Residen Pembimbing:
Dr. Ronny Kendyartanto
Pembimbing:
HALAMAN PENGESAHAN
Semarang, Juli
2016
Residen pembimbing Pembimbing
HALAMAN JUDUL.................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.Identitas Penderita..................................................................................... 1
2. Daftar masalah......................................................................................... 2
3.Data Dasar................................................................................................. 2
A. Subyektif.......................................................................................... 2
B. Objektif ............................................................................................ 3
1. Pemeriksaan fiaik............................................................................. 3
2. Pemeriksaan Penunjang................................................................... 5
5.Daftar masalah.......................................................................................... 7
2.1 Anatomi.................................................................................................. 9
2.2.1 Definisi......................................................................................... 15
2.2.2. Epidemiologi .............................................................................. 16
2.2.3 Etiologi......................................................................................... 16
2.2.4 Patofisiologi................................................................................. 18
2.2.5 Patogenesis................................................................................... 19
2.2.8 Diagnosis...................................................................................... 24
2.2.9 Penatalaksanaan........................................................................... 28
2.2.9.1 Farmakogis........................................................................... 31
2.2.10 Pencegahan................................................................................ 33
BAB IV KESIMPULAN............................................................................. 37
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. P
Umur : 59 tahun
Alamat : Wonosobo
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS (Guru)
MRS : 30 juni 2016
Ruangan : Poli rawat jalan Penyakit Dalam RSDK
NO CM : C591308
III.B. OBYEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik dilakukan tanggal 30 Juni 2016 pukul 12.00 wib di Poli Rawat
Jalan Penyakit Dalam RSDK
Keadaan umum : tampak sakit
Kesadaran : compos mentis, GCS E4M6V5 = 15
Tanda Vital:
T : 110/80 mmHg RR : 20 x/menit
N : 80 x/menit, regular, t : 36,7 oC (axiler)
isi dan tegangan cukup
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 160 cm BMI : 21,48 kg/m2 (normo weight)
Kepala : Mesosephal, warna rambut hitam, rambut mudah rontok (-),
deformitas (-)
Mata : Konjungtiva palpebra pucat +/+, sklera ikterik +/+, kornea jernih,
pupil isokor, reflek cahaya (+), pergerakan mata ke segala arah
baik
Hidung : Bagian luar hidung tidak ada kelainan, hidung berair (-), epistaksis
(-)
Mulut : Pembesaran tonsil (-), gusi berdarah (-), hiperemis (-), atrofi papil
(-), stomatitis (-), rhagaden (-), bau pernafasan khas (-)
Leher : Trakhea di tengah, JVP R+0, pembesaran nnll (-)
Dada : Bentuk normal, simetris, spider nevi (-), retraksi (-), nyeri tekan (-)
Jantung:
Pulmo depan:
Inspeksi : Simetris, statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : SD vesikuler, ST (-)
Pulmo belakang:
Inspeksi : Simetris, statis dan dinamis
Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : SD vesikuler ST (-)
Abdomen:
Palpasi : Nyeri tekan regio hipokondrium kanan (+), hepar, lien tidak
teraba
V. DAFTAR MASALAH
1. Infeksi Hepatitis B HbeAg (-)
2. Hiperbilirubinemia Indirek
Ipex :
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit Hepatitis B
