Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Mata merupkan alat indra penglihatan manusia yang terdiri dari banyak
komponen. Salah satu kompenen penting mata dalam proses melihat adalah
uvea. Uvea merupakan lapisan vaskuler tengah mata yang dilindungi oleh
kornea dan sklera. Uvea terdiri atas iris, badan siliaris, dan koroid.
Inflamasi pada uvea disebut uveitis. Uveitis dalam praktiknya,
menggambarkan suatu inflamasi pada uvea serta inflamasi pada jaringan
sekitarnya seperti retina, pembuluh-pembuluh retina, dan nervus optikus
intraokular. Inflamasi pada uvea bisa akibat adanya infeksi maupun non-infeksi
(trauma, neoplasma, dan autoimun).
Uveitis merupakan salah satu penyebab utama kebutaan di dunia. Uveitis
secara luas diklasifikasikan menjadi anterior, intermediate, posterior dan
panuveitis berdasarkan anatomi mata. Uveitis memiliki banyak subtipe yang
berpotensi yang berhubungan dengan kondisi sistemik. Secara anatomis, uveitis
anterior melibatkan peradangan pada iris (iritis), bagian anterior badan ciliary
(siklitis anterior) atau kedua struktur (iridosiklitis).
Uveitis dapat disebabkan oleh trauma, diare kronis, penyakit Reiter,
herpes simpleks, sindrom Behcet, sindrom Posner Schlosman, pasca operasi,
adenovirus, parotitis, influenza, infeksi klamidia, arthritis rheumathoid dan
lain-lain.
Uveitis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada dewasa muda dan usia
pertengahan. Ditandai adanya riwayat sakit, fotofobia, dan penglihatan yang
kabur, mata merah tanpa sekret mata purulen dan pupil kecil atau ireguler.
Insiden uveitis di Amerika Serikat dan di seluruh dunia diperkirakan sebesar 15
kasus/100.000 penduduk dengan perbandingan yang sama antara laki-laki dan
perempuan. Morbiditas akibat uveitis terjadi karena terbentuknya sinekia
posterior sehingga menimbulkan peningkatan tekanan intraokuler dan

1
gangguan pada nervus optikus. Selain itu, dapat timbul katarak akibat
penggunaan steroid.
Kebutaan karena uveitis banyak terjadi baik di negara maju maupun
berkembang termasuk Indonesia. Sekitar 25% kebutaan akibat uveitis dan
komplikasinya terjadi di India dan negara berkembang lainnya. Di negara maju,
kejadian kebutaan akibat uveitis bervariasi dari 3% sampai 10%. Di Eropa,
kejadian diperkirakan antara 3% dan 7%; dan di Amerika Serikat, angka terbaru
dari California mengungkapkan bahwa 10% kebutaan disebabkan oleh uveitis.
Meskipun dapat terjadi pada semua usia, kebanyakan penderita berusia 20-50
tahun dan menurun insidennya pada usia diatas 70 tahun. Angka morbiditas
seringkali tinggi karena penyakit kronis dan eksaserbasi yang sering terjadi.
Akibatnya, uveitis dapat berdampak buruk terhadap kualitas hidup seseorang.
Oleh karena itu, sebagai calon dokter umum kita wajib mengetahui
pengetahuan penyakit uveitis agar pasien dapat penanganan yang maksimal dan
mencegah terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana manifestasi dari uveitis ?
2. Bagaimana penegakan diagnosis uveitis ?
3. Bagaimana penatalaksanaan dari uveitis ?

C. Tujuan
1. Dapat mengetahui manifestasi dari uveitis
2. Dapat mengetahui penegakan diagnisis uveitis
3. Dapat mengetahui penatalaksanaan dari uveitis

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Traktus Uvealis

Gambar 2.1 Anatomi uvea

Traktus uvealis terdiri atas iris, badan siliar dan koroid. Bagian ini
merupakan lapisan vaskuler tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sclera.
Struktur ini ikut memvaskularisasi retina. Uvea dibagi menjadi 3 bagian yaitu iris
dibagian anterior, badan ciliare di tengah dan koroid diposterior.

Uvea mempunyai fungsi :

 Memberi nutrisi dan pengaturan gas, badan siliar langsung


memberikan makanan pada retina bagian dalam, lensa, dan kornea.

3
 Menyerap sinar, melindungi mata dari pantulan sinar dalam bola
mata.
 Badan siliar berperan dalam akomodasi yang diatur saraf otonom.

Vaskularisasi uvea dibedakan menjadi dua. Uvea anterior diperdarahi oleh


dua buah arteri siliar posterior longus yang masuk menembus sklera di temporal
dan nasal dekat tempat masuk saraf optic dan 7 buah arteri siliar anterior, yang
terdapat dua pada setiap otot superior, medial inferior pada otot rektus lateral.
Arteri siliaris anterior dan posterior ini bergabung menjadi satu membentuk arteri
sirkularis mayor pada badan siliar. Uvea posterior mendapat perdarahan dari 15-
20 buah arteri siliar posterior brevis yang menembus sklera disekitar tempat
masuk saraf optik.

Gambar 2.2 Vaskularisasi uvea

4
Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak antara bola
mata dengan otot rektus lateral, 1 cm didepan foramen optik, yang menerima 3
akar saraf dibagian posterior yaitu (Eva , Whitcher, 2007):

1. Saraf sensoris, yang berasal dari saraf nasosiliaris mengandung serabut saraf
sensoris untuk kornea, iris, dan badan siliar.

2. Saraf simpatis membuat pupil berdilatasi, yang berasal dari saraf simpatis yang
melingkari arteri karotis; mempersarafi pembuluh darah uvea dan untuk dilatasi
pupil.

3. Akar saraf motor akan memberika saraf parasimpatis untuk mengecilkan pupil.
Pada ganglion siliar hanya saraf parasimpatis yang melakukan sinaps.

1. Iris

Iris adalah perpanjangan badan siliar ke anterior. Iris berupa


permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah disebut
pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa,
sehingga memisahkan ruang antara lensa dan kornea menjadi dua ruangan:
ruang anterior atau bilik mata depan (antara kornea dan iris) dan ruang
posterior atau bilik mata belakang ( antara iris dan lensa), yang masing-
masing berisi aqueous humor. Iris terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan
fibrovaskular berpigmen disebut stroma yang mengandung sfingter dan
otot-otot dilator, dan lapisan kedua sel epithelial berpigmen. Lapisan kedua
terletak pada permukaan posterior iris terbentuk dari perluasan neuroretina
dan lapisan epitel pigmen retina ke arah anterior.

Pendarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler-kapiler iris


mempunyai lapisan endotel yang tak berlubang (nonfenestrated) sehingga
normalnya tidak membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara
intravena. Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi
cilliares.

5
Gambar 2.3 Iris tampak depan

Fungsi iris

1. Mengontrol jumlah cahaya yang memasuki mata

Iris mempunyai kemampuan mengatur banyaknya cahaya yang masuk


ke dalam mata karena perubahan ukuran pupil. Ukuran pupil pada
prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi (miosis) akibat
aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan
dilatasi (midriasis) yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis.

