Anda di halaman 1dari 27

SUMBER HUKUM DALAM ISLAM

Disusun Oleh :

1. APRIANI SORAYA (161 0112 176)

2. ARIEF MULYADIANTO (161 0112 177)

3. DEVARA AMANDA C. (161 0112 186)

4. KHIDHIR BAHREISYI A. (161 0112 189)

5. NAUFAL FARID IBRAHIM (161 0112 191)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan
karunianya, kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Agama Islam dengan
materi pembahasan “Sumber hukum dalam islam” tepat waktu. Makalah ini selain
kami susun sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Agama Islam, sekaligus sebagai
sumber bacaan dan refrensi guna lebih mengetahui lebih detail mengenai Sumber
hukum dalam islam.
Kami sadar bahwa sesuatu yang kami tulis ini belum lah sempurna, untuk
itu kami sangat mengharap kritik dan saran yang membangun guna menjadikan
perbaikan dalam penyusunan makalah selanjutnya serta dalam pemberian
informasi yang lebih baik lagi.

Terimakasih kami ucapkan kepada semua para pembaca.


DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
- 1.1 Latar belakang
- 1.2 Tujuan
- 1.3 Sistematika Penulisan
Bab II Pembahasan
- 2.1 Tiga Sumber hukum dalam islam
- 2.2 Fungsi, tujuan dan pembagian hukum dalam islam
- 2.3 Keunggulan hukum islam dari hukum positif
- 2.4 komitmen seorang muslim terhadap sumber
hukum islam
- 2.5 Fungsi agama dalam mengatasi persoalan dalam masyarakat
Bab III Penutup
- 3.1 Kesimpulan
- 3.2 Saran
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau
menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat yang
apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata (Sudarsono,
1992:1). Dengan demikian sumber ajaran islam ialah segala sesuatu yang
dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam.

Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Agama Islam bersumber


dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah
Rasulullah. Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam
(akidah, syari’ah dan akhlak) dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran
manusia yang memenuhi syarat runtuk mengembangkannya.

Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban


pribadi setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang
dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau
kelompok masyarakat.

Allah telah menetapkan sumber ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap
muslim. Ketetapan Allah itu terdapat dalam Surat An-Nisa (4) ayat 59 yang
artinya :” Hai orang-orang yang beriman, taatilah (kehendak) Allah, taatilah
(kehendak) Rasul-Nya, dan (kehendak) ulil amri di antara kamu ...”. Menurut ayat
tersebut setiap mukmin wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak Rasul dan
kehendak ’penguasa’ atau ulil amri (kalangan) mereka sendiri. Kehendak Allah
kini terekam dalam Al-Quran, kehendak Rasul terhimpun sekarang dalam al
Hadis, kehendak ’penguasa’ (ulil amri) termaktum dalam kitab-kitab hasil karya
orang yang memenuhi syarat karena mempunyai ”kekuasaan” berupa ilmu
pengetahuan.
Pada umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum
islam adalah Alquran dan hadist. Dalam sabdanya Rasulullah SAW bersabda, “
Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat
selamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan
sunnahku.” Dan disamping itu pula para ulama fikih menjadikan ijtihad sebagai
salah satu dasar hukum islam, setelah Alquran dan hadist.

Berijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan memperguna kan seluruh


kemampuan akal pikiran, pengetahuan dan pengalaman manusia yang memenuhi
syarat untuk mengkaji dan memahami wahyu dan sunnah serta mengalirkan
ajaran, termasuka ajaran mengenai hukum (fikih) Islam dari keduanya.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai sarana pembelajaran
untuk lebih memahami sumber-sumber hukum islam. Melalui makalah ini
diharapkan dapat menjadi penambah wawasan agar lebih mengetahui apa saja
sumber hukum islam itu. Selain itu penulisan makalah ini ditujukan pula untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI).