yang dialami pasien dan terapi jangka panjang yang harus dijalani oleh
pasien
- Mengedukasi pasien agar pasien minum obat secara teratur
- Mengedukasi kepada keluarga untuk kontrol secara teratur kepada dokter
untuk memantau respon terapi yang diberikan terutama bila muncul
kembali gejala
- Menginformasikan kepada keluarga pasien tentang pencegahan penularan
pada anggota keluarga dengan modifikasi pola hidup untuk pencegahan
transmisi, dan imunisasi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Anatomi
2.1.1 Hepar
Hepar adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau
kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar
kuadran kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan
fungsi yang sangat kompleks. Hepar menempati daerah hipokondrium kanan
tetapi di lobus kiri dari hepar meluas sampai epigastrium. Hepar berbatasan
dengan diagfragma pada bagian superior dan bagian inferior hepar mengikuti
bentuk dari batas kosta kanan.1
Hepar secara anatomis terdiri dari lobus kanan yang berukuran lebih besar
dan lobus kiri yang berukuran lebih kecil. Lobus kanan dan kiri dipisahkan oleh
ligamentum falciforme. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan
posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri
dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamen falsiformis yang terlihat
dari luar. Lobus dextra, terletak di regio hipokondrium kanan, lebih besar
dibandingkan lobus sinistra. Lobus sinistra terletak di regio epigastrik dan
hipokondrium kiri.1
Fiksasi hepar pada tempatnya merupakan akibat perlekatan hepar pada
diafragma oleh ligamen coronarium dan ligamen triangular serta jaringan ikat
pada area nuda hepar bersama dengan perlekatan dengan vena cava inferior oleh
jaringan ikat dan vena hepatika dapat menahan bagian posterior hepar. Ligamen
falciforme berperan untuk membatasi gerakan hepar ke lateral. 1,2 Di bawah
peritoneum terdapat jaringan ikat padat yang disebut sebagai kapsula Gibson,
yang meliputi permukaan seluruh organ, bagian paling tebal dari kapsula ini
terdapat porta hepatis membentuk rangka untuk cabang vena porta, a. Hepatika,
dan saluran empedu. Porta hepatis adalah fisura pada hepar tempat masuknya
vena porta dan a.hepatika serta tempat keluarnya duktus hepatika.2
Vena porta dan arteria hepatika propria masuk ke dalam hilus, daerah hillus
ini juga merupakan tempat keluar duktus hepatikus kanan dan kiri. 26 Hepar
mendapatkan banyak sekali darah dari vena porta (+ 75%) dan melalui arteria
hepatika propria (+ 25%). Cabang kanan dari vena porta masuk ke lobus dextra,
sedangkan cabang kiri membentuk cabang ke lobus kaudatus, kemudian
memasuki lobus kiri hepar. Vena porta mendapat aliran darah balik dari vena
lienalis, vena mesenterika superior, vena gastrika, vena pilorika, vena cystika dan
venae parumbilikales. Vena mesenterika superior mendapat aliran darah balik dari
ileum terminale, caecum, colon ascenden dan colon transversum.1
2.2 Hepatitis B
2.2.1 Definisi
Hepatitis B didefenisikan sebagai peradangan pada hepar yang disebabkan
virus hepatitis B. Penyakit kuning (jaundice) sudah dikenal sejak abad V sebelum
Masehi di Babilonia yang kemudian ditulis oleh Hipocrates dalam De Morbus
Internis. Hipocrates (460-375 SM) seorang tabib Yunani kuno, menemukan
bahwa penyakit kuning ini menular sehingga ia menamakannya sebagai icterus
infectiosa. Virus hepatitis B ini dapat menyebabkan hepatitis akut atau bervariasi
dari status penularan sampai hepatitis fulminan.6
Virus hepatitis B dapat hidup di luar tubuh dan dapat dengan mudah
ditularkan melalui darah, saliva, sekret nasofaring, semen, sekret vagina dan darah
menstruasi, air susu ibu (ASI), air mata, tinja, sekresi usus dan urine penderita
yang terinfeksi.6
2.2.2 Epidemiologi
WHO membagi prevalensi pengidap virus hepatitis B di seluruh dunia
dalam tiga kelompok, yaitu prevalensi tinggi (HBsAg positif 8-20%), prevalensi
sedang (HBsAg positif 2-7%) dan prevalensi ringan (HBsAg positif 0,2-1,5%).
