Bab 1 A. Latar Belakang

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

A. Latar Belakang
Negara hukum adalah negara berdasarkan atas hukum dan keadilan bagi warganya.
Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau
dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan mencerminkan keadilan
bagi pergaulan hidup warganya.

Pemikiran negara hukum di mulai sejak Plato dengan konsepnya “bahwa


penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan (hukum)
yang baik yang disebut dengan istilah “nomoi”. Kemudian ide tentang negara hukum
popular pada abad ke-17 sebagai akibat dari situasi politik di Eropa yang didominasi
oleh absolutisme. Dalam perkembangannya, paham negara hukum tidak dapat
dipisahkan dari paham kerakyatan. Sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan
membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas
dasar kekuasaan dan kedaulatan rakyat. Dalam kaitannya dengan negara hukum,
kedaulatan rakyat merupakan unsur material negara hukum, di samping masalah
kesejahteraan rakyat.
Sistem hukum merupakan keseluruhan elemen-elemen dan aspek yang membangun
serta menggerakan hukum sebagai sebuah pranata dalam kehidupan bermasyarakat.
Didunia ini terdapat berbagai sistem hukum yang diterapkan oleh berbagai negara.
Namun, dikalangan civitas akademika kita hanya diakrabkan dengan dua jenis hukum
yang banyak mempengaruhi sistem hukum sebagian besar yang negara-negara didunia.
Sistem hukum tersebut adalah sistem hukum eropa kontinental dan sistem hukum anglo
saxon.
Negara indonesia juga mempunyai sitem hukumnya tersendiri, Dalam rangka
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka dalam
Perubahan Keempat pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang
sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas
dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.”
Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima

1
dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi.
Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip
Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada
pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak
sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.
Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu
sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan
menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan social yang
tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang
rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law
enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang
paling tinggi kedudukannya.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud negara hukum?
2. Bagaimana ciri-ciri negara hukum?
3. Apa yang dimaksud dengan negara hukum Kontinental?
4. Apa yang dimaksud dengan negara hukum Anglo Saxon?
5. Apa yang dimaksud dengan negara hukum Indonesia?
6. Bagaimana penegakan hukum?

C. Tujuan
Dari rumusan masalah yang muncul diatas, dapat diketahui bahwa tujuan penulisan
makalah ini adalah agar pembaca dapat :
1. Mengetahui apa pengertian negara hukum
2. Mengetahui ciri-ciri negara hukum
3. Mengetahui pengertian negara hukum Kontinental
4. Mengetahui pengertian negara hukum Anglo Saxon

2
5. Mengetahui pengertian negara hukum Indonesia

6. Mengetahui bagaimana penegakan hukum

D. Metode penulisan
Adapun metode penulisan menggunakan literatur dari berbagai sumber buku,
dan menggunakan sumber dari internet.

3
BAB II
A. Pengertian Negara Hukum
Negara dalam pandangan teori klasik diartikan sebagai suatu masyarakat yang
sempurna (a perfect society). Negara pada hakikatnya adalah suatu masyarakat
sempurna yang para anggotanya mentaati aturan yang sudah berlaku. Suatu masyarakat
dikatakan sempurna jika memiliki sejumlah kelengkapan yakni internal dan eksternal.
Kelengkapan secara internal, yaitu adanya penghargaan nilai-nilai kemanusiaan di
dalam kehidupan masyarakat itu. Saling menghargai hak sesama anggota masyarakat.
Kelengkapan secara eksternal, jika keberadaan suatu masyarakat dapat memahami
dirinya sebagai bagian dari organisasi masyarakat yang lebih luas. Dalam konteks ini
pengertian negara seperti halnya masyarakat yang memiliki kedua kelengkapan internal
dan eksternal, there exists only one perfect society in the natural order, namely the state
(Henry J. Koren (1995:24).
Dalam perkembangannya, teori klasik tentang negara ini tampil dalam ragam
formulasinya, misalnya menurut tokoh; Socrates, Plato dan Aristoteles. Munculnya
keragam konsep teori tentang negara hanya karena perbedaan cara-cara pendekatan saja.
Pada dasarnya negara harus merepresentasikan suatu bentuk masyarakat yang
sempurnya.Teori klasik tentang negara tersebut mendasarkan konsep “masyarakat
sempurna” menginspirasikan lahirnya teori modern tentang negara, kemudian dikenal
istilah negara hukum.
Istilah negara hukum secara terminologis terjemahan dari kata Rechtsstaat atau
Rule of law. Para ahli hukum di daratan Eropa Barat lazim menggunakan istilah
Rechtsstaat, sementara tradisi Anglo–Saxon menggunakan istilah Rule of Law. Di
Indonesia, istilah Rechtsstaat dan Rule of law biasa diterjemahkan dengan istilah
“Negara Hukum” (Winarno, 2007).
Gagasan negara hukum di Indonesia yang demokratis telah dikemukakan oleh
para pendiri negara Republik Indonesia (Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan kawan-
kawan) sejak hampir satu abad yang lalu. Walaupun pembicaraan pada waktu itu masih
dalam konteks hubungan Indonesia (Hindia Belanda) dengan Netherland. Misalnya

