Anda di halaman 1dari 27

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ENERGI, PROTEIN DAN INFEKSI

KECACINGAN DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA SEKOLAH DASAR DI


DAERAH KUMUH PERKOTAAN RW 10 KELURAHAN ANGKE
KECAMATAN TAMBORA JAKARTA BARAT

Fita Nur’aini*), Sugeng Wiyono**)


*) Alumni Jurusan Gizi Poltekkes Kemkes Jakarta II
**) Dosen Jurusan Gizi Poltekkes Kemkes Jakarta II

Abstrak
Di Indonesia penyakit kecacingan pada anak usia sekolah dasar masih merupakan
masalah besar atau masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena
prevalensinya yang masih sangat tinggi yaitu kurang lebih antara 45-65 %, bahkan
diwilayah-wilayah tertentu yang sanitasi yang buruk prevalensi kecacingan bisa
mencapai 80%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asupan energi,
protein dan infeksi kecacingan dengan status gizi pada anak usia sekolah dasar di
daerah kumuh perkotaan RW 010 Kelurahan Angke Kecamatan Tambora Jakarta
Barat. Rancangan penelitian ini adalah “cross-sectional” yang dilakukan pada 36
responden dari 47 sampel, dikarenakan sulit dalam pengumpulan feaces.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara sistematik random sampling. Analisa
data dengan metode distribusi frekuensi dan chi-square. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa anak usia sekolah dasar yang diteliti 22.2% terinfeksi cacing
usus, 63.9% memiliki asupan energi kurang, 52.8% memiliki asupan protein kurang,
16.7% memiliki status gizi kurus, 94.4% memiliki kebiasaan mencuci tangan tidak
baik, 55.6% memiliki keadaan kuku yang tidak baik, 58.3% memiliki kebiasaan
menggunakan alas kaki yang tidak baik. Hasil uji statistik chi square menunjukkan
tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan asupan energi
(p=0.122), ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan asupan protein
(p=0.0034), tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi (IMT/U) dengan
infeksi kecacingan(p=0.110), tidak ada hubungan yang bermakna antara infeksi
kecacingan dengan kebiasaan mencuci tangan (p=1.000), tidak ada hubungan yang
bermakna antara infeksi kecacingan dengan kebersihan kuku (p=0.053), tidak ada
hubungan yang bermakna antara infeksi kecacingan dengan kebiasaan menggunakan
alas kaki (p=0.424). Berdasarkan hasil penelitian disarankan bagi para orang tua
sebaiknya lebih memperhatikan asupan makanan anaknya agar lebih terpenuhi
energi dan zat-zat gizi yang dibutuhkan. Untuk anak usia sekolah dasar
sebaiknya lebih memperhatikan higiene pribadi seperti kebiasaan mencuci
tangan, keadaan kuku, kebiasaan menggunakan alas kaki agar terhindar dari
penularan infeksi cacing usus.

A. Pendahuluan

1
Anak usia sekolah adalah investasi bangsa, karena anak adalah generasi
penerus bangsa. Kualitas bangsa di masa depan ditentukan kualitas anak-anak saat
ini. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan sejak dini,
sistematis dan berkesinambungan. Tumbuh berkembangnya anak usia sekolah
yang optimal tergantung pemberian zat gizi dengan kualitas dan kuantitas yang
baik serta benar. Dalam masa tumbuh kembang tersebut pemberian gizi atau
asupan makanan pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna.
Sering timbul masalah terutama dalam pemberian makanan yang tidak benar dan
menyimpang. Penyimpangan ini mengakibatkan gangguan pada banyak organ-
organ dan sistem tubuh anak.

Di Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, penyakit infeksi dan


konsumsi makanan yang kurang memenuhi syarat gizi, merupakan dua faktor
yang paling banyak berpengaruh terhadap status gizi anak (1).
Di Indonesia penyakit kecacingan pada anak usia sekolah dasar masih
merupakan masalah besar atau masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
karena prevalensinya yang masih sangat tinggi yaitu kurang lebih antara 45-65 %,
bahkan diwilayah-wilayah tertentu yang sanitasi yang buruk prevalensi
kecacingan bisa mencapai 80% (2).
Di Indonesia Nematoda usus yang paling banyak di jumpai pada manusia
adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus dan Ancylostoma duodenale,
Trichuris trichiura, enterobius vermikularis. Diantara nematoda tersebut yang
paling sering dilaporkan adalah infeksi oleh Ascaris lumbricoides (3). Hasil
penelitian Sri Lestari (2009) infeksi cacing usus oleh Ascaris lumbricoides dan
T.trichiura paling banyak menyerang anak sekolah dasar di daerah kumuh
perkotaan kota Medan (SD) dengan prevalensi 34,83 % (3).
Askariasis adalah infeksi cacing oleh Ascaris lumbricoides, cacing gelang
yang merupakan parasit cacing yang paling banyak diderita oleh manusia. Infeksi
cacing Ascariasis lumbricoides tersebar luas di seluruh dunia terutama negara-
negara yang keadaan sanitasinya buruk, baik di daerah tropis maupun daerah
subtropiks terutama yang beriklim panas (4). Pada umumnya infeksi cacing ini
tidak menunjukkan gejala, tapi ada bukti bahwa Ascaris lumbricoides
menyebabkan masalah gizi yang dapat menghambat pertumbuhan anak (5).

2
Trichuriasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing T.trichiura.
Cacing ini mempunyai penyebaran di seluruh dunia dan merupakan nematode
intestinal terbanyak di temukan di beberapa daerah tropik seperti Asia Tenggara.
Pada infeksi berat pada anak – anak dapat menimbulkan anemia, dan prolapsus
anus. Infeksi ringan meskipun tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau
sama sekali tanpa gejala dapat menggangu pertumbuhan dan perkembangan anak.
Infeksi T.trichiura ini sering ditemukan bersamaan dengan Ascariasis (4).

Berdasarkan penelitian Mardiana Djarismawati yang dilakukan pada murid


sekolah dasar wajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan
daerah kumuh di wilayah DKI Jakarta di dapat, Jakarta Utara sebanyak 49.02%,
Jakarta Barat sebanyak 33.20%, Jakarta Selatan sebanyak 15.45%, Jakarta Timur
sebanyak 9.37% terinfeksi cacing (1). Resiko tertinggi terutama kelompok anak
yang mempunyai kebiasaan defekasi di saluran air terbuka dan sekitar rumah,
makan tanpa cuci tangan, dan bermain-main di tanah yang tercemar telur cacing
tanpa alas kaki (6).

