SEJARAH
AKUNTANSI
Tujuan Umum
Tujuan mempelajari bab ini agar Anda memahami sejarah akuntansi. "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin
Tujuan Khusus (kamu); sebagian mereka adalah
pemimpin bagi sebagian yang
Secara khusus tujuan mempelajari bab ini agar Anda mampu: lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi
1. Memahami sejarah akuntansi dan hubungannya dengan pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan
praktik akuntansi. mereka. Sesungguhnya Allah
2. Memahami latar belakang dan bagaimana akuntansi itu tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang zhalim" (QS, Al
dipakai masa lalu. Maidah: 51)
A. PENDAHULUAN
Mayoritas ahli sejarah akuntansi, seperti Sieveking, mengira bahwa akuntansi tumbuh
karena tumbuhnya serikat-serikat dagang (partnerships) (Littleton, 1933 hal. 9). Padahal
sebenarnya tumbuhnya serikat-serikat itu sebagai salah satu fenomena luasnya
perdagangan tidaklah menjadi asas dalam perkembangan akuntansi. Sebab, tumbuhnya
serikat-serikat itu termasuk yang paling baru apabila dibandingkan dengan tumbuhnya
negara itu sendiri. Sepanjang sejarah, berbagai negara seperti negeri Babil, Fir`aun, dan
Cina, telah menciptakan, menggunakan dan mengembangkan salah satu bentuk
pencatatan transaksi keuangan. Penggunaan tersebut menyerupai apa yang sekarang
dikenal dengan nama "Maskud Dafatir" (Bookkeeping), dan bertujuan mencatat
pendapatan dan pengeluaran negara.
Sejarah Islami menunjukkan bahwa negara Islami telah mendahului Republik Italia
sekitar 800 tahun dalam menggunakan sistem pembukuan, selanjutnya salah satu sistem
pembukuan moderen yang dikenal dengan nama sistem Al Qaidul Muzdawaj yang sesuai
dengan kebutuhan-kebutuhan negara dari satu sisi, dan sesuai dengan kebutuhan-
kebutuhan para pedagang muslim dari sisi yang lain. Sesungguhnya pengertian
"muhasabah" (akuntansi) di negara Islami hingga pengklasifikasiannya pada tahun 1924
dan pengertian inilah yang harus senantiasa ada di dalam masyarakat Islami meskipun
pada saat negara Islami tidak ada lagi, berbeda dengan apa yang ada di masyarakat lain
di luar Islami. Sesungguhnya pengertian "muhasabah" di dalam masyarakat Islami tidak
sekedar masalah pencatatan data-data keuangan, tetapi lebih sempurna dari itu.
Di antara yang patut disebutkan adalah Al Qur'an tidak menunjukkan kata "muhasabah"
dengan istilah yang kita kenal sekarang, tetapi menunjukkan kandungannya lebih dari 48
kali (Athiyyah, 1982, 44). Sesungguhnya hajat dan pengunaan negara Islami, dengan
kekuasaannya yang ada di pusat maupun di daerah, serta hajat dan pengggunaan kaum
muslimin terhadap "muhasabah" menunjukkan bahwa perkembangan muhasabah tidak
lain hanyalah hasil sistem masyarakat dan aktivitasmanusia secara bersama-sama.
Selanjutnya perkembangan muhasabah tidak terbatas pada aktivitasmanusia dalam
bidang perdagangan saja sebagaimana yang dikatakan para ahli sejarah akuntansi Barat.
61
Sistem masyarakat dan aktivitas manusia ini telah tumbuh, berkembang, dan menjadi
sempurna di dalam lingkup syari`at Islami. Apabila kita perhatikan perkembangan
sekarang ini pada masyarakat non-Islami dan pada pertengahan terakhir abad ke-20
secara khusus, akan kita dapati bahwa perkembangan itu mengikuti sistem yang sama
dengan sistem yang dilalui oleh perkembangan muhasabah pada masa negara Islami
dengan perbedaan prosedur sistem tersebut. Sebab, perkembangan akuntansi pada saat
sekarang ini di negera-negara non-Islami hanyalah terpengaruh terpengaruh dengan
perkembangan baru di dalam undang-undang umum (cammon law) dan berpengaruh
terhadap kebutuhan-kebutuhan pribadi dalam bidang perdagangan, hal ini berbeda sesuai
dengan perbedaan kemampuannya dan sarana pekerjaan yang digunakannya. Semuanya
ini terpengaruh dengan sistem negara dan kebutuhan-kebutuhannya baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Bila diperhatikan sejarah akuntansi dan yang ditulis oleh non muslim sampai sekarang,
bahwa di sana ada penekanan pada dua masa; Pertama, masa sebelum berdirinya negara
Islami. Kedua, masa yang awalnya bersamaan dengan berakhirnya abad XV dengan
munculnya buku Pacioli yang di dalamnya terdapat satu bab khusus tentang akuntansi.
Dengan demikian, mereka mengabaikan masa sejak munculnya Islami dan hingga tahun
1494 M. yaitu tahun munculnya buku Pacioli. Masa ini merupakan mata rantai yang
hilang, karena masa ini nampaknya telah dilalaikan secara sengaja, tetapi, "Barangkali,
masa ini telah dilalaikan karena mereka tidak memiliki ilmu dan jahil tentang Islami
serta tuntutan-tuntutannya dari satu sisi, dan dari sisi lain mereka jahil pula terhadap
bahasa Arab". Oleh karena itu, sudah seharusnya kita sebagai komunitas muslim
(terutama) di negara-negara Islami mulai memberikan dan menyampaikan informasi
(ilmu) ini khususnya tentang akuntansi secara benar kepada semua lapisan masyarakat.
Agar persepsi yang sudah kaprah tidak terjadi lagi untuk masa sekarang dan mendatang.
Rasul Muhammad SAW berawal pada tahun 609 M, dan beliau selama tiga belas tahun
tinggal di Makkah sampai berhijrah ke Madinah pada tahun 622 M. Dengan hijrahnya
Rasul Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, mulailah tahun Hijriyah menjadi
kalender Islami yang didasarkan pada peredaran bulan, sedangkan kalender Masehi
berdasarkan pada peredaran matahari.
Kehidupan bangsa Arab di negeri antara dua sungai pada masa lampau telah mencapai
tingkat kehidupan yang makmur. Hal ini berpengaruh terhadap akuntansi yang ada di
kalangan orang-orang Arab, yaitu konstruksi kehidupan sosial di negeri Rafidin atau
yang dikenal dengan nama negeri antara dua sungai (Mathews dan Perera, 1991, 11)
mulai berbuat untuk melayani kebutuhan-kebutuhan mereka dalam bidang perdagangan
dan industri yang maju pada saat itu. Ensiklopedi Britanian menunjukkan bahwa negeri
Rafidin juga dikenal dengan nama Jaziratul Arabiyah. Antara tahun 4500 SM sampai
tahun 500 SM.
Kehidupan di negeri antara dua sungai mencapai tingkat kehidupan yang tinggi karena
tanahnya subur di satu sisi, dan di sisi yang lain karena kemajuan dalam bidang
pekerjaan dan industri, seperti industri batu bata, pewarnaan pakaian, pertukangan, dan
penukaran uang (Chatfield. 1968, 12). Negeri antara dua sungai atau negeri Rafidin
meliputi wilayah Akkad di Utara dan Sumar di Selatan. Wilayah-wilayah tersebut
memiliki berbagai peradaban seperti peradaban Sumariyah kuno milik orang-orang
Sami, kemudian peradaban Asyuriyah Babiliyah, dan Kildaniyah. Sebagian besar negeri
antara dua sungai itu menjadi wilayah Iraq, sebagian kecil menjadi wilayah Iran, dan
sebagian lagi menjadi wilayah Suriah (Chatfield, 1968, 12). Peradaban di negeri antara
dua sungai ini telah sampai pada tingkat memaksakan bahasanya ke dunia, sehingga
bahasa mereka menjadi bahasa populer dalam perdagangan dan politik di dunia, dan
Babilonia menjadi pusat jalinan perdagangan di timur (Brown, 1968, 16-17).
Kemajuan dalam bidang perdagangan, industri, keuangan, dan jasa sebagaimana yang
dikenal pada waktu itu di belahan dunia Arab menjadikan keberadaan sarana untuk
mencatat apa yang terjadi sebagai sesuatu yang urgen. Sarana tersebut adalah berupa
tulisan. Ustadz Mahmud Syakir menerangkan bahwa orang-orang Arab-lah yang
menemukan tulisan pada tahun 3200 SM, (1991, 6). Penemuan tulisan ini
berimplikasi pada terjadinya perubahan mendasar dalam kehidupan manusia untuk suatu
masa karena telah membantu untuk mencatat dan menukil pengetahuan serta pemikiran-
pemikiran. Salah seorang peneliti Barat berkata bahwa manusia ini berUtang budi
kepada penduduk antara dua sungai karena mereka telah menemukan tulisan. (Chatfield,
1968, 16). Ustadz Mahmud Syakir tidak menentukan di negeri Arab bagian mana tulisan
itu ditemukan, tetapi Chatfield menyebutkan bahwa tempat itu di negeri Rafidin.
61
Tetapi, Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa tulisan telah berpindah dari Yaman ke Iraq,
karena di sana terdapat tulisan yang bernama Al Khaththul Himyari, lalu dari Iraq
berpindah ke Hirah" (hal. 463). Ibnu Khaldun menambahkan, "Orang-orang Himyar
memiliki tulisan yang dinamakan Al Musnad, huruf terpisah dan mereka melarang
untuk mempelajari tulisan itu kecuali atas izin mereka. Dari Himyar, Mesir mempelajari
tulisan Arab" (Hal. 464).
Kemajuan dalam bidang perdagangan dan sosial serta keterkaitannya dengan penemuan
tulisan dalam kapasitasnya sebagai sesuatu yang urgen yang sangat dibutuhkan oleh
keadaan pada saat itu, mendorong salah seorang peneliti untuk mengatakan bahwa
orang-orang Finiqiya pernah menggunakan huruf paku yang pernah digunakan di negeri
Rafidin, namun setelah itu mereka menemukan huruf-huruf khas mereka yang kemudian
digunakan oleh orang-orang Yunani. Huruf-huruf Finiqiya ini memiliki karakter
tersendiri, menarik, ditulis dari arah kanan ke kiri. (Britanica, vol. 9; 392). Pada
hakikatnya, tulisan sejak ditemukan dan untuk masa yang cukup lama hanya digunakan
untuk mencatat pemasukan dan pengeluaran gudang. Hal ini membuat timbulnya suatu
ungkapan bahwa tulisan ditemukan "not to write book but to keep books" (American
Institute of Ceritifield Public Accountants, 1970, 1).
Tulisan Sumariyah termasuk bentuk tulisan yang terdahulu secara umum, karena tulisan
Mishriyah (Mesir) muncul setelah itu. Kedua bentuk tulisan itu, yaitu Sumariyah dan
Mishriyah terbentuk dari rumus-rumus sesuatu dan dikenal dengan nama pictographic
yaitu tulisan dalam bentuk gambar (Chatfield, 1968, 16). Demikian pula buku-buku
akuntansi yang digunakan di Sumar dan Babilonia, yang sifatnya mengandung hitungan-
hitungan berimbang (neraca), menurut pemikiran James dan Snyder mungkin
dikategorikan sebagai sistem Sumariyah untuk sistem Al Qaidul Muzdawaj (Double
Entry Bookkeeping), (Snell, 1982, 53).
Penduduk negeri antara dua sungai telah menggunakan papan tulis tembikar yang
bertuliskan dengan huruf paku untuk mencatat hitungan-hitungan mereka. Meskipun
sederhana, itu sudah cukup dan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka dalam
bidang perdagangan dan sosial. Babilonia telah dikenal dengan pekerjaan-pekerjaan
penukaran uang sejak masa yang tidak dikenal sampai abad V SM, (Brown, 968, 18).
Sudah tentu orang-orang Babilonia dan Asyuria tidak mengatur dan memelihara
hitungan-hitungan mereka dengan cara yang digunakan pada masa kita sekarang ini atau
cara yang mendekati hal itu. Tetapi, sistem yang mereka gunakan dalam mengatur
urusan keuangan serta mencatat dan memelihara hitungan-hitungan mereka telah
memberikan andil dalam perkembangan yang terjadi pada masa berikutnya di tempat
61
lain di dunia Arab, kemudian di dunia Islami. Di antara yang patut disebutkan adalah
papan tulis tembikar Sumariyah dan Babiliyah yang diungkap oleh berbagai ekskavasi
telah menjelaskan tujuan gudang-gudang umum dan tempat-tempat ibadah, di samping
menjelaskan tentang adanya sistem akuntansi dalam penggajian dan pengupahan tentara
Romawi, dan berbagai tingkatan gaji dan upah tersebut.
Apabila diperhatikan tempat lain di dunia, maka akan ditemukan peradaban Mesir yang
termasuk paling baru dibandingkan dengan peradaban-peradaban yang dikenal di negeri
antara dua sungai, karena peradaban Mesir dimulai sekitar tahun 500 SM. Sudah pasti
bahwa orang Arab baik yang ada di negeri antara dua sungai di Mesir telah menemukan
sistem akuntansi yang sesuai dengan lingkungan mereka pada saat itu, dan berbeda
dengan penduduk-penduduk lain.
Di samping itu, orang-orang Arab baik yang ada di negeri Rafidin atau Mesir, atau
negeri Syam, di celah-celah perdagangan mereka, telah memberikan pengaruh terhadap
tetangga mereka di bagian utara. Orang-orang Romawi dan Yunani telah mengambil
manfaat dari sistem akuntansi yang terkenal di kalangan orang-orang Arab yang ada di
negeri antara dua sungai dan Mesir. Sebab, orang-orang Romawi dan Yunani
memperhatikan pembukuan pedagang, tempat-tempat ibadah, dan negara sebagaimana
halnya orang-orang Babilonia.
Meskipun orang-orang Yunani telah mengambil manfaat dari sistem akuntansi yang
terdahulu yang dikenal di kalangan tetangga mereka orang-orang Arab pada saat itu,
mereka pun secara bertahap memulai mengembangkan sistem akuntansi yang khusus
bagi mereka. Yang mendukung mereka dalam hal ini adalah penemuan mata uang sekitar
tahun 630 SM. Namun, pengembangan mereka terhadap sistem akuntansi khusus mereka
ini memiliki karakter umum, karena perhatian mereka didasarkan pada pengungkapan
kesalahan-kesalahan tanpa adanya efektifitas dan mereka memperhatikan akuntansi
sebagai sarana untuk membantu pengambilan keputusan atau mengukur efektifitas, atau
mengukur keuntungan yang dipastikan. Pada waktu selanjutnya, orang-orang Romawi
mengambil sistem akuntansi ini dari orang-orang Yunani.
Tahun 1202 M adalah tahun dimasukkannya angka-angka Arab dan aritmetika yang
keduanya ditemukan oleh kaum muslimin kemudian dibawa ke Eropa, yaitu melalui
buku yang ditulis oleh Leonardo of Pisa Putra Bonnaci (Fibonnaci) yang banyak
melakukan perjalanan ke dunia Arab. (Brown, 1968, 11). Tentu saja, hal ini bukan
berarti akuntansi tidak sampai ke Italia melalui para pedagang muslim, sebelum tahun
1202 M. Sebab, sangat memungkinkan, hubungan dagang dan akibat yang
ditimbulkannya seperti adanya hubungan cinta kasih antara kaum muslimin dan orang-
orang orang Italia telah membuka jalan bagi penggunaan angka-angka Arab dalam skala
yang terbatas, sehingga buku Leonardo of Pisa mendapatkan sambutan yang baik ketika
terbit.
Dalam buku Leonardo of Pisa ini memuat bab-bab tentang aritmetika yang menjelaskan
cara penjumlahan, pengurangan, menentukan harga, barter dan persekutuan-persekutuan
terutama yang serupa dengan Syirkah Tadlamun. Buku ini mendapatkan perhatian besar
dari para pedagang, karena menyajikan cara baru penomoran dari satu sampai sepuluh.
Cara ini tidak akan disajikan kepada orang-orang Eropa di Italia kecuali setelah nyata
berhasil penerapannya di negara Islami di sisi penemunya, kaum muslimin. Dengan
sistem ini, masalah-masalah akuntansi yang dihadapi oleh para pedagang pada saat itu
berhasil diselesaikan. Secara umum, bahasa Arab adalah bahasa yang populer di dunia
Islami. Sebagian wilayah Islami bahasanya bukan bahasa Arab, namun bahasa mereka
ditulis dengan huruf-huruf Arab. Sebagian studi menunjukkan bahwa huruf-huruf Arab
digunakan dalam 39 bahasa selain bahasa Arab, Asia, Afrika, dan Eropa.
Di antara bahasa-bahasa Asia yang menggunakan hurup Arab adalah bahasa Turki,
Parsi, Azerbaijan, Kurdi, Afganistan, Hindustan, Kashmir, Punjab, Urdu, Tamil, India,
Usbek, Jawa, Sunda, Melayu, Sulawesi dan Indonesia. Adapun bahasa-bahasa Afrika
yang ditulis dengan huruf-huruf Arab antara lain: Qubataliyah, Syalhaniyah,
Sawahiliyah, Bumbariyah, Fulaqiyah, Susatiyah, Ghambiyah, dan Fayarijiyah.
Sedangkan di Eropa, bahasa yang menggunakan huruf Arab antara lain: Sanukan,
Qazan, dan Qumnuk, (Hawaditus Sa’ah, 1995, 52). Sebagaimana telah diketahui,
bahwa orang-orang Eropa dan orang-orang Amerika mengkaitkan peradaban Islami
dengan orang-orang Arab, hal ini karena orang-orang Arab-lah menjadi pelopor dalam
penyebaran agama Allah, Islam. Di samping menyebarkan agama Allah, mereka juga
menyajikan peradaban mereka yang tumbuh dan berkembang dari celah-celah Islami.
Di antaranya adalah perdagangan, peperangan, ketatanegaraan, dan ilmu-ilmu yang
lain.
Hal ini ditegaskan oleh salah seorang peneliti bahwa orang-orang Arab yang datang
dari timur ke Eropa telah membawa dagangan mereka yang bermacam-macam,
berbagai penemuan mereka dalam ilmu pengetahuan, dan matematika, (Woolk, 1912,
54). Peradaban Islam telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan-tuntutan
syari’at Islam yang berasaskan pada Al Qur’an dan As Sunnah. As Sunnah
mengandung seluruh ucapan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah Muhammad SAW,
sebagaimana yang dihafal oleh para sahabat ridlwanullah ‘alaihim. Namun sangat
61
disayangkan, kita temukan sebagian penulis dari kalangan non Islam tidak berusaha
memahami Islam secara benar, dan mengulang-ulang pendapat yang tidak sesuai
dengan kedudukan ilmiah mereka tanpa memikirkan hasil dari apa yang mereka tulis.
Di antaranya adalah definisi yang mereka kemukakan tentang Rasul Muhammad SAW,
yaitu seorang pemimpin yang di dalam tulisan-tulisan sastranya memberikan banyak
pengetahuan dan hikmah kepada para pengikutnya, (Haskins, 1900, 11).
Dengan definisi tersebut, mereka mempunyai maksud bahwa Al Qur'an bukan dari sisi
Allah. Salah satu penelitian moderen yang dilakukan oleh salah seorang peneliti
Muslim bersama para peneliti Barat menunjukkan bahwa manfaat yang mungkin
dipetik dari Islami dalam pengembangan akuntansi dan kerangka perdagangan tidak
dapat diambil manfaatnya, setelah dilakukan penelitian yang mendalam, (Hamid et al,
1993, 132).
Sesungguhnya sejarah akuntansi, sebagaimana yang ditulis oleh para ahli sejarah
Barat dan menurut apa yang dikemukakan sebelumnya, menunjukkan bahwa
akuntansi secara umum atau apa yang dinamakan dengan sistem double entry secara
khusus tumbuh dan berkembang di Eropa, yaitu di Republik Italia. Di antara
referensi yang dapat dilihat, baik yang berbahasa Arab maupun yang berbahasa
61
Inggris, tidak didapati penyebutan apa pun tentang apa yang terjadi di negara Islami.
Boleh jadi, pengabaian peran negera Islami dalam pengembangan akuntansi karena
disengaja atau karena ketidaktahuannya. Padahal peran yang dimainkan oleh negara
Islami dalam pengembangan berbagai ilmu dan seni adalah cukup besar, seperti
dalam akuntansi keuangan.
ALASAN PERTAMA, yaitu kosongnya masa sejarah dari sejarah akuntansi, yaitu
masa yang terjadi antara lenyapnya negeri antara dua sungai dan negeri Mesir di
dunia Arab sampai abad XV secara umum. Secara khusus, ketika Pacioli
menyebarkan bukunya yang mengandung satu bab tentang akuntansi, yaitu pada
tanggal 10 Nopember 1494 M. Kekosongan ini hampir mendekati dua ribu
tahun.
ALASAN KEDUA, yaitu penggunaan sistem pencatatan sisi-sisi transaksi secara luas
tidak diragukan lagi mengharuskan adanya suatu praktik kerja dan pusat-pusat
pelatihan yang mampu mencetak pribadi-pribadi yang ahli dan mampu
menggunakan sistem ini secara luas. Pada kenyataannya, pusat-pusat pelatihan
semacam itu tidak ada di Italia, kecuali pada akhir abad XVI, yaitu setelah
kurang lebih dua abad dari munculnya buku Pacioli.
Pusat pelatihan para akuntan yang pertama di Italia didirikan di kota Venice pada
tahun 1581 M, dan dikenal dengan nama Colege of Accountans. Setelah para peserta
studi menerima ilmu dari lembaga tersebut, mereka diharuskan untuk berlatih
(praktik kerja) di kantor-kantor akuntan yang telah teruji selama enam tahun, setelah
itu, mereka diuji sebelum dapat mempraktikkan profesi akuntansi secara mandiri,
(American Institute of Certified Accountants, 1970, 3). Demikian pula praktik kerja
belum memiliki wujud yang diperhatikan sebelum munculnya buku Pacioli. Hal ini
kembali pada keterbelakangan ilmu yang dialami Eropa pada saat itu, yang dikenal
dengan masa kegelapan.
Sesungguhnya ucapan ini tampak diterima oleh akalnya, namun terganjal oleh
adanya hubungan antara para pedagang muslim dan para pedagang Italia. Tetapi,
pertanyaan yang muncul adalah: Siapakah yang menemukan sistem pencatatan sisi-
sisi transaksi? Di mana hal itu? Dan bagaimana sistem ini bisa beralih ke tangan
orang-orang Italia?
Mungkin dapat dikatakan bahwa pada saat itu Eropa hidup pada masa kegelapan,
kaum muslimin telah menggunakan akuntansi dan ikut andil dalam
mengembangkannya. Sementara itu, peradaban Islam, dalam pertumbuhan dan
perkembangannya, berdiri di atas asas kebahagiaan manusia melalui hal-hal yang
sesuai dengan syari’at Islam dan hal-hal yang dapat merealisasikan bagi manusia
integrasi antara tuntutan-tuntutan spiritual dan tuntutan-tuntutaan material. Hal ini
dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al
Qashash: 77).
Peradaban Islam ini, dengan segala karakter, arah pandang, dan sumbernya, berbeda
dengan seluruh peradaban sebelumnya dan yang sesudahnya. Oleh karena itu,
merupakan suatu kesalahan, mengatakan bahwa ia adalah peradaban Arab. Ia adalah
peradaban Islam yang belum pernah ada bandingannya di dunia ini, sebelum dan
sesudahnya. Di samping itu, Islam menolak fanatisme golongan, maka orang-orang
yang ikut andil dalam membangun peradaban Islami bukan saja orang-rang Arab.
Bahkan, banyak dari ilmu yang ditemukan dan dikembangkan oleh kaum Muslimin
non-Arab. Dengan demikian tidak boleh menyandarkan peradaban Islam kepada
orang-orang Arab saja atau kepada kelompok tertentu selain mereka. Kaum
61
muslimin memiliki pengaruh yang besar terhadap orang-orang yang dijumpainya
dari berbagai macam bangsa, melalui perjalanan dagang mereka. Sebagai contoh
pengaruh para pedagang Yaman terhadap orang Indonesia dan Malaysia, yakni
mereka itu berpindah agama, dari Budha dan Hindu ke agama Islam.
Di antara bahasa-bahasa Asia yang menggunakan hurup Arab adalah bahasa Turki,
Parsi, Azerbaijan, Kurdi, Afganistan, Hindustan, Kashmir, Punjab, Urdu, Tamil,
India, Usbek, Jawa, Sunda, Melayu, Sulawesi dan Indonesia. Adapun bahasa-bahasa
Afrika yang ditulis dengan huruf-huruf Arab antara lain: Qubataliyah, Syalhaniyah,
Sawahiliyah, Bumbariyah, Fulaqiyah, Susatiyah, Ghambiyah, dan Fayarijiyah.
Sedangkan di Eropa, bahasa yang menggunakan huruf Arab antara lain: Sanukan,
Qazan, dan Qumnuk (Hawaditus Sa’ah, 1995, No. 52). Sebagaimana telah
dikatakan, orang-orang Eropa dan orang-orang Amerika mengkaitkan peradaban
Islami dengan orang-orang Arab boleh jadi dikarenakan orang-orang Arab menjadi
pelopor dalam penyebaran agama Allah, Islam. Di samping menyebarkan agama
Allah, mereka juga menyajikan peradaban mereka yang tumbuh dan berkembang
dari celah-celah Islami. Di antaranya adalah perdagangan, dan ilmu-ilmu yang lain.
Hal ini ditegaskan oleh salah seorang peneliti bahwa orang-orang Arab yang datang
dari timur ke Eropa telah membawa dagangan mereka yang bermacam-macam,
berbagai penemuan mereka dalam ilmu pengetahuan, dan matematika, (Woolk,
1912, 54).
Dengan definisi tersebut, mereka mempunyai maksud bahwa Al Qur'an bukan dari
sisi Allah. Salah satu penelitian moderen yang dilakukan oleh salah seorang peneliti
Muslim bersama para peneliti Barat menunjukkan bahwa manfaat yang mungkin
dipetik dari Islami dalam pengembangan akuntansi dan kerangka perdagangan tidak
dapat diambil manfaatnya, setelah dilakukan penelitian yang mendalam, (Hamid et
al, 1993, 132).
1) Sistem akuntansi yang populer pada saat itu, dan pelaksanaan pembukuan yang
61
khusus bagi setiap sistem akuntansi.
2) Macam-macam buku akuntansi yang wajib digunakan untuk mencatat transaksi
keuangan, dan
Menurut Al Mazindarani, sistem-sistem akuntasni yang populer pada saat itu, pada
tahun 765 H/1363 M, antara lain: Akuntansi Bangunan,
Akuntansi Pertanian, Akuntansi Pergudangan, Akuntansi Pembuatan Uang, dan
Akuntansi Pemeliharaan Binatang. Al Mazindarani juga menjelaskan pelaksanaan
pembukuan yang populer pada saat itu dan kewajiban-kewajiban yang harus diikuti.
Di antara contoh pelaksanaan pembukuan yang disebutkan oleh Al-Mazindarani
adalah: "Ketika menyiapkan laporan atau mencatat di buku-buku akuntansi harus
dimulai dengan basmalah, "Bismillahir Rahmanir Rahim". Jika hal ini yang dicatat
oleh Al Mazindarani pada tahun 765 H/1363 M, maka hal ini pula yang disebut oleh
penulis Italia, Pacioli 131 tahun kemudian. Pacioli berkata, "harus dimulai dengan
ungkapan "Bismillah'." (Brown and Johnson, 1963, 28).
1) Apabila di dalam buku masih ada yang kosong, karena sebab apa pun, maka
harus diberi garis pembatas, sehingga tempat yang kosong itu tidak dapat
digunakan. Penggarisan ini dikenal dengan nama Tarqin.
2) Harus mengeluarkan saldo secara teratur. Saldo dikenal dengan nama Hashil.
5) Tidak boleh mengoreksi transaksi yang telah tercatat dengan coretan atau
menghapusnya. Apabila seorang akuntan (bendaharawan) kelebihan mencatat
jumlah suatu transaksi, maka dia harus membayar selisih tersebut dari
kantongnya pribadi kepada kantor.
Demikian pula seorang akuntan lupa mencatat transaksi pengeluaran, maka dia
harus membayar jumlah kekurangan di kas, sampai dia dapat melacak terjadinya
transaksi tersebut. Pada negara Islami, pernah terjadi seorang akuntan lupa
mencatat transaksi pengeluaran sebesar 1300 dinar, sehingga dia terpaksa harus
membayar jumlah tersebut. Pada akhir tahun buku, kekurangan tersebut dapat
diketahui, yaitu ketika membandingkan antara saldo buku bandingan dengan saldo
buku-buku yang lain, dan saldo-saldo bandingannya yang ada di kantor.
1) Pada akhir tahun buku, seorang akuntan harus mengirimkan laporan secara rinci
tentang jumlah (keuangan) yang berada di dalam tanggung jawabnya, dan cara
pengaturannya terhadap jumlah (keuangan) tersebut.
2) Harus mengoreksi laporan tahunan yang dikirim oleh akuntan, dan
membandingkannya dengan laporan tahun sebelumnya dari satu sisi, dan dari
61
sisi yang lain dengan jumlah yang tercatat di kantor.
8) Harus memindahkan transaksi-transaksi yang sejenis itu oleh orang lain yang
berdiri sendiri, tidak terikat dengan orang yang melakukan pencatatan di buku
harian dan buku-buku yang lain.
10) Pembuatan laporan itu harus rinci, menjelaskan pemasukan dan sumber-
sumbernya serta pengalokasiannya. (Lasyin, 1973, 163-165).
Salah seorang penulis mengatakan bahwa setiap ilmu tumbuh dari suatu kemahiran
yang diupayakan. Sebelum menjadi ilmu, harus ada praktik dan pengalaman,
berdasarkan hal ini, maka ilmu itu merupakan hasil dari pengalaman yang
menentukan tanda-tanda ilmu tersebut. (Heaps, 1985, 21).
Berdasarkan pendapat Heaps tersebut, maka munculnya sistem pencatatan dua sisi
transaksi atau yang dikenal dengan nama sistem pembukaan ganda (double entry),
baik sebagai ilmu maupun sebagai seni, atau sebagai yang lain, harus tumbuh dari
suatu kemahiran yang diupayakan. Kemahiran yang diupayakan ini harus tegak di
atas adanya suatu praktik kerja. Demikian pula, praktik kerja ini bukan lahir dengan
sendirinya, namun tegak di atas suatu bangunan yang tinggi dan kokoh. Bangunan
yang tinggi nan kokoh ini adalah pengetahuan yang turun menurun dari generasi ke
generasi. Jadi, hal ini mempertegas bahwa pengetahuan yang dapat menumbuhkan
adanya praktik kerja dan kemahiran untuk sistem pencatatan sisi-sisi transaksi
asasnya telah ada di negara Islami, yang timbul karena adanya berbagai faktor.
Sementara itu, kami tidak melihat adanya faktor apa pun yang membantu
perkembangan ini di dalam Republik Italia. Di antara yang patut disebutkan bahwa
akuntansi yang kami lihat praktiknya di dunia Arab, kemudian perkembangannya di
dunia Islami, telah dijelaskan oleh Al Mazindarani bahwa itu merupakan suatu
ilmu.
Baik sebagai ilmu atau seni, atau yang lain, terdapat berbagai faktor yang ikut andil,
atau pada hakikatnya mengundang pekerjaan akuntansi di negara Islami. Faktor-
faktor ini berkaitan erat dengan kebutuhan-kebutuhan negara Islami dari satu sisi,
dan dari sisi yang lain dengan kebutuhan-kebutuhan kaum muslimin secara pribadi.
Di antara faktor-faktor tersebut adalah pendirian kantor-kantor pemerintahan,
speisialisasi kemampuan, dan kebutuhan terhadap adanya pegawai yang kapabel. Di
samping faktor-faktor tersebut yang erat kaitannya dengan kebutuhan negara Islami,
di sana terdapat faktor lain yang ikut andil dalam peletakan dasar-dasar akuntansi
dan mendorong pengembangan akuntasi di dalam negara Islami, dari sisi kebutuhan
pribadi muslim, yaitu faktor zakat. Sebab, seorang muslim senantiasa membutuhkan
suatu cara yang membantu dirinya untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya
sebagai seorang muslim dari segi perhitungan zakat yang harus dikeluarkan sesuai
dengan syari'at Islami, yang merupakan salah satu rukun Islami.
Tampaknya, kata diwan telah digunakan bersamaan awal reformasi sistem kantor-
kantor pemerintahan dalam bentuk yang lebih baik dari yang sebelumnya. Salah satu
ensiklopedi ilmiah menyebutkan bahwa sistem resmi pertama untuk diwan-diwan
telah dibuat sekitar tahun 14 H/634 M. (Britanica, Vol. 22, 109) yakni pada masa
Khalifah Umar Ibnul Khaththab.
Adapun para pegawai yang kompeten telah mendapatkan perhatian dari negara
Islami. Sejak awal, negara Islami telah menaruh perhatian pada pemilihan pegawai
yang berspesialisasi. Demikian pula kebijakan Rasulullah Muhammad SAW dalam
memilih pegawai, yaitu dari orang-orang yang beliau pandang memiliki kapabilitas
dan kapasitas untuk menduduki jabatan. Rasulullah SAW memilih para pegawai itu
dari para sahabatnya yang memiliki kapabilitas serta kemampuan dan kelayakan
untuk menerima jabatan, (Hawari, 1989, 16).
Adapun zakat juga termasuk bagian dari unsur-unsur yang ikut andil dalam
pengembangan akuntansi di negara Islam. Ini jika tidak termasuk unsur asasi. Zakat
adalah salah satu rukun Islam yang lima, dan di negara Islami, dibayarkan kepada
baitul mal. Baitul Mal ini sekarang dinamakan Perbendaharaan Umum atau
Perbendaharaan Negara. Al Qur'anul Karim telah menentukan sumber-sumber yang
wajib dikeluarkan zakatnya, dan objek-objek penyalurannya sebagaimana firman
Allah SWT:
Perlu diketahaui bahwa Imam Safi'i hidup pada tahun 150-204 H/767-820 M. Hal
ini tidak saja menjelaskan peran yang dimainkan akuntansi dan signifikansinya pada
waktu itu, tetapi juga menjelaskan pengetahuan masyarakat pada saat itu terhadap
peran dan signifikansi tersebut. Hal ini tampak dalam bentuk khusus, ketika ucapan
ini datang dari seorang yang faqih, bukan datang dari spesialis akuntansi. Setelah
itu, Imam Syafi'Ii menjelaskan ucapannya itu, yaitu sesungguhnya seorang
pedagang atau yang lain tidak dapat mengambil keputusan secara benar atau
mengeluarkan pemikiran yang tepat tanpa bantuan data-data yang tercatat dalam
61
buku. Para fuqaha' berkata bahwa di antara kewajiban seorang muslim adalah
mempelajari hukum-hukum ibadah yang menjadikan shalat, shaum, dan zakatnya
sah, serta hal-hal yang harus diketahui untuk menunaikan manasik hajinya.
Demikian pula dia harus mengetahui hukum-hukum jual beli jika ingin berprofesi
sebagai seorang pedagang; dan mempelajari akuntansi, sehingga ia tiadak berbuat
zhalim dan tidak dizhalimi. Hal inilah yang disebut ilmu Dlaruri. (Ghazali, 1400 H,
Vol. 1, juz 1-3, 42-30) juga (Sabiq, 1403 H./1983 M., Vol. III, juz 11-14, 125-126).
Perkembangan akuntasi di negara Islam tampak jelas pula bahwa seorang akuntan
yang bertanggung jawab atas pembukuan pengeluaran-pengeluaran harus meneliti
pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh perangkat negara itu, untuk membuat
ketetapan apabila terdapat perbedaan-perbedaan di antara tahun-tahun keuangan.
(Lasyin, 1973, 37).
“Dan jika kamu melihatkan apa yang ada di hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu
tentang perbuatanmu itu”. (Al Baqarah: 284)
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab
terhadap dirimu”. (Al Isra': 14)
“Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya
tentang empat perkara, yaitu: tentang umurnya, dihabiskan untuk apa; tentang
masa mudanya, dihabiskan untuk apa; tentang hartanya, dari mana diproleh dan
dibelanjakan untuk apa; dan tentang ilmunya, apa yang telah diperbuat dengan
ilmu tersebut”. (H.R. Tirmidzi, dan menurut beliau hadits ini hasan shahih).
Hadits lain adalah dari Miqdam bin Ma’di Yakrib bahwa Sayyidul Basyar,
Muhammad SAW menepuk pundaknya, kemudian dia berkata:
“Wahai Qadim (Miqdam) beruntunglah kamu, jika kamu meninggal tidak dalam
keadaan menjadi amir, tidak menjadi pencatat (katib), dan tidak menjadi
pemimpin”. (H.R. Abu Dawud), Makna kata “katib” di sini adalah pencatat
pekerjaan dan penghitungnya, (Al Mundziri, 1986, juz 3, 159).
Pada awal kehidupan negara Islam, buku-buku akuntansi masih berupa kertas-kertas
terpisah, tidak berbentuk buku yang berjilid. Orang pertama yang memasukkan
buku-buku dan catatan yang terjilid sebagaimana yang kita kenal pada masa tersebut
adalah Khalifah Al Walid bin Abdul Malik, pada tahun 86-96 H/706-715 M.
(Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 36). Ini berarti bahwa hal ini terjadi
kurang lebih tujuh ratus sembilan puluh tahun sebelum munculnya buku
Pacioli. Sementara itu, sistem buku akuntansi ini telah mencapai puncaknya pada
masa Daulat Abasiyyah pada tahun 132-232 H/750-847 M. Yakni, pada tahun 132
H/750 M. Khalid bin Burmuk terpilih menjadi kepala Diwan Kharaj (Diwan
pemasukan hasil-hasil pertanian) dan Diwan tentara. Khalid bin Burmuk melakukan
reformasi sistem kedua Diwan tersebut dan mengembangkan buku-buku akuntansi
serta memberi nama khusus terhadapnya.
Pada masa negara Islam, buku catatan pertama dikenal dengan nama “Jaridah”.
Dari sini tampak garis hubungan antara buku Pacioli yang terbit pada tahun 1494 M
dan sumber rujukan buku tersebut, karena pada sebagian yang disebutkannya
terdapat banyak kesamaan dengan apa yang digunakan pada masa negara Islami. Di
dalam bukunya, Pacioli telah menjelaskan bahwa buku catatan pertama yang harus
digunakan dikenal dengan nama “Journal” dalam bahasa Ingris (Brown dan
Johnson, 1963, hal. 43) atau “Zornal” dalam bahasa Italia sebagaimana dikenal di
kota Venice, (Martinelli, 1977, hal. 25). Dua kata ini, yaitu Journal dan Zornal
merupakan terjemahan secara harfiah dari bahasa Arab, yaitu dari kata “Jaridah”.
Jaridah adalah nama untuk buku catatan pertama pada masa negara Islam,
yaitu pada masa Daulat Abbasiyyah, sekitar tahun 132 H/749 M, yaitu tujuh
ratus empat puluh lima tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Dari hal ini
dapat kita simpulkan bahwa asas atau sumber rujukan bagi apa yang dipraktikkan di
Republik Italia sebagaimana tersebut dalam buku Pacioli adalah apa yang telah
dipraktikkan di negara Islami.
Buku harian yang dikenal di negara Islam tujuh ratus empat puluh lima tahun
sebelum munculnya buku Pacioli adalah buku harian yang digunakan sekarang di
dunia, dan dikenal dengan nama General Journal. Buku harian ini dikenal di seluruh
diwan di samping specialised journals. Dahulu, buku harian ini digunakan untuk
mencatat seluruh transaksi keuangan khusus bagi diwan dan transaksinya dengan
orang lain. Buku ini serupa dengan apa yang sekarang dikenal di negara-negara
Arab dengan nama Daftarul Yaumiyyatil `Ammah (Buku Harian Umum).
Menurut An Nuwairi, yang meninggal pada tahun 734 H/1336 M atau kurang lebih
tiga puluh satu tahun sebelum munculnya buku Al Mazindani, pekerjaan
pembukuan tunduk pada praktik-praktik tertentu dan jelas. Sebab, seluruh harta
yang masuk atau keluar harus dicatat sesuai urutan waktu terjadinya, juga harus
dicatat tanggal terjadinya setiap transaksi. Demikian pula, keharusan mencatat
transaksi menurut urutan waktu terjadinya tidaklah terbatas pada transaksi-transaksi
keuangan saja atau yang memiliki nilai keuangan, tetapi mencakup juga seluruh
transaksi yang berhubungan dengan diwan dan yang lain. (An Nuwairi, 273-275).
Pencatatan di buku harian berlangsung dari realitas syahid yaitu yang sekarang
dikenal dengan nama journal voucher, yang disiapkan oleh akuntan, yang
melakukan pencatatan di buku, (Lasyin, 1973, 131-132). Hal ini menunjukkan
kesinambungan pengembangan di dalam pekerjaan akuntansi yang awalnya
bersamaan dengan munculnya negara Islami tahun 622 M., dan menjadi kokoh pada
masa Khalifah Umar, serta semakin kokoh pada masa Daulat Abbasiyyah.
Kemudian bertambah berkembang setelah itu sebagaimana yang dirasakan dari apa
yang disebutkan oleh An Nuwairi.
Buku-buku ini memiliki karakter dan fungsi dan berkaitan erat dengan fungsi dan
tugas yang diterapkan pada saat itu. Di antara contoh buku-buku khusus yang
dikenal pada masa kehidupan negara Islami itu adalah sebagai berikut:
Umat Islami juga mengenal buku khusus yang lain, yang dikenal dengan nama Al
Auraj, yaitu serupa dengan apa yang sekarang dinamakan Daftar Ustadzil Madinin
(Debtors or Accounts Receivable Subsidiary Ledger). Kata Auraj adalah dari bahasa
Parsi, kemudian digunakan dalam bahasa Arab. Auraj digunakan untuk mencatat
jumlah pajak atas hasil tanah pertanian, yaitu setiap orang yang dibebani untuk
membayar pajak, di dalamnya dicatat jumlah pajak yang harus dibayar, juga jumlah
yang telah dibayar dari pokok jumlah yang harus dilunasi. Penentuan jumlah pajak
yang harus dilunasi didasarkan pada apa yang dinamakan Qanunul Kharaj (UU
Perpajakan), (Al Mazindarani 765 H/1363 M).
Di samping apa yang telah disebutkan, kaum muslimin di negara Islami mengenal
pembagian piutang menjadi tiga kelompok, yaitu:
2) Al Munkasir minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang mustahil untuk
didapatkan, yaitu apa yang sekarang dinamakan Ad Duyunul Ma’dumah, dan
dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Bad Debts atau Uncollectable
Debts.
Dari pembagian piutang tersebut ada dua hal penting yang patut didapatkan, yaitu:
61
Pengelompokan ini adalah pengelompokan yang digunakan pada masa kita sekarang
tanpa menyebutkan bahwa sumbernya adalah di negara Islam. Hal ini mempertegas
sekali lagi pentingnya zakat sebagai faktor asasi yang membantu pengembangan
akuntansi. Hal ini jika tidak ada faktor lain, maka zakat adalah faktor yang pertama.
Sebab, perhitungan zakat menuntut pentingnya inventarisasi para debitur dan kreditur
untuk mengetahui pengaruh para debitur dan kreditur terhadap jumlah zakat.
Di sisi lain dari segi harta-harta yang diinvestasikan pada syirkah musahamah bahwa
baik yang bersifat umum maupun khusus. Dan sebagai akibat dari ketidakterlibatan
para pemilik saham di dalam manajemen pada sebagian besar syirkah-syirkah,
khususnya pada syirkah musahamah yang bersifat umum. Sskalipun sebagian para
pemilik saham menjadi angota dewan manajemen perusahaan atau anggota eksekutif
perusahaan, baik yang bersifat khusus maupun umum. Maka harta-harta syirkah
musahamah tersebut harus selalu jauh dari jangkauan para pemilik sahamnya,
bagaimanapun keadaannya. Yakni, tidak diperkenankan bagi setiap pemilik saham,
berapapun tingkat kepemilikan sahamnya atau fungsi manajerialnya pada syirkah
musahamah tersebut, mengambil manfaat dari harta-harta syirkah musahamah itu
untuk tujuan-tujuan khusus pribadinya.
Adapun dalam hal yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para
pemilik saham tersebut, dilihat dari sisi hubungan mereka dengan syirkah musahamah
itu, baik yang bersifat umum maupun khusus. Dan hubungan mereka dengan hasil-
hasil kegiatan syirkah, yakni hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai suatu
syakhshiyyah i`tibariyyah (entitas spiritual). Bahwa persoalannya di sini lebih jelas
daripada keadaan yang terdapat pada perusahaan-perusahaan individual dan
perusahaan-perusahan lainnya yang bukan syirkah musahamah. Sesungguhnya hak-hak
dan kewajiban-kewajiban syirkah musahamah itu selalu khusus dan tersendiri baginya,
tidak sama dengan hak dan kewajiban para pemilik sahamnya. Dari segi hak-hak
syirkah musahamah tersebut, kita dapati bahwa perusahaan itulah yang menuntut akan
hak-haknya melalui manajemennya. Atau melalui orang-orang yang melakukan
penyelesaian di saat melakukan penyelesaian, yang hal itu tidak ada hubungannya
dengan para pemilik saham. Lain halnya jika kita lihat pada perusahaan-perusahaan
individu dan perusahaan-perusahaan yang bukan syirkah musahamah.
Masih ada persoalan lain yang menuntut kejelasan, yaitu yang khusus berkaitan dengan
keuntungan-keuntungan perusahaan yang telah terealisasikan. Sebagai akibat dari
dapat diterapkannya prinsip syakhshiyyah i`tibariyyah secara mutlak terhadap syirkah
musahamah, baik yang bersifat khusus maupun umum, maka keuntungan-kentungan
yang telah dapat direalisasikan oleh perusahaan itu selama satu tahun keuangan,
sebagaimana yang digambarkan oleh daftar keuangan pada akhir tahun keuangan,
61
menjadi milik khusus syirkah musahamah tersebut. Hal ini berarti bahwa tidak ada hak
bagi para pemilik sahamnya terhadap keuntungan-keuntungan yang telah terealisasikan
itu, kecuali sebatas yang telah ditetapkan oleh dewan manajemen syirkah musahamah
tersebut untuk dibagikan kepada para pemilik sahamnya.
1. Syakhshiyyah Qanuniyyah
Syakhshiyyah Qanuniyyah (legal entity) itu adalah suatu ungkapan mengenai entitas
yang terpisah, yang memungkinkannya untuk menuntut pihak lain secara langsung
dalam sifatnya sebagai suatu pribadi, sebagaimana dimungkinkan pula bagi pihak lain
untuk menuntutnya secara langsung pula, dalam sifatnya sebagai suatu pribadi. Apabila
kita perhatikan keempat bentuk sistem investasi terdahulu, untuk mengetahui sejauh
mana kesesuaian syakhshiyyah qanuniyyah tersebut terhadap setiap sistem tersebut
berdasarkan definisi yang telah disebutkan sebelumnya, maka kita dapati beberapa
perbedaan yang mendasar di antara bentuk-bentuk sistem tersebut.
Bahwa syakhshiyyah qanuniyyah perusahaan yang bersifat individu ini larut atau
menyatu dengan pemiliknya, dan tidak terpisah dengannya. Demikian pula,
syakhshiyyah qanuniyyah pemilik perusahaan individual tersebut mencakup
perusahaannya dan tidak terpisah darinya. Ketercakupan perusahaan individual dan
pemiliknya tersebut hanyalah terbatas pada lingkup hak dan kewajiban masing-masing.
Berdasarkan hal tersebut, maka bagi perusahan-perusahaan yang bersifat individual
tersebut hanya terdapat satu syakhshiyyah qanuniyyah saja, yakni lembaga individu dan
pemiliknya secara lahiriyah tersebut, keduanya mewakili satu badan ditinjau dari segi
undang-undang. Keduanya tidak mungkin dipisahkan untuk mendapatkan hak-hak dan
menunaikan kewajiban-kewajiban.
Adapun pada bentuk yang kedua dari bentuk-bentuk sistem investasi, yaitu syirkah
asykhash yang dikenal oleh sistem Islami yaitu syirkah `inan, syirkah mufawadlah,
syirkah wujuh, syirkah abdan atau a`mal, dan terakhir syirkah mudlarabah, dan yang
serupa dengannya yang terdapat di dalam sistem non Islami, yang dikenal dengan nama
syirkah tadlamun maka permasalahan ini menurut adalah serupa dengan apa yang
terdapat pada lembaga-lembaga individual. Sebab, syirkah-syirkah ini (partnership)
berdiri atas dasar perkenalan pribadi, dan inti hubungan di antara para sekutu adalah
adannya saling kepercayaan. Yakni, setiap individu dari pihak-pihak yang berada di
dalam syirkah investasi ini sudah barang tentu tidak akan mau menanggung risiko
kerugian harta atau usaha, kecuali jika didasarkan pada kepercayaan terhadap
kebenaran tindak-tanduk pihak-pihak syirkah yang lain. Karena aktivitas atau kegiatan
pada syirkah asykhash di sini berdiri atas dasar tindak-tanduk pribadi, para investor dan
orang-orang yang mengatur lembaga mereka tersebut, apakah secara bersama-sama
ataukah secara individu, wajib bertanggung jawab secara bersama-sama terhadap hak-
hak dan kewajiban-kewajiban lembaga mereka itu. Berdasarkan itu semua, dapatlah
kita simpulkan suatu pernyataan bahwa para pemilik lembaga dan lembaga mereka,
pada syirkah asykhash, membentuk satu syakhshiyyah qanuniyyah, dan tidak
diperkenankan memisahkan antara keduanya.
Akan tetapi, di sana terdapat satu kondisi yang harus diperhatikan secara sungguh-
sungguh, yaitu apabila salah seorang di antara para sekutu tersebut ada yang
memberikan saham hanya modalnya saja, tanpa ikut serta dalam manajemennya, dan
akad syirkah tersebut telah menetapkan bahwa individu yang seperti ini tanggung
jawabnya hanya sebatas apa telah dia serahkan dari modal pokoknya. Pada kondisi
yang seperti ini, maka individu atau pribadi yang seperti ini tidaklah dianggap
bertanggung jawab terhadap kewajiban-kewajiban perusahaan, kecuali sebatas apa
yang telah dia sahamkan dari modal pokoknya. Namun, pada keadaan seperti ini,
dipersyaratkan harus ada keterbukaan mengenai batasan-batasan tangung jawab ini di
dalam publikasi, korespondensi, dan dokumentasi perusahaan. Ini di samping
pentingnya keterbukaan mengenai karakter tanggung jawab atas nama perusahaan atau
lembaga tersebut. Penyebab dari pentingnya keterbukaan itu adalah memberikan
61
terlebih dahulu kepada pihak lain bentuk tanggung jawab yang dipikul oleh para
penyandang dana lembaga tersebut. Sesungguhnya keterbukaan yang menyeluruh ini
akan mendorong pihak lain untuk berkerja sama dengan lembaga ini, sementara dia
telah mengetahui tanggung jawab lembaga dan tanggung jawab para pemilik lembaga
tersebut didalamnya. Selanjutnya, dia akan mengetahui terlebih dahulu antisipasinya, di
saat terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.
Berdasarkan uraian paragraf sebelumnya, tampak berbeda dengan apa yang terdapat di
dalam keterangan yang menyatakan bahwa syirkah-syirkah syakhshiyah adalah "akad-
akad yang akan menumbuhkan aktivitas-aktivitas atau kegiatan-kegiatan investasi yang
terus menerus atau hampir terus menerus, yang di dalamnya beberapa pihak saling
bersekutu di dalam modalnya. Akad-akad tersebut digunakan untuk mendirikan suatu
kegiatan perdagangan yang mempunyai syakhshiyyah i`tibariyyah dan tanggung jawab
yang tidak terbatas". (Lembaga Fatwa dan Pengkajian, Jumadil Ula 1406 H/Januari
1986 M, 9).
Sesungguhnya sebab dari perbedaan itu terletak pada bahwa keterangan dari Lembaga
Fatwa dan Pengkajian tersebut menjelaskan bahwa di sana terdapat syakhshiyyah
i`tibariyyah, dan pada saat itu juga syakhshiyyah i`tibariyyah ini menghadapi tanggung
jawab yang tidak terbatas. Sesungguhnya, tidak mungkin tergambarkan adanya
syakhshiyyah i`tibariyyah yang tidak terpisah dari para penyandang dananya, secara
undang-undang. Sebab, fungsi syakhshiyyah i`tibariyyah adalah menuntut terhadap
lembaga atau perusahaan, dalam sifatnya sebagai suatu pribadi, agar supaya terpisah
dari para pemilik lahiriyahnya. Di samping itu, sesungguhnya tidak diperkenankan bagi
para pemilik lahiriyah lembaga atau perusahaan tersebut menuntut pihak lain dalam
sifatnya sebagai pribadi. Sebagai tambahan dari itu semua, para pemilik lembaga atau
perusahaan tersebut tidak memiliki kekuasaan terhadap modal pokok lembaga atau
perusahaan tersebut, mereka tidak dapat mengambil darinya untuk penarikan-penarikan
pribadi, dan mereka tidak dapat melakukan suatu tindakan terhadap modal pokoknya
secara pribadi.
Berdasarkan sebab-sebab ini, maka tidaklah mungkin tanggung jawab para pemilik
lahiriyah tersebut tidak terbatas. Hal itu dikarenakan bahwa tanggung jawab itu
haruslah setara dengan hak-hak yang diberikan, sebagai imbalan atas tanggung jawab
itu. Demikian juga, tanggung jawab itu haruslah diikuti oleh adanya suatu kekuasaan.
Karena kekuasaan individu bagi para pemilik lahiriyah tersebut tidak ada di dalam
syirkah-syirkah i`tibariyyah, maka hak-hak individu itu juga tidak ada, sebagai akibat
dari tidak adanya kekuasaan untuk menghasilkan hak-hak tersebut. Selama keduanya
itu tidak ada, maka di sana tidaklah diperkenankan adanya kewajiban yang tidak
terbatas.
61
Sebab dari pembatasan kami terhadap pemikiran kami itu adalah mungkin saja terdapat
syakhshiyyah i`tibariyyah yang terpisah dari para pemilik lahiriyah tersebut disertai
tidak terbatasnya tanggung jawab para pemilik lahiriyah itu, apabila terwujud beberapa
persyaratan tertentu, yang di antaranya adalah:
Dalam sistem investasi yang ketiga, yang dikenal dengan istilah syirkah musahamah,
sesungguhnya hal ini tampak lebih jelas, karena ketentuan yang dibuat telah
menetapkan permasalahan ini. Hal itu karena syirkah musahamah dianggap telah
mempunyai syakhshiyah i`tibariyyah yang terpisah dari para pemiliknya. Dengan
demikian, syirkah tersebut telah mempunyai syakhshiyyah qanuniyyah yang terpisah
pula dari pribadi-pribadi para pemilik syirkah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka
syirkah musahamah, baik yang perusahan umum (public company) maupun yang
khusus (private or proprietory company), benar-benar mempunyai syakhshiyyah
qanuniyyah yang terpisah dari pribadi-pribadi yang memegang saham-saham
modalnya. Sebagai akibat dari bentuk syirkah ini, maka syakhshiyyah qanuniyyah yang
terpisah milik syirkah itu membolehkan kepada pihak lainnya, dan ini mencakup juga
para pemilik sahamnya, untuk menuntutnya. Demikian juga, diperkenankan bagi
syirkah itu untuk menuntut mereka, tanpa mempengaruhi kondisi hukum pihak-pihak
lain yang mempunyai hubungan perjanjian atau bukan perjanjian dengan syirkah.
Adapun bentuk yang keempat dari bentuk-bentuk sistem investasi itu, seperti waqaf-
waqaf, lembaga-lembaga pendidikan dan yang serupa dengan itu, baik yang bertujuan
mencari keuntungan maupun tidak, hal itu termasuk syakhshiyyah qanuniyyah yang
terpisah, sebagai akibat dari pandangan yang sebelumnya, yakni berdasarkan fiqh,
bahwasanya bentuk ini mempunyai syakhshiyyah i`tibariyyah, terpisah dari para
pendirinya. Bentuk ini termasuk lebih jelas dilihat dari segi penerapan konsep
syakhshiyyah qanuniyyah.
2. Wahdah Muhasabiyyah
Sesungguhnya konsep mengenai wahdah muhasabiyyah itu adalah kerangka dasar yang
menentukan ruang lingkup kegiatan akuntansi, ditinjau dari sisi apa yang harus dimuat
oleh buku-buku akuntansi, dan apa yang harus diangkat oleh laporan keuangan, baik
berbentuk data keuangan yang sudah dikenal, ataupun yang lain. Oleh karena itu,
permasalahan yang harus dikaji untuk menentukan wahdah muhasabiyyah itu adalah
masalah kebutuhan terhadap informasi keuangan. Selama telah tertentu kebutuhan
tersebut, akan menjadi mudahlah penentuan kerangka dasarnya. Kebutuhan terhadap
informasi keuangan itulah yang akan terealisir pada akhirnya, yang diungkapkan dalam
laporan keuangan.
Berdasarkan gambaran tersebut, maka apabila wahdah muhasabiyyah itu telah tertentu
ruang lingkupnya, maka ruang lingkup tersebut tersebut akan ditetapkan oleh
kebutuhannya. Dari gambaran yang sebelumnya itu, maka wahdah muhasabiyyah itu
akan menjadi tertentu sebagai akibat dari kebutuhannya. Kebutuhan ini terbagi dua,
yaitu yang mempunyai karakter umum, dan yang mempunyai karakter khusus. Di
samping itu semua, adalah suatu hal yang mungkin bahwa di sana terdapat wahdah
muhasabiyyah yang lebih dari satu bagi suatu perusahaan itu sendiri, di samping juga
merupakan sesuatu yang mungkin adanya satu wahdah muhasabiyyah saja bagi
beberapa macam perusahaan. Kami akan menjelaskan permasalahan ini secara ringkas
pada lembaran-lembaran mendatang.
Dalam keadaan demikian, maka masjid, atau organisasi sosial, lembaga pribadi, atau
syirkah tadlamuniyyah', atau syirkah musahamah, atau kemaslahatan pemerintahan,
kesemuanya itu dikategorikan sebagai suatu wahdah muhasabiyyah yang berdiri
sendiri. Kadangkala, dia pun dinyatakan mempunyai sifat sempurna dan integral,
karena seluruh transaksi yang khusus tentang wahdah muhasabiyyah ini telah dicakup
oleh buku-buku wahdah muhasabiyyah. Demikian juga buku-buku wahdah
muhasabiyyah ini dinyatakan integral karena mengungkapkan tentang seluruh
perusahaan, atau lembaga, atau syirkah, atau kemaslahatan, atau waqaf. Kesempurnaan
61
dan keintegralan ini, harus sejalan, karena pada akhirnya, keduanya akan
mengungkapkan tentang kegiatan dan posisi wahdah itu dengan cara yang memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang diperkirakan dari penggunaan informasi keuangan yang
dihasilkan oleh wahdah muhasabiyyah, yang sebelumnya telah ditentukan kerangka
dasarnya, untuk dapat memenuhi tujuan ini, yaitu memenuhi kebutuhan tertentu.
Sampai sekarang, kalau diperhatikan bahwa kebutuhan yang teralisir itu adalah yang
mempunyai karakter umum, bukan yang khusus. Hal ini adalah yang telah kami
isyaratkan sebelumnya dengan informasi keuangan yang mempunyai tujuan umum,
yaitu ketika membahas tentang para pengguna informasi keuangan.
Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah dilihat bahwa wahdah muhasabiyyah itu
kadangkala bisa menjadi syakhshiyyah i`tibariyyah secara keseluruhannya. Ini khusus
terhadap informasi keuangan yang bertujuan umum. Hasil dari wahdah muhasabiyyah
ini menjadi laporan keuangan yang sempurna dan integral, yang mencerminkan hasil
kegiatan selama periode waktu tertentu, dan posisi keuangan pada akhir periode waktu
itu. Laporan keuangan ini tergambar di dalam perhitungan laba rugi yang
menggambarkan hasil kegiatan selama periode waktu tertentu yang biasanya satu tahun
keuangan. Demikian juga, tergambar di dalam neraca umum, atau sebagaimana juga
dinamakan dengan Qa’imatul Markazil Mali (daftar posisi keuangan) yang akan
mencerminkan kondisi keuangan wahdah muhasabiyyah pada saat tertentu, yaitu pada
akhir periode yang dicerminkan dalam perhitungan laba rugi.
Wahdah muhasabiyyah ini kadangkala juga bisa menjadi bagian tertentu atau bagian-
bagian tertentu dari syakhshiyyah i`tibariyyah, dan ini khusus terhadap informasi
keuangan yang bertujuan khusus. Jadi informasi keuangan yang khusus bagi wahdah
muhasabiyyah yang parsial ini tidak bersifat sempurna dan integral, karena hanya
mengungkapkan sebagian atau beberapa bagian saja dari syakhshiyyah i`tibariyyah
yang sempurna dan integralitu. Pada keadaan yang seperti ini, kadangkala wahdah
muhasabiyyah itu merupakan manajemen produksi atau manajemen penjualan, atau
manajemen pergudangan.
61
Bahkan, wahdah muhasabiyyah ini kadangkala sedikit demi sedikit menjadi sempit.
Misalnya, yang tadinya adalah manajemen produksi secara keseluruhannya, lalu mulai
dibatasi menjadi manajemen bagi produksi tertentu saja dari hasil-hasil produksi
keseluruhannya. Informasi keuangan yang seperti ini memang membutuhkan biaya
yang tidak sedikit, namun mempunyai signifikansi yang besar untuk pengambilan
keputusan manajemen. Biaya ini dibenarkan oleh kebutuhan manajemen dalam
membuat kebijakan yang didasarkan pada informasi keuangan yang rinci dan detail
tersebut.
Seringkali, laporan yang rinci ini selalu bersifat intern dan rahasia, dan tidak
diperkenankan bagi pihak lain yang berada di luar syakhshiyyah i`tibariyyah tersebut
untuk mendapatkannya. Akan tetapi, kerahasiaan ini kadangkala luntur sedikit demi
sedikit apabila informasi keuangan ini diminta oleh pihak pemerintah atau pribadi-
pribadi tertentu, apakah mereka itu dari kalangan biasa, ataukah orang-orang yang
memang berpengaruh, yang mempunyai signifikansi khusus dan pengaruh yang besar
terhadap syakhshiyyah i`tibariyyah.
Di samping kedua jenis wahdah muhasabiyyah yang telah lalu, masih ada lagi jenis
yang ketiga, yang mempunyai sifat khusus dan umum secara bersamaan. Juga
mempunyai sifat kesempurnaan, tetapi tidak objektif. Wahdah muhasabiyyah inilah
yang digambarkan dengan masuknya sejumlah syakhshiyyah i`tibariyyah dalam ruang
lingkupnya. Sebagai contoh, ada lima buah syirkah atau perusahaan yang bergerak
dalam bidang-bidang yang berbeda-beda, atau bidang-bidang yang integral, yang
keseluruhannya didanai oleh satu syirkah atau perusahaan, atau bagian yang tidak bisa
diremehkan dari modal perusahaan-perusahaan individu ini berasal dari satu
perusahaan. Pada keadaan yang seperti ini, dan pada keadaan-keadaan yang serupa
dengannya, maka perusahaan yang memegang atau menguasai modal perusahaan-
perusahaan tersebutlah yang akan menyiapkan qowa’im maliyyah (daftar
keuangan/neraca umum) yang terpadu bagi seluruh perusahaan-perusahan itu,
termasuk di dalamnya perusahaan pemegang modal tersebut, atau yang kadangkala
dinamakan sebagai perusahaan induk.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa konsep akuntansi syariah telah
diimplementasikan lebih dulu oleh para pendahulu (dari negara Islami). Bahwa akuntansi
61
yang ada sekarang berasal dari nukilan (transcriber) yang dilakukan oleh peneliti atau
penulis barat (seperti Lucas Pacioli) tempo dulu yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunah
Rasulullah SAW. Dengan demikian konsep Akuntansi Syari’ah yang menjelaskan tentang
konsep pencatatan, perhitungan, pengukuran, pengklasifikasian, penilaian, dan pelaporan
terhadap kegiatan entitas ekonomi secara periodik. Dan upaya untuk menandingkan antara
biaya (upaya) dan hasil (prestasi), dengan menggunakan prinsip bagi hasil berdasarkan
prinsip syariah. Dapat dilakukan melalui kegiatan jual beli (al Muhasabah), ternyata telah
menjadi kebutuhan sejak zaman dulu dan hingga sekarang. Akuntansi yang diterapkan
sekarang merupakan hasil olah pikir (rekayasa) para orientalis atau penulis barat setelah
menggali dan mengembangkan dari praktik yang sudah ada (terutama dari dunia Islami).
Selain itu, al muhasabah ini juga meliputi kegiatan-kegiatan lainnya secara menyeluruh
sperti jasa. Praktik tersebut didasarkan atas dalil atau nilai-nilai (nash) terkandung dalam
Al Qur’anul Karim (khususnya al.: Surah Al-Baqarah: 282: 2) dan hadits Rasulullah SAW.
Hal ini merupakan praktik al muhasabah, sebagai dasar untuk mengambil keputusan
ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip dan tuntunan syari’ah dalam upaya mencapai laba
yang diridhai oleh Allah SWT.
Dalam praktik bisnis, konsep-konsep atau prinsip akuntansi syariah sekarang telah
diimplementasikan dalam berbagai kegiatan ekonomi (bisnis) seperti; Lembaga Keuangan
Syari’ah (LKS); Perbankan (Bank Syariah, BPRS), Asuransi (Ta’min, Takaful atau
Tadhamun), Koperasi (kopyah/BMT), Jasa (Hotel Syariah, Bengkel Syariah, Rahn,
Obligasi Syariah, Letter of Credit Syariah, SIMA, Al Sharf) dan kegiatan lainnya.
Meskipun PSAK yang mengatur secara khusus untuk prinsip syariah relatif masih baru dan
berkembang seperti PSAK No. 100/2009 tentang Kerangka Dasar Penyajian Lembaga
Keuangan Syariah, Fatwa MUI (Dewan Syariah Nasional) dan Pedoman Akuntansi
Perbankan Syariah (PAPSI/2003) saja. Namun kita berkeyakinan bahwa konsep dan praktik
bisnis berbasis syariah ini pada masa mendatang akan mengalami perkembangan yang
cukup pesat dan menjadi sistem ekonomi pilihan yang tepat sebagai solusi alternatif dan
dapat diandalkan untuk diterapkan dalam menjalankan kegiatan ekonomi.
Dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulllah SAW. menempatkan keadilan sebagai tujuan
utama dalam syariah Islami. Al Qur’an Surah 57 ayat 25, menciptakan keadilan merupakan
tujuan utama mengapa Allah SWT mengirimkan Rasul-Nya ke muka bumi sebagai
khalifatullah. Di mana posisi keadilan hampir menduduki posisi yang sama dengan kadar
taqwa (Al Qur’an, 5: 8). Dalam sejarah Islami bahwa unsur keadilan merupakan faktor
utama yang tidak dapat dipisahkan dalam muhasabah dan muamallah. Abu Yusuf dalam
salah satu riwayat meletakkan penekanan yang kuat mengenai keadilan dalam suratnya
kepada Khlalifah Harun al-Rasyid; dengan menyatakan, “Berikanlah keadilan bagi mereka
yang teraniaya dan hapuskanlah ketidakadilan, tingkatkanlah penerimaan pajak, selaraskan
pembangunan dalam negara dan terimalah rahmat Allah sebagai ganjarannya di hari akhir
nanti.” Karena itu, sebagai khalifatullah tersebut manusia harus memiliki akhlak tiga
dimensi yang saling berhubungan dan dibutuhkan agar tercipta keseimbangan yang hakiki,
yaitu:
1) berakhlak kepada Tuhan;
2) berakhlak kepada sesama manusia; dan
3) berakhlak kepada alam.
61
Gambar 1: Dimensi akhlak manusia
“Manusia akan dinyatakan berakhlak, kalau
Tuhan dia mampu menjankan semua perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya secara konsisten
dan berkeadilan”.
Dalam konteks yang lebih luas, Islami memandang hubungan atau interaksi antar makhluk
hidup, baik manusia, hewan ataupun alam tidak terlepas dari hubungan sosial ekonomi
ataupun politik. Hal ini merupakan perwujudan dari konsep hubungan sesama manusia
dalam skala yang lebih luas.
Dalam bidang ekonomi, keadilan dan kesimbangan di sini dapat diwujudkan terhadap
terhadap pengelolaan sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia
dengan cara yang baik dan berpegang pada prinsip kemanusiaan. Karena dengan keadilan
dan keseimbangan akan dapat dicapai tingkat pertumbuhan optimal, pemerataan distribusi
pendapatan dan kesejahteraan serta terwujudnya stabilitas ekonomi yang mantap. Sehingga
diperlukan strategi tertentu untuk mewujudkannya, salah satu satunya adalah dengan
memasukkan dimensi akhlak (moral) yang menggantikan orientasi yang bersifat
materialitas dan hedonis dalam kapitalisme sistem ekonomi barat.
Oleh karena itu, salah satu dimensi tersebut adalah perwujudan rasa kebersamaan dan
pengelolaan asset atau kekayaan yang menuju pada keridhaan Allah SWT. Hal tersebut
tercermin dalam penetapan terhadap harta yang dimilikii maupun keuntungan bisnis,
hendaknya dapat dikelola dan dihitung secara baik, agar dapat menentukan besarnya
kewajiban yang harus ditunaikan melalui zakat atau pun pajak kepada negara.
Sehingga berdasarkan uraian tersebut di atas pada dasarnya tujuan akuntansi syariah
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Dasar dalam perhitungan besarnya zakat.
b) Dasar pembagian keuntungan, (berdasarkan revenue sharing dan atau profit and loss
sharing), dan distribusi kesejahteraan dan pengungkapan secara memadai.
c) Agar usaha (bisnis) dapat berjalan secara islamii.
Dalam ekonomi yang berbasis syariah maka kegiatan bisnis merupakan bagian dari
muamallah yang berkaitan erat dengan aqidah dan akhlak. Al Qur’an (Ibrahim: 24-26),
yang artinya:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik
61
seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu
memberikan buahnya pada setiap musim dengan seijin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya selalu ingat. Dan perumpamaan
kalimat buruk seperti pohon yang buruk, yang telh dicabut dengan akar-akarnya dari
permukaan bumi, tidak dapat tegak sedikitpun.”
Sehingga dalam sistem akuntansi syariah hanya dapat dipakai secara sempurna bila
didukung ekonomi islamii yang berbasis syariah pula. Hal ini dapat dilihat dari
karakteristiknya yang berbeda dengan individualisme dan kapitalisme, dan berbeda pula
dengan sosialisme-komunisme. Karena akuntansi syariah dibangunan berdasarkan konsep
ekonomi islamii dengan menggunakan empat landasan filosofis pokok yaitu:
a) Tauhid (ilahiyah);
b) Keadilan;
c) Kebebasan; dan
d) Pertanggungjawaban. Empat hal tersebut bila dijabarkan adalah:
Tauhid; berarti mengesakan Allah SWT, tauhid dijadikan sebagai fondasi yang
kokoh bagi muslim, bahwa semua yang ada adalah ciptaan dan milik-Nya dan hanya
Dialah yang mengatur segalanya. Oleh karena itu, dalam praktik bisnis yang berbasis
syariah tujuan utama hendaknya mencapai keridhaan Allah untuk menuju taqwallah.
Sebagai sarana penunjang tercapainya taqwallah tersebut adalah melalui kegiatan ekonomi
yang tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Sehingga prinsip, etika, dan nilai-nilai islami
adalah sebuah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan sudah menjadi suatu
kebutuhan yang mendesak agar manusia (khususnya kaum muslim) dapat ‘kembali ke jalan
yang benar’. Atau hijrah untuk mengelola sumber daya secara profesional , adil, dan
berakhlak dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya secara berkeadilan dan
bertanggunjawab sesuai dengan tuntunan Ilaihiyah dan Sunah Rasulullahi SAW.
Keadilan; adalah kunci dan dasar dari kesejahteraan hidup masyarakat. Keadilan
merupakan sarana yang tepat dan terdekat untuk mencapai taqwallah yang merupakan
cerminan dari ketinggian akhlak seseorang (Al Maidah: 8). Kemudian Surah Luqman: 13,
bahwa tauhid sebagai fondasi ajaran islami merupakan makna dari keadilan sebagaimana
kemusyrikan adalah suatu bentuk kedzaliman. Nilai keadilan dalam Al Qura’an dan hadits
nabi SAW bahkan bukan menjadi salah satu tujuan pokok syariah (An-Nahl: 90). Keadilan
dalam kegiatan ekonomi, oleh para ulama telah ditetapkan dalam kaidah fiqih, yang
bertujuan untuk membantu merealisasikan kesejahteraan dan kemaslahatan umat. Salah
satu kaidah yang dirumuskan tersebut adalah, bahwa pengorbanan atau kerugian pribadi
mungkin harus dilakukan untuk mengamankan pengorbanan atau kerugian masyarakat dan
manfaat yang lebih kecil mungkin harus dikorbankan untuk merealisasikan manfaat yang
lebih besar (Ibnu Khaldun).
Secara lebih tegas Yuwono, (1997, 35) dan Akram (1992); berpendapat bahwa ciri-ciri
akuntansi syariah dalam praktik bisnis (maumallah al muhasabah) adalah:
a) menggunakan nilai etika sebagai dasar akuntansi,
b) memberikan arah dan stimulasi perilaku etis,
c) adil dalam implementasinya,
d) keseimbangan antara nilai eqoistik dan altruistik,
e) peduli atau ramah lingkungan,
f) penentuan bagi hasil (sharing) yang tepat dan
g) pelaporan dan pertanggujawaban secara transparan, akuntabel, dan jujur.
Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang
diketahui secara umum dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan
muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama
Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita”
dalam salah satu satu bab dari buku tersebut memuat masalah “Double Entry Accounting
System”. Mungkin kalau dulu orang mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi
Islami”, masyarakat akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu apakah
memang mungkin untuk diterapkan, apakah tidak berlebihan dan mengada-ada? Padahal
kalau kita mau membuka sejarah, bahwa akuntansi yang berpola syariah sejak dulu telah
diterapkan dalam kegiatan bisnis.
Hal tersebut terbukti bila kita pelajari “Sejarah Islami”. Di sana ditemukan bahwa
munculnya Islami di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan
terbentuknya Daulah Islamiiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur
Rasyidin sudah ada dan terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk
perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan
penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya
61
juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan
dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab
suci umat Islami menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan
diturunkannya ayat terpanjang, yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-
fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya. Seperti yang
diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus diterapkan dalam hal tersebut.
Sebagaimana difirmankan pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana
Allah telah mengajarkannya………”
Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islami lebih dahulu
mengenal sistem akuntansi. Karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni
800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.
Dari sisi ilmu pengetahuan, akuntansi adalah suatu ilmu atau seni untuk memberikan
informasi kepada pemakai dari bukti transaksi dan data menjadi informasi yang bermanfaat
dan relevan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Yaitu dengan cara melakukan
pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam akun,
perkiraan atau pos keuangan seperti aset, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al
Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan
dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita,
sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat,
antara lain dalam surah Asy-Syura ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran
dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan
timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan
janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah
kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
Dalam Islami, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam
Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan
pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana
61
digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran
apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dari paparan di atas, dapat diarik suatu kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep
Syariah (Islami) dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku, yang
bersumber dari prinsip syariah (Islami) dan digunakan sebagai aturan oleh seorang
Akuntan (auditor independen) dalam melaksanakan pekerjaannya, baik dalam pembukuan,
analisis, pengukuran, pemaparan, maupun memberikan penjelasan dalam laporannya. Dan
menjadi dasar dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa sesuuai dengan ketentuan
atau kode etik profesinya.
Dasar hukum utama dalam Akuntansi Syariah adalah Al Quran dan Sunah Nabi SAW,
Sedangkan Ijma (kesepakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan
‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islami sebagai pelengkap,
agar tidak terjadi keraguan dalam penerapannya. Kaidah-kaidah akuntansi syariah,
memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan kaidah akuntansi konvensional.
Kaidah-kaidah akuntansi syariah selalu sesuai dengan norma-norma islamii, dan hokum
lainnya, dimana akuntansi syariah adalah bagian dari ilmu sosial (humaniora) yang
berfungsi sebagai media atau alat bagi masyarakat dalam penerapan Akuntansi tersebut.
Persamaan antara kaidah akuntansi syariah dan akuntansi konvensional terdapat pada hal-
hal sebagai berikut:
1. Para ahli akuntansi moderen berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau
harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud
dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islami
menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan
melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang
dalam lingkup perusahaan yang kontinuitas;
2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu
modal tetap (aset tetap) dan modal yang beredar (aset lancar), sedangkan di dalam
konsep Islami barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan
harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan
barang dagang;
3. Dalam konsep Islami, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama
61
kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara
untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau
nilai;
4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari
menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba
yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islami sangat memperhatikan hal itu
dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku
serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan risiko;
5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang,
modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam
konsep Islami dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari
kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan
pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta
menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba
dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan
pada pokok modal;
6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya
jual-beli, sedangkan konsep Islami memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika
adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual
maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk
menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem akuntansi syariah
dengan akuntansi konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi
persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamiic Accounting”,
Akuntansi Barat (konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapitalisme
dengan berpedoman pada filsafat kapitaliasme, sedangkan dalam Akuntansi Islami ada
“meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum
Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia. Dan Akuntansi Syariah
sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga
memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat,
dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan semua tindakannya di hadapan
Tuhan, yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan dan
perbuatan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan
pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
Jadi, dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep Akuntansi Islami jauh lebih
dahulu dari konsep akuntansi konvensional, dan bahkan Islami telah membuat serangkaian
kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar akuntansi konvensional. Sebagaimana
yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah
diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “… Dan Kami turunkan kepadamu Al
Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/16:89), Merza Gamal
(2009).(dikutip dari http://finance.groups.yahoo.com/group/ekonomi-syariah).
Secara umum ada tiga prinsip yang merupakan landasan utama dalam akuntansi syariah
adalah sebagai berikut:
61
a. Prinsip Pertanggungjawaban (responsibility principles)
Berkaitan secara langsung dengan amanah, yaitu wujud pertanggungjawaban terhadap
dana yang dikelola (mudharib) untuk dilaporkan kepada pemilik dana (shahibul maal)
dan stakeholder lainya. Laporan ini merupakan perwujudan hubungan antar manusia
dengan manusia lainnya dan antar manusia dengan Sang Pencipta Al Khaliq
(hablumminallah), karena manusia sebagai khalifah di muka bumi, suatu saat di akhirat
akan dimintai pertangungjawabannya di hadapan pengadilan Tuhan.
Secara lebih spesifik dalam bidang muamallah ini (khususnya
bisnis/pencatatan/akuntansi) dapat dilakukan dalam bentuk pembuatan laporan
keuangan sebagai wujud pertanggungjawaban kepada sesama manusia
(hablumminannas)
Hisab ini, dalam akuntansi, diwujudkan dalam proses menghitung (to compute), mengukur
(to measure), dan melaporkan (to report), sehingga memerlukan seorang atau lebih juru
tulis/sekretaris (muhtasib). Hal ini diwujudkan dalam kegiatan berupa hasaba; yahsaba
(mencatat, menghitung, mengukur, dan melaporkan melalui persaksian). Sehingga akan
didapatkan pelaporan (akuntansi) yang sesuai dengan dalil naqli (nash-nash dalam Al
Qur’anul Karim dan Sunah Rasulullah SAW) dan dalil aqli (hukum fikih dan qiyas para
ulama). Oleh karena itu, ciri-ciri pelaporan akuntansi tersebut hendaknya memuat informasi
sebagai berikut:
Tabel 1
Ciri-ciri Pelaporan
61
G. AKUNTANSI SYARI’AH DALAM PERSPEKTIF ONTOLOGIS
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamallah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan
benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu
mengimlakkan apa yang ditulis itu, dan hendaklah ia bertaqwa kepada Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang
yang lemah akal atau keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan dengan
jujur dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki diantara kamu. Jika
tak ada dua orang laki-laki maka bolehlah seorang laki-laki dan dua orang perempuan
dari saksi yang kamu ridhoi, supaya jika sseorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan. (Tulislah muamallahmu
itu) kecuali jika muamallahmu itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu,
maka tak ada dosa bagi kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling
menyulitkan. Jika kamu lakukan yang demikian itu, sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwallah kepada Allah. Allah mengajarmu dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Berdasarkan uraian di atas maka muammallah di sini dapat diartikan sebagai kegiatan:
“Berjual beli (market), Utang piutang (agency relationship), dan sewa menyewa (leasing).
Secara lebih luas dalam kerangka bisnis muamallah ini dalam upaya mencari ridha Allah
(ar ridhain), melalui kegiatan dalam bentuk hablumminannas.”Sebagai wujud penerapan
time is opportunity (waktu adalah kesempatan), terutama dalam kesempatan kegiatan bisnis
(usaha). Salah satu bentuk bisnis yang berkembang cukup pesat sekarang adalah praktik
perbankan syariah, BPRS, BMT (koperasi syariah), dan jasa keuangan lainnya, seperti:
asuransi dan jasa.
Secara khusus menurut Harahap (1992, 4) dan Meidawati (1998, 201), mengemukakan
bahwa pencatatan dalam konteks agama (Islami) adalah:
1. Sebagai dasar untuk menjadi bukti dilakukannya transaksi.
2. Menjaga agar tidak terjadi manipulasi (rekayasa) dalam transaksi maupun
penyusunan pertanggungjawaban (keuntungan/bagi hasil).
Sedangkan dalam konsep Islami; bahwa pada hakekatnya akuntansi (pencatatan) telah ada
sejak manusia ini ada dan mempunyai andil cukup besar dalam perkembangannya, terutama
dalam hal yang berkaitan dengan:
1. Muamallah (transaksi)
2. Sebagai dasar pencatatannya adalah bukti (evidence).
3. Evidence diklasifikasikan secara teratur dan sistematis (sekarang diatur dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 59/2003, tentang Perbankan Syari’ah
kemudian diatur lebih lanjut dalam PAPSI 2003/Pedoman Akuntansi Perbankan
Syari’ah dan DSN (Dewan Syariah Nasional) melalui fatwanya tahun 2000).
4. Bahwa untuk mendapatkan objektivitas dan keandalan data akuntansi, maka laporan
keuangan harus diperiksa atau diaudit oleh ahlinya, yaitu pihak independen (akuntan
61
publik), khususnya untuk perbankan harus ada rekomendasi dari Dewan Syari’ah
Nasional (DSN), serta pengawasan dari Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) dan Bank
Indonesia.
Dalam Islami telah ditegaskan bahwa manusia sebagai makhluk sosisal yang diciptakan
oleh Allahu Rabbul Alamin, adalah semata-mata untuk mengabdi pada-Nya. Oleh karena
itu, setiap insan (muslim) selain mempunyai kewajiban individu (fardhu ain) juga
mempunyai kewajiban bersama (fardhu kifayah) yang merupakan perwujudan untuk
pemenuhan kebutuhan semua orang yang tidak mampu memenuhi kepentingan dirinya
sendiri. Perwujudan kepentingan bersama tersebut antara lain mengunjungi saudaranya bila
tertimpa musibah, bertakziah, dan penunaian ibadah zakat. Dalam hal ini menunaikan
zakat, telah tertuang dalam Al Qur’an Surah At Taubah ayat 103 yang merupakan
perpaduan perwujudan kepentingan individu dengan kepentingan bersama dalam konsep
Islami. Dan hal ini hanya dapat terlaksana bila telah dilakukan pencatatan, perhitungan, dan
pembagian terhadap aset (harta) yang dimiliki, baik oleh individu maupun entitas ekonomi
(perusahaan).
Hal ini sejalan dengan beberapa pengertian tentang zakat oleh para peneliti di bawah ini:
o Saud (1976): zakat secara linguistik mempunyai makna ganda, yaitu pertumbuhan
(growth) dan pembersihan (purification).
o Siregar (1999, 58) dan Chapra (2000, 270): zakat mempunyai makna literal, yaitu
penyucian (thaharah), pertumbuhan (nama’), keberkatan (barokah), dan pujian
(madh).
o Dalam Al Qur’an:
(Surat At-Taubat, 103); dasar pengenaan zakat adalah kekayaan:
“Sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah dipusakai-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dari hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-
orang yang bertaqwa” (QS; 7, 128)
QS; 2, 29-30 menyatakan: bahwa sesungguhnya Allah akan menjadikan manusia
sebagai khalifah di muka bumi…Manusia sebagai khalifatullah (god’s vicengerent).
Zakat merupakan ibadah penyucian harta yang bersifat wajib dalam Rukun Islami ke-4
setelah mengucap syahadat, mendirikan shalat, dan menunaikan ibadah puasa. Tidak ada
sangsi atau hukuman, hanya sangsi moral dan di akhirat kelak akan dimintai
pertanggungjawaban di hadapan Allah. Zakat tidak tunduk pada prinsip perpajakan, karena
ciri dan tujuan pengeluarannya berbeda.
Keharusan penguasa memungut zakat: QS; At Taubah: 103. “Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan
61
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Sedangkan pajak adalah kewajiban individu atau badan untuk menyetorkan uang ke kas
negara berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, dan sifatnya memaksa disertai
sangsi administratif dan atau kurungan badan. Keharusan memungut dan menyetorkan
pajak ini, diatur dalam UU dan ketentuan dari perpajakan, antara lain:
Setiap WNRI/orang dana atau badan/entitas yang melakukan usaha atau berprofesi
di Indonesia wajib memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).
Pajak penghasilan badan dan orang pribadi, pajak penjualan, pajak bumi dan
bangunan (PBB).
Diatur dan harus disetor setiap periode tertentu (misalnya; berdasarkan transaksi/
kegiatan, bulanan, dan tahunan).
Dalam pemungutan zakat harus sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan dalam Al
Qur’an atau pun Sunah Rasulullah SAW, yakni telah sampai haul dan nisabnya. Besarnya
persentase pengenaan zakatnya disesuaikan dengan jenis harta yang dimiliki, (misalnya
harta perdagangan 2,5% dari nilainya, hasil pertanian tanpa pengairan 20% dari hasil panen
yang diperoleh, harta temuan/qarun adalah 20% dari nilai temuannya). Dalam distribusinya,
zakat ini telah ditentukan pula pihak yang berhak menerimanya (8 pihak; amil, jihad fi
sabilillah, gharim, fakir, miskin, muallaf, dan budak), dalam konteks bernegara atau
bermasyarakat dibentuk amil zakat (BAZIS/LAZ) yang telah diakui dan disahkan oleh
masyarakat atau negara. Yang berhak menerima zakat tersebut ialah:
1) Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga
untuk memenuhi penghidupannya.
2) Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3) Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat
4) Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islami dan orang yang baru masuk Islami
yang imannya masih lemah.
5) Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh
orang-orang kafir.
6) Orang berUtang: orang yang berUtang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat
dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berUtang untuk memelihara
persatuan umat Islami dibayar Utangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu
membayarnya.
7) Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islami dan kaum
muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup
juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-
lain.
8) Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan
dalam perjalanannya.
Oleh karena itu, dalam pemungutan zakat berbeda dengan pemungutan terhadap pajak dan
hendaknya memperhatikan empat azas berikut; Adam Smith dalam (Rahman, 1966, 333,
dan Mannan, 1997, 275):
61
Tabel 2
Perbedaan Asas Zakat dan Pajak
Standar akuntansi zakat ini layak untuk diterbitkan untuk kepentingan umat, terutama
dalam pengelolaan negara berkaitan dengan pengumpulan dana masyarakat (public money)
untuk pembangunan dan atau khusus program pengentasan kemiskinan. Dibandingkan
pajak yang cenderung memaksa dan mungkin sumbernya non halal, maka zakat dipungut
atau dikeluarkan atas dasar kesadaran individu bahwa dibalik harta yang kita miliki terdapat
hak orang lain yang harus dikeluarkan yakni dalam bentuk zakat. Bila pajak, terindikasi
adanya kezaliman dalam proses pengumpulan dan distribusinya cenderung tidak merata
dan tidak sesuai dengan konsep keadilan, kebenaran, dan pertanggungjawaban sebagaimana
dalam prinsip muamallah dalam akuntansi syari’ah, sehingga sulit untuk
dipertanggungjawabkan secara akuntabel dan transparan. Maka Zakat tidak, dalam
pemungutan dan pengelolaanya pun hanya memerlukan proses dan system yang sederhana.
Oleh karena itu, kalau pajak sudah ada peraturan maupun ketentuan yang mengaturnya
maka seyogyanya zakat juga demikian (terutama aturan dari pemerintah dan organisasi
profesi) misalnya: kewajiban untuk melaporkan pungutan zakatnya dan standar akuntansi
zakat. Menurut Harahap (1997: 285), bahwa dalam penyusunan standar zakat hendaknya
memperhatikan hal-hal berikut:
1. Dasar penilaian adalah nilai tukar sekarang (current exchange value), berdasarkan harga
pasar yang berlaku.
2. Aturan periode satu tahun, kecuali untuk zakat pertanian disesuaikan dengan musim
panen (masa produksinya)
3. Independensi aturan, zakat dihitung berdasarkan kekayaan akhir tahun, setelah sampai
nisabnya.
4. Menggunakan standar realisasi.
5. Menggunakan net total dan memerlukan net income.
6. Dasar pengenaan adalah kekayaan aset (maal).
Zakat adalah proses penyucian harta dan merupakan kewajiban setiap individu muslim
61
sebagai sarana untuk mencapai taqwallah sedangkan Pajak adalah Iuran wajib (pungutan)
setiap warga negara (badan) yang pemungutannya dapat dipaksakan dan disertai adanya
sangsi (denda) atau kurungan badan. Selanjutnya dalam konteks kewajiban pada negara
maka pajak merupakan iuran wajib yang dapat diapaksakan dan dapat dikenakan sanksi
denda atau kurungan apabila warga negara tidak menunaikan kewajibannya.
Pajak diatur dan ditetapkan dengan peraturan pemerintah dan undang-undang (ketentuan
lainnya) yang berfungsi sebagai pemasukan pada kas negara untuk membiayai
pembangunan dan pembiayaan negara lainnya. Sedangkan zakat adalah kewajiban individu
yang bersifat amaliah. Penunaian kewajiban diserahkan kepada kesadaran insan yang
bersangkutan. Oleh karena itu, tidak ada sanski denda atau kurungan tetapi semata-mata
didasari atas kesadaran karena Allah SWT. Zakat ini ditarik dan dikumpulkan oleh Amilin
untuk disalurkan kepada pihak yang berhak menerimanya (8 pihak).
Secara lebih jelas perbedaan antara Zakat dan Pajak sebagai berikut:
Tabel 3
Perbedaan antara Zakat dan Pajak
PERBEDAAN
No.
Persamaan Perbedaan Zakat Pajak
1 Adanya unsur Pengentian/definisi Penyucian harta dan Iuran wajib (pungutan) setiap
kewajiban merupakan kewajiban warga negara (badan) yang
setiap individu muslim pemungutannya dapat
sebagai sarana untuk dipaksakan dan disertai adanya
mencapai taqwallah sangsi (denda) atau kuruangan
badan.
2 Harus disetorkan Sasaran orang/lembaga Ditentukan ada Badan/lembaga yang telah
ke pihak yang yang menerimanya delapan ((ashnaf) ditunjuk dan atau dibentuk
berwenang kelompok masyarakat menurut ketentuan peraturan atau
menerimannya (amilin, muallaf, fakir perundangan negara.
dan miskin, gharim,
jihad fi sabilillah, dll.
3 Memperoleh Pengelolaan/manajemen Dikelola secara Dikelola secara terstruktur dan
imbalan/pahala sederhana oleh sistematis oleh lembaga yang
baik secara individu dan atau ditunjuk. (misalnya: Departemen
langsung ataupun badan yang dibentuk Keuangan, Dirjen Anggaran
tidak oleh masyarakat atau Pajak, KPP,)
negara (BAZ)
4 Berfungsi untuk Sisi Semata-mata untuk Untuk membiayai negara, baik
kepentingan sosial fungsi/manfaat/kegunaan kesejehteraan umat untuk kepentingan sosial,
(kemasyarakatan), sebagai wujud ekonomi, politik, agama maupun
ekonomi, dan pelaksaanaan rukun pertahanan keamanan.
keuangan. Islami yang ke-4
5 Adanya masa Orientasi atau tujuan Menunaikan Salah sumber pemasukan yang
manfaat atau masa kewajiban dan potensial untuk berjalannya
penggunaan mensucikan harta dari program pemerintahan.
hak orang lain
6 Dibayar setahun Besarnya tarif (nisab) Ditentukan berdasarkan
sekali atau setiap Ditentukan sesuai ketentuan undang-undang
kejadian (event) dengan jenis zakatnya dengan menggunakan tarif
objek (dalam Al Qur’an dan progresif secara proporsional
Sunah Rasul) dan sesuai dengan jumlah
telah mencapai pendapatan.
haulnya
7 Berfungsi sebagai Dari asas atau prinsip Persamaan (equalitas) Ada batasan tertentu (sesuai
sarana yang digunakan untuk semua individu PKP/ penghasilan kena pajak)
pengumpulan dana
masyarakat
61
8 Asas 4 asas Kepastian, Kepastian, Keselarasan,
Keselarasan, ketepatan, dan ekonomi
ketepatan, dan
ekonomi
9 Berdasarkan Ketentuan (Nash/Aturan): QS. At Taubah: 5, 11, UU No. 1 Tahun 1983 diubah
ketentuan yang 18, 58, 60, 103,QS. Al menjadi UU No. 17 tahun 2002:
pasti Baqarah: 43, 110, 177, Pasal 23 Ayat 2 (khususnya)
254, 277, QS. As UUD 1945 Pasal 23 Ayat 2
Saba: 39, QS. An Surat Edaran dari Menteri
Nissa: 77, QS. Keuangan dan aturan lainnya.
Maryam: 31, QS. Al
Mu’minum: 4, QS.
Annur: 37, 56, QS. An
Naml: 5, QS. Luqman:
4, QS. Al Ahzab: 33
QS. Al Bayinah: 5,
dll.
Pelatihan:
Tidak boleh mengoreksi transaksi yang telah tercatat dengan coretan atau
menghapusnya.
4. Apakah yang dimaksud dengan, Tauhid, keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab,
dalam kaitannya dengan karakteristik Akuntansi Syariah?
5. Salah satu prinsip Akuntansi Syariah adalah pada kebenaran (truth)? Jelaskan!
6. Bagaimana pendapat Saudara terhadap BUNGA dan RIBA? Jelaskan!
7. Jelaskan, apa yang Saudara ketahui tentang Zakat Dan Pajak.
8. Dapatkan ekonomi islamii berjalan tanpa menggunakan sistem bunga? Jelaskan!
61
BAB II
A. PENDAHULUAN
Dalam sistem ekonomi islami, dijelaskan mengenai konsep dana, bahwa dana hanya akan
tersedia karena ada biaya, dan biaya terdapat dalam bagi hasil. Tingkat keuntungan
menjadi kriteria untuk pengalokasian sumber daya sekaligus untuk membuat keseimbangan
antara permintaan dan penawaran. Seluruh risiko bisnis diserahkan kepada pengusaha dan
61
memastikan keuntungan bagi dirinya terlepas berapapun laba yang akan diperoleh.
Sedangkan dalam ekonomi islami, didasarkan pada akad (kesepakatan) antar kedua belah
pihak secara adil dan transparan, serta saling ridha (ar ridhain). Sesungguhnya, sistem bagi
hasil yang islamii tidak hanya membuahkan efisiensi yang lebih besar dalam pengalokasian
sumber daya, melainkan sekaligus mengurangi pemusatan kesejahteraan dan kekuasaan
serta mendorong keadilan sosial.
Oleh karena itu, bahwa Islami mendorong praktik bagi hasil dan mengharamkan riba
(bunga). Hal ini sejalan dengan fatwa yang dikeluarkan MUI pada tahun tanggal 16
Desember 2003, yang menyatakan bahwa bunga bank tersebut identik dengan riba
dan hukumnya adalah haram. Di sisi lain Syariah Islami menghendaki sharing risk and
profit secara bersama-sama, dengan mengakui modal serta peranannya dalam proses
produksi atau jasa. Dengan demikian diharapkan akan dapat memberikan beban risiko
secara merata dan adil sesuai dengan akad dan kesepakatan yang telah ditetapkan pada saat
awal transaksi. Antara kedua sistem tersebut mepunyai perbedaan yang mendasar dimana
sistem bunga (interest) didasarkan pada tingkat bunga yang berlaku an dipengaruhi oleh
kebijakan moneter dan kurs (mata uang asing) dalam sistem ekonomi pasar bebas (free
liberalism economic) sedangkan sistem bagi hasil (profit and loss sharing) didasarkan pada
prinsip ekononi syariah dimana besarnya bagi hasil ataupun rugi didasarkan pada
kesepakatan pada saat akad dan tidak terpengaruh oleh berapapun tingkat suku bunga.
Sehingga dalam praktik bisnisnya akan selalu berpegang pada prinsip-prinsip syariah
(prinsip-prinsip muamalat), yaitu mengutamakan kebenaran, keadilan dan
pertanggungjawaban.
Transaksi pengganti atau penyeimbang adalah transaksi bisnis atau komersial yang
melegitimasi adanya penambahan tersebut secara tidak adil dan cenderung merugikan
pihak yang lemah. Seperti dalam transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil
proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya
manfaat sewa yang dinikmati termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang
karena pengunaan si penyewa (lesse). Dalam transaksi jual beli pembeli membayar di
atas harga atau imbalan barang yang diterimanya. Demikian pula dalam proyek bagi
61
hasil, para pihak berhak mendapatkan keuntungan karena penyertaan modal dan turut
menanggung risiko bisnis yang mungkin terjadi setiap saat. Demikan pula dana, tidak
akan berkembang dengan sendirinya hanya karena faktor orang yang menjalankan dan
mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan, hasil untung dapat
pula tidak diperoleh, hal ini tergantung kehendak Allah SWT. Pengertian senada juga
disampaikan oleh mayoritas ulama sepanjang sejarah Islami dari berbagai Mazhab
Fiqhiyyah. Badr ad-Dii al-Ayni pengarang Kitab Umdatu Qari Syarah Shahih
Bukhari mengatakan, “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan.
Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harga pokok tanpa adanya transaksi
bisnis riil.” Imam Sarakhsi dari Mazhab Hanafi berpendapat bahwa, “Riba adalah
tambahan yang diisyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh atau padanan
yang dibenarkan oleh syariah atas penambahan tersebut.”
Secara garis besar riba sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, terbagi dalam dua
kelompok besar yaitu: Riba Utang-Piutang (Riba Duyun) dan Riba Jual-Beli (Riba
Buyu’). Riba utang piutang terbagi dua yaitu Riba Qardh dan Riba Jahiliyah,
sedangkan Riba jual beli terbagi dalam dua bagian pula, yaitu Riba Fadhl dan Riba
Nasi’ah.
Bunga tersebut sebenarnya telah sejak lama dinyatakan tidak objektif dan ada unsur
eksploitasi golongan kaya terhadap golongan miskin. Plato (427-347 SM), bunga
menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Bunga merupakan
alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Hal ini menunjukan bahwa
bunga tersebut hanya mendasarkan pada prinsip keuntungan semata yang cenderung
mengabaikan keadilan. Selain itu Aristoteles (384-322 SM), bahwa fungsi uang adalah
sebagai alat tukar (medium of exchange) bukan merupakan alat untuk menghasilkan
tambahan kekayaan melalui bunga.
Bahkan bangsa Yahudi (Israel), telah pula menyatakan dalam beberapa Kitab Suci mereka
sebagai berikut:
Kitab Eksodus (Keluaran) 22; 25, Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang
umatku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih
Utang terhadap dia, dan janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.
Kitab Deuteronomy (Ulangan) 23; 19, Janganlah engkau membungakan uang kepada
saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan.
Selanjutnya dalam Kitab Levicitus (Imamat) 35; 7, bahwa janganlah kamu mengambil
bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya
Saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan
meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.
Umat Kristiani pada dasarnya dalam memandang bunga terbagi 3 bagian, yaitu:
- Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII-XV) antara lain; Robert of Courcon
(1152-1218 M.), William Auxxerre (1160-1220 M.), St. Raymond of Pennafore
(1180-1278 M.), St. Bonaventure (1221-1274 M.) dan St. Thomas Aquinas (1225-
1274 M.), mereka menyatakan bahwa:
1) Bunga dibedakan menjadi interest dan usury.
2) Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan
pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan.
3) Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya
tergantung niat si pemberi Utang.
- Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI-Abad XIX) antara lain; John
Calvin (1509-1564 M.), Charles du Moulin (1500-1566 M.), Claude Saummaise
(1588-1653 M.), Martin Luther (1483-1546 M.), Melancthon (1497-1560 M.) dan
Zwingli (1484-1531 M.) mereka berpendapat bahwa:
1) Dosa apabila bunga memberatkan peminjam.
2) Uang dapat membiak (kontra dengan pendapat Aristoteles)
3) Tidak menjadikan bunga sebagai sebagai dasar profesi
4) Jangan mengambil bunga dari orang miskin.
Berdasarkan hal tersebut di atas secara jelas bahwa sebagian besar ketentuan, dan pendapat
mereka tidak membolehkan praktik bunga yang berlebih-lebihan apalagi dengan orang
miskin di dalam masyarakat. Hal ini sejalan juga dengan ayat di bawah ini diambil dari
Kitab Injil; Lukas 6: 34-35, sebagai berikut:
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan
menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan
kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kasihilah
musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak
mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan hakmu akan menjadi anak-anak
Tuhan Yang Maha Tinggi, sebab ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima
kasih dan terhadap orang-orang jahat”.
Bagaimana dengan pandangan Agama Islam? Dalam Islam sangat jelas hukum dan
ketentuannya berkaitan dengan bunga (riba) tersebut, antara lain sebagai berikut:
Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda dalam beberapa hadits beliau tentang riba
antara lain: yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Riba itu memiliki tujuh puluh tingkatan, adapun tingkat yang paling rendah (dosanya)
sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya sendiri.” Selanjutnya ayat
lain dalam Al Qur’an dan Hadits Rasululaah SAW berkaitan dengan riba ini akan
diuraikan lebih jauh pada sub bab tersendiri.
61
Berdasarkan beberapa pandangan dan dalil naqli maupun aqli yang diuraikan di atas maka
seyogyanya pengambilan bunga perlu dipertimbangkan lebih jauh terutama dalam praktik
perbankan konvensional. Hal ini agar tercipta rasa keadilan dan eksploitasi golongan kaya
terhadap miskin tidak terjadi, seperti kondisi sekarang. Dalam ekonomi yang berprinsip
berdasarkan syariah, maka bunga harus dihindarkan dan diganti dengan sistem bagi hasil.
Mengapa demikian? Karena terdapat alasan-alasan lemah untuk membolehkan bunga bank
(pembenaran bunga) dan pada dasarnya dapat ditolak; seperti anggapan-anggapan berikut
bahwa:
Bunga untuk konsumtif dilarang, tapi untuk kegiatan produktif dibolehkan.
Opportunity Cost yang hilang disebabkan penggunaan uang oleh pihak lain (time
valeu of money).
Boleh mengambil buga karena alasan darurat.
Pada tingkat wajar, tidak masalah bunga dibebankan (Adh’afan Mudha’afah/Usury).
Uang sebagai komodoti dapat disewakan, karena itu ada harganya (hasil sewa uang)
adalah bunga.
Uang dapat dianggap sebagai komoditi bunga sebagai upah menunggu (Abstinence
Concept).
Nilai uang sekarang (Net Present Value) lebih besar daripada nilai uang pada masa
depan (Future Value) karena adanya penurunan nilai uang akibat inflasi dan bunga
sebagai penyeimbang laju inflasi.
Di zaman Rasulullah SAW belum/tidak ada bank, dan bank bukan syakhsiyyah
mukallafah.
Oleh karena alasan-alasan lemah tersebut maka pembolehan bunga dalam praktik bisnis
(perbankan) dapat ditolak atau dibantah. Sebab kalau kita mempelajari lebih jauh lagi
ketentuan atau ayat-ayat tentang riba maka akan semakin nyata dampak (kerugian) bila riba
yang identik dengan bunga tersebut dibolehkan. Apalagi bila dikaitkan dengan konsep
Oppurtunity Cost, siapakah yang dapat menjamin bahwa masa yang akan datang itu pasti
untung (dalam konsep Oppurtunity Cost). Kemudian apakah selama ini kondisi ekonomi
atau perbankan dalam keadaan darurat terus? Ataukah terjadinya penurunan nilai uang atau
inflasi yang tidak mutlak terjadinya, karena dapat pula akibat adanya deflasi. Bisa jadi
bunga merupakan penyebab utama terjadinya inflasi. Demikan pula pembolehan bunga
dapat berakibat merusak moral, sebab bagi si berpiutang (kreditur) dapat menimbulkan
sifat egois, zhalim, bakhil (lebih mencintai harta), sedangkan bagi si berUtang melahirkan
benih kebencian, beban yang besar, serta rasa permusuhan. Sehingga jauh rasa persudaraan
dan prisnip saling tolong menolong, hubungan bisnis semata-mata didasarkan pada prinsip
ekonomi (oriented profit) yang dipakai para kaum orientalis, hal ini sangat tidak sesuai
dengan prisnip ekonomi islami yang mendasarkan pada prinsip saling tolong menolong
(ta’awun), dalam menjalankan amanah (titipan) dari Allah SWT. menuju taqwallah
sehingga selamat di dunia dan akhirat. Dengan demikian konsep atau prinsip Sistem Bagi
Hasil menjadi satu-satunya pilihan, terutama dalam pengelolan perekonomian berbasis
syariah, khususnya dalam praktik bisnis (al muhasabah wal muamallah).
Selanjutnya dalam menciptakan sistem bagi hasil tersebut, sebagaimana yang digunakan
dalam konsep akuntansi konvensional maka dalam akuntansi syari’ah pun, khususnya untuk
LKS dapat pula menggunakan 2 (dua) sistem pencatatan (akuntansi/keuangan) seperti Cash
Basis dan Accrual Basis. Cash Basis yakni prinsip akuntansi yang mengharuskan
pengakuan biaya dan pendapatan pada saat terjadinya, sedangkan Accrual Basis; yakni
prinsip akuntansi yang membolehkan pengakuan biaya dan pendapatan didistribusikan pada
beberapa periode dan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, (Fatwa MUI,
61
Nomor: 14/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sistem Distribusi Bagi Hasil Usaha dalam Lembaga
Keuangan Syari’ah). Selanjutnya kedua sistem itu dapat digunakan dalam LKS, tetapi demi
untuk kemaslahatn (al-ashlah) umat MUI menyarankan dalam pencatatan sebaiknya
digunakan sistem basis akrual; akan tetapi dalam distribusi hasil usaha (profit sharing
revenue) hendaknya ditentukan atas dasar penerimaan yang benar-benar terjadi (cash
basis). Demikian pula dalam akad atau pemufakatan bisnis harus ditentukan dan disepakati
sistem mana yang dipilih.
Secara lebih jelas perbedaan bunga dan bagi hasil dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4
Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
Ciri utama dalam konsep kepemilikan menurut syari’ah adalah legitimasi kepemilikan
tergantung pada unsur moralitas. Dalam kepemilikan aset (asset) umumnya didasarkan
pada konsep historis dan dicatat sebesar harga perolehannya sesuai dengan harga pada saat
pembelian atau perpindahan hak antara penjual dengan pembeli dengan mengutamakan
pada prinsip amanah-Nya. Karena Allah SWT-lah semata-mata merupakan pemilik mutlak
terhadap aset atau harta yang kita miliki. Manusia hanya sebagai penerima titipan terhadap
aset untuk dipergunakan sebagaimana mestinya sesuai dengan tuntunan syariah. Sebab
Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban terhadap pengelolaan dan penggunaan aset
tersebut, secara adil dan benar. Sekecil apapun aset yang dimiliki tidak akan lepas dari
pertanggungjawaban di hadapan pengadilan Allah SWT yang Maha Adil tersebut (kelak di
hari akhir). Dalam Al Qur’an dan hadits Rasulullah SAW dijelaskan sebagai berikut:
Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien dan tidak
produktif harus dihindarkan agar mampu menciptakan tingkat produktivitas dan efisiensi.
Dalam upaya untuk menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan umat, berdasarkan
prisnip syariah. Sehingga dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya atau aset
tersebut hendaknya selalu memperhatikan hal-hal berikut.
1. Kekayaan atau kepemilikan harus tetap tersebar (QS. Al Hasyr: 7) secara terus
menerus diantara semua lapisan masyarakat.
2. Pembayaran zakat harus sebanding dengan kekayaan yang dimilikinya.
3. Penggunaan yang berfaedah, penekanan penggunaan ‘dijalan Allah SWT’.
4. Pengunaan yang tidak merugikan, menghindari kepemilikan mutlak.
5. Kepemilikan yang sah. (QS, An-Nisa: 29)
6. Adanya keseimbangan pemanfaatan (QS, Al-isra: 29 dan An Nisa: 36-37).
7. Penggunaan yang sesuai hak, untuk kemaslahatan umat.
8. Pemanfaatan untuk kehidupan manusia dalam mencapai ridha Allah,
mengedepankan hukum waris bila yang bersangkutan telah meninggal dunia.
Dalam penilaian harta (aset) adalah masa atau periode satu tahun (telah sampai haulnya),
terutama untuk dasar penilaian dan pengenaan zakat dan pajak. Sebagai dasar utama adalah
ditekankan dengan mekanisme perhitungan zakat yaitu mencapai nisab dan haul-nya.
Dalam QS, Adz-Dzaariyaat: 19, artinya: “Dan pada harta-harta mereka untuk orang
miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak bahagian." Demikian pula dalam hadits
Rasulullah SAW, “Tidak ada zakat yang dikenakan terhadap harta benda yang dimiliki
kurang dari satu tahun.”
Berdasarkan hal tersebut maka dasar penilaian harta dalam praktik bisnis (muhasabah)
berdasarkan syariah adalah telah sampai haulnya (periode satu tahun), dan setiap akhir
periode dilakukan penilaian berdasarkan prinsip akuntansi untuk menentukan besarnya
zakat maupun pajaknya.
Hameed (2000: 20): Value at current (market price) and then pay zakah (on it). Hal ini
menunujukkan bahwa current value akan lebih sesuai dibandingkan dengan historical cost
dalam pembayaran zakat, karena dalam konsep current value telah memperhitungkan atau
menyesuaikan dengan kondisi (inflasi maupun deflasi) ekonomi pada masa tersebut.
Jadi dasar penilaian utama yang digunakan dalam Islami adalah historical cost, namun
dengan tetap memperhatikan unsur current value dan hal berikut:
Sistem ini didasarkan atas dasar transaksi perolehan aset.
Menggunakan konsep kehati-hatian (prudent concept) atau konservatisme dan
pertanggungjawaban (responsibility) sebagai wujud pengelolaan terutama kepada Allah
SWT. dan pemilik modal (investor).
Dalam realisasinya dikaitkan dengan konsep penandingan (matching principles).
61
Menggunakan dasar periodically sebagai dasar penilaian dan alokasi aset secara
wajar dan objektif (fair).
Riba adalah salah satu hal yang dilarang dalam Islami. Larangan riba telah jelas dimuat
dalam Al Qu’ran dan Hadits Rasulullah SAW. sebagai berikut:
(QS; 3; 130), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertaqwallah kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”
(QS; 2; 275-279), “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit
jiwa. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhan-Nya, lalu terus berhenti dari mengambil riba,
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan
urusan terserah kepada Allah. Orang-orang yang mengulangi (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah dan Allah tidak menyukai setiap
orang kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, mengerjakan amal shaleh, mendirikan sembayang, dan menunaikan zakat,
mereka mendapatkan pahala pada sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran padanya
dan tidak pula mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwallah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-
orang yang beriman, maka jika kamu tidak mengerjakannya (meninggalkan sisa
riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
(QS; 4; 161), “Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka
itu siksa yang pedih.”
(QS; 30; 39), “Dan sesudah riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak akan menambah pada sisi
Allah. Dan jika apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mendapatkan keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang meliptakangandakan pahalanya.”
QS. An Nissa: 160-161, “Maka disebabkan kezhaliman orang-orang yahudi, Kami
haramkan atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari
jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang-orang yang
kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.”
QS. Al Baqarah: 278-279, “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
61
Selanjutnya dalam hadits Rasulullah SAW. dijelaskan antara lain sebagai berikut:
Dari Usamah bin Zaid, Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya riba itu bisa
terjadi pada jual beli secara utang (kredit). (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Dari Abu Said Al Khudri, Rasulullah SAW. bersabda: “Jangan melebih-lebihkan
satu dengan yang lainnya, jangan menjual perak untuk perak kecuali keduanya
setara, dan jangan melebih-lebihkan satu dengan yang lainnya, dan jangan
menjual sesuatu yang tidak tampak.” (HR. Bukhari, Muslim, Tarmidzi, Masa’i dan
Ahmad)
Dari Ubada bin Sami, Rasulullah SAW bersabda: “Emas untu emas, perak untuk
perak gandum untuk gandum. Barang siapa membayar lebih atau menerima lebih
dia telah berbuat riba. Pemberi dan penerima sama saja (dalam dosa).”
Jabir berkata bahwa Rasullah SAW. Mengutuk orang yang menerima riba, orangh
yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya,
kemudian beliau bersabda, “Mereka semuanya sama.” (HR. Muslim).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasullah SAW berkata, “Pada malam
perjalananku Mi’raj, aku melihat orang-orang yang perutnya seperti rumah,
didalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada
Jibril, siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang
yang memakan riba.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa SAW bersabda, “Riba itu memiliki tujuh
puluh tingkatan, adapun tingkat yang paling rendah (dosanya) sama dengan
seseorang yang melakukan zina dengan ibunya sendiri.”
Di sisi lain Al Qur’an juga memberikan anjuran bagi pemberi pinjaman (kreditur) untuk
memberikan keringanan jika peminjam (debitur) mengalami kesulitan dalam membayar.
Hal ini ditegaskan dalam QS; Surat Al Baqarah ayat 280: “Jika orang berutang itu dalam
kesukaran, maka beri tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian
atau seluruh utang, itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahu.” (QS; 2; 280).
Sebagai mana diuraikan sebelumnya, riba dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu Riba
Utang Piutang (Riba Duyun) dan Riba Jual Beli (Riba Buyu’). Dalam Ilmu Fiqih bahwa riba
adalah identik dengan bunga, termasuk riba utang piutang ini, yang dikelompokkan menjadi
Riba Nasi’ah adalah riba karena pertukaran yang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena
adanya tenggang waktu/jangka waktu, sedangkan Riba Fadhl, yaitu bila pertukaran barang
yang sejenis, tapi jumlahnya tidak seimbang (mistlan bi mitslin) atau suatu manfaat atau
tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berUtang.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa yang dikeluarkan tanggal 16 Desember
2003, telah menyatakan bahwa bunga bank tersebut identik dengan riba dan riba itu
hukumnya haram. Sehingga dalam perekonomian khususnya di bidang perbankan dan
sektor riel lainnya untuk mewujudkan konsepsi sistem perekomian islamii atau sesuai
dengan aqidah Islami tersebut, telah didirikan beberapa perbankan syari’ah dan beberapa
unit usaha syariah lainnya seperti, asuransi syari’ah, reksadana syari’ah, dan koperasi
syari’ah. Hal ini sesuai dengan rekomendasi; agar PBNU mendirikan bank Islami NU
dengan sistem tanpa bunga (Batsul Masail, Munas Bandar Lampung, 1992).
61
Konsep TVM (positive preference) menyebutkan bahwa nilai komoditi saat ini lebih tinggi
dibanding masa depan (Achsien, 2000, 43). Karena konsep ini merupakan pola ekonomi
yang normal, sistematis dan rasional. Diskonto dalam masalah ini berkaitan dengan tingkat
bunga. Padahal dalam Islam sistem bunga dilarang, terutama dalam penilaian investasi,
diskonto, dan sebagai cost of capital.
Selanjutnya dalam Islam uang dan kekayaan harus digunakan untuk kebiasaan baik bukan
untuk eksploitasi, dalam pemanfaatannya tidak boleh berlebih-lebihan dan tidak boleh
dibiarkan sia-sia menganggur. Sehingga capital budgeting yang didasarkan pada diskonto
untuk menilai proyek atau investasi bertentangan dan tidak dibenarkan menurut syariat
Islami. Selain itu sistem bunga (interest) sebagai salah satu faktor diskonto yang dilarang
merupakan bentuk praktik riba. Sehingga sebagai alternatif penggantinya adalah
menggunakn tingkat pengembalian (rank of return), bukan rate of return. Sebagai contoh
untuk saham (investasi) dengan memperhatikan EPS (earning per share), dengan tetap
memperhatikan konsep profit and loss sharing.
Bahwa konsep business income lebih relevan dari pada konsep laba berbasis historis,
karena nilai historis yang dijadikan dasar penilaian dan pengukuran atas aset atau transkasi
yang akan dikenakan zakat tidak bisa mengakui transaksi pada nilai wajarnya, yang
ditunjukkan dengan nilai saat ini. Historical cost juga gagal mengatasi prinsip realisasi,
karena historical cost tidak bisa mengakui kenaikan nilai yang belum direalisasi atas aset
yang dimiliki perusahaan pada periode tertentu.
Sedangkan konsep laba business income lebih relevan karena kesesuaiannnya dengan
mekanisme zakat yang mengakui dan meniali aset (harta) berdasarkan nilai sekarang
(current value) dan sistem tanpa bunga yang ada dalam Islam. Current value dalam praktik
akuntansi dapat digunakan sebagai dasar penilaian dan pengukuran dengan menggunakan
net realizable value (replacement cost). Current value ini didasarkan pada nilai masukan
dan nilai keluaran. Bila nilai masukan dinyatakan dalam satuan kini maka perhitungan laba
sama dengan historical cost, tetapi laba yang dihasilkan mencakup penahanan keuntungan
dan kerugian ini direalisasi atau tidak melalui penjualan atau pertukaran.
Lebih lanjut Hendriksen dan Van Breda (2000, 306) memberikan rumusan secara aljabar
tentang laba dengan dasar current cash equivalent sebagai berikut:
Laba = NSUM +
NSUP*)
Namun perlu diingat bahwa untuk memperolah laba tersebut harus memperhatikan prinsip
ekonomi, yaitu berkorban seefisen mungkin untuk mencapa laba yang proporsional sesuai
dengan prinsip syari’ah sebagai berikut:
Bab III
SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
A. PENDAHULUAN
Walaupun di zaman Nabi SAW belum ada institusi bank, tetapi ajaran Islam sudah
memberikan prinsip-prinsip dan filosofiss dasar yang harus dijadikan pedoman dalam
aktifitas perdagangan dan perekonomian. Karena itu, dalam menghadapi masalah
muamalah kontemporer yang harus dilakukan hanyalah mengidentifikasi prinsip-prinsip
dan filosofis dasar ajaran Islam dalam bidang ekonomi, dan kemudian mengidentifkasi
semua hal yang dilarang. Setelah kedua hal ini dilakukan, maka kita dapat melakukan
inovasi dan kreativitas (ijtihad) seluas-luasnya untuk memecahkan segala persoalan
muamalah kontemporer, termasuk persoalan perbankan.
Namun, sebelum “proses ijtihad” dalam persoalan perbankan ini kita lakukan, kita
sebaiknya meneliti terlebih dahulu apakah persoalan perbankan ini benar-benar merupakan
suatu persoalan yang baru bagi umat Islam atau bukan. Apakah konsep “bank” merupakan
konsep yang asing dalam sejarah perekonomian umat Islam? Pertanyaan ini Apakah
Perbankan Syariah merupakan
konsep yang baru? Amat penting untuk dijawab karena akan menentukan langkah kita
selanjutnya. Bila konsep bank adalah konsep yang baru bagi umat Islam, maka kita harus
memulai langkah ijtihad kita dari nol. Namun, bila konsep bank bukan konsep yang baru,
artinya umat Islam sudah mengenal bahkan mempraktekkan fungsi-fungsi perbankan dalam
kehidupan perekonomiannya, maka proses ijtihad yang harus kita lakukan tentunya akan
61
menjadi lebih mudah. Bab ini akan memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, dengan
menelusuri secara singkat praktek-praktek perbankan yang dilakukan oleh umat muslim
sepanjang sejarah.
Perbankan adalah satu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima
simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam
sejarah perekonomian kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang
sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak jaman Rasulullah saw.
Praktik-praktik seperti menerima titipan harta, meninjamkan uang untuk keperluan
konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim
dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW. Dengan demikian, fungsi-fungsi utama perbankan
modern yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman
Rasulullah. Rasulullah SAW yang dikenal dengan julukan al-Amin, dipercaya oleh
masyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul
hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayidina Ali ra untuk mengembalikan semua titipan itu
kepada yang memilikinya (Sami Hamoud, Islamic Banking, Arabian Information Ltd,
London, 1985). Dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan
tersebut.
Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin al Awwam, memilih tidak menerima titipan harta.
Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan
implikasi yang berbeda:
Pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk
memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, maka ia berkewajiban
mengambalikannya utuh.
Kedua, Sahabat lain, Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kufah. Juga
tercatat Abdullah bin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang ke adiknya Misab
bin Zubair yang tinggal di Irak.
Ketiga, Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan
antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali setahun.
Bahkan di jaman Umar bin Khattab ra, beliau menggunakan cek untuk membayar
tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan cek ini kemudian mereka mengambil
gandum di Baitul Mal yang ketika itu diimpor dari Mesir.
Keempat, Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah,
musyarakah, muzara’ah, musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kaum Muhajirin dan
kaum Anshar.
Kelima, Jelaslah bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan
di zaman Rasulullah SAW, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi
perbankan. Ada sahabat yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat
61
yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi
pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja. (Sudin Haron, Prinsip dan
Operasi Perbankan Islam, Berita Publishing Sdn Bhd, Kuala Lumpur, 1996)
Beberapa istilah perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqih, seperti istilah
kredit (Inggris: credit; Romawi: credo) yang diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa
Inggris berarti meminjamkan uang; credo berarti kepercayaan; sedangkan qard dalam fiqih
berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah cek (Inggris: check;
Perancis: cheque) yang diambil dari istilah saq (suquq). Suquq dalam bahasa Arab berarti
pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang biasa digunakan di pasar.
Institusi bank tidak dikenal dalam kosa kata fikih Islam, karena memang institusi ini tidak
dikenal oleh masyarakat Islam di masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah,
maupun Bani Abbasiyah. Namun, fungsi-fungsi perbankan yaitu menerima deposit,
menyalurkan dana, dan transfer dana telah lazim dilakukan, tentunya dengan akad yang
sesuai syariah. Di jaman Rasulullah SAW fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh
perorangan, dan biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi saja.
Baru kemudian, di jaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu
individu. Fungsi-fungsi perbankan yang dilakukan oleh satu individu, dalam sejarah Islam
telah dikenal sejak zaman Fungsi-fungsi Bank sudah dipraktikkan oleh para sahabat di
zaman Nabi SAW: 1. menerima simpanan uang; 2. memberikan pembiayaan; dan 3. jasa
transfer uang.
Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu
sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara satu mata uang dengan mata
uang lainnya. Ini diperlukan karena setiap mata uang mempunyai kandungan logam mulia
yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula. Orang yang mempunyai
keahlian khusus ini disebut naqid, sarraf, dan jihbiz. Hal ini merupakan cikal-bakal praktik
penukaran mata uang (money changer).
Istilah jihbiz mulai dikenal sejak zaman Muawiyah (661-680M) yang sebenarnya dipinjam
dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah ini
dipergunakan untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah. Peranan banker
pada zaman Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Muqtadir (908-932M). Saat itu,
hampir setiap wazir
mempunyai bankir sendiri. Misalnya, Ibnu Furat menunjuk Harun ibnu Imran dan Joseph
ibnu wahab sebagai bankirnya. Lalu Ibnu Abi Isa menunjuk Ali ibn Isa, Hamid ibnu Wahab
menunjuk Ibrahim ibn Yuhana, bahkan Abdullah al-Baridi mempunyai tiga orang bankir
sekaligus: dua Yahudi dan satu Kristen. Adiwarman Karim, “Bankir Yahudi pada Zaman
Abbasiyah”, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 2001.
Kemajuan praktik perbankan pada zaman itu ditandai dengan beredarnya saq (cek) dengan
luas sebagai media pembayaran. Bahkan, peranan bankir telah meliputi tiga aspek, yakni
menerima deposit, menyalurkannya, dan mentransfer uang. Dalam hal yang terakhir ini,
uang dapat ditransfer dari satu negeri ke negeri lainnya tanpa perlu memindahkan fisik uang
tersebut. Para money changer yang telah mendirikan kantor-kantor di banyak negeri telah
memulai penggunaan cek sebagai media transfer uang dan kegiatan pembayaran lainnya.
Dalam sejarah perbankan Islam, adalah Sayf al-Dawlah al-Hamdani yang tercatat sebagai
orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Baghdad (Irak) dan
Aleppo (Spanyol sekarang).
Selanjutnya, karena bunga ini secara fikih dikategorikan sebagai riba (dan karenanya
haram), maka mulai timbul usaha-usaha di sejumlah negara muslim untuk mendirikan
lembaga alternatif terhadap bank yang ribawi ini. Hal ini, terjadi terutama setelah bangsa-
bangsa muslim mendapatkan kemerdekaannya dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Usaha
modern pertama untuk mendirikan bank tanpa bunga pertama kali dilakukan di Malaysia
pada pertengahan tahun 40-an, namun usaha ini tidak sukses. Selanjutnya, eksperimen
lainnya dilakukan di Pakistan pada akhir tahun 50-an, di mana suatu lembaga perkreditan
tanpa bunga didirikan di pedesaan negara itu. Namun demikian, eksperimen pendirian bank
syariah yang paling sukses dan inovatif di masa modern ini dilakukan di Mesir pada tahun
1963, dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank. Bank ini mendapat sambutan yang
cukup hangat di Mesir, terutama dari kalangan petani dan masyarakat pedesaan. Jumlah
61
deposan bank ini meningkat luar biasa dari 17,560 di tahun pertama (1963/1964) menjadi
251,152 pada 1966/1967. Jumlah tabungan pun meningkat drastis dari LE40,944 di akhir
tahun pertama (1963/1964) menjadi LE1,828,375 di akhir periode 1966/1967. Namun
sayang, karena terjadi kekacauan politik di Mesir maka Mit Ghamr mulai mengalami
kemunduran, sehingga operasionalnya diambil alih oleh National Bank of Egypt dan bank
sentral Mesir pada 1967. Pengambilalihan ini menyebabkan prinsip nirbunga pada Mit
Ghamr mulai ditinggalkan, sehingga bank ini kembali beroperasi berdasarkan bunga. Pada
1971 akhirnya konsep nir-bunga kembali dibangkitkan pada masa rezim Sadat melalui
pendirian Nasser Social Bank.
Tujuan bank ini adalah untuk menjalankan kembali bisnis yang berdasarkan konsep yang
telah
dipraktekkan oleh Mit Ghamr. Kesuksesan Mit Ghamr ini memberi inspirasi bagi umat
muslim di seluruh dunia, sehingga timbullah kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam
ternyata masih dapat diaplikasikan dalam bisnis modern. Ketika OKI akhirnya terbentuk,
serangkaian konferensi internasional mulai dilangsungkan, di mana salah satu agenda
ekonominya adalah pendirian bank Islam. Akhirnya terbentuklah Islamic Development
Bank (IDB) pada bulan Oktober 1975 yang beranggotakan 22 negara Islam pendiri. Bank
ini menyediakan bantuan finansial untuk pembangunan negara-negara anggotanya,
membantu mereka untuk mendirikan bank Islam di negaranya masing-masing, dan
memainkan peranan penting dalam penelitian ilmu ekonomi, perbankan dan keuangan
Islam. Kini, bank yang berpusat di Jeddah-Arab Saudi itu telah memiliki lebih dari 43
negara anggota.
Pada perkembangan selanjutnya di era 70-an, usaha-usaha untuk mendirikan bank Islam
mulai menyebar ke banyak negara. Beberapa negara seperti Pakistan, Iran dan Sudan,
bahkan mengubah seluruh sistem keuangan di negara itu menjadi sistem nir-bunga,
sehingga semua lembaga keuangan di negara tersebut beroperasi tanpa menggunakan
bunga. Di negara Islam lainnya seperti Malaysia dan Indonesia, bank nir-bunga beroperasi
berdampingan dengan bank-bank konvensional.
Kini, perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menyebar
ke banyak negara, bahkan ke Negara-negara Barat. The Islamic Bank International of
Denmark tercatat sebagai bank syariah pertama yang beroperasi di Eropa, yakni pada tahun
1983 di Denmark. Kini, bank-bank besar dari negara-negara Barat seperti Citibank, ANZ
Bank, Chase Manhattan Bank dan Jardine Fleming telah pula membuka Islamic window
agar dapat memberikan jasa-jasa perbankan yang sesuai dengan syariat Islam.
Jadi dari segi proses evolusi, embrio kegiatan perbankan dalam masyarakat Islam dilakukan
oleh seorang individu untuk satu fungsi perbankan. Kemudian berkembang profesi jihbiz,
yaitu seorang individu melakukan ketiga fungsi perbankan. Lalu kegiatan tersebut diadopsi
oleh masyarakat Eropa abad pertengahan, dan pengelolaannya dilakukan oleh institusi,
namun kegiatannya mulai dilakukan dengan basis bunga. Karena mundurnya peradaban
umat muslim dan penjajahan bangsa-bangsa Barat terhadap negara-negara muslim, maka
evolusi praktek perbankan yang sesuai syariah sempat terhenti beberapa abad. Baru pada
abad 20 ketika bangsa muslim mulai merdeka, terbentuklah bank syariah modern di
sejumlah negara dan insya Allah akan terus mengalami perkembangan.
61
Di Indonesia, bank syariah yang pertama didirikan pada tahun 1992 adalah Bank
Muamalat. Walaupun perkembangannya agak terlambat bila dibandingkan dengan negara-
negara Muslim lainnya, perbankan syariah di Indonesia akan terus berkembang. Bila pada
tahun 1992-1998 hanya ada satu unit bank syariah di Indonesia, maka pada 1999 jumlahnya
bertambah menjadi tiga unit. Pada tahun 2000, bank syariah maupun bank konvensional
yang membuka unit usaha
syariah telah meningkat menjadi 6 unit. Sedangkan jumlah BPRS (Bank Perkreditan Rakyat
Syariah) sudah mencapai 86 unit dan masih akan bertambah. Di tahun-tahun mendatang,
jumlah bank syariah ini akan terus meningkat seiring dengan masuknya pemain-pemain
baru, bertambahnya jumlah kantor cabang bank syariah yang sudah ada, maupun dengan
dibukanya Islamic window di bank-bank konvensional. Dari sebuah riset yang dilakukan
oleh Karim Business Consulting, diproyeksikan bahwa total aset bank syariah di Indonesia
akan tumbuh sebesar 2850% selama 8 tahun, atau rata-rata tumbuh 356.25 % tiap tahunnya.
Sebuah pertumbuhan aset yang sangat mengesankan. Tumbuh kembangnya aset bank
syariah ini dikarenakan adanya kepastian di sisi regular, Sumber: Karim Business
Consulting, 2002.
Perkembangan perbankan syariah ini tentunya juga harus didukung oleh sumber daya insani
yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun realitas yang ada
menunjukkan bahwa masih banyak sumber daya insani yang selama ini terlibat di institusi
syariah tidak memiliki pengalaman akademis maupun praktis dalam Islamic Banking.
Tentunya kondisi ini cukup signifikan mempengaruhi produktifitas dan profesionalisme
perbankan syariah itu sendiri. Dan inilah memang yang harus mendapatkan perhatian dari
kita semua, yakni mencetak sumber daya insani yang mampu mengamalkan ekonomi
syariah di semua lini. Karena sistem yang baik tidak mungkin dapat berjalan bila tidak
didukung oleh sumber daya insani yang baik pula.
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya
yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain:
Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman
dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil
usaha institusi yang meminjam dana.
Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya
merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai
61
intrinsik.
Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak
harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah
transaksi.
Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam
Islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Perbankan syariah merupakan bagian dari ekonomi syariah, dimana ekonomi syariah
merupakan bagian dari muamalat (hubungan antara manusia dengan manusia). Oleh karena
itu, perbankan syariah tidak bisa dilepaskan dari al Qur`an dan as sunnah sebagai sumber
hukum Islam. Perbankan syariah juga tidak dapat dilepaskan dari paradigma ekonomi
syariah yang berlandaskan filosofis sebagai berikut:
1. Tauhid. Dalam pandangan Islam, salah satu misi manusia diciptakan adalah untuk
menghambakan diri kepada Allah SWT,”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (51:56). Pengambaan diri ini
merupakan realisasi tauhid seorang hamba kepada Pencipta-Nya. Konsekuensinya,
segenap aktivitas ekonomi dapat bernilai ibadah jika diniatkan untuk mendekatkan diri
kepada-Nya.
2. Allah SWT sebagai pemilik harta yang hakiki. Prinsip ekonomi syariah
memandang bahwa Allah SWT adalah pemilik hakiki dari harta. ” Kepunyaan Allah-
lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi…” (2:284). Manusia
hanya mendapatkan titipan harta dari-Nya, sehingga cara mendapatkan dan
membelanjakan harta juga harus sesuai dengan aturan dari pemilik hakikinya, yaitu
Allah SWT.
3. Visi global dan jangka panjang. Ekonomi syariah mengajarkan manusia untuk
bervisi jauh ke depan dan memikirkan alam secara keseluruhan. Ajaran Islam
menganjurkan ummatnya untuk mengejar akhirat yang merupakan kehidupan jangka
panjang, tanpa melupakan dunia, ”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan” (28: 77). Risalah Islam yang diturunkan kepada Muhammad SAW pun
mengandung rahmat bagi alam semesta, ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (23:107). Dengan demikian
dalam dimensi waktu, ekonomi syariah mempertimbangkan dampak jangka panjang,
bahkan hingga kehidupan setelah dunia (akhirat). Sedangkan dalam dimensi wilayah
dan cakupan, manfaat dari ekonomi syariah harus dirasakan bukan hanya oleh manusia,
melainkan alam semesta.
4. Keadilan. Allah SWT telah memerintahkan berbuat adil, ”Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil” (4: 48). Bahkan, kebencian seseorang terhadap suatu kaum
tidak boleh dibiarkan sehingga menjadikan orang tersebut menjadi tidak adil, ”Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (5:8).
61
5. Akhlaq mulia. Islam menganjurkan penerapan akhlaq mulia bagi setiap manusia.
bahkan Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa, ”Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlaq yang mulia” (HR. Malik). Termasuk saat mereka beraktivitas
dalam ekonomi. Akhlaq mulia semisal ramah, suka menolong, rendah hati, amanah,
jujur sangat menopang aktivitas ekonomi tetap sehat. Contoh terbaik dalam akhlaq
adalah Muhammad SAW, sehingga Allah SWT memuji beliau, ”Dan sesungguhnya
kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (68:4). Sebelum diangkat menjadi
Rasul, Muhammad sangat dipercaya oleh kaumnya sehingga diberi gelar ’al Amin’
(yang terpercaya). Hasilnya, beliau menjadi pengusaha yang sukses.
6. Persaudaraan. Islam memandang bahwa setiap orang beriman adalah bersaudara,
”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (49:10). Konsep persaudaraan
mengajarkan agar orang beriman bersikap egaliter, peduli terhadap sesama dan saling
tolong menolong. Islam juga mengajarkan agar perbedaan suku dan bangsa bukanlah
untuk dijadikan sebagai pertentangan, melainkan sebagai sarana untuk saling mengenal
dan memahami, ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (49:13).
Perbankan syariah menjalankan fungsi yang sama dengan perbankan konvensional, yaitu
sebagai lembaga intermediasi (penyaluran), dari nasabah pemilik dana (shahibul mal)
dengan nasabah yang membutuhkan dana. Namun, nasabah dana dalam bank syariah
diperlakukan sebagai investor dan/atau penitip dana. Dana tersebut disalurkan perbankan
syariah kepada nasabah pembiayaan untuk beragam keperluan, baik produktif (investasi
dan modal kerja) maupun konsumtif. Dari pembiayaan tersebut, bank syariah akan
memperoleh bagi hasil/marjin yang merupakan pendapatan bagi bank syariah. Jadi, nasabah
pembiayaan akan membayar pokok + bagi hasil/marjin kepada bank syariah. Pokok akan
dikembalikan sepenuhnya kepada nasabah dana sedangkan bagi hasil/marjin akan
dibagihasilkan antara bank syariah dan nasabah dana, sesuai dengan nisbah yang telah
disepakati.
Artinya dalam bank syariah, dana dari nasabah pendanaan harus di’usahakan’ terlebih
dahulu untuk menghasilkan pendapatan. Pendapatan itulah yang akan dibagi hasilkan untuk
keuntungan bank syariah dan nasabah dana.
Dengan skema wadiah, nasabah menitipkan dananya kepada bank syariah. Nasabah
memperkenankan dananya dimanfaatkan oleh bank syariah untuk beragam keperluan
(yang sesuai syariah). Namun bila nasabah hendak menarik dana, bank syariah
berkewajiban untuk menyediakan dana tersebut. Umumnya skema wadiah digunakan
dalam produk giro dan sebagian jenis tabungan. BSM menggunakan skema ini untuk
BSM Giro, BSM TabunganKu dan BSM Tabungan Simpatik.
61
b. Mudharabah (investasi)
2. Pembiayaan/Penyaluran dana.
a. Murabahah
Merupakan akad jual beli antara nasabah dengan bank syariah. Bank syariah akan
membeli barang kebutuhan nasabah untuk kemudian menjual barang tersebut kepada
nasabah dengan marjin yang telah disepakati. Harga jual (pokok pembiayaan + marjin)
tersebut akan dicicil setiap bulan selama jangka waktu yang disepakati antara nasabah
dengan bank syariah. Karena harga jual sudah disepakati di muka, maka angsuran
nasabah bersifat tetap selama jangka waktu pembiayaan. Hampir seluruh pembiayaan
konsumtif BSM (BSM Griya, BSM Oto) menggunakan skema ini. Skema ini juga
banyak dipergunakan BSM dalam pembiayaan modal kerja atau investasi yang
berbentuk barang. Sekitar 70% pembiayaan bank syariah menggunakan skema
murabahah.
b. Ijarah
Merupakan akad sewa antara nasabah dengan bank syariah. Bank syariah membiayai
kebutuhan jasa atau manfaat suatu barang untuk kemudian disewakan kepada nasabah.
Umumnya, nasabah membayar sewa ke bank syariah setiap bulan dengan besaran yang
telah disepakati di muka. BSM mengaplikasikan skema ini pada BSM Pembiayaan
Eduka (pembiayaan untuk kuliah) dan BSM Pembiayaan Umrah. Beberapa
pembiayaan investasi juga menggunakan skema ijarah, khususnya skema ijarah
muntahiya bit tamlik (IMBT).
c. Istishna
Merupakan akad jual beli antara nasabah dengan bank syariah, namun barang yang
hendak dibeli sedang dalam proses pembuatan. Bank syariah membiayai pembuatan
barang tersebut dan mendapatkan pembayaran dari nasabah sebesar pembiayaan barang
ditambah dengan marjin keuntungan. Pembayaran angsuran pokok dan marjin kepada
bank syariah tidak sekaligus pada akhir periode, melainkan dicicil sesuai dengan
kesepakatan. Umumnya bank syariah memanfaatkan skema ini untuk pembiayaan
konstruksi.
61
d. Mudharabah
Merupakan akad berbasis bagi hasil, dimana bank syariah menanggung sepenuhnya
kebutuhan modal usaha/investasi.
e. Musyarakah
Merupakan akad berbasis bagi hasil, dimana bank syariah tidak menanggung
sepenuhnya kebutuhan modal usaha/investasi (biasanya sekitar 70 s.d. 80%).
b. Rahn
Rahn bermakna gadai. Artinya bank syariah meminjamkan uang (qardh) kepada
nasabah dengan jaminan yang dititipkan nasabah ke bank syariah. Bank syariah
memungut biaya penitipan jaminan tersebut untuk menutup biaya dan keuntungan bank
syariah.BSM mengaplikasikan skema ini pada BSM Gadai Emas iB.
c. Kafalah
Dengan skema kafalah, bank syariah menjamin nasabahnya. Bila terjadi sesuatu
dengan nasabah, bank syariah akan bertanggung jawab kepada pihak ke-3 sesuai
kesepakatan awal. BSM mengaplikasikan skema ini pada produk BSM Bank Garansi.
d. Sharf
Merupakan jasa penukaran uang. BSM mengaplikasikan skema ini untuk layanan
penukaran uang Rupiah dengan mata uang negara lain, semisal US$, Malaysia Ringgit,
Japan Yen, dsb.
Terdapat perbedaan pula antara bagi hasil dan bunga bank, yaitu:
Boleh. Semangat syariah adalah rahmat bagi alam semesta, sebagaimana tertuang
dalam al Qur`an: ”Dan tidaklah kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai
rahmat bagi alam semesta” (21:107). Dengan demikian, layanan perbankan syariah
dapat dinikmati oleh muslim dan non muslim.
b. Saya mendapatkan pembiayaan dari bank syariah, tapi ternyata angsuran yang harus
saya bayar lebih mahal dibandingkan bank konvensional. Apakah ini sesuai syariah?
Aspek harga sebenarnya bukan merupakan wilayah syariah, melainkan wilayah bisnis.
Maksudnya, penetapan harga suatu produk berdasarkan pertimbangan bisnis, yaitu
supply, demand dan value yang diterima/dipersepsi oleh nasabah. Begitu pula dalam
penetapan harga pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah, memperhatikan
supply, demand dan value untuk nasabah. Dalam praktiknya, terkadang suatu produk
pembiayaan bank syariah lebih mahal dibandingkan bank konvensional, sedangkan
produk pembiayaan lainnya lebih murah. Produk pembiayaan antara suatu bank syariah
dengan bank syariah lainnya juga beragam.
61
c. Saat ini bank syariah marak memberikan program undian kepada nasabah, khususnya
nasabah pendanaan. Bukankah undian termasuk dalam kategori perjudian?
Undian merupakan alat/instrumen yang bisa bernilai positif ataupun negatif (termasuk judi).
Praktik undian yang diselenggarakan bank syariah bukan termasuk judi, karena nasabah
tidak dipungut biaya apapun untuk mengikuti undian tersebut. Oleh karenanya, bank
syariah diperbolehkan melakukan undian tersebut.
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:
Wadi’ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat
mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak
berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah.
61
BAB IV
PENILAIAN DAN PENGUKURAN
DALAM KONSEP AKUNTANSI SYARI’AH
A. PENDAHULUAN
Dalam pembahasan bagian ini, akan digunakan akun-akun laporan keuangan syariah yang
sesuai dengan tujuan zakat, terutama adalah aset. Akun-akun tersebut meliputi aset yang
digunakan sebagai modal kerja, dimana aset tetap bukan merupakan subjek zakat,
sebagaimana yang dinyatakan oleh AAO-IFI (1998) dalam penjelasan atas Statement of
Financial Accounting No 9 tentang zakat.
S.A. Siddiqui (1962, 31) seperti yang dikutip oleh Rahman (1996, 264-65) mengungkapkan
jenis-jenis harta yang bebas zakat yaitu: rumah kediaman, pakaian yang dikenakan,
perkakas rumah, binatang tunggangan, senjata yang digunakan, makanan, barang perhiasan
emas dan perak, uang selain yang terbuat dari emas dan perak, yang digunakan untuk
berbelanja pribadi, buku-buku, alat-alat dan mesin yang digunakan untuk proses produksi,
dan binatang-binatang untuk mengolah pertanian. Dalam UU RI No. 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, pada pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa: harta yang dikenai
zakat adalah:
a. Emas, perak dan uang;
b. Perdagangan dan perusahaan;
c. Hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan;
d. Hasil pertambangan;
e. Hasil peternakan;
f. Hasil pendapatan dan jasa; dan
g. Rikaz (barang temuan)
Aset tetap yang digunakan untuk proses produksi selanjutnya pada sebuah perusahaan
tidak menjadi bagian aset yang dikenakan pajak. Adapun kriteria harta (aset) yang
memenuhi kewajiban zakat adalah:
Adapun yang termasuk dalam aset yang dikenai kewajiban zakat (selain aset tetap) adalah:
2. Piutang
Piutang adalah klaim terhadap pihak lain atas penyerahan barang atau jasa dalam
rangka kegiatan usaha perusahaan. Piutang di sini adalah piutang netto setelah
dikurangi provisi untuk piutang ragu-ragu.
Penilaian dan pengukuran akun-akun laporan keuangan syari’ah berkaitan erat dengan
metode pengukuran zakat. Adapun metode pengukuran zakat ada dua metode, yaitu:
metode aset bersih (net assets) dan dana yang diinvestasikan bersih (net invested fund).
Dasar pengukuran zakat dengan metode aset neto adalah aset yang bisa dikenakan zakat
dikurangi kewajiban yang jatuh tempo yang harus dibayar pada akhir tahun laporan
keuangan, dikurangi ekuitas rekening investasi tidak terbatas, saham minoritas, ekuitas
yang dimiliki oleh pemerintah dan dikurangi ekuitas yang dimiliki oleh dana hibah,
kemudian dikurangi ekuitas yang dimiliki badan sosial dan ekuitas yang termasuk pada
61
organisasi nirlaba tidak termasuk yang dimiliki individu.
Sedangkan dasar pengenaan zakat menggunakan metode dana yang diinvestasikan netto
adalah modal disetor ditambah cadangan, ditambah provisi ditambah provisi yang tidak
dikurangkan yang jatuh tempo untuk dibayarkan selama tahun yang berakhir pada tanggal
laporan posisi keuangan, dikurangi aset tetap neto, dikurangi investasi yang tidak dibeli
untuk diperdagangkan, misalnya real estate untuk disewakan dan akumulasi kerugian.
Tabel 5
Dasar Penilaian atas Akun – akun Laporan Keuangan Syari’ah sebagai
Dasar Zakat dengan Metode Bersih (Net Assets Methods)
Dasar Penilaian Atas akun-akun Laporan Keuangan Syari’ah sebagai dasar pengenaan
Zakat dengan metode Net Invested Funds Method, sebagai berikut:
Tabel 6
Metode Dana yang Diinvestasikan Bersih (Net Invested Funds Method)
Dalam metode aset bersih perusahaan nampak bahwa aset atau aset yang dinilai adalah aset
lancar. Dimana sesuai pada pembahasan sebelumnya bahwa aset yang wajib dikenai zakat
adalah aset lancar yang akan diolah (diproses) untuk menghasilkan pendapatan. Jadi
jelaslah bahwa aset yang dikenai kewajiban zakat bagi perusahaan adalah aset dalam
kategori aset lancar (kas setara kas, piutang, barang perdagangan, dan aset pembiayaan),
yang dinilai berdasarkan prinsip–prinsip current value dengan menggunakan metode cash
equivalent value.
Pembahasan konsep laba akuntansi syari’ah akan dilakukan dengan tiga pendekatan dalam teori
akuntansi, yaitu pendekatan sintaksis, semantis, dan pragmatis. Laba secara sintaksis yaitu
melalui aturan-aturan yang mendefinisikannya; secara semantis yaitu melalui hubungan pada
realitas ekonomi yang mendasari; dan secara pragmatis merupakan penggunaan laba oleh
para pemakainya tanpa memperhatikan bagaimana hal itu diukur atau apakah itu artinya
(Hendriksen dan Van Breda 2000, 329).
Pendekatan transaksi pada pengukuran laba adalah pendekatan lebih konvensional yang
digunakan oleh akuntansi saat ini. Dalam pendekatan ini melibatkan catatan penilaian aset
dan kewajiban hanya bila ini merupakan hasil dari transaksi. Istilah transaksi digunakan
dalam pengertian luas untuk mencakup baik transaksi internal maupun eksternal.
Transaksi eksternal berasal dari melakukan bisnis dengan pihak luar dan transfer aset atau
kewajiban ke atau dari perusahaan itu. Sedangkan transaksi internal berasal dari
penggunaan atau konversi aset di dalam perusahaan.
Untuk lebih memahami konsep laba dalam akuntansi syari’ah dalam tingkatan sintaksis
maka juga harus dipahami dengan mengetahui bagaimana operasionalisme untuk
mengukur laba, yaitu bagaimana proses yang dilakukan untuk menghasilkan laba. Seperti
halnya konsep laba dalam akuntansi konvensional, konsep laba akuntansi syari’ah juga
mengenal dua pendekatan dalam pengukuran laba yaitu pendekatan transaksi dan
pendekatan aktivitas dalam proses pengukuran laba.
Kedua pendekatan dalam tingkatan sintaksis akuntansi syari’ah tersebut dapat diturunkan
dalam realitas dunia nyata dalam memenuhi salah satu rukun Islami yaitu pelaksanaan
kewajiban zakat. Zakat merupakan realitas amanah yang ditransformasikan pada skala
yang lebih kecil dalam internal sebuah organisasi.
Laba dalam akuntansi syari’ah dalam tingkatan semantik sangat berkaitan erat dengan
tujuan akuntansi syari’ah itu sendiri. Adnan (1999, 4) menyatakan bahwa tujuan akuntansi
syari’ah jika dilihat dari idealisme syari’ah dapat dibagi menjadi dua tingkatan yaitu
tingkatan ideal dan tingkatan praktis.
Secara umum dapat diketahui bahwa tujuan laba dalam akuntansi syari’ah adalah untuk
memenuhi salah satu rukun Islami yaitu kewajiban menunaikan zakat. Oleh karena itulah
laba dalam akuntansi syari’ah diperlukan untuk menilai jalannya operasional usaha,
apakah sudah dilakukan secara efisien atau belum, untuk melakukan pertanggungjawaban
baik pertanggungjawaban kepada pemilik (pemegang saham) maupun pertanggungjawaban
kepada sang maha pemilik Allah SWT.
Oleh karena itu, laba dalam akuntansi syari’ah juga harus bisa digunakan untuk menilai
efisiensi atas kegiatan investasi perusahaan. Efisiensi tersebut akan tercermin dalam
61
tingkat pengembalian atas investasi, yang dihitung dengan laba bersih dibagi jumlah
modal yang diinvestasikan.
Konsep pragmatik dari laba berkaitan dengan proses keputusan yang dilakukan oleh pihak-
pihak yang menggunakan informasi laba tersebut atau peristiwa-peristiwa yang dipengaruhi
oleh informasi atas laba tersebut. Secara singkat laba pragmatik merupakan pengkajian
mengenai hubungan antara simbol (Tuanakotta 1984, 4). Simbol-simbol yang berbeda akan
merangsang tanggapan-tanggapan yang berbeda dari pemakai tertentu sekalipun simbol-
simbol itu mempunyai makna yang sama. Pemakai yang berbeda juga mungkin
menafsirkan simbol yang sama dalam pengertian yang berbeda-beda.
Konsep laba pragmatik dalam akuntansi syariah memusatkan perhatian pada relevansi
informasi yang dikomunikaskan kepada pembuat keputusan dan prilaku dari pribadi–
pribadi atau kelompok–kelompok pribadi sebagai akibat disajikannya informasi akuntansi.
Konsep laba pragmatik dalam akuntansi syari’ah harus mencerminkan nilai-nilai etika
Islami, di mana pihak-pihak pemakai laporan laba harus berperilaku secara Islami. Oleh
karena itu , konsep laba pada tingkatan ini dapat dibahas dengan pendekatan etis.
Pendekatan etis dalam teori akuntansi memberikan penekanan kepada konsep keadilan
kebenaran, dan kelayakan (Tuanakotta 1984, 15). Oleh karena itu, informasi atas laba
seharusnya memperhatikan hal-hal berikut:
Kelayakan, keadilan, dan tidak memihak, sebenarnya merupakan pandangan bahwa laporan
keuangan syari’ah tidak boleh terjangkit oleh pengaruh atau bias yang tidak seharusnya
terjadi. Konsep laba pragmatis dalam akuntansi syari’ah dapat dibagi dalam beberapa
tujuan yaitu: laba sebagai penentu besarnya kewajiban zakat, sebagai dasar pengambilan
keputusan dan kontraktual, dan laba sebagai alat peramal.
Zakat merupakan hal yang sangat asasi dalam Islami, dimana zakat merupakan salah satu
rukun Islami, tidak hanya wajib bagi Rasulullah tetapi juga bagi seluruh umat, dan
diwajibkannya penunaian zakat itu ditegaskan oleh ayat-ayat Qur’an yang tegas dan jelas,
dan oleh sunnah Rasulullah yang disaksikan semua orang mutawatir, dan oleh konsensus
(ijma’) seluruh umat semenjak dulu sampai sekarang (Qardawi 1991, 86).
Laba yang diperoleh dengan menggunakan akuntansi syariah sebagai dasar penyusunan
laporan keuangannya, harus dapat dipakai sebagai dasar untuk memenuhi rukun Islami
tersebut. Sehingga tujuan akuntansi syariah salah satunya adalah sebagai dasar
penghitungan zakat (Hameed 2000, 17; Triyuwono 1997a, 14).
61
Zakat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengaktualisasikan ke-Islami-an jati diri
manusia pada dimensi etis dan moralitasnya yang terkait dengan realitas sosial sebagai
khalifah Allah di muka bumi (Mas’ud, 1991, 35). Kaitannya dengan konsep laba akuntansi
syariah secara pragmatis adalah informasi laba harus dapat dijadikan dasar penghitungan
zakat. Zakat atas pendapatan harus terlebih dahulu dikurangkan biaya dan ongkos-ongkos
untuk memperoleh pedapatan tersebut, berdasarkan peng-qias-an terhadap hasil bumi dan
sejenisnya, bahwa biaya harus dikeluarkan terlebih dahulu baru zakat dikeluarkan dari sisa
(Qardawi 1991, 486).
Informasi laba secara pragmatis dalam akuntansi syariah harus bisa dijadikan dasar
penghitungan zakat, mengingat zakat merupakan sarana atau institusi yang akan
membedakan antara seorang mu’min dari seorang munafik yang dijelaskan oleh Allah
dalam Al-Qur’an 9, 67.
Output laporan keuangan berdasrkan prinsip syariah ditujukan untuk semua pemakai
laporan keuangan tanpa membedakan latar belakang para pemakainya. Informasi atas laba
biasanya digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Sama seperti investor yang
akan menggunakan informasi atas laba tersebut untuk memprediksikan tingkat
pengendalian atas modal yang akan ditanamkan, pihak manajemen juga berkepentingan
dengan rencana di masa depan. Keputusan-keputusan hanya dapat mempengaruhi kejadian
masa mendatang.
Pengambilan keputusan atas dasar informasi laba juga menjadi dasar dari banyak
hubungan hukum dan kontraktual dalam masyarakat. Kekuatan dari pendekatan
kontraktual adalah bahwa hal itu tidak menuntut intepretasi semantik atas perubahan
akuntansi (Hendriksen dan Van Breda 2000, 345). Dalam sistem ekonomi Islami tidak
dikenal adanya sistem bunga, sistem ekonomi Islami dilaksanakan dengan sistem bagi hasil
(profit and loss sharing). Oleh karena itu, kaitannya dengan konsep laba akuntansi
syari’ah adalah bahwa laba akuntansi syari’ah dapat dijadikan sebagai dasar dalam
melaksanakan transaksi secara Islami, misalnya laba atau estimasi dari keuntungan
dijadikan dasar dalam beberapa produk pembiayaan syari’ah.
Laba sebagai alat peramal biasanya digunakan sebagai dasar keputusan investasi, misalnya
laba digunakan untuk memprediksi harga perlembar saham. Nilai sebuah perusahaan dan
nilai saham dalam perusaahaan itu tergantung pada aliran distribusi masa depan yang
diharapkan kepada pemegang saham. Berdasarkan pengharapan ini, pemegang saham saat
ini dapat memutuskan untuk menjual saham itu atau terus menahannya.
Informasi laba yang diprediksikan harus mempunyai signifikasi dunia nyata, atau konsep
laba akuntansi Syari’ah yang diproyeksikan relevan dengan proses keputusan investor.
Sebagaian besar investor menghendaki agar prediksi masa depan yang dilaporkan relevan
bagi evaluasi saham suatu perusahaan dalam keputusan jual beli, oleh karena itu prediksi
atas laba harus didasarkan pada penilaian dan pengukuran atas laba secara tepat.
61
Zaid dan Tibbits (1999,16) lebih jauh menytakan bahwa salah satu prinsip sebagai dasar
pertimbangan dalam akuntansi syari’ah adalah kebenaran dan keterbukaan laporan
kepengurusan. Prinsip keterbukaan ini berasal dari prinsip al mu’amalat´ di mana setiap
transaksi, peristiwa-peristiwa ekonomi atau keputusan yang dibuat harus halal
(diperbolehkan) dalam Islami.
Laba akuntansi syari’ah sebagai alat peramal banyak digunakan dalam pembuatan kontrak
kerjasama pembiayaan Islami. Mannan (1997, 168) menyatakan bahwa transaksi
pembiayaan mudharabah dan musyarakah memerlukan prediksi atas keuntungan sebagai
dasar pembagian hasil atas investasi yang yang dilaksanakan. Dari pembahasan di atas
dapat disimpulkan bahwa konsep laba akuntansi syari’ah dapat ditinjau dari tiga tingkatan
yaitu konsep lana akuntansi syari’ah pada tingkatan sintaksis, semantik, dan pragmatis.
Pada tingkatan ini konsep laba akuntansi syari’ah menggunakan pendekatan aktivitas dan
pendekatan transaksi secara berurutan. Pendekatan aktivitas dan transaksi mempunyai
posisi yang saling melengkapi dan berada pada proses yang berurutan, sehingga faktor
waktu (timing) dan penilaian (valuation) memegang peranan penting.
Pada tingkatan semantis, laba akuntansi syari’ah menjelaskan bagaimana hubungan antara
fenomena (objek atau peristiwa) dengan simbol yang mewakili fenomena tersebut. Konsep
laba akuntansi syari’ah pada tingkatan semantis berkaitan erat dengan tujuan akuntansi
syari’ah itu sendiri. Pada tingkatan pragmatis konsep laba akuntansi syari’ah dapat
digunakan untuk menjelaskan relevansi informasi yang dikomunikasikan kepada
pembuat keputusan dan perilaku dari pribadi atau kelompok sebagai akibat disajikannya
informasi atas laba.
61
BAB V
PERBANKAN SYARI’AH
Pembiayaan Mudharabah (qiradh) adalah akad kerjasama usaha antara bank sebagai pemilik
dana (shahibul maal) dan nasabah sebagai pengelola dana (mudharib) untuk melakukan
kegiatan usaha dengan nisbah pembagian hasil (untung atau rugi) dalam bentuk persentase
berdasarkan kesepakatan dimuka.
Bila menggunakan agunan; maka harus menggunakan prinsip kehati-hatian (prudent concept
atau berdasarkan moral hazard) dan dapat dieksekusi bila kelalaian dari pengelola dana
bukan keadaan darurat (force major). Pembiayaan Mudharabah (PM) dapat melibatkan 2
pihak, yaitu Shahibul Maal (pemilik dana) dan Mudharib (pengelola dana), dan bank
syari’ah tidak boleh jadi pengurus. Bila pemilik dana lebih dari satu pihak maka dinamakan
Konsorsium Pembiayaan Musyarakah.
Namun dalam Pembiayaan Musyarakah lebih cocok untuk kerjasama dalam waktu jangka
panjang. Oleh karena dalam pembiayaan model ini Bank Syariah dapat melibatkan mitra
61
lebih dari 1 (satu) pihak (banyak mitra/konsorsium), selain itu Bank Syari’ah (BS) dapat atau
boleh menjadi pengurus (mudharib) konsorisium tersebut.
B. PERLAKUAN AKUNTANSI
Dalam pembiayaan mudharabah maka setiap transaksi yang terjadi harus dilakukan
pengakuan dan pengukuran sesuai dengan prinsip dalam akuntansi syari’ah sebagai berikut:
2) Pencatatan:
Ada dua jenis risiko yang ditanggung oleh bank dalam investasi ini, yaitu:
O Chanelling agent (tiada risiko), dilaporkan dalam perubahan investasi terikat dalam
catatan atas laporan keuangan sebesar porsi risiko (PSAK 105/2009).
61
Db.: Kas
Kr.: Investasi terikat tabungan/deposito mudharabah
(saat terima setoran dari investor/penabung)
O Executing agent (ada risiko), pemilik dana (shahibul maal) memberikan batasan
kepada pengelola (mudharib) dalam hal ini adalah bank syariah mengenai tempat, cara, dan
objek investasi, (PSAK 59/2003, par. 33): dianggap sebagai titipan (amanah).
Secara lebih lengkap pencatatan yang harus dilakukan dalam pembiayaan mudharabah ini
sebagai berikut:
PM atau akad PM diakhiri sebelum jatuh tempo Pembiayaan Mudharabah-Piutang Pembiayaan Mudharabah
dan belum dibayar oleh mudharib: Jatuh Tempo
PM hilang/rusak setelah pekerjaan dimulai: Kerugian Pembiayaan Mudharabah Pembiayaan Mudharabah
Penerimaan keuntungan mudharabah: Kas/Rekening Pendapatan Bagi Hasil
Mudharabah
Pencatatan kerugian mudharabah atau yang Kerugian Pembiayaan Mudharabah Pembiayaan Mudharabah
telah melewati satu periode:
Pencatatan kerugian akibat kelalaian atau Pembiayaan Mudharabah-Piutang Pembiayaan Mudharabah
kesalahan mudharib: Jatuh Tempo
61
Dalam transaksi yang berkaitan dengan pembiayaan ini maka harus dilaporkan dan
diungkapkan sesuai dengan periode terjadinya transaksi sebagai berikut:
Bahwa jumlah rincian PM dikelompokkan berdasarkan kas atau non kas, jenis penggunaan,
dan sektor ekonomi (bisnis) yang dikerjakan. Bila terdapat transaksi PM dengan pihak yang
mempunyai hubungan istimewa (kantor cabang dan pusat, perusahaan induk dan anak,
maupun perusahaan afiliasi) maka harus diungkapkan dan dieliminasi dan diungkapkan
dalam laporan keuangan konsolidasian.
Pengungkapan juga diberlakukan bila terdapat sejumlah PM yang telah direstrukturisasi dan
informasi lain tentang Pembiayaan Mudharabah yang direstrukturisasi selama periode
berjalan. PM harus diklasifikasikan menurut jangka waktu (masa akad), kualitas pembiayaan,
valuta (kurs) dan tingkat bagi hasil (yield). Hal ini berkaitan dengan kebijakan, manajemen
dan pelaksanaan pengendalian risiko fortopolio pembiayaan mudhrabah. Bila terdapat
Pembiayaan Mudharabah yang bermasalah maka penyisihannya harus dialokasikan dalam
setiap sektor ekonomi. Oleh karena itu, segala biaya atau beban maupun kerugian lainnya
harus dilporkan sebagai pengurang atau penurunan dari nilai pembiayaan mudharabah.
Seperti termaktub dalam PSAK 105 paragraf 17, maka kerugian terserbut akan mengurangi
nilai contract account (CA); PM. Rp.100.000.000,00-Rp.25.000.000,00 (kerugian) =
Rp.75.000.000,00 (nilai CA yang terkoreksi). Jadi nilai CA yang baru adalah hanya
75.000.000,00 rupiah saja, sebagai nilai CA yang baru setelah dikurangi kerugian.
Pada akhir tahun, yakni tanggal 21-12-2004, Nasabah Tuan Romi melakukan investasi pada
bank syari’ah Indepeneden sebagai berikut:
Deposito Berjangka Mudharabah (DBM) sejumlah Rp.400 juta, Tabungan Mudharabah
(TM) Rp.400 juta, Obligasi Syari’ah (OS) Mudharabah Rp.150 juta, dan SIMA berjumlah
Rp.50 juta rupiah. Dengan sistem bagi hasil telah disepakati dan belum dibagikan sebesar
Rp.1milyar.
Bagaimana pencatatan terhadap transaksi tersebut masing-masing untuk TM, OS, dan SIMA?
Penyelesaian:
Db.: Beban Bagi Hasil yang belum dibagikan Rp.1.000.000.000,00
Kr.: Deposito BM-bagi hasil Rp. 400.000.000,00
Tabungan Mudaharabah-bagi hasil Rp. 400.000.000,00
OS-bagi hasil Rp. 150.000.000,00
SIMA-bagi hasil Rp. 50.000.000,00
Pelatihan:
61
1. Uraikan perbedaan antara Pembiayaan Mudharabah dengan Pembiayaan
Musyarakah?
2. Bagaimana implementasi Pembiayaan Mudharabah dalam praktik bisnis,
berikan contohnya!
3. Mengapa Pembiayaan Mudharabah hanya dilakukan oleh dua belah pihak
saja, dan bagaimana DSN/Dewan Syariah Nasional mengaturnya, uraikan dan sebutkan
landasan fatwanya?
61
II. PIUTANG MURABAHAH
1) DEFINISI
Adalah transaksi penjulan barang dimana pembayarannya dapat dilakukan secara tunai atau
angsuran terhadap harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh kedua
belah pihak (penjual dan pembeli), berdasarkan akad dan kesepakatan yang ditentukan
dimuka. Yaitu antara bank dengan pemasok (supplier) dan antara bank dengan pembeli
(nasabah). Transaksi jual beli barang murabahah (piutang murabahah) ini lebih cocok untuk
jual beli yang bersifat konsumtif dan jangka waktu yang relatif pendek (umumnya di bawah
5 tahun/60 bulan). Misalnya pembelian otomotif, perbaikan rumah, pembelian dan
pembangunan rumah, pembelian alat rumah tangga atau kantor, dll.
PSAK No. 102/2009 (dulu No. 59/2002) tentang Perbankan Syariah dan PAPSI (Pedoman
Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia) dan Fatwa MUI No. 4/2000 tentang Murabahah,
No. 13/2000 tentang Uang Muka Murabahah, dan No. 16 tentang Diskon Dalam
Murabahah. Bahwa proses pengadaan barang (aset murabahah) harus dilakukan oleh pihak
bank melalui surat penawaran dari pemasok/penjual. Dalam melakukan transaksi
murabahah dapat dilaksanakan bedasarkan pesanan maupun tanpa pesanan, dimana bank
melakukan pesanan setelah ada permintaan dari nasabah (pembeli). Pembelian barang
pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat. Bank dapat menarik uang muka
(urbun) dan meminta jaminan atas piutang murabahah, dan dimana cara pembayaran dapat
dilakukan secara tunai maupun cicilan. Segala biaya akibat adanya kesepakatan murabahah
ini menjadi tanggungan nasabah (pembeli) dan bank dapat mengenakan biaya adminstrasi
kepada pembeli dan dapat diperlakukan sebagai pendapatan administrasi.
Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga
(pemasok) maka akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang menjadi milik
bank syariah. Dalam pengakuan terhadap keuntungan atau marjin maka keuntungan
tersebut harus dilakukan secara merata (proporsional) dan tetap selama masa angsuran.
Tidak dipengaruhi oleh suku bunga bank yang berlaku. Bila pemasok memberikan
potongan harga (tunai) yang dibeli oleh bank dan dijual kepada nasabah maka potongan
harga tersebut dibagi berdasarkan perjanjian atau persetujuan dalam akad. Oleh karena itu,
pembagian potongan harga setelah akad harus diperjanjikan. Porsi potongan harga yang
menjadi milik (hak) bank dapat diakui sebagai pendapatan operasi lainnya.
Denda yang diterima oleh bank tersebut akan menjadi beban nasabah dan bagi bank
merupakan pendapatan non operasional dan dimasukkan ke dalam rekening Wadiah atau
Pendapatan ZIS (zakat, infaq, dan sedekah), sebagai wujud fungsi sosial bank.
61
B. PERLAKUAN AKUNTANSI
Dalam pengakuan urbun dapat dilakukan sebesar jumlah yang diterima, sebagai bagian dari
pelunasan piutang murabahah, dan jika transaksi dbatalkan maka urbun dikembalikan
kepada nasabah setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank. Piutang
murabahah diakui sebesar nilai perolehan ditambah keuntungan (margin) yang disepakati.
Sedangkan pengakuan keuntungan yaitu;
a) Diakui pada periode teradinya bila akad berakhir pada periode laporan keuangan
yang sama.
b) Selama periode akad secara proporsional, apabila akad melampaui satu periode
akuntansi (pelaporan keuangan).
2) PENCATATAN
Beban Operasional-Potongan
Pelunasan Murabahah Kas/ Rekening
Penerimaan denda dari nasabah Kas/Rekening Rekening ZIS (Dana Kebajikan)
Sumber: Asyikin, 2002-2004
61
3) PENYAJIAN DAN PENGUNGKAPAN
Piutang Murabahah disajikan sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan, yaitu saldo
piutang murabahah dikurangi penyisihan kerugian piutang. Sedangkan margin murabahah
ditangguhkan disajikan sebagai pos lawan piutang murabahah.
4) PENGUNGKAPAN
Bahwa rincian Piutang Murabahah diungkapkan berdasarkan jumlah, jangka waktu, jenis
valuta dan kualitas piutang dan penyisihan penghapusan piutang murabahah. Termasuk
jumlah Piutang Murabahah yang diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa (pihak terkait). Demikian pula kebijakan dan metode akuntansi untuk penyisihan,
penghapusan dan penanganan piutang murabahah bermasalah. Jumlah besarnya piutang
murabahah baik yang dibiayai sendiri oleh bank maupun secara bersama-sama dengan
pihak lain sebesar bagian pembiayaan bank harus diungkapkan dalam laporan keuangan
secara objektif.
Misalnya: o Akad:
Transaksi Murabahah untuk Db.:Piutang Murabahah Rp. 140.000.000,00
pembiayaan pembelian otomotif Kr.: Sediaan Rp. 120.000.000,00
(Murabahan tanpa pesanan), Margin Murabahah Ditangguhkan (MMD)
asumsi: Bank Syari’ah mempunyai Rp.20.000.000,00
sediaan. Disepakati akad: Harga pokok
Rp.120 juta, harga jual Rp.140 juta. o Bank membukukan Uang Muka:
Masa angsuran 10 bulan @ Rp.10 juta. Db.:Kas (uang muka murabahah)
Uang muka (urbun) Rp.40 juta Rp.40.000.000,00
Kr.: Piutang Murabahah Rp. 40.000.000,00
Pencatatan angsuran ke-6 s.d. ke-10 Sama dengan pencatatan pada angsuran ke-1
s.d. ke-4
PELATIHAN:
Apakah yang Saudara ketahui tentang Akuntansi Murabahah (Pembiayaan
Murabahah), Jelaskan!
Ada berapa jenis Akuntansi Murabahah?
61
Dimana saja ketentuan yang mengatur tentang Akuntansi Murabahah? Bagaimana
Perlakuan terhadap Denda? Jelaskan.
Lembaga bisnis apa saja yang telah menerapakan prinsip pembiayaan murabahah,
jelaskan!
Latihan Soal:
61
III. PIUTANG SALAM
A. DEFINISI PIUTANG SALAM
Salam adalah akad jual beli barang pesanan antara pembeli dan penjual dengan pembayaran
dimuka dan pengiriman barang oleh penjual di belakang. Spesifikasi barang salam disepakati
pada akad transaksi salam. Ada dua jenis salam yaitu; Salam dan Salam Paralel.
Piutang salam diakui pada saat modal salam dibayarkan atau dialihkan kepada penjual,
(103/2009 dulu PSAK 59/2002, paragraf 74-77), PAPSI/2003, dan DSN (Fatwa No.
5/MUI2000). Selanjutnya modal salam dapat berupa kas dan non kas. Bilamana modal salam
dalam bentuk kas maka akan diukur sebesar jumlah yang dibayarkan, sedangkan modal salam
dalam bentuk ativa non kas diukur sebesar nilai wajar.
B. PERLAKUAN AKUNTANSI
- Piutang Salam diakui pada saat modal usaha salam berupa kas dibayarkan atau aset non
kas diberikan kepada penjual (pemasok).
- Pengukuran modal usaha salam berupa kas diukur sebesar jumlahyang dibayarkan
sedangkan dalam bentuk non kas diukur sebesar nilai wajar atau nilai yang disepakati
antara bank dengan pemasok. Selain itu nilai wajar non kas dapat pula diukur dari harga
pasar aset non kas yang dialihkan kepada penjual, replacement cost, maupun amount
61
recoverable.
2) PENYAJIAN:
Modal usaha salam yang diberikan disajikan dalam laporan keuangan sebagai Piutang Salam,
sedangkan Piutang yang harus dilunasi oleh penjual (pemasok/produsen) karena tidak dapat
memenuhi kewajiban dalam transaksi salam akn disajikan sebagai aset lain-lain.
3) PENCATATAN:
Misalnya:
Akad I Akad II
PETANI Bank
Pesan barang salam
DOLOG
Penyerahan barang salam
(KUD) Syariah
61
Bank menerima pesanan (kredit) beras 100 ton dari Dolog Banjarmasin. Bank akan memenuhi
pesanan tersebut dengan melibatkan Petani Suka Tanam (KUD) di Gambut sebagai berikut:
Penyelesaian:
o Saat Bank memberikan uang muka dan peralatan pertanian salam kepada
petani:
Db.: Piutang Salam Rp40.000.000,00
Kr.: Kas/Tabungan petani Rp30.000.000,00
Kr.: Peralatan Pertanian Rp10.000.000,00
o Petani menyerahkan beras Siam Unus (Tahap I) kepada Bank sebanyak 50 ton
Rp.20.000.000,00 (harga kontrak sama dengan harga pasar)
Db.: Persediaan Barang Salam Rp20.000.000,00
Kr.: Piutang Salam Rp20.000.000,00
UTANG SALAM:
Modal usaha salam yang diterima oleh bank sebagai penjual atau pembeli.
61
BANK SEBAGAI PEMBELI:
Diakui dan diukur pada saat modal usaha salam diterima dan diukur dalam bentuk kas (non
kas diukur berdasarkan nilai wajar).
Catatan;
Bila kontrak salam dibatalkan (karena petani gagal memenuhi pesanan tersebut) maka
pencatatan yang harus dilakukan adalah:
Db.: Piutang Usaha Rp40.000.000,00
Kr.: Piutang Salam Rp40.000.000,00.
Setelah kita membahas akuntansi mudharabah, murabahah, dan salam maka dapat
diidentifikasi perbedaan antara ketiga hal tersebut sebagai berikut:
TABEL 4
PERBEDAAN ANTARA AKUNTANSI MUDHARABAH, MURABAHAH, DAN SALAM
Pelatihan:
ISTISHNA’ adalah akad penjualan antara al-mustashni (pembeli) dengan as-shani (produsen)
yang bertindak sebagai penjual. Berdasarkan akad tersebut pembeli menugasi produsen untuk
membuat atau mengadakan al-mashnu’ (barang) sesuai spesifikasi yang disyaratkan pembeli
dan menjualnya dengan harga yang disepakati. Cara pembayaran dapat berupa pembayaran
dimuka, cicilan atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu.
PIUTANG ISTISHNA lebih cocok untuk fasilitas pembiayaan (modal kerja) untuk jangka
panjang, misalnya kontrak dalam proyek properti. Oleh karena itu, pembiayaan ini dapat
diberikan secara tunai, angsuran (termin), dibayar dimuka (urbun).
Pembiayaan yang diberikan oleh bank selaku pemilik dana (shahibul maal) kepada nasabah
dalam jangka waktu tertentu (umumnya jangka panjang) untuk kegiatan produktif
berdasarkan akad dan kesepakatan kedua belah dan atau antar para pihak yang terlibat.
B. DASAR PENGATURAN
Dalam PSAK 104/2009 dulu PSAK 59/2002 paragraf 90-104, DSN., dan PAPSI/2003. Dalam
Fatwa MUI, No. 22/DSN-MUI/III/2002, bahwa akad istishna’ harus memenuhi rukun dan
syarat yang berlaku dan dilakukan oleh lembaga keuangan syariah (LKS) kepada nasabah.
LKS selaku mustashni’ tidak diperkenankan memungut MDC (margin during contraction),
dari nasabah (shani’) karena hal ini tidak sesuai dengan prinsip syariah. Jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah (BAS) setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Pendapatan istishna’ adalah total harga yang disepakati dalam akad, antara bank dan pembeli
akhir, termasuk margin keuntungan. Margin keuntungan adalah selisih antara pendapatan
ishtisna’ dan harga pokok istishna’. Sedangkan untuk pendapatan istishna’ dapat diakui
61
dengan menggunakan metode persentase penyelesaian maupun metode akad selesai.
Jika pembeli akhir melakukan pembayaran sebelum tanggal jatuh tempo, dan bank
memberikan potongan maka bank menghapus sebagian keuntungannya
sebagai akibat penyelesaian lebih awal tersebut, dapat dilakukan sebagai berikut:
- Potongan secara langsung dan dikurangkan dari piutang istishna’ pada saat
pembayaran.
- Pengantian (rembursed) kepada pembeli sebesar jumlah keuntungan yang dihapuskan
tersebut setelah menerima pembayaran piutang istishna’ secara keseluruhan.
- Beban pemeliharaan dan penjaminan barang pesanan diakui pada saat terjadinya dan
diperhitungkan dengan pendapatan istishna’.
Jika penyelesaian piutang istishna’ dilakukan dengan cara ditangguhkan dari tanggal
penyerahan aset istishna’ maka berlaku perlakuan akuntansi seperti piutang murabahah.
Namun jika penyelesaian piutang istishna’ dilakukan dengan cara pembayaran dimuka pada
saat akad maka perlakuan akuntansinya mengikuti perlakuan akuntansi untuk akuntansi
salam.
Dalam hal perpindahan kepemilikan barang pesanan dari penjual ke pembeli bila dilakukan
pada saat penyerahan sebesar jumlah yang disepakati maka perpindahan hak ini terjadi secara
otomatis tanpa syarat (dalam bentuk hibah).
1) Pengakuan:
- Jika pembayaran dilakukan dengan cara dimuka maka berlaku transaksi salam,
namun piutang salam diganti menjadi “Aset Istishna’ dalam Penyelesaian”
sedangkan Utang salam diganti menjadi Utang Istishna’.
- Jika pembayaran dilakukan dengan cara tangguh setelah penyerahan barang
maka mengikuti perlakuan akuntansi murabahah, namun istilah piutang murabahah
diganti menjadi “Piutang Istishna” sedangkan Margin Murabahah Ditangguhkan
diganti dengan “Margin Istishna’ Ditangguhkan”.
- Jika pembayaran dilakukan secara bersamaan dengan proses pembuatan aset
istishna’ maka:
a) Biaya pra akad diakui sebagai biaya ditangguhkan sebesar jumlah
yang dikeluarkan.
b) Biaya yang ditangguhkan berasal dari biaya pra akad diakui sebagai
aset istishna’ dalam penyelesaian pada saat akad ditanda tangani.
c) Biaya istishna’ diakui sebagai aset istishna’ dalam penyelesaian pada
saat terjadinya,
d) Biaya istishna’ paralel diakui sebagai aset dalam penyelesaian pada
saat diterimanya tagihan dari sub kontraktor sebesar jumlah tagihan dan pada
saat yang bersamaan diakui Utang istishna’ kepada sub kontarktoir.
e) Tagihan setiap termin dari bank kepada pembeli akhir diakui sebagai
piutang istishna’ dan pada saat bersamaan diakui termin istishna’.
f) Jika menggunakan metode persentase penyelesaian, pada akhir
periode laporan keuangan diakui pendapatan istishna’ dan harga pokok istishna’.
Selisih antara pendapatan dan harga pokok diakui sebagai margin keuntungan
istishna’.
g) Jika menggunakan metode akad selesai, pada saat barang selesai
61
dibuat, diakui pendapatan istishna’ dan harga pokok istishna’, selisihnya antara
harga pokok dengan dengan pendapatan diakui sebagai keuntungan istishna’.
2) PENYAJIAN
PIUTANG ISTISHNA’ yang berasal dari pembayaran bersamaan dengan proses pembuatan
aset istishna’ disajikan di neraca sebesar tagihan termin.
PIUTANG ISTISHNA’ yang berasal dari pembayaran secara tangguh maka disajikan di
neraca sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan.
3) PENCATATAN
METODE PERSENTASE
PENYELESAIAN: Harga Pokok Istishna
Pengakuan harga pokok dan Aset istsihna’ Dalam Penyelesaian Pendapatan Istishna,
pendapatan (1)
Saat menerima barang dari Aset istsihna’ Dalam Penyelesaian
kontarktor (2) Persediaan
b. Istishna’ Paralel.
Saat menagih kepada pembeli akhir Piutang |stishna’ Tagihan Termin Istishna’
Penerimaan pembayaran dari Kas/Rekening Nasabah Pemesan Piutang Istishna’
pembeli akhir
METODE PERSENTASE
PENYELESAIAN: Harga Pokok Istishna’
Pengakuan harga pokok dan Aset Istishna Dalam Penyelesaian Pendapatan Istishna’
pendapatan (1)
Saat menerima barang dari Persediaan Aset Istishna Dalam Penyelesaian
kontarktor (2)
Saat penyelesaian akad dan
penyerahan barang pesanan (3) Termin Istishna’ Persediaan
61
UTANG ISTISHNA:
Utang yang timbul akibat adanya proses pembuatan aset istishna, yang dapat dibayar secara
proporsional (cicilan) dan atau dibayar dimuka.
Pencatatan:
Untuk pembayaran secara proporsional:
Bank akan mengakui istishna dalam penyelesaian dan sekaligus Utang istishna berdasarkan
jumlah termin.
Pelatihan:
Bila Bank Syariah B melakukan kerjasama dalam pembangunan perumahan Komplek Badai
Leysus, dengan kontraktor PT. Angin Puyuh, telah melakukan transaksi sebagai berikut:
Proyek bernilai Rp100.000.000,00, harga pokok per buah rumah disepakati sesuai akad adalah
61
Rp10.000.000,00, proyek ini akan diselesaikan dalam 2 termin.
V. AKUNTANSI IJARAH
A. DEFINISI DAN DASAR PENGATURAN
1. Ijarah adalah akad sewa menyewa antara muajjir (lessor) dengan musta’jir (lessee)
atas ma’jur (objek sewa) untuk mendapatkan imbalan barang yang disewakannya.
2. Ijarah muntahiyah bittamlik adalah perjanjian sewa suatu barang antara lessor
dengan lessee yang diakhiri dengan perpindahan hak milik objek sewa (PAPSI,
2003, 111).
B. PENCATATAN:
61
Saat perolehan Db.: Aset Ijarah
Kr. : Kas/Rekening
61
VI. AKUNTANSI MUSYARAKAH
Musyarakah adalah akad kerjasama yang terjadi diantara para pemilik modal (mitra
musyrakah) untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama-sama
dalam suatu kemitraan, dengan nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
bila terjadi kerugian maka beban kerugian tersebut akan ditanggung secara proporsional
sesuai dengan kontribusi modal dan perjanjian dalam akad yang telah disepakati oleh
semua mitra.
Dasar pengaturan musyarakah ini secara eksplisit termaktub dalam firman Allah SWT. di
dalam Al Qur’an Surah Shad (38): 24, artinya: “… dan sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian
yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan mata
sedikitlah mereka ini…” Demikian pula lebih ditegaskan lagi dalam surah lain, yaitu: Al
Ma’idah (5): 1, artinya: “ Hai orang-orang yang beriman! penuhilah akad-akad itu…”.
Serta dalam beberapa hadits Rasulullah SAW. antara lain: Allah SWT berfirman; “Aku
adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak
menghianati pihak lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat aku keluar dari mereka.”
(Hadits Riwayat: Abu Daud dari Abu Huraihah).
Kemudian ditegaskan lagi dalam PSAK 106/2009 dulu PSAK 59/2003 paragraf 41-51,
PAPSI 2003 (III.57-III.62) dan Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Musyarakah, bahwa penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit
menunujukkan tujuan kontrak dan penerimaan dari penawaran harus dilakukan pada saat
kontrak. Dalam perjanjian akad musyarakah ini hendaknya meliputi akad atau objek
empat hal yaitu: modal, kerja (partisipasi mitra dalam pengelolaan dana) dan distribusi
keuntungan/kerugian, dan biaya operasional.
B. PERLAKUAN AKUNTANSI
Bila pembiayaan dalam bentuk uang kas maka akan dicatat sebesar jumlah yang
dibayarkan sedangkan bila non kas akan dinilai sebesar nilai wajar (selisih antara nilai
wajar dengan nilai buku) akan diakui sebagai keuntungan atau kerugian pada saat
penyerahan. Bila terjadi biaya sehubungan dengan akad maka biaya tersebut harus diakui
sebagai bagian dari biaya musyarakah bila telah disetujui sejak akad.
61
1) PENCATATAN:
Nilai wajar lebih tinggi dari nilai historis Pembiayaan Musyarakah Aset Non Kas
Keuntungan Penyerahan Aset
Pengeluaran biaya dalam rangka akad: Uang Muka Kas/Kliring
Pengakuan biaya atas pemberian pembiayaan
musyarakah;
1) sebagai pembiayaan musyarakah: Pembiayaan Musyarakah Uang Muka
Pengakuan kerugian yang lebih tinggi dari Piutang Mitra Jatuh Tempo Pembiayaan Musyarakah
modal mitra akibat kelalaian dan
penyimpangan:
Nilai wajar lebih tinggi dari nilai historis: Aset Non Kas Keuntungan Penyelesain PM
Pembiayaan Musyarakah
Pembiayaan musyarakah disajikan sebesar nilai perolehan setelah dikurangi dengan nilai
kerugian yang telah diakui. Bilamana mitra musyarakah mengambil atau mengalihkan
sebagian bagian modalnya maka pembiayaan musyarakah harus disajikan sebesar harga
perolehan dikurangi dengan pengambilan atau pengalihan tersebut.
Pelatihan:
61
4. Apakah dalam pembiayaan musyarakah, mitra boleh
mengalihkan atau mengambil sebagian dari modal yang diinvestasikannya dalam
pembiayaan ini, jelaskan dengan pencatatannya.
PT. Bank Syariah STIEI melakukan kerjasama dengan PT. A dan Tn. X dan
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan untuk membangun lokasi wisata di Pulau
Bakut (Jembatan Barito) dengan transaksi sebagai berikut:
a) Disepakati pola pembangunan adalah BOT (build turn over)
dengan Pemrov. Kalsel sebagai pemilik akhir setelah dioperasikan selama 25
tahun.
b) Pemprov. Kalsel bertugas membebaskan lahan dan segala
fasilitas perijinan.
c) Masing-masing mitra menyetorkan modal sebagai
pembiayaan musyarakah sebagai berikut:
Uraian Modal
Bank Syariah Aset Kas Rp. 150.000,00 Non Kas senilai Rp.350.000.000,00
PT. A Aset Kas Rp.500.000.000,00
Tn. Xtray Aset non kas senilai Rp.1.000.000.000,00
Total Rp.2.000.000.000,00
Diminta:
Buatlah jurnal yang diperlukan untuk transaksi di atas dan bagaimana penyajian dan
pengungkapannya dalam laporan keuangan.
61
VII. AKUNTANSI PINJAMAN QARDH
Pinjaman Qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang
meminjamkan dan mewajibkan peminjam untuk melunasi Utangnya setelah jangka waktu
tertentu. Dasar pengaturan termaktub dalam Firman Allah SWT. Al Qur’an Surah Al
Baqarah (2): 280 dan 282, dalam ayat 280 artinya; Dan jika ia (orang) yang berUtang
itu) dalam kesulitan, berilah tangguh sampai ia berkelapangan…” (QS: 2: 280), surah
lain Al Ma’idah (5), dan dalam beberapa hadits Rasulullah SAW. antara lain: “Orang
yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan
kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka)
menolong Saudaranya.” (HR. Muslim), dalam hadits lainnya: Rasulullah SAW bersabda,
“Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman
…” (HR. Jama’ah). Kemudian ditegaskan lagi dalam PSAK 59/2003 paragraf 142,
PAPSI 2003 (III.63-III.64) dan Fatwa DSN No. 19/DSN-MUI/IV/2000 tentang Al-Qardh,
bahwa LKS disamping sebagai lembaga komersial juga berfungsi sebagai lembaga sosial.
Al-Qard yang telah diberikan kepada nasabah yang memerlukan, maka nasabah wajib
mengembalikan dan bila terjadi biaya sehubungan dengan pinjaman Al-Qard ini maka
biaya adminstrasi tersebut dibebankan kepada nasabah. Dalam hal tertentui jaminan dapat
pula diminta kepada peminjam bila diperlukan. Selain itu nasabah dapat memberikan
tambahan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan. Namun bila nasabah tidak
mampu membayar maka LKS dapat memperpanjang jangka waktu pengembalian atau
menghapus bukukan (write off) sebagian atau seluruh kewajiban nasabahnya.
B. PERLAKUAN AKUNTANSI
Pinjaman Qardh diakui sebesar jumlah dana yang dipinjamkan pada saat terjadinya.
Kelebihan penerimaan dari peminjaman atas Qardh yang dilunasi diakui sebagai
pendapatan pada saat terjadinya. Tidak boleh ada imbalan untuk LKS dan sumber dana
dapat berasal dari internal (sisihan LKS, laba/rugi LKS) atau pihak eksternal. Bila
terdapat biaya dalam proses pinjaman ini maka hanya dikenakan biaya administrasi saja.
1) PENCATATAN:
Pinjaman ini diakui sebesar jumlah yang dipinjamkan dan pengenaan biaya atau
penerimaan imbalan boleh diakui sebagai pendapatan operasional lainnya di dalam
61
laporan laba rugi lembaga keuangan syariah sesuai dengan periode terjadinya transaksi
tersebut. Untuk pinjaman qardh yang bersumber dari internal LKS di sajikan dalam
neraca bank pada akun Pinjaman Qardh, sedangkan yang berasal dari pihak eksternal
LKS akan disajikan dalam Laporan Sumber dan Penggunaan dana Qardhul Hasan
(LSPQH).
Selain itu yang perlu diungkapkan adalah menyangkut sumber dan jenis penggunaan
dana dan sektor ekonomi. Kemudian jumlah pinjaman qardh yang diberikan kepada pihak
yang mempunyai hubungan istimewa, kebijakan manajemen, risiko dan ikhtisar
pinjaman qard yang dihapusbukukan.
Pelatihan:
Bank Syariah STIE Indonesia memberikan pinjaman qard kepada Ibu Maisorah
(seorang janda tua yang miskin), untuk membiayai pengobatan anaknya yang sedang
dirawat di rumah sakit akibat flu burung. Jumlah pinjaman yang diberikan adalah
sebesar Rp.5.000.000,00. Biaya administrasi sebesar Rp.100.000,00. Pinjaman ini
akan dilunasi dengan 5 kali angsuran dalam jangka waktu 5 bulan dengan besarnya
angsuran adalah Rp. 1.000.000,00/bulan. Pada angsuran ke-4 Ibu Maisaroh
menyatakan tidak sanggup lagi melunasi angsurannya dan mohon pihak bank untuk
menghapuskannya. Permohonan Bu Maisaroh dikabulkan dan seluruh pinjamannya
dinyatakan lunas, (karena alasan kemanusiaan).
Diminta:
Buatlah jurnal yang diperlukan dan bagaimana pengungkapannya dalam laporan
keuangan?
61
VIII. AKUNTANSI PIUTANG PENDAPATAN BAGI HASIL
Piutang Pendapatan Bagi Hasil tagihan yang timbul karena mudharib telah melaporkan
bagi hasil atas pengelolaan usaha tetapi karena belum diserahkan kepada Bank.
Dasar pengaturan ditegaskan dalam PSAK 59/2003 paragraf 23, PAPSI 2003 (III.135)
dan Fatwa DSN No. 14/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha Dalam
Lembaga Keuangan Syariah dan No.15/DSN-MUI/IX/2000 tentang prinsip Distribusi
Hasil Usaha dalam Keuangan Syariah, bahwa pembagian hasil usaha diantara mita
(pihak) dalam suatu bentuk usaha kerjasama boleh didasarkan pada prinsip bagi Untung
(Profit Sharing), yakni bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi biaya
pengelolaan dana dan boleh pula didasarkan pada prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing),
yakni bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana. Berdasarkan
kedua prisnip tersebut LKS membagi hasil usahanya. Namun unmtuk kemaslahatan umat
DSN menyarankan lebih pada penggunaan prinsip Bagi Hasil. Dalam kaidah fiqih
disebutkan, ainama wujidatil mashlahatu patsamma hukmullahi, artinya “dimana
terdapat kemaslahatan, di sana terdapat hukum Allah SWT.”
Piutang pendapatan bagi hasil ini diakui pada saat bank menerima laporan bagi hasil dari
mudharib sebesar jumlah bagi hasil yang akan diterima (menjadi hak bank). Akun ini
disajikan dalam neraca dikelompokkan dalam kelompok aset lancar sebesar jumlah bagi
hasil yang menjadi hak bank (LKS). Selain itu dalam laporan keuangan (neraca) seluruh
rincian yang berkaitan dengan piutang bagi hasil harus diungkapkan berdasarkan jenis
valuta, jumlah, jangka waktu dan kualitas piutang tersebut.
2) PENCATATAN:
Saat pengakuan pendapatan bagi hasil: Piutang Pendapatan Bagi Hasil Pendapatan bagi Hasil
Saat penerimaan pendapatan bagi hasil: Kas/Rekening Nasabah/Kliring Piutang pendapatan bagi hasil
Pelatihan:
61
Pada tanggal 24/2/2005, Bank Syariah STIEINDO menerima laporan dari mudharib
akan memperoleh bagian bagi hasil dari usaha bersama taman hiburan rakyat di KM.
24 Banjarrbaru yang dikelolanya dengan mudharib. Besarya jumlah bagi hasil yang
menjadi hak bank syariah adalah sebesar Rp.55.500.750,00. Bagi hasil ini baru
dibayar tunai oleh mudharib pada tanggal 2/3/2005. Biaya untuk materai dan lain-lain
sebagai pengurang pendapatan menjadi beban masing-masing pihak (mengurangi hak
bagi hasil), yaitu sebesar Rp.500.000,00.
Diminta:
Buatlah jurnal yang diperlukan dan bagaimana pengungkapannya dalam laporan
keuangan?
61
IX. AKUNTANSI PENDAPATAN IJARAH
1) DEFINISI
Piutang Ijarah adalah tagihan yang timbul karena adanya pendapatan sewa aset ijarah
yang diterima oleh bank syariah sebagai pemilik objek sewa (lessor) dari transaksi Ijarah
maupun Ijarah Muntahiyah bi Tamlik.
Dasar pengaturan ditegaskan dalam PSAK 59/2003 paragraf 109-110, PAPSI 2003
(III.136-III.137) dan Fatwa DSN No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah,
bahwa sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar oleh nasabah (lesse) sebagai
wujud pembayaran manfaat yang diperoleh oleh penyewa. Karena sesuatu yang dijadikan
harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam transaksi ijarah. Selain itu piutang
pendapatan ijarah dan ijarah muntahiyah bi tamlik diukur sebesar nilai bersih yang dapat
direalisasikan pada akhir periode pelaporan. Kemudian untuk piutang ijarah yang sudah
jatuh tempo dan termasuk dalam kategori non performing (tidak lancar) maka
pendapatan sewa tersebut harus dibatalkan dengan melakukan jurnal balik dan dicatat
pada rekening adminstratif.
Piutang ijarah ini diakui pada saat jatuh tempo sebesar sewa yang belum diterima.
Apabila kualitas ijarah menjadi non performing maka piutang ijarah yang telah diakui
harus dibatalkan dengan menggunakan jurnal balik dan dicatat pada rekening
adminstratif. Dalam neraca, piutang ijarah akan disajikan sebesar nilai tercatat (carrying
amount) dan seluruh rincian piutang ijarah berdasarkan jumlah, jangka waktu, dan jenis
valuta harus dilaporkan dalam neraca sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
3) PENCATATAN:
Pengadaan aset ijarah: Piutang Pendapatan Bagi Hasil Pendapatan bagi Hasil
Pelatihan:
Pada tanggal 26/2/2005, Bank Syariah STIEINDO membeli aset ijarah (Ruko) secara
tunai senilai Rp. 350.000.000,00 (untuk dfisewakan). Aset tersebut kemudian disewa
oleh Tn A sebagai tempat membuka usaha toko ponsel dan pakaian jadi, dengan masa
kontrak awal (sesuai akad) 24 bulan, sewa per bulan adalah sebesar Rp. 5.000.000,00
dan akan dibayar setiap awal bulan mulai bulan berikutnya. Bila terjadi keterlambatan
maka akan dikenakan denda sebesar Rp. 25.000,00.
Bank syariah menerima sewa dibayar dimuka untuk masa 12 bulan sebesar Rp.
60.000.000,00. Pada tanggal 2/8/2005 Bank syariah mengeluarkan biaya perbaikan
sebesar Rp.2.500.000,00.
Sewa bulan ke-13 hingga ke 20 lancar, namun sejak bulan ke 21-23 berlangsung tidak
lancar, sehingga seluruh sewa baru dapat dibayar oleh lesse pada bulan terakhir (bulan
ke-24). Biaya transaksi sewa ijarah dibebankan kepada lesse sebesar Rp. 250.000,00
(yaitu dilakukan dengan mendebet rekening lesse).
Diminta:
Buatlah jurnal yang diperlukan untuk transaksi di atas dan bagaimana
pengungkapannya dalam laporan keuangan?
61
BAGIAN II: AKUNTANSI KEWAJIBAN
AKUNTANSI KEWAJIBAN
A. KEWAJIBAN SEGERA
Kewajiban segera adalah kewajiban yang timbul kepada pihak lain akibat adanya
transaksi dan bersifat wajib segera dibayarkan sesuai dengan perjanjian dari pemberi
amanat (pemilik dana). Rekening ini terutama berkaitan dengan transaksi amanah,
misalnya; kiriman uang, transfer antar bank, dll.
Diatur dalam PSAK 31 tentang Akuntansi Perbankan, paragraf 11). Akun ini meliputi
penerimaan pajak termasuk potongan pajak yang masih harus disetor, kewajiban yang
sudah jatuh tempo namun belum ditarik seperti deposito mudharabah jatuh tempo, setoran
jaminan, bagi hasil yang belum diambil oleh pemilik dana, atau kiriman uang, maupun
saldo rekening tabungan dan giro yang sudah ditutup namun belum diambil oleh
pemiliknya. Semua akun tersebut apabila jumlahnya cukup besar (material) maka dapat
diklasifikasikan dalam kelompok tersendiri.
2) PERLAKUAN AKUNTANSI
Untuk transaksi yang berkaitan dengan akun ini harus diakui segera dan diakui pada saat
timbulnya kewajiban tersebut, dan telah diterima perintah dari pemberi amanat, baik dari
masyarakat maupun dari bank lain. Sedangkan penyajiannya dalam neraca yakni sebesar
jumlah kewajiban bank yang wajib segera dibayarkan kepada pemilik dana. Untuk kasus
tertentu bank perlu mengungkapkan hal-hal yang material seperti: kiriman uang yang
belum diambil oleh nasabah pada saat penutupan rekening.
Ilustrasi Jurnal:
TRANSAKSI DEBIT KREDIT
Kewajiban Segera/Kiriman
Terima kiriman uang ke bank lain: Kas/Rekening Nasabah/Kliring
Uang
Sebagai catatan bahwa kewajiban segera dapat dimasukkan pula komponen dana pihak
ketiga yang digunakan untuk memperhitungkan Giro Wajib Minimum (GWM) di Bank
61
Indonesia, dan juga dana yang dijaminkan sehingga diperhitungkan untuk premi
penjaminan yang harus dibayar oleh bank syariah.
Bagi hasil yang belum dibagikan adalah kewajiban mudharib (bank) kepada shahibul
maal atas bagian keuntungan/laba dari hasil usaha bank yang telah disisihkan berdasarkan
nisbah bagi hasil yang telah disepakati dari pengelolaan dana mudharabah.
Hal tersebut diatur dalam PSAK/1/2002 tentang Kerangka Dasar Penyusunan dan
Penyajian Laporan Keuangan, paragraf 91, bahwa karakterisktik esensial kewajiban
adalah bila perusahaan mempunyai kewajiban masa kini. Kewajiban juga merupakan
suatu tugas dan tanggungjawab untuk bertindak atau untuk melaksanakan sesuatu dengan
cara tertentu. Kewajiban dapat dipaksakan menurut hukum sebagai konsekuensi dan
kontrak mengikat menurut undang-undang (peraturan).
2) PERLAKUAN AKUNTANSI
Bagi hasil ini diakui pada saat dana diterima atau dipindahkan dari rekening asal. Artinya
distribusinya diakui berdasarkan metode cash basis dan pengakuan dapat digunakan
metode accrual basis. Dalam neraca akan disajikan sebesar jumlah kewajiban bank yang
segera akan dibayarkan kepada nasabah (pemilik dana).
Ilustrasi Jurnal:
C. SIMPANAN
Simpanan adalah kewajiban bank syariah kepada pihak lain (ketiga) baik bank
maupun bukan bank, berupa simpanan giro dan tabungan yang menggunakan prinsip
wadiah. Wadiah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap
saat bila nasabah yang bersangkutan menghendaki atau mencairkan dananya. Dalam
konteks ini banks syariah hanya berfungsi sebagai mudharib. Secara profesioanl bank
syariah bertanggungjawab atas pengelolaan dan pengembalian titipan dan tersebut
termasuk bagi hasil yang menjadi bagian atau hak pemilik dana sesuai dengan nisbah
bagai hasilk yang telah disepakati.
61
Dasar pengaturan diatur dalam PSAK 59/2003, paragraf 137-138, bahwa dana wadiah
diakui sebesar jumlah dana yang dititipkan pada saat terjadinya transkasi. Penerimaan
yang diperoleh atas pengelolaan dana titipan diakui sebagai pendapatan bank dan
bukan merupakan unsure yang harus dibagikan. Bila ada pemberian bonus dalam
transaski wadiah ini maka harus diakui sebagi beban pada saat terjadinya, atau
pengeluaran bonus tersebut kepada pemilik dana.
Giro wadiah ini dapat dilakukan oleh pihak ketiga dalam bentuk penggunaan cek,
bilyet giro, kartu ATM, sranan perintah pembayaran lainnya dengan cara
pemindahbukuan. Termasuk di dalamnya giro wadiah yang diblokir untuk tujuan
tertentu, misalnya dalam rangka escrow account, giro yang diblokir oleh pihak ynga
berwajib, dll. (PAPSI, IV.148, 2003).
Sedangakan tabungan wadiah adalah titipan pihak ketiga kepada bank syariah yang
penarikannya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati dengan
kuitansi, kartu ATM, sarana perintah pembayaran lainnya dengan cara
pemindahbukuan juga. Jika terhadap simpanan wadiah ini terdapat bonus maka
terhadap bonus tersebut harus dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Misanlya; atas aaldo simpanan wadiah Tuan Agus Dermawan pada akhir periode
akuntansi sebesar Rp. 25.000.000,00. Bank syariah memberikan bonus kepada
pemilik dana sebesar Rp. 1.000.000,00. Maka sesuai dengan ketentuan perpajakan
yang berlaku, terhadap bonus tersebut akan dipotong beban pajaknya sebesar Rp
100.000,00 (10%) untuk disetorkan ke Kas Negara. Untuk sementara dipotong oleh
pengelola (bank syariah).
2) PERLAKUAN AKUNTANSI
Pengakuan dan pengukuran untuk kewajiban ini diakui sebesar nilai nominal
penyetoran dan penarikan dilakukan oleh pemilik rekening. Untuk setoran giro
wadiah yang diterima secara tunai diaki pada saat uang diterima. Setoran giro wadiah
melalui kliring diakui setelah efektif diterima. Sedangkan tabungan wadiah daiku
isebesart nilai nominal yaitu pada saat uang secara tunai diterima, demikian pula
tabungan wadiah melali kliring diakui setelah efektif diterima.
Bila pemberian bonus atas simpanan kepada nasabah diakui sebagai beban pada saat
terjadinya. Dan terhadap pajak yang dikenakan untuk sementara di[potong oleh bank
syariah dan selanjutnya kan disetorkan pada akhir bulan atau tahun ke kas negara.
Untuik sadlo simpanan wadiah yang menjadi kewajiban bak syariah harus disajikan
dalam neraca sebesar jumlah nominalnya untuk masing-masing simpanan.
Ilustrasi Jurnal:
61
1) Saat penerimaan titipan:
AKUNTANSI INVESTASI
BAGIAN IV: E K U I T A S
EKUITAS
A. MODAL DISETOR
B. TAMBAHAN MODAL DISETOR
C. SALDO LABA/RUGI
61
BAB V
ASURANSI SYARI’AH
A. PENDAHULUAN
Masih segar dalam ingatan kita tentang peristiwa yang menimpa dunia asuransi
Indonesia dimana banyak perusahaan asuransi yang digugat pailit oleh nasabah. Prudential
Life merupakan contoh paling baru dimana industri yang berlandaskan kepercayaan ini masih
bersifat rentan goncangan, setelah sebelumnya peristiwa yang hampir sama menimpa
Manulife Indonesia. Banyaknya peristiwa tersebut seakan menyadarkan kita untuk kembali
mengkaji ulang apakah master plan asuransi Indonesia sudah berjalan sebagaimana mestinya.
Jika ditengok ulang perkembangan bisnis asuransi di Indonesia sebenarnya sedikit
menunjukkan hal yang cukup menggembirakan dimulai sekitar tahun 2000. Hal tersebut
ditandai dengan makin kompleksnya perkembangan industri asuransi umum di Indonesia.
Pertama, jumlah perusahaan asuransi semakin banyak. Dari tahun ke tahun, semakin banyak
pendirian perusahaan asuransi baru, baik swasta nasional maupun perusahaan patungan.
Sampai dengan akhir Desember 1999, telah mencapai 109 perusahaan asuransi umum, dan
kemungkinan masih akan bertambah lagi dengan adanya permohonan pendirian perusahaan
asuransi umum kepada Departemen Keuangan. Disamping itu ada tendensi semakin
banyaknya perusahaan, baik yang baru maupun yang sudah beroperasi, yang berafiliasi pada
kelompok-kelompok usaha yang besar. Jumlah perusahaan asuransi yang semakin banyak ini
tidak diimbangi jumlah tenaga profesional asuransi yang memadai, sehingga tingkat
profesionalisme menjadi rendah. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan yang semakin
ketat dan munculnya praktik-praktik tidak terpuji di pasar asuransi.
Kedua, peranan pialang (broker) asuransi semakin aktif. Semakin aktif serta besarnya
peranan pialang asuransi yang kadang-kadang juga berperan sebagai pialang reasuransi,
menyebabkan terjadinya persaingan suku premi yang makin tajam dalam berbagai jenis
asuransi, baik secara terbuka maupun terselubung.
Ketiga, perusahaan asuransi banyak yang berperan sebagai fronting company. Terdapat
kecenderungan semakin banyaknya perusahaan asuransi umum yang bertindak sebagai
fronting company untuk bisnis asuransi yang berorientasi pada perusahaan multinasional.
Hal ini terutama dilakukan oleh pialang asuransi patungan atau perusahaan asuransi
patungan. keempat, perubahan pasar reasuransi internasional. Perubahan-perubahan yang
terjadi dalam pasar reasuransi internasional telah memberikan pengaruh pada suku premi
berbagai jenis pertanggungan. Yang banyak memberikan pengaruh adalah pasar reasuransi
utama seperti di Eropa dan Singapura. Kelima, "pasar asuransi bebas" (free market) yang
terbatas. Tendensi semakin banyaknya perusahaan asuransi maupun perusahaan reasuransi
luar negeri untuk beroperasi dalam bisnis perasuransian di Indonesia, baik secara langsung
maupun tidak langsung, menyebabkan pasar asuransi semakin kompetitif.
Namun satu hal yang mungkin agak dilupakan terkait dengan industri asuransi umum di
Indonesia adalah keunikan pasar asuransi Indonesia. Pasar asuransi Indonesia memiliki sifat
unik karena bersifat captive atau pasar eksklusif dimana pasar hanya dikuasai oleh
perusahaan-perusahaan milik kelompok tertentu. Dan hebatnya lagi pangsa pasar milik
61
kelompok tertentu mencapai hampir 50-60% dari keseluruhan pasar dan hanya menyisakan
kurang lebih 40% pasar bebas. Namun akhir-akhir ini mulai muncul kesadaran dari
pemerintah untuk mulai membuka kran yang selama ini hanya dikuasai oleh segelintir
kelompok tertentu. Jika dikembalikan pada kaidah ekonomi murni pemusatan industri pada
segelintir orang ini memang berbahaya karena akan membuat pasar menjadi terkonsentrasi
dan makin mengarah pada bentuk oligopoli pasar yang nantinya akan menghasilkan produk
yang tidak efisien dan kurang berdaya saing.
Tantangan yang dihadapi oleh dunia asuransi Indonesia makin menguat dengan banyaknya
serbuan asuransi asing sebagai dampak langsung globalisasi.Di era mendatang atau dikenal
sebagai era globalisasi, perusahaan-perusahaan asuransi/reasuransi Indonesia selain
menghadapi "serbuan" dari perusahaan-perusahaan asuransi/reasuransi asing yang memiliki
permodalan yang kuat, serta teknologi dan sumber daya manusia yang handal, juga
berpeluang untuk beroperasi mengembangkan bisnis asuransi dan reasuransi di negara-negara
lain. Menghadapi kondisi mendatang yang begitu berat, industri asuransi Indonesia harus
segera meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitifnya, jika pasarnya tidak ingin
diambil oleh pihak lain.
Konsep asuransi sebenarnya sudah dikenal sejak jaman sebelum masehi dimana manusia
pada masa itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman, antara lain kekurangan
bahan makanan. Salah satu cerita mengenai kekurangan bahan makanan terjadi pada jaman
Mesir Kuno semasa Raja Firaun berkuasa. Suatu hari sang raja bermimpi yang diartikan oleh
Nabi Yusuf bahwa selama 7 tahun negeri Mesir akan mengalami panen yang berlimpah dan
kemudian diikuti oleh masa paceklik selama 7 tahun berikutnya. Untuk berjaga-jaga terhadap
bencana kelaparan tersebut Raja Firaun mengikuti saran Nabi Yusuf dengan menyisihkan
sebagian dari hasil panen pada 7 tahun pertama sebagai cadangan bahan makanan pada masa
paceklik.
Dengan demikian pada masa 7 tahun paceklik rakyat Mesir terhindar dari risiko bencana
kelaparan hebat yang melanda seluruh negeri. Pada tahun 2000 sebelum masehi para
saudagar dan aktor di Italiaa membentuk Collegia Tennirium, yaitu semacam lembaga
asuransi yang bertujuan membantu para janda dan anak-anak yatim dari para anggota yang
meninggal. Perkumpulan serupa yaitu Collegia Nititum, kemudian berdiri dengan
beranggotakan para budak belian yang diperbanatukan pada ketentaraan kerajaan Roma
(Rahman, Afzalur).
Konsep auransi sangat berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat primitif yang
berkelompok. Dalam masyarakat primitif, orang hidup bersama dalam keluarga besar atau
suku dimana kebutuhan-kebutuhannya dipenuhi dan dilindungi melalui kerjasama dan saling
membantu. Oleh karena itu, mereka merasa tidak memerlukan suatu asuransi karena semua
risiko sepenuhnya dilindungi oleh masyarakat. Pada waktu keluarga atau suku berubah
menjadi kehidupan yang berpindah-pindah secara teori keluarga tersebut mulai menghadapi
berbagai macam bahaya tanpa adanya perlindungan dari keluarga maupun sukunya. Saat
61
itulah mulai dirasakan perlunya perlindungan terhadap ancaman tersebut sebagai unsur awal
munculnya asuransi.
C. PENGERTIAN
Selain pengertian tersebut banyak definisi mengenai asuransi, antara lain sebagai berikut:
Suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang yang bias tertimpa kerugian guna
menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan sehingga bila kerugian tersebut menimpa
salah seorang di antara mereka maka beban kerugian akan disebarkan ke seluruh kelompok.
Dalam pengertian lain secara ekonomi, jika aransemen ekonomi yang menghilangkan atau
mengurangi akibat yang merugikan di masa dating karena berbagai kemungkinan sejauh
menyangkut kekayaan (vermoegen) seorang individu. Berdasarkan definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak
yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi.
Beberapa istilah asuransi yang digunakan disini antara lain:
• Tertanggung, yaitu anda atau badan hukum yang memiliki atau berkepentingan atas harta
benda yang diasuransikan.
• Penanggung, dalam hal ini perusahaan asuransi, merupakan pihak yang menerima premi
asuransi dari tertanggung dan menanggung risiko atas kerugian/musibah yang menimpa
harta benda yang diasuransikan.
Industri asuransi, baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa, memiliki prinsip-prinsip yang
menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan perasuransian dimanapun berada,
yaitu:
• Sejak perjanjian mengenai perjanjian asuransi dibicarakan sampai kontrak asuransi selesai
dibuat, yaitu pada saat kami menyetujui kontrak tersebut.
• Pada saat perpanjangan kontrak asuransi.
• Pada saat terjadi perubahan pada kontrak asuransi dan mengenai hal-hal yang ada kaitannya
dengan perubahan-perubahan itu.
Indemnity(indemnitas) Apabila objek yang diasuransikan terkena musibah sehingga
menimbulkan kerugian maka kami akan memberi ganti rugi untuk mengembalikan posisi
keuangan Anda setelah terjadi kerugian menjadi sama dengan sesaat sebelum terjadi
kerugian. Dengan demikian Anda tidak berhak memperoleh ganti rugi lebih besar daripada
kerugian yang Anda derita. Contoh: Harga pasar kendaraan sebesar 100 juta rupiah,
diasuransikan sebesar 100 juta rupiah. Bila terjadi musibah sehingga kendaraan tersebut:
o 100 juta rupiah, maka kita menerima ganti rugi sebesar 100 juta rupiah,
o 125 juta rupiah, maka kita menerima ganti rugi sebesar nilai yang diasuransikan,
yaitu 100 juta rupiah,
o 75 juta rupiah, maka kita menerima ganti rugi sebesar harga pasar, yaitu 75 juta
rupiah.
2. Rusak akibat kecelakaan, maka biaya perbaikan, penggantian suku cadang, ongkos
kerja bengkel seluruhnya akan menjadi tanggung jawab kami sehingga maksimum
sebesar 100 juta rupiah.
Subrogation (subrogasi)
Prinsip subrogasi diatur dalam pasal 284 kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang
berbunyi: "Apabila seorang penanggung telah membayar ganti rugi sepenuhnya kepada
tertanggung, maka penanggung akan menggantikan kedudukan tertanggung dalam segala
hal untuk menuntut pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian pada tertanggung ".
Dengan kata lain, apabila kita mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak
ketiga maka kami, setelah memberikan ganti rugi kepada kita, akan menggantikan kedudukan
kita dalam mengajukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut.
Contribution (kontribusi)
Kita dapat saja mengasuransikan harta benda yanga sama pada beberapa perusahaan asuransi.
Namun bila terjadi kerugian atas objek yang diasuransikan maka secara otomatis berlaku
prinsip kontribusi. Prinsip kontribusi berarti bahwa apabila kami telah membayar penuh ganti
rugi yang menjadi hak kita, maka kami berhak menuntut perusahaan-perusahaan lain yang
terlibat suatu pertanggungan (secara bersama-sama menutup asuransi harta benda milik kita)
untuk membayar bagian kerugian masing-masing yang besarnya sebanding dengan jumlah
pertanggungan yang ditutupnya.
61
Contoh: Kita mengasuransikan satu unit bangunan rumah tinggal seharga 150 juta rupiah
kepada tiga perusahaan asuransi:
= Rp 150.000.000,00
PT Asuransi A
PT Asuransi B = Rp 75.000.000,00
PT Asuransi C = RP 75.000.000,00
Total = Rp 300.000.000,00
E. PERBEDAAN ASURANSI SYARIAH DENGAN KONVENSIONAL
Konsep dasar asuransi syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan
(al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam setiap
perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli) yang
menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain
di dalam menghadapi risiko, yang kita kenal sebagai sharing of risk, sebagaimana firman
Allah SWT yang memerintahkan kepada kita untuk taawun (tolong menolong) yang
berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan) dan melarang taawun dalam
bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan).
Firman Allah dalam surat al-Baqarah 188, 'Dan janganlah kalian memakan harta di
antara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta
itu kepada hakim yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang
lain dengan jalan dosa, padahal kamu tahu." Hadist Nabi Muhammad SAW, "Mukmin
terhadap mukmin yang lain seperti suatu bangunan memperkuat satu sama lain," Dan
"Orang-orang mukmin dalam kecintaan dan kasih sayang mereka seperti satu badan.
Apabila satu anggota badan menderita sakit, maka seluruh badan merasakannya.
Akad (Perjanjian)
Setiap perjanjian transaksi bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya harus jelas
secara hukum ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut
saat ini dan masa mendatang. Akad dalam praktek muamalah menjadi dasar yang
menentukan sah atau tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut
menjadi sangat menentukan di dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan
dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong
(takaful).
Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian jual beli.
Syarat sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga,
dan barang yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan
dalam asuransi konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan
61
barang yang diperjual-belikan. Sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan secara
kuantitas, berapa besar premi yang harus dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk
mendapatkan sejumlah uang pertanggungan. Karena hanya Allah yang tahu kapan kita
meninggal.
Syaikhul Islami Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya "Majmu
Fatwa" menyatakan bahwa akad dalam Islami dibangun atas dasar mewujudkan keadilan
dan menjauhkan penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali
dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya,
seperti pembeli wajib menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya
kepada pembeli. Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berUtang harus dilunasi. Jika kita
mengadakan suatu perjanjian dalam suatu transaksi bisnis secara tidak tunai maka kita
wajib melakukan hal-hal berikut: I% Menuliskan bentuk perjanjian (seperti adanya SP
dan polis). I% Bentuk perjanjian harus jelas dimengerti oleh pihak-pihak yang
bertransaksi (akad tadabuli atau akad takafuli). I% Adanya saksi dari kedua belah pihak.
I% Para saksi harus cakap dan bersedia secara hukum jika suatu saat diminta
kewajibannya. (Penulis simpulkan dari firman Allah SWT, surat al-Baqarah ayat 282).
Gharar (Ketidakjelasan)
Definisi gharar menurut Madzhab Syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi
dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti.
Pada asuransi syariah akad tadabuli diganti dengan akad takafuli, yaitu suatu niat tolong-
menolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme
ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah
dalam praktik muamalah yang gharar.
Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi
(transfer of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik
61
peserta (shahibul mal) dan perusahaan asuransi syariah (mudharib) tidak bisa mengklaim
menjadi milik perusahaan.
Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat
dianjurkan dalam agama Islami, dan akan mendapat balasan yang sangat besar di hadapan
Allah, sebagaimana digambarkan dalam hadist Nabi SAW,"Barang siapa memenuhi
hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya."(HR Bukhari Muslim dan Abu
Daud).
Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana yang
dititipkan oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarru terdapat pula unsur
dana tabungan yang digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan. Sementara
investasi pada asuransi kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena tidak ada
unsur saving. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad
awal. Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta hasilnya akan
dikembalikan kepada peserta secara penuh.
Maisir (Judi)
Allah SWT berfirman dalam surat al-Maidah ayat 90,"Hai orang-orang yang beriman
sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan
keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapatkan keberuntungan."
Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur
gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al
maisir. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional
karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang
polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis asuransinya dan telah
membayar preminya sebagian, maka ahliwaris akan menerima sejumlah uang tertentu.
Pemegang polis tidak mengetahui dari mana dan bagaimana cara perusahaan asuransi
konvensional membayarkan uang pertanggungannya.
Hal ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari keberanian mengambil
risiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf mengatakan, tetapi
apabila pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Yang boleh
disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak/sedikitnya klaim yang
dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak
/sedikitnya klaim yang dibayarkannya.
61
Riba
Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga,
yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat
perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan.
Investasi asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib
dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas
yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan
Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi yang diatur dalam peraturan
pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga.
Asuransi syariah menyimpan dananya di bank yang berdasarkan syariat Islami dengan
sistem mudharabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk
Dewan Pengawas Syariah. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imron ayat 130,"Hai
orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat
berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan
keberuntungan." Hadits, "Rasulullah mengutuk pemakaian riba, pemberi makan riba,
penulisnya dan saksinya seraya bersabda kepada mereka semua sama."(HR Muslim)
Dana Hangus
Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta karena
suatu sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period.
Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang
premi. Karena kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi
hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa
kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus dan menjadi
milik perusahaan.
Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan
ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu
melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi peserta tidak punya dana untuk melanjutkan,
sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini
mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling menzalimi,
laa dharaa wala dhirara ( tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena nilai tunai
telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk
karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya
dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dana yang diniatkan sebagai
dana tabarru (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika
selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka asuransi syariah akan
membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai
kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih
dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari
hasil investasinya.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan, secara garis besar ada tujuh
perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, yaitu:
61
1) Asuransi syari'ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi
produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah
ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
2) Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari'ah berdasarkan tolong menolong.
Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli.
3) Investasi dana pada asuransi syari'ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan
pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan
investasinya.
4) Kepemilikan dana pada asuransi syari'ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya
sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana
yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan
bebas menentukan alokasi investasinya.
5) Dalam mekanismenya, asuransi syari'ah tidak mengenal dana hangus seperti yang
terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat
melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing
period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil
yang telah diniatkan untuk tabarru'.
6) Pembayaran klaim pada asuransi syari'ah diambil dari dana tabarru' (dana kebajikan)
seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang
akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah.
Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening
dana perusahaan.
7) Pembagian keuntungan pada asuransi syari'ah dibagi antara perusahaan dengan peserta
sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada
asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.
Sebagian para ahli syariah meyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem aqilah pada
zaman Rasulullah SAW. Dr. Satria Effendi M.Zein dalam makalahnya mendefinisikan
takaful dengan at takmin, at taawun atau at takaful (asuransi bersifat tolong menolong),
yang dikelola oleh suatu badan, dan terjadi kesepakatan dari anggota untuk bersama
-sama memikul suatu kerugian atau penderitaan yang mungkin terjadi pada anggotanya.
Untuk kepentingan itu masing-masing anggota membayar iuran berkala (premi). Dana
yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk
kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi syariah). Dengan
demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk keuntungan untuk dirinya
sendiri. Disini sifat yang paling menonjol adalah tolong-menolong seperti yang diajarkan
Islami.
Pada asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas
Syariah (DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari
segi operational perusahaan, investasi maupun SDM. Kedudukan DPS dalam Struktur
oraganisasi perusahaan setara dengan dewan komisaris.
Itulah beberapa hal yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional.
Apabila dilihat dari sisi perbedaannya, baik dari sisi ekonomi, kemanusiaan atau
61
syariahnya, maka sistem asuransi syariah adalah yang terbaik dari seluruh sistem asuransi
yang ada. (Sumber: Proteksi, No.184/Mei 2006/Tahun XXVII)
Menimbang:
a. bahwa fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
dinilai sifatnya masih sangat umum sehingga perlu dilengkapi dengan fatwa yang lebih
rinci;
b. bahwa salah satu fatwa yang diperlukan adalah fatwa tentang Akad Tabarru’ untuk
asuransi;
c. bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa
tentang Akad Tabarru’ untuk dijadikan pedoman.
Mengingat:
1. Firman Allah SWT, antara lain:
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan
kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka
bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu,
adalah dosa yang besar. (QS. al-Nisa’ [4]: 2).
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahtera-an) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS. al-Nisa’ [4]: 9).
Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan (QS. al-Hasyr [59]: 18).
2. Firman Allah SWT tentang prinsip-prinsip bermu’amalah, baik yang harus
dilaksanakan maupun dihindarkan, antara lain:
“Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hokum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. al-Maidah [5]: 1).
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya dan apabila kamiu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS.
al-Nisa’ [4]: 58).
Hai orang yang beriman! Janganlah kalian memakan (mengambil)harta orang lain
secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara
kalian. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.” (QS. al-Nisa’ [4]: 29).
3. Firman Allah SWT tentang perintah untuk saling tolong menolong dalam perbuatan
positif, antara lain:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
61
kamu kepada Allah, sesung-guhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. al-Maidah [5]:
2).
4. Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang beberapa prinsip bermu’amalah,
antara lain:
Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan
melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong
hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu
Hurairah).
Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan mencintai
bagaikan tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit maka bagian lain
akan turut menderita” (HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir).
Seorang mu’min dengan mu’min yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian
menguatkan bagian yang lain” (HR Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari).
Barang siapa mengurus anak yatim yang memiliki harta, hendaklah ia perniagakan,
dan janganlah membiarkannya (tanpa diperniagakan) hingga habis oleh sederkah
(zakat dan nafakah)” (HR. Tirmizi, Daraquthni, dan Baihaqi dari ‘Amr bin Syu’aib,
dari ayahnya, dari kakeknya Abdullah bin ‘Amr bin Ash).
Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr
bin ‘Auf).
Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang
lain.” (Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari
Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya).
5. Kaidah fiqh:
Pada dasarnya, semua bentuk mu’amalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.” Segala mudharat harus dihindarkan sedapat
mungkin.”Segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.”
Memperhatikan:
1. Pendapat para ulama, antara lain:
• Sejumlah dana (premi) yang diberikan oleh peserta asuransi adalah tabarru’ (amal
kebajikan) dari peserta kepada (melalui) perusahaan yang digunakan untuk
membantu peserta yang memerlukan berdasarkan ketentuan yang telah disepakati;
dan perusahaan memberikannya (kepada peserta) sebagai tabarru’ atau hibah murni
tanpa imbalan. (Wahbah al-Zuhaili, al-Mu’amalat al-Maliyyah al-Mu’ashirah,
[Dimasyq: Dar al-Fikr, 2002], h. 287).
• Analisis fiqh terhadap kewajiban (peserta) untuk memberikan tabarru’ secara
bergantian dalam akad asuransi ta’awuni adalah “kaidah tentang kewajiban untuk
memberikan tabarru’” dalam mazhab Malik. (Mushthafa Zarqa’, Nizham al-Ta’min,
h. 58-59; Ahmad Sa’id Syaraf al-Din, ‘Uqud al-Ta’min wa ‘Uqud Dhaman al-
Istitsmar, h. 244-147; dan Sa’di Abu Jaib, al-Ta’min bain al-Hazhr wa al-Ibahah, h.
53).
• Hubungan hukum yang timbul antara para peserta asuransi sebagai akibat akad
ta’min jama’i (asuransi kolektif) adalah akad tabarru’; setiap peserta adalah pemberi
dana tabarru’ kepada peserta lain yang terkena musibah berupa ganti rugi (bantuan,
klaim) yang menjadi haknya; dan pada saat yang sama ia pun berhak menerima dana
tabarru’ ketika terkena musibah (Ahmad Salim Milhim, al-Ta’min al-Islami, h, 83).
2. Hasil Lokakarya Asuransi Syari’ah DSN-MUI dengan AASI (Asosiasi Asuransi
Syariah Indonesia) tanggal 7-8 Jumadi al-Ula 1426 H / 14-15 Juni 2005 M.
61
3. Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada 23 Shafar
1427/23 Maret 2006.
MEMUTUSKAN
Kelima: Pengelolaan
1. Pembukuan dana Tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya.
2. Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam
akun tabarru’.
3. Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan
akad Mudharabah atau akad Mudharabah Musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee)
berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
61
b. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada
para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen risiko.
c. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya
kepada perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh para peserta.
2. Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut di atas harus disetujui terlebih dahulu
oleh peserta dan dituangkan dalam akad.
Ketua, Sekretaris,
Dr. KH. M.A Sahal Mahfudh Drs. H.M. Ichwan Sam
61
BAB VI
PEGADAIAN SYARI’AH
A. PENDAHULUAN
Ratusan tahun sudah ekonomi dunia didominasi oleh sistem bunga. Hampir semua
perjanjian di bidang ekonomi dikaitkan dengan bunga. Banyak negara yang telah dapat
mencapai kemakmurannya dengan sistem bunga ini di atas kemiskinan negara lain
sehingga terus-menerus terjadi kesenjangan. Pengalaman dibawah dominasi
perekonomian dengan sistem bunga selama ratusan tahun membuktikan ketidak
mampuannya untuk menjembatani kesenjangan ini. Di dunia, diantara negara maju dan
negara berkembang kesenjangan itu semakin lebar sedang di dalam negara berkembang,
kesenjangan itupun semakin dalam.
Dalam kaitan dengan kesenjangan ekonomi yang terjadi, para ahli ekonomi tidak melihat
sistem bunga sebagai biang keladinya. Karena luput dari pengamatan, Pemerintah di
negara manapun dibikin repot dengan ulah sistem bunga yang build in concept nya
memang bersifat kapitalistik dan diskriminalistik.
Sebagian umat Islami di Indonesia yang mampu mensyukuri nikmat Allah itu mulai
memanfaatkan peluang tersebut dengan mendukung berdirinya bank syariah, asuransi
syariah, dan reksadana syariah dalam bentuk menjadi pemegang saham, menjadi
penabung dan nasabah, menjadi pemegang polis, menjadi investor, dan sebagainya. Lebih
dari itu banyak pula yang secara kreatif mengembangkan ide untuk berdirinya lembaga-
lembaga keuangan syariah bukan bank lainnya seperti: modal ventura, leasing, dan
pegadaian.
Dari pengalaman mendirikan bank syariah dan asuransi syariah, serta reksadana syariah,
diperlukan pengkajian yang mendalam terlebih dahulu, sehingga dengan demikian untuk
berdirinya pegadaian syariahpun diperlukan pengkajian terhadap berbagai aspeknya
secara luas dan mendalam.
Dalam Fikih Muamalah, perjanjian gadai disebut “rahn”. Rahn menurut bahasa berarti
penahanan dan penetapan, sebagaimana firman Allah SWT: “Tiap-tiap diri bertanggung
jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. QS:74:38
61
Adapun menurut istilah adalah perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan
Utang. Landasan hukum Rahn atau landasan pinjam meminjam dengan jaminan (borg)
adalah firman Allah SWT:
Surat Al-Baqarah, ayat 283: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.
Landasan hukum lainnya adalah hadits Rasul Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari
Aisyah ra.
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dan
menggadaikannya dengan baku besi”. Dan hadits dari Anas ra.
ُ صلَّى هَّللا
َ سنِ َخ ٍة َولَقَ ْد َرهَنَ النَّبِ ُّي َ سلَّ َم بِ ُخ ْب ِز
َ ش ِعي ٍر َوإِهَالَ ٍة َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َوَ أَنَّهُ َمشَى إِلَى النَّبِ ِّي ُض َي هَّللا ُ َع ْنه ِ س َر ٍ َعَنْ أَن
ش ِعي ًرا أِل َ ْهلِ ِه
َ ُي َوأَ َخ َذ ِم ْنهٍّ سلَّ َم ِد ْرعًا لَهُ ِبا ْل َم ِدينَ ِة ِع ْن َد يَ ُهو ِد
َ َعلَ ْي ِه َو
“Dari Anas ra bahwasanya ia berjalan menuju Nabi SAW dengan roti dari gandum dan
sungguh Rasulullah SAW telah menaguhkan baju besi kepada seorang Yahudi di
Madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang Yahudi”.
Landasan hukum berikutnya adalah Ijma’ ulama atas hukum mubah (boleh) perjanjian
gadai.
Mengenai rukun dan sahnya akad gadai dijelaskan oleh Pasaribu dan Lubis sebagai
berikut:
61
Mengenai barang (marhum) apa saja yang boleh digadaikan, dijelaskan dalam Kifayatul
Akhyar bahwa semua barang yang boleh dijual-belikan menurut syariah, boleh
digadaikan sebagai tanggungan Utang. Aspek lainnya yang perlu mendapat perhatian
dalam kaitan dengan perjanjian gadai adalah yang menyangkut masalah hak dan
kewajiban masing-masing pihak dalam situasi dan kondisi yang normal maupun yang
tidak normal. Situasi dan kondisi yang tidak normal bisa terjadi karena adanya
peristiwa force mayor seperti perampokan, bencana alam, dan sebagainya.
Dalam keadaan normal hak dari rahin setelah melaksanakan kewajibannya adalah
menerima uang pinjaman dalam jumlah yang sesuai dengan yang disepakati dalam batas
nilai jaminannya, sedang kewajiban rahin adalah menyerahkan barang jaminan yang
nilainya cukup untuk jumlah Utang yang dikehendaki. Sebaliknya hak dari murtahin
adalah menerima barang jaminan dengan nilai yang aman untuk uang yang akan
dipinjamkannya., sedang kewajibannya adalah menyerahkan uang pinjaman sesuai
dengan yang disepakati bersama.
Setelah jatuh tempo, rahin berhak menerima barang yang menjadi tanggungan Utangnya
dan berkewajiban membayar kembali Utangnya dengan sejumlah uang yang diterima
pada awal perjanjian Utang. Sebaliknya murtahin berhak menerima pembayaran Utang
sejumlah uang yang diberikan pada awal perjanjian Utang, sedang kewajibannya adalah
menyerahkan barang yang menjadi tanggungan Utang rahin secara utuh tanpa cacat.
Di atas hak dan kewajiban tersebut diatas, kewajiban murtahin adalah memelihara barang
jaminan yang dipercayakan kepadanya sebagai barang amanah, sedang haknya dalah
menerima biaya pemeliharaan dari rahin. Sebaliknya rahin berkewajiban membayar biaya
pemeliharaan yang dikeluarkan murtahin, sedang haknya adalah menerima barang yang
menjadi tanggungan Utang dalam keadaan utuh.
Dasar hukum siapa yang menanggung biaya pemeliharaan dapat dirujuk dari pendapat
yang didasarkan kepada Hadist Nabi riwayat Al-Syafi’i dan Al-Darulquthni dari
Muswiyah bin Abdullah bin Ja’far: “Ia (pemilik barang gadai) berhak menikmati
hasilnya dan wajib memikul bebannya (beban pemeliharaannya)"
Di tempat lain terdapat penjelasan bahwa apabila barang jaminan itu diizinkan untuk
diambil manfaatnya selama digadaikan, maka pihak yang memanfaatkan itu berkewajiban
membiayainya. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasullullah SAW: Dari Abu Hurairah ,
barkata, sabda Rasullulah SAW : “Punggung (binatang) apabila digadaikan, boleh
dinaiki asal dibiayai. Dan susu yang deras apabila digadaikan, boleh juga diminum asal
dibiayai. Dan orang yang menaiki dan meminum itulah yang wajib membiayai.” (HR. Al-
Bukhari).
Dalam keadaan tidak normal dimana barang yang dijadikan jaminan hilang, rusak, sakit
atau mati yang berada diluar kekuasaan murtahin tidak menghapuskan kewajiban rahin
melunasi Utangnya. Namun dalam praktek pihak murtahim telah mengambil langkah-
langkah pencegahan dengan menutup asuransi kerugian sehingga dapat dilakukan
penyelesaian yang adil. Mengenai pemilikan barang gadaian, berdasarkan berita dari Abu
Hurairah perjanjian gadai tidak merubah pemilikan walaupun orang yang berUtang dan
menyerahkan barang jaminan itu tidak mampu melunasi Utangnya. Dari Abu Hurairah,
sabda Rasullulah SAW: “Barang jaminan tidak bisa tertutup dari pemiliknya yang telah
menggadaikannya. Dia tetap menjadi pemiliknya dan dia tetap berUtang.“
61
Pada waktu jatuh tempo apabila rahin tidak mampu membayar Utangnya dan tidak
mengizinkan murtahin menjual barang gadaiannya, maka hakim/pengadilan dapat
memaksa pemilik barang membayar Utang atau menjual barangnya. Hasil penjualan
apabila cukup dapat dipakai untuk menutup Utangnya, apabila lebih dikembalikan kepada
pemilik barang tetapi apabila kurang pemilik barang tetap harus menutup kekurangannya.
Dalam hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih menanggung Utang, maka
penerima gadai boleh menjual barang gadai tersebut dengan harga umum. Hasil penjualan
apabila cukup dapat dipakai untuk menutup Utangnya, apabila lebih dikembalikan kepada
ahli waris tetapi apabila kurang ahli waris tetap harus menutup kekurangannya atau
barang gadai dikembalikan kepada ahli waris setelah melunasi Utang almarhum pemilik
barang
Dari ketentuan-ketentuan yang tersedia dapat disimpulkan bahwa barang gadai sesuai
syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep Utang piutang antara individu
atau perorangan. Konsep Utang piutang sesuai dengan syariat menurut Muhammad
Akram Khan adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islami dimana bentuknya
yang lebih tepat adalah al-qardhul hasan. Utang piutang dalam bentuk alqardhul hasan
dengan dukungan gadai (rahn), dapat dipergunakan untuk keperluan sosial maupun
komersial. Peminjam mempunyai dua pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau
menerima pemberi pinjaman atau penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha
dalam perjanjian mudharabah.
Di dalam bentuk al-qardhul hassan ini Utang yang terjadi wajib dilunasi pada waktu jatuh
tempo tanpa ada tambahan apapun yang disyaratkan (kembali pokok). Peminjam
menanggung biaya yang secara nyata terjadi seperti biaya penyimpanan dll., dan
dibayarkan dalam bentuk uang (bukan persentase). Peminjam pada waktu jatuh tempo
tanpa ikatan syarat apapun boleh menambahkan secara sukarela pengembalian Utangnya.
Apabila peminjam memilih qardhul hasan, rabb al-mal tentu saja akan
mempertimbangkannya apabila peminjam adalah pengusaha pemula dan apabila
peminjam memilih perjanjian mudharabah maka terlebih dahulu harus disepakati porsi
bagi hasil masing-masing pihak dimana posisi peminjam dana adalah sebagai mudharib.
Dalam kaitannya dengan keperluan komersial, tentunya peminjam bukanlah orang miskin
karena dia mempunyai simpanan dalam bentuk harta tak produktif (hoarding) yang dapat
digadaikan. Dengan demikian fungsi dari gadai disini adalah mencairkan atau
memproduktifkan (dishoarding) harta yang beku.
Dari uraian tersebut diatas, tidak tersurat sedikitpun uraian tentang lembaga gadai syariah
sebagai perusahaan, mungkin karena pada waktu peristiwa itu terjadi belum ada lembaga
gadai sebagai suatu perusahaan. Hal serupa juga terjadi pada lembaga Utang piutang
syariah yang pada mulanya hanya menyangkut hubungan antar pribadi kemudian
berkembang menjadi hubungan antara pribadi dengan bank.
Pengembangan hubungan antar pribadi menjadi hubungan antara pribadi dengan suatu
bentuk perusahaan tentu membawa konsekuensi yang luas dan menyangkut berbagai
aspek. Namun hendaknya tetap dipahami bahwa lembaga gadai adalah pelengkap dari
lembaga Utang piutang. Hal ini juga mengandung arti bahwa hukum gadai dalam
keadaan normal tidak merubah status kepemilikan. Baru apabila terjadi keadaan yang
61
tidak normal, misalnya rahin pada saat jatuh tempo tidak mampu melunasi Utangnya
maka bisa terjadi peristiwa penyitaan dan lelang oleh pejabat yang berwenang.
Keadaan tidak normal ini bisa merubah status kepemilikan sehingga berkembang menjadi
jual beli tunai (tijari), jual beli tangguh bayar (murabahah), dan jual beli dengan
pembayaran angsuran (bai bithaman ajil).
Bagaimana konsepsi lembaga gadai syariah dalam suatu perusahaan tentunya tidak
berbeda dengan lembaga gadai syariah dalam hubungan antar pribadi. Alternatif yang
tersedia untuk lembaga gadai syariah juga ada dua, yaitu hubungan dalam rangka
perjanjian Utang piutang dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hasan, dan hubungan
dalam rangka perjanjian Utang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah.
Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb almal
sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak sebagai
mudharib, tergantung akternatif yang dipilih. Aspek-aspek penting yang perlu
diperhatikan pada lembaga gadai perusahaan adalah aspek legalitas, aspek permodalan,
aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek
pengawasan, dan lain-lain.
Dengan memahami konsep lembaga gadai syariah maka sebenarnya lembaga gadai
syariah untuk hubungan antar pribadi sudah operasional. Setiap orang bisa melakukan
perjanjian Utang piutang dengan gadai secara syariah. Pada dasarnya konsep Utang
piutang secara syariah dilakukan dalam bentuk al-qardhul hassan, dimana pada bentuk ini
tujuan utamanya adalah memenuhi kewajiban moral sebagai jaminan sosial.
Gadai yang melengkapi perjanjian Utang piutang itu adalah sekedar memenuhi anjuran
sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283. Tidak ada tambahan
biaya apapun diatas pokok pinjaman bagi si peminjam kecuali yang dipakainya sendiri
untuk syahnya suatu perjanjian Utang. Dalam hal ini biaya-biaya seperti materai dan akte
notaris menjadi beban peminjam. Bunga uang yang kita kenal walaupun dengan nama
apapun tidak sesuai dengan prinsip syariah, oleh karena itu tidak boleh dikenakan dalam
perjanjian Utang piutang secara syariah. Perjanjian Utang piutang dalam bentuk alqardhul
hassan sangat dianjurkan dalam islami lebih utama daripada memberikan infaq.
Hal ini menurut Khan karena infaq menimbulkan masalah kehormatan diri pada
peminjam dan mengurangi dorongan dirinya untuk berjuang dan berusaha. Infaq katanya
diperlukan dalam kasus-kasus dimana pengembalian Utang tidak mungkin dilakukan.
Dengan demikian al-Qardhul hassan adalah lembaga bersaudara dengan infaq.
Tanggung jawab ini beralih kepada satuan keluarga, RT/RW, Kelurahan, bahkan sampai
kepada negara. Perjanjian Utang piutang juga diperlukan bagi keperluan komersiil.
Dalam hal perjanjian Utang piutang ini untuk keperluan komersiil, maka biasanya
kelengkapan gadai yang cukup menjadi persyaratan yang tidak dapat ditinggalkan. Ini
membuktikan bahwa sebenarnya pihak peminjam bukanlah orang yang miskin tetapi
orang yang mempunyai sejumlah harta yang dapat digadaikan. Pilihan yang terbuka
untuk kepentingan ini adalah melakukan perjanjian Utang piutang dengan gadai dalam
61
bentuk al-qardhul hassan atau melakukan perjanjian Utang piutang dengan gadai dalam
bentuk mudharabah.
Apabila pilihan seorang peminjam adalah pinjaman gadai dalam bentuk qardhul hassan,
maka biasanya peminjam adalah pengusaha pemula yang baru mencoba membuka
usaha. Pengusaha lamapun bisa memilih pinjaman gadai dalam bentuk qardhul hassan
apabila usahanya sedang lesu dan ingin dibangkitkan lagi. Perjanjian Utang piutang
dengan gadai dalam bentuk al-qardhul hassan adalah perjanjian yang terhormat, oleh
karena itu para pihak yang terlibat harus memperlakukan satu samalain secara
terhormat pula. Pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban diselesaikan dan
apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi Utangnya perjanjian yang lama dapat
diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya. Apabila terjadi
perbedan pendapat, maka perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan melalui arbitrasi
atau pengadilan.
Biaya yang harus ditanggung peminjam meliputi biaya -biaya yang nyata- nyata
diperlukan untuk sahnya perjanjian Utang piutang, seperti : bea materai, dan biaya akte
notaris. Selain itu untuk keutuhan dan pengamanan barang gadai mungkin ada biaya
pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save deposit box) di bank atau
ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya dilarang dikenakan.
Seorang peminjam dan pemberi pinjaman dapat memilih pinjaman gadai dalam bentuk
mudharabah, apabila kedua belah pihak telah menghitung bahwa usaha yang akan
dijalankan layak dan secara ekonomis akan menguntungkan. Perjanjian Utang piutang
dengan gadai dalam bentuk mudharabah adalah perjanjian yang mempertemukan antara
pengusaha yang ahli dalam bidangnya tetapi hanya mempunyai harta tidak lancar
dengan pihak lain yang mempunyai cukup dana tetapi tidak mempunyai bidang usaha.
Kedua pihak kemudian sepakat untuk pihak peminjam menjalankan usaha sedang pihak
pemberi pinjaman hanya memberikan dana yang diperlukan tanpa campur tangan dalam
usaha itu dengan agunan barang gadai. Keduanya juga sepakat pada suatu porsi bagi hasil
tertentu dari usaha yang dijalankan pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban
diselesaikan dan apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi Utangnya perjanjian
yang lama dapat diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya.
Apabila terjadi perbedaan pendapat, maka perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan
melalui arbitrasi atau pengadilan.
Biaya yang harus ditanggung peminjam selain meliputi biaya–biaya yang nyata-nyata
diperlukan untuk sahnya perjanjian Utang piutang, seperti: bea materai, dan biaya akte
notaris, juga biaya – biaya usaha yang layak selain itu untuk keutuhan dan pengamanan
barang gadai mungkin ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save
deposit box) dibank atau ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya juga
dilarang dikenakan.
Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank syariah)
khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang dapat
61
dikemukakan disini ialah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan agunan
sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik Kendaraan
Bermotor (BPKB), dll.
Sebagaimana halnya dengan lembaga gadai syariah pada hubungan antar pribadi, lebaga
syariah untuk hubungan antara pribadi dengan bank syariah juga mempunyai dua bentuk,
yaitu perjanjian Utang piutang dengan gadai dalam bentuk al-
mudharabah. Operasionalsasi kedua bentuk tersebut sama dengan operasionalisasi
lembaga gadai syariah pada hubungan antar pribadi tersebut diatas.
Dari uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa lembaga gadai syariah pada perbankan
syariah adalah hal yang lazim ada. Karena adanya hambatan hukum positif yang kita
warisi dari pemerintahan kolonial, menyebabkan bank sekarang ini tidak diperkenankan
menerima agunan dan menyimpan gadai barang bergerak. Namun menurut berita dalam
praktek banyak bank-bank terutama yang berkantor diwilayah kecamatan yang
melakukan praktek menerima gadai barang bergerak terutama dalam bentuk perhiasan.
Pemisahan jenis barang gadai inilah yang menyebabkan adanya jawatan yang khusus
didirikan untuk melayani kebutuhan masyarakat akan pinjaman gadai barang bergerak.
Tujuan semula dari jawatan ini adalah semata-mata untuk membantu masyarakat yang
membutuhkan kredit kecil. Modal jawatan untuk operasional dan pengembangan semula
dipasok dari anggaran negara sehingga misi utamanya adalah sosial. Tujuan mencari
untung tidak ditonjolkan dan jawatan dinilai cukup baik apabila hasil usahanya dapat
menutup biaya (breakeven). Dengan misi sosial yang sesuai dengan misi al-qardhul
hassan pada gadai syariah, maka perlu dicari dan dipertahankan bentuk badan usaha yang
cocok. Sesuai dengan panduan syariah perusahaan dapat saja mendapatkan keuntungan
yang besar tetapi hanya mungkin apabila dana yang tersedia disalurkan dalam perjanjian
Utang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.
Karena gadai dalam hukum islami adalah merupakan pelengkap dari hubungan Utang-
piutang, maka operasionalisasi gadai syariah pada perusahaan bank syariah sudah
berjalan walaupun perlu penyempurnaan. Sedang pada perusahaan pegadaian yang sudah
ada hanya dimungkinkan apabila ada pemahaman kemauan yang kuat dari pimpinan dan
seluruh jajarannya untuk menerapkan perjanjian Utang piutang gadai dalam bentuk
alqardhul hassan dan al-mudharabah. Sumber-sumber modal tentu tidak lagi dicari dari
bank yang memungut bunga dan obligasi yang dijual kepada masyarakatpun tidak dengan
sistem bunga tetapi dengan sistem bagi hasil.
Adanya keinginan masyarakat untuk berdirinya lembaga gadai syariah dalam bentuk
perusahaan mungkin karena umat Islami menghendaki adanya lembaga gadai perusahaan
yang benar-benar menerapkan prinsip syariat Islami. Untuk mengakomodir keinginan ini
perlu dikaji berbagai aspek penting, antara lain : aspek legalitas, aspek permodalan, aspek
sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek
pengawasan, dan lain-lain.
Prospek suatu perusahaan secara relatif dapat dilihat dari suatu analisa yang disebut
SWOT atau dengan meneliti kekuatan (strength), kelemahannya (weakness), peluangnya
(oportunity), dan ancamannya (threat), sebagai berikut:
Perusahaan gadai syariah telah lama menjadi dambaan umat Islami di Indonesia, bahkan
sejak masa Kebangkitan Nasional yang pertama. Hal ini menunjukkan besarnya harapan
dan dukungan umat Islami terhadap adanya pegadaian syariah.
Adanya pegadaian syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islami adalah
sangat penting untuk menghindarkan umat Islami dari kemungkinan terjerumus kepada
yang haram. Oleh karena itu pada konferensi ke 2 Menterimenteri Luar Negeri negara
muslim di seluruh dunia bulan Desember 1970 di Karachi, Pakistan telah sepakat untuk
pada tahap pertama mendirikan Islamiic Development Bank (IDB) yang dioperasikan
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islami.
IDB kemudian secara resmi didirikan pada bulan Agustus 1974 dimana Indonesia
menjadi salah satu negara anggota pendiri. IDB pada Articles of Agreement-nya pasal 2
ayat XI akan membantu berdirinya bank dan lembaga keuangan yang akan beroperasi
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islami di negara-negara anggotanya.
Beberapa bank Islami yang berskala internasional telah datang ke Indonesia untuk
menjajagi kemungkinan membuka lembaga keuangan syariah secara patungan. Hal ini
menunjukkan besarnya harapan dan dukungan lembaga keuangan internasional terhadap
adanya lembaga keuangan syariah di Indonesia.
(3). Pemberian pinjaman lunak al-qardhul hassan dan pinjaman mudharabah dengan
sistem bagihasil pada pegadaian syariah sangat sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
(a). Penyediaan pinjaman murah bebas bunga disebut al-qardhul hassan adalah jenis
pinjaman lunak yang diperlukan masyarakat saat ini mengingat semakin tingginya tingkat
bunga. Penyetaraannya dengan perusahaan asuransi karena pada usaha gadai tidak
diperkenankan menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan (giro, tabungan,
deposito). Selain daripada itu perusahaan asuransi juga mmeberikan pinjaman kepada
pemegang polis dengan agunan polis.
61
(c). Pada pinjaman mudharabah, pegadaian syariah dengan sendirinya tidak akan
membebani nasabahnya dengan biaya-biaya tetap yang berada di luar jangkauannya.
Nasabah hanya diwajibkan membagihasil usahanya sesuai dengan perjanjian yang telah
ditetapkan sebelumnya. Bagihasil kecil kalau keuntungan usahanya kecil dan bagihasil
besar kalau hasil usahanya besar.
(d). Investasi yang dilakukan nasabah pinjaman mudharabah tidak tergantung kepada
tinggi rendahnya tingkat bunga karena tidak ada biaya uang (biaya bunga pinjaman) yang
harus diperhitungkan.
(e). Pegadaian syariah bersifat mandiri dan tidak terpengaruh secara langsung oleh
gejolak moneter baik dalam negeri maupun internasional karena kegiatan operasional
bank ini tidak menggunakan perangkat bunga.
Dengan mengenali kekuatan dari pegadaian syariah, maka kewajiban kita semua untuk
terus mengembangkan kekuatan yang dimiliki perusahaan gadai dengan sistem ini.
(1). Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang
yang terlibat dalam perjanjian bagihasil adalah jujur dapat menjadi bumerang karena
pegadaian syariah akan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang beritikad tidak baik.
Contoh : Pinjaman mudharabah yang diberikan dengan sistem bagi hasil akan sangat
bergantung kepada kejujuran dan itikad baik nasabahnya.
Bisa saja terjadi nasabah melaporkan keadaan usaha yang tidak sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya. Misalnya suatu usaha yang untung dilaporkan rugi sehingga pegadaian
tidak memperoleh bagian laba.
(3). Karena membawa misi bagihasil yang adil, maka pegadaian syariah lebi banyak
memerlukan tenaga-tenaga profesional yang andal. Kekeliruan dalam menilai kelayakan
proyek yang akan dibiayai dengan sistem bagi hasil mungkin akan membawa akibat yang
lebih berat daripada yang dihadapi dengan cara konvensional yang hasl pendapatannya
sudah tetap dari bunga.
Dengan mengenali kelemahan-kelemahan ini maka adalah kewajiban kita semua untuk
memikirkan bagaimana mengatasinya dan menemukan penangkalnya.
61
c. Peluang (Opportunity) dari Pegadaian Syariah
(a). Adalah merupakan hal yang nyata didalam masyarakat Indonesia khususnya yang
beragama Islami, masih banyak yang menganggap bahwa menerima dan/atau membayar
bunga adalah termasuk menghidup suburkan riba. Karena riba dalam agama Islami jelas-
jelas dilarang maka masih banyak masyarakat Islami yang tidak mau memanfaatkan jasa
pegadaian yang telah ada sekarang.
(c). Sistem pengenaan biaya uang/sewa modal dalam sistem pegadaian yang berlaku
sekarang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur yang tidak sejalan dengan syariah
Islami, yaitu antara lain:
Unsur-unsur yang dikhawatirkan tidak sejalan dengan syariat Islami tersebut diataslah
yang ingin dihindari dalam mengelola pegadaian syariah.
(b). Mengingat demikian besarnya peranan yang diharapkan dari tabungan masyarakat
melalui sektor perbankan maka perlu dicarikan berbagai jalan dan peluang untuk
mengerahkan dana dari masyarakat. Pegadaian berfungsi mencairkan (dishoarding)
simpanan-simpanan berupa perhiasan dan barang tidak produktif yang kemudian
diinvestasikan melalui mekanisme pinjaman mudharabah.
(c). Adanya pegadaian syariah yang telah disesuaikan agar tidak menyimpang dari
ketentuan yang berlaku akan memperkaya khasanah lembaga keuangan di Indonesia.
Iklim baru ini akan menarik penanaman modal di sektor lembaga keuangan khususnya
IDB dan pemodal dari negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah.
(d). Konsep pegadaian syariah yang lebih mengutamakan kegiatan produksi dan
perdagangan serta kebersamaan dalam hal investasi, menghadapi risiko usaha dan
membagi hasil usaha, akan memberikan sumbangan yang besar kepada perekonomian
Indonesia khususnya dalam menggiatkan investasi, penyediaan kesempatan kerja, dan
pemerataan pendapatan.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mengingat pegadaian syariah adalah
sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islami, maka perusahaan gadai dengan sistem ini
akan mempunyai segmentasi dan pangsa pasar yang baik sekali di Indonesia. Dengan
sedikit modifikasi dan disesuaikan dengan ketentuan umum yang berlaku, peluang untuk
dapat dikembangkannya pegadaian syariah cukup besar.
Ancaman yang paling berbahaya ialah apabila keinginan akan adanya pegadaian syariah
itu dianggap berkaitan dengan fanatisme agama. Akan ada pihak-pihak yang akan
menghalangi berkembangnya pegadaian syariah ini semata-mata hanya karena tidak suka
apabila umat Islami bangkit dari keterbelakangan ekonominya. Mereka tidak mau tahu
bahwa pegadaian syariah itu jelas-jelas bermanfaat untuk semua orang tanpa pandang
suku, agama, ras, dan adat istiadat. Isu primordial, eksklusivisme atau sara mungkin akan
dilontarkan untuk mencegah berdirinya pegadaian syariah.
Ancaman berikutnya adalah dari mereka yang merasa terusik kenikmatannya mengeruk
kekayaan rakyat Indonesia yang sebagian terbesar beragama Islam melalui sistem bunga
yang sudah ada. Munculnya pegadaian syariah yang menuntut pemerataan pendapatan
yang lebih adil akan dirasakan oleh mereka sebagai ancaman terhadap status quo yang
telah dinikmatinya selama puluhan tahun. Isu tentang ketidakcocokan dengan sistem
internasional berlaku di seluruh dunia mungkin akan dilontarkan untuk mencegah
berkembangnya di tengah-tengah mereka pegadaian syariah. Dengan mengenali
ancaman-ancaman terhadap dikembangkannya pegadaian syariah ini maka diharapkan
para cendekiawan muslim dapat berjaga-jaga dan mengupayakan penangkalnya.
Dari analisa SWOT tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pegadaian syariah
mempunyai prospek yang cukup cerah, baik itu adalah Perum Pegadaian yang telah
mengoperasikan sistem syariah maupun pegadaian syariah yang baru. Prospek ini akan
61
lebih cerah lagi apabila kelemahan (weakness) sistem mudharabah dapat dikurangi dan
ancaman (threat) dapat diatasi.
Berdirinya pegadaian syariah, berawal pada tahun 1998 ketika beberapa General Manager
melakukan studi banding ke Malaysia. Setelah melakukan studi banding, mulai dilakukan
penggodokan rencana pendirian pegadaian syariah. Tapi ketika itu ada sedikit masalah
internal sehingga hasil studi banding itu pun hanya ditumpuk.
Pada tahun 2000 konsep bank syariah mulai marak. Saat itu, Bank Muamalat Indonesia
(BMI) menawarkan kejasama dan membantu segi pembiayaan dan pengembangan. Tahun
2002 mulai diterapkan sistem pegadaiaan syariah dan pada tahun 2003 pegadaian syariah
resmi dioperasikan dan pegadaian cabang Dewi Sartika menjadi kantor cabang pegadaian
pertama yang menerapkan sistem pegadaian syariah.
Prospek pegadaian syariah di masa depan sangat luar biasa. Respon masyarakat terhadap
pegadaian syariah ternyata jauh lebih baik dari yang diperkirakan. Menurut survei BMI,
dari target operasional tahun 2003 sebesar 1,55 milyar rupiah pegadaian syariah cabang
Dewi Sartika mampu mencapai target 5 milyar rupiah.
Pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan.
Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap memperoleh keuntungan seperti yang sudah
diatur oleh Dewan Syariah Nasional, yaitu memberlakukan biaya pemeliharaan dari
barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah
pinjaman. Sedangkan pada pegadaian konvensional, biaya yang harus dibayar sejumlah
dari yang dipinjamkan. [18]
Program Syariah Perum Pegadaian mendapat sambutan positif dari masyarakat. Dari
target omzet tahun 2006 sebesar Rp 323 miliar, hingga September 2006 ini sudah tercapai
Rp 420 miliar dan pada akhir tahun 2006 ini diprediksi omzet bisa mencapai Rp 450
miliar.[19] Bahkan Perum Pegadaian Pusat menurut rencana akan menerbitkan produk
baru, gadai saham di Bursa Efek Jakarta (BEJ), paling lambat Maret 2007. Manajemen
Pegadaian melihat adanya prospek pasar yang cukup bagus saat ini untuk gadai saham.
Bisnis pegadaian syariah tahun 2007 ini cukup cerah, karena minta masyarakat yang
memanfaatkan jasa pegadaian ini cukup besar. Itu terbukti penyaluran kredit tahun 2006
melampaui target.
Pegadaian cabang Majapahit Semarang misalnya, tahun 2006 mencapai 18,2 miliar.
Lebih besar dari target yang ditetapkan sebanyak 11,5 miliar. Jumlah nasabah yang
dihimpun sekitar 6 ribu orang dan barang jaminannya sebanyak 16.855 potong.
61
Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Pemikiran tentang berdirinya pegadaian syariah adalah merupakan tanda syukur kita
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman Islami dan telah
diijinkannya oleh Pemerintah berdirinya lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi
sesuai dengan prinsip syariat Islami.
b. Pegadaian syariah mempunyai landasan hukum syariat yang kuat dalam ajaran
Islami. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah unsur-unsur gadai, rukun dan
sahnya akad, barang yang boleh digadaikan, hak dan kewajiban masing-masing
pihak, dan pemilikan barang gadai.
c. Barang gadaian syariah adalah merupakan pelengkap belaka dari konsep Utang
piutang antara individu atau perorangan. Konsep Utang piutang sesuai dengan syariat
adalah merupakan salah satu konsep ekonomi Islami dimana bentuknya yang lebih
tepat adalah al-qardhul hassan.
d. Utang piutang dalam bentuk al-qardhul hassan dengan dukungan gadai (rahn), dapat
Dipergunakan untuk keperluan sosial maupun komersial. Peminjam mempunyai dua
pilihan, yaitu : dapat memilih qardhul hassan atau menerima pemberi pinjaman atau
penyandang dana (rabb al-mal) sebagai mitra usaha dalam perjanjian mudharabah.
e. Untuk nasabah yang memilih pinjaman gadai dalam bentuk mudharabah maka fungsi
gadai disini adalah mencairkan atau memproduktifkan (dishoarding) harta beku
(hoarding) yang tidak produktif.
f. Lembaga gadai syariah perusahaan bertindak sebagai penyandang dana atau rabb
almal, sedang nasabahnya bisa bertindak sebagai rahin atau bisa juga bertindak
sebagai mudharib tergantung alternatif yang dipilih.
g. Lembaga gadai syariah untuk hubungan antar pribadi sebenarnya sudah operasional
karena setiap orang bisa melakukan perjanjian Utang piutang dengan gadai syariah.
h. Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank
syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang
dapat dikemukakan disini adalah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan
agunan sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik
Kendaraan Bermotor (BPKB), dll.
j. Prospek pegadaian syariah cukup pesat dan cerah, minat masyarakat semakin hari
semakin meningkat. Apalagi pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian
bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap
memperoleh keuntungan.
61
Bahan Bacaan
61
DAFTAR PUSTAKA
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, 2003. DSN-MUI dan Bank Indonesia, PT.
Intermasa, Jakarta
http://www.tazkiaonline.com/mail.php3/recipient=redaksi@tazkia.com
Iwan Tri Yuwono, 2002, Akuntansi Syariah, Penerbit Salemba Empat, Jakarta
Saroso, dan Hasbi Ramli, 2003, Biro Perbankan Syariah, Jakarta, Modul Pelatihan, di
Banjarmasin
Bank Indonesia, SK. Direksi Bank Indonesia, No: 32/34/Kep/Dir., Tanggal 12 Mei 1999,
tentang Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah
Bank Indonesia, SK. Direksi Bank Indonesia, No: 32/36/Kep/Dir., Tanggal 12 Mei 1999,
tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah
61
LAMPIRAN: LAPORAN KEUANGAN PERBANKAN SYARIAH
1. Neraca
2. Laporan Laba Rugi
3. Laporan Perubahan Ekuitas
4. Laporan Arus Kas
5. Laporan Perubahan Investasi Terikat (Mudharabah Muqayyadah)
6. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana ZIS
7. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardh (Qardhul Hasan)
8. Catatan Atas Laporan Keuangan
61
Prinsip Dasar Penyajian Laporan Keuangan:
1. Konsistensi penyajian
2. Materialitas dan agregasi
3. Saling hapus (offsetting).
4. Periode pelaporan
5. Informasi komparatif.
6. Relevansi.
1. Bersifat historis,
2. Bersifat umum,
3. Bersifat konservatif,
4. Bentuk formalitas,
5. Menggunakan istilah bahasa teknis,
6. Menggunakan pertimbangan dan estimasi
7. Melaporkan informasi material saja,
8. Beragamnya metode akuntansi, hingga menimbulkan variasi pengukuran sumber
daya ekonomis, dan.
9. Informasi bersifat kualitatif dan fakta tidak dapat dikuantifikasikan umumnya
diabaikan.
61
Akun Neraca:
Kas
Piutang Murabahah
Piutang Salam
Piutang Istishna
Piutang Hiwalah
Piutang Qard
Sediaan
ASET
Surat berharga
Permbiayaan Mudharabah
Pembiayaan Musyarakah
Ijarah
Pinjaman Al Qard
Penanaman Antar Bank
Surat berharga dan penyertaan
Giro Wadiah
Bagi Hasil
Transfer yang belum dikirim
Utang Pajak
PASIVA/UTANG/KEWAJIBAN Utang Salam
Utang Istishna
Kewajiban lain-lain
SWBI (Simpanan Wadiah Bank Indonesia) melalui FPJPS
(Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek Syari’ah) 1-90 hr.