4
melalui gagasan Indonesia (Hindia Belanda) berparlemen, berpemerintahan sendiri,
dimana hak politik rakyatnya diakui dan dihormati. Jadi, cita-cita negara hukum yang
demokratis telah lama bersemi dan berkembang dalam pikiran dan hati para perintis
kemerdekaan bangsa Indonesia. Apabila ada pendapat yang mengatakan cita negara
hukum yang demokratis pertama kali dikemukakan dalam sidang Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah tidak memiliki dasar
historis dan bisa menyesatkan.
Para pendiri negara waktu itu terus memperjuangkan gagasan negara hukum.
Ketika para pendiri negara bersidang dalam BPUPKI tanggal 28 Mei –1 Juni 1945 dan
tanggal 10-17 Juli 1945 gagasan dan konsep Konstitusi Indonesia dibicarakan oleh para
anggota BPUPKI. Melalui sidang-sidang tersebut dikemukakan istilah rechsstaat
(Negara Hukum) oleh Mr. Muhammad Yamin (Abdul Hakim G Nusantara, 2010:2).
Dalam sidang–sidang tersebut muncul berbagai gagasan dan konsep alternatif
tentang ketatanegaraan seperti: negara sosialis, negara serikat dikemukakan oleh para
pendiri negara. Perdebatan pun dalam sidang terjadi, namun karena dilandasi tekad
bersama untuk merdeka, jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi (nasionalisme) dari
para pendiri negara, menjunjung tinggi azas kepentingan bangsa, secara umum
menerima konsep negara hukum dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Semangat cita negara hukum para pendiri negara secara formal dapat ditemukan
dalam setiap penyusunan konstitusi, yaitu Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Dalam
konstitusi – konstitusi tersebut dimasukkan Pasal-pasal yang termuat dalam Deklarasi
Umum HAM PBB tahun 1948. Hal itu menunjukkan bahwa ketentuan-ketentuan
tentang penghormatan, dan perlindungan HAM perlu dan penting untuk dimasukkan ke
dalam konstitusi negara (Abdul Hakim G Nusantara, 2010:2)
Pengertian negara hukum selalu menggambarkan adanya penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan negara yang didasarkan atas hukum. Pemerintah dan unsur-
unsur lembaga di dalamnya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya terikat oleh
hukum yang berlaku. Menurut Mustafa Kamal (2003), dalam negara hukum, kekuasaan

