Anda di halaman 1dari 18

Pengertian

Terdapat beberapa definisi kejahatan seksual, baik definisi legal, sosial, maupun
medis. Salah satu definisi yang luas mengartikan kekerasan seksual sebagai segala jenis
kegiatan atau hubungan seksual yang dipaksakan dan/atau tanpa persetujuan (consent) dari
korban. Sedangkan definisi yang lebih sempit menyamakan kejahatan seksual dengan
perkosaan (rape), dan mengharuskan adanya persetubuh-an, yaitu penetrasi penis ke dalam
vagina.Definisi-defi nisi tersebut sedikit banyak tergantung dari hukum yang dianut di suatu
negara.
Di Indonesia, pada umumnya defi nisi dan jenis kejahatan seksual yang dianut
diambil dariKitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya dalam Bab XIV
tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Salah satu pasal utama adalah pasal 285 tentang
Perkosaan yang berbunyi,“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Sedangkan Persetubuhan dengan Wanita di Bawah Umur diatur dalam pasal 287 ayat
1yang berbunyi,“Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Dalampasal 289 sampai 294 KUHP,
juga diatur tentang perbuatan cabul sebagai salah satu kejahatan terhadap kesusilaan;
perbuatan cabul diartikan sebagai semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan
kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan. Selain dalam KUHP,
pasal tentang kekerasan seksual terdapat pula dalam pasal 81 UU RI No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak serta pasal 5 dan 8 UU RI No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Pemahaman definisi dan jenis kejahatan seksual tersebut penting dimiliki oleh
seorang dokter. Tujuannya adalah untuk dapat menentukan hal-hal apa saja yang harus
diperiksa dan bukti-bukti apa saja yang harus dicari pada perilakuseksual. Dalam pasal-pasal
tersebut terkandung unsur-unsur apa saja yang harus dipenuhi dalam upaya pembuktian
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana berupa kejahatan seksual.
Peran seorang dokter
Dalam menangani perilaku kejahatan seksual, perlu ada nya turut serta peran seorang
dokter. jenis peran yang harus dimiliki seorang dokter:
 Attending doctor: Peran dokter klinis yang umum, yang bertujuan mendiagnosis dan
mengobati atau menyembuhkan pasien.
 Assessing doctor: Peran dokter dalam membantu pencarian bukti tindak pidana,
khususnya dengan membuat visum et repertum. Kedua peran tersebut kadang tidak
dapat dipisahkan dan harus dijalankan secara bersama
Kedua peran tersebut kadang tidak dapat dipisahkan dan harus dijalankan secara
bersama-sama. Dalam perilaku kejahatan seksual, seorang dokter bukan saja harus mencari
dan mengamankan bukti-bukti yang terdapat pada korban atau tersangka yang diperiksa, tapi
sekaligus juga memberikan terapi fisik maupun psikis.

Anamnesis
Pada korban kejahatan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa awam yang
mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah yang sesuai tingkat
pendidikan dan sosio-ekonomi korban, sekalipun mungkin terdengar vulgar. Anamnesis
dapat dibagi menjadi anamnesis umum dan khusus. Hal-hal yang harus ditanyakan pada
anamnesis umum mencakup, antara lain:
o Umur atau tanggal lahir
o Status pernikahan
o Riwayat paritas dan/atau abortus
o Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid)
o Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau setelah
kejadian
kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat kontrasepsi lainnya)
o Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA)
o Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu)
o Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan.
Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian kekerasan
seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik, seperti:
 What & How:
 Jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, dan sebagainya)
 Adanya kekerasan dan/adanya upaya perlawanan
 Apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian
 Adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum atau
setelah kejadian
 Adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit)
 Apakah ada nyeri di daerah kemaluan
 Apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar
 Adanya perdarahan dari daerah kemaluan
 Adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina
 Penggunaan kondom
 Tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah korban
sudah buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti baju, dan
sebagainya.
 When:
 Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam melapor
 Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
 Where:
 Tempat kejadian
 Jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence dari tempat
kejadian
yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian korban)
 Who:
 Apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak
 Jumlah pelaku
 Usia pelaku
 Hubungan antara pelaku dengan korban.