Semua dana Mudharabah
Tabungan
INVESTASI TERIKAT
Deposito Berjangka (bank dan bukan bank)
(MUDHARABAH MUKAYYADAH)
Sertifikat SIMA
61
Elemen Laporan Keuangan:
NERACA
BANK SYARIAH STIE INDONESIA BANJARMASIN
Per 31 Desember 2009 dan 2010
EKUITAS:
1. Modal disetor
2. Tambahan modal disetor
3. Saldo laba/rugi
61
LAPORAN LABA RUGI
BANK SYARIAH STIE INDONESIA BANJARMASIN
Untuk masa yang berakhir s.d. 31 Desember 2010
61
LAPORAN ARUS KAS
BANK SYARIAH STIE INDONESIA BANJARMASIN
Untuk masa yang berakhir s.d. 31 Desember 2009 dan 2010
2010 2009
Arus kas dari Aktivitas Operasi: xxxx xxxx
Laba/rugi bersih
Penyesuaian untuk merekonsiliasi laba/rugi bersih menjadi kas
bersih dari kegiatan operasi:
Penyusutan aset tetap
Penyisihan kerugian (pembalikan atas penyisihan) untuk:
Giro pada bank lain xxxx xxxx
Penempatan pada bank lain xxxx xxxx
Efek-efek xxxx xxxx
Pembiayaan xxxx xxxx
Sediaan xxxx xxxx
Aset xxxx xxxx
Penyertaan xxxx xxxx
Aset lain xxxx xxxx
Penyisihan atas penurunan nilai pasar surat-surat berharga xxxx xxxx
Laba penjualan aset tetap xxxx xxxx
Pendapatan deviden xxxx xxxx
Amortisasi biaya emisi saham xxxx xxxx
Amortisasi aktiv tidak berwujud xxxx xxxx
Selisih kurs karena penjabaran laporan keuangan xxxx xxxx
Perubahan aset dan kewajiban operasi:
Penempatan pada bank lain xxxx xxxx
Surat berharga xxxx xxxx
Pembiayaan xxxx xxxx
Aset lain-lain xxxx xxxx
Simpanan:
Giro xxxx xxxx
Tabungan deposito berjangka xxxx xxxx
Sertifikat deposito xxxx xxxx
Kewajiban segera lainnya xxxx xxxx
UTANG PAJAK xxxx xxxx
Kewajiban lain xxxx xxxx
Kas bersih diperoleh (digunakan untuk) kegiatan operasi xxxx xxxx
Arus kas dari Aktivitas Investasi:
Penyertaan saham xxxx xxxx
Perolehan aset tetap xxxx xxxx
Selisih kurs penjabaran lap. keuangan untuk aset tetap xxxx xxxx
Hasil penjualan aset tetap xxxx xxxx
Penerimaan deviden xxxx xxxx
Kas bersih diperoleh (digunakan untuk) kegiatan investasi xxxx xxxx
Arus kas dari Aktivitas Pendanaan:
Kenaikan (penurunan) pinjaman yang diterima xxxx xxxx
HASIL PENERBITAN SAHAM xxxx xxxx
Pembayaran deviden xxxx xxxx
Kas bersih diperoleh (dugunakan untuk) kegiatan pendanaan xxxx xxxx
Kenaikan bersih kas dan setara kas xxxx xxxx
Kas dan setara kas awal tahun xxxx xxxx
Kas dan setara kas akhir tahun xxxx xxxx
61
LAPORAN PERUBAHAN EKUITAS
BANK SYARIAH STIE INDONESIA BANJARMASIN
Untuk masa yang berakhir s.d. 31 Desember 2009 dan 2010
C Modal Tamba Selisih Selisih Pendap Selis kurs Saldo laba yang Saldo laba Total
a Saham han penilaian penilai atan karena telah ditentukan yg belum modal
t ditempatk modal kembali an kompre penjabara pengunaannya ditentukan bersih
a an dan disetor aset tetap wajar hensif n laporan Cad. Cad. penggunan
Uraian t disetor efek yg lain keuangn Tujuan Umum nya
a tersedia
n untuk
(Rp) (Rp) (Rp) dijual (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
(Rp)
Saldo pada tanggal 31 xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
Jan.2003
Penyesuaian sehubungan
dengan penerapan xxx xxx
kebijakan akuntansi baru
atas PPh
Saldo pada tanggal 1 xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
Jnauri 2003, disajikan
kembali
Pengunaan selama tahun (xxx) (xxx)
berjalan
Ditentukan untuk xxx xxx (xxx)
cadangan tujuan
Ditentukan untuk (xxx)
cadangan umum
Pembagian deviden (xxx) (xxx)
Rugi bersih selama tahun (xxx) (xxx)
berjalan
Saldo pada tanggal 32 xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
Des. 2003
Hasil penerbitan saham
dari penawaran umum xxx xxx
terbatas kepada para
pemegang saham
Penambahan selama xxx
tahun berjalan
Ditentukan untuk xxx xxx (xxx)
cadangan tujuan
Rugi bersih selama tahun (xxx) (xxx)
berjalan
Saldo pada tanggal 31 xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx xxx
Des. 2004
61
LAPORAN PERUBAHAN DANA INVESTASI TERIKAT
BANK SYARIAH STIE INDONESIA BANJARMASIN
Untuk periode yang berakhir s.d. 31 Desember 2009 dan 2010
61
LAPORAN SUMBER DAN PENGGUNAAN DANA ZIS
BANK SYARIAH STIE INDONESIA BANJARMASIN
Untuk Tahun 2009 dan 2010
61
LAPORAN SUMBER DAN PENGGUNAAN DANA QARD
BANK SYARIAH STIE INDONESIA BANJARMASIN
Untuk Tahun 2009 dan 2010
61
CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN
61
Lampiran 2 : Hasil Penelitian:
Abstract
The result reveals that BMT SDM Malang didn’t act accounting practice properly and
didn’t give information completely especially for all stakeholders. The accounting
practice of saving and loan was measured, recorded and informed exactly but, the
accounting recording still not inform completely so that it can make false perception of
financial information.
Key Words: Shari’ate accounting, accounting practice, BMT SDM Malang, and
financial information
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lembaga keuangan Bank merupakan salah satu lembaga ekonomi yang berfungsi sebagai
lembaga pemberi jasa keuangan yang mendukung kegiatan sektor riil, termasuk kegiatan
transaksi perdagangan internasional. Peran dunia perbankan terutama sejak pemerintah
menerapkan kebijakan deregulasi sektor perbankan, dimana prinsip-prinsip mekanisme
pasar digunakan untuk mendorong pertumbuhannya, peran perbankan sebagai lembaga
perantara keuangan (financial Intermediary Institution)menjadi lebih mandiri dan
independent (Media Akuntan, 1999: 10). Keberhasilan bank dalam menghimpun dana
dari masyarakat bergantung pada kemampuan bank yang bersangkutan dalam hal
bersaing di pasar. Dengan demikian, maka ekspansi atau perluasan kredit suatu bank juga
akan ditentukan oleh tersedianya dana pada bank itusendiri, baik yang dihimpun secara
langsung dari masyarakat, maupun secara tidak langsung dari masyarakat, dari pasar
antar bank dalam dan luar negeri.
Bank Islami sendiri, yang dalam hal ini adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI),
merupakan “ wajah baru “ dikalangan perbankan nasional, karena BMI merupakan
lembaga perbankan yang pertama kali menerapkan Sistem Bagi Hasil dan
Kerugian(Profit Loss and Sharing) dalam kegiatan operasionalnya, sebagai alternatif
Sistem Bunga yang telah diterapkan oleh bank-bank konvensional. Seperti halnya dengan
lembaga perbankan lainnya, BMI memiliki fungsi dan peran yang sama dalam
mendukungperekonomian nasional terutama sebagai lembaga penghimpun dan penyalur
61
dana pada masyarakat. Dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya, BMT memerlukan
informasi yang berkaitan dengan kegiatan usahanya yang bertujuan untuk dijadikan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan pertanggung jawaban atas
pengelolaanuashanya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, akuntansi berperan dalam
menyediakan kebutuhan informasi bag pihak manajemen BMI, terutama dalam
melaksanakan fungsi manjemen seperti Perencanaan, Pengorganisasian, Pengarahan, dan
Pengawasan termasuk dalam penyediaan informasi keuangan dalam bentuk Laporan
Keuangan, yang nantinya akan diinformasikan kepada para pemakai informasi keuangan.
Kegiatan operasional BMI pada hakikatnya sama dengan yang diterapkan dalam bank
konvensional, namun kegiatan operasional BMI suda mengacu pada ketentuan yang
tertulis dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, sehingga dalam operasional BMT tidak
mengenal adanya bunga, tetapi menggunakan sistem bagi hasil dan kerugian. Oleh karena
itu, kegiatan pembukuan atau akuntansi di BMI juga disesuaikan dengan ketentuan
syara’, yang saat ini dikenal dengan istilah akuntansi Islami (Akuntansi Syariah).
Akuntansi Islami secara definitif merupakan kegiatan akuntansi yang didasarkan pada
ketentuan Syariah Islami. Perkembangan dewasa ini, keberadaan akuntansi Islami masih
banyak dipertanyakan orang, seperti halnya pada masa lalu orang masih mempertanyakan
tentang Ekonomi Islami dan keberadaan Bank Islami. Atas dasar pemikiran diatas,
penulis tertarik untuk mengadakan peneitian tentang “Penerapan Akuntansi Syariah pada
Koperasi Baitut Tamwil Sarana Dakwah Mal wat Muslim (SDM) Malang “.
Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
“Bagaimana Penerapan Akuntansi Syariah terhadap simpanan nasabah dan
penyalurannya pada Baitut Maal Wat Tamwil Sarana Dakwah Muslim Kodya Malang.”
TINJAUAN TEORI
Toshikabu Hayashi (1989) dalam tesisnya “On Islamiic Accounting” mengatakan bahwa
sifat akuntansi Barat kehilangan arah bila dihubungkan dengan aspek etika sosial dan
bebas nilai. Sedang trendnya justru akuntansi akan bernuansa sosial seperti dalam
Akuntansi Islami.
Bank Syariah
Istilah bank tanpa bunga sebenarnya dapat memberikan konotasi yang berbeda
dari esensi Bank Syariah. Istilah bank tanpa bunga inisering diasosiasikan dengan tanpa
biaya (no Interest) yang sebenarnya tidak tepat. Istilah Bank Syariah atau Bank Indonesia
menyebutnya Bank bagi hasil. Pada hakekatnya cara operasi Bank Syariah sama saja
denganbank konvensional lainnya. Ynag berbeda hanya dalam masalah bunga dan
praktek lainnya yang menurut Islami tidak dibenarkan. Bank ini tidak menggunakan
konsep bunga seperti bank konvensional. Namun bukan berarti tidak menggunakan beban
pada mereka yangn menikmati jasanya. Beban tersebut berbeda perhitungannya dengan
bunga bank konvensional.
c) Mudharabah
Adalah kerjasama bank dengan pihak pengusaha yang diyakini. Bank memberikan
dana 100% untuk usahanya, pengusaha memberikan tenaga dan keahliannya. Laba
atau Rugi usaha akan dibagi. Berdasarkan rasio atau nisbah tertentu sesuai
kesepakatan. Kerugian yang timbul akibat dari suatu hal yang bukan karena kelalaian
atau penyelewengan pengusaha akan ditanggung bank, sedangkan kerugian karena
kesalahan pengusaha akan ditanggung pengusaha.
d) Musyarakah
61
Musyarakah hampir sama dengan pola Mudharabah, bedanya disini dana tidak hanya
disediakan oleh bank tetapi juga oleh pengusaha. Perusahaan ini dibiayai dan diurus
oleh bank dan pengusaha, atau pihak lain sesuai kesepakatan. Laba atau rugi dibagi
antara pihak bank dengan pengusaha sesuai kesepakatan atau sesuai kontribusi modal
masing-masing pihak.
f) Penghasilan berupa fee, komisi, provisi dari produk ini akan jatuh ke perusahaan. Tidak
menjadi bagian bagi hasil penabung atau depositor.
h) Al Wadiah
Al Wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari suatu pihak ke pihak lain, baik
individu maupun badan hokum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penyimpan menghendaki. Mengacu pada pengertiian “Yad Ad Dharmanah.“ Bank
sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan prinsip Al Wadiah untuk tujuan:
Current Account (giro) dan atau Saving Account (tabungan berjangka). Sebagai
konsekuensi dari Yad Ad Dhamanah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana
titipan tersebut adalah milik bank (demikian juga penanggung kerugian), sebagai
imbalan si penyimpan mendapat jaminan keamanan akan hartanya, demikian juga
fasilitas-fasilitas giro lainnya. Sungguhpun demikian, bank sebagai penerima titipan
sekaligus juga pihakyang telah memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang untuk
memberikan semacam intensif berupa bonus dengan catatan tidak diisyaratkan
sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase secara
advance, tetapi betul-betul kebijaksanaan dewan direksi.
METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat Penelitian Deskriptif yaitu suatu bentuk penelitian yang
dilakukan untuk menjelaskan atau memberikan gambaran tentang sesuatu, yang
dalam hal ini adalah menjelaskan tentang Penerapan Akuntansi Syariah yang
diterapkan di Baitul Maal Wat Tamwil Sarana Dakwah Muslim (BMT SDM) Malang.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Baitul Mal Wat Tamwil Sarana Dakwah Muslim (BMT
SDM) Kodya Malang.
HASIL PENELITIAN
Penyajian Data
A. Jenis Tabungan
BMT SDM Malang mempunyai beberapa jenis tabungan, yang dapat diklasifikasikan
menjadi 2 yaitu:
1) Simpanan Wadiah (titipan pihak ketiga), yaitu tabungan yang tidak menuntut bagi
hasil yang terdiri dari :
a) Simpanan Manasuka.
b) Simpanan Pendidikan.
c) Simpanan Walimah.
d) Simpanan Idul Fitri.
e) Simpanan Idul Adha/Aqiqoh.
f) Simpanan Mabroh/Umroh.
2) Simpanan Pokok Khusus, yaitu simpanan untuk pemodal. Sayangnya, sampai saat
ini BMT SDM Malang belum memberdayakan simpanan tersebut. Menurut
Panduan Unit Simpan Pinjam Syariah, terdapat terdapat beberapa sumber dana
yang meliputi simpanan, utang dan modal sendiri. Simpanan dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu Simpanan Mudharabah berjangka,
simpanan mudharabah dalam bentuk tabungan koperasi dan simpan pinjam
wadiah dalam bentuk tabungan pembiayaan. Sedangkan danayang berasal dari
utang dapat diperoleh dari luar (bank). Modal sendiri dapat berbentuk simpanan
saham yang diklasifikasikan menjadi simpanan pokok dan simpanan wajib.
Mengenai pengukuran bagi hasil simpanan, belum dipisahkan dari jenis simpanannya.
Seharusnya cara yang dilakukan BMT SDM Malang hanya berlaku untuk simpanan
mudharabah. Tetapi kalau kita amati lebih jauh, simpanan mudharabah juga belum
nampak di neraca. Simpanan mudharabah dapat diakui sebagai investasi (aset). Jika
simpanan mudharabah jangka panjang, maka perhitungan bagi hasilnya dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
Langkah 1: Mencari saldo rata-rata hari simpanan tiap anggota pada bulan yang
bersangkutan dengan rumus:
Jangka waktu mengendapnya dana x saldo -----------------------
Jumlah hari pada bulan tersebut – 1
Langkah 2: Menentukan Nisbah bagi hasil tiap-tiap jenis simpanan
Langkah 3: Mencari jumlah bagi hasil untuk tiap-tiap jenis simpanan, untuk masing-
masing nasabah dengan menggunakan perhitungan sebagai
berikut:
Saldo rata-rata harian simpanan tiap nasabah
------------------------------------------------------- x laba BMT x Nisbah
Total rata-rata saldo harian semua nasabah
Berikut ini jenis penyaluran dana yang diterapkan oleh BMT SDM :
61
Jasa ini diberikan bearsal dari dana baitul maal, misalnya berasal dari zakat, infaq
maupun sodaqah, sehingga tidak terdapat bagi hasil antara BMT dengan pemberi
dana. BMT SDM Malang memberikannya pada kaum dhu’afa
sebesar Rp 200.000,- sampai Rp 500.000,- apabila mereka tidak bias mengembalikan
atau terjadi kerugian, maka mereka tidak perlu mengembalikan atau menanggung
kerugian.
b. Neraca
Lembaga Keuangan Syariah
Koperasi BMT SDM
Neraca per, …………
ASET PASIVA
Aset Lancar :
Kas xxx
Piutang Usaha xxx
Pembiayaan Anggota xxx
Persediaan Barang Dagangan xxx
Perlengkapan Kantor xxx
Beban dibayar dimuka xxx
Jumlah Aset Lancar xxx
Aset Tetap
Inventaris Kantor xxx
Jumlah Aset Tetap xxx
Total Aset xxx
Kewajiban Lancar :
Simpanan Sukarela xxx
Utang dana titipan xxx
Utang ZIS BMT xxx
Jumlah kewajiban lancar xxx
Modal:
Simpanan pokok khusus xxx
Simpanan pokok xxx
Simpanan wajib xxx
Modal Donasi xxx
Sisa hasi usaha xxx
Jumlah modal xxx
Jumlah Kewajiban dan Modal xxx
B. Interpretasi Data
Jenis penyaluran dana yang dilakukan oleh BMT SDM Malang sudah cukup baik.
Secara umum terdapat tiga jenis penyaluran dana meliputi kerjasama bagi hasil
(mudharabah). Bai Bithaman Ajil Murobahah dan Al Qard Al Hasan. Jenis penyaluran
mudharabah sebenarnya perlakuan akuntansinya sama dengan simpan pinjam
mudarabah jangka panjang. Dapat diakui sebagai investasi (lancar/jangka panjang).
Sedangkan perhitungan hasi baginya dapat menggunakan nisbah di atas.
Bagi hasil di hitung berdasarkan laba yang diperoleh. Sedangkan apabila terjadi rugi,
maka sahibul mal akan kehilangan sebagian imbalan dari kerja kerasnya. Hal
terpenting dalam pembagian keuntungan adalah kesepakatan rasio persentase bagi
hasil harus dicapai melalui negoisasi dan dituangkan dalam kontrak. Jenis penyaluran
dana yang lain adalah Bai Bithaman Ajil Murobahah, yaitu gabungan antara transaksi
61
jual beli dengan harga tangguh dengan transaksi murobahah (pembiayaan dengan
margin). Jika diamati lebih jauh mengenai penetapan marjin ssudah tepat. Tetapi yang
perlu dikaji lebih lanjut adalah apakah 20% dari harga pokok tersebut tidak
memberatkan nasabah, sehingga marjin 20% tersebut barangkali tidak berlaku umum.
Penyajian rekening ini dalam neraca sudah cukup representatif. Hanya saja
rekening pembiayaan yang ada di neraca perlu diperinci sehingga jelas jenis
pembiayaannya yang dilakukan. Jenis pembiayaan yang ketiga yaitu Al Qard Al
Hasan (pembiayaan kebajikan). Yang perlu diketahui apakah jenis pembiayaan ini
sudah dilakukan oleh BMT SDM Malang. Sebenarnya Qardul Hasan atau Benevolent
Loan yaitu suatu pinjaman lunak dimana si peminjam dituntut untuk mengembalikan
apapun kecuali modal pinjaman. Namun sejalan dengan pengembangan dunia ekonomi
dan perbankan, pinjaman social ini tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa adanya
biaya materai, notaris, biaya pegawai dll. Sehingga pengenaan biaya administrasi
menjadi
terhindarkan. Tetapi yang perlu diingat, pengukuran biaya administrasi tersebut
haruslah menjauhkan dari riba, untuk itu ada dua syarat:
1. Harus dinyatakan dalam nominal bukan persentase.
2. Sifat harus nyata, jelas dan pasti serta terbatas pada hal-hal mutlak diperlukan
untuk terjadinya kontrak.
Keterbatasan perolehan data juga terjadi pada data catatan akuntansi (jurnal). Peneliti
tidak memperoleh catatan akuntansi yang sistematis dn sudah diklasifikasikan
berdasarkan jenis transaksi. Tetapi jika diamati lebih lanjut mengenai pencatatan
transaksi yang dilakukan oleh BMT SDM, maka sudah cukup baik, meskipun ada
catatan yang tidak ada hubungannya dengan penyajian dalam laporan keuangan.
Sebagai contoh pada transaksi penyetoran modal terdapat rekening modal saham,
tetapi rekening modal saham justru tidak Nampak pada neraca.
BEBAN-BEBAN
Beban Langsung :
• Beban bagi Hasil Simpanan Jangka Pendek XXXX
• Beban bagi Hasil Simpanan Jangka Pendek XXXX
XXXX
LABA KOTOR XXXX
PENDAPATAN LAIN-LAIN
Penjualan
XXXX
BEBAN OPERASIONAL
• Beban gaji pegawai XXXX
• Beban listrik dan telepon/air XXXX
61
• Beban Administrasi dan Umum XXXX
(XXXX)
LABA BERSIH SEBELUM PAJAK XXXX
Jika diperbandingkan dengan perhitungan Sisa Hasil Usaha yang dibuat oleh BMT SDM
Malang, maka terdapat perbedaan terhadap pendapatan sebaiknya pendapatan yang
berasal dari penjualan dianggap sebagai pendapatan lain-lain, bukan pendapatan utama
karena hasil usaha lain-lain, bukan pendapatan utama, karena usaha normal dari BMT
SDM Malang adalah SImpan Pinjam.
MODAL:
Simpanan Pokok XXX
Simpanan Wajib XXX
Modal Donasi XXX
Sisa Hasil Usaha XXX
JUMLAH KEWAJIBAN DAN MODAL XXX
Format neraca yang diusulkan di atas akan lebih representatif dan dapatmenyajikan secara
wajar rekening-rekening aset, kewajiban dan modal, Rekening perlengkapan kantor
seharusnya disajikan sebelum piutang kerana tersebut lebih liquid. Rekening piutang
61
sebaiknya diklasifikasikan antara piutang usaha dengan piutang pembiayaan. Selain itu
fungsi kedua rekening piutang tersebut disajikandengan jelas penggunaanya. Simpanan
mudharobah jangka panjang sebaiknya disajikan sebagai pos investasi jangka panjang
dan disajikan bersama kontraknya yaitu akumulasi penyusutan.
Pos kewajiban sudah disajikan secara wajar berdasarkan jatuh temponya, yaitu jangka
pendek (lancar) dan jangka panjang. Pos modal belum disajikan secara wajar karena
terdapat dua rekening simpanan pokok yaitu simpanan pokok khusus dan simpanan
pokok.
Kesimpulan
Penelitian tentang penerapan akuntansi syariah pada BMT SDM Malang ditekankan pada
perlakuan akuntansi terhadap simpanan dan penyaluran dana. Perlakuan akuntansi
terhadap simpanan dan penyaluran dana meliputi pengukuran, pencatatan dan
penyajiannya pada laporan keuangan. Berikut kesimpulan hasil penelitian perlakuan
akuntansi untuk simpanan dan dilanjutkan untuk pengukuaran dana.
1. Pengukuran Simpanan
Simpanan yang ada pada BMT SDM Malang diukur atau dinilai berdasarkan jumlah
yang disetor. Sedangkan return (hasil) yang yang diberikan pada nasabah berupa bagi
hasil simpanan yang diukur berdasarkan rata-rata simpanan dan perhitungan dari laba
usaha BMT sebesar prosentase tertentu (nisbah). Tidak ada perbedaan perhitungan bagi
hasil untuk jenis simpanan manasuka, simpanan pendidikan atau simpanan yang lain.
2. Pencatat Akuntansi
Catatan akuntansi pada BMT SDM Malang masih sederhana sesuai dengan transaksi-
transaksi yang terjadi. Catatan transaksi terhadap simpanan-simpanan yang terjadi
belum di klasifikasikan berdasarkan jenis simpanan. Rekening yang berkaitan
seharusnya perlu disesuaikan dan direncanakan dengan baik.
Implikasi
Dari kesimpulan di atas, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menyempurnakan
perlakuan akuntansi terhadap simpanan dan penyaluran dana pada BMT SDM Malang.
Daftar Pustaka
Departemen Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah, 1999. BMI ; Panduan Unit
Simpan Pinjam Syari’ah.
Ikatan Akuntansi Indonesia, 1995. Media Akuntansi, IAI, Jakarta.
Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafi’I Antonio, 1992. Prinsip Operasional Bank
Islami, Risalah Masa, Jakarta.
___________, 1994. Aspek Hukum Perbankan Islami, PPBEI, FE Unibraw.
Mannan M. Abdul, 1993. Ekonomi Islami, Teori dan Praktek, Dana Bhakti Wakaf,
Yogyakarta.
Sofyan Syafri Harahap, 1997. Akuntansi Islami, Bumi Aksara, Jakarta.
___________, 1991. Akuntansi, Pengawasan, Manajemen dalam Perspektif Islami, FE
Usakti, Jakarta.
Tazkia Institute For Syari’ah Finance and Management, 1999. Sosialisasi Perbankan
Syari’ah.
Zainul Arifin, 1996. Produk Bank Islami Dan Manajemen Keuangan Syari’ah, PPBEI,
FE Unibraw.
61
Lampiran 3:
KARIM Review Special Edition, January 2008
Widyaningsih*), Aggi Nauval*), M Yusuf Helmy*)
Kerancuaan peraturan itu dapat dilihat dari berbagai Peraturan Bank Indonesia, PSAK,
PAPSI, dan terakhir dalam Peraturan Bapepam LK. Peraturan tersebut dapat dibagi
menjadi 3 golongan:
1. Peraturan yang mengatur tentang transaksi jual beli dan sewa menyewa, yaitu PBI
5/7/2003, PBI 5/9/2003, PSAK 59, PAPSI 2003, PSAK 102 – 109 tahun 2007,
2. Peraturan yang mengatur tentang pembiayaan murabahah dalam definisinya, namun
dalam pasal-pasalnya mengatur tentang transaksi murabahah yaitu PBI 6/24/2004,
PBI 7/46/2005, Peraturan Bapepam 03/2007, Peraturan Bapepam 04/2007, dan
3. Peraturan yang mengatur pembiayaan murabahah yaitu PBI 9/19/2007.
Oleh karena adanya kerancuan tersebut, maka lembaga keuangan syariah harus cermat
dalam membuat perlakuan akuntansi dan perjanjiaan nya agar kerancuan tersebut tidak
tercermin dalam kedua hal tersebut, selanjutnya menghindari kerancuan pada perlakuan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) transaksi yang dilakukan.
Perlakuan akuntansi dan perjanjian yang mencerminkan transaksi jual beli dan sewa
menyewa, tentu membawa implikasi pengenaan PPN. Sebaliknya perlakuan akuntansi
dan perjanjian yang mencerminkan pembiayaan untuk membiayai jual beli dan
membiayai sewa menyewa, tentu membawa implikasi tidak adanya pengenaan PPN.
*) Finance Division Head, Marketing Division Head, Training & HR Services Division Head, KARIM Business Consulting, respectively
Perlakuan Akuntansi Berpotensi Terkena PPN Tidak Berpotensi Terkena PPN
Transaksi Murabahah:
Dr. Aset Murabahah
Cr. Kas
Dr. Piutang Murabahah
Cr. Marjin Murabahah ditangguhkan
Cr. Aset Murabahah
Pembiayaan Murabahah
Dr. Aset Pembiayaan Murabahah
Cr. Kas
61
Dr. Piutang Murabahah
Cr. Marjin Murabahah ditangguhkan
Cr. Aset Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan Ijarah:
Dr. Aset Pembiayaan Ijarah
Cr. Kas
Dr. Biaya Penyusutan
Cr. Akumulasi Penyusutan aset pembiayaan ijarah
(waktu penyusutan mengikuti jangka waktu pembiayaan bukan mengikuti
metode penyusutan aset tetap, karena yang disusutkan adalah aset pembiayaan
bukan aset tetap)
Dr. Kas
Cr. Pendapatan pembiayaan sewa
Dr. Akumulasi penyusutan aset pembiayaan ijarah
Cr. Aset pembiayaan ijarah
Pembiayaan Salam:
Dr. Piutang Salam
Cr. Kas
Dr. Aset Pembiayaan Salam
Cr. Piutang Salam
Dr. Piutang Salam
Cr. Marjin Salam ditangguhkan
Cr. Aset Pembiayaan Salam
Pembiayaan Istishna:
Dr. Aset Pembiayaan Istishna dalam Penyelesaian
Cr. Utang Istishna
Dr. Utang Istishna
Cr. Kas
Dr. Piutang Istishna
Cr. Marjin Istishna
Cr. Aset Pembiayaan Istishna dalam Penyelesaian
Pembiayaan Murabahah:
Bank sebagai Pemberi Pembiayaan Murabahah
Nasabah sebagai Penerima Pembiayaan
Murabahah
Objek yang dibiayai jual belinya
Pembiayaan Ijarah:
Bank/Perusahaan Pembiayaan sebagai Pemberi Pembiayaan sewa
Nasabah sebagai Penerima Pembiayaan Sewa
Objek yang dibiayai sewanya
Pembiayaan Salam:
Bank/Perusahaan Pembiayaan sebagai Pemberi Pembiayaan Salam
Nasabah sebagai Penerima Pembiayaan Salam
Objek yang dibiayai jual belinya
61
Berpotensi Terkena PPN Tidak Berpotensi Terkena PPN
Transaksi Istishna:
Bank/Perusahaan Pembiayaan sebagai Pemesan Barang Istishna
Nasabah sebagai Pembeli Akhir
Objek jual beli Istishna
Pembiayaan Istishna:
Bank/Perusahaan Pembiayaan sebagai Pemberi Pembiayaan Istishna
Nasabah sebagai Penerima Pembiayaan Istishna
Objek yang dibiayai jual belinya
Hal terbaik yang dapat dilakukan oleh pelaku keuangan syariah saat ini adalah menyusun
dengan cermat perlakuan akuntansi dan dan draft perjanjian hukumnya agar benar-benar
secara konsisten mencerminkan transaksi pembiayaan syariah dan menghindari
kerancuan antara makna ”membiayai jual beli” dan ”melakukan jual beli”, ”membiayai
sewa” dan ”melakukan sewa”.
61
Lampiran Contoh Produk Asuransi Syariah (surat berharga syariah)
Tuntas Madani (Tuntunan Tabungan dan Asuransi Syariah Madani) Merupakan produk
unit link syariah yaitu tabungan (investasi) yang disertai dengan perlindungan asuransi
syariah berbasis perencanaan keuangan. Tuntas Madani merupakan program kerjasama
MQ Multi Media (MQ GROUP) dengan PANINLIFE
PAKET PERUSAHAAN
MANFAAT PERLINDUNGAN
Contoh Bonus Tabungan *) dengan premi Rp100.000,- /bulan yang akan tersedia selain
manfaat Asuransi Tuntas Madani untuk Program Pensiun bagi karyawan yang berusia 25
– 45 tahun:
61
PAKET KELUARGA
2. Santunan Penyakit kritis ---------- Rp. 50.000.000,- Berlaku untuk ayah, ibu, Ibnu, Budi
dan Iwan.
3. Pembebasan setoran s/d usia 45 tahun sejumlah Rp. 12.000.000,- per tahun
apabila ayah terkena salah satu jenis penyakit kritis yang ter-cover di TUNTAS
MADANI (terdapat 36 jenis penyakit kritis yang ter-cover di TUNTAS MADANI)
PAKET HEMAT
Manfaat perlindungan:
Pembebasan setoran s/d usia 45 tahun sejumlah Rp. 3.600.000,- per tahun
apabila ayah terkena salah satu jenis penyakit kritis yang ter-cover di TUNTAS
MADANI. (terdapat 36 jenis penyakit kritis yang ter-cover di TUNTAS MADANI)
PAKET PENDIDIKAN
Manfaat Perlindungan:
1. Rawat inap di RS ---------Rp. 400.000,- per hari maksimum 90 hari per tahun
2. Rawat inap di ICU---------Rp. 800.000,- per hari maksimum 45 hari per tahun
3. Rawat inap di eropa/USA - Rp. 400.000,- per hari maksimum 45 hari/tahun
4. Pembebasan setoran s/d anak usia 25 tahun -- Rp. 6.000.000,- per tahun
Bila ayah terdiagnosa salah satu penyakit kritis, cacat tetap dan total, atau
meninggal dunia.
5. Cacat tetap total :
20% UP di tahun pertama -----------Rp. 4.800.000,-
80% UP di tahun kedua -------------Rp. 19.200.000,-
6. Santunan meninggal dunia Rp. 24.000.000,-, jika anak meninggal dunia
7. Santunan meninggal dunia Rp. 48.000.000,-, jika ayah meninggal dunia
Keterangan: :
Produk TUNTAS MADANI merupakan produk yang Customize (menyesuaikan dengan
kebutuhan nasabah). Contoh di atas merupakan contoh ilustrasi dengan estimasi bagi
hasil setiap tahun sebesar 14%.
Tahun 2009 ini perekonomian dunia diperkirakan akan mengalami perlambatan yang
juga akan berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Di tengah terjadinya krisis
eknomi global kali ini, diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan hanya
tumbuh sekitar 4%. Angka pertumbuhan ini boleh dikatakan sangat tidak memadai,
karena suatu penelitian memperkirakan bahwa untuk menyerap tenaga kerja dan
menghindari bertambahnya pengangguran, ekonomi Indonesia harus tumbuh sekitar
61
8%. Dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 4%, diperkirakan tahun ini
jumlah pengangguran akan bertambah.
Akibat kondisi di atas, maka pemerintah di tahun 2009 ini, terpaksa menambah
pengeluaran belanjanya untuk membantu memutar roda perekonomian. Padahal di saat
yang bersamaan, pendapatan pemerintah sedang turun akibat turunnya harga
komoditas. Pendapatan pajak juga diperkirakan akan menurun karena pendapatan pajak
akan sangat tergantung dari kondisi ekonomi. Jika ekonomi baik, tentunya penerimaan
pajak akan tinggi. Sebaliknya jika ekonomi dalam kondisi seperti saat ini, laba dunia
usaha akan menurun sehingga penerimaan pajak juga akan turun.
Akibat bertambahnya pengeluaran dan menurunnya pendapatan, maka tahun ini defisit
APBN pemerintah diperkirakan akan meningkat. Untuk menutupi defisit tersebut,
pemerintah terpaksa ‘kas-bon’ (alias Utang). Salah satu instrumen Utang yang akan
dipakai oleh pemerintah di tahun ini adalah SUKUK RITEL
SUKUK RITEL yang pertama akan diterbitkan pada Februari 2009, dengan ketentuan:
SUKUK RITEL ini diterbitkan berdasarkan akad ijarah (akad sewa menyewa atas suatu
aset). Aset SBSN yang disewakan merupakan Barang Milik Negara (BMN) yang
memiliki nilai ekonomis seperti tanah dan bangunan. Penggunaan aset SBSN dapat
dilakukan dengan cara dijual, disewakan, atau cara lain yang mengacu kepada prinsip
syariah. Sebagai informasi, di awal merencanakan untuk menerbitkan sukuk,
pemerintah telah menyediakan underlying asset senilai Rp18 triliun. Dan itu baru
terpakai sekitar Rp4 triliun ketika menerbitkan sukuk perdana di pasar domestik,
Agustus lalu. Dengan demikian masih ada sekitar Rp 14 triliun asset yang bisa dipakai
sebagai dasar penerbitan SUKUK.
61
Untuk mendukung penerbitan sukuk negara ritel, pemerintah telah menunjuk konsultan
hukum dan agen penjual. Konsultan hukum dimaksud adalah Marsinih Martoatmodjo
Iskandar Kusdihardjo Law Office. Adapun agen penjual akan terdiri dari 13 perusahaan
yang terdiri dari empat bank umum konvensional, satu bank umum syariah, dan
delapan perusahaan efek. Berikut ini adalah daftar agen penjualnya:
Meskipun demikian, ada suatu faktor lagi yang perlu diperhitungkan. Jika kita lihat
kembali beberapa tahun lalu, sewaktu menerbitkan ORI001, pemerintah memilih untuk
memberikan imbal hasil yang tinggi (12,05%). Strategi ini digunakan sebagai taktik
marketing pemerintah untuk lebih menarik minat investor, mengingat ORI pada saat itu
masih merupakan produk baru.Bukan tidak mungkin strategi yang sama kembali
diterapkan oleh pemerintah.
Salah satu target SUKUK RITEL ini adalah para pemegang deposito (deposan) yang
masih menaruh dananya di deposito yang meberikan tingkat bunga tinggi (10% -12%).
Mengingat saat ini LPS sudah menurunkan tingkat bunga penjaminan menjadi 9.5%,
diharapkan dengan adanya penurunan tingkat bunga penjaminan ini akan membuat
deposan lebih tertarik untuk memindahkan dananya ke SUKUK RITEL yang lebih
aman. Meskipun demikian, untuk bisa menarik para pemegang dana tersebut, tentunya
imbal hasil SUKUK RITEL tidak boleh ‘kalah‘ terlalu jauh.
61
Pada akhirnya, perkiraan imbal hasil SUKUK RITEL tersebut hanyalah sebuah
‘perkiraan’. Kita tunggu saja berapa besaran imbal hasil yang akan diberikan oleh
pemerintah melalui SUKUK RITEL ini. Jadi bagaimana? Ada pembaca blog yang
tertarik untuk berinvestasi di SUKUK RITEL perdana ini? (sumber:
janganserakah.com)
Nasabah bisa memilih jenis yang diinginkan, selain itu juga bisa men-switch
(mengganti) dari jenis satu ke jenis lain sewaktu-waktu. Apabila nasabah memilih jenis
Istiqamah, maka akan mendapatkan return 6-10 persen, sedangkan Mizan 10-15 persen,
dan Ahsan lebih dari 20 persen. “Untuk jenis low risk, dana akan dimasukkan ke dalam
pasar uang atau obligasi. Jenis middle, sebanyak 20 persen dana akan diinvestasi ke
saham, dan 80 persen dana akan diinvestasikan ke saham untuk yang high risk.
Manfaatkanlah momen ini untuk berasuransi sekaligus berinvestasi untuk masa depan
yang lebih baik. Kalau boleh saya ibaratkan mungkin seperti "saham perdana" (IPO).
Umumnya suatu perusahaan bila mengeluarkan "saham perdana" nilai sahamnya masih
kecil tapi kedepannya nilainya langsung naik drastis karena itulah tidak heran bila suatu
perusahaan akan mengeluarkan saham perdana antrian calon pembeli panjang sekali.
Masa depan di tangan Anda dengan solusi yang transparan dan lebih Mandiri. Kenapa
memillih Takafulink Salam?
- Murni Syariah,
- Lebih menentramkan,
- Biaya pengelolaan yang efisien,
- Bebas memilih jenis investasi sesuai dengan kebutuhannya,
- Berpeluang memperoleh hasil investasi yang lebih optimal,
- Kapan saja bisa meningkatkan dana investasi (top up),
- Keleluasan untuk menempatkan dana investasi,
- Bebas menentukan proteksi sesuai dengan kebutuhan, dan
- Bebas memilih cara pembayaran
61