5
menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan
bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum.
Dasar yuridis bagi negara Indonesia sebagai negara hukum tertera pada Pasal 1
ayat (3) UUD Negara RI 1945 (amandemen ketiga), “Negara Indonesia adalah Negara
Hukum” Konsep negara hukum mengarah pada tujuan terciptanya kehidupan
demokratis, dan terlindungi hak azasi manusia, serta kesejahteraan yang berkeadilan.
Menurut Winarno (2010), konsepsi negara hukum Indonesia dapat di masukkan
dalam konsep negara hukum dalam arti material atau negara hukum dalam arti luas.
Pembuktiannya dapat kita lihat dari perumusan mengenai tujuan bernegara sebagaimana
tertuang dalam Pembukaan UUD Negara RI 1945 Alenia IV. Bahwasannya, negara
bertugas dan bertanggungjawab tidak hanya melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia tetapi juga memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Bukti lain yang menjadi dasar yuridis bagi keberadaan negara hukum Indonesia
dalam arti material, yaitu pada: Bab XIV Pasal 33 dan Pasal 34 UUD Negara RI 1945,
bahwa negara turut aktif dan bertanggungjawab atas perekonomian negara dan
kesejahteraan rakyat.
B. Ciri-Ciri Negara Hukum
Konsep negara hukum yang berkembang pada abad 19 cenderung mengarah
pada konsep negara hukum formal, yaitu pengertian negara hukum dalam arti sempit.
Dalam konsep ini negara hukum diposisikan ke dalam ruang gerak dan peran yang kecil
atau sempit. Seperti dalam uraian terdahulu negara hukum dikonsepsikan sebagai sistem
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara yang didasarkan atas hukum.
Pemerintah dan unsur-unsur lembaganya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya
terikat oleh hukum yang berlaku. Peran pemerintah sangat kecil dan pasif.
Dalam dekade abad 20 konsep negara hukum mengarah pada pengembangan
negara hukum dalam arti material. Arah tujuannya memperluas peran pemerintah terkait
dengan tuntutan dan dinamika perkembangan jaman. Konsep negara hukum material

6
yang dikembangkan di abad ini sedikitnya memiliki sejumlah ciri yang melekat pada
negara hukum atau Rechtsstaat, yaitu sebagai berikut :

a. HAM terjamin oleh undang-undang

b. Supremasi hukum

c. Pembagian kekuasaan ( Trias Politika) demi kepastian hukum

d. Kesamaan kedudukan di depan hukum

e. Peradilan administrasi dalam perselisihan

f. Kebebasan menyatakan pendapat, bersikap dan berorganisasi

g. Pemilihan umum yang bebas

h. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak


C. Pengertian Negara Eropa Kontinental
Sistem Hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri
adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara
sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya.
Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini.
Sistem Hukum Eropa Kontinental ini lebih mementingkan kodifikasi, ilmu hukum
kontinental ini sangat dipengaruhi oleh hukum Romawi.
Oleh karena itu Sering dikenal juga sebagai sistem hukum Romawi (Civil
Law). Dikatakan hukum Romawi karena sistem hukum ini berasal dari kodifikasi
hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi pada masa Pemerintahan Kaisar
Yustinianus abad 5 (527-565 M). Kodifikasi hukum itu merupakan kumpulan dari
berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustinianus yang disebut Corpus
Juris Civilis (hukum yang terkodifikasi) Corpus Juris Civilis dijadikan prinsip dasar
dalam perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara Eropa daratan seperti
Jerman, Belanda, Prancis, Italia, Amerika Latin, Asia (termasukIndonesia pada masa
penjajahan Belanda). Artinya adalah menurut sistem ini setiap hukum harus
dikodifikasikan sebagai daar berlakunya hukum dalam suatu negara.

7
Negara hukum eropa kontinental memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Membedakan secara tajam antara hukum perdata dan hukum publik
2. Membedakan antara hak kebendaan dan perorangan
3. Menggunakan kodifikasi
4. Keputusan hakim terdahulu tidak mengikat
5. Seperti yang berlaku di negara-negara Eropa yang lebih mementingkan
kodifikasi, ilmu hukum kontinental ini sangat dipengaruhi oleh hukum
Romawi. Sering dikenal juga sebagai sistem hukum CIVIL LAW.
Sebagian besar negara-negara Eropa daratan dan daerah bekas jajahan / koloninya;
ex: Jerman, Belanda, Perancis, Italia, negara2 Amerika Latin dan Asia. Berkembang di
negara-negara Eropa (istilah lain Civil Law = hukum Romawi).
Dikatakan hukum Romawi karena sistem hukum ini berasal dari kodifikasi hukum
yang berlaku di kekaisaran Romawi pada masa Pemerintahan Kaisar Yustinianus abad 5
(527-565 M). Kodifikasi hukum itu merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum
yang ada sebelum masa Yustinianus yang disebut Corpus Juris Civilis (hukum yang
terkodifikasi).
Corpus Juris Civilis dijadikan prinsip dasar dalam perumusan dan kodifikasi hukum
di negara-negara Eropa daratan seperti Jerman, Belanda, Prancis, Italia, Amerika Latin,
Asia (termasuk Indonesia pada masa penjajahan Belanda). Artinya adalah menurut
sistem ini setiap hukum harus dikodifikasikan sebagai daar berlakunya hukum dalam
suatu negara.