Dari survei Sub Direktorat Diare, Kecacingan dan Infeksi Kementerian


Kesehatan di Jakarta didapat , 80% siswa SD di Jakarta Utara, 74,70% siswa SD
di Jakarta Barat, dan 68,42% siswa SD di Jakarta Selatan menderita cacingan (7).
Penyakit cacingan akan berdampak buruk terhadap proses tumbuh kembang anak.
Jika keadaan ini berlangsung lama pada anak sekolah dasar, akan mengganggu
kesehatan dan prestasi belajar.

Anak usia sekolah dasar (7-12 th) berada dalam masa pertumbuhan yang
cepat dan sangat aktif. Dalam kondisi ini anak harus mendapatkan makanan yang
bergizi dalam kuantitas dan kualitas yang tepat, infeksi cacing usus yang berat
akan menimbulkan gangguan konsumsi, penyerapan zat gizi dan penghisapan
darah secara terus menerus. Dalam jangka waktu yang lama, anak yang konsumsi
makanannya kurang gizi dapat menderita kurang gizi, bahkan bisa berakhir pada
tahap Kurang Energi Protein (KEP) sehingga menurunkan status gizi anak dan
anemia. Keadaan ini mengakibatkan turunnya kualitas hidup anak. Ini penting

3
diperhatikan mengingat anak sekolah dasar merupakan aset bangsa dan sumber
daya manusia yang kelak menjadi penerus perjuangan bangsa (3).

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010, prevalensi status Gizi usia 6–12
tahun (IMT/U), di Jakarta terdapat 4.4% sangat kurus, 6.5% Kurus, berdasarkan
tempat tinggal, di kota 4.2% sangat kurus, 7.7% kurus dan untuk di desa 4.9%
sangat kurus, 7.6 % kurus (8).

Masalah gizi anak sekolah merupakan masalah kesehatan yang menyangkut


masa depan dan kecerdasan. Ritarwan (2006) mengungkapkan adanya perbedaan
cognitive performance antara anak SD di kota Medan yang terinfeksi cacing usus
dengan anak yang tidak terinfeksi cacing usus. Dimana setelah dilakukan
pengobatan terjadi peningkatan prestasi anak (9).

Provinsi DKI Jakarta terdiri dari lima wilayah, setiap wilayah tidak sama
jumlah penduduk dan kondisi lingkungannya seperti: daerah kanal, daerah kumuh
yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti sanitasi lingkungan dan daerah
perkotaan. Penyebaran dan penularan kecacingan akan lebih banyak ditemukan di
daerah kanal dan daerah kumuh, ditunjang oleh kepadatan penduduk setempat.
Meningkatnya kejadian kecacingan terkait erat dengan kondisi kebersihan
lingkungan, perumahan, dan perorangan (3).

Kurangnya sarana air bersih, sempitnya lahan tempat tinggal keluarga,


kebiasaan makan dengan tangan yang tidak dicuci terlebih dahulu, pemakaian
ulang daun-daun dan pembungkus makanan yang sudah dibuang ketempat
sampah, sayur – sayuran yang dimakan mentah, penggunaan air sungai untuk
berbagai kebutuhan hidup (mandi, mencuci bahan makanan, mencuci pakaian,
berkumur, gosok gigi, yang juga digunakan sebagai kakus), dan penggunaan tinja
untuk pupuk sayuran, meningkatkan penyebaran penyakit menular yang
menyerang sistem pencernaan (10).

Secara historis, kawasan Kecamatan Tambora merupakan lingkungan


permukiman yang tumbuh secara alami (sebuah kampung yang tumbuh menjadi

4
besar tanpa menjalani proses perencanaan kota). Seiring berjalannya waktu,
kawasan Kecamatan Tambora tumbuh semakin tidak teratur. Hal ini dapat ditinjau
dari tingkat kerapatan antar bangunan yang sangat tinggi, penggunaan lahan yang
tidak teratur, lebar jalan yang semakin menyempit, dan sanitasi yang buruk.
Kecamatan Tambora merupakan sebuah kawasan permukiman dengan tingkat
kepadatan penduduk tertinggi di provinsi DKI Jakarta yaitu ±481 jiwa/ ha (11).
Berdasarkan kondisi di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
hubungan hubungan antara asupan energi, protein dan infeksi kecacingan dengan
status gizi pada anak usia sekolah dasar di RW 10 Kelurahan Angke Kecamatan
Tambora.

B. Perumusan masalah.

Berdasarkan uraian latar belakang, maka perumusan masalah dalam


penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan asupan energi, protein dan infeksi
kecacingan, dengan status gizi anak usia sekolah dasar di daerah kumuh
perkotaan RW 10 Kelurahan Angke Kecamatan Tambora Jakarta Barat.

Tujuan Penelitian.
1. Tujuan Umum.
Untuk mengetahui adanya hubungan antara asupan energi, protein dan
infeksi kecacingan dengan status gizi anak usia sekolah dasar di daerah
kumuh perkotaan RW 010 Kelurahan Angke Kecamatan Tambora Jakarta
Barat.

2. Tujuan Khusus.
a. Mengidentifikasi umur, jenis kelamin, kejadian kecacingan, status
gizi,higiene pribadi meliputi, kebiasaan mencuci tangan, kebersihan kuku
dan kebiasaan menggunakan alas kaki, asupan energy, asupan protein
anak sekolah dasar RW 010 Kelurahan Angke Kecamatan Tambora
Jakarta Barat.

5
b. Menganalisis hubungan status gizi dengan asupan energi.
c. Menganalisis hubungan status gizi dengan asupan protein.
d. Menganalisis hubungan asupan energi dengan umur.
e. Menganalisis hubungan asupan protein dengan umur.
f. Menganalisis hubungan asupan energi dengan jenis kelamin.
g. Menganalisis hubungan asupan protein dengan jenis kelamin.
h. Menganalisis hubungan status gizi dengan infeksi kecacingan.
i. Menganalisis hubungan infeksi kecacingan dengan kebiasaan cuci
tangan.
j. Menganalisis hubungan infeksi kecacingan dengan kebersihan kuku.
k. Menganalisis hubungan infeksi kecacingan dengan kebiasaan
menggunakan alas kaki.

