Anda di halaman 1dari 9

JURNAL TEKNOLOGI PERTANIAN, VOL. 2, NO.

2, AGUSTUS 2001 : 22-29

KEMUNGKINAN PEMANFAATAN LIMBAH KULIT BUAH KAKAO (Theobroma cacao, L)


β-KAROTEN)
SEBAGAI SUMBER ZAT PEWARNA (β

Siti Narsito Wulan•

Abstrak

Telah dilakukan penelitian untuk mempelajari kemungkinan pemanfaatan limbah kulit buah
kakao sebagai zat pewarna. Penelitian meliputi aspek kualitatif dan kuantitatif dari potensi pigmen
dalam kulit buah kakao. Analisa kuantitatif untuk mengetahui kondisi ekstraksi pigmen yang optimal,
dilakukan dengan memberikan kondisi ekstraksi yang berbeda-beda. Variasi kondisi ekstraksi
meliputi, variasi bahan, konsentrasi pelarut etanol dan rasio bahan : etanol. Bahan yang digunakan
adalah kulit buah kakao segar dan kulit yang dikeringkan. Variasi konsentrasi pelarut etanol yang
digunakan 75%, 85% dan 95%. Rasio bahan : etanol yang digunakan adalah 1:1, 1:2, dan 1:3. Hasil
penelitian menunjukkan kondisi ekstraksi yang memberikan kadar pigmen terekstrak paling banayak
adalah kondisi bahan segar, konsentrasi etanol 95% dan rasio bahan : etanol = 1:3.
Analisa kualitatif dilakukan untuk mengetahui kestabilkan pigmen terhadap suhu dan waktu
pemanasan, pH, serta keberadaan oksidator dan reduktor. Degradasi pigmen secara kualitatif
ditunjukkan oleh penurunan absorbansi pigmen apabila diamati dengan spektrofotometer pada λ 435
nm. Ekstrak pigmen dipanaskan pada suhu 70°C, 80°C, 90°C dan 100°C selama 15, 30, 45 dan 60
menit. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pigmen mengalami degradasi pada keempat suhu
pemanasan tersebut, degradasi secara nyata terjadi pada lama pemanasan sebelum 30 menit. Perlakuan
pH 3,4,5,7,8 dan 9 menunjukkan degradasi pigmen terjadi pada kondisi pH asam maupun basa.
Oksidator (larutan H2O2) dan reduktor (kristal Na2S2O3) yang ditambahkan pada pigmen dapat
mendegradasi pigmen.

UTILIZATION POSSIBILITY OF CACAO FRUIT SHELL (Theobroma cacao, L)


AS A SOURCE OF NATURAL PIGMENT (ββ- CAROTENE)

Abstract

The possibility to utilize cacao fruit shell as a source of natural pigment was studied. The
study included quantitative and qualitative aspects. Quantitative analysis to determine the optimum
condition of pigment extraction was done by varying the materials (fresh and dried cacao fruit shell),
the concentrations of ethanol as a solvent (75%, 85% and 95%) and the ratios between cacao fruit shell
and ethanol (1:1, 1:2, and 1:3). The highest concentration pigment extract (as µg β carotene/g
material) was given by these conditions : fresh cacao fruit shell, ethanol concentration 95% and the
ratio 1:3.
Qualitative analysis to determine the heat stability of the pigment extract was done by heat
treatment in vary temperatures and time exposures (70°C, 80°C, 90°C and 100°C for 15, 30, 45 and
60 minutes). Pigment degradation was detected by measuring the absorbance in λ 435 nm with
spectrophotometric analysis. Pigment degradation was detected in all temperatures during 30 minutes
heat treatment. Pigment was also unstable in acid and basic conditions (pH 3, 4, 5, 8 and 9) but stable
in neutral condition (pH 7). Degradation was occurred when H2O2 (oxidator) and Na2S2O3 (reductor)
were added to the pigment extract.


