat jantung dan paru bekerja lebih keras untuk
memenuhi meningkatnya kebutuhan oksigen, misalnya berjalan, berenang,
bersepeda, dan lain-lain. Latihan fisik dilakukan sekurangnya 30 menit
dengan intensitas sedang, 5 hari dalam seminggu atau 20 menit dengan
intensitas tinggi, 3 hari dalam seminggu, atau kombinasi 20 menit intensitas
tinggi 2 hari dalam seminggu dan 30 menit dengan intensitas sedang 2 hari
dalam seminggu.
2. Latihan Penguatan Otot
Bagi Lansia disarankan untuk menambah latihan penguatan otot
disamping latihan aerobik. Kebugaran otot memungkinkan melakukan
kegiatan sehari-hari secara mandiri. Latihan fisik untuk penguatan otot
adalah aktivitas yang memperkuat dan menyokong otot dan jaringan ikat.
Latihan dirancang supaya otot mampu membentuk kekuatan untuk
mengerakkan atau menahan beban, misalnya aktivitas yang melawan
gravitasi seperti gerakan berdiri dari kursi, ditahan beberapa detik, berulang-
ulang atau aktivitas dengan tahanan tertentu misalnya latihan dengan tali
elastik. Latihan penguatan otot dilakukan setidaknya 2 hari dalam seminggu
dengan istirahat diantara sesi untuk masing-masing kelompok otot.
Intensitas untuk membentuk kekuatan otot menggunakan tahanan atau
beban dengan 10-12 repetisi untuk masing-masing latihan. Intensitas
latihan meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan individu.
Jumlah repetisi harus ditingkatkan sebelum beban ditambah. Waktu yang
dibutuhkan adalah satu set latihan dengan 10-15 repetisi.
3. Latihan Fleksibilitas dan Keseimbangan
Kisaran sendi (ROM) yang memadai pada semua bagian tubuh
sangat penting untuk mempertahankan fungsi muskuloskeletal,
keseimbangan dan kelincahan pada Lansia. Latihan fleksibilitas dirancang
dengan melbatkan setiap sendi-sendi utama
(panggul, punggung, bahu, lutut, dan leher).
Latihan fleksibilitas adalah aktivitas untuk membantu
mempertahankan kisaran gerak sendi (ROM), yang diperlukan untuk
melakukan aktivitas fisik dan tugas sehari-hari secara teratur. Latihan
fleksibilitas disarankan dilakukan pada hari- hari dilakukannya latihan
aerobik dan penguatan otot atau 2-3 hari per minggu. Latihan dengan
melibatkan peregangan otot dan sendi. Intensitas latihan dilakukan dengan
memperhatikan rasa tidak nyaman atau nyeri. Peregangan dilakukan 3-4
kali, untuk masing-masing tarikan dipertahankan 10-30 detik. Peregangan
dilakukan terutama pada kelompok otot-otot besar, dimulai dari otot-otot
kecil.
Contoh: latihan Yoga. Latihan keseimbangan dilakukan untuk
membantu mencegah Lansia jatuh. Latihan keseimbangan dilkakukan
setidaknya 3 hari dalam seminggu. Sebagian besar aktivitas dilakukan pada
intensitas rendah. Kegiatan berjalan, Tai Chi, dan latihan penguatan otot
memperlihatkan perbaikan keseimbangan pada Lansia. Program latihan
untuk Lansia meliputi latihan daya tahan jantung paru (aerobik), kekuatan
(strenght), fleksibilitas, dan keseimbangan dengan cara progresif dan
menyenangkan. Latihan melibatkan kelompok otot utama dengan gerakan
seoptimal mungkin pada ROM yang bebas dari nyeri. Pembebanan pada
tulang, perbaikan postur, melatih gerakan-gerakan fungsional akan
meningkatkan kekuatan, fleksibilitas, dan keseimbangan.
Olahraga dilakukan dengan cara menyenangkan disertai berbagai
modifikasi, termasuk mengkombinasikan beberapa aktivitas sekaligus.
Kombinasi berjalan yang bersifat rekreasi dan senam di air dengan
intensitas yang menantang namun tetap nyaman dilakukan, kombinasi
latihan spesifik untuk memperbaiki kekuatan dan fleksibilitas (latihan beban,
circuit training, latihan dengan musik, menari) bisa dilakukan. Kombinasi
latihan kekuatan, keseimbangan dan fleksibilitas bisa dilakukan dengan
menggunakan alat bola. Latihan difokuskan pada teknik yang menstabilkan
dan meningkatkan kekuatan, keseimbangan dan fleksibilitas, selain itu juga
mengintegrasikan tubuh dan pikiran serta melibatkan teknik pernafasan,
konsentrasi dan kontrol gerakan.
