Revisi 1 TugasKelompokNegosiasi
Revisi 1 TugasKelompokNegosiasi
D
i
s
u
s
u
n
Oleh :
1
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I. PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan 4
D. Manfaat 4
BAB II. PENGERTIAN NEGOSIASI 5
BAB III. TAHAPAN NEGOSIASI 8
BAB IV. STRATEGI DALAM NEGOSIASI 13
BAB V. BIAS KOGNITIF DALAM NEGOSIASI 15
BAB VI. CONTOH KASUS NEGOSIASI 18
BAB VII. KESIMPULAN 19
DAFTAR PUSTAKA 20
2
NEGOSIASI
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
3
Dalam makalah ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai pengertian negosiasi, tahapan-
tahapan dalam negosiasi, strategi yang dibutuhkan dalam bernegosiasi, serta bias kognitif
dalam negosiasi.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Bagi Pembaca:
1. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi pembaca mengenai pengertian negosiasi
2. Menambah pengetahuan bagi pembaca mengenai tahapan-tahapan dalam bernegosiasi
3. Menambah pengetahuan bagi pembaca terhadap strategi dalam negosiasi
4. Menambah pengetahuan bagi pembaca mengenai bias kognitif dalam negosiasi
Bagi Penulis:
1. Penulis menjadi lebih mengetahui secara mendalam mengenai negosiasi.
2. Sebagai acuan dalam komunikasi untuk bernegosiasi dan bahan tulisan selanjutnya
yang mungkin berhubungan dengan negosiasi.
D. Manfaat
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap semua
pihak dalam menambah informasi bernegosiasi melalui pengertian, tahapan, strategi, dan bias
kognitf dalam negosiasi.
4
BAB II. PENGERTIAN NEGOSIASI
Adapun negosiasi menurut Hayes (2002) adalah sebuah proses menghasilkan keputusan
bersama, dimana orang-orang dengan tujuan/ keinginan yang berbeda berinteraksi dengan
tujuan untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan tersebut.
Salah satu tujuan orang bernegosiasi adalah menemukan suatu keputusan atau
kesepakatan kedua belah pihak secara adil dan dapat memenuhi harapan atau keinginan
kedua belah pihak tersebut.
Negosiasi yang baik dan efektif adalah negosiasi yang didasarkan pada data fakta
yang akurat dan faktual, sehingga setiap argumen dan kehendaknya tidak terlepas dari fakta
yang ada. Di samping itu juga harus ditopang dengan negosiator yang handal dan
professional, yang memahami tujuan negosiasi dilakukan dan mempunyai daya kemampuan
optimal dalam menemukan solusi terhadap masalah yang dihadapi dan terhindar dari
kemungkinan dead lock.
Lewiki dkk (dalam Hargie, 2011) memberi penekanan lebih pada manfaat negosiasi.
Menurutnya negosiasi bukanlah hal yang biasa saja, namun sangat penting untuk hidup yang
efektif dan memuaskan hidup.
Pada intinya negosiasi menjunjung prinsip win-win solution, akan tetapi saat ini
negosiasi mengalami pergeseran nilai. Pergesaran nilai ini merujuk pada salah satu pihak
yang memenangkan objek yang dinegosiasikan, hanya dikarenakan kekuatan yang tidak
dimiliki pihak-pihak minoritas. Oleh karena itu negosiasi harus selalu diiringi dengan ingatan
dan pengaplikasian secara nyata mengenai etika dan nilai-nilai kebaikan lainnya.
5
b. Limit, pada sisi lain mereka juga memiliki ide tentang tingkat keuntungan paling rendah
atau batas terendah capaian yang menjadi patokan minimal agar kesepakatan negosiasi dapat
diterima. Penyelesaian hanya dapat dicapai ketika ambang batas minimal capaian (limit) dari
tiap-tiap pihak yang dibawa ke proses negosiasi bertepatan atau cocok satu dengan lainnya.
Menurut Marjorie Corman Aaron dan Roobert.H Mnookin (1995), ketika melakukan
negosiasi, seorang perunding yang baik harus membangun kerangka dasar yang penting
tentang negosiasi yang akan dilakukannya agar dapat berhasil menjalankan tugasnya tersebut.
Kerangka dasar yang dimaksud antara lain : Apakah alternatif terbaik untuk menerima atau
menolak kesepakatan dalam negosiasi?
Berapa besar nilai atau penawaran minimum yang akan dapat diterima sebagai sebuah
kesepakatan? Seberapa lentur proses negosiasi akan dilakukan dan seberapa akurat
pertukaran yang ingin dilakukan? Untuk membangun kerangka dasar tersebut di atas, ada 3
konsep penting yang harus dipahami oleh seorang negosiator, yaitu :
2. Reservation Price, yaitu nilai atau tawaran terendah yang dapat diterima sebagai sebuah
kesepakatan dalam negosiasi.
3. ZOPA (Zone of Possible Agreement), yaitu suatu zona atau area yang memungkinkan
terjadinya kesepakatan dalam proses negosiasi.
Dengan pemahaman yang baik terhadap 3 konsep dasar tersebut diatas , maka para
perunding diharapkan dapat menentukan hal-hal yang ingin dicapainya dalam negosiasi,
menentukan besarnya konsesi yang ingin didapat dan dapat diberikan, menentukan perlu
tidaknya melanjutkan negosiasi, dan melakukan langkah lain yang lebih menguntungkan.
Secara ringkas dapat dirumuskan, bahwa negosiasi adalah suatu proses perundingan antara
para pihak yang berselisih atau berbeda pendapat tentang sesuatu permasalahan.
6
BAB III. TAHAPAN NEGOSIASI
Proses negosiasi bukanlah proses sesaat yang dapat segera diperoleh hasilnya. Proses
negosiasi yang berlangsung dalam sekali episode (one-off episode) tampaknya jarang terjadi,
proses yang umum terjadi suatu proses yang berlangsung secara kontinu atau terus-menerus
hingga tercapai suatu kesepakatan bagi kedua belah pihak.