Ketika oto-otot sfingter kecil yang ditemukan di iris rileks, pupil akan
melebar dan ini memungkinkan lebih banyak cahaya yang masuk retina.
Ketika kontraksi otot, pupil akan menyempit menyebabkan penurunan
jumlah cahaya yang mampu mencapai mata. Kontraksi dan dilatasi pupil
juga terkait dengan jumlah cahaya pada lingkungan. Pada malam hari,
misalnya, otot-otot akan melebarkan pupil sehingga ada cahaya yang cukup
di mata. Ketika terlalu terang diluar, akan berkontraksi untuk
memungkinkan pengurangan cahaya kedalam mata dan mencegah
kerusakan retina.

Jika system saraf simpatis teraktivasi, sel-sel ini berkontraksi dan


melebarkan pupil sehingga lebih banyak cahaya dapat memasuki mata.
Kontraksi dan dilatasi pupil terjadi pada kondisi dimana intensitas cahaya
berubah dan objek yang dekan atau jauh. Pada tahap selanjutnya, setlah

6
cahaya memasuki mata, pembentukan bayangan pada retina bergantung
pada kemampuan refraksi mata.

Gambar 2.4 Kontraksi otot-otot iris

2. Menentukan warna mata


Sementara jaringan bertanggung jawab untuk jumlah cahaya,
pigmen dalam iris bertanggung jawab untuk warna mata seseorang.
Ketika ada lebih banyak pigmen dalam iris, mata mereka akan
menjadi lebih gelap.
Setiap orang memiliki iris yang unik dalam hal pola dan tekstur
dank arena itu mereka dapat digunakan untuk mengindentifikasi
seseorang dengan cara yang sama seperti penggunaan sidik jari.
3. Iris juga berfungsi sebagai penghalang yang membagi ruang posterior
kecil dengan anterior yang lebih besar.
Ruang posterior ditemukan antara lensa dan iris sedangkan yang anterior
ditemukan antara kornea dan iris.

2. Badan siliar

Korpus siliaris yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan


melintang, membentang ke depan dari ujung anterior khoroid ke pangkal iris
(sekitar 6 mm). Korpus siliaris terdiri dari suatu zona anterior yang
berombakombak, pars plikata dan zona posterior yang datar, pars plana.
Prosesus siliaris berasal dari pars plikata. Prosesus siliaris ini terutama
terbentuk dari kapiler-kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena vortex.

7
Kapiler-kapilernya besar dan berlobang-lobang sehingga membocorkan
floresein yang disuntikkan secara intravena. Ada 2 lapisan epitel siliaris,
satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang merupakan perluasan
neuroretina ke anterior, dan lapisan berpigmen di sebelah luar, yang
merupakan perluasan dari lapisan epitel pigmen retina. Prosesus siliaris dan
epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk aqueus humor

Muscullus cilliares tersusun dari gabungan muskulus longitudional,


sirkular, dan radial. Fungsi muskulus sirkular adalah saat otot ini
berkontraksi maka zonulla zinii yang berorigo di lembah-lembah di antara
procesus cilliares akan relaksasi kemudian mengubah tegangan pada kapsul
lensa (terjadi akomodasi lenda) sehingga lensa dapat mempunyai fokus baik
untuk objek berjarak dekat. Saat otot tersebut relaksasi, zonulla zinii
kontraksi sehingga lensa tertarik (lensa pipih) sehingga maupun melihat
objek yang berjarak jauh dalam lapangan pandang. Serat-serat longitudinal
muscullus cilliaris menyisip ke dalam anyaman trabekula untuk
mempengaruhi besar porinya.

Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi badan siliar berasal dari


circulus arteriosus major iris. Persarafan sensoris iris melalui saraf-saraf
siliaris.

3. Koroid

Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sclera.


Koroiss berbentuk mangkuk yang tepi depannya berada di cincin badan
siliar. Koroid adalah jaringan vascular yang terdiri atas anyaman pembuluh
darah. Retina tidak menempati seluruh koroid, tetapi berhenti beberapa
millimeter sebelum badan siliar.

Struktur koroid secara umum dapat dibagi menjadi empat lapisan ;

 Lapisan haller : bagian luar dari koroid. Memiliki diameter


pembuluh darah yang paling besar.
 Lapisa sattler : lapisan dengan pembuluh darah menengah.

8
 Koriokapilaris : lapisan kapiler.
 Membraan bruch : bagian terdalam dari lapisan koroid.

Semakin dalam pembuluh terletak didalam koroid, semakin lebar


lumennya. Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai
koriokapilaris. Darah dari pembuluh koroid dialirkan melalui empat vena
vorticosa, satu di tiap kuadran posterior. Koroid disebelah dalam dibatasi
oleh membrane Bruch dan disebelah luar oleh sklera. Ruang suprakoroid
terletak diantara koroid dan sklera. Koroid melekat erat ke posterior pada
tepi-tepi nervus opticus. Disebelah anterior, koroid bergabung dengan
korpus ciliare (Eva , Whitcher, 2007).

B. Definisi Uveitis

Uveitis adalah peradangan pada uvea. Istilah uveitis menunjukkan suatu


peradangan pada iris (iritis, iridosiklitis), badan siliar (uveitis intermediet,
siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis), atau koroid (koroiditis). Namun
dalam prakteknya, istilah ini turut mencakup peradangan pada retina (retinitis),
pembuluh-pembuluh retina (vaskulitis retina) dan nervus optikus intraocular
(papilitis). Uveitis juga dapat melibatkan kornea (keratouveitis) atau sclera
(sclerouveitis).

C. Epidemiologi

Uveitis biasanya terjadi pada umur 20-50 tahun dan menyumbang 10-
20% kasus kebutaan. Uveitis umumnya terjadi di negara berkembang daripada
di negara-negara maju, hal ini terjadi karena sebagian besar prevalensi yang
lebih besar dari infeksi yang dapat mempengaruhi mata, seperti toksoplasmosis
dan TBC (Eva, Whitcher, 2007). Sebagian besar pasien uveitis menunjukkan
variasi dalam hal prevalensi relatif berbagai bentuk uveitis. Uveitis anterior
sebanyak 28-66 % kasus, uveitis intermediate 5-15 %, uveitis posterior 19-51
%, dan panuveitis 7-18 %. (Yanoff, 2009).

D. Etiologi

9
1. Uveitis yang berhubungan dengan penyakit sistemik seperti sarkoidosis.
2. Infeksi; bakteri ( Tuberkulosa, Sifilis ), jamur ( Kandidiasis ), virus ( Herpes
simpleks,Herpes Zoster,Cytomegalovirus,Penyakit Koyanagi-Harada,Sindrom
Behcet ).
3. Parasit: protozoa dan nematoda (Toksoplasma , Toksokara )
4. Imunologik : Lens-induced iridosiklitis,oftalmia Simpatika, AIDS
5. Penyakit sistemik : penyakit kolagen, arthritis rheumatoid,sklerosis
multiple,sarkoidosis,penyakit vaskuler
6. Neoplastik : limfoma, sarcoma sel reticulum

E. Patofisiologi

Peradangan uvea biasanya unilateral, terjadi pada orang dewasa dan usia
pertengahan. Bentuk uveitis paling sering adalah uveitis anterior akut (iritis),
umumnya unilateral dan ditandai dengan adanya riwayat sakit, fotopobia dan
penglihatan kabur, mata merah, dan pupil kecil serta ireguler. Berdasarkan
patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: uveitis non-granulomatosa (lebih
umum) dan granulomatosa. Uveitis non-granulomatosa merupakan peradangan
pada iris dan korpus siliaris, ditandai dengan adanya infiltrat sel-sel limfosit dan
sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear. Uveitis yang
terjadi karena mekanisme alergi merupakan hasil reaksi hipersensitivitas terhadap
antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam (antigen endogen).