Bagi Lansia yang lemah secara fisik, aktivitas yang dilakukan
dikaitkan dengan kegiatan sehari-hari dan mempertahankan kemandirian,
misalnya teknik mengangkat beban yang benar, berjalan, cara menjaga
postur yang benar, dan sebagainya. Olahraga dan Penyakit pada Lansia
Olahraga pada Lansia dilakukan dengan mempertimbangkan keamanan,
masalah kesehatan, perlunya modifikasi latihan, dan mempertimbangkan
kelemahan yang mungkin ada. Screening diperlukan sebelum program
latihan dimulai. Sangat penting untuk menanyakan apakah pasien aman
untuk berlatih, dipikirkan pula apakah pasien lebih baik apabila tidak aktif
berlatih (sedentary). Screening meliputi semua sistem utama tubuh,
termasuk status kognitif, auskultasi arteri karotis, inspeksi hernia, penilaian
keseimbangan dan kemampuan mobilitas.
Program latihan fisik bagi Lansia disusun dengan berbagai
pertimbangan terkait dengan kondisi fisik Lansia. Sebelum olahraga
dianjurkan berkonsultasi dengan dokter. Olahraga dilaksanakan secara
bertahap, misalnya dimulai dengan intensitas rendah (40-50% denyut nadi
istirahat) selama 10-20 menit, kemudian ditingkatkan sesuai dengan
kemampuan adaptasi latihan tiap individu. Durasi latihan ditingkatkan
secara bertahap. Lebih diajurkan untuk menambah durasi daripada
meningkatkan intensitas. Lingkungan dan fasilitas olahraga harus
diperhatikan terkait dengan faktor keamanan. Modifikasi olahraga kadang
diperlukan, misalnya Lansia dengan penglihatan berkurang dianjurkan
bersepeda statis daripada bersepeda di jalan. Program yang disusun juga
harus memperhatikan masalah ortopedik yang mungkin ada, dianjurkan
untuk menambah waktu pemanasan dan pendinginan, serta dipilih aktivitas
yang tidak membutuhkan koordinasi tingkat tinggi.
Selama latihan tidak boleh dilupakan minum untuk mengganti cairan
yang hilang selama olahraga. Jenis olahraga disarankan mempunyai aspek
sosial sehingga sekaligus bisa berdampak pada emosi Lansia (Erin, 2000).
1. Osteoartritis
Riset menunjukkan bahwa olahraga teratur menjadi salah satu hal
penting untuk mencegah osteoporosis, termasuk patah tulang karena
osteoporosis dan jatuh. Olahraga dapat meningkatkan massa tulang,
kepadatan, dan kekuatan pada Lansia. Olahraga juga melindungi
melawan patah tulang panggul (Megan, 2008). Olahraga
direkomendasikan bagi Lansia dengan osteoartritis untuk memperkuat
otot dan mobilitas sendi, memperbaiki kapasitas fungsional,
menghilangkan nyeri dan kekakuan, dan mencegah deformitas lebih lanjut.
Program latihan disusun berdasarkan status individual. Olahraga
sebaiknya yang tidak membebani tubuh, misalnya bersepeda dan latihan
di dalam air. Latihan aerobik meliputi aktivitas yang membuat seseorang
menahan beban tubuhnya sendiri (weight bearing), misalnya berjalan atau
aktivitas yang tidak secara langsung tubuh menahan berat badannya
sendiri (nonweight bearing), misalnya bersepeda, berenang. Latihan
penguatan otot dilakukan dengan nyeri sebagai acuan. Latihan fleksibilitas
dilakukan dengan melibatkan sendi yang terkena artritis, namun dengan
batasan ROM yang bebas nyeri. Kontra indikasi pada artritis yaitu latihan
berat, berulang-ulang pada sendi yang tidak stabil, serta melatih sendi saat
tanda- tanda radang masih aktif.
2. Penyakit Kardiovaskular
Latihan pada penderita penyakit kardiovaskular difokuskan pada
latihan aerobik 30-60 menit per hari untuk menurunkan tekanan darah.
Latihan penguatan otot dilakukan dengan tahanan lebih rendah, repetisi
lebih banyak dan menghindari terjadinya manuver valsava. Suatu
metaanalisis menunjukkan bahwa latihan aerobik intensitas sedang dapat
menurunkan tekanan sistolik 11 poin dan diastolik rata-rata 8 poin.
3. Obesitas
Latihan aerobik dilakukan 45-60 menit untuk meningkatkan
pengeluaran energi. Intensitas dan durasi di bawah yang
direkomendasikan untuk menghindari cedera tulang. Risiko hipertermia
meningkat sehingga hidrasi perlu diperhatikan.