1.3 Sistematika Penulisan


Agar makalah ini dapat dipahami pembaca, maka penulis membuat
sistematika penulisan makalah sebagai berikut :
- BAB I PENDAHULUAN : Pendahuluan berisikan latar belakang mengenai
ajaran islam, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
- BAB II PEMBAHASAN : Pembahasan tentang sumber-sumber ajaran
agama islam yaitu, al-qur’an, as-sunnah (hadist), dan ijtihad.
- BAB III KESIMPULAN dan SARAN : Kesimpulan dan saran merupakan
bab terakhir yang berisikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan serta saran-
saran.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tiga Sumber hukum dalam islam

Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata


mashadir yang berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum.
Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah. Selain
menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti keterangan
yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan
qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai
kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah
SAW
Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah
laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang
diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh
anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum
Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah
Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf)
yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”. Maksud kata
“seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan
mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
Tiga sumbernya yaitu :
1. Al Qur’an
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan
secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat
An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim
berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di
dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti
segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.

Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.

1. Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg


berkaitan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar
2. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim
memilki budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.
3. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan
haji.
4. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam
masyarakat

Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.

1. Segi Kuantitas

Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa
kata

2. Segi Kualitas

Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:

1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan


rohaniyah dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan
keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu
Kalam
2. Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan
dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin
dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya
disebut Ilmu Fiqih
3. Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim
memiliki sifat – sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.

Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua kelompok:

1. Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat,
haji, nadzar, sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan
manusia dengan tuhannya.
2. Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan (muamalah) seperti
perjanjian perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian, pendidikan,
perkawinan dan lain sebagainya.

Hukum yang berkaitan dengan muamalah meliputi:

1. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga,


yaitu perkawinan dan warisan
2. Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan
jual beli (perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain.
Maksud utamanya agar hak setiap orang dapat terpelihara dengan tertib
3. Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang berhubungan
dengan keputusan, persaksian dan sumpah
4. Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang berhubungan dengan
penetapan hukum atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
5. Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu hubungan
antar kekuasan Islam dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan
kesejahteraan.
6. Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda, seperti
zakat, infaq dan sedekah.

Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an ada yang rinci dan ada yang
garis besar. Ayat ahkam (hukum) yang rinci umumnya berhubungan dengan
masalah ibadah, kekeluargaan dan warisan. Pada bagian ini banyak hukum
bersifat ta’abud (dalam rangka ibadah kepada Allah SWT), namun tidak tertutup
peluang bagi akal untuk memahaminya sesuai dengan perubahan zaman.
Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar, umumnya berkaitan
dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata negaraan, undang-undang
sebagainya. Ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan masalah ini hanya berupa
kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali hanya disebutkan nilai-nilainya, agar
dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang
berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya.
Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.

2. Hadits

Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber
hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk
menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi
Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT

Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)

Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku


Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan
akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap
dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan
budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua,
juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:

Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat
selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah
rasulnya”. (HR Imam Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai
berikut.

1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an,


sehingga kedunya (Al Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk
satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT didalam Al Qur’an menegaskan
untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam
firmannya.

Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)

Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.

1. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang


masih bersifat umum. Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan
shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat
garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara
melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak
memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan
oelh rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah
SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah
sebagai berikut:
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al
Maidah : 3)

Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai
mana yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada
bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah
SAW:
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun
dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah
adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
1. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al
Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan
membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara


membasuh sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR
Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)

Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:

1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil,
sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal.
Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang
dapat menodai keshohehan suatu hadits
2. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi
tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan
tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan
termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal
yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
3. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-
syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam
ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan
banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak
dipenuhi

Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:

1. Rawinya bersifat adil


2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berilat, dan
5. Hadits itu tidak janggal
3. Ijtihad

Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu


masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits,
dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada
cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat
dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog nabi
Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz
diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu
akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan
penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukum dengan Al
Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam
Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul
bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an
dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya
sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal,
tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam
menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:

1. mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan


hukum
2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan
Al Qur’an dan hadits
3. mengetahui soal-soal ijma
4. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.

Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan
sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah
SAW bersabda:

Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad


dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila
seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil
ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)

Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad,
tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan
membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah
SAW bersabda:

Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR


Nashr Al muqaddas)

Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas.
Ijma’ adalah kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim
pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang
kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami
dari firman Allah SWT:

Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri
diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)

Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan
dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan
demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh
ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian
membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini

Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada


hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara
keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya,
mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras
ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara
keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi,
walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap
diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya
dalam Al Qur’an.
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya
mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:

1. Dasar (dalil)
2. Masalah yang akan diqiyaskan
3. Hukum yang terdapat pada dalil
4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan

Bentuk Ijtihad yang lain

 Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak


dijelaskan secara kongret dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas
kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau unutk kepentingan
keadilan
 Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan
telah ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah
kedudukan dari hukum tersebut
 Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan
secara kongkret dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena
telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk
dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam.
Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan
oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits
 Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak
yang tidak diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari
maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti
atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar
kesepakatan yang telah ditetapkan.
 Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam
perkembangan hidupnya
 Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai
mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.

2.2 Fungsi, Tujuan dan Pembagian Hukum islam


- Fungsi Hukum Islam
Sebagaimana sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang
lingkup hukum Islam, bahwa ruang lingkup hukum Islam itu sangat luas. Hukum
Islam bukan hanya mengatur tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi
juga hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia
lain dalam masyarakat, manusia dengan benda, dan antara manusia dengan
lingkungan hidupnya. Dalam Al Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait
dengan masalah pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta
larangan bagi seorang muslim untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Bagi tiap orang ada kewajiban untuk mentaati hukum yang terdapat dalam Al
Qur’an dan Hadits.
Peranan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya
cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan
utamanya saja, yaitu :

a.    Fungsi Ibadah


Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah
SWT. Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan
kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi
keimanan seseorang.

b.    Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar


Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan
kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan
masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas
menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hukum  (Allah) dengan subyek dan
obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap hukum tidak pernah mengubah atau
memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya. Riba atau khamar tidak
diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap. Ketika suatu hukum lahir, yang
terpenting adalah bagaimana agar hukum tersebut dipatuhi dan dilaksanakan
dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat mengetahui bahwa cukup riskan
kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan
khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba dan khamar, akan tampak
bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali sosial. Hukum
Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum tidak dilecehkan dan
tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba dan khamar memang
hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung, lingkungannya ikut
terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami, fungsi kontrol
yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi ini dapat
disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai tujuan hukum
Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan, baik
di dunia maupun di akhirat kelak.

c.    Fungsi Zawajir


Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina,
yang disertai dengan ancaman hukum atau sanksi hukum. Qishash, Diyat,
ditetapkan untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana
tertentu (pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk
tindak pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum
mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi
warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang
membahayakan. Fungsi hukum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.

d.   Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah


Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur
sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah
masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum
Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat
dalam hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah
muamalah, yang pada umumnya hukum Islam dalam masalah ini hanya
menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya. Perinciannya diserahkan
kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang masing-masing,
dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan pokok dan nilai
dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke empat
fungsi hukum Islam tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang
hukum tertentu, tetapi satu dengan yang lain saling terkait. (Ibrahim Hosen, 1996 :
90).