Iris, badan siliar, dan koroid memiliki peranan tersendiri. Badan siliar
memproduksi cariran aqous humor untuk memberi nutrisi pada lensa dan kornea.
Radang iris dan badan siliar menyebabkan blood aqueous barrier rusak sehingga
terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor aquos. Pada
pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-
partikel kecil dengan gerak Brown (efek Tyndall). Peradangan pada iris dan badan
siliar, menimbulkan hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar, dan
peningkatan pembentukan cairan bertambah. Pelebaran pembuluh darah diikuti

10
dengan eksudasi, sehingga menyebabkan jaringan iris edema, pucat dan reflex
menjadi lambat sampai terhenti sama sekali. Eksudasi fibrin dan sel radang masuk
ke bilik mata depan, maka aqous humor menjadi keruh dinamakan flare dan sel
positif. Bila sel radang menggumpal dan mengendap di bagian bawah BMD
dinamakan hipopion, dan bila mengendap di endotel kornea dinamakan keratik
presipitat. Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai hipopion,
ataupun hifema (migrasi eritrosit ke dalam BMD dikenal dengan). Akumulasi sel-
sel radang dapat juga terjadi pada perifer pupil yang disebut Koeppe nodules, bila
dipermukaan iris disebut Busacca nodules.

Pada sudut BMD cairan aquos humor melalui trabekula masuk ke dalam
kanalis Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar
masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan berada pada batas
normal 15-20 mmHg. Apabila sel radang dan fibrin menyumbat sudut BMD,
maka aliran keluarnya cairan aquous humor terhambat kemudian terjadilah
glaukoma sekunder. Glaukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang
atau sakit.

Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblast dapat menimbulkan perlekatan antara


iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun
antara iris dengan endotel kornea yang disebut dengan sinekia anterior. Pada
kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli
anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut
seklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya
trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik
mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor menumpuk di bilik
mata belakang dan akan mendorong iris ke depan sehingga tampak sebagai iris
bombe  kemudian sudut kamera okuli anterior menyempit, dan timbullah
glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan iris pada lensa menyebabkan bentuk
pupil tidak teratur.

Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi
jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula menyebabkan

11
kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan karena debu. Dengan
adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa terganggu dan dapat
mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun
dapat mengakibatkan organisasi jaringan yang tampak sebagai membrana yang
terdiri dari jaringan ikat dengan neurovaskularisasi dari retina yang disebut
retinitis proloferans. Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi
retina.

Bagan Patofisiologi Uveitis :

Radang akut uvea

Dilatasi pembuluh darah kecil Eksudasi

Eksudasi fibrin dan sel


Edema iris, pucat dan reflex melambat radang masuk BMD

Aquos humor keruh (flare and sel)

Busacca nodules

hifema

Koeppe nodules
Hipopion

Keratik presipitat
12
Sinekia anterior dan
posterior
Seklusi pupil
Iris bombe dan
Glaucoma sekunder
Katarak

F. Klasifikasi Uveitis
Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi
secara anatomis, etiologis, perjalanan penyakit dan ada tidaknya abses.
1. Klasifikasi anatomis
a. Uveitis anterior
Uveitis anterior adalah peradangan intraocular pada iris dan badan
siliaris. Menurut kriteria the Standardization of Uveitis Nomenclature
(SUN) uveitis anterior diklasifikasikan berdasarkan durasinya, yaitu
uveitis anterior akut, uveitis anterior berulang dengan episode berulang
yang dipisahkan oleh periode tidak aktif tanpa pengobatan ≥ tiga bulan,
dan uveitis kronis yang berlanjut dan kambuh dalam waktu kurang dari
tiga bulan setelah penghentian pengobatan. Berdasarkan etiologi uveitis
anterior diklasifikasikan sebagai infeksi (seperti Sifilis, tuberculosis,
lepra, herpes simplek, onkosersiasis), autoimun, keganasan, post trauma,
idiopatik, dan lain-lain.
b) Uveitis intermediet

13
Uveitis intermediet inflamasi dominan pada pars plana dan retina
perifer. Uveitis intermediet juga disebut siklitis, uveitis perifer, atau pars
planitis adalah jenis peradangan intraokuler terbanyak kedua. Uveitis
intermediet khasnya bilateral dan cenderung mengenai pasien pada masa
remaja akhir atau dewasa muda. Pria lebih banyak yang terkena
dibandingkan wanita. Penyebab uveitis intermediet tidak diketahui pada
sebagian besar pasien, tetapi sarkoidosis dan sklerosis multipel berperan
pada 10-20% kasus; sifilis dan tuberkulosis (walaupun jarang) harus
disingkirkan dulu kemungkinannya pada setiap pasien. Komplikasi uveitis
intermdiet yang tersering meliputi edema macula kistoid, vaskulitis retina,
dan neovaskularisasi pada diskus optikus.
c) Uveitis posterior
Uveitis posterior terditi dari retinitis, koroiditis, vaskulitis retina,
dan papilitis yang bisa terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan. Di seluruh
bagian dunia, penyebab retinitis yang umum pada pasien-pasien
imunokompeten adalah toksoplasmosis, sifilis, dan penyakit Behcet;
penyebab koroiditis tersering adalah sarkoidosis, tuberculosis dan
sindrom Vogt-Koyanagi-Harada. Papilitis inflamatorik (neuritis optik)
dapat disebabkan oleh salah satu dari penyakit-penyakit tersebut, tetapi
sklerosis multipel perlu dicurigai, khususnya pada kasus nyeri mata yang
diperparah dengan pergerakan. Penyebab uveitis posterior yang lebih
jarang, antara lain : limfoma intraokuler, sindrom nekrosis retina akut,
oftalmia simpatika, dan sindrom “titik putih” seperti multiple evanescent
white dot syndrome (MEWDS) atau epiteliopati plakoid posterior
multifocal akut (AMPPE).
Onset uveitis posterior bisa akut dan mendadak atau lambat tanpa
gejala. Penyakit pada segmen posterior mata yang cenderung
menimbulkan kebutaan mendadak yaitu retinokoriditis toksoplasmik,
sindrom nekrosis retina akut, dan endoftalmitis bacterial. Kebanyakan
penyebab uveitis posterior lainnya mempunyai onset yang lebih samar.
d) Panuveitis

14
Panuveitis adalah peradangan seluruh uvea dan struktur sekitarnya
seperti retina dan vitreus. Penyebab tersering adalah tuberkulosis,
sindrom VKH, oftalmia simpatika, penyakit Behcet, dan sarkoidosis.
Diagnosis panuveitis ditegakkan bila terdapat koroiditis, vitritis, dan
uveitis anterior.

