Anda di halaman 1dari 8

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................... 2
D. BIDANG POLITIK........................................................................................ 2
BAB III PENUTUP................................................................................................. 5
A. Ringkasan....................................................................................................... 5
LAMPIRAN............................................................................................................. 6
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 7

1
BAB I PENDAHULUAN

B. Latar Belakang
Pada mulanya sistem pendidikan yang didirikan hanya mengadopsi sistem Pendidikan
Barat. Pendidikan ini hanya berupa pendidikan yang berkaitan dengan pengajaran
agama Kristen.

2
BAB II PEMBAHASAN

D. BIDANG POLITIK

Pada tahun 1892 pemerintah kolonial mulai menerapkan peraturan tentang pembagian
sekolah dasar menjadi dua kelompok, yaitu yang pertama kelompok Sekolah Angka Satu
(Erste School) dan Sekolah Angka Dua (Tiveede School). Sekolah Angka Satu hanya untuk
orang-orang pribumi golongan priayi dan hanya terdapat di ibu kota karesidenan. Sekolah ini
mendidik siswanya selama lima tahun yang menggunakan bahasa daerah dengan pelajaran
yang diajarkan meliputi membaca, menulis, menghitung, ilmu bumi menggambar, sejarah,
dan ilmu alam.
Pendidikan kelompok yang kedua yaitu pendidikan Sekolah Angka Dua (Tiveede
School). Pendidikan sekolah ini selama 3 tahun dan diperuntukan bagi masyarakat umum
pedesaan. Materi yang diajarkan meliputi membaca, menulis dan menghitung. Bahasa yang
digunakan sebagai bahasa pengantar yaitu bahasa daerah dan Melayu.
Pada tahun 1901 pemerintah Hindia-Belanda menerapkan kebijakan barunya yaitu kebijakan
Politik Etis. Sehubungan dengan Politik Etis ini, di dalam bidang pendidikan pemerintah
kolonial memperbaharui sistem pendidikan yang telah ada. Oleh karena itu, pada tahun 1907
sekolah dasar desa-desa mulai didirikan. Masalah untuk perawatan dan pembangunan di
serahkan kepada masyarakat setempat. Sistem pendidikannya masih mengadopsi pada sistim
Sekolah Tingkat Dua. Kurikulumnya disesuaikan dengan keadaan desa tersebut. Sekolah-
sekolah ini mengalami kehancuran sejak adanya krisis ekonomi pada tahun 1929.
Selain itu, pada tahun 1902 berdiri sekolah Kedokteran atau lebih dikenal dengan
nama STOVIA (School Top Opleiding van Inlandsche Artsen). Sekolah ini merupakan
kelanjutan dari Sekolah Dokter Jawa yang ada sejak tahun 1871. Sekolah ini didirikan dengan
tujuan untuk menghasilkan lulusan tenaga medis yang diperlukan di berbagai daerah.
Pada tahun 1914 Sekolah Angka Satu diubah menjadi HIS (Hollandsche Inlansche School)
dengan bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Belanda. Sekolah ini untuk para anak-
anak priyayi. Pada tahun ini pula didirikan sekolah lanjutan Meer Uitgebreid Laager
Onderwijs (MULO) untuk menampung lulusan dari HIS.
Selanjutnya yaitu didirikan sekolah yang menampung dari lulusan sekolah desa
(Sekolah Tingkat Dua) yang diberi nama Vervolgschool. Lama pendidikannya selama lima
tahun dan kurikulumnya sama dengan sekolah HIS. Selanjutnya juga didirikan sekolah
lanjutan atas yang diberi nama AMS (Algemeen Middel Baare School) untuk menmpung
lulusan dari MULO. Selain itu juga terdapat sekolah pamong praja, Opleiding School Voor
Inlandsche bersendikamj (OSVIA) di Magelang. Sedangkan Recht Hoogeschool (RH),
merupakan sekolah untuk menghasilkan lulusan tenaga hakim dan jaksa.
Perkembangan selanjutnya didirikan sekolah-sekolah umum yang terbuka untuk
semua kalangan. Murid-muridnya semakin banyak yang berasal dari berbagai lapisan dan
golongan etnis. Namun jumlah murid yang bersekolah pada waktu itu, terhitung masih sedikit
jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Hindia-Belanda waktu itu. Sehingga masih
banyak anak-anak kaum pribumi yang belum mendapatkan pendidikan.
Di kalangan kaum pergerakan terdapat ketidakpuasan terhadap pendidikan bercorak Barat
yang diterapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Pendidikan kolonial pada umumnya

