Dampak Covid 19 Bagi Perbankan
Dampak Covid 19 Bagi Perbankan
Dampak Covid-19 khususnya bagi perbankan yang ada di Indonesia pada setiap segmen
pasti berbeda. Dampak yang dimaksud disini misalnya seperti potensi pendapatan dan lain-
lainnya baik pra maupun pasca Covid-19. Berikut akan saya jabarkan dampak Covid-19 bagi
perbankan: Untuk segmen nasabah korporasi, proyeksi revenue industri perbankan pada tahun
ini sebelum ada Covid-19 diprediksi mencapai Rp 90 triliun. Pasca kemunculan Covid-19,
proyeksi revenue industri perbankan di segmen ini diprediksi turun menjadi Rp 81 triliun
sampai Rp 84 triliun. Jadi diperkirakan turun 7% sampai 10%. Untuk segmen nasabah SME
atau UKM, proyeksi revenue industri perbankan pada tahun ini sebelum ada Covid-19
diprediksi mencapai Rp 77 triliun. Pasca kemunculan Covid-19, proyeksi revenue industri
perbankan di segmen ini diprediksi turun menjadi Rp 68 triliun sampai Rp 71 triliun. Jadi
diperkirakan turun 7% sampai 11%. Untuk segmen nasabah mikro, proyeksi revenue industri
perbankan pada tahun ini sebelum ada Covid-19 diprediksi mencapai Rp 46 triliun. Pasca
kemunculan Covid-19, proyeksi revenue industri perbankan di segmen ini diprediksi turun
menjadi Rp 37 triliun sampai Rp 39 triliun. "Jadi diperkirakan turun 14% sampai 19% . Untuk
segmen nasabah ritel, proyeksi revenue industri perbankan pada tahun ini sebelum ada Covid-
19 diprediksi mencapai Rp 241 triliun. Pasca kemunculan Covid-19, proyeksi revenue industri
perbankan di segmen ini diprediksi turun menjadi Rp 214 triliun sampai Rp 222 triliun. "Jadi
diperkirakan turun 8% sampai 11%. Industri perbankan, dan juga industri jasa keuangan secara
umum sudah melakukan tranformasi digital menghadapi Revolusi Industri 4.0. "Namun
pandemi Covid-19 menjadi katalisator bagi konsumen untuk beralih melakukan transaksi
secara digital.
Pada bulan Mei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali mengeluarkan kebijakan
lanjutan dengan merelaksasi ketentuan di sektor perbankan untuk lebih memberikan ruang
likuiditas dan permodalan perbankan sehingga stabilitas sektor keuangan tetap terjaga di
tengah pelemahan ekonomi sebagai dampak pandemi covid-19. Dalam kesempatan ini,
disampaikan paket kebijakan stimulus lanjutan di sektor perbankan yang terdiri dari:
Selanjutnya, dampak covid-19 bagi perbankan, mau tidak mau perbankan lebih meningkat
lagi kualitas digitalnya, karena sekarang disaat pandemi semua kebutuhan yang melalui
perbankan seperti pembayaran online kebutuhan sehari-hari yang semula dapat dilakukan secara
langsung kini sedikit demi sedikit mulai beralih menggunaka digital. Misal perbankan harus
meningkatkan lagi fitur-fitur yang belum ada di digital bank, meningkatkan keamanan yang
susah diretas oleh para hacker. Dengan keterbatassan waktu disaat pandemi saat ini semua orang
memilih belanja online dibanding keluar, karena mereka menghindari kontak fisik dengan orang
lain, tidak seperti sebelumnya bebas keluar tanpa memakai masker dan memenuhi protokol
kesehatan. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan dengan melalui belanja online melalui
marketplace, bank dapat meningkatkan ulang online bankingnya misalnya, mempromosikan
bagaimana mudahnya dan aman menggunakan digital banking yang mudah diakses dimana saja.
Perseroan sebenarnya sudah melakukan inovasi digital sejak lama, termasuk dalam
pengembangan mobile banking dan sejumlah aplikasi maupun paltform lain. Adanya pandemi
Covid-19 membuat perbankan harus lebih gencar mempercepat digitalisasi. Kini, terdapat tren-
tren yang mengalami percepatan di industri perbankan yakni cashless payment, digital channel,
digital attacker, proteksi terhadap produk, dan penurunan pinjaman konsumen ritel. Sekitar 30
persen nasabah berpindah ke digital, porsi online customers sebanyak 15 persen, peningkatan
pembayaran digital sebanyak 57 persen, dan peningkatan 30 persen volume pengajuan kredit
secara online yang dilakukan UKM. Maka, dengan kondisi pandemi sekarag ini harus
dimanfaatkan dengan baik oleh perbankan utnuk meningkatkan pendapatan dari FBI dan
melakukan efieiensi karena turunnya biaya operasi.