Prevalensi penyakit hepatitis B di Indonesia termasuk tinggi, dengan pengidap
HBsAg berkisar antara 3-20%.6
Daerah-daerah yang mempunyai prevalensi infeksi virus hepatitis B yang
tinggi juga mempunyai angka kejadian karsinoma hepatoseluler yang tinggi. Virus
hepatitis B menyebabkan 60-80% kanker hati di dunia dan merupakan satu dari
tiga penyebab utama kematian di Asia, daerah Pasifik dan Afrika. Setiap tahunnya
terdapat lebih kurang 300 000 - 500 000 orang meninggal akibat karsinoma
hepatoseluler.6
2.2.3 Etiologi
Kelompok virus yang mengandung double-stranded DNA dan hanya
menyerang sel-sel hati. Virus hepatitis B mempunyai bentuk yang pleomorfik
yang terdiri atas 3 macam partikel yaitu partikel bulat (sferis) kecil berdiameter 22
nm, partikel lonjong (tubulus) berdiameter hamper 22 nm dan partikel besar
double shelled berbentuk sferis dengan diameter 42 nm. Partikel sferis dan tubulus
kemungkinan berasal dari lapisan luar yang berlebihan. Virus hepatitis B
merupakan virus DNA yang paling kecil. Partikel HBsAg terdiri dari lipoprotein,
asam amino (terutama leusin) lipid, karbohidrat, kolesterol dan triptofan. HBsAg
terdapat dalam tiga bentuk yaitu HBsAg selubung virion (partikel Dane) dan dua
partikel HBsAg non-virion yaitu partikel bulat dan tubuler seperti pada gambar 2.
HBsAg tersusun atas 3 macam protein yaitu small protein (SHBs), middle protein
(MHBs) dan large protein (LHBs).6,7
Gambar 2 : Skema partikel virus hepatitis B
Virus hepatitis B stabil pada suhu-20ºC sampai lebih dari 20 tahun dan
tahan terhadap pembekuan serta pencairan berulang kali. Virus hepatitis B juga
tahan terhadap radiasi ultraviolet. Infektivitas virus hepatitis B hilang pada suhu
100ºC selama 10 menit, 60 ºC selama beberapa jam dan pada pH 2,4 selama 6 jam
tetapi antigenisitasnya tetap. Sodium hipoklorit 0,5% menghilangkan antigenitas
HBsAg dan infektivitas virion dalam waktu 3 menit tetapi dalam serum yang tidak
diencerkan membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 5%.7
Terdapat tiga antigen yang berhubungan dengan virus hepatitis B, dua
diantaranya adalah HBcAg dan HBeAg yang berhubungan dengan inti virus.
Antigen yang ketiga adalah HBsAg antigen yang berhubungan dengan permukaan
luar mantel virus. HBsAg adalah polipeptida yang merupakan prekursor PreS1
dan PreS2. HBcAg adalah inti virus yang mengandung genome dan DNA
polymerase (reverse transcriptase).7
2.2.4 Patofisiologi
Mekanisme bagaimana virus hepatitis B merusak sel hati masih belum jelas.
Terdapat dua kemungkinan yang terjadi yaitu efek sitopatik langsung atau adanya
induksi dari reaksi imunitas melawan antigen virus atau antigen hepatosit yang
diubah oleh virus sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan hepatosit yang
diinfeksi virus. Namun teori yang paling terkenal sekarang adalah tentang
mekanisme aktivitas virus penyebab penyakit dimana reaksi imunitas (cell
mediated) terhadap antigen virus merupakan mediator utama terjadinya kerusakan
sel hati. Diperkirakan bahwa reaksi sitotoksik sel-T melawan antigen virus khusus
atau antigen membran sel yang diubah oleh virus, merusak sel hati. Hepatosit
yang diselimuti antibodi mungkin dihancurkan oleh daya sitotoksik sel dari reaksi
imunologik.8
Replikasi adalah suatu bentuk aktivitas perkembangan virus di dalam sel
hati yang terinfeksi yang dapat berupa bahan-bahan genom dan protein virus yang
menyusun progeny virus dan mengeluarkannya dari dalam sel hepatosit seperti
dalam gambar 4. Replikasi virus hepatitis B berlangsung melalui suatu perantara
RNA. Periode inkubasi dari virus hepatitis B adalah 4-12 minggu, diikuti dengan
fase infeksi akut, fase ikterik atau anikterik. Masa inkubasi yang lama dan
kenyataan bahwa replikasi virus yang maksimal terjadi pada masa inkubasi,
dimana kerusakan hepatosit tidak maksimal tidak sesuai dengan sifat virus
sitopatik tetapi lebih cenderung kepada teori reaksi imunitas.8
2.2.5 Patogenesis
Virus hepatitis B (VHB) masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari
peredaran darah partikel dan maasuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi
virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane
utuh, partikel HbsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HbsAg yang tidak ikut
membentuk partikel virus. 9VHB merangsang respons imun tubuh, yang pertama
kali dirangsang adalah respons imun spesifik (innate immune response) karena
dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa
jam. Proses eliminasi nonspesifik ini tejadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan
memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T.10
Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respons imun spesifik,
yaitu dengan mengaktifasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel T CD8+
terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptida VHB-
MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan
dinding APC dan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah
mengalami kontak dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada dinding
APC. Peptida VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan
menjadi antigen sasaran respons imun adalah peptida kapsid yaitu HbcAg atau
HbeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada didalam sel
hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis
sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Di
samping itu dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati
yang terinfeksi melalui aktivitas IFNγ dan TNFα yang dihasilkan oleh sel T CD8+
(mekanisme nonsitolitik).9,10
Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan
produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc, anti-Hbe. Fungsi anti-HBs
adalah netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus kedalam sel.
Dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel.
Infeksi kronik VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Buktinya
pada pasien Hepatitis B kronik ternyata dapat ditemkan adanya anti-HBs
bersembunyi dalam kompleks dengan HbsAg.9
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat
diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB
yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respons imun yang tidak efisien dapat
disebabkan oleh faktor virus ataupun faktor pejamu.9,10
Faktor Virus, antara lain :
Terjadinya imunotoleransi terhadap produk VHB, hambatan terhadap
CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya
mutan VHB yang tidak memproduksi HbeAg, integrasi genom VHB
dala genom sel hati.
Faktor Pejamu, antara lain :
Faktor genetik, kurangnya IFN, adanya antibodi terhadap antigen
nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons antiidiotipe, faktor
kelamin atau hormonal.
Salah satu contoh peran imunoterapi terhadap produk VHB dalam persistensi
VHB adalah mekanisme persistensi infeksi VHB pada neonatus yang dilahirkan
oleh ibu HbsAg dan HbeAg positif. Diduga persistensi tersebut disebabkan
adanya imunotoleransi terhadap HbeAg yang masuk ke dalam tubuh janin
mendahului invasi VHB, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga
disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus.
Persistensi infeksi VHB dapat disebabkan karena mutasi pada daerah precore dari
DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HbeAg. Tidak adanya HbeAg
pada mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB.11
2.2.7.2Hepatitis B Kronik
Hepatitis B kronik diartikan sebagai penderita dengan virus hepatitis B
yang bertahan lebih dari 6 bulan setelah infeksi akut. Sebanyak 90% individu
yang mendapat infeksi sejak lahir akan tetap mengalami infeksi hepatitis B
sepanjang hidupnya dan menderita hepatitis B kronik, sedangkan hanya 5%
individu dewasa yang terinfeksi berlanjut menjadi kronik.
Gejala klinik hepatitis B kronik juga bervariasi. Secara sederhana gejala hepatitis
kronik dapat dibagi menjadi 2, yaitu:12,13
2.2.8 Diagnosis
a. Anamnesis
Menanyakan tentang keluhan pasien sesuai dengan gejala-gejala yang khas
pada penyakit hati,menanyakan tentang riwayat kontak dengan darah
orang yang di curigai terinfeksi virus hepatitis dll. Anamnesis yang baik
dan sistematika 80% dapat mendiagnosis suatu penyakit.9
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik biasa di ditemukan Sklera, dan kulit ikterik.
Penurunan bunyi usus besar, peningkatan lingkar abdomen, dan adanya
pergerakan cairan. Biasa juga yang khas terdapat nyeri tekan perut kanan.
Bila hepatitis kronik dengan komplikasi sirosis hepatis maka sering
ditemukan hati mengecil, spider nevi, eritema palmar dan edema pada
kedua tungkai.6
Mata kuning adalah keluhan pertama yang dapat dilihat oleh
penderita atau kerabatnya. Warna kuning pada mata dapat memberikan
gambaran kasar penyebab ikterus :6,7
Kuning : Prehepatik
Kuning oranye : Hepatik
Kuning kehijauan : Posthepatik
Pemeriksaan Fisik
Mata kuning
1. Kepala
Mata
Mulut
Leher
Spider naevi (spider telangiectasis, spider angioma, arterial spider)
ditemukan pada penyakit hati yang kronis, dijumpai pada daerah yang
mendapatkan vaskularisasi dari vena cava superior. Lokasinya adalah pada
muka, leher, lengan, punggung tangan, dada dan punggung tetapi jarang
terdapat di bawah garis yang menghubungkan kedua areola mammae.