D. Pengertian Negara Hukum Anglo Saxon


Sistem hukum Anglo Saxon mula – mula berkembang di negara Inggris, dan
dikenal dgn istilah Common Law atau Unwriten Law (hukum tidak tertulis). Sistem
Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu
keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-
hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia
Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat

8
(walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan
dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon).
Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem
hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan
sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat
dan hukum agama. Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah
terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan
perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan
oleh hakim, dalam memutus perkara.
1. Sistem hukum anglo saxon pada hakikatnya bersumber pada :
a. Custom
Merupakan sumber hukum tertua, oleh karena ia lahir dari dan berasal dari
sebagian hukum Romawi, custom ini tumbuh dan berkembang dari kebiasaan
suku anglo saxon yang hidup pada abad pertengahan. Pada abad ke 14 custom
law akan melahirkan common law dan kemudian digantikan dengan precedent
b. Legislation
Berarti undang-undang yang dibentuk melalui parlemen. undang-undang yang
demikian tersebut disebut dengan statutes. Sebelum abad ke 15, legislation
bukanlah merupakan salah satu sumber hukum di Inggris, klarena pada waktu
itu undang-undang dikeluarkan oleh raja dan Grand Council (terdiri dari kaum
bangsawan terkemuka dan penguasa kota, dan pada sekitar abad ke 14 dilakukan
perombakan yang kemudian dikenal dengan parlemen.
c. Case-Law
Sebagai salah satu sumber hukum, khsusnya dinegara Inggris merupakan ciri
karakteristik yang paling utama. Seluruh hukum kebiasaan yang berkembang
dalam masyarakat tidak melalui parlemen, akan tetapi dilakukan oleh hakim,
sehingga dikenal dengan judge made law, setiap putusan hakim merupakan
precedent bagi hakim yang akan datang sehingga lahirlah doktrin precedent
sampai sekarang
E. Negara Hukum Indonesia

9
Indonesia adalah negara hukum. Segala tindakan dan kegiatan negara haruslah
berdasarkan hukum yang dijunjung tinggi. Pelanggaran akan dikenakan perlakuan
sesuai yang tertera di hukum negara ini. Hukum negara yang tertinggi di negeri ini
adalah UUD 45. Adapun Nyang dimaksud dengan Negara Hukum Indonesia:
1. Landasan Yuridis Negara Hukum IndonesiaPs. 1 A (3) : “ Negara Indonesia adalah
Negara hokum”. Penjelasan umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara,
yaitu :
a. Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hokum( Rechsstaat) tidak
berdasar atas kekuasaan belaka (Machstaat
b. Sistem Konstitusional, Pemerintah berdasar atas system konstitusi (hokum
dasar), tidak bersifat absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas).
Berdasarkan perumusan di atas, Negara Indonesia memakai istilah Rechsstaat,
konsep hokum Belanda yang termasuk Eropa Kontinental. Perumusan Negara hokum
Indonesia adalah :
a. Negara berdasar atas hokum, bukan berdasar atas kekuasaan belaka.
b. Pemerintah Negara berdasar atas suatu konstitusi dengan kekuasaan
pemerintahan terbatas, tidak absolute.
Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi Pasal 1 Ayat (3) UUD
1945 setelah diamandemen ketiga disahkan 10 Nopember 2001. Penegasan ketentuan
konstitusi ini bermakna, bahwa segala aspek kehidupan dalam kemasyarakatan,
kenegaraan dan pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum.
Untuk mewujudkan negara hukum salah satunya diperlukan perangkat hukum yang
digunakan untuk mengatur keseimbangan dan keadilan di segala bidang kehidupan dan
penghidupan rakyat melalui peraturan perundang-undangan dengan tidak
mengesampingkan fungsi yurisprudensi. Hal ini memperlihatkan bahwa peraturan
perundang-undangan mempunyai peranan yang penting dalam negara hukum Indonesia.
Menurut A.Hamid S. Attamimi, peraturan perundang-undangan adalah semua aturan
hukum yang dibentuk oleh semua tingkat lembaga dalam bentuk tertentu, dengan
prosedur tertentu, biasanya disertai sanksi dan berlaku umum serta mengikat rakyat.