Staf Pengajar Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya

22
Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Kakao
(Siti Narsito Wulan)

PENDAHULUAN alami dan sintetis. Batas penggunaan zat


Usaha perkebunan merupakan salah pewarna sintetis sudah ditetapkan dalam SK
satu dari sekian banyak sumber limbah. Salah Menkes No. 239/1985, karena merupakan bahan
satu tanaman perkebunan yang menghasilkan yang berbahaya sehingga apabila melebihi dosis
limbah dalam jumlah besar adalah tanaman akan menimbulkan efek negatif bagi konsumen
kakao. Sampai saat ini pemanfaatan kulit buah pemakai. Efek negatif pewarna sintetis
kakao di perkebunan-perkebunan besar adalah kemungkinan disebabkan oleh pewarna
sebagai pupuk tanaman dengan cara ditimbun di makanan sintetis dimakan dalam jumlah kecil
sela-sela tanaman kakao. Kulit buah kakao namun berulang (Fardiaz, 1987). Proses
beratnya mencapai 75% seluruh berat buah, pembuatan zat warna sintetis biasanya melalui
sehingga dapat dikatakan bahwa limbah utama perlakuan pemberian asam sulfat atau asam
pengolahan buah kakao adalah kulit nitrat yang seringkali terkontaminasi oleh arsen
(cangkangnya). atau logam berat lainnya yang bersifat racun.
Setiap tanaman kakao rata-rata dapat Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum
menghasilkan ± 30 buah/tahun dengan berat mencapai produk akhir harus melalui senyawa
sekitar 300-500 gram/buah. Bila digunakan antara lebih dahulu yang kadang-kadang
jarak tanam 4 m X 4 m, maka untuk setiap berbahaya dan seringkali tertinggal dalam hasil
hektar lahan dapat ditanami 625 pohon. Buah akhir atau terbentuk senyawa-senyawa baru
kakao yang dapat dihasilkan sekitar 7,5 yang berbahaya (Winarno, 1992).
ton/ha/tahun. Berat kulit buah kakao mencapai Zat pewarna alami khususnya dari
75% seluruh berat buah atau setara dengan 5,6 tumbuh-tumbuhan dapat menjadi alternatif
ton/ha/tahun (Supriyanto, 1989). Menurut data untuk mewarnai produk makanan sehingga
statistik Indonesia (1992) luas areal tanaman kenampakannya menarik namun tetap aman.
kakao yang dibudidayakan sampai dengan tahun Beberapa sumber zat pewarna alami yang telah
1992 adalah 131.500 ha untuk perkebunan besar banyak digunakan sebagai pewarna makanan
dan 249.000 ha untuk perkebunan rakyat. Luas antara lain kunyit, sumba keling, cabai, daun
seluruhnya mencapai ± 380.000 ha. Kulit buah pandan, daun suji, dan lain-lain. Masih banyak
kakao sebagai bahan sisa dapat mencapai ± sumber-sumber zat pewarna alami di alam yang
2.000.000 ton/tahun, permukaan kulit luarnya belum dimanfaatkan, salah satunya adalah
yang paling banyak mengandung pigmen sekitar limbah kulit buah-buahan Kemungkinan
16% dari berat kulit seluruhnya atau setara limbah kulit buah kakao dapat dimanfaatkan
dengan 320.000 ton/tahun sehingga sangat sebagai zat pewarna. Kulit buah kakao dipilih
potensial untuk dimanfaatkan. karena limbahnya cukup banyak dan tanaman
Suwardi (1978) menyatakan bahwa kakao berbuah tidak dipengaruhi musim
kandungan gizi kulit buah kakao lebih baik sehingga di perkebunan-perkebunan besar dapat
dibandingkan dengan limbah perkebunan dipanen setiap hari.
lainnya seperti pucuk tebu, kulit kopi, tetes dan Ada satu hal yang harus diperhatikan
lain-lain. Kulit buah kakao mengandung ± 19% dalam memanfaatkan kulit buah kakao sebagai
protein; 6,2% lemak dan 16% serat kasar. zat pewarna yaitu kandungan senyawa polifenol
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan yang cukup tinggi (Supriyanto, 1989). Bila
untuk memanfaatkan kulit buah kakao antara kulit buah dipotong, jaringannya cepat berwarna
lain sebagai pakan ternak (Supadiyo, 1980), coklat sehingga pada saat ekstraksi pigmen
pembuatan tepung (Supriyanto, 1989 dan dapat ikut terekstrak dan mengganggu
Muttaqin, 1996), dan pembuatan ekstrak pektin kenampakan/warna pigmen yang dikehendaki.
(Noor Endah, 1990). Selain kaya zat-zat gizi, Sebagai perlakuan pendahuluan perlu dilakukan
kulit cangkang buah kakao kaya akan zat warna pencegahan terjadinya reaksi pencoklatan
sehingga kemungkinan dapat dimanfaatkan enzimatis oleh senyawa polifenol tersebut.
untuk produksi zat warna makanan atau cat. Supriyanto (1989) dalam penelitiannya
Zat pewarna untuk makanan dibedakan tentang pemanfaatan kulit buah kakao sebagai
menjadi tiga yaitu zat pewarna alami, identik tepung menyatakan bahwa warna kuning pada