2.8 Kualitas Hidup

2.8.1 Defenisi Kualitas Hidup


Secara awam, kualitas hidup berkaitan dengan pencapaian kehidupan
manusia yang ideal atau sesuai dengan yang diinginkan (Diener dan Suh, dalam
Nofitri, 2009). Goodinson dan Singleton (O’Connor, 1993) mengemukakan
defenisi kualitas hidup sebagai derajat kepuasan atas penerimaan suasana
kehidupan saat ini. Calman memberikan satu definisi dari kualitas hidup yang
dapat diterima secara umum, yakni perasaan subjektif seseorang mengenai
kesejahteraan dirinya, berdasarkan pengalaman hidupnya saat ini secara
keseluruhan (dalam O’Connor, 1993).
World Health Organization (WHO) (dalam Kwan, 2000) mendefenisikan
kualitas hidup sebagai persepsi individu mengenai posisi mereka dalam
kehidupan dilihat dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal
serta hubungannya dengan tujuan, harapan, standar, dan hal-hal lain yang
menjadi perhatian individu tersebut. Berdasarkan definisi Calman dan WHO
mengimplikasikan bahwa kualitas hidup ditentukan oleh persepsi individual
mengenai kondisi kehidupannya saat ini.

2.8.2 Aspek-Aspek Kualitas Hidup


Berawal dari pemikiran mengenai aspek kualitas hidup yang dapat
berbeda antara individu satu dengan individu lainnya, berbagai studi kualitas
hidup meneliti aspek-aspek kehidupan yang penting bagi individu dalam
hubungannya dengan kualitas hidup. Ada banyak aspek kualitas hidup
menurut para ahli.
1. Aspek Kesehatan fisik
Kesehatan fisik mencakup aktivitas sehari-hari,
ketergantungan pada obat-obatan dan bantuan medis, energi dan
kelelahan, mobilitas (keadaan mudah bergerak), sakit dan ketidak
nyamanan, tidur dan istirahat, kapasitas kerja. Kesehatan fisik
dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk melakukan
aktivitas. Aktivitas yang dilakukan individu aka memberikan
pengalaman-pengalaman baru yang merupakan modal
perkembangan ke tahap selanjutnya
2. Aspek psikologis
Aspek psikologis yaitu terkait dengan keadaan mental
individu. Keadaan mental mengarah pada mampu atau tidaknya
individu menyesuaikan diri terhadap berbagai tuntutan
perkembangan sesuai dengan kemampuannya, baik tuntutan dari
dalam diri maupun dari luar dirinya. Aspek psikologis juga terkait
dengan aspek fisik, dimana individu dapat melakukan suatu
aktivitas dengan baik bila individu tersebut sehat secara mental.
Kesejahteraan psikologis mencakup bodily image dan
appearance,perasaan positif, perasaan negatif, self esteem,
spiritual/agama/keyakinan pribadi, berpikir, belajar, memori dan
konsentrasi.
3. Aspek hubungan sosial
Aspek hubungan sosial yaitu hubungan antara dua individu
atau lebih dimana tingkah laku individu tersebut akan saling
mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki tingkah laku individu
lainnya. Mengingat manusia adalah mahluk sosial maka dalam
hubungan sosial ini, manusia dapat merealisasikan kehidupan serta
dapat berkembang menjadi manusia seutuhnya. Hubungan sosial
mencakup hubungan pribadi, dukungan sosial, aktivitas seksual.