Hipotesis Penelitian.
1. Ada hubungan antara status gizi dengan asupan energi anak usia sekolah dasar di
daerah kumuh perkotaan, RW 010 Kelurahan Angke Kecamatan Tambora Jakarta
Barat.
2. Ada hubungan antara status gizi dengan asupan protein anak usia sekolah dasar di
daerah kumuh perkotaan, RW 010 Kelurahan Angke Kecamatan Tambora Jakarta
Barat.
3. Ada hubungan antara asupan energi dengan umur anak usia sekolah dasar di
daerah kumuh perkotaan, RW 010 Kelurahan Angke Kecamatan Tambora Jakarta
Barat.
4. Ada hubungan antara asupan protein dengan umur anak usia sekolah dasar di
daerah kumuh perkotaan, RW 010 Kelurahan Angke Kecamatan Tambora Jakarta
Barat.
5. Ada hubungan antara asupan energi dengan jenis kelamin anak usia sekolah dasar
di daerah kumuh perkotaan, RW 010 Kelurahan Angke Kecamatan Tambora
Jakarta Barat.
6. Ada hubungan antara asupan protein dengan jenis kelamin anak usia sekolah
dasar di daerah kumuh perkotaan, RW 010 Kelurahan Angke Kecamatan
Tambora Jakarta Barat.

6
7. Ada hubungan antara status gizi dengan infeksi kecacingan anak usia sekolah
dasar di daerah kumuh perkotaan, RW 010 Kelurahan Angke Kecamatan
Tambora Jakarta Barat.
8. Ada hubungan antara infeksi kecacingan dengan kebiasaan mencuci tangan anak
usia sekolah dasar di daerah kumuh perkotaan, RW 010 Kelurahan Angke
Kecamatan Tambora Jakarta Barat.
9. Ada hubungan antara infeksi kecacingan dengan kebersihan kuku anak usia
sekolah dasar di daerah kumuh perkotaan, RW 010 Kelurahan Angke Kecamatan
Tambora Jakarta Barat.
10. Ada hubungan antara infeksi kecacingan dengan kebiasaan menggunakan
alas kaki anak usia sekolah dasar di daerah kumuh perkotaan, RW 010 Kelurahan
Angke Kecamatan Tambora Jakarta Barat.

Metode Penelitian
Rancangan Penelitian.
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian survey yang bersifat deskriptif
analitik dengan pendekatan Cross sectional dimana pengumpulan data, baik variabel
sebab (independent variabel) maupun variabel akibat (dependent variabel)
dikumpulkan secara bersama-sama dalam satu waktu.

Populasi dan Sampel.

1. Populasi Penelitian.
Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah Semua anak usia sekolah dasar
yang berjumlah 118 anak di RW 10 Kelurahan Angke Kecamatan Tambora.

2.Sampel.
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah anak usia sekolah dasar yang
diperoleh dengan menghitung terlebih dahulu jumlah sample dengan menggunakan
rumus (30) :

7
2
Z1  α/2 p(1  p)N
n
2 2
d (N 1) Z 1   / 2p(1p)

Sumber :Lemeshow dkk, 1997


Keterangan :
n = Jumlah sampel minimal yang diperlukan
Z 1- α/2 = Derajat kepercayaan, 1.96 untuk tingkat kepercayaan 95%
p = Estimasi proporsi/ proporsi anak usia
sekolah dasar yang status gizi (IMT/U) kurus 6.5%
q = 1-p (proporsi anak yang tidak kurus )
d = Limit dari error atau penyimpangan / tingkat kesalahan 6 %

Berdasarkan pada perhitungan rumus diatas maka penelitian ini memerlukan sampel
minimal sebesar :
(1,96)2 x0,065x0,935x118
n  47
(0,06)2 x117  (1,96) 2 x0,065x0,935

Cara Pengambilan Sampel.


Dalam penelitian ini digunakan teknik sistematik random sampling yaitu
setelah ditentukan jumlah sampelnya, lalu dibuatlah listing / daftar nama sesuai
dengan kriteria yang telah ditentukan. Dengan cara membagi jumlah anggota
populasi dengan perkiraan jumlah sampel yang diinginkan. Hasilnya adalah interval,
maka yang terkena sampel adalah setiap kelipatan dari interval tersebut. Untuk
membuktikan hipotesis penelitian ini digunakan uji statistik chi-square dengan
rumus.
(O  E) 2
χ2  
E

Hasil Dan Pembahasan

1.Analisis Univariat
Tabel 1.
Karakterisktik Responden

8
Jumlah
Karakteristik
n %

Umur (tahun)

 7–9 26 72.2
 10 – 12 10 27.8
Jenis Kelamin
 Laki-laki 15 41,7
 Perempuan 21 58,3
Kecacingan
 Ya 8 22,2
Asupan Energi
 Kurang < 80% AKG 23 63.9
Asupan Protein
 Kurang <80% AKG 19 52.8
Status Gizi
 Kurus 6 16.7
Cuci tangan
 Tidak Baik 34 94.4

Keadaan Kuku
 Tidak Baik 20 55.6
Menggunakan Alas Kaki
 Tidak Baik 21 58.3

Berdasarkan karakteristik responden diketahui bahwa umur responden


antara 7-12 tahun. Responden yang berusia 7-9 tahun ditemukan sebanyak
72.2% (26 orang), berikutnya sebanyak 27.8% (10 orang ) berada pada usia
10-12 tahun. Berdasarkan distribusi menurut jenis kelamin dapat terlihat
bahwa responden berjenis kelamin perempuan memiliki persentase tertinggi
yaitu 58.3% (21 orang) dan 41.7% (15 orang) berjenis kelamin laki-laki.
Sebesar 22.2% (8 orang) terinfeksi cacing usus. Jenis telur cacing yang
menginfeksi anak usia adalah Ascaris Lumbricoides.