23
JURNAL TEKNOLOGI PERTANIAN, VOL. 2, NO. 2, AGUSTUS 2001 : 22-29

tepung kulit buah kakao disebabkan oleh adanya HASIL DAN PEMBAHASAN
pigmen karotenoid, namun belum ada penelitian A. Analisa Kuantitatif
yang khusus mengidentifikasi pigmen tersebut.
Pada penelitian ini akan dilakukan pengujian Tabel 1.
sifat-sifat pigmen pada kulit buah kakao yang Kadar Air Kulit Buah Kakao
meliputi kelarutannya pada berbagai jenis dan No. Perlakuan Kadar air
konsentrasi pelarut, kestabilannya pada berbagai (%)
kondisi pH, suhu dan waktu pemanasan, serta 1. Bahan segar 79,50 ± 0,99
kestabilan terhadap oksidator dan reduktor. 2. Bahan kering 17,96 ± 0,33
Penelitian ini bertujuan menguji sifat fisik dan
kimia pigmen kulit buah kakao untuk
mengetahui kualitas pigmen tersebut sehingga Analisa statistik pengaruh bahan
diharapkan dapat membuka kemungkinan terhadap kadar pigmen terekstrak menunjukkan
pemanfaatannya dalam industri zat warna. bahwa dari kulit buah kakao yang segar dapat
diekstrak pigmen dalam jumlah lebih besar
BAHAN DAN METODE secara nyata daripada kulit buah kakao yang
Bahan utama penelitian yaitu kulit buah dikeringkan. Beberapa penelitian sebelumnya
kakao berwarna kuning varietas Trinitario menyatakan bahwa bahan yang dikeringkan
diambil dari Kecamatan Pengasih Kabupaten mudah kehilangan pigmen karotenoid
Kulon Progo, DIY. Kulit buah kakao dipotong- khususnya β-karoten, karena cenderung
potong dengan ukuran yang seragam kemudian mengalami oksidasi. Reaksi oksidasi terjadi
diblanching selama 5 menit untuk karena pada pengeringan terutama pengeringan
menginaktifkan enzim fenolase dan dipisahkan konvensional, bahan dibiarkan kontak dengan
bagian yang berwarna kuning. Selanjutnya udara, selain itu sinar matahari turut
direndam dalam larutan asam askorbat 0.5% mengkatalisa terjadinya reaksi ini. Turunnya
untuk mencegah pencoklatan. Kulit buah kakao aktivitas air akibat pengeringan juga
dibagi menjadi 2 perlakuan pendahuluan yaitu menyebabkan terjadinya degradasi β-karoten.
kulit segar dan kulit yang dikeringkan. Lima
Hasil degradasi β-karoten antara lain β-karoten
gram kulit segar setelah dianalisa kadar airnya
5,6 epoksida, mutakrom-5,8, epoksida
(AOAC, 1970) ekuivalen dengan 1.92 g kulit
(Tannenbaum dalam Fennema, 1979).
kering. Kemudian masing-masing diekstrak
Hasil ekstraksi dengan berbagai variasi
dengan etanol 75%, 85% dan 95% dengan rasio
konsentrasi pelarut etanol menunjukkan bahwa
etanol: kulit ; 1:1 (volume etanol 50 ml), 1:2
makin besar konsentrasi etanol yang digunakan
(volume etanol 100 ml) dan 1:3 (volume etanol
kadar pigmen yang dapat diekstrak juga makin
150 ml) sebanyak 3 ulangan. Kadar pigmen
besar secara nyata. Etanol adalah pelarut
terekstrak (dinyatakan dalam kadar β karoten) organik yang bersifat polar atau dapat
dianalisa dengan metode CarrPrice (1970) bercampur dengan air (Sudarmadji dkk, 1989).
dalam (Winsten, 1972). Semakin rendah konsentrasi etanol (semakin
Sifat fisik dan kimia pigmen kulit buah
banyak air yang ditambahkan), gugus −OH pada
kakao yang meliputi kestabilan terhadap suhu
etanol akan membentuk ikatan hidrogen dengan
dan lama pemanasan, kestabilan terhadap
air (Hardjosudirdjo, 1991). Sementara itu
kondisi pH dan kestabilan terhadap keberadaan
senyawa pigmen yang dapat diikat menjadi
zat-zat oksidator dan reduktor diuji dengan
berkurang.
spektrofotometer (Fardiaz, 1995) Hasil analisa
kadar pigmen dan pengujian sifat fisik dan
kimia pigmen dianalisa statistik (SPSS) dengan
LSD pada P = 0.05.