Gambar 2.5 Klasifikasi uveitis berdasarkan anatomi

2. Klasifikasi etiologis
a. Uveitis eksogen : trauma, invasi mikroorganisme atau agen lain dari luar
tubuh
b. Uveitis endogen : mikroorganisme atau agen lain dari dalam tubuh
- Berhubungan dengan penyakit sistemik, contoh: ankylosing spondylitis
- Infeksi, yaitu infeksi bakteri (tuberkulosis), jamur (kandidiasis), virus
(herpes zoster), protozoa (toksoplasmosis), atau roundworm
(toksokariasis)
- Uveitis spesifik idiopatik yaitu uveitis yang tidak berhubungan dengan
penyakit sistemik, tetapi memiliki karakteristik khusus yang
membedakannya dari bentuk lain (sindrom uveitis Fuch)
- Uveitis non-spesifik idiopatik yaitu uveitis yang tidak termasuk ke
dalam kelompok di atas.
3. Klasifikasi berdasarkan perjalanan penyakit

15
Inflamasi dibagi kepada fase akut dan fase kronik. Fase akut
dimodulasi oleh mediator kimiawi seperti histamin, serotonin, kinin,
plasmin, komplemen, leukotriene dan prostaglandin. Yang pertama dari fase
akut dimediasi oleh histamin dan serotonin yang menyebabkan otot
berkontraksi dan berlokalisasi, permeabilitas vaskular meningkat dan terjadi
ekstravasasi cairan dan leukosit keluar dari pembuluh darah. Fase kedua
respon inflamasi akut dimediasi oleh kinin,prostaglandin dan leukotriene.
Prostaglandin yang ada di iris bersifat antagonis dengan substansia
vasokonstriktor dan memblok aktifitas epinefrin dengan menginhibisi
adenilsiklase. Selain itu, ia juga memecahkan Blood Aquous Barrier, lalu
menyebabkan peningkatan aliran darah di mata dan meningkatkan tekanan
intraokular.
Pada fase kronik inflamasi dibagi menjadi 2 yaitu granulomatosa atau
nongranulomatosa.
a. Uveitis akut ; gejala klinik yang terjadi secara mendadak dan menetap
sampai tiga bulan
b. Uveitis kronik : Uveitis yang menetap hingga lebih dari tiga bulan dan
bersifat asimtomatik, dengan relaps dibawah tiga bulan setelah terapi
dihentikan.
c. Uveitis rekurens : Episodenya berulang dengan periode inaktivasi tanpa
terapi lebih dari tiga bulan.
4. Klasifikasi berdasarkan ada tidaknya abses :
a. Purulen
Endoftalmitis, panoftalmitis

b. Non-purulen
1) Non granulomatous
Infiltrat dominan sel plasma dan limfosit pada koroid
2) Granulomatous
Infiltrat dominan sel epiteloid dan makrofag pada koroid
G. Gambaran klinis

16
1. Uveitis anterior
Bentuk yang paling umum dan biasanya unilateral dengan onset akut. Gejala
yang khas meliputi nyeri, fotofobia, penglihatan kabur, sakit kepala dan
lakrimasi.
a. Gejala subyektif
1) Nyeri
Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya dan penekanan
saraf siliar bila melihat dekat. Sifat nyeri menetap atau hilang timbul.
Lokalisasi nyeri bola mata, daerah orbita dan kraniofasial. Nyeri ini disebut
juga nyeri trigeminal. Intensitas nyeri tergantung hiperemi iridosiliar dan
peradangan uvea serta ambang nyeri pada penderita, sehingga sulit
menentukan derajat nyeri.
2) Fotofobia dan lakrimasi
Fotofobia disebabkan spasmus siliar dan kelainan kornea bukan karena
sensitif terhadap cahaya. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf pada kornea
dan siliar, jadi berhubungan erat dengan fotofobia.
3) Kabur
Derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan sedang, berat atau hilang
timbul, tergantung penyebab, seperti: pengendapan fibrin, edema kornea,
kekeruhan akuos dan badan kaca depan karena eksudasi sel radang dan
fibrin dan bisa juga disebabkan oleh kekeruhan lensa, badan kaca, dan
kalsifikasi kornea.

17
b. Gejala obyektif
Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan
indirek, bila diperlukan angiografi fluoresen atau ultrasonografi.
1) Hiperemi
Gambaran merupakan hiperemi pembuluh darah siliar 360 sekitar limbus,
berwarna ungu( kemerahan sirkumkorneal) merupakan tanda
patognomonik dan gejala dini. Bila hebat hiperemi dapat meluas sampai
pembuluh darah konjungtiva ( injeksi konjungtiva ) dan sekret yang
minimal
2) Perubahan kornea
Keratik presipitat terjadi karena pengendapan sel radang dalam bilik mata
depan pada endotel kornea akibat aliran konveksi akuos humor, gaya
berat dan perbedaan potensial listrik endotel kornea. Lokalisasi dapat di
bagian tengah dan bawah dan juga difus.
Keratik presipitat dapat dibedakan :
Baru dan lama : baru bundar dan berwarna putih. lama mengkerut,
berpigmen, lebih jernih.

18
Jenis sel : lekosit berinti banyak kemampuan aglutinasi rendah, halus
keabuan. Limfosit kemampuan aglutinasi sedang membentuk kelompok
kecil bulat batas tegas, putih. Makrofag kemampuan aglutinasi tinggi
tambahan lagi sifat fagositosis membentuk kelompok lebih besar dikenal
sebagai mutton fat atau granulomatosa. Jika kecil dikenal dengan non
granulomatosa atau stellata.
Jumlah sel : halus dan banyak terdapat pada iritis dan iridosiklitis akut,
retinitis/koroiditis, uveitis intermedia.
Keratik presipitat granulomatosa atau non granulomatosa biasanya
terdapat di sebelah inferior, di daerah berbentuk baji yang dikenal
sebagai segitiga Arlt. Sebaliknya keratik presipitat stellate biasanya
tersebar rata di seluruh endotel kornea dan dapat dilihat pada uveitis
akibat virus herpes simpleks, herpes zoster,toksoplasmosis, iridosiklitis
heterokromik Fuch, dan sarkoidosis.

3) Kelainan kornea :
Keratitis dapat bersamaan dengan keratouveitis dengan etiologi
tuberkulosis, sifilis, lepra, herpes simpleks, herpes zoster atau reaksi uvea
sekunder terhadap kelainan kornea. Edema kornea disebabkan oleh
perubahan endotel dan membran Descemet dan neovaskularisasi kornea.
Gambaran edema kornea berupa lipatan Descemet dan vesikel pada epitel
kornea.
4) Kekeruhan dalam bilik depan mata dapat disebabkan oleh
meningkatnya kadar protein, sel, dan fibrin.
5) Iris
a) Hiperemi iris
Gambaran bendungan dan pelebaran pembuluh darah iris kadang-
kadang tidak terlihat karena ditutupi oleh eksudasi sel. Gambaran
hiperemi ini harus dibedakan dari rubeosis iridis dengan gambaran
hiperemi radial tanpa percabangan abnormal.
b) Pupil

