PENDAHULUAN
1.3 Manfaat Penulisan
1. Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca dan penulis dalam hal menajemen
bencana.
A. BENCANA
1. Definisi Bencana
Kejadian bencana seringkali saling berkaitan. Dengan kata lain, suatu bencana
dapat menjadi penyebab utama dari bencana lainnya yang potensial terjadi dalam
jangkauan wilayah tertentu. Misalnya, bencana gempa bumi dapat berkaitan dengan
gelombang pasang air laut (tsumani), tanah longsor, letusan gunung berapi,
semburan lumpur panas, atau bahkan bencana sosial (penjarahan) pasca bencana
(Priambodo, S. Arie, 2009).
2. Kategori Bencana
Secara garis besar ada tiga kategori bencana, sebagai berikut: (Priambodo, S.
Arie. 2009)
a. Bencana alam, yakni bencana yang disebabkan oleh perubahan kondisi
alamiah alam semesta (angina: topan, badai, putting beliung; tanah: erosi,
sedimentasi, longsor, gempa bumi; air: banjir, tsunami, kekeringa; api:
kebakaran, letusan gunung berapi).
b. Bencana sosial, yakni bencana yang disebabkan oleh ulah manusia sebagai
komponen sosial (instabilitas politik, sosial, dan ekonomi; perang; kerusuhan
massal; terror bom; kelaparan; pengungsian; dll).
c. Bencana kompleks, yakni perpaduan antara bencana sosial dana lam sehingga
dampak negatif bagi kehidupan (kebakaran; epidemi penyakit; kerusakan
ekosistem; polusi lingkungan, dll).
3. Skala Bencana
Dalam menghadapi bencana, dibutuhkan perhitungan skala bencana, tingkat
bahaya, serta risiko yang dapat ditimbulkan. Ada kalanya tingkat bahaya dan
risiko yang ditimbulkan bercampur menjadi satu. Besar kecilnya skala bencana
tidak mudah dipastikan.
4. Penyebab Bencana
Penyebab bencana dapat dibagi menjadi dua, yaitu alam dan manusia. Secara
alami bencana akan selalu terjadi dipermukaan bumi, misal tsunami, gempa bumi,
gunung meletus, jatuhnya benda-benda dari langit ke bumi (misal meteor), tidak
adanya hujan pada suatu lokasi dalam waktu yang relatif lama sehingga
menimbulkan kekeringan, atau sebaliknya curah hujan yang sangat tinggi di suatu
lokasi menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor.
Bencana oleh aktivitas manusia adalah terutama akibat eksplorasi alam yang
berlebihan, eksplorasi ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang terus
meningkat. Pertumbuhan ini mengakibatkan kebutuhan pokok dan non pokok
meningkat, kebutuhan infrastruktur meningkat Kadoatie, Robert J & Syarief,
Roestam (2010).
Korban bencana adalah orang atau kelompok yang menderita atau meninggal
dunia akibat bencana (Pemerintah Republik Indonesia 2008). Kerentanan berasal
dari kata rentan yang berarti mudah terkena penyakit (Kamus besar Bahasa Idonesia
(KBBI) online.
Bayi dan anak dibawah lima tahun terutama rentan dalam keadaan bencana
dikarenakan kondisi fisik, psikologis dan kesehatan mereka sangat tergantung pada
orang tuanya (orang dewasa). Anak mengalami dampak lebih berat dari pada orang
dewasa pada saat bencana. Mereka sangat terpengaruh oleh peristiwa traumatis yang
dialami (menyaksikan kematian, terpisah dari orang tua, sebatang kara), juga
merasakan dampak peristiwa yang dialami orang tuanya, hal ini diakibatkan orang tua
yang mengalami trauma akibat bencana seringkali berkurang kemampuannya untuk
mendukung dan melindungi anak secara emosional, gangguan parah yang dialami
orang tua seperti tindak kekerasan menjadi trauma baru bagi anak serta anak belum
memiliki kemampuan untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan.