4. Aspek lingkungan
Aspek lingkungan yaitu tempat tinggal individu, termasuk di
dalamnya keadaan, ketersediaan tempat tinggal untuk melakukan
segala aktivitas kehidupan, termasuk di dalamnya adalah saran
dan prasarana yang dapat menunjang kehidupan. Hubungan
dengan lingkungan mencakup sumber financial, kebebasan,
keamanan dan keselamatan fisik, perawatan kesehatan dan social
care termasuk aksesbilitas dan kualitas; lingkungan rumah,
kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi baru maupun
keterampilan (skill), partisipasi dan mendapat kesempatan untuk
melakukan rekreasi dan kegiatan yang menyenangkan di waktu
luang, lingkungan fisik termasuk polusi/kebisingan/keadaan
air/iklim, serta transportasi.

2.8.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup


Kualitas hidup secara langsung dipengaruhi oleh pengalaman positif
pengasuhan, pengalaman pengasuhan negatif, dan stres kronis. Sumber daya
ekonomi dan sumber daya sosial memiliki dampak langsung pada kualitas
hidup. Ferrans dan Powers (dalam Kwan, 2000) empat domain yang sangat
penting untuk kualitas hidup yaitu kesehatan dan fungsi, sosial ekonomi,
psikologis, spiritual, dan keluarga. Domain kesehatan dan fungsi meliputi
aspek-aspek seperti kegunaan kepada orang lain dan kemandirian fisik.
Domain sosial ekonomi berkaitan dengan standar hidup, kondisi lingkungan,
teman-teman, dan sebagainya. Domain psikologis/spiritual meliputi
kebahagiaan, ketenangan pikiran, kendali atas kehidupan, dan faktor lainnya.
Domain keluarga meliputi kebahagiaan keluarga, anak-anak, pasangan, dan
kesehatan keluarga.
Meskipun sulit untuk membuang semua elemen kehidupan, keempat
domain mencakup sebagian besar elemen dianggap penting untuk kualitas
hidup. Menurut Ghozally (dalam Larasati, 2009) faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup diantaranya mengenali diri sendiri, adaptasi,
merasakan penderitaan orang lain, perasaan kasih dan sayang, bersikap
optimis, mengembangkan sikap empati.

2.8.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup


1. Jenis kelamin
Fadda dan Jiron (1999) mengatakan bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki perbedaan dalam peran serta akses dan
kendali terhadap berbagai sumber sehingga kebutuhan atau hal-hal
yang penting bagi laki-laki dan perempuan juga akan berbeda. Hal
ini mengindikasikan adanya perbedaan aspek-aspek kehidupan
dalam hubungannya dengan kualitas hidup pada laki-laki dan
perempuan. Ryff dan Singer (1998) mengatakan bahwa secara
umum, kesejahteraan laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda,
namun perempuan lebih banyak terkait dengan aspek hubungan
yang bersifat positif sedangkan kesejahteraan tinggi pada pria lebih
terkait dengan aspek pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik.
2. Usia
Wagner, Abbot, dan Lett (2004) menemukan terdapat
perbedaan yang terkait dengan usia dalam aspek-aspek kehidupan
yang penting bagi individu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Ryff dan Singer (1998) individu dewasa mengekspresikan
kesejahteraan yang lebih tinggi pada usia dewasa madya.
3. Pendidikan
Pendidikan juga merupakan faktor kualitas hidup, senada
dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahl dkk (2004)
menemukan bahwa kualitas hidup akan meningkat seiring dengan
lebih tingginya tingkat pendidikan yang didapatkan oleh individu.
Barbareschi, Sanderman, Leegte, Veldhuisen dan Jaarsma (2011)
mengatakan bahwa tingkat pendidikan adalah salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi kualitas hidup, hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingginya signifikansi perbandingan dari
pasien yang berpendidikan tinggi meningkat dalam keterbatasan
fungsional yang berkaitan dengan masalah emosional dari waktu
ke waktu dibandingkan dengan pasien yang berpendidikan rendah
serta menemukan kualitas hidup yang lebih baik bagi pasien
berpendidikan tinggi dalam domain fisik dan fungsional, khususnya
dalam fungsi fisik, energi/kelelahan, social fungsi, dan keterbatasan
dalam peran berfungsi terkait dengan masalah emosional.