19
Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris karena
iritasi akibat peradangan langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil
terhadap cahaya lambat disertai nyeri.
c) Nodul Koeppe
Penimbunan sel terlokalisasi di pinggir pupil, banyak, menimbul
bundar, ukuran kecil, jernih, warna putih keabuan.
d) Nodul Busacca
Terlihat sebagai benjolan putih pada permukaan depan iris akibat
penumpukan sel. Nodul Busacca merupakan tanda uveitis anterior
granulomatosa.
e) Nodul Berlin
Tumpukan sel radang pada bilik mata depan
f) Granuloma iris
Lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan nodul iris. Granuloma
iris merupakan kelainan spesifik pada peradangan granulomatosa
seperti tuberkulosis, lepra dan lain-lain. Ukuran lebih besar dari
kelainan pada iris lain. Terdapat hanya tunggal, tebal padat,
menimbul, warna merah kabur, dengan vaskularisasi dan menetap.
Bila granuloma hilang akan meninggalkan parut karena proses
hialinisasi dan atrofi jaringan.
g) Sinekia iris
Sel-sel radang, fibrin dan fibroblast dapat menimbulkan perlekatan.
Sinekia posterior : perlekatan iris dengan kapsul lensa bagian anterior
Sinekia anterior : perlekatan iris dengan endotel kornea
h) Oklusi pupil
Ditandai dengan adanya blok pupil oleh seklusi dengan membra
radang pada pinggir pupil.
a) Atrofi iris
Merupakan degenerasi tingkat stroma dan epitel pigmen belakang.
Atrofi iris dapat difus, bintik atau sektoral. Atrofi iris sektoral terdapat
pada iridosiklitis akut disebabkan olch virus, terutama

20
herpetik.
b) Kista iris
Jarang dilaporkan pada uveitis anterior. Penyebab ialah kecelakaan,
bedah mata dan insufisiensi vaskular. Kista iris melibatkan stroma
yang dilapisi epitel seperti pada epitel kornea.
6) Perubahan pada lensa
a) Pengendapan sel radang
Akibat eksudasi ke dalam akuos di atas kapsul lensa terjadi
pengendapan pada kapsul lensa. Pada pemeriksaan lampu celah
ditemui kekeruhan kecil putih keabuan, bulat, menimbul tersendiri
atau berkelompok pada permukaan lensa.
b) Pengendapan pigmen
Bila terdapat kelompok pigmen yang besar pada permukaan kapsul
depan lensa menunjukkan bekas sinekia posterior yang telah lepas.
Sinekia posterior yang menyerupai lubang pupil disebut cincin dari
Vossius.
c) Perubahan kejernihan lensa
Kekeruhan lensa disebabkan oleh toksik metabolik akibat peradangan
uvea dan proses degenerasi-proliferatif karena pembentukan sinekia
posterior. Luas kekeruhan tergantung pada tingkat perlengketan lensa-
iris, hebat dan lamanya penyakit.
7) Perubahan dalam badan kaca
Kekeruhan badan kaca timbul karena pengelompokan sel, eksudat
fibrin dan sisa kolagen, di depan atau belakang, difus, berbentuk debu,
benang, menetap atau bergerak. Agregasi terutama oleh set limfosit,
plasma dan makrofag.
8) Perubahan tekanan bola mata
Tekanan bola mata pada uveitis hipotoni, normal atau hipertoni.
Hipotoni timbul karena sekresi badan siliar berkurang akibat
peradangan. Normotensi menunjukkan berkurangnya peradangan dan
perbaikan bilik depan mata. Hipertoni dini ditemui pada uveitis

21
hipertensif akibat blok pupil dan sudut iridokornea oleh sel radang dan
fibrin yang menyumbat saluran Schlemm dan trabekula.
2. Uveitis Intermediet
Disebut siklitis, uveitis perifer atau parsplanitis adalah jenis peradangan
intraocular terbanyak kedua. Tanda uveitis intermediet terpenting adalah
adanya peradangan vitreus. Uveitis intermediet khasnya bilateral dan
cenderung mengenai pasien pada remaja akhir atau dewasa muda. Pria lebih
banyak terkena dibanding wanita.
a. Gejala subjektif
Keluhan yang dirasakan pasien pada uveitis media berupa penglihatan yang
kabur dan floaters. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan maupun fotofobia.
b. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan yang paling mencolok adalah vitritis seringkali
disertai dengan kondensat vitreus, yang melayang bebas seperti bola salju
(snowballs) atau menyelimuti pars plana dan korpus siliaris seperti
gundukan salju ( snowbanking ). Peradangan bilik mata depan mungkin
hanya minimal tetapi jika sangat jelas , peradangan ini lebih tepat disebut
uveitis difus atau panuveitis.
Penyebab uveitis intermediet tidak diketahui pada sebagian besar pasien ,
tetapi sarkoidosis dan sklerosis multiple berperan pada 10-20% kasus ;
sifilis dan tuberkulosis (walaupun jarang) harus disingkirkan dulu
kemungkinannya pada setiap pasien. Komplikasi uveitis intermediet yang
tersering meliputi edema makula kistoid,vaskulitis retina, dan
neovaskularisasi pada diskus optik.
3. Uveitis posterior
Termasuk di dalam uveitis posterior adalah retinitis,koroiditis,
vaskulitis retina dan papilitis yang bisa terjadi sendiri-sendiri atau
bersamaan. Gejala yang timbul umumnya berupa floaters, kehilangan
lapang pandang atau scotoma atau penurunan tajam penglihatan yang
mungkin parah. Ablasio retina walaupun jarang paling sering terjadi pada
uveitis posterior; jenisnya bias traksional,regmatogenosa atau eksudatif.

22
a. Gejala subjektif
Dua keluhan utama uveitis posterior yaitu penglihatan kabur dan melihat
“lalat berterbangan” atau floaters. Penurunan visus dapat mulai dari
ringan sampai berat yaitu apabila koroiditis mengenai daerah macula.
Pada umumnya segmen anterior bola mata tidak menunjukkan tanda-
tanda peradangan sehingga sering kali proses uveitis posterior tidak
disadari oleh penderita.
b. Gejala obyektif
Lesi pada fundus biasanya dimulai dari retinitis atau koroiditis tanpa
kompikasi. Apabila proses peradangan berlanjut akan didapatkan
retinokoroiditis, hal yang sama terjadi pada koroiditis yang akan
berkembang menjadi korioretinitis. Pada lesi yang baru didapatkan tepi
lesi yang kabur, terlihat tiga dimensional dan dapat disertai perdarahan
disekitarnya, dilatasi vaskuler atau sheathing pembuluh darah.
Pada lesi lama didapatkan batas yang tegas seringkali berpigmen rata
atau datar dan disertai hilang atau mengkerutnya jaringan retina dan atau
koroid. Pada lesi yang lebih lama didapatkan parut retina atau koroid
tanpa bisa dibedakan jaringan mana yang lebih dahulu terkena.
4. Uveitis Difus
Istilah “uveitis difus” menunjukkan suatu kondisi terdapatnya
infiltrasi selular yang kurang lebih merata di segmen anterior maupun
posterior. Gambaran yang khas, berupa retinitis, vaskulitis, atau koroiditis,
bisa ditemukan dan sering kali memerlukan tes diagnostic lanjutan. Infeksi
tuberkulosis, sarkoidosis, dan sifilis harus dipertimbangkan pada pasien-
pasien uveitis difus. Penyebab yang lebih jarang antara lain oftalmia
simpatika, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, sindrom Behcet,
retinokoroiditis bird-shot dan limfoma intraocular.
Gejala yang timbul umumnya berupa floaters, kehilangan lapang
pandang atau scotoma, atau penurunan tajam penglihatan, yang mungkin
parah. Ablasio retina, walaupun jarang paling sering terjadi pada uveitis
posterior; jenisnya bisa traksional, regmatogenesa atau eksudatif.