24
Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Kakao
(Siti Narsito Wulan)

Tabel 2.
Pengaruh Bahan, Konsentrasi Pelarut Etanol dan Rasio Bahan :
Etanol terhadap Kadar Pigmen Terekstrak *)
No Bahan Konsentrasi Rasio Bahan : Etanol (g/ml)
Etanol (%) 1:1 1:2 1:3
1. Segar 75 5.28 ± 0.12a 9.05 ± 0.43ab 10.95 ± 0.70b
85 13.78 ± 0.00bc 22.45 ± 0.09d 23.32 ± 0.05d
95 22.80 ± 2.60d 29.15 ± 2.60e 40.39 ± 0.07f
2. Kering 75 5.98 ± 0.12a 7.10 ± 0.25ab 11.78 ± 0.00b
85 13.53 ± 0.00bc 17.19 ± 0.48c 17.39 ± 0.74c
95 23.18 ± 0.25d 29.91 ± 0.54e 32.53 ± 1.97ef
*) kadar pigmen dalam µg β-karoten/g kulit rata-rata 3 ulangan
huruf pangkat yang berbeda menunjukkan beda nyata (α = 0,05)

Tanpa memperhatikan faktor bahan dan bahan : etanol menunjukkan bahwa antar rasio
konsentrasi etanol, analisa statistik yang digunakan kadar pigmennya tidak berbeda
menunjukkkan bahwa perlakuan variasi rasio nyata.
bahan : etanol tidak menghasilkan kadar pigmen Analisa statistik untuk mengetahui
terekstrak yang berbeda nyata antara rasio adanya interaksi antara bahan dan konsentrasi
1:1,1:2 dan 1:3. Jumlah pelarut yang etanol yang digunakan terhadap kadar pigmen
ditambahkan berhubungan dengan kapasitas terekstrak menunjukkan bahwa, baik pada
pelarut. Kapasitas pelarut ditentukan oleh titik bahan segar maupun bahan kering perlakuan
kejenuhan solut (zat terlarut) di dalam solven konsentrasi yang semakin besar meningkatkan
(pelarut). Pelarut yang kapasitasnya rendah kadar pigmen terekstrak secara nyata. Apabila
diperlukan dalam jumlah besar (Larian, 1978). dibandingkan antara bahan segar dan bahan
Pada jenis pelarut yang sama, kadar pigmen kering, kadar pigmen terekstrak dari bahan
dalam kulit buah kakao dianggap homogen, dan segar lebih besar daripada bahan kering. Selain
waktu ekstraksi yang sama, faktor yang disebabkan oleh degradasi pigmen karotenoid,
berpengaruh adalah jumlah pelarut yang reaksi pencoklatan pada jaringan kulit buah
ditambahkan. Pada rasio 1:1, pelarut etanol kakao selama pengeringan juga mengurangi
akan lebih cepat menjadi jenuh setelah pigmen karotenoid yang dapat diekstrak.
mencapai kadar pigmen tertentu dibandingkan Senyawa hasil reaksi pencoklatan yang larut
dengan perlakuan 1:2 dan 1:3 Hal ini dalam air (Ramakrishnan dan Francis, 1973)
dibuktikan dengan besarnya absorbansi pada mendominasi warna ekstrak pada kondisi
panjang gelombang 450 nm. Tiap volume ekstraksi bahan kering dengan pelarut etanol
ekstrak pigmen yang sama, absorbansi untuk 75% dan 85%. Pada perlakuan ekstraksi dengan
rasio 1:1 lebih besar daripada absorbansi untuk pelarut etanol 95%, warna ekstrak tetap kuning.
rasio 2:1 dan 3:1. Pada perhitungan kadar Hal ini disebabkan pada konsentrasi 75% dan
pigmen terlarut, karena volume pelarut yang 85% air yang ditambahkan lebih banyak
ditambahkan berbeda-beda maka faktor sehingga senyawa hasil reaksi pencoklatan yang
perkaliannya juga berbeda. Kadar pigmen tiap diikat lebih banyak.
