Anda di halaman 1dari 12

FILSFAT MANUSIA DAN THERAPI MULTIKULTURL

UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2016
Pengantar
Corey menulis “Spesialis multicultural telah menegaskan bahwa teori konseling dan psikoterapi
merupakan pandangan dunia yang berbeda-beda tentang dunia, masing-masing dengan nilai, bias
dan asumsinya tentang perilaku manusia”. Selama lebih kurang 30 tahun terakhir, minat di
bidang konseling dan terapi yang peka terhadap keragaman terus meningkat. Perbedaan fokus
literature yang sedang berkembang ini termasuk antara lain dalam hal budaya, ras, gender,
orientasi seksual dan afeksi, disabilitas, agama, status sosial-ekonomi, dan campuran faktor-
faktor ini (Weinrach & Thomas, 1998). Sue dan Sue menulis “ Oleh karena tidak seorang pun di
antara kita kebal dari mewarisi citra/stereotype masyarakat yang lebih besar, maka kita dapat
berasumsi bahwa sebagian besar terapis terpidana oleh pengondisian cultural sendiri. Akibatnya
mereka memiliki streotipe dan prasangka yang mungkin secara tanpa sengaja diterapkan pada
klien-klien mereka yang secara cultural berbeda-beda”.

A. Definisi Konseling Multikultural

Definisi multicultural counseling terapy menurut D.W. Sue adalah bantuan dimana peran
dan proses didalamnya menggunakan pengalaman hidup dan nilai-nilai budaya konseli,
mengakui identitas konseli meliputi individu, kelompok dan dimensi universal mendukung untuk
menggunakan strategi budaya secara khusus ataupun umum mempertimbangkan kepentingan
individual dan kolektif(kelompok) dalam melakukan pengukuran diaknosis dan treatmen dalam
konseli dan system konseling.

Munculnya penelitian tentang multicultural ini berawal dalam penelitian konseling dan
psikologi tentang ras dan etnis, karena di Amerika membedakan antara ras kulit putih dengan ras
kulit hitam. Maka dari itu terdapat 3 model yng mengkonseptualisasikan penelitian yang
bertemakan ras dan bahasa kaum minoritas (Casas, 1985; Katz, 1985 ;Ponterotto, 1988; Sue &
Sue, 1990)

1. Tentang inverioritas dan pathogical, yang menyatakan bahwa para minoritas lebih rendah
disbanding kulit putih
2. Para kulit hitam, ras, dan minoritas lain tidak cukup secara genitas disbanding kulit putih.
3. Penurunan budaya yang menyatakan para ras dan kaum minoritas tidak memiliki “budaya
yang benar”

Dalam sepuluh tahun terakhir, konsep-konsep baru dan berbeda muncul dalam literatur, seperti,
culturally different model (Katz, 1985; Sue, 1981), Multicultural model (Johson, 1990).
Asumsi dari Model-model tersebut adalah
1. Keyakinan bahwa perbedaan budaya tidak sama dengan “ deviancy”, “pathology”, atau
“inveriority”
2. Rasial dan minoritas etnis adalah “Bicultural” dan berfungsi dalam dua konteks budaya
yang berbeda
3. “Bicultural” dipandang sebagai kualitas positif dan diharapkan memperkaya potensi
kehidupan dalam segala hal
4. Individu-individu di pandang dalam hubungannya dengan lingkungannya dan kekuatan
social yang lebih besar, daripada secara individual atau kelompok minoritas.

Jadi dari asumsi-asumsi diatas mencerminbkan penerimaan premis bahwa ras, etnik dan
kultur merupakan variable terkuat yang mempengaruhi bagaimana orang berfikir membuat
keputusan, dan menegaskan suatu peristiwa.