23
H. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium umumnya tidak diperlukan pada pasien uveitis
ringan dan pasien dengan riwayat trauma atau pembedahan baru-baru ini atau
dengan tanda-tanda infeksi virus herpes simpleks atau herpes zoster yang jelas.
Di lain pihak, pemeriksaan sebaiknya ditunda pada pasien usia muda hingga
pertengahan yang sehat dan asimptomatik yang mengalami episode pertama
iritis atau iridosiklitis unilateral akut ringan sampai sedang yang cepat
berespons terhadap pengobatan kortikosteroid topikal dan sikloplegik.
Pasien uveitis difus, posterior atau intermediet dengan kelainan
granulomatosa, bilateral,berat dan rekurens harus diperiksa sebagaimana setiap
pasien uveitis yang tidak cepat merespons pada pengobatan standar.
Pemeriksaan sifilis harus mencakup Venereal Disease Research Laboratory
(VDRL) atau rapid plasma regain (RPR), dan uji antibody anti-Treponema
yang lebih spesifik. Kemungkinan tuberkulosis dan sarkoidosis harus
disingkirkan dengan pemeriksaan sinar X dada dan uji kulit dan konrol untuk
anergi seperti campak dan kandida. juga bisa dilakukan pemeriksaan ANA test
untuk menyingkirkan SLE.
Pemeriksaan lain yang boleh dilakukan untuk menegakkan diagnosis
antara lain :
1. Flouresence Angiografi ( FA )
FA merupakan pencitraan yang penting dalam mengevaluasi penyakit
korioretinal dan komplikasi intraokular dari uveitis posterior. FA sangat
berguna baik untuk intraokular maupun untuk pemantauan hasil terapi pada
pasien. Pada FA, yang dapat dinilai adalah edema intraokular, vaskulitis
retina, neovaskularisasi sekunder pada koroid atau retina, nervus optikus
dan radang pada koroid.
2. USG
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan keopakan vitreus, penebalan retina dan
pelepasan retina
3. Biopsi Korioretinal

24
Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis belum dapat ditegakkan dari gejala
dan pemeriksaan laboratorium lainnya.
I. Diagnosis banding
Mata merah dengan penurunan tajam penglihatan memiliki diagnosis
differensial yang sangat luas. diantaranya :
1. Konjungtivitis
Pada konjungtivitis penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, terdapat
sekret dan umumnya tidak disertai rasa sakit, fotofobia atau injeksi silier
2. Keratitis/ keratokonjungtivitis
Penglihatan dapat kabur pada keratitis, ada rasa sakit serta fotofobia.
Dibedakan dengan adanya pewarnaan atau defek pada epitel atau adanya
penebalan atau infiltrat pada stroma
3. Glaukoma akut sudut tertutup
Terdapat pupil yang melebar, tidak ada sinekia posterior dan korneanya
edema dan beruap/keruh, tekanan intraokular juga meningkat dan sudut
bilik mata depan sempit.
4. Neoplasma
Large-cell lymphoma, retinoblastoma, leukemia dan melanoma maligna bisa
terdiagnosa sebagai uveitis.
J. Komplikasi
1. Glaukoma (peninggian tekanan bola mata)
Pada uveitis anterior dapat terjadi Sinekia anterior dan posterior.
Keduanya bisa menghambat aliran aqous humor. Sinekia posterior
menghambat aliran aquos humor dari bilik posterior ke bilik anterior.
Penupukan cairan ini bersama-sama dengan sel radang mengakibatkan
tertutupnya jalur dari out flow aquos humor, dan terbentuknya seklusi pupil
serta iris bombe sehingga terjadi glaukoma sekunder sudut tertutup. Untuk
mencegahnya dapat diberikan sikloplegik dan kortikosteroid.
2. Katarak
Kelainan segmen anterior mata seperti iridosiklitis yang menahun dan
penggunaan terapi kortikosteroid pada terapi uveitis dapat mengakibatkan

25
gangguan metabolisme lensa sehingga menimbulkan katarak. Operasi
katarak pada mata yang uveitis lebih kompleks lebih sering menimbulkan
komplikasi post operasi jika tidak dikelola dengan baik. Sehingga
dibutuhkan perhatian jangka panjang terhadap pre dan post operasi. Operasi
dapat dilakukan setelah 3 bulan bebas inflamasi. Penelitian menunjukkan
bahwa phaekoemulsifikasi dengan penanaman IOL pada bilik posterior
dapat memperbaiki visualisasi dan memiliki toleransi yang baik pada
banyak mata dengan uveitis.
Prognosis penglihatan pasien dengan katarak komplikata ini
tergantung pada penyebab uveitis anteriornya. Pada Fuchs heterochromic
iridocyclitis operasi berjalan baik dengan hasil visualisasi bagus. Sedangkan
pada tipe lain (idiopatik, pars planitis, uveitis associated with sarcoidosis,
HSV, HZF, syphilis, toksoplasmosis, spondylo arthopathies) menimbulkan
masalah, walaupun pembedahan dapat juga memberikan hasil yang baik.
3. Ablasio retina
Jarang terjadi, terjadi akibat dari tarikan pada retina oleh benang-
benang vitreus.
4. Neovaskularisasi
5. Komplikasi karena pengobatan
Pengobatan uveitis biasanya dengan kortikosteroid yang dalam waktu
jangka lama dapat menyebabkan timbulnya katarak maupun glaukoma, dan
pemberian sistemik juga dapat menyebabkan fullmoonface, hipertensi, reaksi
pada kulit, dan steoforosis. Obat obat sikloplegik melemahkan akomodasi
dan sangan mengganggu saat usia diatas 45 tahun.

K. Penatalaksanaan

1. Penatalaknasaan Diagnosis
Penatalaksanaan secara diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium sesuai keluhan pasien.
2. Penatalaknasaan Supportif

26
Terapi uveitis merupakan terapi suportif, seperti kaca mata hitam untuk
mengurangi fotofobia terutama akibat pemberian midriatikum, kompres
hangat untuk mengurangi rasa nyeri sekaligus meningkatkan aliran darah
sehingga reabsorbsi sel-sel radang lebih cepat, steroid dan sikloplegik.
Umumnya kortikosteroid dan agen midriatik/sikloplegik digunakan sebagi
terapi utama pada uveitis.
a. Kortikosteroid
Digunakan untuk peradangan anterior
Kontra indikasi pemberian pada pasien dengan defek kornea, trauma
tembus, uji sensibilitas kornea negatif (karena herpes simplek dan herpes
zoster) dan TIO meningkat
Komplikasi : katarak dan glaucoma
Contoh obat : Prednisolon acetat 1%, diberikan 1-2 tetes setiap 1 atau 2
jam
Nama dagang: P-PRED ED MD, Vasama ED MD, Cendo Methasone ED
MD, dll.
b. Agen midriatik/Sikloplegik
Untuk menurunkan daya akomodasi, menghambat sinekia, dan
menurunkan rasa tidak nyaman akibat spasme siliaris.
Contoh obat: Homatropin 2-5%, 2-4 kali sehari
Nama dagang: Cendo Tropine ED MD, Homatro ED MD, Scopola ED
MD, dll.