9
Dari hasil penelitian Sri Lestari tahun 2009 prevalensi infeksi
kecacingan pada anak sekolah dasar di daerah kumuh perkotaan di kota
Medan sebesar 50.86% dengan Nematoda yang paling tinggi persentasenya
adalah Ascaris lumbricoides (34.83%) hal ini berarti persentase infeksi
kecacingan pada anak usia sekolah dasar di RW 010 Kelurahan Angke
kecamatan Tambora (22.2%) masih dibawah persentase infeksi kecacingan
pada anak sekolah dasar di daerah kumuh perkotaan di kota Medan
(50.86%).
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein,
dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme,
pertumbuhan, pengaturan suhu, dan aktifitas fisik. Masa usia sekolah
membutuhkan asupan makanan yang bergizi untuk menunjang pertumbuhan
dan perkembangan, diperoleh 63.9% (23 orang) asupan energinya kurang
<80% AKG. Rata–rata asupan energi responden dengan menggunakan recall
2 x 24 jam berturut-turut adalah 1165 kkal dengan nilai minimum asupan
energi adalah 532,50 kkal nilai maksimum asupan energi adalah 1775 kkal.
Berdasarkan AKG 2004 kecukupan energi untuk anak 7–12 tahun adalah
1800 kkal dan umur 10 – 12 tahun adalah 2050 kkal. Hal ini asupan energi
anak usia sekolah dasar di RW 010 Kelurahan Angke Kecamatan Tambora
masih belum sesuai dengan angka kecukupan gizi. Berdasarkan hasil
Riskesdas tahun 2010 persentase anak umur 7-12 tahun yang asupan energi
kurang (< 70%) dari AKG 2004 sebesar 34.9% hal ini lebih rendah
dibandingkan dengan penelitian di RW 010 kelurahan Angke Kecamatan
Tambora (63,9%).
Seperlima bagian tubuh manusia terdiri dari protein, protein
mempunyai fungsi khas yang tidak bisa digantikan dengan zat gizi lain, yaitu
membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Selain itu protein
juga mempunyai fungsi sebagai katalisator, pembawa, penggerak, pengatur,
mengatur keseimbangan air, pembentukan antibody (imunitas) dan untuk
pertumbuhan, sebanyak 52.8% (19 orang) memiliki asupan protein kurang
<80% AKG. Rata–rata asupan protein responden dengan menggunakan recall
2 x 24 jam berturut-turut adalah 32,47 gr dengan nilai minimum asupan
protein adalah 17,80 gr, nilai maksimum asupan protein adalah 53,20 gr.

10
Berdasarkan AKG 2004 kecukupan protein untuk anak 7 – 9 tahun adalah 45
gr dan umur 10 – 12 tahun adalah 50 gr. Hal ini asupan protein anak usia
sekolah dasar di RW 010 Kelurahan Angke Kecamatan Tambora masih
belum sesuai dengan angka kecukupan gizi. Berdasarkan hasil Riskesdas
tahun 2010 persentase anak umur 7-12 tahun yang asupan protein kurang (<
80%) dari AKG 2004 sebsesar 21.1% hal ini lebih rendah dibandingkan
dengan penelitian di RW 010 kelurahan Angke Kecamatan Tambora.
Status gizi dapat diartikan juga sebagai keadaan tubuh sebagai akibat
konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan atas status gizi
kurang, baik, atau lebih (Almatsier, 2001). Berdasarkan tabel distribusi status
gizi diatas, dari 36 anak usia sekolah dasar di RW 010 Kelurahan Angke,
terdapat 16.6% (6 orang) yang bestatus gizi lebih/gemuk, 66.7% (24 orang)
berstatus gizi normal, 16.7% (6 orang) berstatus gizi kurus. Berdasarkan hasil
Riskesdas tahun 2010 prevalensi status gizi anak usia 6-12 tahun berdasarkan
IMT/U, dijakarta terdapat 6.5% kurus, 76.3% normal, 12.8% gemuk. Dapat
disimpulkan bahwa persentase status gizi (IMT/U) lebih/gemuk dan kurus di
RW 010 Kelurahan Angke lebih tinggi dibandingkan dengan hasil Riskesdas
2010 di provinsi Jakarta.

Mencuci tangan bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan debu


secara mekanis dari permukaan kulit dan secara bermakna mengurangi
jumlah mokroorganisme penyebab penyakit pada kedua tangan, diperolewh
94.4% (34 orang) memiliki kebiasaan mencuci tangan tidak baik.
Kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat
melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan
mikroorganisme diantaranya bakteri dan telur cacing. Penularan kecacingan
diantaranya melalui tangan yang kotor, kuku yang kotor yang kemungkin
terselip telur cacing. Sebanyak 55.6% (36 anak) memiliki keadaan kuku yang
tidak baik. Keadaan kuku yang baik dalam penelitian ini yaitu kuku dalam
keadaan yang pendek dan tidak kotor.
Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki pada saat bermain di tanah
atau di luar rumah masih banyak ditemukan pada anak usia sekolah dasar.
Tanah yang terkontaminasi telur cacing dapat terbawa jauh karena menempel

11
pada kaki sehingga dapat masuk ke dalam rumah. Diperoleh sebanyak 58.3%
(21 anak) memiliki kebiasaan menggunakan alas kaki yang tidak baik. Pada
penelitian ini kebiasaan menggunakan alas kaki yang baik apabila selalu
menggunakan alas kaki ketika keluar rumah dan saat bermain.

2.Analisis Bivariat
a.Hubungan Asupan Energi dengan Umur Pada Anak Usia Sekolah Dasar di RW 010
Kelurahan Angke.
Tabel 2.
Distribusi asupan energi berdasarkan umur

Asupan Energi
Baik Kurang Jumlah
Umur Asupan Asupan
(Tahun) ≥ 80%AKG < 80% AKG
n % n % n %

7–9 12 46.2 14 53.8 26 100.0


10 – 12 1 10.0 9 90.0 10 100.0

Dari tabel diatas menyatakan bahwa dari 36 anak usia sekolah dasar
yang diteliti, ditemukan 13 orang memiliki asupan energi ≥80% dengan
persentase 46.2% pada usia 7–9 tahun dan 10.0% pada usia 10-12 tahun.
Sedangkan untuk asupan energi kurang dari 80% AKG ditemukan 23 orang
dengan 53.8% pada usia 7-9 tahun dan 90.0% pada usia 10-12 tahun. Proporsi
asupan energi kurang, besar terhadap kelompok umur 10-12 tahun tahun
(90.0%) dibanndingkan pada kelompok umur 7-9 tahun (53.8 %).

Berdasarkan hasil uji statistik Chi-square dapat diketahui nilai


p=0.060 maka dapat disimpulkan Ha ditolak karena p>0.05 berarti tidak ada
hubungan yang bermakna antara umur dengan asupan energi. Hal ini tidak
sejalan dengan pernyataan Dinkes DKI RI, 1995 dalam Intan Fermia (2008)
yang menyatakan bahwa pada golongan umur 10-12 tahun kebutuhan energi
relatif lebih besar dibandingkan dengan golongan umur 7-9 tahun.