Masing-masing pihak tentu mengharapkan proses negosiasi terjadi dengan efektif. Untuk
itu sebelum melakukan negosiasi harus dilakukan persiapan yang matang dan terencana
terlebih dahulu. John Hayes (2002) membagi tahapan negosiasi menjadi tiga proses yakni
perencanaan, persiapan, dan tahap negosiasi (negotiation table).
1. Perencanaan (planning)
Perencanaan dapat memberi kontribusi yang vital terhadap hasil sebuah negosiasi. Pada
tahap ini negosiator perlu menetapkan tingkat keuntungan (target) yang ingin dicapai dalam
sebuah negosiasi. Bersamaan dengan itu pula, negosiator perlu menentukan batas terendah
(limit), sebagai lampu merah dalam proses negosiasi yang akan terjadi. Seorang negosiator
yang cakap (skilled negotiator) tentu akan berusaha untuk mencoba menemukan ambang
batas minimal (limit) capaian pihak lawan, agar memudahkan bagi negosiator dalam
menyusun strategi. Selain itu, juga untuk menghindari terjadi kemacetan (breakdown) dalam
negosiasi.
2. Persiapan (preparation).
Untuk mengetahui capaian minimal (limit) pihak lawan, maka seorang negosiator perlu
mengamati, memantau dan bahkan meneliti lawan negosiator, dengan cara berupaya sebisa
mungkin untuk mengorek informasi tentang lawan negosiator, seperti menerjunkan tim
untuk memata-matai, sapotase, bahkan menyadap. Tindakan tersebut dibutuhkan agar segala
informasi yang dibutuhkan terkait pihak lawan terkumpul seluruhnya dan dapat digunakan
untuk memaksimalkan keuntungan bagi pihak negosiator.
7
Casse juga memiliki pandangan mengenai tahapan penting dalam bernegosiasi, yaitu
sebagai berikut :
1. Tahap Perencanaan
Tahap perencanaan negosiasi membutuhkan tiga tugas utama, yaitu merencanakan
sasaran negosiasi dan memperjelas proses negosiasi. Sasaran negosiasi adalah hasil yang
diharapkan dalam bernegosiasi. Hal ini merupakan salah satu alasan utama mengapa
seseorang bernegosiasi. Penentuan sasaran sangatlah penting sebagai arahan atau petunjuk
dalam bernegosiasi.
Strategi negosiasi yang merupakan cara untuk mencapai tujuan bernegosiasi. Untuk
mencapai kesepakatan kedua belah pihak memang diperlukan strategi yang tepat. Proses
negosiasi merupakan suatu proses tawar-menawar yang diharapkan mampu menghasilkan
suatu kesepakatan dikedua belah pihak yang saling menguntungkan
2. Tahap Implementasi
Tahap implementasi merupakan tahapan peranan atau tindakan yang diperlukan agar
mencapai sukses dalam bernegosiasi. Implementasi negosiasi memiliki beberapa komponen
penting, antara lain :
8
Untuk memeriksa apakah Anda sudah mencapai tujuan anda
Jika tidak, maka hal itu dapat menjadi pelajaran sekaligus pengalaman yang sangat
berharga bagi seorang negosiator
Jika ya, maka pastikan apa yang sudah Anda lakukan dengan baik dan bangunlah
kesuksesan anda.
Keberhasilan atau kesuksesan dalam bernegosiasi dapat ditentukan oleh berbagai faktor
penting, diantaranya adalah keterampilan seseorang negosiator dalam bernegosiasi dengan
pihak lawan negosiasi. Menurut Hartman,ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan
dalam ketrampilan bernegosiasi (negotiation skills) antara lain.
1. Persiapan
Persiapan yang baik merupakan salah satu kunci sukses negosiasi. Tanpa persiapan
yang baik,hasil yang diperoleh dalam bernegosiasi tidak akan memuaskan kedua
belah pihak atau bahkan mengalami kegagalan yang pada akhirnya menimbulkan
kekecewaan bagi kedua belah pihak.
2. Memulai Negosiasi
Bagaimana memulai bernegosiasi? Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan
dalam memulai bernegosiasi,antara lain: memilih waktu yang tepat, tempat yang
tepat, pengaturan tempat duduk yang tepat, menciptakan suasana yang positif dan
santai, menetapkan agenda, meumusakn tawaran/ posisi pembuka, menghadapi
konflik, berkomunikasi secar efektif, meningkatkan ktrampilan mendengarka,
peringatan, menciptakan kesepakatan dengan lebih cepat.
4. Kompromi
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa proses bernegosiasi melibatkan kedua
belah pihak. Kompromi merupakan salah satu upaya menuju pencapaian kesepakatan
kedua belah pihak dalam bernegosiasi. Dalam upaya menu kompromi, seseorang
9
negosiator rmenyajikan kerangka dasar atau garis besarnya terlebih dulu, kemudian
melangkah pada perbedaan kedua belah pihak secara lebih spesifik, dan akhirnya
disajikan pernyataan yang bersifat penilaian untuk mendukung posisi mereka sendiri.
Menurut Casse, ketrampilan bernegosiasi dapat dibedakan ke dalam dua kelompok besar,
yaitu ketrampilan konvensional/ conventional skills (untuk negosiator konvensional) dan
nonkonvensional no-conventional skills (untuk negosiator nonkonvensional).
Menurut Oliver,ada enam kunci dasar yang perlu diperhatikan dalam bernegosiasi, antara
lain: persiapan yang baik, berlatih, menggambarkan posisi anda, membuat usulan,
penawaran, dan persetuuan. Masing-masing kunci dasar dalam bernegosiasi tersebut dapat
dijelaskan berikut ini.
2) Berlatih
Berlatih bernegosiasi merupakan kunci percaya diri. Hal itu dapat menjadi pintu
pembuka besar atau kecil masalah dan kesulitan yang akan muncul. Cobalah rinci
10
bagaimana Anda berlatih, pendekatan apa yang akan Anda gunakan, pernyataan kunci
apa yang akan Anda sampaikan, dan bagaiman Anda merespons pernyataan pihak
lawan Anda. Jangan bimbang dan ragu, berlatih dan berlatilah! Semakin sering
berlatih dan selalu memperbaiki diri setiap terjadi kekeliruan akan menjadikan modal
dasar yang berharga menuju kesuksesan Anda.