Pemeriksaan fisik
Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip “top-to-toe”. Artinya,
pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.
Pelaksanaan pemeriksaan fisik juga harus memperhatikan keadaan umum korban. Apabila
korban tidak sadar atau keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum
dapat ditunda dan dokter fokus untuk ”life-saving” terlebih dahulu. Selain itu, dalam
melakukan pemeriksaan fisik, perhatikan kesesuaian dengan keterangan korban yang didapat
saat anamnesis. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan umum
dan khusus. Pemeriksaan fisik umum mencakup:
- Tingkat kesadaran
- Keadaan umum
- Tanda vital
- Penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain)
- Afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih,takut, dan sebagainya)
- Pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas)
- Status generalis
- Tinggi badan dan berat badan
- Rambut (tercabut/rontok)
- Gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga)
- Kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang tercabut
atau patah)
- Tanda-tanda perkembangan seksual sekunder
- Tanda-tanda intoksikasi NAPZA
- Status lokalis dari luka-luka yang terdapatpada bagian tubuh selain daerah kemaluan.

Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait dengan
tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup pemeriksaan:
 Daerah pubis (kemaluan bagian luar), yaitu adanya perlukaan pada jaringan lunak
atau bercak cairan mani
 Penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya rambut pubis yang
terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau perlengketan
rambutpubis akibat cairan mani
 daerah vulva dan kulit sekitar vulva/pahabagian dalam (adanya perlukaan pada
jaringan lunak, bercak cairan mani)
 Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada perlukaan
pada jaringan lunak atau bercak cairan mani
 Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian bawah),
apakahada perlukaan
 Hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau ketebalan,
adanya perlukaan seperti robekan,memar,lecet, atau hiperemi). Apabila ditemukan
robekanhymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah robekan (sesuai arah pada jarum
jam, dengan korban dalam posisi litotomi), apakah robekan mencapai dasar (insersio)
atau tidak, dan adanya perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan
 Vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir
 Serviks dan porsio (mulut leher rahim), caritanda-tanda pernah melahirkan dan
adanya cairan atau lendir
 Uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan
 Anus (lubang dubur) dan daerah perianal, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis
 Mulut, apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis
 Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari bercak
mani atau air liur dari pelakU
 Tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.

Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah pemeriksaan
selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat bervariasi. Pada jenis-jenis selaput
dara tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan
selaput dara dilakukan dengantraksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti
dengan penelusuran tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk membedakan lipatan
dengan robekan. Pada penelusuran tersebut, umunya lipatan akan menghilang, sedangkan
robekan tetap tampak dengan tepi yang tajam.
Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukanpemeriksaan penunjang sesuai indikasi
untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuh korban. Sampel untuk pemeriksaan
penunjang dapat diperoleh dari, antara lain:
 Pakaian yang dipakai korban saat kejadian diperiksa lapis demi lapis untuk
mencari adanya trace evidence yang mungkin berasal dari pelaku, seperti
darah dan bercak mani, atau dari tempat kejadian, misalnya bercak tanah atau
daun-daun kering
 Rambut pubis; yaitu dengan menggunting rambut pubis yang menggumpal
atau mengambil rambut pubis yang terlepas pada penyisiran
 Kerokan kuku; apabila korban melakukan perlawanan dengan mencakar
pelaku maka mungkin terdapat sel epitel atau darah pelaku di bawah kuku
korban
 Swab; dapat diambil dari bercak yang diduga bercak mani atau air liur dari
kulit sekitar vulva, vulva, vestibulum, vagina, forniks posterior, kulit bekas
gigitan atau ciuman, rongga mulut (pada seks oral), atau lipatan-lipatan anus
(pada sodomi), atau untuk pemeriksaan penyakit menular seksual
 Darah; sebagai sampel pembanding untukidentifi kasi dan untuk mencari
tanda-tanda intoksikasi NAPZA
 Urin; untuk mencari tanda kehamilan dan intoksikasi NAPZA.
Hal yang harus diperhatikan pada tahap ini adalah keutuhan rantai barang bukti dari
sampel diambil (chain of custody). Semua pengambilan, pengemasan, dan pengiriman
sampel harus disertai dengan pembuatan berita acara sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini
lebih penting apabila sampel akan dikirim ke laboratorium dan tidak diperiksa oleh dokter
sendiri
Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan untuk koeban kekerasan seksual
seperti berikut:
a) Pemeriksaan darah
- Pemeriksaan golongan darah
Untuk penentuan golongan darah. Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah
cairan vaginal yang berisi air mani dan darah, metode yang digunakan
Serologi (ABO grouping test), pada pemeriksaan ini hasil yang diharapkan
berupa golongan darah dari air mani berbeda dengan golongan darah dari
korban.Pemeriksaan ini hanya dapat dikerjakan bila tersangka pelaku
kejahatan termasuk golongan secretor
Jika hanya pemeriksaan golongan darah yang akan dilakukan pada
bahan usapan vagina, maka bahan liur dari korban dan tersangka pelaku perlu
juga diperiksa golongan darahnya untuk menentukan golongan sekretor atau
non sekretor.
Orang yang termasuk golongan sekretor (sekitar 85 -06 dari populasi)
pada cairan tubuhnya terdapat substansi golongan darah. Kelompok orang ini
jika melakukan perkosaan akan meninggalkan cairan mani dan golongan
darahnya sekaligus pada tubuh korban.
Sebaliknya orang yang termasuk golongan non-sekretor (15 % dari
populasi)jika memperkosa hanya akan meninggalkan cairan mani saja tanpa
golongan darah. Dengan demikian jika pada tubuh korban ditemukan adanya
substansi golongan darah apapun, maka yang bersangkutan tetap harus
dicurigai sebagai tersangkanya.
Adanya pemeriksaan sidik DNA telah mempermudah penyimpulan karena
tidak dikenal adanya istilah sekretor dan non~sekretor pada pemeriksaan
DNA. Dalam hal tersangka pelaku tertangkap basah dan belum sempat
mencuci penisnya, maka secara konvensional leher kepala penisnya dapat
diusapkan ke gelas obyek dan diberi uap lugol. Adanya sel epitel vagina yang
berwarna coklat dianggap merupakan bukti bahwa penis itu baru ‘bersentuhan'
dengan vagina alias baru bersetubuh. Laporan terakhir pada tahun 1995,
menunjukkan bahwa gambaran epitel ini tak dapat diterima lagi sebagai bukti
adanya epitel vagina, karena epitel pria baik yang normal maupun yang sedang
mengalami infeksi kencing juga mempunyai epitel dengan gambaran yang
sama.
Pada saat ini jika seorang pria diduga baru saja bersetubuh, maka
kepala dan leher penisnya perlu dibilas dengan larutan NaCl. Air cucian ini
selanjunya diperiksa ada tidaknya sel epitel secara mikroskopik dan jika ada
maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan DNA dengan
metode PCR (polymerase chain reaction)