4. Pekerjaan
Hultman, Hemlin, dan H¨ornquist (2006) menunjukkan dalam
hal kualitas hidup juga diperoleh hasil penelitian yang tidak jauh
berbeda dimana individu yang bekerja memiliki kualitas hidup yang
lebih baik dibandingkan individu yang tidak bekerja.
5. Status pernikahan
Glenn dan Weaver melakukan penelitian empiris di Amerika
secara umum menunjukkan bahwa individu yang menikah memiliki
kualitas hidup yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak
menikah, bercerai, ataupun janda atau duda akibat pasangan
meninggal (Veenhoven, 1989).
6. Finansial
Pada penelitian Hultman, Hemlin, dan H¨ornquist (2006)
menunjukkan bahwa aspek finansial merupakan salah satu aspek
yang berperan penting mempengaruhi kualitas hidup individu yang
tidak bekerja.
7. Standar referensi
Menurut O’Connor (1993) mengatakan bahwa kualitas hidup
dapat dipengaruhi oleh standar referensi yang digunakan
seseorang seperti harapan, aspirasi, perasaan mengenai
persamaan antara diri individu dengan orang lain. Hal ini sesuai
dengan definisi kualitas hidup yang dikemukakan oleh WHOQOL
(dalam Power, 2004) bahwa kualitas hidup akan dipengaruhi oleh
harapan, tujuan, dan standard dari masing-masing individu.

BAB III

KERANGKA KONSEP HIPOTESIS PENELITIAN

1.3 Kerangka Konsep


Genetik:
* Riwayat keluarga
dengan Hipertensi
* Obesitas * Stress

Yankes:
Sosial: Ketersediaan
* Keluarga tempat
* Masyarakat HIPERTENSI posyandu
Lingkungan Fisik LANSIA lansia
* Rumah Penerimaan
* Tempat Kerja program
posyandu
lansia

Perilku

Karakteristi Aktivitas
k Merokok
Umur
Jenis Pengetahua
Kelamin n

Keterangan :

= tidak diteliti

= diteliti

Bagan 1. Kerangka Konsep Hipertensi Lansia (Teori H.L. Blum’s)

Berdasarkan teori H.L Blum, dilihat dari faktor genetk seperti:

Riwayat keluarga hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya hipertensi


dalam keluarga. Pada usia lanjut asupan kalori sehingga mengimbangi penuruna
kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat badan meningkat.
Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia karena dapat memicu timbulnya
berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh darah, hipertensi.
Sedangkan, hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf
simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak
menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah
menetap tinggi. Dari faktor perilaku, seperti: merokok menyebabkan peninggian
tekanan darah. Perokok berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden
hipertensi.
Masyarakat yang mendukung dan memiliki wawasan yang luas dapat
menciptakan populasi masyarakat yang sehat juga. Kurangnya aktivitas fisik
menaikan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi
gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih
cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi,
semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin besar pula kekuatan
yang mendesak arteri. Latihan fisik berupa berjalan kaki selama 30-60 menit setiap
hari sangat bermanfaat untuk menjaga jantung dan peredaran darah. Sedangkan bila
dilihat dari karakteristiknyadengan bertambahnya umur elastisitas pembuluh darah
menurun sehingga dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi. Hipertensi lebih
banyak terjadi pada pria bila terjadi pada umur dewasa muda. Tetapi lebih banyak
menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah
wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah menopause.
Dari faktor lingkungan ada dua, yaitu: lingkungan social dan lingkungan
fisik.Lingkungan social meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat
sekitar, sangat berperan penting dalam hal pengetahuan dan keprihatinan atas
hipertensi. Sehingga, dalam penangannya perlu diadakan kerjasama lintas
sektoral.Lingkungan fisik meliputi keadaan rumah dan tempat kerja. Keadaan rumah
dan tempat kerja yang baik, bisa menjadikan masyarakat terbiasa dengan pola hidup
bersih dan sehat. Faktor pelayanan kesehatan dilihat dari: Ketersediaan tempat
posyandu lansi, yaitu Sarana dan prasarana yang mendukung bisa meningkatkan
mutu layanan sehingga bisa membuat pasien merasa nyaman.

Selanjutnya penerimaan program posyandu lansia, Bila program tidak


diterima oleh masyarakat maka pemantauan kesehatan terutama tekanan darah
terhadap lansia di posyandu akan sulit. Selain itu, Akses yang mudah ke lokasi
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pasien bisa berkunjung. Sehingga
pemantauan kesehatan atau hipertensi bisa berjalan dengan baik. Dan yang tidak
kalah penting adalah biaya yang terjangkau, pada pelayanan pasien pada posyandu
lansia ini gratis tidak dikenakan biaya sehingga diharapkan banyak pasien yang akan
datang.

1.2 Hipotesis Penelitian


Ada pengaruh antara aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi para lanjut
usia di Yayasan Pelayanan Kasih Bethesdha Malang.

BAB IV

METODE PENELITIAN

1.4.1 Metode Penelitian


Desain penelitian menggunakan pendekatan cross sectional dan jenis
penelitian adalah analitik observasional karena bertujuan menganalisis hubungan
dua variabel yang diteliti tanpa memberi perlakuan (eksperimen) pada sampel
(Sastroasmoro,2011).

1.4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi

Penelitian dilakukan di Yayasan Pelayanan Kasih Bethesdha Malang.

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dari tanggal 18 Januari sampai tanggal 23 Januari 2019.

Tabel 4.1 Lokasi dan waktu penelitian

Minggu
No Kegiatan I II
1. Pengumpulan Data Yayasan
1.4.3 2. Perumusan masalah Populasi
dan 3. Penyusunan proposal Sample
4. Penyusunan kuesioner
1. 5. Konsultasi Populasi
6. Pembagian kuesioner
7. Pengelolaan data Populasi
8. Penarikan kesimpulan dalam
penelitian ini
adalah peserta posyandu lansia bulan Januari 2019 di Yayasan Pelayanan Kasih
Bethesdha Malang. sebanyak 51 Lansia.

2. Besar dan Cara Pengambilan Sampel

Sampel penelitian diambil secara Total Sampling dengan besar sampel 51


lansia yaitu seluruh lansia yang hadir pada posyandu lansia bulan Januari 2019.

1.4.4 Variabel dan Definisi Operasional

Tabel 4.1Tabel Variabel dan Definisi Operasional

Cara Hasil Ukur


No. Variabel Defenisi Ukur Alat Ukur Kategori Skala
1. Aktifitas Melakukan olah raga Wawa kuisioner 1. olahraga Nominal
fisik ataupun aktivitas fisik lain ncara 2. tidak

Olah raga : Aktifitas fisik olahraga


-Frekuensi lain :
-Lama -Jalan-jalan
-bersepeda
-bertani,dan
lain-lain

2. Hipertensi Bila dalam KMS tertulis Studi Catatan 1.Hipertensi Nominal


TD ≥140/90 mmHg dokumen Lapangan 2.Tidak
Hipertensi

1.4.5 Jenis, Teknik dan Alat Pengumpulan Data

1. Data primer didapatkan dengan tehnik pengisian langsung oleh responden pada
alat pengumpul data berupa kuisioner yang diberikan.
2. Data sekunder diperoleh dengan tehnik studi dokumen berupa KMS/ laporan
data Geografi dan Demografi di Yayasan Pelayanan Kasih Bethesdha Malang
dengan alat pengumpul data berupa catatan lapangan.
1.4.6 Pengolahan Data