Spider naevi tampak sebagai titik dengan serabut-serabut pembuluh darah
yang menyebar secara radier dengan diameter mulai seujung jarum sampai
0,5 cm.12
2. Thoraks
3. Abdomen13
Inspeksi dartar lembut, jika terdapat asites akan tampak cembung.
Hepatomegali
Pada hepatitis virus akut, terjadi pembesaran hepar yang bersifat
kenyal, tepi tajam, permukaan rata. Sedangkan pada sirosis, hepar
dapat teraba atau tidak teraba. Pada karsinoma, hepar membesar
dan teraba keras dengan permukaan yang berbenjol-benjol, tepi
tidak rata, tumpul dan pada auskultasi terdengar hepatic bruit.
Pembesaran Lien
4. Ekstremitas
Edema12,13
Edema dapat dijumpai pada penderita penyakit hati kronis.
Penimbunan cairan pada penyakit hati dimulai dari rongga perut
(asites) lalu diikuti tempat-tempat lainnya.
Clubbing12,13
Clubbing biasa dijumpai pada penyakit-penyakit kronis. Pada
hepatitis akut tidak ditemukan.
Sianosis dapat ditemukan pada penderita sirosis dengan
kegagalan hati akibat penurunan dari kejenuhan O2 dalam
arteri.
Eritema Palmaris
Eritema palmaris (liver palms) yaitu salah satu kelainan
yang dapat dijumpai pada penderita kegagalan hati. Tangan
penderita akan tampak merah tua dan teraba panas (hangat)
terutama pada hipotenar, tenar dan pada jari.
Liver Nail (White Nail)
c. Pemeriksaan penunjang
Evaluasi Lab
Biasanya meliputi beberapa pemeriksaan penapisan untuk fungsi hati.
Pemeriksaan biokimiawi bisa mencakup: Enzim-enzim serum
termasuk SGOT/PT, alkaline phosphatase,HbsAg6
1) HbsAg
HBsAg sudah positif dalam masa inkubasi, biasanya 2-6
minggu sebelum timbulnya gejala-gejala. Pada Hepatitis B
Akut HbsAg hilang dalam waktu beberapa minggu atau
bulan, kemudian timbul Anti-HBs yang akan tetap
terdeteksi seumur hidup. Pada sebagian kecil Anti-HBS
kemudian bisa tidak terdeteksi. Bila HBsAg tidak
hilang,dan persisten lebih dari 6 bulan dinamakan Hepatitis
B kronik. Pada bayi yang lahir dari ibu pengidap Hepatitis
B kronis, HBsAg timbul antara usia 6 minggu sampai 6
bulan dan umumnya bersifat persisten.12
2) HbeAg
HBeAg terdeteksi dalam serum dalam waktu singkat
setelah terdeteksi HBsAg. HBeAg bersama dengan
HBVDNA adalah tanda-tanda bahwa ada replikasi HBV
yang masih aktif. Bila infeksi mereda HBeAg hilang dari
serum dalam waktu singkat sebelum HbsAg menghilang12
3) HBV DNA
Seperti HBeAG, HVDNA adalah petanda bahwa ada
replikasi HBV yang masih aktif. Ditemukan dan hilang dari
serum kira-kira bersamaan dengan HBeAg.11
2.2.9 Penatalaksanaan
2.2.9.1 Non-Farmakologi
Pasien hepatitis B harus menghindar kontak seksual sampai antigenemia
hilang. menghindari semua hepatitisatotoksin, terutama alcohol. pengaturan diet
yang tepat dapat mempercepat pemulihan fungsi hati. Pemberian protein bermutu
tinggi dan vitamin dapat mempercepat pemulihan dari sel-sel hati yang
mengalami kerusakan sepertiAminoleban mengandung AARC / BCAA ( Branch
Chain Amino Acids) kadar tinggi serta diperkaya dengan asam amino penting lain
seperti arginin, histidin, vitamin, dan mineral. Nutrisi khusus hati ini akan
menjaga kecukupan kebutuhan protein dan mempertahankan kadar albumin darah
tanpa meningkatkan risiko terjadinya hiperamonia. Dosis Dewasa 500-1000
ml/dosis dengan infus drip intravena 25-40 tetes/menit.14
Namun perlu diingat bahwa pemberian protein harus disesuaikan dengan
toleransi tubuh penderita karena bila berlebih dapat menyebabkan kadar ammonia
dalam darah meningkat atau tidak seimbang sehingga timbullah berbagai
gangguan dalam tubuh. Oleh karenanya, diperlukan suatu pengaturan diet yang
tepat untuk penderita hepatitis agar diperoleh pemulihan yang maksimal.14
Tujuan pengaturan diet pada penderita penyakit hati adalah memberikan
makanan cukup untuk mempercepat perbaikan fungsi tanpa memperberat kerja
hati. Syaratnya adalah sebagai berikut :14,15
1. Kalori tinggi, kandungan karbohidrat tinggi, lemak sedang dan protein
disesuaikan dengan keadaan penderita.