5) Penawaran
Salah satu respon yang eektif dalam bernegosiasi adalah bagaimana melakukan
tawaran bagi pihak lawan dengan cara-cara yang baik. Bagaimanapun, proses
bernegosiasi tidak dapat dilepaskan dengan proses penawaran. Gunakan kesempatan
proses penawaran ini dengan sebaik-baiknya.
6) Persetujuan
Dalam proses penawaran yang intens,sangatlah mudah untuk melupakan apa yang
telah disetujui. Sasaran dari setiap kali bernegoisai adalah untuk mencapai
kesepakatan. Suatu kesepakatan itu tidak hanya terbatas pada hasil akhir dari
kesepakatan, tetapi butir-butir dari setiap kesepakatan juga menjadi bagian penting
yang tak terpisahkan dalam proses bernegosiasi.
Untuk mencapai suatu kesepakatan yang baik (efektif) bagi kedua belah pihak, Anda
perlu memahami dengan sebaik-baiknya apa yang sebenarnya diinginkan oleh pihak lawan.
Menurut Mattock dan Ehrenborg, ada sepuluh hal yang sangat diinginkan oleh pihak lawan
11
Anda, antara lain (1) merasa nyaman akan dirinya sendiri, (2) tidak merasa dibohongi, (3)
sekutu yang kekal, (4) mengetahui dan memahami lebih banyak, (5) menyelesaikan negosiasi
tanpa harus bekerja terlalu kera, (6) uang, barang, dan pelayanan yang bagus, (7)
diperlakukan dengan ramah-artinya didengarkan, (8) disenangi, (9) komunikasi yang jelas,
(10) mengetahui kemampuan dan usahanya-dari Anda, bos, dan rekan kerjanya.
12
BAB IV. STRATEGI DALAM NEGOSIASI
Saner (2012) memberi benang merah perbedaan strategi dan taktik. Menurutnya strategi
merupakan keseluruhan garis pedoman dalam negosiasi, yang mengindikasikan arah yang
kita butuhkan dalam negosiasi mulai dari keinginan (interest) hingga kebutuhan untuk
mewujudkan keinginan itu (objective). Adapun taktik, selalu mengikuti setelah strategi,
menyempurnakan strategi dengan garis aksi yang kongkrit. Bila strategi adalah pikiran, maka
taktik adalah formulasi untuk mewujudkan pikiran tersebut.
Taktik tidak berorientasi langsung pada tujuan (objective), melainkan berorientasi pada
strategi. Berikut ini merupakan skema konteks trategi dalam negosiasi :
John Hayer (2002: 230) mengungkapkan bahwa terdapat tiga sifat hirarki keterampilan
bernegosiasi, yakni perilaku (behaviour), taktik, dan strategi. Dan kaitannya sebagai berikut :
a. Perilaku merupakan komponen utama dalam keahlian bernegosiasi, karena perilaku dapat
disusun dan dibentuk berdasarkan taktik dan strategi negosiasi. Ragam perilaku itu di
antaranya yakni mengirim informasi, mencari informasi dan beragumentasi.
b. Beragam perilaku tersebut di atas, dapat disusun dan rangkai dalam berbagai pengaturan
yang disebut dengan taktik bernegosiasi.
13
c. Dan strategi merupakan level tertinggi dalam hierarki itu dan mencerminkan keseluruhan
pendekatan dan gaya seorang negosiator.
1. Strategi
Mengacu pada Carnevale dan Pruitt (1992) dalam sebuah tinjauan luas mengenai
negosiasi, disebutkan bahwa ada dua tradisi pemikiran dalam negosiasi, yakni:
i. Tradisi kognitif (The cognitive tradision), yang berberpendapat bahwa pendekatan
seorang negosiator terhadap pemprosesan informasi (information processing) yang
menentukan keberhasilan hasil (outcome) dari sebuah negosiasi.
ii. Tradisi motivasi dan strategi (The motivation and strategy tradition), berpendapat bahwa
orientasi motivasi seorang negosiator, berpengaruh pada pemilihan strategi yang
digunakan dan pada gilirannya berpengaruh pada hasil (outcome) sebuah negosiasi. Fokus
penjelasan tentang strategi, pemakalah akan lebih banyak mengulas point kedua ini.
Pada model dua dimensi konflik perilaku yang dikonsep oleh Thomas (1979), ia
menyediakan dasar untuk sebuah model pilihan pada tradisi motivasi dan strategi, yakni
kerjasama (cooperation), yang merefleksikan konsentrasi negosiator untuk keuntungan pihak
lain dan ketegasan (assertiveness), yang merefleksikan konsentrasi negosiator untuk
keuntungan sepihak.
Berikut ini merupakan hubungan antara dua orientasi motaivasi tersebut (kerja sama dan
ketegasan), yang memprediksi strategi yang dipilih oleh negosiator. Pilihan strategi itu akan
menentukan cara mereka berprilaku serta taktik yang akan mereka adopsi. terdapat lima
orientasi motivasi, yakni :
14
c. Kolaboratif (collaborative negotiator), termotivasi untuk mendapatkan keuntungan
maksimum untuk kedua belah pihak (win-win). Negosiator menggunakan taktik
pemecahan masalah (problem-solving), termasuk prilaku seperti mendengarkan secara
empati (emphatic listening).
Bagan 2. model orientasi motivasi, diadopsi dari Ruble dan Thomas, 1979.
Selain lima faktor orientasi motivasi tersebut di atas, menurut Hayes (2002) terdapat faktor-
faktor lain yang mempengaruhi negosiator memilih strategi negosiasi yakni :
a. Keberlanjutan interaksi (continuity of the interaction), terkadang negosiasi terjadi
hanya dalam sekali peristiwa saja (one-off episode) dan apa pun yang terjadi antara
para pihak tidak memiliki konsekuensi jangka panjang. Namun, mengakomodasi
beberapa tuntutan/ keinginan pihak lain dalam negosiasi, akan menciptakan rasa utang
budi (sense of indebtedness) yang dapat memberi pengaruh yang menguntungkan
sebagai pendekatan terhadap negosiasi di masa akan datang.
b. Budaya lokal (local culture), budaya menyediakan sebuah konteks dalam negosiasi,
bahwa negosiasi terjadi dalam bingkai kerja (framework) sebuah institusi budaya dan
dipengaruhi oleh norma dan nilai. Menurut Brett dan kolega (1998), budaya juga
15
merupakan satu di antara beberapa faktor yang mempengaruhi proses dan hasil
negosiasi. Dan pilihan strategi negosiasi dipengaruhi oleh budaya tersebut.
c. Taruhan (stakes), strategi kompetisi dan kolaborasi memakan waktu dan energi bila
dibandingkan dengan strategi lainnya. Dengan demikian, taruhan yang kecil akan
menyebabkan pihak lain enggan untuk menginvestasikan waktu dan energi dalam
proses negosiasi dan mereka lebih cenderung lebih fokus terhadap isu-isu yang lebih
penting.
d. Atribusi terhadap maksud pihak lain, terdapat bias yang kuat terhadap cara seorang
negosiator mempersepsikan niat/ maksud dari pihak lain. Kecenderungan yang terjadi
yakni melihat diri negosiator sebagai kooperatif dan pihak lain sebagai kompetitif.
para pihak merespon pihak lain atas dasar interpretasi mereka terhadap perilaku pihak
lain. Kecenderungan melihat pihak lain sebagai kompetitif, maka akan meningkatkan
bias seorang negosiator untuk melindungi kepentingannya. Untuk itu, strategi
kolaborasi perlu digunakan/ diadopsi agar ada tingkat kepercayaan (level of trust)
yang dapat diterima oleh para pihak.
Pada saat proses negosiasi berlangsung, para negosiator perlu menganalisa proses
negosiasi yang sedang berlangsung. Bahkan juga, perlu untuk memodifikasi strategi guna
memperoleh hasil yang terbaik dari proses negosiasi.
Sebagai contoh, salah satu pihak mungkin memulai negosiasi dengan mengadopsi
pendekatan kolaborasi. Kemudian saat berlangsungnya proses negosiasi, pihak lawan
cenderung menggunakan strategi kompetitif, maka negosiator harus memodifikasi strateginya
dengan menggunakan taktik menantang. Dengan demikian, pihak-pihak yang menggunakan
strategi kompetitif mungkin menyadari bahwa lawan mereka memiliki kekuatan yang sama
(equal power).
Sebagai alternatif, mungkin mereka menyadari bahwa satu-satunya cara untuk mencapai
penyelesaian yang dapat diterima bersama yakni dengan cara berkompromi atau bekerja sama
untuk menemukan solusi bersama (win-win solution).
16
2. Taktik
Taktik merupakan seperangkat perilaku yang disusun dan dirangkai dalam berbagai cara
yang membantu negosiator untuk memperoleh hasil akhir yang diinginkan. Pemilihan taktik
juga sangat dipengaruhi oleh pilihan strategi.
Sebagai contoh, apabila negosiator mengadopsi strategi kompetitif, maka dia perlu
mengadopsi taktik menantang. Taktik tersebut didesain untuk meyakinkan pihak lain bahwa
satu-satu cara untuk mencapai kesepakatan bagi mereka adalah menyerah.
a. Menantang (contending)
Yakni suatu taktik bernegosiasi yang didesain untuk membantu seorang negosiator
menekan pihak lain untuk menerima tuntutan negosiator tersebut. Contoh menggunakan
taktik ini yaitu :
i. Mendefenisikan isu
Tujuan dari taktik ini bagi satu pihak yakni memaksakan agendanya sepihak atas
pihak lain, untuk menetapkan isu-isu yang dapat dinegosiasikan. Perilaku dominan dalam
taktik ini yaitu memberikan informasi kepada pihak lain, dan termasuk menyatakan
pentingnya isu-isu tersebut bagi diri atau pihaknya.
Taktik ini dapat digunakan untuk meyakinkan atau membujuk pihak lain untuk
menyerah, yakni dengan pertimbangan akan biaya atau resiko melanjutkan negosiasi.
17
Memandang bahwa seluruh tingkatan keuntungan dapat diperoleh dari sebuah
perjanjian. Maka, pembukaan tawaran cenderung dipengaruhi oleh banyak faktor seperti
melindungi batas terendah (limit) agar tidak terdeteksi pihak lain, mencoba mengungkap
capaian yang diinginkan lawan (target).
Taktik ini didesain untuk meningkatkan keinginan pihak lain agar menyerah dan
termasuk menerapkan perilaku yang menantang.
Hayes (2002) mengatakan bahwa taktik menantang ini memiliki resiko perlawanan dari pihak
lain. Misalnya pada beberapa kasus, taktik menantang tampaknya dapat memprovokasi sikap
balas dendam dari pihak lain. Pruitt (1981) memberi pandangan bahwa reaksi pihak lain
untuk membalas atas penggunaan taktik menantang, yakni dipengaruhi oleh kerasnya usaha
negosiator untuk mempengaruhi pihak lain, diantarnya dengan membuat ancaman dan
menerapkan tekanan waktu, sehingga menghasilkan perasaan untuk marah dan membalas
dendam.
Pruitt (1981) mengidentifikasi resiko rendah dan tinggi menggunakan taktik ini dalam
strategi kolaborasi, yakni:
a. Taktik resiko tinggi (high risk tactic), negosiator mungkin menawarkan hasil/ konsesi
yang luas terhadap pihak lain, dengan harapan bahwa negosiasi (transaksi) dapat
terulang lagi. Namun, apabila transaksi tidak ternyata tidak terulang, maka negosiator
akan mengalami kerugian. Sebagai contoh, seorang pedagang memberikan harga yang
sangat murah kepada pembeli, dengan harapan agar suatu saat pembeli dapat datang
kembali ke tokonya.
18
b. Taktik resiko rendah (low ris tactic), suatu saat negosiator merasa ragu apakah pihak
lain dapat dipercaya atau tidak, maka negosiator yang menerapkan strategi kolaborasi
dapat melakukan tindakan seperti menarik diri dari proses negosiasti.
c. Fleksibel
Terdapat beberapa taktik yang fleksible yang dapat digunakan untuk mendukung beberapa
stragei seperti kompetisi, kolaborasi, kompromi dan akomodasi. Contohnya sebagai berikut:
Ada kecenderungan kita untuk membantu, bergantung, serta memihak kepada orang-
orang yang kita sukai. Mengetahui kondisi ini, maka seorang negosiator yang cakap
(skillful) akan berusaha membuat orang lain menyukai dirinya, dengan tujuan untuk
meningkatkan rasa suka itu dan pada akhirnya orang-orang tersebut akan membantu
suatu saat.
Taktik tersebut dapat digunakan dengan baik untuk memanipulasi atau mencurangi
pihak lain, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Atau juga dapat
digunakan untuk tujuan yang tulus guna membangun sikap saling percaya (mutual trust)
dan menyelesaikan berbagai perbedaan. Taktik yang dapat digunakan yakni:
a. menjadi hangat dan ramah, taktik berupa menyukai dan merespon pendapat pihak
lain. perilaku tersebut mendorong pihak lain untuk mengembangkan sikap positif
kepada negosiator.
b. Menyokong pihak lain, tujuan dari taktik ini adalah untuk menghasilkan perasaan
utang budi dan ketergantungan, sehingga mendorong pihal lain untuk menyukai
masukan dari negosiator.
c. Berperilaku sesuai dengan nilai-nilai pihak lain, pihak lain lebih suka berpihak
kepada seseorang yang berbagi nilai-nilai mereka, daripada seseorang yang
menyerang, melukainya. Contoh, ketika menegosiasikan kesepakatan in negara-
negara Islam, maka negosiator lelaki lebih diterima dengan baik dibandingkan
negosiator perempuan.
d. Memilih tempat yang menyenangkan untuk negosiasi, banyak faktor yang
mempengaruhi suasana hati dan salah satunya adalah tempat bernegosiasi. Seorang
negosiator dapat memilih suasana restauran yang rileks demi menghasilkan negosiasi
yang produktif, daripada bertemu di kantor.
d. Kompleks
19
Berbagai pihak direkomendasikan untuk memodifikasi strategi mereka sebagai sebuah
proses negosiasi. seorang negosiator dapat menyesuaikan dari strategi kompetisi
(menggunakan taktik menantang) kepada strategi kolaborasi (menggunakan taktik
penyelesaian masalah). Carnevale and Pruitt (1992), memberikan beberapa contoh bagaimana
taktik menantang dan tidak menantang dapat dihubungkan secara bersama-sama, yakni :
1. Tameng arena (arena shielding), termasuk menggunakan beberapa taktik di situasi
yang berbeda. Sebagai contoh, berprilaku menantang di meja negosiasi (negotiation
table) dan menyelesaikan masalah di pertemuan-pertemuan tidak resmi.
2. Tameng personil (personnel shielding), menerapkan taktik (good guy-bad guy)
yakni satu anggota tim berperan dengan sikap menantang dan di saat bersamaan
anggota tim lainnya bersikap menyelesaikan masalah (problem-solving approach).
Kontradiksi antara dua orang itu dapat mendorong pihak lain merasa tenang saat
negosiator jahat (bad guy) tidak ada, sehingga pihak lain merasa bahwa negosiasi
akan lebih produktif bila dilakukan bersama dengan negosiator yang baik (good guy)
tanpa harus khawatir akan dieksploitasi oleh negosiator yang baik.
3. Tameng isu (issue shielding), berpendirian teguh untuk melindungi isu-isu penting
dan mengalihkan isu atau perhatian. Sebagai contoh, negosiator melakukan gerakan
pura-pura atau memfokuskan perhatian pada isu-isu yang tidak penting, sehingga
perhatian pihak lain teralihkan dari isu yang sebenarnya lebih penting.
Hayes (2002) memberi saran tambahan berupa cara yang dapat digunakan negosiator
untuk mengalihkan perhatian pihak lain yakni menciptakan kesempatan untuk rehat sejenak
untuk berpikir.
Menurut Hayes, dinamika dalam proses negosiasi terus berubah dan cukup sulit untuk
mengantisipasi setiap pergerakan lawan, sehingga situasi yang tidak diharapkan dapat terjadi
dan cukup menyulitkan negosiator. maka, perlu menciptakan ruang/ celah untuk berpikir apa
yang akan dilakukan selanjutnya. ruang tersebut dapat diciptakan dengan beberapa cara :
a. Meminta waktu istirahat (recess), tindakan ini bertujuan untuk berkonsultasi dengan
tim yang ada.
b. Mengajukan pertanyaan yang tidak relevan, ketika pihak lain sedang memberi
jawaban, maka negosiator dapat memanfaatkan celah untuk berpikir.
3. Perilaku (behaviour)
20
Perilaku merupakan komponen utama dalam keahlian bernegosiasi, karena perilaku akan
disusun dan dibentuk berdasarkan taktik dan strategi negosiasi. Menurut Hayes (2002)
bentuk-bentuk perilaku dalam negosiasi sebagai berikut :
a. Mengirim informasi kepada pihak lain (information sending)
b. Pencarian informasi mengenai lawan (information seeking)
c. Argumentasi (argumentation)
d. Mencari pemenuhan (compliance seeking)
e. Menghasilkan ide (ide generating)
f. Penawaran (biding)
g. Menghasilkan (yielding)
h. Menerapkan sanksi (sanctioning)
Saner (2012) memberikan uraian yang berbeda mengenai ragam perilaku dalam proses
negosiasi, yakni :
a. Menjengkelkan (irritator).