Pengolahan data bertujuan mengubah data mentah dari hasil pengukuran


menjadi data yang lebih halus sehingga memberikan arah untuk pengkajian lebih
lanjut (Sudjana, 2001). kegiatan pengolahan data meliputi :

1. Editing Data

Editing data adalah (Arikunto, 2006) proses meneliti hasil survai untuk
meneliti apakah ada response yang tidak lengkap, tidak komplet atau
membingungkan; meneliti kembali data yang terkumpul dari penyebaran kuesioner.
Langkah tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah data yang terkumpul sudah
cukup baik. Pemeriksaan data atau editing dilakukan terhadap jawaban yang telah
ada dalam kuesioner dengan memperhatikan halhal meliputi: kelengkapan
pengisian jawaban, kejelasan tulisan, kejelasan makna jawaban, serta kesesuaian
antar jawaban.

2. Scoring Data

Scoring adalah memberikan penilaian terhadap item pertanyaan pada


kuesioner yang diberikan kepada responden. Aktivitas Fisik terdiri dari 6 item
Pertanyaan:
1. Apakah menurut anda olahraga itu penting?
Jawab:
a.Ya
b.Tidak
Untuk jawaban Ya diberi skor 1, dan jawaban Tidak diberi skor 0
2. Apakah anda berolahraga?
Jawab:
a.Ya
b.Tidak
Untuk jawaban Ya diberi skor 1, dan jawaban Tidak diberi skor 0
3. Jika ya, berapa kali anda berolahraga dalam seminggu?
Jawab:
a. Setiap hari diberi skor 2
b. lebih dari 2x seminggu diberi skor 1
c. kurang dari 2x seminggu dibei skor 0
4. Jika ya, berapa lama lama anda berolahraga?
a. > 30 menit diberi skor 1
b. < 30 menit diberi skor 0
5. Apakah anda sering melakukan aktivitas fisik lain di usia anda saat ini?
Jawab:
a.Ya
b.Tidak
Untuk jawaban Ya diberi skor 1, dan jawaban Tidak diberi skor 0
6. Aktivitas fisik apa yang sering anda lakukan?
Jawab:
(pertanyaan terbuka), berdasarkan hasil kuisioner jawaban terbanyak
adalah:
1. Bersepeda diberi skor 1
2. Bertani diberi skor 1
3. Jalan-jalan diberi skor 1
4. Lain-lain skor 0
Dari 6 item didapat Skor total 0 s/d 7
 Kesimpulan
Bila skor total = 3 ≤ dikategorika sebagai ‘TIDAK, dan
= > 3 dikategorikan sebagai “ADA”’

Untuk mengetahui lansia yang mengalami hipertensi atau tidak data


diambil melalui pengukuran tekanan darah secara langsung saat kegiatan
posyandu lansia dan ditulis kedalam catatan lapangan.
3. Tabulasi Data
Tabulasi merupakan pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan
mudah dijumlah, disusun, dan ditata untuk disajikan dan dianalisis. Penelitian ini
menggunalan tabulasi data metode Tally. Langkah-langkahnya adalah sebagai
berikut:
1. Membuat tabel yang memuat variabel dan ruang untuk membuat coretan
dan jumlah.
2. variabel yang diinginkan.
3. coretan sesuai dengan variabel tersebut.
4. semua coretan sesuai dengan variabelnya dijumlah.

1.4.7 Analisis Data


Analisis data dilakukan dengan perhitungan manual menggunakan rumus
rasio prevalensi :
a
Rp −1 : ∑ −a /(a+b)
h

Keterangan :
Jika Rasio Prevalensi (RP ) = 1, maka faktor risiko tidak berpengaruh
atas timbulnya efek atau dikatakan bersifat netral. Jika Rasio Prevalensi
(RP ) > 1, maka faktor resiko merupakan penyebab timbulnya penyakit. Jika
Rasio Prevalensi (RP) < 1, maka faktor resiko bukan menjadi penyebab
toimbulnya penyakit bahkan merupakan faktor protektif.

Anda mungkin juga menyukai