Definisi luas dari “multikulturalisme” istilah mencakup berbagai macam variable social
atau peerbedaan. Pendidikan multicultural adalah gagasan yang menyebutkan bahwa semua
siswa, tanpa peduli dalam kelompok manapun mereka masuk, seperti kelompok yang terkait
dengan jender, suku bangsa, ras, budaya, kelas sosial, agama atau pengucilan, seharusnya
mengalamikesetaraan pendidikan disekolah. Penelitian menunjuk kan bahwa klien dari
kelompok minoritas etnis adalah yang paling mungkin untuk memanfaatkan layanan konseling.
Satu penjelasan untuk hal itu adalah kegitan etnosentris, berdasarkanilai-nilai kelas menengah
putih, suatu pendekatan yang dapat menjauhkan orang dari budaya lain. Pendekatan multicultural
untuk konseling tantangan asumsi bahwa salah satu gaya wawancar dapat di alihkan kepada
semua klien. Bagian ini membahas teori konseling miltikultural, definisi, dan modal
multikulturalisme, menyoroti implikasi ini telah dii bagi praktis, bimbingan teori konseling
multicultural dan terapi. Sebagian besar karir konseling dan bimbingan praktis siap mengakui
bahwa setiap klien adalah unik, dan bahwa individu harus di terima dan di hormati.
Ada hal penting bagi kita untuk tidak menyederhanakn konsep multicultural. Pada
tingkatan tertentu, culture dapat dipahami sebgai “cara hidup sesorang atau sekelompok orang “.
Dalam setiap usaha memahami kata “kultur” merupakan keharusan untuk menggunakan
kontribusi yang dibuat oleh disiplin keilmuan social yang khusus mendeskripsikan serta
memberikan pemahaman terhadap berbagai kultur yang berbeda, yaitu antropologi social. Tradisi
riset antropolgi sosial selalu mengambil pandangan yang meyatakan bahwa bersikap adil
terhadap kompleksitas sebuah kultur hanya dimungkinkan dengan hidup didalamnya selama
waktu tertentu, dan melaksanakan serangakaian observasi sistematik dan seksama terhadap cara
anggota kultur tersebut membangun dunia yang mereka kenal melalui cara seperti hubungan
darah, ritual, mitologi, dan bahasa,. Dalam bahasa Clifford Geertz, antropolog paling tertanam
saat ini, kultur dapat dipahami sebagai:

Pola makna yang tertanam dalam sinbol dan transmisikan secara histories, sebuah system
konsepsi turunan yang diekspresikan dalam bentuk simbolik yang digunakan (orang-orang)
untuk berkomunikasi,, bertahan hidup, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang hidup
dan sikap terhadapnya.

Diantara karakteristik identitas cultural terpenting dalam area keyakinan dan asumsi tang
mendasarinya adalah:

 Bagaimana realitas dipahami, misalnya dualistic atau holistic


 Konsep diri (otonom, terikat, referensi versus sosial, terdistribusi, indeksikal)
 Rasa moral (misalnya pilihan dengan takdir, nilai)
 Konsep waktu(liniear, tersegmentasi, berorientasi ke masa depan, menghormati yang tua)
 Perasaan akan tanah air, lingkungan, tempat.

Diantara dimensi terpenting interpersonal dan kehidupan sosial yang dapat diamati secara

eksternal adalah:

 Prilaku noverbal, kontak mata, jarak, gerakan tubuh, sentuhan


 Penggunaan bahasa (misalnya reflektif versus analitis deskriptif, linearitas cerita
 Pola hubungan darah dan huibungan antar sesame (hubungan mana yang paling
penting?)
 Hubungan gender
 Ekspresi emosi
 Peran penyembuh dan teori penyembuhan.

Bagai para konselor multicultural, karakteristik ini mereprepentasikan jenis “checklist”


mental yang dapat dugunakan untuk mengeksplorasi dunia si klien, dan untuk membangun
sebuah dunia klien-konselor yang bersifat mutual dan saling membantu.

Asal-Usul Dan Relevansi Konseling Multikultural

Bimrose (1996-p238) menelusuri asal-usul multicultural konseling untuk gerakan hak


Sipil di Amerika di pertengan tahun 1970-an. Pada saat ini, pertanyaan di Tanya tentang
sekelompok orang yan tidak pernah konseling, atau jika mereka dating untuk sesi pertama, tidak
kembali. Pola yang jelas muncul. Klien dari kelompok minoritas etnis yang paling mungkin
untuk meminta dan bertahan dengan konseling.
Penjelasan yang paling banyak diterima adalah bahwa konseling (dan pedoman)
paraktek merupakan kegiatan etnosentris. Beberapa ahli berpendapakt bahwa pendekatan arus
utama putih, kegiatan kelas menengah yang beroperasi dengan nilai-nilai khas banyak dan
asumsi. Misalnya, bahwa klien di masa yang akan datang dan tindakan yang berorientasi.
Pendekatan tersebut etnossentris atau budaya dekemas (Wrenn 1985). Di pusat mereka
memegang gagasan normalitas berasal dari budaya kulit putih, yang tidak relevan dengan banyak
klien dan memiliki potensi untuk menjauhkan mereka. Penjelasan tentang mengapa klien etnis
yang berbeda menemukan mainsteam konseling tidak membantu memiliki relevansi sama
dengan perbedaan klien lain seperti jenis kelamin, preferensi seksual dan cacat. Pesan utama
untuk beragam kelompok klien.
Adanya perubahan sosial yang sangat pesat, menjadi bagian yang penting bagi
perkembangan konseling multicultural dan terapi multicultural dalam 25 tahun terakhir Salah
satu penyebab utamanya adalah perubahan sosial berupa globalisasi dan peningkatan frekuensi
pertemuan antar lintas budaya langsung dan tidak langsung yang difasilitasi oleh teknologi
canggih transportasi dan telekomunikasi. Sumber kedua adalah perubahan gelombang di seluruh
dunia melalui migrasi.