Tindakan tersebut bertujuan untuk memusingkan pihak lain, sebagai reaksi alami
terhadap sikap pihak lain yang memuji diri sendiri, yang mengira bahwa setiap
argument yang dibangun selalu tepat.
Teknik ini biasa sering digunakan negosiator yang kurang pengalaman (less
experienced), negosiator sering memilih interupsi di tengah proses negosiasi daripada
mendengarkan gagasan orang lain.
21
BAB V. BIAS KOGNITIF DALAM NEGOSIASI
Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah
masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008). Menurut Tri
Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi ialah pemberian kategori pada setiap benda
atau obyek atas dasar persamaan dan perbedaan karakternya. Selain kedua hal di atas,
pemberian kategori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-masing objek tersebut.
Kognisi adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses
berpikir tentang seseorang atau sesuatu. Proses yang dilakukan adalah memperoleh
pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis,
memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan
kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau inteligensi. Bidang ilmu yang mempelajari
kognisi beragam, diantaranya adalah psikologi, filsafat, komunikasi, neurosains, serta
kecerdasan buatan.
Bias kognitif, secara sederhana dapat dipahami sebagai pengaruh dari ketidakmampuan/
ketidakefisienan negosiator dalam memahami situasi berjalannya negosiasi, yang terjadi
melalui proses persepsi dan atribusi yang keliru (bias) terhadap pihak lawan, sehingga dapat
mempengharuhi hasil negosiasi yang diharapkan. Thompson (1990) mengasosiasikan bias
dengan tindakan yang tidak efisien (inefficient performance).
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, bahwa tradisi pemikiran dalam kajian negosiasi
terdiri dari tradisi kognitif dan tradisi strategi-movitasi (motivational and strategy). Dan bias
kognitif merupakan cakupan pembahasan dalam tradisi kognitif.
Carnevale dan Pruitt (1992) menggambarkan dua perspektif terkait bias kognitif dalam
tradisi kognitif, berupa;
a. Heuristik dan bias (heuristics and biases), berasal dari pemikiran-pemikiran Tversky
dan Kahneman (1974). Berupa tindakan jalan pintas, yang dapat menghasilkan
penilaian yang tidak akurat/ keliru. Jalan pintas tersebut terkadang mendatangkan
hasil yang jelek (poor outcome) dan hasil baik (good outcome).
22
Pada perspektif ini, negosiator diasumsikan memiliki perhatian terbatas serta kapasitas
yang terbata pula untuk menyimpan dan mengingat (retrieve) kembali informasi yang
tersimpan di memori. Sebagai hasilnya, negosiator secara sadar ataupun tidak sadar
menggunakan heuristik.
a.1 Heuristik.
Terdapat beberapa jenis heuristik (Carnevale dan Pruitt, 1992), yang mungkin diadopsi oleh
negosiator yakni ketersediaan (availability), kerepresentatifan (representativeness), bias
pembingkaian hasil (bias due to framing outcomes), dan bias percaya diri berlebih (bias due
to overconfidence).
1. Ketersediaan (availability).
Negosiator dalam mengambil keputusan bergantung pada kemudahan mengingat
informasi sebagai pertimbangan untuk penilaian atas dasar keseringan (frequency) dan
kemungkinan informasi itu terjadi. Ketersediaan merupakan sebuah petunjuk yang
digunakan untuk menaksir (assessing) faktor keseringan dan kemungkinan.
2. Kerepresentatifan (representativeness).
Negosiator membuat keputusan atas dasar informasi yang tampak relevan, dengan
cara cenderung menebak situasi berdasarkan informasi yang didapat, meskipun fakta
yang terjadi berbeda dari kesimpulan tersebut. Tindakan tersebut memberi dampak yang
merugikan bagi sang negosiator. Tversky dan Kahneman (1974) menyebutnya sebagai
kesalahan penjudi (gambler’s fallacy).
Bila terbingkai secara positif, maka negosiator memandang hasil yang akan diperoleh
nantinya (prospective outcome) sebuah keuntungan (gains) dan melihat negosiasi sebagai
upaya untuk memperoleh keuntungan maksimal. Jika terbingkai secara negatif, maka
23
negosiator memandang hasil yang akan dicapai nanti sebuah kekalahan (loses) dan
memandang negosiasi sebagai upaya untuk meminimalisasi biaya (expenses).
Sumber lain yang menyebabkan bias dalam negosiasi yakni bercabang dari
kepercayaan bahwa negosiator memiliki kemungkinan untuk berhasil. Negosiator
terkadang percaya bahwa lawan mereka akan lebih mengalah daripada mereka.
Menurut Carnevale dan Keenan (dalam Carnevale and Pruitt, 1992), sikap optimis
berlebihan (overoptimism) sungguh mengganggu kemungkinan kesepakatan dicapai
dalam negosiasi. Dan optimis yang berlebihan itu hanya terjadi ketika negosiator
memiliki perhatian yang rendah terhadap keinginan orang lain (other’s outcome).
24
“kesalahan atas ketidakcocokan” atau incompatibility error. Negosiator mengasumsikan
bahwa apapun yang baik bagi dirinya, maka buruk bagi orang lain.
Kesalahan secara sistematis yang dilakukan oleh negosiator akibat dari misinterpretasi
terhadap informasi yang diperoleh selama proses negosiasi, sehingga dinilai memiliki
kecenderungan menghalangi proses negosiasi dengan hasil yang kurang optimal.
Bias kognitif dalam negosiasi dan cara mengatasinya:
1. Eskalasi komitmen yang irrasional, tindakan yang diambil negosiator yang sudah
tidak mempedulikan apa yang perlu dievaluasi, karena tindakan yang sama terus
dilakukan tanpa melihat bagaimana hasil yang telah dicapai, sehingga hasilnya tidak
optimal bahkan sia-sia. Hal ini dapat diatasi dengan adanya penasihat yang dapat
memberikan pencerahan bahwa tindakan tersebut sudah tidak lagi optimal dan hanya
membuang sumber daya.