1. Kerentanan Psikologis
Menurut Rhodes et al. (2010) terpisah dari keluarga pada saat terjadi dan sesudah
bencana, kehilangan orangtua ataupun orang yang disayangi, tinggal dalam
lingkungan asing, menimbulkan gangguan psikis yang tanda-tandanya perilaku
ngompol, gigit jempol, mimpi buruk, kelekatan, mudah marah, tempertantrum,
perilaku agresive hiperaktif, ”baby talk” muncul kembali ataupun semakin
meningkat intensitasnya, reaksi ketakutan dan kecemasan, keluhan somatis,
gangguan tidur, masalah dengan prestasi sekolah, menarik diri dari pertemanan,
apatis, enggan bermain, PTSD, dan sering bertengkar dengan saudara,
berkurangnya ketertarikan dalam aktifitas sosial dan sekolah, anak menjadi
pemberontak, gangguan makan, gangguan tidur, kurang konsentrasi, dan
mengalami PTSD dan dalam resiko yang besar terkena penyalahgunaan alkohol
ataupun prostitusi.
2. Kerentanan Fisik
Jenis bencana memengaruhi kerentanan fisik anak, misalnya bayi di amerika pada
bencana badai Katrina banyak yang meninggal karena suhu yang terlalu panas,
sedangkan di beberapa tempat di Rusia, banyak remaja yang meninggal karena
kedinginan Anak yang tinggal dalam lokasi yang rawan bencana berpotensi tinggi
untuk meninggal ataupun menjadi cacat, misalnya akibat terkena tsunami, atau
terperangkap dalam reruntuhan tembok sekolah. Selain kematian dan cacat yang
diakibatkan oleh bencana, anak yang tinggal dalam lokasi pengungsian ataupun
darurat, sangat rentan terhadap berbagai penyakti epidemic seperti diare, malnutrisi,
penyakit pernapasan, dan penyakit kulit. Akses air bersih dan sanitasi yang kurang
membuat bayi sangat mudah terkena diare. Deteksi dini bisa dilakukan dengan
mengadakan pengamatan terhadap perubahan kondisi kesehatan anak. Kesehatan
reproduksi anak perempuan juga suatu hal yang perlu dicermati. Usia yang secara
biologis mulai matang membutuhkan piranti tersendiri utnuk bisa hidup secara
sehat. Faktor sosial juga menimbulkan kerentanan fisik pada anak. Dalam keadaan
stress orang tua ataupun lingkungan lebih mudah mengekspresikan emosinya pada
individu yang lebih lemah, dalam hal ini anak. Banyak ditemui di kamp
pengungsian bahwa anak diperlakukan sebagai subyek kekerasan yang dilakukan
oleh orangtuanya. Luka-luka di bagian tubuh maupun perilaku menarik diri menjadi
tanda penting adanya kemungkinan kekerasan fisik pada anak.
3. Kerentanan Pendidikan
“coping” randah
Kurangya dukungan
“coping”
Pengungsian
2. Dampak Fisik
Anak tidak saja secara emosi rentan pada efek bencana, mereka juga secara
fisik sangat lemah terhadap dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Lebih
dari 18,000 anak meninggal pada gempa di pakistan(International Federation
of Red Cross and Red Crescent Societies 2007), dan tsunami 2004 di samudra
Hindia menyebabkan 60.000 anak meninggal(Oxfam International 2005).
Jenis bencana juga mempengaruhi kerentanan fisik anak. Misalnya bayi di
amerika pada bencana badai Katrina banyak yang meninggal karena suhu
yang terlalu panas, sedangkan di beberapa tempat di Rusia, banyak remaja
yang meninggal karena kedinginan Anak yang tinggal dalam lokasi yang
rawan bencana berpotensi tinggi untuk meninggal ataupun menjadi cacat,
misalnya akibat terkena tsunami, atau terperangkap dalam reruntuhan tembok
sekolah.