b) Pemeriksaan Laboratorium Forensik Cairan Mani & Spermatozoa


Cairan mani merupakan cairan agak putih kekuningan, keruh dan berbau khas.
Cairan mani pada saat ejakulasi kental kemudian akibat enzim proteolitik menjadi cair
dalam waktu yang singkat (10 – 20 menit). Dalam keadaan normal, volume cairan
mani 3 – 5 ml pada 1 kali ejakulasi dengan pH 7,2 – 7,6.
Cairan mani mengandung spermatozoa, sel-sel epitel dan sel-sel lain yang
tersuspensi dalam cairan yang disebut plasma seminal yang mengandung spermion
dan beberapa enzim sepertri fosfatase asam. Spermatozoa mempunyai bentuk yang
khas untuk spesies tertentu dengan jumlah yang bervariasi, biasanya antara 60 sampai
120 juta per ml.
Sperma itu sendiri didalam liang vagina masih dapat bergerak dalam waktu 4
– 5 jam post-coitus; sperma masih dapat ditemukan tidak bergerak sampai sekitar 24-
36 jam post coital dan bila wanitanya mati masih akan dapat ditemukan 7-8 hari
Pemeriksaan cairan mani dapat digunakan untuk membuktikan :
1. Adanya persetubuhan melalui penentuan adanya cairan mani dalam labia minor
atau vagina yang diambil dari forniks posterior
2. Adanya ejakulasi pada persetubuhan atau perbuatan cabul melalui penentuan
adanya cairan mani pada pakaian, seprai, kertas tissue, dan lain-lain.
Teknik Pengambilan bahan untuk pemeriksaan laboratorium untuk
pemeriksaan cairan mani dan sel mani dalam lendir vagina, yaitu dengan mengambil
lendir vagina menggunakan pipet pasteur atau diambil dengan ose batang gelas, atau
swab. Bahan diambil dari forniks posterior, bila mungkin dengan spekulum. Pada
anak-anak atau bila selaput darah masih utuh, pengambilan bahan sebaiknya dibatasi
dari vestibulum saja.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi :
 Penentuan spermatozoa (mikroskopis)
Tujuan : Menentukan adanya sperma
- Bahan pemeriksaan : cairan vagina
- Metode pemeriksaan :
o Tanpa pewarnaan
Untuk melihat motilitas spermatozoa. Pemeriksaan ini paling bermakna
untuk memperkirakan saat terjadinya persetubuhan
- Cara pemeriksaan :
Letakkan satu tetes cairan vagina pada kaca objek kemudian ditutup.
Periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 500 kali. Perhatikan pergerakkan
spermatozoa
- Hasil :
Umumnya disepakati dalam 2 – 3 jam setelah persetubuhan masih dapat
ditemukan spermatozoa yang bergerak dalam vagina. Haid akan memperpanjang
waktu ini sampai 3 – 4 jam. Berdasarkan beberapa penelitian, dapat disimpulkan
bahwa spermatozoa masih dapat ditemukan 3 hari, kadang – kadang sampai 6 hari
pasca persetubuhan. Pada orang mati, spermatozoa masih dapat ditemukan hingga
2 minggu pasca persetubuhan, bahkan mungkin lebih lama lagi.
o Dengan Pewarnaan
- Cara pemeriksaan :
Buat sediaan apus dan fiksasi dengan melewatkan gelas sediaan apus
tersebut pada nyala api. Pulas dengan HE, biru metilen atau hijau malakit
o Cara pewarnaan yang mudah dan baik untuk kepentingan forensik adalah
pulasan dengan hijau malakit dengan prosedur sebagian berikut :
Buat sediaan apus dari cairan vaginal pada gelas objek, keringkan diudara, dan
fiksasi dengan melewatkan gelas sediaan apus tersebut pada nyala api, warnai
dengan Malachite-green 1% dalam air, tunggu 10-15 menit, cuci dengan air,
warnai dengan larutan Eosin Yellowish 1 % dalam air, tunggu selama 1 menit,
cuci lagi dengan air, keringkan dan periksa dibawah mikroskop.

- Hasil :
Keuntungan dengan pulasan ini adalah inti sel epitel dan leukosit tidak
terdiferensiasi, sel epitel berwarna merah muda merata dan leukosit tidak
terwarnai. Kepala spermatozoa tampak merah dan lehernya merah muda, ekornya
berwarna hijau
Bila persetubuhan tidak ditemukan, belum tentu dalam vagina tidak ada
ejakulat karena kemungkinan azoosperma atau pascavasektomi. Bila hal ini
terjadi, maka perlu dilakukan penentuan cairan mani dalam cairan vagina.
 Penentuan Cairan Mani (kimiawi)
Untuk membuktikan terjadinya ejakulasi pada persetubuhan dari
ditemukan cairan mani dalam sekret vagina, perlu dideteksi adanya zat-zat yang
banyak terdapat dalam cairan mani, yaitu dengan pemeriksaan laboratorium :
o Reaksi Fosfatase Asam
Merupakan tes penyaring adanya cairan mani, menentukan apakah
bercak tersebut adalah bercak mani atau bukan, sehingga harus selalu
dilakukan pada setiap sampel yang diduga cairan mani sebelum dilakukan
pemeriksaan lain. Reaksi fosfatase asam dilakukan bila pada pemeriksaan
tidak ditemukan sel spermatozoa. Tes ini tidak spesifik, hasil positif semu
dapat terjadi pada feses, air teh, kontrasepsi, sari buah dan tumbuh-tumbuhan.
- Dasar reaksi (prinsip) :
Adanya enzim fosfatase asam dalam kadar tinggi yang dihasilkan oleh
kelenjar prostat. Enzim fosfatase asam menghidrolisis natrium alfa naftil
fosfat. Alfa naftol yang telah dibebaskan akan bereaksi dengan brentamin
menghasilkan zat warna azo yang berwarna biru ungu. Bahan pemeriksaan
yang digunakan adalah cairan vaginal.
- Reagen :
Larutan A
Brentamin Fast Blue B 1 g (1)
Natrium asetat trihidrat 20 g (2)
Asam asetat glasial 10 ml (3)
Askuades 100 ml (4)
(2) dan (3) dilarutkan dalam (4) untuk menghasilkan larutan penyangga
dengan pH 5, kemudian (1) dilarutkan dalam larutan peyangga tersebut.
Larutan B
Natrium alfa naftil fosfat 800 mg + aquades 10 ml.
89 ml Larutan A ditambah 1 ml larutan B, lalu saring cepat ke dalam
botol yang berwarna gelap. Jika disimpan dilemari es, reagen ini dapat
bertahan berminggu-minggu dan adanya endapan tidak akan mengganggu
reaksi.
- Cara pemeriksaan :
Bahan yang dicurigai ditempelkan pada kertas saring yang terlebih
dahulu dibasahi dengan aquades selama beberapa menit. Kemudian kertas
saring diangkat dan disemprotkan / diteteskan dengan reagen. Ditentukan
waktu reaksi dari saat penyemprotan sampai timbul warna ungu, karena
intensitas warna maksimal tercapai secara berangsur-angsur.
- Hasil :
Bercak yang tidak mengandung enzim fosfatase memberikan warna
serentak dengan intensitas tetap, sedangkan bercak yang mengandung enzim
tersebut memberikan intensitas warna secara berangsur-angsur.
Waktu reaksi 30 detik merupakan indikasi kuat adanya cairan mani.
Bila 30 – 65 detik, masih perlu dikuatkan dengan pemeriksaan elektroforesis.
Waktu reaksi > 65 detik, belum dapat menyatakan sepenuhnya tidak terdapat
cairan mani karena pernah ditemukan waktu reaksi > 65 detik tetapi
spermatozoa positif.
Enzim fosfatase asam yang terdapat di dalam vagina memberikan
waktu reaksi rata-rata 90 – 100 detik. Kehamilan, adanya bakteri-bakteri dan
jamur, dapat mempercepat waktu reaksi.
o Reaksi Florence
Reaksi ini dilakukan bila terdapat azoospermia/tidak ditemukan
spermatozoa atau cara lain untuk menentukan semen tidak dapat dilakukan.