Salah satu adaptasi Jepang tentang terapi CBT adalah terapi komitmen (ACT) yang
dikembangkan oleh Hayes. Peningkatan dalam pelatihan keterampilan sosial (SST) untuk anak-
anak sebagai bagian dari kegiatan kelas reguler diadaptasi dan dikembangkan pedoman SST.
Penyebaran terbaru dari terapi kognitif-behavior untuk negara-negara non-Barat menunjukkan
minat mereka dalam pendekatan berbasis bukti dalam pelayanan kesehatan mental, intervensi
sekolah, dan konsultasi.

Evaluasi terapi kognitif-behavior menggunakan analisis fungsional sebagai alat


pengumpulan data yang sistematis untuk menganalisis interaksi perilaku sasaran dan peristiwa
lingkungan, termasuk tanggapan dari lingkungan sosial, dan mengembangkan hipotesis tentang
target penyebab dan pemeliharaan perilaku yang dipilih (Sturmcy, 1996). Analisis fungsional
menekankan pendekatan ideografik untuk penilaian dalam lingkungan budaya langsung individu.
Contohnya untuk menggambarkan, gejala serangan panik (seperti, mual, sakit kepala, pusing,
mati rasa). Terapis menilai keterkaitan antara tiga unsur urutan anteseden-perilaku-consecuence
dan mengembangkan hipotesa tentang faktor-faktor lingkungan mempertahankan gejala somatik
dari serangan panik dan perilaku menghindar. Meskipun analisis fungsional akan
mengungkapkan hubungan sistematis antara isyarat lingkungan yang terkait dengan gejala
somatik, klien dapat menggunakan penjelasan alternatif dari pengalaman menyedihkan yang
sama berdasarkan keyakinan budaya tentang kesehatan dan perilaku penyakit.

Dua domain yang tumbuh dalam psikoterapi yaitu psikoterapi multikultural dan
psikoterapi didukung secara empiris (Chambless & Ollendick, 2001) dengan fokus pada terapi
kognitif-behavior. Perspektif multikultural yang nyata diperlukan untuk memberikan budaya
responsif terapi cognitif-behavior kepada orang lain dari latar belakang budaya yang beragam,
baik nasional maupun internasional (Hays & Ivvamasa, 2006; Tanaka-Maisumi, Higginbotham,
& Chang, 2002) yang bertujuan untuk mengintegrasikan perspektif multikultural dengan
pendekatan fungsional untuk terapi kognitif-behavior.

Multicultural Cognitive Behavior Therapy


1. Analisis Pendekatan Fungsional

Analisis fungsional adalah proses yang berkelanjutan di mana terapis memonitor variabel
terapi dan perilaku sasaran sepanjang durasi terapi, dan menyediakan suatu pendekatan
empiris untuk formulasi klinis kasus, intervensi, dan evaluasi (Haynes &: O'Brien, 1990,
2000).Evaluasi Cognitif-behavior terapi didasarkan pada penggunaan empirical single-
subject designs dan penilaian hubungan fungsional antara perilaku klien dan lingkungan.
Langkah Penilaian Fungsional budaya Informed (CIFA) melalui kerangka ABC.

Penilaian Fungsional budaya Informed (CIFA)


Identitas budaya klien dan tingkat akulturasi
Menyajikan maslaah klien
Konseptualisasi masalah klien dan kemungkinan solusi
Assesment fungsional dari antecendent-target-consequence
Identifikasi masalah perilaku
Assesment antecendent dan consequence
Pemilihan perilaku sasaran untuk perubahan
Pemilihan alternatif perilaku
Pemilihan teknik intervensi
Pemilihan agen perubahan
Memperhatikan motivasi dan pengembangan faktor
Evaluasi proses dan hasil
Negosiasi analisis fungsional dan penjelasan kausal dari masalah klien
Pengembangan rencana perawatan yang dapat diterima semua pihak
Pengumpulan Data
Diskusi durasi pengobatan, course, dan pengecualian hasil
Sources : Nezu, nezu, Friedman & Haynes (1997); Seiden (1999); Tanaka-Matsumi,
Seiden, & Lam (1996)

Tujuan dari analisis fungsional adalah "identifikasi, pengontrolan, hubungan fungsional


kausal untuk perilaku target klien/individu tertentu" (Haynes & O'Brien, 1990, hal. 654). Setelah
perilaku sasaran, tugas ini adalah untuk memantau terjadinya perilaku sasaran dan kejadian dari
situasi tertentu, dan konsekuensi perilaku target, termasuk respons orang lain dan perilaku
seseorang konsekuen sendiri dalam hubungan sosial klien.