3
mengesampingkan nilai-nilai budaya Timur yang dimiliki oleh kaum Pribumi.Sementara itu,
kaum pergerakan nasional juga merasakan kebutuhan keberadaan lembaga Pendidikan yang
dapat menanamkan semangat Kebangsaan.Hal Inilah yang kemudian mendorong munculnya
lembaga-lembaga pendidikan yang dilaksanakan oleh tokoh-tokoh pendidikan pribumi,seperti
Taman siswa dan INS kayu Tanam.

1. Pendidikan Taman Siswa


Taman Siswa didirikan pada Tanggal 3 Juli 1922 oleh R.M. Suwardi Suryaningrat
Pendidikan taman Siswadilaksanakan berdasar pada sistem Among,yaitu suatu sistem
pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan.
Dalam sistem ini setiap pendidikan harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya
untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana Oran tua yang memberikan
pelayanan Kepada anaknya. Sehubungan dengan sistem Among ini Taman siswa menerapkan
sistem Trisentra pendidikan atau sistem tripusat pendidikan.
Dengan Sistem Tripusat Pendidikan atau bisa juga disebut sistem paguron ini, Taman
Siswa berupaya untuk menselaraskan tiga lingkungan pendidikan, lingkungan keluarga,
lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang
lain hendaknya saling bekerja sama dan sling mengisi kekurangan yang ada. Dasar-dasar
pendidikan Taman Siswa disebut dengan Pancadarma yang meliputi, Kodrat Alam,
Kemerdekaan, Kebudayaan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan.
Kelahiran Taman Siswa dianggap sebagai titik balik dalam pergerakan Indonesia,
yang benar-benar berasas kebangsaan dan bersikap kooperatif dengan pemerintahan. Taman
Siswa merupakan lembaga pendidikan pribumi yang merupakan sarana untuk menumbuhkan
semangat nasionalisme. Melalui pendidikan di lingkungan Taman Siswa diharapkan dapat
menghasilkan kaum cendekiawan yang dapat memelopori pergerakan nasional. Guru-guru
Taman Siswa berasal dari bangsa Indonesia yang pada umumnya para aktivis pergerakan
nasional.
Peerintah kolonial Belanda berupaya merintangi keberadaan Taman Siswa, karena
dianggap berbahaya bagi keberadaan pemerintah kolonial. Untuk itu, Pemerintah kolonial
Belanda mengeluarkan beberapa peraturan yang menghambat kegiatan taman siswa. Salah
satunya peraturan Ondewijs Ordonnantie (OO) atau Wilden Schoolen Ordonnantie (Ordonasi
Sekolah Liar), yaitu larangan kepada sekolah-sekolah pribumi yang dianggap liar. Kebijakn
ini ditentang oleh Ki Hajar Dewantara dengan melakukan “gerakan diam” (lijdelijk verzet).
Kaum pergerakan nasional yang duduk di Volksraad (Dewan Rakyat) juga menentang
peraturan sekolah tentang sekolah liar tersebut. Karena aksi Taman Siswa mendapat
dukungan rakyat, maka peraturan Wilden Schoolen Ordonnantie pun akhirnya dihapuskan
pada tahun 1933.
Taman Siswa merupakan pelopor pendidikan yang bercorak kebangsaan. Setelah adanya
Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan yang bercorak nasional, kemudian banyak muncul
lembaga-lembaga pendidikan lain seperti INS Kayu Tanam. Selain itu, baik pendidikan
Taman Siswa maupun INS Kayu Tanam, hingga sekarang masih terus berkembang. Taman
Siswa juga memberikan sumbangan semboyan yang masih digunakan hingga kini disekolah-
sekolah, yaitu Tut Wuri Handayani yang artinya “dibelakang seorang Guru harus bisa
memberikan daya semangat dan juga arahan kepada anak didiknya”.