2. Keyakinan pada harga mati (rigid), menganggap bahwa hasil yang dicapai dalam
nnegosiasi tidak sesuai yang diharapkan atau kebuntuan, sehingga tidak melakukan
tindakan lain dengan asumsi bahwa tindakannya akan sia-sia. Dapat diatasi dengan
25
memberikan dukungan terhadap negosiator dengan mencari tindakan alternatif yang
diyakini akan berhasil.
3. Pengarahan dan penyesuaian, merupakan penilaian atas input yang diterima
negosiator tersebutbertolak belakang dengan kepentingan awalnya, sehingga
cenderung untuk mengambil tindakan penyesuaian yang berlawanan/ skeptis, atau
mempertimbangkan kembali tindakan apa yang perlu diambil, persiapan dengan
bantuan advokat berlawanan atau pemeriksaan realitas diharapkandapat mencegah
bias tersebut.
4. Pembingkaian Isu dan Resiko, dalam menggunakan perspektif saat proses negosiasi,
maka akan ada kemungkinan yang menyebabkan negosiator harus menghindari
tindakan tertentu sehinggga terkesan “cari aman”/ tidak mengambil resiko, dihindari
dengan kepekaan terhadap bias, pemahaman informasi dan analisa menyeluruh
sehingga diterima bahwa resiko itu pasti dan pencapaian lebih tinggi dapat dicapai.
5. Ketersediaan Informasi, bahwa informasi yang disampaikan dalam proses negosiasi
harus dapat dengan mudah didapatkan/ diterima oleh negosiator lawan sehingga juga
memudahan dalam evaluasi selanjutnya. Maka dengan cara penyampaian yang
menarik dan atraktif dinilai akan mempermudah penerimaan serta membuatnya
mudah diingat.
6. Kutukan pemenang, ketidakpuasan yang muncul atas kemudahan terhadap
keberhasilan selama proses negosiasi, sehingga menganggap apakah memang dalam
negosiasi terlalu banyak power/ resource yang dikeluarkan terhadap negosiator lawan,
atau seharusnya ada kesepakatan yang senderung lebih baik dan menguntungkan.
Untuk mengatasinya,persiapan menyeluruh dan investigasi terhadap isu hingga opsi
alternatif/ keuntungan yang lain dalam negosiasi yang dinilai cenderung lebih baik.
7. Kepercayaan diri berlebih, memiliki segi positif yaitu menguatkan persepsi negosiator
status/ posisi yang dimiliki, tetapi dampak negatifnya adalah menganggap terlalu
mudah proses negosiasi tersebut dilakukan dan dengan hasil yang optimal, sehhingga
negosiator memiliki kecenderungan untuk lengah dan hasil yang didapatkan justru
sebaliknya. Maka sebaiknya, proporsionalitas atas percaya diri, kemampuan,
persiapan, dan analisa terhadap power/resource perlu dijaga.
8. Hukum angka kecil, dalam melakukan tindakan dan mengambil keputusan hanya
berasal dari pertimbangan yang terlalu sedikit, atau kurangnya aspek/faktor lain yang
perlu diperhatikan serta sampel/ hasil data yang sedikit. Sehingga mengakibatkan
ketidakakuratan tindakan/ keputusan tersebut. Maka hendaknya mengambil banyak
26
faktor yang perlu diperhatikan serta analisa yang mendalam supaya hasilnya akurat
dalam berbagai kondisi.
9. Bias pelayanan diri, pemberian atribut terhadap tindakan negosiator tertentu yang
berlatar belakang atas faktor internal yang dialami oleh negosiator tersebut, sehingga
kurang memperhatikan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi tindakan/sikap
yang muncul. Hendaknya sebagaimana sebelumnya, memperhatikan apa yang ada
dari segala aspek sehingga dapat dianalisa secara dalam dan didapatkan apa yang
benar dan merupakan penyebabnya.
10. Pengaruh dukungan, dengan adanya dukungan akan meningkatkan keyakinan/
optimis terhadap hasil negosiasi, sehingga akan berakibat seperti poin kepercayaan
diri berlebih diatas, dan mengganggu pencapaian kesepakatan yang paling baik. Maka
dukungan tersebut harusnya disikapi sebagai motivasi eksternal seorang negosiator
dalam mewujudkan kepentingan, bukan hanya resource yang tersedia.
11. Mengabaikan kognisi pihak lain, yaitu dengan sikap negosiator yang kurang/ tidak
memperhatikan pemikiran dan persepsi pihak lai, sehingga persepsi dirinya terhadap
pihak lain akan tidak harmonis sehingga terjadi kesalahan penafsiran apa sikap/
tindakan yang hendak diambil oleh negosiator lawannya. Maka seorang negosiator
hendaknya berusaha untuk memahami secara akurat latar belakang baik itu minat,
target mauun perspektif negosiator lawannya.
12. Proses devaluasi reaktif, penggunaan dasar emosionalitas dan ketidakpercayaan
terhadap pihak lain serta cenderung subjektif. Sehingga akan menilai rendah dan
mendevaluasi konsesi pihak lawan. Maka, seorang negosiator hendaknya menjunjung
tinggi objektivitas proses negosiasi dan menghindari penggunaan dasar emosi maupun
prasangka yang buruk.
27
BAB VI. CONTOH KASUS NEGOSIASI
Salah satu contoh kasus negosiasi yaitu dimana Indonesia berhasil menyelesaikan
negosiasi kesepakatan kerja sama perikanan dengan Thailand.
Misi Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dipimpin oleh Gellwyn Jusuf,
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, bersama Kementerian Luar Negeri R.I. yang
didampingi oleh perwakilan Pemerintah RI di Bangkok (KBRI) berhasil menyelesaikan
negosiasi Memorandum Saling Pengertian (MSP) Kerjasama Bilateral di Bidang Perikanan
dengan Pemerintah Thailand. MSP tersebut merupakan hasil pembahasan intensif pada
pertemuan informal dengan Direktur Jenderal Perikanan Thailand dan Perwakilan Pemerintah
Thailand pada tanggal 30 Juli 2013, di Bangkok-Thailand. Draft MSP yang telah disepakati
kedua belah pihak diharapkan dapat ditandatangani oleh Para Menteri yang menangani
Perikanan dihadapan Kedua Pimpinan Negara Indonesia dan Thailand pada saat Pertemuan
Puncak Para Pimpinan APEC (APEC Leaders' Summit) yang akan diselenggarakan di Bali
pada bulan Oktober 2013.