2. Kognitif Behavior Therapy Responsif Budaya

Cognitive-Behavioral Therapy responsive budaya: Assessment, Praktek, Pengawasan menandai


awal baru dalam terapi kognitif-behavior dan konseling multikultural. Budaya responsif, terapis
cognitif-behavior dilatih untuk mengajukan pertanyaan penting berkaitan dengan hubungan
fungsional antara ekspresi nilai-nilai marabahaya dan budaya klien, atau dampak dari etnis klien
dan religiusitas dalam mengatasi masalah. Analisis kognitif-behavior yang sensitif budaya
mengatasi beberapa gejala somatik PTSD dan serangan panik. Analisis fungsional
mengidentifikasi kejadian sebelumnya dan konsekuensi dari perilaku bermasalah dalam jaringan
sosial klien. Faktor budaya dipandang tertanam dalam lingkungan sosial yang lebih besar klien
dan sejarah penguatan (Biglan, 1995; Skinner, 1971).

TUJUAN TERAPI

a. Dukungan
Migran membutuhkan dukungan yang peka terhadap budaya ketika mereka baru tiba di
negara barunya. Pikiran tentang stress kumulatif yang terlibat dalam kepindahan ke
sebuah budaya baru termasuk perubahan rumah, jauh dari orang-orang tercinta dan
jaringan dukungan sebelumnya, kesulitan bahasa, perubahan iklim, perubahan
lingkungan fisik, rindu kampong halaman, kesepian, kekhawatiran financial,
kekhawatiran tentang pendidikan anak-anak dan bagi banyak migrant, insiden-insiden
rasis.
b. Mengatasi stress pasca-trauma
Banyak migrant adalah pengungsi dan sebagian menderita gangguan stress pasca-trauma.
Alasan traumatisasinya termasuk menjadi korban perang, menyaksikan kekerasan dan
hidup di tengah desing peluru, penyiksaan, kelaparan, pemenjaraan, penahanan, dan
perkosaan. Migran semacam itu mungkin terus mengalami kembali pengalaman
traumatiknya, penumpilan afek atau terombang-ambong di antara hyperarousal dan
penumpulan afek. Migran yang mengalami trauma, bersama keluarga dan jaringan
pendukungnya, membutuhkan terapi gangguan stress pasca trauma yang peka terhadap
budaya.
c. Membantu akulturasi dan asimilasi
Literatur multicultural sering kali terlalu negative terhadap sisi baik budaya arus – utama
seperti yang ada di Inggris, Australia, dn Amerika.
d. Membantu klien menghadapi hubungan lintas-budaya
Kesulitan dalam hubungan lintas-budaya bisa muncul dalam berbagai bentuk. Terapis
dapat membantu para anggota Negara tuan rumah dan migrant generasi pertama untuk
mengembangkan keterampilan untuk menerima perbedaan, berusaha menjangkau satu
sama lain, dan membangun jembatan dan bukan penghalang di antara kedua budaya.
e. Membangkitkan kesadaran dan pembebasan
Bagi klien yang mengalami diskriminasi dan penindasan berdasarkan budaya dan ras,
tujuan terapinya bisa dan seharusnya menyangkut isu-isu perkembangan identitas budaya.
f. Menghindari marginalisasi lebih jauh
Terapis perlu menyadari bahwa, jika mereka mengejar agenda budaya secara
serampangan, ia akan lebih membawa kerugian daripada keuntungan bagi kliennya. Akan
tetapi, ada bahaya bahwa terapis berkolusi jika sebagian klien minoritasnya semakin
memarginalkan dirinya dengan “demonizing” (menjelek-jelekkan) budaya tuan
rumahnya, yang menjadikan hidupnya lebih buruk dan memainkan permainan psikologis.
g. Mencapai tingkat perkembangan yang kebih tinggi
Tujuan sebagian klien yang berbeda secara budaya mungkin adalah lebih berorientasi ke
arah pertumbuhan daripada beradaptasi dengan budaya arus utama Apa yang merupakan
tingkat perkembangan yang lebih tinggi bisa bervariasi menurut budaya dan pendekatan
terapeutik yang dipakai. Sebagai contoh, budaya Timur menekankan konsentrasi tinggi,
penyucian mental, kebajikan, kasih sayang, ikut senang dan prestasi orang lain,
ketenangan hati, kearifan dan pelayanan yang tidak mementingkan diri sendri.