- Tujuan Hukum Islam


Tujuan Hukum Islam secara umum adalah Dar-ul mafaasidi wa jalbul
mashaalihi (mencegah terjadinya kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan),
mengarahkan manusia pada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup mereka
dunia dan akhirat, dengan jalanmengambil segala yang berguna dan mencegah yang
mudlarat dalam kehidupan manusia.
Abu Ishaq As-Sathibi merumukan 5 tujuan hukum islam :
1. Memelihara AgamaAgama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap
manusia agar martabatnyadapat terangkat lebih tinggi. Beragama
merupakan kebutuhan manusia yang harusdipenuhi, karena agamalah yang
dapat menyentuh nurani manusia. Agama islamharus terpelihara dari
ancaman orang-orang yang merusak akidah, syari’ah dan akhlak atau
mencampuradukkan agma islam dengan paham yang bathil. Agama
islammemberi perlindungan kepada pemeluk agama lain untuk
menjalankan ibadah sesuaikeyainannya. Agama islam juga tidak
memaksakan pemeluk agama lain untuk memeluk agama islam.(Al-
Baqarah:256)
2. Memelihaa JiwaMenurut hukum islam jiwa harus dilindungi. Hukum
islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan
kehidupannya. Islam melarangpembunuhan sebagai upaya menghilangkan
jiwa manusia dan melindungi berbagaisarana yang dipergunakan manusia untuk
mempertahankan kemaslahatanhidupnya.(QS.6:151;QS.17:33;QS.25:68)
3. Memelihara AkalAkal memiliki peranan penting dalam hidup dan
kehidupan manusia. Dengan akalmanusia dapat memahami wahyu Allah
baik yang terdapat dalam kitab suci (ayat-ayatQauliyah) maupun yang
terdapat pada alam (ayat-ayat Kauniyah). Dengan akalmanusia dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seseorang tidak
akndapat menjalankan hukum islam dengan baik dan benar tanpa
mempergunakan akalyang sehat. Untuk itu islam melarang keras minuman
yang memabukkan danmemberikan hukuman pada perbuatan orang yang
merusak akal. (QS.5:90)
4. Memelihara KeturunanMemelihara keturunan di dalam islam adalah hal
yang sangat penting. Karena itu,meneruskan keturunan harus melalui
perkawinan yang sah menurut ketentuan islamyang ada dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah dan dilarang melakukan perbuatan zinahukum kekeluargaan
dan hukum kewarisan yang ada dalam Al-Qur’an merupakanhukum yang erat
kaitannya dengan pemurnian keturunan dan pemeliharaan keturunan.
(QS.4:23;QS.17:32)
5. Memelihara HartaMenurut ajaran islam harta merupakan pemberian Allah
kepada umat manusia demikelangsungan hidupnya. Untuk itu manusia
dilindungi haknya untuk memperolehharta dengan cara-cara yang halal,
sah menurut hukum dan benar menurut ukuranmoral.

- Pembagian hukum dalam islam


Hukum dalam islam ada lima yaitu :
a. Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi
(dikerjakan), maka yang mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak
dikerjakan maka ia akan berdosa.

b. Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak
berdosa.
c. Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan
atau ditinggalkan mendapat pahala, sebagaiman dijelaskan oleh nabi Muhammad
SAW dalam sebuah haditsnya yang artinya:
Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah.
Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang
paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk
orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu
sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa.
Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan
Tirmidzi)

d. Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak
berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala.

e. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Kalau
dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.

2.3 Keunggulan hukum islam dari hukum positif


bahwa hukum islam mengatur hubungan antara Allah dan hamba-Nya
atas dasar agama yang berlandaskan kepada pamrih ukhrawi dan perhitungan
terhadap amal-amal zhahir dan batin. Adapun hukum positif tidak memiliki semua
itu, tidak ada perhitungan dan pamrih kecuali yang tampak saja dan berhubungan
dengan orang lain. Jadi, tidak ada filter yang terkait dengan hati nurani.
hukum islam memerintahkan yang baik dan mencegah yang munkar.
Ia mencakup segala bentuk kebaikan dan memotivasinya, mencegah yang munkar
dan mewanti-wantinya. Adapun hukum positif hanya mengatasi masalah
kerusakan (akibat negatif) dan andaikan ada kebaikan, itu hanya konsekuensi
logis. Oleh karena itu balasannya hanya bersifat duniawi yang dilaksanakan oleh
para penguasa. Sedangkan hukum islam, taat dan patuh dinilai sebagai ibadah,
mendapat pahala dan mendapat kebaikan duniawi, melanggarnya dianggap
maksiat dan dosa.

2.4 Komitmen seorang muslim terhadap tiga sumber hukum


islam

Hasan Al-Bana menegaskan bahwa awal kesiapan seseorang untuk


memasuki tahapan takwin dan tanfidz ialah jika ia memiliki At Tha’atu Kaamilah
atau ketaatan yang sempurna. Oleh karena itu sasaran dalam berjamaah tidak akan
terwujud tanpa adanya seorang yang komit atau beriltizam dalam melaksanakan
suatu tindakan untuk mencapai tujuannya.