Selain kematian dan cacat yang diakibatkan oleh bencana, anak yang
tinggal dalam lokasi pengungsia ataupun darurat, sangat rentan terhadap
berbagai penyakti epidemic seperti diare, malnutrisi, penyakit pernapasan, dan
penyakit kulit. Akses air bersih dansanitasi yang kurang membuat bayi sangat
mudah terkena diare. Deteksi dini bisa dilakukan dengan mengadakan
pengamatan terhadap perubahan kondisi kesehatan anak. Kesehatan
reproduksi anak perempuan juga suatu hal yang perlu dicermati. Usia yang
secara biologis mulai matang membutuhkan piranti tersendiri utnuk bisa hidup
secara sehat. Faktor sosial juga menimbulkan kerentanan fisik pada anak. Dalam
keadaan stress orang tua ataupun lingkungan lebih mudah mengekspresikan
emosinya pada individu yang lebih lemah, dalam hal ini anak. Banyak ditemui
di kamp pengungsian bahwa anak dieprlakukan sebagai subyek kekerasan
yang dilakukan oleh orangtuanya. Luka-luka di bagian tubuh maupun perilaku
menarik diri menjadi tanda penting adanya kemungkinan kekerasan fisik pada
anak.
2. Dampak Psikologis
Untuk anak- anak bencana bisa sangat menakutkan, fisik mereka yang tidak
sekuat orang dewasa membuat mereka lebih rentan tehadap ancaman bencana.
Rasa aman utama anak-anak adalah orang dewasa disekitar mereka (orang tua
dan guru) serta keteraturan jadwal. Oleh karena itu anak-anak juga sangat
terpengaruh oleh reaksi orang tua mereka dan orang dewasa lainya. Jika
orangtua dan guru mereka bereaksi dengan panik, anak akan semakin
ketakutan. Saat mereka tinggal di pengungsian dan kehilangan ketaraturan
hidupnya. Tidak ada jadwal yang teratur untuk kegiatan belajar, dan bermain,
membuat anak kehilangan kendali atas hidupnya. Anak mengalami kecemasan
dan ketegangan yang dirasakan oleh orang dewasa di sekitarnya. Dan seperti
orang dewasa, anak mengalami perasaan yang tidak berdaya dan tidak dapat
mengontrol stres yang ditimbulkan oleh bencana. Tapi tidak seperti orang
dewasa, anak mempunyai pengalaman yang sedikit untuk membantu mereka
meletakkan situasi mereka saat ini ke dalam suatu perspetif. Children sense the
anxiety and tension in adults around them. Setiap anak mempunyai respon
yang berbeda terhadap bencana, tergantung pada pemahaman dan pengertian
mereka, tetapi sangatlah mudah melihat bahwa peristiwa seperti ini dapat
menciptakan kecemasan yang luar biasa pada semua anak karena mereka
berpikir bahwa bencana adalah sesuatu yan mengancam dirinya dan orang
yang mereka sayangi.
Terpisah dari keluarga pada saat terjadi dan sesudah bencana, kehilangan
orangtua ataupun orang yang disayangi, tinggal dalam lingkungan asing,
menimbulkan gangguan psikis yang tanda-tandanya dapat dikenali dari uraian
di bawah ini.
Selain dampak psikologis dan fisik, ada beberapa factor lain yang
mempengaruhi “wellbeing” anak paska bencana, Faktor resiko lainya yang
mempengaruhi anak adalah:
1. Sebelum Bencana
3. Setelah Bencana
Kadoatie, Robert J & Syarief, Roestam. (2010). Tata ruang Air. Yogyakarta:
C.V Andi OFFSET.
Klynman, Y., Kouppari, N., & Mukhier, M., (Eds.). 2007. World Disaster
Report 2007: Focus on Discrimination. Geneva, Switzerland: International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies.
Powers, R., & Daily, E., (Eds.). 2010. International Disaster Nursing.
Cambridge, UK: The World Association for Disaster and Emergency Medicine &
Cambridge University Press.
Ronan, Kevin R., Kylie Crellin, David M. Johnston, Kirsten Finnis, Douglas
Paton and Julia Becker (2008). “Promoting Child and Family Resilience to Disasters:
Effects, Interventions and Prevention Effectiveness.” Children, Youth