STRATEGI TERAPI MULTIKULTURAL


 Sikap dan keyakinan konselor dan terapis yang terampil secara budaya termasuk
menghargai keyakinan religious dan budaya dari klien tentang fungi fisik dan mental,
menghormati praktik-praktik membantu pribumi, dan menghargai bilingualism. Basis
pengetahuan mereka termasuk memahami bagaimana ciri-ciri terkait budaya, terkait
kelas, dan monolingual bertabrakan dengan nilai-nilai budaya dan kelompok minoritas,
menyadari penghalang institusional bagi kelompok minoritas yang menggunakan layanan
bantuan.
 Kemampuan untuk mengirimkan komunikasi verbal dan nonverbal secara akurat,
berinteraksi dengan bahasa yang diminta klien atau membuat ketepatan rujukan,
mengepaskan hubungan dan intervensi terapeutik dengan tahap perkembangan identitas
budaya dan rasial klien dan terlibat berbagai macam peran bantuan.

TERAPI NON BARAT


Sue dan Sue (2003) mengatakan bahwa terapis seharusnya juga mau berkonsultasi
dengan para penyembuh tradisional.

a. Meditasi
Meditasi cenderung sentral bagi pendekatan-pendekatan terapi Asia. Meditasi
dapat dibagi menjadi dua katagori: mindfulness of breathing atau breath meditation
dan awareness or insight meditation. Meditasi pernapasan terdiri atas konsentrasi
yang relkas pada pernapasan, pada saat mengambil naas dan mengerluarkan napas.
Meditasi pernapasan dapat dilakukan dengan duduk, berdiri, berjalan atau bersandar.
Meditasi insight Buddhis termasuk dengan tenang menyadari kefanaan pengalaman
apapun dan sensasi yang timbul dan meditasi yang mengolah keempat tempat ilahiah
pikiran: kasih sayang, welas asih, simpati, dan ketenangan hati (Thitavanno,
1995,2002).
Walsh (2000) melihat bahwa meditasi dapat memunculkan beragam insight dan
pengalaman dari waktu ke waktu. Misalnya, banyak klien mendapatkan insight bahwa
ia biasanya tidak memiliki kontrol mental.
b. Terapi Naikan
Terapi Naikan adalahs ebuah pendektan Jepang yang diadaptasi dari praktik meditasi
Buddhis yang lebih intensif (Reynolds, 1990). Terapi ini dimaksudkan untuk
membantu klien menemukan makna dalam hidupnya, menyadari interdepedensi
manusia, merasakan dan menunjukkan kesyukuran dan memperbaiki hubungan.
Terapi naikan mengasumsikan bahwa fokus yang sempit pada diri sendiri
menyengsarakan diri maupun orang lain.
Klien didorong untuk membangun keadaan mediatif yang tenang dan setelah itu
melakukan refleksi khususnya pada tiga hal yaitu:
1. Apa yang telah dilakukan orang lain terhadap mereka
2. Seberapa banyak perasaan bersyukur/ berterimakasih kepada mereka dan
3. Kesulitan mereka yang telah berakibat pada orang lain dan seberapa sedikit
mereka menunjukkan rasa terima kasih.

Terapi Naikan dapat memunculkan berbagai macam pikiran dan perasaan, misalnya
rasa bersalah dan perasaan tidak berharga. Klien mungkin menyadari bahwa, terlepas
dari kelemahan dan kegagalannya, ia telah diurusi dan dibantu. Lebih jauh, klien bisa
mulai merasa sangat berterimakasih kepada orang di masa lalunya dan ingin
membalas utang budinya kepada mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Corey, G. (2005). Theory and Practice of Counseling & Psychotherapy (7th edn), Belmont, CA:

Thornson Brooks/Cole
Gielen, Uwe P, Draguns, Juris P, Fish, Jeffersoon M (editor). 2008. Priciple Of Multicultural
Counseling And Therapy. United States : Taylor & Francis Group, LLC.

Sue, D. W dan Sue, D. (2003) Counseling the Culturally Diverse: Theory and Practice (4th edn).
New York: John Wiley.

Anda mungkin juga menyukai