2. Diet diberikan secara berangsur, disesuaikan dengan nafsu makan dan
toleransi pendeita.
3. Cukup vitamin dan mineral.
4. Rendah garam atau cairan dibatasi bila terjadi penimbunan garam/air.
5. Mudah dicerna dan tidak merangsang.
6. Bahan makanan yang mengandung gas dihindarkan
Macam - Macam Diet Untuk Penderita Penyakit Hati 14,15
a. Diet 1
Untuk penderita sirosis hati yang berat dan hepatitis akut prekoma.
Biasanya diberikan makanan berupa cairan yang mengandung
karbohidrat sederhana misalnya sari buah, sirop, teh manis.
Pemberian protein sebaiknya dihindarkan. Bila terjadi penimbunan
cairan atau sulit kencing maka pemberian cairan maksimum 1 liter
perhari. Diet ini sebaiknya diberikan lebih dari 3 hari.
b. Diet 2
Diberikan bila keadan akut atau prekoma sudah dapat diatasi dan
mulai timbul nafsu makan. Diet berbentuk lunak atau dicincang,
tergantung keadaan penderita. Asupan protein dibatasi hingga 30
gram perhari, dan lemak diberikan dalam bentuk yang mudah
dicerna.
c. Diet 3
Untuk penderita yang nafsunya cukup baik. Bentuk makanan lunak
atau biasa, tergantung keadaan penderita. Kandungan protein bisa
sampai 1 g/kg berat badan, lemak sedang dalam bentuk yang
mudah dicerna.
d. Diet 4
Untuk penderita yang nafsu makannya telah membaik, dapat
menerima protein dan tidak menunjukan sirosis aktif. Bentuk
makanan lunak atau biasa, tergantung kesanggupan penderita.
Kalori, kandungan protein dan hidrat arang tinggi, lemak, vitamin
dan mineral cukup.
Kelompok Makanan Sehari-hari
Secara praktis, makanan sehari-hari dapat dibagi menjadi 3
kelompok:14,15
1. Kelompok kuning
Makanan yang digunakan sebagai sumber energi seperti nasi,
kentang, minyak, gula, dan kue. Asupan makanan dari
kelompok ini harus ditetapkan jumlahnya perhari.
2. Kelompok hijau
Kelompok makanan yang harus dimakan sesuai kebutuhan.
Contohnya sayur-sayuran dan buah-buahan. Karena
mengandung serat, makanan ini bisa mencegah sembelit.
Makanan ini mengandung pula vitamin dan mineral.
3. Kelompok merah
Terdiri atas makanan banyak protein misalnya daging, telur,
ikan dan lain-lain. Konsumsi makanan kelompok ini harus
berhati-hati karena bila dikonsumsi dalam jumlah berlebih
akan mengakibatkan peningkatan kadar ammonia dalam darah.