12
b. Hubungan Asupan Protein dengan Umur Pada Anak Usia Sekolah Dasar di
RW 010 Kelurahan Angke.

Tabel 3.
Distribusi asupan protein berdasarkan umur

Asupan protein

Umur Baii Kurang Jumlah


(Tahun) ≥ 80% AKG < 80% AKG

N % n % n %
7–9 13 50.0 13 50.0 26 100.0
10 – 12 4 40.0 6 60.0 10 100.0

Dari tabel diatas menyatakan bahwa dari 36 anak usia sekolah dasar yang
diteliti, ditemukan sebanyak 17 orang memiliki asupan protein ≥80% dengan
persentase sebesar 50.0% pada umur 7–9 tahun dan 40.0% pada usia 10-12
tahun. Sedangkan untuk asupan protein kurang dari 80% AKG ditemukan
sebanyak 19 orang dengan persentase sebesar 50.0% pada usia 7-9 tahun dan
60% pada usia 10-12 tahun Proporsi asupan protein kurang, besar terhadap
kelompok umur 10-12 tahun (60.0%) dibandingkan pada kelompok umur 7-9
tahun (50.0%). Berdasarkan hasil uji statistic chi-square diatas dapat diperoleh
nilai p=0,717 maka dapat disimpulkan Ha ditolak karena p>0.05 berarti tidak ada
hubungan yang bermakna antara umur dengan asupan protein.

c. Hubungan Asupan Energi dengan Jenis Kelamin Pada Anak Usia Sekolah
Dasar di RW 010 Kelurahan Angke.

13
Tabel 4.
Distribusi asupan energi berdasarkan jenis kelamin

Asupan Energi
Baik Kurang Jumlah
Jenis
Kelamin ≥ 80% AKG < 80% AKG

n % N % n %

Laki-Laki 5 33.3 10 66.7 15 100.0

Perempuan 8 38.1 13 61.9 21 100.0

Dari tabel diatas menyatakan bahwa dari 36 anak usia sekolah dasar
yang diteliti, ditemukan sebanyak 13 orang memiliki asupan energi ≥80%
dengan persentase sebesar 33.3% pada jenis kelamin laki-laki dan 38.1%
pada jenis kelamin perempuan. Sedangkan untuk asupan energi kurang dari
80% AKG ditemukan sebanyak 23 orang dengan persentase sebesar 66.7%
pada jenis kelamin laki-laki, sedangkan 61.9% pada jenis kelamin
perempuan. Proporsi asupan energi kurang, besar terhadap jenis kelamin
laki-laki (66.7%) dibandingkan pada jenis kelamin perempuan (61.9%).
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diatas dapat diperoleh nilai
p=1,000 maka dapat disimpulkan Ha ditolak karena p>0.05 berarti tidak ada
hubungan antara jenis kelamin dengan asupan energi.

d. Hubungan Asupan Protein dengan Jenis Kelamin Pada Anak Usia Sekolah
Dasar di RW 010 Kelurahan Angke.

Tabel 5.
Distribusi asupan protein berdasarkan jenis kelamin

Asupan Protein
Jenis
Baik Kurang Jumlah
Kelamin
≥ 80% AKG < 80% AKG

14
n % N % N %

Laki-Laki 5 33.3 10 66.7 15 100.0

Perempuan 12 57.1 9 42.9 21 100.0

Dari tabel diatas menyatakan bahwa dari 36 anak usia sekolah dasar yang
diteliti, ditemukan sebanyak 17 orang memiliki asupan protein ≥80% dengan
persentase sebesar 33.3% pada jenis kelamin laki-laki dan 57.1% pada jenis kelamin
perempuan. Sedangkan untuk asupan protein kurang dari 80% AKG ditemukan
sebesar 19 orang pada jenis kelamin laki-laki dan 42.9% pada jenis kelamin
perempuan. Proporsi asupan protein kurang, besar terhadap jenis kelamin laki-laki
(66.7%) dibandingkan pada jenis kelamin perempuan (42.9%).

Berdasarkan hasil uji statisk chi-square diatas dapat diperoleh nilai p=0.284
maka dapat disimpulkan Ha ditolak karena p>0.05 berarti tidak ada hubungan yang
bermakna antara jenis kelamin dengan asupan protein. Hal tersebut tidak sejalan
dengan pernyataan Dinkes DKI RI, 1995 dalam Intan Fermia (2008) yang
menyatakan bahwa kebutuhan gizi pada anak umur 10-12 tahun pun berbeda antara
laki-laki dengan perempuan. Anak laki-laki lebih banyak melakukan aktifitas
sehingga kebutuhan zat gizi lebih banyak.

e. Hubungan Status Gizi (IMT/U) dengan Asupan Energi Pada Anak Usia
Sekolah Dasar di RW 010 Kelurahan Angke.

Tabel 6.
Distribusi status gizi IMT/U berdasarkan asupan energi

15
Status Gizi IMT/U
Asupan Lebih/ Jumlah
Normal Kurus
Energi Gemuk
n % n % n % n %
Baik
0 0.0 10 76.9 3 23.1 13 100.0
≥80% AKG

Kurang
6 26.1 14 60.9 3 13.0 23 100.0
<80% AKG

Berdasarkan tabel diatas disajikan asupan energi berdasarkan status


gizi anak usia sekolah dasar (IMT/U) yang dibedakan menjadi 2 yaitu, baik
asupan ≥80% dan kurang, asupan <80%. Berdasarkan analisa diatas dari 36
anak usia sekolah dasar yang diteliti, didapatkan sebanyak 6 orang memiliki
status gizi Lebih/gemuk dengan persentase sebesar 26.1% memiliki asupan
energi kurang yaitu <80% AKG, dan 0% untuk asupan energi baik ≥80%
AKG. Untuk status gizi normal didapatkan 24 orang dengan persentase
sebesar 76.9% memiliki asupan energi baik ≥80% dan 60.9% memiliki
asupan energi kurang yaitu <80% AKG. Sedangkan untuk responden yang
memiliki status gizi kurus didapatkan persentase sebesar 6 orang dengan
asupan energi baik ≥80% sebesar 13% dan asupan energi kurang <80%
sebesar 23%. Berdasarkan hasil uji Chi-square diatas dapat diperoleh nilai
p=0,122 maka dapat disimpulkan Ha ditolak karena p>0.05 berarti tidak ada
hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status gizi (IMT/U).

16
Berdasarkan tabel diatas kecenderungan terlihat bahwa status gizi
normal memiliki asupan ≥80%. Hal ini sejalan dengan teori Supariasa (2001),
bahwa status gizi dipengaruhi oleh asupan makanan. Dari tabel diatas anak
yang memiliki status gizi lebih/gemuk lebih banyak memiliki asupan energi
yang kurang (26,1%) dibandingkan dengan asupan energi baik ≥80% AKG
(0%) dan terdapat anak yang memiliki status gizi kurus banyak terdapat pada
anak yang memiliki asupan energi baik (23.1%) dibandingkan dengan anak
yang memiliki asupan energi kurang (13.0%) hal ini bisa terjadi karena
metode survey konsumsi yang digunakan yaitu metode food recall yang
memiliki kelemahan seperti, ketepatan daya ingat, kejujuran responden,
kesalahan peneliti dalam menafsirkan ukuran rumah tangga ke dalam ukuran
berat(gram) dan tidak dapat menggambarkan asupan makan sehari-hari.

f. Hubungan Status Gizi (IMT/U) dengan Asupan protein Pada Anak Usia
Sekolah Dasar di RW 010 Kelurahan Angke.

Tabel 7.
Distribusi status gizi IMT/U berdasarkan asupan protein

Status Gizi IMT/U


Asupan Jumlah
Gemuk Normal Kurus
Protein
n % n % n % n %

Baik
0 0.0 13 76.5 4 23.5 17 100.0
≥80% AKG

Kurang
6 31.6 11 57.9 2 10.5 19 100.0
<80% AKG

17
Berdasarkan data diatas disajikan status gizi anak usia sekolah dasar
(IMT/U) berdasarkan asupan protein yang dibedakan menjadi 2 yaitu, baik
asupan ≥80% dan kurang, asupan <80%. Berdasarkan analisa diatas dari 36
anak usia sekolah dasar yang diteliti, didapatkan sebanyak 6 orang memiliki
status gizi gemuk dengan persentase sebesar 31.6% memiliki asupan protein
kurang yaitu <80% AKG, dan 0 % untuk asupan protein baik ≥80% AKG.
Untuk status gizi normal didapatkan 24 orang dengan persentase sebesar
76.5% memiliki asupan protein baik ≥ 80% dan 57.9% memiliki asupan
protein kurang yaitu <80% AKG. Sedangkan untuk responden yang memiliki
status gizi kurus didapatkan sebanyak 6 orang dengan asupan protein baik
≥80% sebesar 23.5% dan asupan protein kurang sebesar 10.5%. Berdasarkan
hasil uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p=0.034 maka dapat disimpulkan
Ha diterima karena p<0.05 berarti ada hubungan antara asupan protein
dengan status gizi (IMT/U). Hal ini sejalan dengan teori Supariasa (2001),
bahwa status gizi dipengaruhi oleh asupan makanan.

Berdasarkan tabel diatas kecenderungan terlihat bahwa status gizi


normal memiliki asupan ≥ 80%. Hal ini sejalan dengan teori Supariasa
(2001), bahwa status gizi dipengaruhi oleh asupan makanan.

g. Hubungan status gizi (IMT/U) dengan Infeksi Kecacingan Pada Anak Usia
Sekolah Dasar di RW 010 Kelurahan Angke.
Tabel 8.
Distribusi status gizi (IMT/U) berdasarkan infeksi kecacingan

Infeksi Status Gizi IMT/U Jumlah

18
Lebih/
Normal Kurus
kecacingan Gemuk

n % n % n % n %

Tidak 3 10.7 19 67.9 6 21.4 28 100.0

Ya 3 37.5 5 62.5 0 0.0 8 100.0

Hasil analisa hubungan antara status gizi (IMT/U) dengan infeksi


kecacingan dapat dilihat di dari tabel 17. Hasil analisis dari anak yang
memiliki status gizi lebih/gemuk sebanyak 6 orang dengan 10.7% tidak
terinfeksi telur cacing dan 37.5% terinfeksi telur cacing. Sedangkan anak
yang memiliki status gizi normal didapat persentase sebanyak 24 orang
dengan 67.9% tidak terinfeksi telur cacing sedangkan 62.5% terinfeksi telur
cacing. Untuk anak yang memiliki status gizi kurus sebanyak 6 orang dengan
persentase 21.4% tidak terinfeksi telur cacing dan 0% terinfeksi telur cacing.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi-Square diatas dapat diperoleh nilai p=0,110
maka dapat disimpulkan Ha ditolak karena p>0.05 berarti tidak ada hubungan
antara infeksi kecacingan dengan status gizi (IMT/U). Hal ini sejalan dengan
penelitian Sri Lestari (2009) yang mengenai Status Gizi, Infeksi Kecacingan
dan Prestasi Belajar pada Anak Sekolah Dasar di Daerah Kumuh Perkotaan
Kota Medan yang menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara infeksi
kecacingan dengan status gizi anak. Namun hal tersebut tidak sesuai dengan
Shahmien Moehji (1988) yang menyatakan bahwa hadirnya penyakit infeksi
dalam tubuh anak akan membawa pengaruh terhadap keadaan gizi anak.
Status gizi lebih/gemuk adalah akibat mengkonsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi yang telah berlangsung pada masa lalu, sedangkan
infeksi kecacingan terjadi pada saat ini dan tidak dapat diketahui sudah
berapa lama responden menderita. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah cross-sectional dimana variabel sebab dan akibat diteliti pada
waktu yang sama sehingga sulit untuk melihat hubungan dari variabel
tersebut.