volume ekstrak pigmen yang sama pada rasio Interaksi antara bahan dengan rasio
1:1 lebih besar daripada perlakuan rasio 1:2 dan bahan : etanol yang digunakan terhadap kadar
1:3, tetapi karena volume pelarut seluruhnya pigmen terekstrak dianalisa statistik. Hasilnya
lebih sedikit daripada rasio 1:2 dan 1:3 maka menunjukkan bahwa pada bahan segar kenaikan
faktor perkaliannya juga lebih kecil. Walaupun rasio bahan : etanol yang digunakan
demikian kadar pigmen tidak ditentukan oleh meningkatkan kadar pigmen terekstrak secara
besarnya faktor perkalian ini. Menurut analisa nyata, sementara pada bahan kering kenaikan
statistik untuk pengaruh utama variasi rasio rasio bahan : etanol tidak meningkatkan kadar

25
JURNAL TEKNOLOGI PERTANIAN, VOL. 2, NO. 2, AGUSTUS 2001 : 22-29

pigmen terekstrak secara nyata. Apabila pelarut etanol : bahan, makin besar rasio
ditinjau dari tekstur bahan yang dikeringkan, meningkatkan kadar pigmen terekstrak secara
bahan mengalami perubahan kimia dan fisik nyata pada konsentrasi 95% baik bahan segar
pada permukaan dan membentuk kulit yang maupun kering.
keras dan impermiabel (Fellows, 1988).
Dengan kondisi permukaan kulit buah kakao B. Analisa Kualitatif Sifat-sifat Pigmen Kulit
seperti tersebut di atas penambahan volume Buah Kakao
pelarut yang digunakan tidak meningkatkan 1. Kestabilan terhadap suhu dan lama
kadar pigmen terekstrak secara nyata. pemanasan
Hasil analisa statistik untuk mengetahui Hasil percobaan tentang pengaruh suhu
interaksi antara konsentrasi etanol dengan rasio terhadap absorbansi pigmen karotenoid kulit
etanol : bahan menunjukkan bahwa kenaikkan buah kakao menunjukkan bahwa antara suhu
kadar pigmen terekstrak secara nyata yang 70°C, 80°C, 90°C dan 100°C penurunan
disebabkan oleh kenaikan rasio hanya terjadi absorbansi pigmennya tidak berbeda nyata (α =
pada konsentrasi etanol 95%. Hal ini 0,05). Sementara pengujian pengaruh lama
disebabkan pada konsentrasi 95% daya pemanasan terhadap absorbansi pigmen
ekstraksinya paling besar sehingga peningkatan menunjukkan bahwa pada umumnya penurunan
rasio etanol : bahan berpengaruh nyata terhadap absorbansi secara nyata terjadi setelah
kadar pigmen terekstrak. pemanasan selama 30 menit. Selanjutnya
Pengaruh interaksi bahan, konsentrasi penurunan absorbansi hampir sama dengan
etanol dan rasio etanol : bahan dianalisa secara sebelumnya. Penurunan absorbansi secara
statistik. Pada umumnya dapat dikatakan kualitatif menyatakan penurunan intensitas
bahwa bahan segar menghasilkan kadar pigmen warna. Gambar 1 menunjukkan bahwa terjadi
terekstrak yang lebih besar secara nyata (α = penurunan absorbansi (penurunan intensitas
0,05) dibandingkan bahan kering. Pada warna) dengan naiknya suhu dan semakin
perlakuan konsentrasi pelarut, makin besar lamanya waktu pemanasan meskipun tidak
konsentrasi etanol yang digunakan begitu besar.
meningkatkan kadar pigmen terekstrak secara
nyata (α = 0,05). Sementara perlakuan rasio

0.3

0.25

0.2 70
absorbansi

80
0.15
90
0.1 100

0.05
Suhu
0
0 15 30 45 60

w aktu (m enit)

Gambar 1. Grafik Pengaruh suhu dan lama pemanasan terhadap absorbansi pigmen.

26
Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Kakao
(Siti Narsito Wulan)

Menurut Mudambi dan Rajagopal 5,6;5’,6’ diepoksi zeaxanthin dan di bawah


(1977), penurunan intensitas warna karena kondisi asam membentuk senyawa 5,8;5’,8’-
kerusakan β-karoten yang besar terjadi pada difuranoid auroxanthin yang sangat labil dan
pemanasan lebih dari 100°C. Belitz dan Grosch mudah terdegradasi pada kondisi pH 3,25 dan
(1987) dalam Srikandi Fardiaz, dkk (1995) 4,5.
menyatakan bahwa karotenoid relatif stabil Goodwin (1980) dalam Srikandi
terhadap pemanasan. Namun terjadi juga Fardiaz dkk, (1995) menyatakan bahwa
stereomutasi secara lambat sehingga intensitas kebanyakan karotenoid stabil terhadap basa.
tetap turun (Davidek et.al, 1990) dalam Srikandi Namun ada beberapa perkecualian untuk
Fardiaz, dkk (1995). Stereomutasi merubah astaxanthin, aktinoeritrin, peridinin dan
ikatan trans menjadi cis yang berakibat pada fukosantin yang tidak stabil terhadap basa
pengurangan intensitas warna. walaupun dalam keadaan anaerobik. Kenaikan
absorbansi pada pH 9 mungkin disebabkan oleh
2. Kestabilan terhadap pH adanya koagulan berwarna merah yang tidak
Pada perlakuan asam (pH 3,4,5) larut dalam pelarut etanol, kemudian
penurunan absorabnsi pigmen (penurunan mengendap. Koagulan berwarna merah
intensitas warna) terjadi secara nyata pada mungkin ditimbulkan oleh adanya reaksi antara
waktu kontak 0-6 jam. Selanjutnya penurunan salah satu pigmen karotenoid dalam ekstrak
tidak terlalu nyata. Pada perlakuan pH netral etanol dengan basa.
pigmen cenderung stabil dengan tidak adanya
perubahan absorbansi selama 12 jam waktu 3. Kestabilan terhadap Oksidator dan
kontak. Sementara itu perlakuan basa Reduktor
menyebabkan kenaikan absorbansi pigmen . Hasil percobaan menunjukkan bahwa
Pada pH 8 pigmen cenderung stabil dengan penurunan absorbansi pigmen akibat
kenaikan absorbansi yang tidak nyata selama penambahan oksidator lebih besar secara nyata
waktu kontak. Kenaikan pH secara nyata terjadi (α = 0,05) dibandingkan dengan penambahan
pada pH 9 setelah 6 jam waktu kontak. reduktor. Penurunan cukup tajam terjadi setelah
Selanjutnya kenaikan absorbansi tidak terlalu 3 jam waktu kontak, selanjutnya penurunan
nyata ( α= 0,05). tidak nyata sampai dengan 12 jam waktu kontak
Goodwin (1978) dalam Srikandi dengan oksidator. Pada reduktor penurunan
Fardiaz, dkk., (1995) menyatakan bahwa absorbansi pigmen secara nyata setelah 3-6 jam.
perubahan akibat kondisi asam melibatkan Selanjutnya penurunan absorbansi tidak nyata.
pengurangan kromofor. Secara visual dapat Hasil akhir oksidasi pigmen karotenoid
dilihat dengan terjadinya pemucatan warna yang adalah pembentukan epoksida yang memiliki
dapat diukur dengan penurunan absorbansi. serapan lebih rendah dibandingkan β-karoten
Menurut Moss and Weddon (1976) dalam (Goodwin, 1981) dalam Srikandi Fardiaz dkk.
Farhangi dan Valaddon (1981), pada kondisi (1995). Sementara itu Davidek et.al (1980)
asam, isomerisasi dari all trans karoten menjadi dalam Sriakndi Fardiaz, dkk. (1995)
campuran isomer cis-trans. Sementara Woolfe menyatakan bahwa jika karotenoid kontak
(1979) dalam Farhangi dan Valaddon (1981), dengan radikal bebas misalnya radikal dari
menyatakan bahwa pada kondisi asam biasanya oksidator H2O2 yang digunakan dalam
memungkinkan isomerisasi epoksid dengan percobaan ini akan terjadi oksidasi. Oksidasi
konversi dari senyawa 5,6 mono epoksi dan diikuti dengan autooksidasi sehingga
5,6;5’,6’diepoksi menjadi masing-masing 5,8 menyebabkan penurunan intensitas warna.
dan 5’,8’furanoepoksid. Lebih jauh Farhangi Haralampu dan Karel (1983) menambahkan
dan Valadon (1981) menyatakan bahwa β- bahwa reaksi oksidasi β-karoten mengikuti
karoten, zeaxanthin, dan lutein adalah senyawa reaksi orde satu atau reaksi orde satu semu.
yang tidak selabil karotenoid yang lain sehingga
lebih tahan terhadap kondisi asam. Sementara
violaxanthin yang merupakan turunan dari

27
JURNAL TEKNOLOGI PERTANIAN, VOL. 2, NO. 2, AGUSTUS 2001 : 22-29

1.2

1
3
0.8 4
absorbansi

5
0.6
7
0.4 8
9
0.2
pH
0
0 3 6 9 12

w aktu (jam )

Gambar 2. Grafik pengaruh pH dan waktu kontak terhadap absorbansi pigmen

0.18
0.16
0.14
0.12
absorbansi

0.1 red.
0.08 oks.
0.06
0.04
0.02
0
0 3 6 9 12

w aktu (jam )

Gambar 3. Grafik Pengaruh reduktor, oksidator dan waktu kontak terhadap absorbansi pigmen

Penambahan reduktor pada pigmen akan diekstrak, konsentrasi pelarut etanol yang
mengakibatkan penurunan serapan atau digunakan, dan rasio antara pelarut : bahan pada
pengurangan intensitas warna pigmen. Hal ini saat ekstraksi. Pengaruh terbesar berturut-turut
mungkin disebabkan terjadinya reaksi adisi pada kondisi bahan, konsentrasi pelarut etanol
pada ikatan rangkap atau reduksi pada gugus dan terakhir rasio pelarut :bahan. Kulit segar
kromofor yang menyebabkan terjadinya menghasilkan kadar pigmen lebih tinggi
pemucatan (Srikandi Fardiaz dkk, 1995). daripada kulit kering pada kondisi ekstraksi
yang sama. Makin besar konsentrasi etanol
KESIMPULAN DAN SARAN makin banyak pigmen yang dapat diekstrak.
Kesimpulan Pengaruh rasio besar makin meningkatkan
Kadar pigmen β-karoten yang dapat kadar pigmen terlihat pada konsentrasi pelarut
diekstrak dipengaruhi oleh kondisi bahan yang etanol 95%.

28
Pemanfaatan Limbah Kulit Buah Kakao
(Siti Narsito Wulan)

Pigmen karotenoid relatif stabil pada Fellows, P.J., 1988. Food Processing
pemanasan suhu 70°C-100°C dan waktu Technology Principles and Practise.
pemanasan kurang dari 30 menit. Dengan Ellis Horwood Series in Food Sci. and
demikian pigmen ini hanya dapat digunakan Tech. New York
pada makanan yang diolah pada suhu kurang Haralampu, S.G., Karel, M., 1983. Kinetic
dari 100°C dan waktu pemanasan yang singkat. Models for Moisture Dependance of
Pigmen karotenoid kurang stabil terhadap pH Acorbic Acid and β-karoten
asam dan pH basa, sehingga hanya dapat Degradation in Dehydrated Sweet
diaplikasikan pada produk makanan dan Potato. J.Food.Sci. 48: 872-873.
minuman yang mempunyai pH netral. Pigmen
karotenoid tidak stabil terhadap oksidator dan Hardjosudirdjo, 1991. Kimia Organik. FMIPA,
reduktor. UGM, Yogyakarta.
Kasmidjo, R., 1991. Penanganan Limbah
Saran Pertanian, Perkebunan dan Industri
Pada penelitian ini hanya dilakukan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. UGM.
pengamatan sifat-sifat pigmen kulit buah kakao Yogyakarta.
dan mencari optimasi ekstraksi pigmennya
untuk mengetahui seberapa besar potensinya Larian, M.J., 1958. Fundamental of Chemical
sebagai zat pewarna. Selanjutnya perlu diteliti Engineering Operations. Englewood,
tentang kemungkinan wujud produk zat Cliffs, NJ.
pewarna ini. Mudambi, R.S., Rajagopal, M.V., 1977. Effect
of Heat on The β-karoten Contents of
DAFTAR PUSTAKA Nigerian Palm Oil. J.Food.Sci. 42:
AOAC, 1970. Official Methode of Analysis. 1414-1415.
Association of Analytical Chemistry, Muttaqin, I., 1996. Tepung Kulit Buah Kakao
Washington DC. sebagai Campuran Pembuatan Roti
Annonim, 1988. Pedoman Penyuluhan Industri Tawar. Skripsi, FTP, UGM.
Makanan Skala Kecil. Depkes RI, Ramakrishnan, T.V., Francis, F.J., 1973. Color
Dirjen POM, Direktorat Pengawasan and Carotenoid Changes in Heated
Makanan dan Minuman, Jakarta. Paprika. J.Food Sci. 38:25.
Endah, C.N., 1990. Optimasi Ekstraksi Pektin Sudarmadji S., Suhardi, Haryono, B., 1989.
Kulit Buah Kakao. Skripsi, FTP, UGM, Analisa Bahan Makanan dan
Yogyakarta. Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Farhangi , M., Valadon, L.R., 1981. Effect of Supriyanto, 1989. Karakterisasi Tepung Kulit
Acidified Processing and Storage on Buah Kakao. Laporan Penelitian, FTP,
Carotenoid (Provitamin A) and Vitamin UGM, Yogyakarta.
C in Mung Bean Sprouts. J.Food .Sci.
46 : 1464-1469. Tannenbaum, S. 1979. Vitamins and Minerals
dalam Fennema, R.O., 1979.
Fardiaz, 1987. Bahan Tambahan Makanan Biochemistry of Food.
(Food Additive): Risalah Seminar, PAU AVI.Publ.Co.NY.
Pangan Gizi, IPB, Bogor.
Winarno, F.G., 1992. Kimia Pangan dan Gizi.
Fardiaz, S., Helda, K., Lilis, N., 1995. Gramedia Pustaka, Jakarta.
Pengaruh Faktor Fisik dan Kimia
terhadap Stabilitas Pigmen Karotenoid Winsten, S., Dalala, F.R., 1972. Manual of
dari Kapang Oncom Merah. Buletin Chemical Laboratory Procedure for
Teknologi Pangan, IPB, Bogor. Non-Routine Problem. CRC Press,
Cleceland, Ohio.

29
JURNAL TEKNOLOGI PERTANIAN, VOL. 2, NO. 2, AGUSTUS 2001 : 22-29

30

Anda mungkin juga menyukai