4
2. INS (Indonesische Nederlandsche School) Kayu Tanam
Kayu Tanam adalah nama sebuah desa kecil di Sumatera Barat. Sedangkan INS adalah
nama sebuah lembaga pendidikan yang merupakan akronim dari Indonesche Nederlandsche
School. Pada mulanya lembaga pendidikan ini milik jawatan kereta api yang dipimpin oleh
ayah Moh. Syafei. Pada tanggal 31 Oktober 1926, lembaga pendidikan ini diserahkan kepada
Moh. Syafei untuk dikelola dan kemudian terkenal dengan nama Ruang Pendidikan
Indonesische School (RP INS) Kayu Tanam.
Pada awal berdiri, RP INS Kayu Tanam mempunyai asas-asas sebagai berikut.
a. Berpikir logis dan rasional
b. Keaktifan atau kegiatan
c. Pendidikan masyarakat
d. Memperhatikan pembawaan anak
e. Menentang intelektualisme, artinya tidak semata-mata mengembangkan
intelektualitas, melainkan mengajarkan keseimbangan antara kecerdasan, budi pekerti
dan akhlak mulia.
Pola pendidikan yang dianut dan diterapkan di INS Kayu Tanam adalah pendidikan berbasis
bakat (talenta). Pendidikan berbasis bakat ini tercermin pada perkataan Moh. Syafei, yaitu,
“Janganlah minta buah mangga kepada pohon rambutan, tetapi jadikanlah setiap pohon
menghasilkan buah yang manis”. Artinya “Setiap siswa memiliki bakat yang berbeda-beda,
sehingga tugas pendidikan adalah bagaimana menumbuhkankembangkan bakat-bakat
tersebut sehingga menghasilkan keahlian dan karya nyata”
Pelajaran yang diutamkan di INS Kayu Tanam adalah mata pelajaran yangb berkaitan
dengan “ekspresi”, seperti menggambar, musik, tari-tarian, pekerjaan tangan. Oleh karena itu
pelajaran Olahraga dan Kesenian sangat dipentingkan.
Dalam perkembangannya RP INS Kayu Tanam mengalami pasang surut, sesuai dengan
situasi dan kondisi Indonesia pad waktu itu. Pada bulan Desember 1948, pada saat Belanda
menyerang Kayu Tanam, seluruh gedung RP INS Kayu Tanam dihanguskan, termasuk ruang
pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan di Padang Panjang. RP INS Kayu Tanam bangkit
lagi pada bulan Mei 1950, dengan 30 orang murid.
Pada tahun 1952 RP INS Kayu Tanam mendirikan percetakan dan penerbitan sendiri
yang bernama Sridharma. Percetakan ini menerbitkan majalah anak-anak bulanan yang
bernama “Sendi”. Selain itu, melalui percetakan Sridharma, INS juga menerbitkan buku
berjudul “Kunci 18”, untuk pemberantasan buta huruf yang merupakan buku untuk
pemberantasan buta huruf dan angka.
Semua usaha itu dilakukan secara mandiri dan menolak bantuan yang bisa membatasi
kebebasannya.

5
BAB III PENUTUP

B. Ringkasan
Penyelenggaraan pendidikan di Hindia Belanda yang mengadopsi sistem pendidikan di
Hindia Belanda yang mengadopsi sistem pendidikan Barat dan bersifat diskriminatif
mendorong tokoh-tokoh di Indonesia untuk mendirikan lembaga pendidikan yang
berwawasan kebangsaan dan berorientasi budaya timur.

6
LAMPIRAN

A. Jawablah Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini!


1. Mengapa muncul ketidakpuasan di kalangan kaum pergerakan nasional terhadap
sistem pendidikan pada masa kolonial?
2. Apa tujuan pendirian lembaga pendidikan Taman Siswa?
3. Bagaimanakah sistem pendidikan pada Taman Siswa?
4. Apa yang mendasari pendirian INS Kayu Tanam?
5. Bagaimanakah pola pendidikan pada INS Kayu Tanam?

7
DAFTAR PUSTAKA

HERWAWAN, Buku Sejarah Minat Kurikulum 2013. Yudhistira

Anda mungkin juga menyukai