Iltizam adalah komitmen terhadap Islam dan hukum-hukumnya secara


utuh dengan menjadikan Islam sebagai siklus kehidupan, tolak pikir, dan sumber
hukum dalam setiap tema pembicaraan dan permasalahan (Fathi Yakan).
Sebagaimana perintah Allah ta’ala dalam QS 2: 208 agar seorang mukmin masuk
ke dalam Islam secara kaffah.

QS 2: 208: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam


Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
1. Dua Jenis Iltizam

Iltizam diklasifikasikan menjadi dua bagian:

a. Iltizam terhadap Syariat meliputi:

1. Aqidah Salimah; Beriltizam atau memiliki komitmen terhadap aqidah


shahihah. Yang dimaksud dengan aqidah salimah ialah akidah yang sehat, bersih
dan murni terbebas dari segala unsur nifaq dan kemusyrikan.

2. Ibadah Shahihah; Beriltizam atau berkomitmen terhadap ibadah yang salimah


dan istimrar (kontinyu). Seorang a’dha sebagai muslim memiliki kewajiban untuk
melakukan ibadah yang shahih terbebas dari segala bid’ah dan khurafat.

3. Akhlaq Hamidah, Memiliki komitmen atau beriltizam kepada akhlaq hamidah


(akhlak terpuji). Akhlaq hamidah jelas harus dimiliki oleh seorang a’dha yang
beriltizam. Dan akhlaq hamidah yang dimaksud tentu saja akhlak yang Islami dan
qurani.

4. Dakwah wal Jihad, Komit atau memiliki iltizam terhadap dakwah dan jihad.
Seorang a’dha yang memiliki komitmen terhadap jamaah dengan harakah, tentu
saja harus memiliki iltizam terhadap dakwah dan jihad.Ada konsekuensi logis
ketika seseorang beriltizam pada jihad yakni ia juga harus beriltizam terhadap
segala sesuatu yang merupakan persiapan untuk itu seperti tarbiah takwiniah yang
istimrar dan lain-lain.

5. Syumul wa Tawazun. Berkomitmen atau beriltizam untuk syumul wa


tawazun. Dienul Islam ajaran yang syamil (integral, komprehensif) dan mutakamil
(utuh) serta mutawazinah (seimbang). Islam melarang manusia kikir, tetapi juga
tidak membolehkan berlaku boros, israf ataupun melakukan kemubadziran. Jadi
seorang a’dha dalam Iltizamnya terhadap syariah harus memiliki komitmen pada
syumuliatul dan ketawazunan Islam.
b. Iltizam terhadap Jamaah melingkupi:

1. Iltizam terhadap bai’ah. Transaksi ‘jual-beli’ antara Allah sebagai pembeli dan
mukmin sebagai penjual ini erat kaitannya dengan masalah bai’ah. Sikap iltizam
terhadap bai’ah yang telah diucapkan nampak jelas pada tokoh Anshar, Habibi bin
Zaid. Ia disiksa Musailamah Al-Kadzab karena tidak mau mengakuinya sebagai
nabi, tidak rela menodai bai’ah yang telah Habib bin Zaid diucapkannya walaupun
untuk itu ia harus menebusnya dengan nyawa. Tubuhnya dicabik-cabik dan
disayat-sayat selagi masih hidup. Sekali kita mengucapkan bai’ah seumur hidup
kita terikat untuk beriltizam kepadanya.

2. Komit terhadap Ansyithah (kegiatan-kegiatan) baik yang kharijiah (eksternal)


maupun dakhiliyah (internal). Kegiatan internal seperti berusaha selalu hadir
dengan tepat waktu dalam acara rutinyang diadakan secara berkala.Intensitas
keterlibatan kita yang tinggi dengan semua kegiatan jama’ah insya Allah akan
membuat iltizam kita kepada jamaah semakin kokoh.

3. Beriltizam terhadap wazhifah (tugas-tugas) yang dibebankan jamaah


kepadanya. Iltizam atau komitmen terhadap tugas yang dipikulkan pada kita
merupakan aspek yang pokok dan mendasar dalam hubungan struktural tanzhim,
seorang a’dha harus menyesuaikan diri dengan segala tugas yang dipikulkan ke
pundaknya. Baik tugas itu disukai atau tidak dan baik ia sedang rajin maupun
malas.

4. Iltizam atau komit terhadap infaq. Keutamaan berinfaq atau berjuang dengan
harta dan jiwa (QS 9: 111, 61:10-11) sangat sering diungkapkan dalam firman-
firman Allah. Bahwa ia akan membalasnya dengan beratus-ratus kali lipat, bahkan
dengan surga.Maka suatu kewajaranlah bila kita yang telah berbaiat ini terikat
untuk memenuhi kewajiban berinfaq, baik yang wajib maupun yang sunnah.

5. Beriltizam terhadap Qararat (keputusan-keputusan) jamaah. Seorang a’dha


harus berusaha menjalankan tugasnya sebaik-baiknya di manapun ia diputuskan
oleh jamaah untuk ditempatkan. Ia terikat dengan keputusan-keputusan,
kebijakan-kebijakan jamaah dengan perintah-perintah qiyadah. Sekalipun
bertentangan dengan keinginan dan pendapat pribadi. Hendaknya kita harus selalu
berprasangka baik bahwa keputusan tersebut adalah yang paling tepat untuk
mendatangkan kemaslahatan.

6. Komit terhadap “Tha’atul Qiyadah”. Ketaatan seorang muslim yang total,


utuh dan bulat, memang hanya kepada Allah dan Rasul-Nya (QS 3: 31, 32, 132, 4:
59, 80). Namun di ayat 4: 59 itu pun disebutkan kewajiban taat kepada pemimpin
atau ulil amri yang beriman sepanjang tidak dalam rangka kemaksiatan dijalan
Allah.Seorang a’dha yang telah mengucapkan bai’ah untuk taat dalam giat atau
malas, suka atau tidak suka keadaan harus menaati qiyadahnya atau naqibnya
sebagai sosok kepemimpinan dalam jamaah yang terdekat dengannya.

1. Penerapan Sikap dan Perilaku yang mencerminkan penghayatan

terhadap sumber hukum Islam adalah sebagai berikut:

a.Senantiasa berhati-hati dalam bertindak atau melakukan sesuatu, apakah boleh


dilakukan atau tidak.

b.Melaksanakan salat fardu, puasa, zakat, dan haji/umrah sesuai dengan syariat
yang telah ditentukan berdasarkan al-Quran dan hadis Nabi saw.

c.Melaksanakan salat rawatib (qabliyah dan ba'diyah), atau salat-salat sunnah


lainnya.

d.Senantiasa berpuasa sunnah seperti hari Senin dan Kamis.

e.Menjauhi perbuatan-perbuatan yang hukumnya makruh karena nantinya akan


menjadi haram.

f.Melaksanakan perbutan-perbuatan baik dan menjauhi perbautan-perbutan yang


hukumnya haram.

g.Senantiasa berkonsultasi kepada yang layak diminta nasihat mengenai perbuatan


yang akan dilakukan tetapi masih ada keraguan.
2.5 Fungsi agama dalam mengatasi persoalan dalam masyarakat

Dalam hal fungsi, masyarakat dan agama itu berperan dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat   dipecahakan  
secara   empiris   karena   adanya   keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.
Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan   fungsinya   sehingga  
masyarakat   merasa   sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Agama dalam
masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut :

a.       Fungsi edukatif.


Agama memberikan bimbingan dan pengajaaran dengan perantara
petugas-petugasnya (fungsionaris) seperti syaman, dukun, nabi, kiai, pendeta
imam, guru agama dan lainnya, baik dalam upacara (perayaan) keagamaan,
khotbah, renungan (meditasi) pendalaman rohani, dsb.

b.      Fungsi penyelamatan.


Bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup
sekarang ini maupun sesudah mati. Jaminan keselamatan ini hanya bisa mereka
temukan dalam agama. Agama membantu manusia untuk mengenal sesuatu “yang
sakral” dan “makhluk teringgi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya.
Sehingga dalam yang hubungan ini manusia percaya dapat memperoleh apa yang
ia inginkan. Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang salah dengan
Tuhan dengan jalan pengampunan dan Penyucian batin.
c.       Fungsi pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu :

 Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik


bagi kehidupan moral warga masyarakat.
 Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral ( yang
dianggap baik )dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system
hokum Negara modern.

d.      Fungsi memupuk Persaudaraan.