2.2.9 Farmakologi
Pada pasien yang diidentifikasi sebagai kandidat yang sesuai untuk mendapat
terapi antivirus, tujuan terapi adalah untuk menekan replikasi HBV dan mencegah
progresi penyakit hati. Respon terapi antivirus dapat diklasifikasikan menjadi
biokimia (menormalkan ALT), virologis (pembersihan DNA HBV), serologis
(menghilangkan HBeAg, serokonversi HBeAg, menghilangkan HBsAg), atau
histologis (perbaikan histologihati). Penting untuk menilai respon virologis tidak saja
selama terapi antivirus namun juga setelah terapi dihentikan, dan menilai apakah
muncul resistensi pada pasien yang melanjutkan terapi untuk jangka panjang.15,16
1. Interferon
IFN Merupakan sitokin yang memiliki efek antivirus,
antiproliferatif, dan imunomodulator. Pemberian IFN memerlukan
frekuensi pemberian 3 kali seminggu, sehingga digantikan
oleh pegylated-IFN (PEG-IFN) karena PEG-IFN memiliki waktu
paruh yang lebih panjang daripada IFN, dan dapat diberikan 1
kali/minggu. Efek samping: kelelahan, demam, sakit kepala, mual,
tidak nafsu makan, kekakuan, mialgia, artralgia, nyeri
muskuloskeletal, insomnia, depresi
2. Lamivudin
Lamivudin, adalah obat antivirus pertama yang dilabel untuk terapi
infeksi HBV kronis di USA untuk pasien dewasa, juga diindikasikan
untuk anak-anak yang terinfeksi HBV dan HIV. Lamivudin efektif
menekan DNA HBV pada pasien HBe-Ag-positif dan negative, dan
dapat menstabilkan atau memperbaiki fungsi hati pada pasien dengan
penyakit hati tingkat lanjut temasuk sirosis terdekompensasi. Manfaat
lamivudin antara lain pemberian per oral yang nyaman, relative murah
disbanding obat lain, dan ditoleransi dengan sangat baik serta aman.
Namun, manfaat lamivudin sebagai monoterapi untuk infeksi HBV
kronis sangat dibatasi oleh tingginya angka resistensi. Resistensi
lamivudin meningkat seiring dengan durasi terapi dan dilaporkan
terjadi pada sekitar 16-32%, 42% dan 60-70% pasien setelah 1, 2 dan
5 tahun terapi. Lamivudin masih berperan pada beberapa pasien
khusus, namun karena tingginya resistensi, lamivudin monoterapi
tidak lagi menjadi pilihan untuk pasien dengan infeksi HBV kronis
yang memerlukan terapi jangka panjang.4,6
3. Adefovir Dipivoxil
Adepovir dipivoxil, pro-drug adefovir, diindikasikan untuk terapi
infeksi HBV kronis pada pasien dewasa dan remaja usia paling sedikit
12 tahun. Adefovir efektif menekan DNA HBV dan lebih baik
dibandingkan dengan lamivudin, resistensi terjadi lebih lambat selama
terapi adefovir dipivoxil, angka resistensi berkisar 0%, 3% dan 30%
setelah penggunaan 48 minggu, 96 minggu dan 240 minggu. Adefovir
dipivoxil biasanya dapat ditoleransi dengan baik, namun
nefrotoksisitas terjadi pada dosis tinggi (30 mg/hari) dan muncul
ketika terdapat penyakit ginjal yang mendasari atau selama terapi
bersamaan den obat lain yang juga nefrotoksik.
4. Entecavir
Entecavir diindikasikan sebagai terapi HBV kronis pada dewasa dan
remaja usia minimum 16 tahun, termasuk pasien yang terbukti
terinfeksi HBV resisten-lamivudin. Manfaat utama entecavir adalah
potensi yang sangat baik dan resistensi yang jarang terjadi pada pasien
yang belum pernah menggunakan analog nukleotida/nukleosida
sebelumnya
2.2.10 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan melalui tindakan Health Promotion
baik pada hospes maupun lingkungan dan perlindungan khusus terhadap
penularan.6,7
Health Promotion terhadap hos berupa pendidikan kesehatan,
peningkatan higiene perorangan, perbaikan gizi, perbaikan sistem
transfusi darah dan mengurangi kontak erat dengan bahan-bahan yang
berpotensi menularkan virus VHB.