Seiring dengan kasus COVID-19 yang masih bertambah, ekonomi global terkontraksi pada
triwulan II-2020 sebagai dampak dari melemahnya kegiatan usaha dan permintaan secara global
akibat pemberlakuan lock down atau pembatasan ekonomi dan sosial di banyak negara. Banyak
negara mengalami resesi ekonomi karena mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi
(pertumbuhan negatif) yang berlanjut dari triwulan sebelumnya. Sebagai upaya pemulihan,
berbagai kebijakan fiskal dan moneter ditempuh oleh Pemerintah dan Otoritas untuk dapat
mendorong konsumsi dan investasi vis-àvis produksi. Sejalan dengan perekonomian global,
ekonomi domestik pada triwulan II-2020 terkontraksi -5,32% (yoy) jauh menurun dibandingkan
triwulan sebelumnya yang tumbuh 2,97% (yoy). Penurunan terjadi pada semua jenis
pengeluaran, utamanya pada konsumsi menurun akibat lemahnya daya beli yang menekan
permintaan dan pada investasi sejalan dengan kegiatan usaha yang masih belum normal akibat
pemberlakuan PSBB transisi. Lemahnya permintaan dan kegiatan usaha tersebut berdampak
pada perlambatan kredit yang hanya tumbuh 1,49% (yoy), sementara DPK tumbuh lebih tinggi
sebesar 7,95% (yoy). Hal tersebut berdampak pada penurunan LDR perbankan ke level 88,64%,
yang menunjukkan bahwa sisi funding bank cukup baik sementara sisi lending terbatas, dan
berdampak pada kondisi likuiditas yang cukup terjaga sebagaimana terefleksi dari rasio AL/NCD
dan AL/DPK yang jauh di atas threshold. Selain itu, ketahanan perbankan secara umum juga
masih terjaga didukung oleh kondisi permodalan bank yang cukup solid dengan CAR tercatat
sebesar 22,50%. Namun demikian, perlu diperhatikan peningkatan risiko kredit dan penurunan
rentabilitas pada periode ini seiring dengan penurunan aktivitas ekonomi sebagai pengaruh
pandemi COVID-19 karena dapat menggerus permodalan bank di masa mendatang.
Bank melakukan mitigasi risiko, penyaluran kredit kini juga dibatasi oleh bank. Ini seiring
makin tingginya risiko alias loan at risk (LaR) selama pandemi. Sampai akhir semester I-2020,
rasio LAR telah mencapai 14,8%, level tertinggi sejak 2013. Penyebab utamanya memang soal
pandemi yang bikin bikin ekonomi terhenti. OJK mencatat sampai Agustus 2020, pertumbuhan
kredit masih negatif 1,69% (ytd). Kelompok bank swasta dan bank pelat merah jadi penyebab
utama, masin-masing mencatat pertumbuhan negatif 3,83% (ytd), dan 0,88% (ytd). Sementara
bank daerah, bank campuran tercatat telah meraih pertumbuhan yang positif masing-masing
sebesar 1,70% (ytd), dan 1,46 (ytd). Khusus untuk bank daerah, pertumbuhan kredit utamanya
ditopang oleh penyaluran kredit kepada aparat sipil negara (ASN) yang sebenarnya tak
berdampak banyak terhadap pemulihan ekonomi nasional.