10
Kemudian Bagir Manan memberikan definisi bahwa peraturan perundang-undangan
adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang
berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat umum. Bersifat dan berlaku
secara umum maksudnya tidak mengidentifikasi individu tertentu sehingga berlaku bagi
setiap subyek hukum yang memenuhi unsur yang terkandung dalam ketentuan
mengenai pola tingkah laku tersebut.
Terakhir setelah mendapat persetujuan bersama antara lembaga legislatif dan
eksekutif, maka disahkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yang mendefinisikan bahwa peraturan perundang-
undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat
yang berwenang dan mengikat secara umum.
Dengan pertimbangan tersebut lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dalam
membentuk atau menyusun peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat
maupun daerah wajib mengikuti pedoman atau bimbingan yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Negara hukum indonesia memiliki ciri-ciri yaitu :
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu
bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya
pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi
konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative
mengenai supremasi hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan
hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan
yang tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum
itu memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem
presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat
untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan

11
presidential, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala Negara dan kepala
pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan,
yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka
prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala
bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang,
kecuali tindakantindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan
‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat
tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan
sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan
kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok
masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative
actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah
kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt
tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat
tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif,
misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.
3. Asas Legalitas (Due Process of Law)
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam
segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan
pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan
tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku
lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang
dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus
didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normative
demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi
menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat
administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang,
diakui pula adanya prinsip ‘frijs ermessen’ yang memungkinkan para pejabat

12
tata usaha negara atau administrasi negara mengembangkan dan menetapkan
sendiri ‘beleid-regels’ (‘policy rules’) ataupun peraturan-peraturan yang dibuat
untuk kebutuhan internal (internal regulation) secara bebas dan mandiri dalam
rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.

4. Pembatasan Kekuasaan
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara
menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan
kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap
kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi
sewenangwenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu
harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-
cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan
saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan
juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang
tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan
terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya
kesewenang-wenangan.
5. Organ-Organ Campuran Yang Bersifat Independen
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang berkembang pula
adanya pengaturann kelembagaan pemerintahan yang bersifat ‘independent’,
seperti bank sentral, organisasi tentara, dan organisasi kepolisian. Selain itu, ada
pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), dan lain sebagainya. Lembaga, badan atau
organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam
kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga
tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk
menentukan pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya. Independensi

13
lembaga atau organ-organ tersebut dianggap penting untuk menjamin
demokrasi, karena fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk
melanggengkan kekuasaan. Misalnya, fungsi tentara yang memegang senjata
dapat dipakai untuk menumpang aspirasi prodemokrasi, bank sentral dapat
dimanfaatkan untuk mengontrol sumber-sumber kekuangan yang dapat dipakai
untuk tujuan mempertahankan kekuasaan, dan begitu pula lembaga atau
organisasi lainnya dapat digunakan untuk kepentingan kekuasaan. Karena itu,
independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat penting untuk
menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial
judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap
Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh
dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik)
maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran,
tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan
keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif
maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam
menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga
kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam
menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus
bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan,
hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah
masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undangundang atau
peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang
menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
7. Peradilan Tata Usaha Negara
Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas
dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama
Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum,

14
harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat
keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata
usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan
Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin
agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat
administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus
ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara,
dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar
djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu,
keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus pula dijamin
bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and impartial judiciary’
tersebut di atas.