Kesatuan persaudaraan berdasarkan kesatuan sosiologis ialah kesatuan
manusia-manusia yang didirikan atas unsur kesamaan.

 Kesatuan persaudaraan berdasarkan ideologi yang sama, seperti liberalism,


komunisme, dan sosialisme.
 Kesatuan persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama. Bangsa-
bangsa bergabung dalam sistem kenegaraan besar, seperti NATO, ASEAN
dll.
 Kesatuan persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan kesatuan tertinggi
karena dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari
dirinya saja melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas
yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercayai bersama
e.       Fungsi transformatif.
Fungsi transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan
baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru yang
lebih bermanfaat.
Sedangkan  menurut   Thomas   F.  O’Dea  menuliskan   enam  fungsi agama dan
masyarakat yaitu:
1.      Sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi.
2.      Sarana hubungan  transendental  melalui  pemujaan dan upacara
Ibadat.
3.      Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada.
4.      Pengoreksi fungsi yang sudah ada.
5.      Pemberi identitas diri.
6.      Pendewasaan agama.
Sedangkan menurut  Hendropuspito  lebih ringkas  lagi,  akan tetapi  
intinya   hampir   sama.   Menurutnya   fungsi   agama   dan masyarakat   itu  
adalah   edukatif,   penyelamat,   pengawasan   sosial, memupuk persaudaraan,
dan transformatif.
Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia
dan masyarakat, karena agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki
derivasi pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan
pembenaran dalam mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan
masyarakat. Agama menjadi sebuah pedoman hidup singkatnya. Dalam
memandang nilai, dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai  agama
dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma  atau
prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di sudut pandang emosional yang
menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sumber ajaran
islam ada tiga macam, yaitu Al-qur’an, hadits dan ijtihad.  Al-qur’n sebagai
sumber hukum Islam yang pertama yaitu Al-qu’an berisi tentang semua
kehidupan yang ada di alam, perintah, akidah dan kepercayaan, akhlak yang
murni, mengenai syari’at dan hukum dan sebagai petunjuk umat Islam. Sedangkan
Hadits itu sebagai sumber ajaran islam karena dalam Dalil al-qur’an mengajarkan
kita untuk mempercayai dan menerima apa yang telah disampaikan oleh Rasul
untu dijadikan sebagai pedoman hidup. Selain itu dalam hadits juga terdapat
pertnyataan bahwa berpedoman pada hadits itu wajib, bahkan juga terdapat dalam
salah satu pesan Rasulullah berkenaan menjadikan hadist sebagai pedoman hidup
setelah Al-qur’an sebagai sumber yang pertama. Ijtihad sebagai sumber ajaran
karena melalui konsep ijtihad, setiap peristiwa baru akan didapatkan ketentuan
hukumnya Dari pemaparan makalah kami tersebut kita tahu bahwa sumber ajaran
islam sangat penting sebagai pedoman hidup, untuk itu hendaknya apabila kita
melenceng dari salah satu sumber ajaran tersebut, maka akan menjadikan hal yang
fatal.

3.2 Saran
Kita sebagai makhluk Allah hendaknya kita beriman dan bertaqwa kepada
Allah SWT, karena Allah telah menciptakan kita dengan sangat sempurna
dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain. Kita juga diberi akal oleh Allah
seharusnya kita berpikir sebelum kita melakukan sutu tindakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Dan sebagai seorang kholifah di muka bumi ini kita
seharusnya juga bisa menjadi seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Dan
jangan sampai kita berkhianat atas kepercayaan yang sudah diberikan kepada kita.
Daftar Pustaka
1. Mahfud, Rois. Al-Islam PendidikanAgama Islam, Jakarta: Penerbit Erlangga,
2011
2. H Daud Ali, Muhammad. Hukun Islam. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada. 2007.
3. http://lylamasiv.blogspot.co.id/2013/05/ijtihad-dan-fungsi-hukum-
islam-dalam.html
4. http://mardiunj.blogspot.com/2010/06/sumber-sumber-hukum-islam.html

Anda mungkin juga menyukai