- Dasar :
Menentukan adanya kolin.
Reagen (larutan lugol) dapat dibuat darllli :
Kalium yodida 1,5 g
Yodium 2,5 g
Akuades 30 ml
- Cara pemeriksaan :
Cairan vaginal ditetesi larutan reagen, kemudian lihat dibawah
mikroskop.
- Hasil :
Bila terdapat mani, tampak kristal kolin periodida coklat berbentuk
jarum dengan ujung sering terbelah.
Test ini tidak khas untuk cairan mani karena bahan yang berasal dari
tumbuhan atau binatang akan memperlihatkan kristal yang serupa tetapi hasil
postif pada test ini dapat menentukan kemungkinan terdapat cairan mani dan
hasil negative menentukan kemungkinan lain selain cairan mani.
o Reaksi Berberio
Reaksi ini dilakukan dan mempunyai arti bila mikroskopik tidak
ditemukan spermatozoa.
- Dasar reaksi :
Menentukan adanya spermin dalam semen.
- Reagen :
Larutan asam pikrat jenuh.
- Cara pemeriksaan (sama seperti pada reaksi Florence) :
Bercak diekstraksi dengan sedikit akuades. Ekstrak diletakkan pada
kaca objek, biarkan mengering, tutup dengan kaca penutup. Reagen dialirkan
dengan pipet dibawah kaca penutup.
- Hasil :
Hasil positif bila, didapatkan kristal spermin pikrat kekuningan
berbentuk jarum dengan ujung tumpul. Kadang-kadang terdapat garis refraksi
yang terletak longitudinal. Kristal mungkin pula berbentuk ovoid.

 Secara visual
Bercak mani berbatas tegas dan warnanya lebih gelap daripada sekitarnya.
Bercak yang sudah agak tua berwarna kekuningan.
 Pada bahan sutera / nilon, batas sering tidak jelas, tetapi selalu lebih
gelap daripada sekitarnya.
 Pada tekstil yang tidak menyerap, bercak segar menunjukkan
permukaan mengkilat dan translusen kemudian mengering. Dalam
waktu kira-kira 1 bulan akan berwarna kuning sampai coklat.
 Pada tekstil yang menyerap, bercak segar tidak berwarna atau bertepi
kelabu yang berangsur-angsur menguning sampai coklat dalam waktu
1 bulan.
 Dibawah sinar ultraviolet, bercak semen menunjukkan flouresensi
putih. Bercak pada sutera buatan atau nilon mungkin tidak
berflouresensi. Flouresensi terlihat jelas pada bercak mani pada bahan
yang terbuat dari serabut katun. Bahan makanan, urin, sekret vagina,
dan serbuk deterjen yang tersisa pada pakaian sering berflouresensi
juga.
 Secara taktil (perabaan)
Bercak mani teraba kaku seperti kanji. Pada tekstil yang tidak menyerap,
bila tidak teraba kaku, masih dapat dikenali dari permukaan bercak yang teraba
kasar.
 Skrining awal (dengan Reagen fosfatase asam)
Cara pemeriksaan :
Sehelai kertas saring yang telah dibasahi akuades ditempelkan pada bercak
yang dicurigai selama 5 – 10 menit. Keringkan lalu semprotkan / teteskan dengan
reagen. Bila terlihat bercak ungu, kertas saring diletakkan kembali pada pakaian
sesuai dengan letaknya semula untuk mengetahui letak bercak pada kain.
 Uji pewarnaan Baecchi
- Reagen dapat dibuat dari :
Asam fukhsin 1 % 1 ml
Biru metilen 1 % 1 ml
Asam klorida 1 % 40 ml
- Cara Pemeriksaan :
Gunting bercak yang dicurigai sebesar 5 mm x 5 mm pada bagian pusat
bercak. Bahan dipulas dengan reagen Baecchi selama 2 – 5 menit, dicuci dalam
HCL 1 % dan dilakukan dehidrasi berturut-turut dalam alkohol 70 %, 80 % dan 95
– 100 % (absolut). Lalu dijernihkan dalam xylol (2x)dan keringkan di antara
kertas saring.
Ambillah 1 – 2 helai benang dengan jarum.Letakkan pada gelas objek dan
uraikan sampai serabut-serabut saling terpisah. Tutup dengan kaca penutup dan
balsem Kanada. Periksa dengan mikroskop pembesaran 400 x.
- Hasil :
Serabut pakaian tidak berwarna, spermatozoa dengan kepala berwarna
merah dan ekor berwarna merah muda terlihat banyak menempel pada serabut
benang.

c) Pemeriksaan kehamilan
d) Pemeriksaan VDRL
Untuk mengetahui adanya penyakit sifilis (VDRL) baru akan memberikan hasil
positif pada waktu 4-6 minggu setelah korban terkena infeksi sifilis, atau setelah 1-3
minggu tampak lesi (ulkus,tukak,koreng) pada genitalia korban.dengan demikian,
pemeriksaan ini dilakukan bila korban datang dalam jangka waktu yang cukup lama
setelah terjadi kejahatan seksual.
e) Pemerikaan serologis Hepatitis
f) Pemeriksaan terhadap kuman N. gonorrhea dari secret ureter (urut dengan jari)
dan dipulas dengan pewarnaan gram. Pemeriksaan dilakukan pada hari ke I,III, V, dan
VII. Jika pada pemeriksaan didapatkan N. gonorrhea berarti terbukti adanya kontak
seksual dengan seseorang penderita, bila pada priatertuduh juga ditemukan N.
gonorrhea, ini merupakan petunjuk yang cukup kuat. Jika terdapat ulkus, secret perlu
diambil untuk pemeriksaan serologic atau bakteriologik.
g) Pemeriksaan HIV
Pemeriksaan rambut, air liur, dan pemeriksaan pria tersangka: Sering kali korban
tindak pidana seksual berhasil menjambak rambut pelaku. Oleh sebab itu perlu dicari
di sela-sela jari tangan korban. Dari rambut tersebut dapat diketahui suku bangsa,
golongan darah dan bahkan DNA asalkan pada pangkal dari rambut tersebut
ditemukan sel.
Jika pelaku tindak pidana seksual menderita sadisme maka ada kemungkinan
dapat ditemukan jejas gigit pada tubuh korban dengan air liur disekitarnya. Pola jejas
gigit tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan identifikasi dengan cara
mencocokanya dengan pola jejas gigit dari orang yang diduga sebagai pelakunya.
Sedangkan air liur yang digunakan disekitarnya dapat digunakan untuk mengetahui
golongan darah (bagi yang bertipe secretoar) atau DNA (sebab didalam air liur
terdapat sel-sel bukal yang lepas).
 Cara lugol
Kaca objek ditempelkan dan ditekan pada glans penis, terutama pada bagian kolum,
korona serta frenulum, kemudian letakkan dengan spesimen menghadap kebawah
diatas tempat yang berisi larutan ligol dengan tujuan agar uap yodium akan mewarnai
sediaan tersebut. Hasil akan menunjukkan sel-sel epitel vagina dengan sitoplasma
berwarna coklat karena mengandung banyak glikogen.
Untuk memastikan bahwa sel epitel berasal dari seorang wanita, perlu ditentukan
adanya kromatin seks (barr bodies) pada inti. Dengan pembesaran besar, perhatikan
inti sel epitel yang ditemukan dan cari barr bodies. Ciri-cirinya adalah menempel erat
pada permukaan membran inti dengan diameter kira-kira 1 µ yang berbatas jelas
dengan tepi tajam dan terletak pada satu dataran fokus dengan inti.
6. Pemeriksaan DNA
Pertama kali diperkenalkan oleh Jeffrey pada tahun 1985. Beliau menemukan
bahwa pita DNA dari setiap individu dapat dilacak secara simultan pada banyak lokus
sekaligus dengan pelacak DNA (DNA probe) yang diciptakannya. Pola DNA ini dapat
divisualisasikan berupa urutan pita-pita yang berbaris membentuk susunan yang mirip
dengan gambaran barcode pada barang di supermarket. Uniknya ternyata pita-pita DNA
ini bersifat spesifik individu, sehingga tak ada orang yang memiliki pita yang sama
persis dengan orang lain. Pada kasus perkosaan ditemukannya pita-pita DNA dari
benda bukti atau karban yang ternyata identik dengan pita-pita DNA tersangka
menunjukkan bahwa tersangkalah yang menjadi donor sperma. Adanya kemungkinan
percampuran antara sperma pelaku dan cairan vagina tidak menjadi masalah, karena
pada proses kedua jenis DNA ini dapat dipisahkan satu sama lain. Satu-satunya
kesalahan yang mungkin terjadi adalah kalau pelakunya memiliki saudara kembar
identik. Perkembangan lebih lanjut pada bidang forensik adalah ditemukannya pelacak
DNA yang hanya melacak satu lokus saja (single locus probe). Berbeda dengan tehnik
Jeffreys yang menghasilkan banyak pita, disini pita yang muncul hanya dua.
Penggunaan metode ini pada kasus perkosaan sangat menguntungkan karena ia dapat
digunakan untuk membuat perkiraan jumlah pelaku pada kasus perkosaan dengan
pelaku lebih dari satu.
Ditemukannya metode penggandaan DNA secara enzimatik (Polymerase Chain
Reaction atau PCR) membuka lebih banyak kemungkinan pemeriksaan DNA. Dengan
metode ini bahan sampel yang amat minim jumlahnya tidak lagi menjadi masalah
karena DNAnya dapat diperbanyak jutaan sampai milyaran kali lipat di dalam mesin
yang dinamakan mesin PCR atau thermocycler. Dengan metode ini waktu pemeriksaan
juga banyak dipersingkat, lebih sensitif serta lebih spesifik pula. Pada metode ini
analisis DNA dapat dilakukan dengan sistem dotblot yang berbentuk bulatan berwarna
biru, sistim elektroforesis yang berbentuk pita DNA atau dengan pelacakan urutan basa
dengan metode sekuensing.

Tindak lanjut
Setelah pemeriksaan forensik terhadap korban selesai, dilakukan tindak lanjut baik
dari aspek hukum maupun medis. Dari segi hukum, tindak lanjut pada umumnya berupa
pembuatan visum et repertum sesuai SPV dari penyidik polisi. Bagian-bagian yang
terkandung dalam visum et repertum terdiri dari kata-kata “Pro Justisia”, bagian
pendahuluan, bagian pemberitaan, kesimpulan, dan penutup. Apabila korban belum melapor
ke polisi sehingga belum ada SPV, hasil pemeriksaan dapat diminta oleh korban secara
tertulis. Hasil pemeriksaan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk surat keterangan medis.
Secara umum, surat keterangan medis mengandung bagian-bagian yang sama dengan
visum et repertum, kecuali bagian “Pro Justisia”. Dalam visum maupun surat keterangan
medis, semua temuan dipaparkan dalam bahasa Indonesia yang sederhana dan dapat
dimengerti orang awam, hindari penggunaan terminologi medis.
Seorang korban kekerasan seksual sering tidak hanya membutuhkan layanan
pemeriksaan untuk pembuatan visum et repertum, tapi juga tindak lanjut medis. Tindak lanjut
medis dapat mencakup penatalaksanaan psikiatrik dan penatalaksanaan bidang obstetri-
ginekologi. Tidak jarang seorang korban kekerasan seksual mengalami trauma psikis
sehingga membutuhkan terapi atau konseling psikiatrik.Terapi tersebut dapat membantu
korban mengatasi trauma psikis yang dialaminya sehingga tidak berkepanjangan dan korban
dapat melanjutkan hidupnya seoptimal mungkin. Dalam bidang obstetri-ginekologi, korban
kekerasan seksual mungkin memerlukan tindakan pencegahan kehamilan serta pencegahan
atau terapi penyakit menular seksual. Apabila sudah terjadi kehamilan, korban mungkin
membutuhkan perawatan kehamilan atau terminasi kehamilan sesuai ketentuan undang-
undang.
Dalam melakukan tindak lanjut, sangat penting bagi dokter untuk melakukan
koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Koordinasi yang baik diperlukan antara dokter
pemeriksa dengan dokter yang memberikan tata laksana lanjutan agar korban mendapatkan
perawatan yang diperlukan. Selain itu, dokter juga harus menjalin kerjasama yang baik
dengan pihak polisi penyidik agar hasil pemeriksaan dokter dapat bermanfaat bagi
pengungkapan kasus.

Terapi Korban Perkosaan


Secara garis besar meliputi 3 tujuan, yaitu pencegahan infeksi penyakit menular
seksual, pencegahan kehamilan, dan penatalaksanaan trauma korban. Infeksi yang dideteksi
dalam 24 jam setelah kejadian sebagian besar telah diderita sebelum kejadian. Untuk
mencegah penyakit menular seperti gonore dan sifilis, berikan penisilin 4,8 juta unit atau
amoksisilin 3 g dan probenesid 1 g atau seftriakson 250 mg intramuskular. Bila alergi
penisilin, berikan spektinomisin 2 g intramuskular diikuti doksisiklin 100 mg 2 kali sehari
peroral selama 7 hari. Wanita hamil diberikan eritromisin 500 mg 4 kali sehari selama 7 hari,
sedangkan anak-anak 30-50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis. Pemberian tergantung pula
pada hasil sensitivitas bakteri lokal. Untuk klamidia dapat diberikan azitromisin 1 g dosis
tunggal oral. Untuk anak-anak tidak direkomendasikan profilaksis, kecuali tersangka
diketahui infeksi.  Pemeriksaan dan penatalaksanaan HPV, HIV, hepatitis dan herpes
simpleks masih menjadi kontroversi karena masa latennya yang panjang.

Untuk mencegah kehamilan dapat diberikan pil kontrasepsi pasca senggama bila


masih dalam waktu yang ditentukan. Lakukan tes kehamilan yang efektif sebelum dilakukan
pengobatan bila dicurigai terdapat kehamilan sebelumnya.

Pada trauma  fisik umumnya bila perlu diberikan suntikan tetanus toksoid pada luka
yang cukup dalam. Yang paling penting adalah trauma psikologis yang diderita, biasanya
terdiri dari fase akut dan fase jangka panjang. Mula-mula pasien dapat bersikap ekspresif,
termasuk marah, sedih, dan ansietas, atau bersikap terkontrol. Gangguan paling umum
diderita adalah somatisasi dan dapat berlangsung selama 3-6 bulan. Fase jangka panjang
dapat berlangsung bertahun-tahun, termasuk depresi, disfungsi seksual, penyalahgunaan zat,
percaya diri yang rendah, obesitas, dan nyeri panggul kronik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sigid,KLB. Tanya Jawab Ilmu kedokteran forensik, Kejahatan Seksual. Edisi I,
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang;2009.

2. Sofwan, Dahlan. Ilmu Kedokteran Forensik “Pedoman Bagi Dokter dan Penegak
Hukum”. Semarang; Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. 2007

3. Ilmu Kedokteran Forensik” edisi 1. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia; 1997

4. Idries AM. Sistematik pemeriksaan ilmu kedokteran forensik khusus pada korban
kejahatan seksual. In: Idries AM, Tjiptomartono AL, editors. Penerapan ilmu
kedokteran forensik dalam proses penyidikan. Jakarta: CV. Sagung Seto; 2008. p.
113-32

5. Anil Aggrawal’s Internet Journal of Forensic Medicine and Toxicology. 2001; 2(2)
[cited 2012 Jul 10]. Available from:
http://www.anilaggrawal.com/ij/vol_002_no_002/reviews/tb/page008.html
6. Budijanto A, Sudiono S, Purwadianto A. Kejahatan seks dan aspek medikolegal
gangguan psikoseksual. Jakarta: Kalman Media Pusaka; 1982. p. 5-34.

Anda mungkin juga menyukai