Melalui penandatanganan MSP tersebut, akan memperkuat upaya Pemerintah
Indonesia dalam mendukung pembangunan di sektor perikanan melalui program
industrialisasi perikanan yang saat ini tengah gencar-gencarnya dilaksanakan oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan. MSP ini juga diharapkan dapat memperkuat berbagai
upaya pengingkatan investasi usaha perikanan di dalam negeri, khususnya pemberantasan
praktek-praktek penangkapan ikan yang tidak sah (Illegal Fishing) yang dilakukan oleh
kapal-kapal berbendera asing. MSP juga menegaskan klausul yang terkait dengan
pengembalian Anak Buah Kapal (ABK) dan nelayan dari kapal-kapal berbendera Thailand
yang tertangkap jika melakukan penangkapan ikan secara ilegal (IUU Fishing) di wilayah
perairan Indonesia, pemulangan ABK dan nelayan tersebut akan menjadi tanggung jawab
negara bendera.
Dalam rangka pemberantasan IUU Fishing tersebut, kedua negara lebih lanjut
menyepakati perlunya pertukaran data dan informasi, khususnya terkait dengan data ekspor
dan impor produksi perikanan, data pendaratan ikan, registrasi kapal dan data penghapusan
sertifikat negara asal kapal (Deletion Certificate). Disamping itu, kedua negara juga sepakat
untuk menunjuk otoritas kompeten dan melaksanakan Sertifikat Hasil Tangkapan
Ikan (SHTI) yang diperluas tidak hanya untuk produk-produk perikanan hasil tangkapan di
laut yang akan di re-ekspor ke Uni Eropa, tetapi penerapan SHTI akan juga meliputi semua
produk yang diekspor Indonesia ke Thailand. Melalui pelaksanaan mekanisme-mekanisme
28
tersebut diharapkan dapat diketahui dengan pasti ketertelusuran data kapal perikanan serta
menjamin produk asal ikan yang didaratkan oleh kapal-kapal perikanan tersebut bukan
merupakan hasil dari kegiatan IUU Fishing.
Lebih lanjut, dalam rangka peningkatan investasi usaha perikanan di Indonesia, MSP
tersebut juga akan memperkuat berbagai upaya peningkatan kapasitas (capacity building)
yang telah dilakukan, antara lain melalui pelaksanaan program-program peningkatan
kapasitas dan keterampilan nelayan. Melalui area kerjasama ini, diharapkan para nelayan
tersebut tidak hanya terampil dalam melakukan penangkapan ikan di laut, tetapi juga
sekaligus dapat menjaga penanganan mutu ikan yang baik dari penangkapan sampai dengan
didaratkan, sehingga dapat menjamin mutu suplai bahan baku ikan ke industri-industri
pengolahan ikan di Indonesia.
Penyelesaian negosiasi MSP ini merupakan sebuah pencapaian positif dan langkah
maju yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia, khususnya oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan, mengingat penyelesaian negosiaasi kesepakatan telah tertunda cukup lama sejak
tahun 2006. Hasil yang menggembirakan ini seolah melengkapi pencapaian positif yang
dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan di bidang Kerjasama Perikanan. Hal ini
mengingat pada bulan Mei 2013, proses negosiasi MSP yang sama dengan negara Republik
Rakyat Tiongkok (RRT) juga telah berhasil diselesaikan dan Memorandum Saling Pengertian
tersebut juga akan ditandatangani pada saat pertemuan APEC Leaders' Summit. Disamping
itu, pada bulan sebelumnya Juni 2013, Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Gellwynn
Jusuf, juga telah berhasil memperjuangkan diterimanya Indonesia sebagai
negaraCooperating Non-Member (CNM) pada Organisasi Perikanan Tuna Regional Inter
American Tropical Tuna Commission (IATTC). Dengan masuknya Indonesia sebagai CNM
tersebut, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperluas wilayah penangkapan ikannya ke
laut lepas dengan turut memanfaatkan sumber daya perikanan tuna di wilayah Samudera
Pasifik Bagian Timur, setelah terlebih dahulu akan mendaftarkan armada penangkapan ikan
ke organisasi tersebut.
Melalui berbagai pencapaian positif ini, kerjasama yang dilakukan diharapkan dapat
memperkuat berbagai upaya Pemerintah dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan,
sehingga pada akhirnya dapat berkontribusi pada keberlanjutan pembangunan sumber daya
dan usaha perikanan guna peningkatan kesejahteraan nelayan Indonesia.
29
BAB VII. KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
Brett, J. M., Adair, W., Lempereur, A., Okumura, T., Shikhirev, P., Tinsley, C., and A. Lytle.
(1998). Culture and joint gains in negotiation. Negotiation Journal, 61–86.
Carnevale, P.J. and Pruitt, D.G. (1992). Negotiation and mediation. Annual Review of
Psychology 43: 531–582.
Ruble, T. and Thomas, K. (1976) ‘Support for a two-dimensional model of conflict behavior’.
Organizational Behavior and Human Performance, 16: 145.
Hayes, John.(2002). Interpersonal Skills at Work (2nd Edition). New York: Routledge.
http://blog.ub.ac.id/adeyr/2013/01/25/negosiasi-kognisi-emosi-persepsi/
http://marianajanuarta.blogspot.com/2014/05/negoisasi-yang-berhasil.html
http://www.galeripustaka.com/2013/03/pengertian-tujuan-dan-manfaat-negosiasi.html
http://astrianjanyrayki.blogspot.com/2014/04/pengertian-tujuan-manfaat-dan-hambatan.html
http://apakabar.weebly.com/negosiasi.html
31