Untuk peradangan non infeksi intermediet, posterior, dan difus


berespon baik terhadap penyuntikan triamcinolone acetonide sub-Tenon,
biasanya 1 mL (40mg), pada daerah subtemporal, triamcinolone acetonide
intraocular 0,1 mL (4mg), atau prednisolone oral 0,5-1,5 mg/kg/hari.

Sedangkan untuk peradangan non infeksi berat atau kronik terutama


bila disertai gangguan sistemik digunkan corticosteroid-sparing agent
seperti methotrexate, azathioprine, mycophenolate mofetil, cyclosporine,
tacrolimus, cyclophosphamide, atau chlorambucil.

27
a. Uveitis anterior akut
Tujuan pengobatan untuk pengembalian atau memperbaiki fungsi
penglihatan. Obat yang bisa diberikan: (12)
1) Midriatikum/sikloplegik
a) Sulfas atropine 1% sehari 3 kali tetes
b) Homatropin 2% sehari 3 kali tetes
c) Scopalamin 0,2% sehari 3 kali tetes
2) Anti inflamasi
 Dewasa :
- Preparat kortikosteroid:
o Oral : Prednisolon 2 tablet sehari 3 kali
o Subkonjungtiva : hidrokortison 0,3cc
- Preparat non kortikosteroid
 Anak :
- Prenisolon 0,5 mg/kgbb, sehari 3 kali
3) Antibiotic (diberikan bila ada indikasi yang jelas) :
 Dewasa:
- Lokal berupa tetes mata, kadang kadang
dikombinasi dengan preparat steroid
- Subconjungtiva, kadang kadang dikombinasi
dengan preparat steroid
- Peroral :Chloramphenicol sehari 3 kali 2 kapsul
 Anak:
- Chloramphenicol 25mg/kgbb, sehari 3-4 kali
b. Uveitis intermediet
Umumnya membaik denga operasi katarak, tetapi terapi kortikosteroid
topikal tetap dicoba diberikan selama 3-4 minggu untuk megidentifikasi
pasien dengan predisposisi hipertensi okular terinduksi-steroid. (12)
c. uveitis posterior
Obat yang bisa diberikan:
1) Midriatikum/sikloplegik

28
 Sulfas atropine 1% sehari 3 kali tetes
 Homatropin 2% sehari 3 kali tetes
2) Tetes/salep mata diberikan sehari 3 kali
 Dexamethasone 1% atau Betamethasone 1%
 Prenisolone 0,5% tetes/salep
Suntikan steroid atau nonsteroid

3. Penatalaksaan Terapeutik
Dilakukan berdasarkan etiologi uveitis seperti:
a. Uveitis pada penyakit persediaan (Juvenil Idiopatik Arthritis)
Pengobatan: kortikosteroid topical, anti-inflamasi nonsteroid, dan
sikloplegik/midriasil. Pada kasus resisten: ditambahkan
immunosupresam sistemik dan immunosupressan non-kortikosteroid,
seperti metrotrexate dan mycophenolate mofetil
b. Uveitis Terinduksi Lensa
Terapi definitif: pengeluaran materi lensa
Terapi pendamping : kortikosteroid, sikloplegik/midriatik, dan obat-obat
penurun tekanan intraocular
c. Histoplasmosis
Menyebabkan neovaskularisasi retina, diterapi secara efektif dengan
kortikosteroid atau fotokoagulasi laser atau keduanya
d. Sistiserkosis
Terapi bedah : Vitrektomi pars plana.

e. Oncosersiasi
Terapi : nodulektomi dan ivermectin dosis tunggal 100 atau 200μg/kg
PO. Pengobatan diulang dalam 6 atau 12 bulan. Terapi topical dengan
kortikosteroid dan sikloplegik.
f. Leptospira
Pengobatan infeksi berat berupa penicillin 1.5 juta unit secara IV setiap 6
jam selama 10 hari. Infeksi yang tidak terlalu parah bisa diatasi dengan

29
doxycycline 100 mg PO, dua kali sehari selama 7 hari. Kortikosteroid
topical dan sikloplegik ditambah dengan antibiotic untuk meminimalkan
komplikasi uveitis.
g. Sifilis
Terapi : kristal penicillin g dalam air, 2-4 unit, yang diberikan secara iv
setiap 4 jam selama 10 hari
h. Toksokariasis Okular
Terapi : suntikan kortikosteroid secara sistemik atau periokular diberikan
saat ada tanta-tanda peradangan intraocular yang nyata
Vitrektomi : pada pasien dengan kekeruhan vitreus yang padat atau traksi
preretinal yang nyata.

4. Penatalaknasaan Komplikasi
a. Sinekia anterior dan posterior
Untuk mencegah dan mengobat sinekia diberikan midriatikum.
b. Glaucoma Sekunder
Merupakan komplikasi tersering. Terapi Glaukoma sekunder berupa
terapi konservatif : Timolol 0,25%-0,5% 1 tetes tiap 12 jam dan
Acetazolamid 250mg tiap 6 jam.
Terapi bedah dilakukan bilan tanda-tanda radang sudah hilang tetapi TIO
masih tinggi. Untuk glaucoma sekunder sudut tertutup : iridektomi
perifer atau laser iridektomi, bila telah terjadi perlekatan iris dengan
trabekula (Peripheral Anterior Sinekia atau PAS) dilakukan bedah
filtrasi. Untuk Glaukoma sekunder sudut terbuka : bedah filtrasi

c. Katarak Komplikata
Terapi: pembedahan yang disesuaikan dengan keadaan dan jenis kataran
serta kemampuan ahli bedah
Contoh tehnik operasi : ECCE, ICCE, SICS, Phaecoimulsification
disertai penambahan IOL atau tidah disesuaikan dengan kondisi pasien.
5. Edukasi

30
Selain terapi berupa medikasi, perlu juga diberikan edukasi terhadap pasien
supaya proses penyembuhan lebih optimal. Edukasi meliputi istirahat yang
cukup, tidak terlalu banyak aktifitas terlebih aktifitas diluar rumah,
menggunakan kacamata pelindung saat bepergian, dan juga meningkatkan
daya tahan tubuh dengan makan-makanan bergizi.
6. Monitoring
Follow-up setelah 3-4 hari untuk melihat ada tidaknya penurunan gejala
uveitis, visus, lapang pandang, TIO, dan evaluasi respon terapi.
7. Perjalanan penyakit dan prognosis
Perjalanan penyakit dan prognosis uveitis tergantung pada banyak hal,
seperti derajat keparahan, lokasi, dan penyebab peradangan. Secara umum,
peradangan yang berat perlu waktu lebih lama untuk sembuh serta lebih
sering menyebabkan kerusakan intraokular dan kehilangan penglihatan
dibandingkan peradangan ringan atau sedang. Selain itu uveitis anterior
cenderung lebih cepat merespon pengobatan dibanding uveitis intermediet,
posterior, atau difus. Keterlibatan retina, koroid, atau nevus optikus
cenderung memberi prognosis yang lebih buruk.

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas

– Nama : Tn Arinato

31
– Umur: 35 tahun

– Jenis Kelamin: laki-laki

– Pekerjaan : Swasta

– Agama : Islam

– Alamat : Sidoarjo

– Pendidikan : SMA

– No. RM :1874384

– Tanggal Pemeriksaan : 03 Februari 2018

B. Anamnesis

– Keluhan Utama

Mata kanan merah

– Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien laki-laki usia 35 tahun datang ke Poli Penyakit Mata RSUD


Sidoarjo pada tanggal 03 Februari 2018 dengan keluhan mata kanan merah
sejak 1 bulan yang lalu, penglihatan kabur, ngejanjel, nerocoh, keluar
kotoran kadang kadang sedikit, kemeng, silau.

– Riwayat Penyakit Dahulu

- Mata kiri pasien mengalami blind eye et causa trauma

- Pasien tidak punya riwayat HT, DM, asma

– Riwayat Penyakit Keluarga

Dalam keluarga pasien tidak ada menderita mata merah

Riwayat pengobatan : Pasien belum diobati

Riwayat Alergi : Tidak ada

32
C. Pemeriksaan Fisik

– Status Generalis

Keadaan umum : Cukup

Kesadaran : compos mentis

Vital Sign : TD = 120/70 mmHg

Nadi = 86 x/menit

RR = 18 x/menit

Suhu = 36,5oC

OD OS
Visus 5/7,5 0
Kedudukan bola mata Normal Normal
Palpebra superior et Palpasi lembek Palpasi sedikit keras
inferior
Edema (-) Edema (-)

Echimosis (-) Echimosis (-)

Pseudoptosis (-) Pseudoptosis (-)

33
– Status Lokalis

Konjungtiva tarsus Hiperemi (+) Hiperemi (-)


superior et inferior
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)

Giant papil (-) Giant papil (-)

Hordeolum (-) Hordeolum (-)

Chalazion (-) Chalazion (-)

Edema (-) Edema (-)

Sekret (-) Sekret (-)

Pseudomembran (-) Pseudomembran (-)


Konjungtiva bulbi CVI (+) CVI (-)

PCVI (+) PCVI (-)

Sekret (+) sedikit Sekret (-)

Pterygium (-) Pterygium (-)

Pinguekula (-) Pinguekula (-)

Kemosis (-) Kemosis (-)


Kornea Edema (-) Edema (-)

Keruh (-) Keruh (-)

Keratik Presipitat (-) Keratik Presipitat (-)

Ulkus (-) Ulkus (-)

Fibrin (+) Fibrin (-)

Sikatriks (-) Sikatriks (+)


BMD Flare and sel (-) Flare and sel (-)

Hipopion (-) Hipopion (-)

34
Hifema (-) Hifema (-)

Dalam (+) Dalam (+)

Dangkal (-) Dangkal (-)


Iris Edema (-) Edema (-)

Nodul (-) Nodul (-)

Iris bombe (-) Iris bombe (-)

Irregular (+) Irregular (-)

Atropi/trasiluminasi (-) Atropi/trasiluminasi (-)

Patchy (-) Patchy (-)


Pupil Refleks pupil (-) Tidak dapat dievaluasi
karena tertutupi oleh
Miosis (-)
sikatriks
Midriasis (+)

Sinekia Posterior (+)

Seklusi/oklusi pupil (+)


Lensa Keruh (-) Keruh (-)

D. Resume

Pasien laki-laki usia 35 tahun datang dengan keluhan mata kanan merah
sejak 1 bulan yang lalu, penglihatan kabur, ngejanjel, kemeng, berair terutama
malam hari, silau.

Pada Pemeriksaan Fisik mata kanan didapatkan: konjungtiva hyperemia (PCVI


dan CVI positif), pupil irregular, sinekia posterior (+)

OD OS

35
Visus 5/7,5 0

Pupil Refleks pupil (+) -

E. Diagnosa Kerja
– OD Uveitis Anterior
– OS Blindness

F. Penatalaksanaan
a. Diagnosis
Tidak ada pemeriksaan lab yang dilakukan, hanya dengan gejala klinis.
b. Terapeutik
diberikan beberapa obat :
Inj. Dexamethason 5mg (Subconjungtiva)
Methyl prednisolone 3 x 16mg
Polidemisin ED 6 x 1 OD
Tropin 2 tetes OD (di poli)
Tropin 1% ED 3 x 1 OD
c. Planning Monitoring
Kontrol 3 hari untuk melihat tajam penglihatan, keluhan pasien (klinis), dan
respon pengobatan

d. Edukasi
– Menginformasikan kepada pasien tentang prognosis penyakitnya bisa
buruk jika tidak segera diterapi.

36
– Mengingatkan kepada pasien bahwa mata yang berfungsi saat ini hanya
satu mata, sehingga harus dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya agar
tidak terjadi kebutaan seperti mata satunya.
– Memberitahu pasien untuk istirahat yang cukup, tidak terlalu banyak
aktifitas terlebih aktifitas diluar rumah, menggunakan kacamata pelindung
saat bepergian, dan juga meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan-
makanan bergizi.

37
BAB IV

KESIMPULAN

Uveitis merupakan inflamasi pada uvea, yang terdiri atas iris, badan siliar,
dan koroid. Inflamasi pada uvea biasanya diikuti dengan inflamasi pada jaringan
sekitarnya, termasuk kornea, sclera, vitreus, retina, dan nevus optikus.

Uveitis diklasifikasikan menurut anatomi, etiologi, perjalanan penyakit,


dan ada tidaknya abses. Klasifikasi terbanyak yang digunakan dalam menegakkan
diagnosis adalah klasifikasi secara anatomi, yaitu uveitis anterior, intermediet, dan
posterior.

Gejala subjektif uveitis adalah nyeri, fotofobia, dan penglihatan kabur.


Gejala objektif meliputi keratik presipitat, hipopion, flare and sel, vaskulitis, dan
lain lain.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan pemeriksaan laboratorium bila memungkinkan.

Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan. Morbiditas akibat


uveitis terjadi karena terbentuknya sinekia posterior sehingga menimbulkan
peningkatan tekanan intra okuler dan gangguan pada nervus optikus. Selain itu,
dapat timbul katarak akibat penggunaan steroid. Oleh karena itu, diperlukan
penanganan uveitis yang meliputi anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan
fisik dan oftalmologis yang menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan
yang tepat.

Terapi utama uveitis bersifat non-spesifik, meliputi terapi topical dengan


kortikosteroid dan sikloplegik atau midriatikum. Dan bisa ditambahkan terapi
sistemik kortikosteroid bila perlu.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Agrawal RV, Murty S, Sangwan V, Biswas J. Current approach in


diagnosis and management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010
Jan-Feb; 58(1):11-19
2. American Optometric Association, 2004, Anterior
Uveitis, dalam Optometric Clinical Practice Guideline, American
Optometric Association, St. Louis
3. Eva, P.R., and Whitcher, J.P. 2007. Vaughan and Asbury’s General
Ophthalmology
4. lyas, Sidarta. (2005). Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta. Hal: 7
5. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Oftalmologi umum. Edisi 14.
Jakarta: Widya medika, 2000. Hal: 10; 150

39

Anda mungkin juga menyukai