19
h. Hubungan Infeksi Kecacingan dengan Kebiasaan Mencuci Tangan pada
Anak Usia Sekolah dasar di RW 010 Kelurahan Angke
Tabel 9.
Distribusi infeksi kecacingan berdasarkan kebiasaan mencuci tangan

Infeksi Kecacingan
Kebiasaan Jumlah
Tidak Ya
mencuci tangan
n % n % n %

Baik 2 100 0 0 2 100.0


Tidak Baik 26 76.5 8 23.5 34 100.0

Hasil analisis hubungan antara Infeksi Kecacingan dengan kebiasaan


mencuci tangan dapat dilihat pada tabel di atas. Hasil analisis dari responden
yang tidak terinfeksi telur cacing 28 orang dengan persentase sebesar 100%
memiliki kebiasaan menci tangan dengan baik dan 76.5% memiliki kebiasaan
mencuci tangan tidak baik. Sedangkan untuk responden yang terinfeksi telur
cacing sebanyak 8 orang dengan persentase sebesar 23.5% memiliki kebiasaan
mencuci tangan tidak baik dan 0% tidak terinfeksi telur cacing. Berdasarkan hasil
uji statistik chi-square dapat diperoleh nilai p=1,000 maka dapat disimpulkan Ha
ditolak karena p>0.05 berarti tidak ada hubungan antara kebiasaan mencuci
tangan dengan infeksi kecacingan. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Evi
Yulianto (2007) mengenai Hubungan Higiene Sanitasi dengan Kejadian Penyakit
Cacingan pada siswa SD Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang, Semarang
yang menerangkan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan mencuci tangan
dengan kejadian penyakit cacingan.

i. Hubungan Infeksi Kecacingan Dengan Keadaan Kuku Pada Anak Usia


Sekolah Dasar Di RW 010 Kelurahan Angke.
Tabel 10.
Distribusi infeksi kecacingan berdasarkan keadaan kuku

Infeksi Kecacingan
Jumlah
Kebersihan Kuku Tidak Ya
n % n % n %
Baik
15 93.8 1 6.3 16 100.0
Tidak Baik 20
13 65.0 7 35.0 20 100.0
Hasil analisis hubungan antara Infeksi Kecacingan dengan keadaan
kuku dapat dilihat pada tabel 19. Hasil analisis menunjukan bahwa 28 orang
tidak terinfeksi telur cacing dengan persentase 93.8% memiliki keadaan kuku
baik dan 65.0% kedaan kuku tidak baik. Sedangkan untuk 8 orang yang
terinfeksi telur cacing, 6.3% memiliki keadaan kuku yang baik dan sebesar
35.0% memiliki keadaan kuku tidak baik. Berdasarkan hasil uji statistik chi-
square dapat diperoleh nilai p=0.053, maka dapat disimpulkan Ha ditolak
karena p>0.05 berarti tidak terdapat hubungan antara keadaan kuku dengan
infeksi kecacingan. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Evi yulianto
(2007) mengenai Hubungan Higiene Sanitasi dengan Kejadian Penyakit
Cacingan pada siswa SD Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang,
Semarang yang menerangkan bahwa terdapat hubungan antara keadaan kuku
dengan kejadian penyakit cacingan.
Menurut Departemen Kesehatan R.I (2001) salah satu usaha
pencegahan penyakit cacingan yaitu dengan memelihara kebersihan diri
dengan baik seperti memotong kuku. Kuku sebaiknya dipotong pendek untuk
menghindari penularan cacing dari tangan ke mulut.

j. Hubungan Infeksi kecacingan dengan Kebiasaan Menggunakan Alas Kaki


pada anak usia sekolah dasar di RW 010 Kelurahan Angke.
Tabel 11.
Distribusi infeksi kecacingan berdasarkan kebiasaan menggunakan
alas kaki

Infeksi Kecacingan
Kebiasaan
Jumlah
menggunakan Tidak Ya
alas kaki
n % N % n %

Baik 13 86.7 2 13.3 15 100.0


Tidak Baik 15 71.4 6 28.6 21 100.0

21
Hasil analisi hubungan antara Infeksi Kecacingan dengan Kebiasaan
menggunakan alas kaki dapat dilihat pada tabel 20. Hasil analisis dari 28
orang yang tidak terinfeksi kecacingan 86.7% memiliki kebiasaan
menggunakan alas kaki dengan baik dan 71.4% memiliki kebiasaan
menggunkian alas kaiki tidak baik. Sedangkan dari 8 orang yang terinfeksi
telur cacing sebesar 13.3% memiliki kebiasaan menggunkan alas kaki dengan
baik dan 28.6% kebiasaan menggunakan alas kaki tidak baik. Berdasarkan
hasil uji statistik chi-square diatas dapat diperoleh nilai p=0.424 maka dapat
disimpulkan Ha diterima karena p>0.05 berarti tidak ada hubungan antara
menggunakan alas kaki dengan infeksi kecacingan kebiasaan.
Berdasarkan tabel diatas kecenderungan terlihat bahwa infeksi
kecacingan terjadi apabila memilki kebiasaan menggunakan alas kaki yang
tidak baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ani Sumarni (2008) yang
menyatakan bahwa kebiasaan tidak menggunakan alas kaki pada saat
bermain di tanah atau di luar rumah dapat mempengaruhi penularan
kecacingan. Tanah yang terkontaminasi telur cacing dapat terbawa jauh
karena menempel pada kaki masuk ke dalam rumah, penularan melalui debu
dapat terjadi.

Kesimpulan
1. Sebagian besar anak usia sekolah dasar pada kelompok umur 7-9 tahun
dengan persentase 72.2% .
2. Sebagian besar anak usia sekolah dasar yang diteliti dengan jenis kelamin
perempuan sebanyak 58.3%.
3. Infeksi cacing usus pada anak usia sekolah dasar di RW 010 Kelurahan
Angke sebanyak 22.2% terinfeksi cacing usus
4. Asupan energi pada anak usia sekolah dasar di RW 010 Kelurahan
Angke sebanyak 63.9% mengkonsumsi energi kurang dari 80% AKG.
5. Asupan protein pada anak usia sekolah dasar di RW 010 Kelurahan
Angke sebanyak 52.8% mengkonsumsi protein kurang dari 80% AKG.
6. Status gizi pada anak usia sekolah dasar yang diteliti di RW 010
Kelurahan Angke sebagian besar memiliki status gizi (IMT/U) normal