8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court)


Di samping adanya pengadilan tata usaha negara yang diharapkan memberikan
jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara, Negara Hukum modern
juga lazim mengadopsikan gagasan mahkamah konstitusi dalam sistem
ketatanegaraannya, baik dengan pelembagaannya yang berdiri sendiri di luar dan
sederajat dengan Mahkamah Agung ataupun dengan mengintegrasikannya ke
dalam kewenangan Mahkamah Agung yang sudah ada sebelumnya. Pentingnya
peradilan ataupun mahkamah konstitusi (constitutional court) ini adalah dalam
upaya memperkuat sistem ‘checks and balances’ antara cabang-cabang
kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. Misalnya,
mahkamah ini diberi fungsi pengujian konstitusionalitas undang-undang yang
merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenaan dengan berbagai
bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang
kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan. Keberadaan mahkamah konstitusi ini
di berbagai negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena itu
dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya Negara Hukum
modern.

15
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan
hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan
terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka
mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap
manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban
yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula
penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau
makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya
perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan
pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara
Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar
dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara
adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara
Hukum dalam arti yang sesungguhnya.
10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat)
Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang
menjamin peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan
ditegakkan mencerminkan nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan
dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa
secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum tidak
dimaksudkan hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa,
melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali.
Dengan demikian, cita negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan
bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau
negara hukum yang demokratis. Dalam setiap Negara Hukum yang bersifat

16
nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap
Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat)
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita
hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi
(democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum
(nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan
sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan
UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan
mencapai keempat tujuan bernegara Indonesia itu. Dengan demikian,
pembangunan negara Indonesia tidak terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’,
melainkan ‘mission driven’, yang didasarkan atas aturan hukum.
12. Transparansi dan Kontrol Sosial
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses
pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang
terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara
komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung)
dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung
ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat
diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip
‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena
perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau
aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur
kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan,
semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien
serta menjamin keadilan dan kebenaran.

17
13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Khusus mengenai cita Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila, ide
kenegaraan kita tidak dapat dilepaskan pula dari nilai Ketuhanan Yang Maha
Esa yang merupakan sila pertama dan utama Pancasila. Karena itu, di samping
ke-12 ciri atau unsur yang terkandung dalam gagasan Negara Hukum Modern
seperti tersebut di atas, unsur ciri yang ketigabelas adalah bahwa Negara Hukum
Indonesia itu menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Maha Esaan dan ke-Maha Kuasa-
an Tuhan. Artinya, diakuinya prinsip supremasi hukum tidak mengabaikan
keyakinan mengenai ke-Maha Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa yang diyakini
sebagai sila pertama dan utama dalam Pancasila. Karena itu, pengakuan segenap
bangsa Indonesia mengenai kekuasaan tertinggi yang terdapat dalam hukum
konstitusi di satu segi tidak boleh bertentangan dengan keyakinan segenap warga
bangsa mengenai prinsip dan nilai-nilai ke-Maha-Kuasa-an Tuhan Yang Maha
Esa itu, dan di pihak lain pengakuan akan prinsip supremasi hukum itu juga
merupakan pengejawantahan atau ekspresi kesadaran rasional kenegaraan atas
keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa yang menyebabkan setiap manusia
Indonesia hanya memutlakkan Yang Esa dan menisbikan kehidupan antar
sesama warga yang bersifat egaliter dan menjamin persamaan dan penghormatan
atas kemajemukan dalam kehidupan bersama dalam wadah Negara Pancasila.
Dalam sistem konstitusi Negara kita, cita Negara Hukum itu menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak
kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide
Negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan
ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’.
Dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas
dicantumkan. Demikian pula dalam UUDS Tahun 1950, kembali rumusan
bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas. Oleh karena
itu, dalam Perubahan Ketiga tahun 2001 terhadap UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas
dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara

18
Hukum”. Kiranya, cita negara hukum yang mengandung 13 ciri seperti uraian di
atas itulah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 itu sebaiknya kita pahami.
F. Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang
luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti
yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan
semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan
aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan
mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau
menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan
hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk
menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana
seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur
penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan
sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan
‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan
‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan
peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis
dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa
Inggeris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of
just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by

19
law’ yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung
makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan
mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan
istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan
untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern
itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’
yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar
sebagai alat kekuasaan belaka.
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan
hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum,
baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai
pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang
bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan
kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum
yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas
itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-
batasnya. Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan
hukum itu, baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas
hal-hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah
ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan
aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.
Penegakan Hukum Objektif

Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan
mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya
bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum
materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian
penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan
pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam

20
arti luas, dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam
bahasa Inggeris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam arti
pengadilan hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan
semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah
‘Supreme Court of Justice’.

Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus


ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai
keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara
tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam
perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka,
sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan
kebenaran materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam
peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya
mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel.
Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum
perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan
keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan
merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.

Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang


hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum.
Normanorma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan
kewajibankewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis,
sebenarnya, persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi
yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap
hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara paralel
dan bersilang. Karena itu, secara akademis, hak asasi manusia mestinya diimbangi
dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak
asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam
kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan

21
ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan
dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan
dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan
penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran mengenai
pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran
konstitusionalime inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan
nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional
terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap
negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi
yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).

Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat
dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya,
tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara
tersendiri. Lagi pula, apakah hak asasi manusia dapat ditegakkan? Bukankah yang
ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia
itu, dan bukannya hak asasinya itu sendiri? Namun, dalam praktek sehari-hari, kita
memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan ‘hak
asasi manusia’. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak-hak asasi manusia dan
kesadaran untuk menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan masyarakat kitapun
memang belum berkembang secara sehat.

Aparatur Penegak Hukum

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum


dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum
yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat
hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur
terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya
yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan,

22
penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya
pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.

Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting
yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat
sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya
kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan
(iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang
mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun
hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan
ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu
sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.

Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja


penegakan hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang
lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari
keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya
menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum
tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan
perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak
mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa
lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi
bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum
atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan
perhatian yang seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau
‘law and rule making’), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan
hukum (socialization and promulgation of law, dan (iii) penegakan hukum (the
enforcement of law).

Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration


of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang

23
bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan
sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan
terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration of law’ itu
mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum
itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana
sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah
dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels),
keputusankeputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan
(vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-
daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat
luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada,
bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak
diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum yang
bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan
pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidaktahuan masyarakat akan
hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara
sistematis dan bersengaja.

24
BAB III
A. Kesimpulan
Negara hukum adalah negara berdasarkan atas hukum dan keadilan bagi warganya.
Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau
dengan kata lain diatur oleh hukum. Negara dalam pandangan teori klasik diartikan
sebagai suatu masyarakat yang sempurna (a perfect society). Negara pada hakikatnya
adalah suatu masyarakat sempurna yang para anggotanya mentaati aturan yang sudah
berlaku. Suatu masyarakat dikatakan sempurna jika memiliki sejumlah kelengkapan
yakni internal dan eksternal. Sistem Hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem
hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi
(dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam
penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem
hukum ini. Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada
yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi
dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Indonesia adalah negara hukum. Segala
tindakan dan kegiatan negara haruslah berdasarkan hukum yang dijunjung tinggi.
Pelanggaran akan dikenakan perlakuan sesuai yang tertera di hukum negara ini.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya
norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau
hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
B. Saran

25
Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh penyusun,
maka untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendasar dan luas. Disarankan
kepada pembaca untuk membaca referensi-referensi lain yang lebih bai. Dalam makalah
ini, penulis ingin memberikan saran kepada pembaca agar terus mempelajari dan
mengkaji ilmu berkaitan hukum, terutama konsepsi hukum

Daftar pustaka
Bagiastra, I Nyoman. Kewarganegaraan
www.guruprndidikan.co.id/sistem-negara-hukum-eropa-kontinental
https://rizalwihardi.blogspot.com/sistem-hukum-anglo-saxon

26

Anda mungkin juga menyukai