Pencegahan virus hepatitis B melalui lingkungan, dilakukan melalui
upaya: meningkatkan perhatian terhadap kemungkinan penyebaran
infeksi VHB melalui tindakan melukai seperti tindik, akupuntur,
perbaikan sarana kehidupan di kota dan di desa serta pengawasan
kesehatan makanan yang meliputi tempat penjualan makanan dan juru
masak serta pelayan rumah
Pada negara dengan prevalensi tinggi, immunisasi diberikan pada
bayi yang lahir dari ibu HBsAg positif, sedang pada negara yang
prevalensi rendah immunisasi diberikan pada orang yang mempunyai
resiko besar tertular. Vaksin hepatitis diberikan secara intra muskular
sebanyak 3 kali dan memberikan perlindungan selama 2 tahun.
Program pemberian sebagai berikut: Dewasa:Setiap kali diberikan 20
μg IM yang diberikan sebagai dosis awal, kemudian diulangi setelah 1
bulan dan berikutnya setelah 6 bulan. Anak :Diberikan dengan dosis
10 μg IM sebagai dosis awal , kemudian diulangi setelah 1 bulan dan
berikutnya setelah 6 bulan
BAB III
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki usia 59 tahun datang ke poli rawat jalan penyakit dalam
RSUP dr.Kariadi Semarang dengan keluhan mata kuning pada kedua mata. Lemas
juga dirasakan pasien. Lemas dirasakan semakin lama semakin memberat
sehingga membuat pasien harus beristirahat dan mengurangi banyak aktivitas nya.
Kesemutan (+). Kesemutan dirasakan terus-menerus. Kesemutan menghilang saat
melakukan aktivitas, memberat saat beristirahat. BB menurun (+), nafsu makan
menurun (+),mual (+), muntah (+) isi muntahan adalah sisa makanan, Demam (-),
batuk (+), hidung berair (+). BAK normal tetapi warna urine lebih gelap dari
biasanya serta BAB 2x sehari dengan warna feses yang pucat. Hal ini sesuai
dengan teori, gejala hepatitis B awalnya berupa rasa tidak enak pada tubuh, tidak
napsu makan, mual dan muntah, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri tenggorokan,
batuk, dan hidung berair. Setelah gejala awal mulai membaik, urin penderita
menjadi lebih gelap dan feses menjadi pucat. Satu sampai lima hari setelahnya,
penderita nampak kuning pada kulit atau mata. 9
Pada pasien ini di terapi Ricovir 300 mg dengan dosis 1 kali 1 sehari.
Tenofovir termasuk golongan analog nukleotida atau nucleotide reverse
transcriptase inhibitor (NtRTI). Obat golongan ini menghambat enzim reverse
transcriptase. Enzim ini mengubah bahan genetik (RNA) HIV menjadikannya
bentuk DNA. Ini harus terjadi sebelum kode genetik HIV dapat dimasukkan ke
kode genetik sel yang terinfeksi HIV. Dosis tenofovir yang biasa untuk dewasa
adalah 300mg sebagai satu pil sekali sehari, dengan atau tanpa makan. Bila
dipakai bersama dengan ddI, tenofovir harus dipakai dengan perut kosong, atau 30
menit sebelum atau jam sesudah ddI-nya. Efek samping tenofovir yang paling
umum adalah mual, muntah, dan hilang nafsu makan. Tenofovir dapat
mengakibatkan kerusakan pada ginjal. Tingkat kreatinin pada pengguna tenofovir
harus dipantau.15
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pada pasien ini di terapi Ricovir 300 mg dengan dosis 1 kali 1 sehari.
Tenofovir termasuk golongan analog nukleotida atau nucleotide reverse
transcriptase inhibitor (NtRTI).
DAFTAR PUSTAKA
1. Putz.R. Organ Dalam Perut Manusia. In : Atlas Anatomi Manusia
SOBOTTA 2. Edisi 21. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta. 2000.
Hal : 142 – 149
9. Sudoyo , AW., et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi
IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI
11. Naoumov NV, Eddleston ALWF, “Host Immune Response and Variations
in TheVirus Genome: Pathogenesis of Liver Damage Caused By Hepatitis
B Virus”. Gut 1994; 35: 1013-1017.
15. Lok, Anna. S.F, dkk. Practice Guideline of Chronic Hepatitis B : Update
2009. American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD).
16. Buster, dkk. Antiviral Treatmeant For chronic Hepatitis B virus infection
– Immune Modulation or Viral Suppression . Dalam : Netherlands The
Journal of Medicine , volume 64, nomor 6. Tahun 2006