22
dengan persentase 66.7%, namun masih terdapat status gizi kurus sebesar
16.6%.
7. Kebiasaan mencuci tangan pada anak usia sekolah dasar di RW 010
Kelurahan Angke Kecamatan 94.4% tergolong tidak baik.
8. Keadaan kuku pada anak usia sekolah dasar di RW 010 Kelurahan Angke
55.6% tergolong tidak baik.
9. Kebiasaan menggunakan alas kaki pada anak usia sekolah dasar di RW
010 Kelurahan Anke 58.3 % tergolong tidak baik.
10. Tidak ada hubungan yang bermakna asupan energi dengan umur pada
anak usia sekolah dasar di RW 010 Kelurahan Angke dengan nilai
p=0.060.
11. Tidak ada hubungan yang bermakna asupan protein dengan umur pada
anak usia sekolah dasar di RW 010 Kelurahan Angke dengan nilai p=
0.717.
12. Tidak ada hubungan yang bermakna asupan energi dengan jenis kelamin
pada anak usia sekolah dasar di RW 010 Kelurahan Angke dengan nilai
p=1,000.
13. Tidak ada hubungan yang bermakna asupan protein dengan jenis kelamin
pada anak usia sekolah dasar di RW 010 Kelurahan Angke dengan nilai
p=0.284.
14. Tidak ada hubungan yang bermakna status gizi (IMT/U) dengan asupan
energi pada anak usia sekolah dasar di RW 010 Kelurahan Angke dengan
nilai p=0.122.
15. Ada hubungan yang bermakna status gizi (IMT/U) dengan asupan protein
pada anak usia sekolah dasar di RW 010 Kelurahan Angke dengan nilai
p=0.0034.
16. Tidak ada hubungan yang bermakna status gizi (IMT/U) dengan infeksi
kecacingan pada anak usia sekolah dasar di RW 010 Kelurahan Angke
dengan nilai p=0.110.
17. Tidak ada hubungan yang bermakna infeksi kecacingan dengan
kebiasaan mencuci tangan pada anak usia sekolah dasar di RW 010
Kelurahan Angke dengan nilai p=1,000.

23
18. Tidak ada hubungan yang bermakna infeksi kecacingan dengan keadaan
kuku pada anak usia sekolah dasar di RW 010 Kelurahan Angke dengan
nilai p=0.053
19. Tidak ada hubungan yang bermakna infeksi kecacingan dengan
kebiasaan menggunakan alas kaki pada anak usia sekolah dasar di RW
010 Kelurahan Angke dengan nilai p=0.424.

Daftar Pustaka
1. Mardiana, Djarismawati. 2008. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah
Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu PengentasanKemiskinan
Daerah Kumuh Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan,vol. 7 No.2.

2. _________. Prevalensi Kecacingan Anaka SD di Polewali Mandar Kembali


Tinggi.2009. www.wordpress.com. Diakses pada 11 Januari 2011.

3. Lestari, Sri, dkk. 2009. Status Gizi, Infeksi Kecacingan, dan Prestasi
Belajar Serta Faktor yang Berhubungan dengan Prestasi Belajar pada anak
Sekolah Dasar di Daerah kumuh Perkotaan Kota Medan.
Laporan Hasil Penelitian, Hibah Penelitian Strategis Nasional.
Universitas Sumatera Utara.

4. Soedarto.1995.Penyakit- penyakit Infeksi di Indonesia. Jakarta:


Rineka Cipta.

5. Zaman,Viqar,dkk. 1988. Buku Penuntun Parasitologi Kedokteran. Bandung:


Bina Cipta.

6. Anugerah, Hendra. 2010. Permasalahan Umum Kesehatan Anak Usia


Sekolah. www.infosehat.com. Diakses pada 12 Desember 2010

7. Supandji, Dani Hermawan. 2010. Prevalensi tertinggi di Jakarta Utara.


www.rakyatmerdeka.com. Diakses pada 18 Januari 2011.

8. Departemen Kesehatan RI. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar


Nasional. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

9. Ritarwan,K. 2006. Perbedaan cognitive prrfomance antara anak sekolah dasar


yang terinfeksi cacing usus dengan yang tidak terinfeksi cacing usus. Thesis
Kedokteran Tropis PPSUSU. Medan

10. Soedarto. 2009. Penyakit Menular di Indonesia. Jakarta: Sagu

24
11. Ismawan, Dimas. 2008. Kajian Kerentanan Kawasan Permukiman Padat
Terhadap Bencana Kebakaran di Kecamatan Tambora–Jakarta Barat.Tugas
Akhir. Jurusan Perencanan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

12. Supariasa, I Dewa Nyoman, Bachyar Bakri,dan Ibnu Fajar.2002.Penilaian


Status Gizi. Jakarta: EGC.

13. Almatsier ,Sunita. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

14. _______. Status Gizi dan Faktor yang Mempengaruhi. 2009.


www.wordprees.com. Diakses pada 10 Desember 2011.

15. www.who.int/growthref/enz

16. Muhilal, Didit Damayanti. 2006. Hidup Sehat Gizi Seimbang dalam Siklus
Kehidupan Manusia “Gizi Seimbang Untuk Anak Usia Sekolah Dasar”.
Jakarta: Primamedia Pustaka.

17. Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi VIII, 2004, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.

18. Notoatmojo, Soekidjo.2003.Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip–prinsip


Dasar.Jakarta:PT.Rineka Cipta.

19. Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat. 2007. Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

20. Moehji,Sjahmien. 1988.Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita.Jakarta:


PT.Bharata Karya Aksara

21. Srisasi, Gandahusada. 2000. Parasitologi Kedokteran edisi ke 3.


Jakarta: FKUI.

22. Surat Keputusan Menteri Kesehatan. No:424/MENKES/SK/UI.2006.


Pedoman Pengendalian Cacingan. Jakarta: Depkes.

23. Hadidjaja, Pinardi.1990.Penuntun Laboratorium Parasitologi


Kedokteran.Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

24. Azwar A. 1993. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara.

25. Jalaluddin. 2009. Pengaruh sanitasi lingkungan,Personal Higiene dan


Karakteristik anak terhadap Infeksi kecacingan Pada Murid sekolah Dasar di
Kecamatan Blang Mangat kota Lhokseumawe. Tesis,program pasca
sarjana.Universitas Sumatera Utara.

25
26. Sumarni, Ani. Hubungan Kondisi Sanitasi Lingkungan dan
HigienePerorangan Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak SekolahDasar
di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.2008. Skripsi. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Program Sarjana Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.

27. Onggoh Waluyo. 2000. Parasitologi Medik I. Jakarta:EGC.

28. Hariayani. Hubungan Hygiene Sanitasi Perorangan Dengan kejadian


Kecacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Yayasan Dinamika Indonesia Bantar
gebang Bekasi Jawa Barat. 2010. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

29. Notoatmojo, Soekidjo.2005.Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta:


Rineka Cipta.2

30. Lemeshow, S. & David W.H.Jr.1997. Besar Sampel dalam Penelitian


Kesehatan (terjemahan).Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

31. Budiarto, Eko.2002. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan


Masyarakat.Jakarta: EGC

32. Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia.
Jakarta: PT Alex Media Komputindo Kompas Gramedia.

26
27

Anda mungkin juga menyukai