Lembaga Penjamin Simpanan ( LPS) menyatakan, tidak semua bank kebal terhadap kondisi
pemburukan akibat pandemi Covid-19. Secara individual, bank- bank kecil merupakan yang
paling rentan mengalami risiko likuiditas. Permasalahan likuiditas bukan terjadi pada industri
perbankan, namun lebih kepada ketahanan individual bank. Sayangnya, beberapa bank kecil
akan sulit mendapat pasar dan menjadi yang paling rentan akibat Covid-19. Bank kecil adalah
yang rentan di kondisi seperti ini, karena permodalan tidak cukup besar, DPK terpusat di
beberapa deposan saja, dan risiko kreditnya juga meningkat. Secara keseluruhan kondisi
fundamental perbankan masih dalam posisi stabil. Data Otoritas Jasa Keuangan per April 2020
menunjukkan, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) masih terjaga di level
22,03 persen, ROA 22,03 persen, BOPO 84,84 persen, dan rasio kredit bermasalah atau NPL
gross terjaga di level 2,89 persen. Kendati tak memungkiri, adanya penurunan ROA dari periode
Maret-April. Kebanyakan perbankan sudah mengandalkan pendapatan dari fee based income
alih-alih suku bunga kredit yang permintaannya memang menurun. Akibatnya, LDR
menunjukkan tendensi penurunan. Diprediksi pertumbuhan kredit pada 2020 ini akan mengecil
sekitar 1 persen. Tapi kondisi perbankan secara relatif masih memiliki cukup likuiditas untuk
menghadapi gejolak dan perlambatan akibat pandemi Covid-19. Sumber kerentanan munculnya
risiko likuiditas perlu diperhatikan. Sumber-sumber itu antara lain dari aspek kualitas kredit yang
memburuk begitu cepat jika pandemi berkepanjangan atau jika proses pemulihan ekonomi
berjalan lambat. Sumber kerentanan lainnya adalah daya tahan likuiditas dari perbankan, terlihat
dari penurunan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penurunan arus kas (cash flow) di tingkat
individual bank. Peningkatan risikonya dipicu oleh pemburukan kualitas aset dan likuiditas yang
dapat meluas dan mempengaruhi baik dari sisi pendanaan, pendapatan, dan biaya. Di sisi lain,
rendahnya pertumbuhan kredit berpengaruh pada pendapatan bunga bank. Meningkatnya risiko
kredit pun akan meningkatkan pencadangan bank. Perlu mewaspadai dari adanya risiko
segmentasi likuiditas yang mulai menunjukkan retensi peningkatan ini. Ancaman dan Risiko
yang dihadapi perbankan akan meluas ke sektor keuangan secara umum. Pada Juni 2020 masih
ditengah kondisi pandemi covid-19, Kredit mencapai Rp 5.549 triliun dengan pertumbuhan
1,49% dibandingkan tahun lalu. Pertumbuhan kredit perbankan tumbuh didukung oleh
pertumbuhan kredit investasi dan konsumsi. Sementara berdasarkan sektornya, transportasi
sebesar 9,97%, pertambangan 7,69%, konstruksi 4,41%, dan pertanian 4,31%. Sementara DPK
perbankan tetap tumbuh positif 7,95% atau senilai Rp 6.175,36 triliun. Pertumbuhan DPK
ditopang oleh pertumbuhan DPK BUKU 4 yang masih tumbuh double digit (11,90% yoy).
Wimboh mengatakan Koordinasi OJK dengan Kementerian Keuangan melalui penempatan dana
pemerintah ke Bank Himbara dan BPD yang selanjutnya disalurkan ke UMKM juga menopang
pertumbuhan kredit bulan Juni. Selain itu, skema penjaminan kredit UMKM juga mendorong
pertumbuhan kredit perbankan.
Sementara dari permodalan juga masih terjaga stabil pada level yang tinggi, CAR perbankan
pada Juni pun naik menjadi 22,59% dari 22,14% pada Mei. LDR pun semakin longgar di angka
88,64% pada Juni, turun dibandingkan sebulan sebelumnya yang tercatat 90,42%. Sektor
perbankan terdampak akibat PSBB Total sebab di tengah ketidakpastian ekonomi akibat
pandemi covid-19 tentunya tingkat hutang-hutang yang gagal bayar akan meningkat dan akan
memperkeruh angka Non-Performing Loan (NPL).Secara profil risiko perbankan juga masih
terjaga, dengan NPL Gross perbankan di level 3,1%. Meski tingkat NPL telah meningkat tajam
dibandingkan dengan Desember 2019 yang tercatat 2,53%, kenaikan disebut berasal dari nasabah
yang memang sudah mengalami masalah sejak sebelum pandemi. Nilai NPL yang meningkat ini
paling besar disumbang oleh kredit modal kerja yang sebesar 3,69%, kemudian diikuti oleh NPL
dari kredit investasi sebesar 2,58% dan NPL dari kredit konsumer sebesar 2,22%. Berdasarkan
sektornya, NPL paling tinggi berasal dari sektor pertambangan yang hingga akhir semester I-
2020 berada di angka 4,9%. Diikuti kemudian oleh sektor perdagangan yang sebesar 4,5% dan
sektor pengolahan yang sebesar 4,5%. Tren meningkatnya NPL sektor perdagangan besar,
pengolahan, dan rumah tangga yang memiliki porsi 57% dari total kredit.
Maka kesimpulan yang dapat diambil dari gambaran umum dampak covid-19 bagi
perrbankan, antara lain sebagai berikut: