Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1. Definisi dan Nalar Konsep


2.1.1. Kepemimpinan Strategis
2.1.1.1. Definisi Kepemimpinan Strategis
Finkelstein dan Hambrick (1996) mengartikan
kepemimpinan strategis adalah kemampuan para eksekutif yang
memiliki tanggungjawab penuh terhadap karakteristik setiap
individu, aktivitas setiap individu dan cara setiap individu
melakukan aktivitas serta dampak yang ditimbulkan dari aktivitas
itu memengaruhi hasil dan tujuan organisasi. Hitt dan Ireland
(2009) mendefinisikan kepemimpinan strategis sebagai “the ability
to anticipate, envision, maintain flexibility and empower others to
create strategic change as necessary. Dan, Serfontein and Hough
(2011) sependapat dengan Rowe mendefinisikan kepemimpinan
strategis adalah “the ability to influence others to voluntarily make
day-to-day decisions that enhance the long-term viability of the
organisation, while at the same time maintaining its short-term
financial stability”.
Phipps dan Burbach (2011) mengutip pendapat Cannella
& Monroe menyebutkan hal mendasar dari kepemimpinan strategis
yakni visi pemimpin dan interpretasinya terhadap informasi yang
datang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut, kemampuan
berpikir (wawasan) dan kepribadian dari pemimpin itu sendiri.
Pendapat ini mendukung pernyataan Hambrick dan Mason yang
mengusulkan apa yang kemudian dikenal sebagai Upper Echelon
Theory. Penegasan utama teori ini adalah bahwa para “pemimpin
pada umumnya beroperasi pada tingkat strategis, sehingga
organisasi merupakan refleksi dari kognisi dan nilai-nilai dari
manajer puncak mereka. Karena itu, pengetahuan khusus,
pengalaman, nilai-nilai, dan preferensi dari manajer puncak akan
mempengaruhi penilaian mereka tentang lingkungan eksternal dan
pilihan yang mereka buat terkait dengan strategi organisasi”.
Maksudnya adalah dalam mengembangkan kapasitas
kepemimpinan strategis harus dimulai dengan perubahan pola pikir
baik individu/karyawan maupun organisasi. Kepemimpinan
strategis adalah proses bukanlah posisi, yang menuntut
keterlibatan dan komitmen untuk belajar.
2.1.1.2. Komponen Kepemimpinan Strategis
Hitt,et.,all (2009) mengusulkan ada lima komponen utama
kepemimpinan strategis yang efektif yaitu 1) menentukan arah
strategis organisasi (visi dan misi), 2) efektif mengelola sumber daya
organisasi (kompetensi inti, sumber daya manusia dan modal
sosial), 3) mempertahankan budaya organisasi yang efektif, 4)
menekankan praktek etika dan 5) membangun keseimbangan
kontrol organisasi. Sejalan dengan itu, Carpenter dan Sanders
(2009) menggambarkan bahwa kepemimpinan strategis
bertanggung jawab untuk (1) membuat dukungan pelaksanaan
keputusan substantif dan pengalokasian sumber daya, (2)
mengembangkan dukungan terhadap strategi dari para pemangku
kepentingan utama (stakeholders). Menurut keduanya
kepemimpinan strategis memerlukan orang yang tepat sebagai
informan kunci dalam menyebarkan keputusan-keputusan penting
dalam perusahaan.
Selanjutnya Yukl (2010) juga berpendapat bahwa
kemampuan pemimpin melakukan tindakan strategisnya
bergantung pada faktor historis organisasi (budaya organisasi) yang
dipengaruhi oleh perubahan lingkungan eksternal (hadirnya
kompetitor baru, perkembangan teknologi, menurunnya permintaan
jasa/produk, iklim politik/peraturan yang berbeda), penguatan
strategi dan peningkatan konsistensi antara strategi, struktur
organisasi, budaya dan sumber daya manusia. Nilai budaya yang
kuat dalam memahami prosedur kerja, kekuatan dari stabilitas
(status quo) atau kekuatan untuk berubah, kekuatan koalisi dari
para pemimpin puncak untuk mempertahankan kekuasaan dan
masa jabatan, adalah faktor-faktor lain yang turut berpengaruh.
Sedangkan Kuncoro (2011) menjelaskan bahwa karena
sifatnya yang multifungsi, maka kepemimpinan strategis harus
melibatkan segenap sumber daya manusia dalam organisasi. Dalam
menghadapi kompleksitas dan sifat global dari medan yang
kompetitif, maka perkataan, tindakan dan kemampuannya
mewujudkan visi yang hendak dicapai haruslah secara efektif dapat
memengaruhi perilaku, pikiran dan perasaan para karyawan yang
dipimpinnya.
Pendekatan strategis dalam gambaran ini tidak hanya
dilakukan pada organisasi profit. Menurut Phipps dan Burbach
(2010) dalam penelitiannya terhadap organisasi non-profit bahwa
inti kepemimpinan strategis adalah tentang kemampuan pemimpin
untuk “menciptakan dan memelihara kapasitas dalam organisasi
yakni kapasitas belajar (learning capacity), kapasitas perubahan
(capacity for change), kapasitas kebijakan manajerial (managerial
wisdom), konteks organisasi (context matters), inovasi organisasi
(organizational innovation) dan terobosan misi ( mission trajectory)”.
Sedangkan Kahar (2008) sependapat dengan Nanus dan Dobbs
yang menemukan model khusus untuk memahami peran pemimpin
terutama di organisasi non-profit yaitu: 1) inside the organization
(interaksi, inspirasi, motivasi dan pemberdayaan), 2) outside
organization (kerjasama dengan donatur, mitra bisnis yang potensial
di luar organisasi), 3) present organization (fokus pada kualitas dan
pelayanan, struktur, sistem informasi dan aspek lainnya), 4) on
future possibilities (antisipasi trends dan mengembangkan arah
masa depan organisasi).
2.1.1.3. Karakteristik Kepemimpinan Strategis Vs
Kepemimpinan Tranformasional

Pendekatan Kepemimpinan Transformasional memiliki


kesamaan pendekatan dengan pendekatan kepemimpinan strategis.
Gagasan James MacGregor Burns tahun 1978 telah membedakan 2
jenis kepemimpinan yakni Kepemimpinan Transaksional dan
Kepemimpinan Transformasional. Burns dalam Bass dan Riggio
(2006) mengemukakan bahwa pemimpin transaksional adalah
mereka yang memimpin lewat pertukaran sosial. Misalnya, politisi
memimpin dengan cara “menukar satu hal dengan hal lain:
pekerjaan dengan suara atau subsidi dengan kontribusi
kampanye”. Sedangkan pemimpin tipe transformasional adalah
mereka yang merangsang dan mengispirasikan pengikutnya untuk
mencapai sesuatu yang tidak biasa dan dalam prosesnya
mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sendiri; membantu
pengikutnya untuk berkembang dan membuat mereka jadi
pemimpin baru dengan cara merespon kebutuhan-kebutuhan yang
bersifat individual dari para pengikut; memberdayakan para
pengikut dengan cara menselaraskan tujuan yang lebih besar
individual para pengikut, pemimpin, kelompok dan organisasi.
Lebih lanjut dikatakan kepemimpinan transformasional dapat
mengubah pengikut melebihi kinerja yang diharapkan, sebagaimana
mereka mampu mencapai kepuasan dan komitmen pengikut atas
kelompok ataupun organisasi.
Pendekatan kepemimpinan strategis memiliki ciri dan
karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan
kepemimpinan tranformasional. Dari paparan Yukl (2010) dalam
temuan empirisnya dapatlah dikemukakan beberapa karakteristik
perilaku pemimpin strategis yakni 1) berani mengambil tindakan
tegas terutama disaat menghadapi krisis, 2) kompetensi melakukan
perubahan yang tahan lama, 3) tahu apa yang dilakukan dan
mampu mengendalikan peristiwa/situasi, 4) menghargai kinerja
yang baik namun tidak menyalahkan kondisi eksternal karena
kinerja yang buruk.
Karakteristik lain dari kepemimpinan strategis disebutkan
dalam tulisan Creative Centre Leadership CCL Strategi – Whitepaper
(2004) bahwa ada beberapa karakteristik/ciri utama kepemimpinan
strategis berkualitas untuk meningkatkan kinerja unggul : 1) loyalty
(kemampuan dan efektifitas menunjukkan kesetiaan pada visi,
kata-kata dan tindakan), 2) keeping them updated (menjaga
pembaharuan informasi tentang organisasi), 3) judicious use of
power (bijaksana menggunakan kekuasaan dalam mengembangkan
persetujuan bagi ide-ide ketimbang memaksakan ide-ide tersebut) 4)
have wide perspective/outlook (memiliki wawasan, ketrampilan dan
pengetahuan yang luas), 5) motivation (memiliki semangat untuk
bekerja melampaui uang dan kekuasaan), 6) compassion
(memahami persepsi dan perasaan bawahan, keputusan diambil
setelah mempertimbangkan bawahan), 7) self-control (memiliki
potensi untuk mengendalikan suasana hati dan keinginan yang
mengganggu; berpikir sebelum bertindak) 8) social skills (ramah dan
punya sifat sosial), 9) self awareness (potensi untuk memahami
suasana hati dan emosi serta dampaknya terhadap orang lain), 10)
readiness to delegate and authorize (menyadari bahwa delegasi akan
menghindari over-loading tanggungjawab, mengakui kenyataan
bahwa bawahan juga punya otoritas untuk membuat keputusan
yang akan memotivasi mereka), 11) articularly (artikulasi yang
cukup untuk mengkomunikasikan visi kepada anggota organisasi
dalam meningkatkan peran para anggota), 12) constancy/ reliability
(menjadikan visi organisasi menjadi komponen budaya organisasi)
Bianco dan Schermerhorn (2004), berpendapat bahwa ciri
atau karakteristik kepemimpinan strategis yakni: terlibat dalam
perubahan, lebih proaktif dalam mengkomunikasikan perubahan,
tidak bersedia mengubah kepemimpinan menjadi konsultan
eksternal serta tidak sekedar memiliki visi perubahan namun
disertai kapasitas berkelanjutan untuk implementasi perubahan,
selalu mendorong terciptanya perubahan perilaku secara positif,
mandiri dan memungkinkan orang lain melakukan hal yang sama
serta berani mengambil resiko.
Para peneliti terdahulu menemukan bahwa seorang
pemimpin memiliki peran yang strategis dalam membawa organisasi
yang dipimpinnya mencapai tujuan organisasi baik melalui motivasi
untuk meningkatkan kinerja karyawan. Ogbonna dan Harris (2000)
dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kepemimpinan yang
diperankan dengan baik oleh seorang pemimpin mampu memotivasi
karyawan untuk bekerja lebih baik, hal ini akan membuat karyawan
lebih hati-hati berusaha mencapai target yang diharapkan
perusahaan, hal tersebut berdampak pada kinerjanya. Susanto
dan Aisyah (2010) menyimpulkan dalam penelitiannya kepada
karyawan di Kantor Pertanahan Kabupaten Kebumen bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan terhadap
motivasi dan kepemimpinan terhadap kinerja karyawan. Begitu
pentingnya peran pemimpin sehingga Hayatuddin (2012)
menyarankan dalam penelitiannya bahwa faktor kepemimpinan
tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja pegawai
non struktural apabila pola kepemimpinan yang ditampilkan tidak
sesuai dengan dinamika organisasi yang dipimpinnya.
Dari beberapa pengertian dan hasil penelitian diatas
dapatlah disimpulkan bahwa karakteristik kepemimpinan strategis
adalah 1) visioner, misioner dan strategis yakni memiliki,
memahami dan mengkomunikasikan visi dan misi, mampu
merumuskan dan merealisasikan strategi serta memiliki
pengetahuan, terampil dan berwawasan luas, 2) berorientasi pada
perubahan menunjukkan bahwa pemimpin menyukai dan selalu
terlibat dalam perubahan, memiliki tujuan dan arah yang jelas,
future-oriented dan suka menetapkan prioritas, 3) mampu
membangun relasi yang kuat tergambar dari selalu bertindak
bijaksana, melibatkan bawahan dalam mengembangkan ide,
memberi kesempatan kepada bawahan untuk membuat keputusan,
selalu menyelesaikan tanggungjawab dengan segera dan memiliki
jejaring sosial luas dengan berbagai pihak, 4) memiliki personal
style dan personal skills seperti proaktif, pengendalian emosi,
bersemangat, peduli terhadap bawahan, bekerja melampaui uang
dan kekuasaan serta berani mengambil resiko.
2.1.2. Budaya Organisasi
2.1.2.1. Pengertian Budaya Organisasi
Robbins et al. (2008) mendefinisikan budaya organisasi
adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para
anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi-
organisasi lainnya. Hofstede (2010) mendefinisikan budaya
organisasi adalah hasil susunan pemikiran bersama yang
membedakan anggota-anggota sebuah organisasi dengan yang lain.
Schein (2004) mendefinisikan budaya organisasi sebagai
“pola asumsi dasar – diciptakan, ditemukan atau dikembangkan
oleh kelompok tertentu saat mereka menyesuaikan diri dengan
masalah-masalah eksternal dan integrasi internal – yang telah
bekerja cukup baik serta dianggap berharga dan karena itu
diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk
menyadari, berpikir dan merasakan hubungan dengan masalah
tersebut”.

Sementara itu, pendapat Carwright yang dikutip Wibowo


(2013) memahami budaya sebagai penentu yang kuat dari
keyakinan, sikap dan perilaku orang dan pengaruhnya dapat diukur
melalui bagaimana orang termotivasi untuk merespons lingkungan
budaya mereka.
2.1.2.2. Karakteristik, Tipe dan Fungsi Budaya Organisasi
Ada 7 karakteristik budaya organisasi menurut
Robbins,et.al., (2008) yakni : inovasi dan keberanian mengambil
resiko, perhatian terhadap detail, berorientasi pada hasil,
berorientasi kepada manusia, berorientasi pada tim, agresivitas dan
stabilitas. Terkait dengan karakteristik budaya organisasi, menurut
Luthans (2009) ada beberapa yang penting diantaranya aturan
perilaku yang diamati, norma, nilai dominan, filosofi, aturan, iklim
organisasi.
Menurut Hofstede (2010) ada 6 dimensi budaya organisasi
yakni 1) process oriented – result oriented (orientasi proses atau
orientasi hasil), 2) employee oriented-job oriented (orientasi pada
karyawan atau orientasi pada pekerjaan), 3) parochial-professional
(berhubungan dengan organisasi atau berhubungan dengan pribadi
yang profesional, 4) open system-closed system( sistem terbuka atau
sistem tertutup), 5) loose control-tight control( pengawasan yang
lemah atau pengawasan yang ketat), 6) pragmative-normative
(pragmatis atau normatif). Sedangkan Djatmiko (2008) mengutip
pemahaman Greenberg dan Baron yang menyebutkan “budaya
adalah kerangka kerja kognitif yang terdiri atas sikap, nilai, norma
perilaku dan harapan yang dibentuk oleh para anggotanya” maka
menurut pendapat mereka ada 7 unsur budaya organisasi yakni
inovasi, stabilitas, orientasi terhadap orang, orientasi terhadap
hasil, perhatian yang mendetail, easy-goingness dan orientasi pada
kerjasama.
Mengenai tipe budaya organisasi, Kreitner dan Kinicki
(2005) mengemukakan bahwa tipe-tipe budaya sebagai berikut :
pertama, tipe budaya konstruktif (terkait dengan pencapaian tujuan
aktualisasi diri, penghargaan dan persatuan), kedua, tipe budaya
pasif-defensif (berhubungan dengan persetujuan, konvensional,
ketergantungan dan penghindaran) dan ketiga, tipe budaya agresif-
defensif.
Berkaitan dengan tipe budaya seperti disebutkan
sebelumnya. Kreitner dan Kinicki juga menyebutkan bahwa
terdapat 4 fungsi budaya organisasi yaitu 1) memberikan identitas
organisasi kepada karyawannya (misalnya karyawan yang inovatif
diberi penghargaan dari perusahaan), 2) memudahkan komitmen
kolektif, (seorang karyawan terdorong berkomitmen dan merasa
bangga karena diberi banyak kesempatan melakukan pekerjaan
berbeda dan meningkatkan karier), 3) mempromosikan stabilitas
sistem sosial (mengkondisikan lingkungan kerja positif dan
mendukung serta mengelola konflik dengan efektif), 4) membentuk
perilaku dengan manajer merasakan keberadaannya,(berfungsi
menolong karyawan memahami mengapa perusahaan melakukan
apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana mencapai tujuan
jangka panjangnya).
2.1.2.3. Kekuatan dan Penghambat Budaya Organisasi
Kotter dan Heskett dalam tulisannya yang dikutip Wibowo
(2013) memberikan beberapa indikator kekuatan budaya organisasi
sebagai berikut : a) memiliki dampak signifikan pada kinerja
ekonomi untuk jangka panjang, b) dapat menentukan kesuksesan
atau kemunduran perusahaan beberapa tahun yang akan datang, c)
mencerminkan kinerja finansial yang lama dan kokoh serta mudah
perkembangannya, d) meningkatkan kinerja karyawan. Sekalipun
demikian, budaya organisasi dapat juga menjadi penghambat dalam
aktivitas dan kelangsungan sebuah organisasi. Robbins et al.,
(2008) menggambarkan hambatan-hambatan tersebut sebagai 1)
hambatan terhadap perubahan terjadi ketika konsistensi perilaku
tidak bisa beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan bisnis,
2) hambatan bagi keragaman saat kultur yang kuat berhadapan
dengan masuknya kekuatan-kekuatan unik yang beragam latar
belakang yang dibawa oleh anggota-anggota organisasi yang baru,
3) hambatan bagi akuisisi dan merger, pertentangan kultur antar
perusahaan menjadi sebab gagalnya akuisisi dan merger mencapai
sasarannya.
Tika dalam Brahmasari,et.al (2008) menyimpulkan proses
pembentukan budaya organisasi melewati 4 tahapan, yaitu tahap
pertama terjadinya interaksi antar pimpinan atau pendiri organisasi
dengan kelompok/perorangan dalam organisasi; tahap kedua
adalah interaksi memunculkan ide-ide yang ditransformasikan
menjadi artifak, nilai dan asumsi; artifak, nilai, dan asumsi
kemudian diimplementasikan sehingga membentuk budaya
organisasi adalah tahap ketiga; dan tahapan terakhir adalah
mempertahankan budaya organisasi melalui pembelajaran (learning)
kepada anggota baru dalam organisasi.
Koesmono (2005) mengemukakan bahwa bila organisasi
menjadi kuat serta tujuannya dapat terakomodir merupakan bukti
bahwa budaya organisasi itu produktif. Pendapatnya ini
disimpulkan dari hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa
budaya organisasi memengaruhi motivasi serta kinerja karyawan
Sub Sektor Industri Pengolahan Kayu Skala Menengah di Jawa
Timur.
Berdasarkan pengertian dan hasil penelitian diatas maka
elemen-elemen yang melekat dalam budaya organisasi itu ialah 1)
profesionalisme yakni karyawan mengetahui apa tujuan
pekerjaannya, berpikir jauh kedepan, penghargaan dan senang
berinovasi, 2) keterbukaan dan keteraturan yaitu organisasi memiliki
sistem dan aturan main yang jelas, karyawan bebas
mengembangkan ide dan kemampuan diri sendiri, kesetiakawanan
sosial dan saling menghargai, perasaan aman dan nyaman dalam
bekerja, 3) ketaatan pada peraturan adalah promosi jabatan yang
transparan, selalau terarah dan fokus dalam melaksanakan tugas,
berkomitmen menjaga citra baik organisasi serta disiplin.
2.1.3. Motivasi
2.1.3.1. Pengertian Motivasi
Robbins et al. (2008) mengemukakan bahwa motivasi
adalah “keinginan untuk melakukan” sebagai kesediaan
mengeluarkan upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi,
sebagaimana yang dikondisikan oleh kemampuan itu dalam upaya
memenuhi suatu kebutuhan individual”. Definisi lain dari Jones
seperti yang dikutip dalam Wijono (2010) mendefinisikan motivasi
sebagai “how behavior get started, is energized, is sustained, is
director, is stopped and what kind of subjective reaction is presentin
the organism while all this is oing on”. Selanjutnya Steers dan Porter
mengemukakan bahwa motivasi dapat dipahami melalui tiga aspek
ini yaitu yang membangkitkan (energizes) tingkah laku, yang
mengarahkan (direct) atau menghubungkan (channels) tingkah laku
dan mempertahankan (maintained) tingkah laku.
2.1.3.2. Teori Motivasi
2.1.3.2.1 Teori Kebutuhan
Ada beberapa ahli yang telah mengembangkan Teori
Kebutuhan sebagaimana yang dikutip Stoner (1996). David Mc
Cleland yang menekankan kebutuhan itu pada tiga hal : 1)
kebutuhan berprestasi 2) kebutuhan untuk berafiliasi dan 3)
kebutuhan terhadap kekuatan.
Frederick Herzberg,et.al dikenal dengan Teori Dua Faktor.
Menurut Herzberg, faktor penyebab kepuasan (faktor hygiene)
seperti gaji, kondisi kerja dan kebijakan perusahaan mempengaruhi
konteks lingkungan kerja, sedangkan faktor penyebab
ketidakpuasan (faktor memotivasi) termasuk prestasi, pengakuan,
tanggung jawab dan kemajuan terkait dengan isi pekerjaan dan
imbalan atas prestasi kerja.
Teori Hierarki Kebutuhan menurut Abraham Maslow
(1970) mengasumsikan bahwa individu akan termotivasi untuk
memenuhi kebutuhan yang paling menonjol atau paling kuat
baginya diwaktu tertentu. Ada lima macam kebutuhan individu
secara hierarki adalah 1) kebutuhan fisiologis (physiological needs),
2) kebutuhan keamanan (safety and security needs), 3) kebutuhan
sosial (social needs), 4) kebutuhan harga diri ( esteem needs) dan 5)
kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs).
2.1.3.2.2 Teori ERG
Teori Kebutuhan ini dikembangkan oleh Clayton
Alderfer dan disebut Teori ERG. Teori ini mendukung pengukuran
motivasi dengan teori Maslow namun, Alderfer membedakan
teorinya dengan dua hal prinsip ini sebagai berikut : pertama,
membedakan kebutuhan hanya menjadi tiga kategori 1) kebutuhan
eksistensi (Excistence), 2) kebutuhan keterkaitan (Relatedness) dan
3) kebutuhan pertumbuhan (Growth), kedua, Alderfer memandang
bahwa setiap individu berjalan naik turun pada hirarki kebutuhan
sesuai waktu dan situasinya, sedangkan Maslow menyatakan
bahwa individu akan bergerak naik mencapai puncak teratas
kebutuhannya, (Wijono, 2012). Teori ERG berbeda dengan Teori
Kebutuhan Maslow dalam tiga cara berikut yang lebih fleksibel: 1)
tidak seperti hierarki Maslow yang kaku, teori ERG memberi
kemungkinan berbagai tingkat kebutuhan dapat diupayakan secara
bersamaan, 2) teori ini memungkinkan bahwa urutan kebutuhan
individu yang satu berbeda dengan urutan kebutuhan individu yang
lain, 3) teori ERG mengakui bahwa jika kebutuhan tingkat yang
lebih tinggi tetap terpenuhi, individu tersebut bisa mundur dengan
kebutuhan tingkat yang lebih rendah yang muncul lebih mudah
untuk dipenuhi.
2.1.3.3. Motif dan Faktor Motivasi
Dalam diri individu terdapat beberapa motif atau
kebutuhan. Implikasi dari teori ERG yang dikembangkan Alderfer
maka motif kebutuhan berdasarkan teori ini dapat diklasifikasikan
dalam 3 kelompok yaitu pertama, kebutuhan eksistensi (needs of
existence) yang berhubungan dengan kelangsungan hidup
(kesejahteraan fisiologis), kedua, kebutuhan hubungan (needs of
relatedness) yang menekankan pentingnya hubungan sosial atau
relasi antar pribadi, dan ketiga, kebutuhan perkembangan (needs of
growth) yaitu keinginan intrinsik individu untuk mengembangkan
diri, (Luthans,2006).
Chaudary dan Sharma (2012) menulis dalam tulisan
mereka mengenai Impact of Employee Motivation on Performance
(Productivity) in Private Organization bahwa yang dimaksud dengan
faktor-faktor motivasi adalah kepuasan kerja, prestasi, lamanya
bekerja, kebutuhan uang/gaji serta penghargaan. Menurut
keduanya, seorang pemimpin mempunyai peran untuk
membangkitkan minat, menciptakan antusiasme agar karyawan
melakukan yang terbaik dari kemampuan yang mereka miliki.
Kegagalan organisasi umumnya terletak pada kurangnya pemimpin
memahami pentingnya motivasi dalam mencapai visi dan misi
organisasi. Bahkan pendapat mereka, bahwa walaupun pemimpin
memahami pentingnya motivasi, jika ia tidak mempunyai
keterampilan dan pengetahuan untuk menyediakan
lingkungan/budaya organisasi yang dapat memotivasi karyawan,
maka hal tersebut tak efektif mendorong terjadinya peningkatan
produktivitas kinerja karyawan. Cong dan Van (2013) menyebutkan
dalam penelitian mereka pada sejumlah karyawan PVNC Vietnam,
dibutuhkan faktor-faktor lain selain gaji dan promosi untuk
memotivasi karyawan, seperti pengembangan karir, kondisi
pekerjaan yang nyaman sekalipun dalam hasil penelitian gaji,
promosi menempati peringkat pertama dan kondisi kerja di
peringkat kedua. Penelitian Murti dan Srimulyani (2013) terhadap
kinerja pegawai PDAM menemukan hasil bahwa motivasi tidak
berpengaruh signifikan apabila kebutuhannya telah terpuaskan,
sebaliknya motivasi berpengaruh signifikan jika kebutuhan pegawai
tersebut belum terpenuhi.
Kesimpulan dari beberapa pengertian dan teori tersebut
diatas adalah setiap orang menginginkan kebutuhannya terpenuhi
melalui apa yang dikerjakannya. Dorongan atau motivasi kerja
berasal dari terpenuhinya dimensi a) kebutuhan eksistensi
(existence needs), terdiri dari kebutuhan dasar dan kebutuhan
tunjangan tambahan b) kebutuhan relasi (relatedness needs) yakni
kebutuhan dalam hubungan dengan atasan dan kebutuhan dalam
hubungan dengan rekan kerja, dan c) kebutuhan untuk bertumbuh
(growth needs).
2.1.4. Kinerja
2.1.4.1. Pengertian Kinerja
Rivai dan Basri (2005) menulis bahwa “kinerja adalah hasil
atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama
periode tertentu didalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan
berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau
sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan
telah disepakati bersama”. Donnelly, Gibson dan Ivancevich dalam
kutipan Rivai,et.al (2005) menyebutkan “kinerja merujuk kepada
tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, kinerja dinyatakan
baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan
baik”. Kata kinerja juga disebut oleh Mathis dan Jackson (2011)
sebagai “apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan“.
2.1.4.2. Kriteria Penilaian Kinerja
Kriteria penilaian kinerja adalah sebuah upaya untuk
mengetahui dan mendapatkan informasi kinerja individu atau tim
untuk memenuhi standar kinerja yang sesuai dengan strategi
organisasi. Untuk memperoleh input/masukan tersebut, organisasi
dapat menggunakan tiga tipe kriteria kinerja, menurut
Jackson,et.,al (2011) yaitu kriteria berdasarkan kepribadian,
kriteria perilaku dan kriteria hasil. Kriteria berdasarkan kepribadian
memusatkan perhatian kepada karakteristik personal seperti
kesetiaan, keandalan, kemampuan berkomunikasi dan
kepemimpinan. Kriteria perilaku memusatkan konsentrasi pada
bagaimana kerja individu dilaksanakan. Adapun kriteria perilaku ini
seperti ketidakhadiran, kelambatan, kecerobohan, kepercayaan,
memberi semangat, mendorong perubahan, menciptakan kerjasama
serta berorientasi pada pelanggan. Dengan mengkombinasikan
timbal balik dari kinerja, penilaian perilaku ini akan sangat berguna
bagi perkembangan pekerja. Fokus dari kriteria hasil ialah pada
apa yang diselesaikan atau dihasilkan daripada bagaimana
pekerjaan dihasilkan dan diselesaikan. Kriteria penilaian ini tidak
dapat efektif diterapkan kepada individu tetapi lebih kepada tim
atau unit kerja. Kelemahan dari hasil penilaian ini adalah
menghilangkan aspek kerja dan mementingkan hasil .
Bagi Mathis dan Jackson (2011) selain elemen-elemen
kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil,
kehadiran dan kemampuan bekerjasama, kriteria pekerjaan
penting dimasukkan ke dalam penilaian kinerja.
2.1.4.3 Kriteria Penilaian Kinerja Karyawan Medik
Pada organisasi rumah sakit terdapat kriteria penilaian
kinerja yang spesifik dalam menilai kinerja karyawannya. Perlu ada
perbedaan terhadap kriteria penilaian kinerja karyawan
administrasi dan kriteria penilaian kinerja karyawan medik. Kriteria
penilaian kinerja karyawan medik menurut Peraturan Pemerintah
RI Nomor 23 tahun 2005 tentang Standar Pelayanan Minimal
Rumah Sakit dan Peraturan Pemerintah RI No 65 tahun 2005
tentang sifat Stándar Pelayanan Minimal Rumah Sakit semestinya
memenuhi persyaratan SMART: Specific (fokus pada jenis layanan),
Measurable (dapat diukur), Achievable (dapat dicapai), Reliable
(relevan dan dapat diandalkan), Time specific (ada batasan waktu).
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI nomor 228 tahun 2002 adalah standar
penyelenggaraan pelayanan medik, pelayanan penunjang,
pelayanan keperawatan dan manajemen rumah sakit. Yang
termasuk dalam manajemen rumah sakit ialah manajemen
sumberdaya manusia, manajemen keuangan, manajemen sistem
informasi rumah sakit, sarana prasarana dan mutu pelayanan.
Berdasarkan kriteria penilaian kinerja tersebut maka
kriteria penilaian kinerja karyawan medik adalah sebagai berikut:
(a). akses terhadap pelayanan (access) menyangkut informasi
prosedur keperawatan dan tindakan penanganan atau diagnosis,
(b). efektifitas dan efisiensi (efficacy and eficiency) dalam menangani
pasien termasuk saran terhadap pasien dan keluarganya terkait
perawatan yang efisien, (c). safety (keamanan) yakni mengetahui
dengan tepat dan menjaga kerahasiaan riwayat kesehatan pasien
serta updated perubahan data intervensi yang diberikan terhadap
pasien, (d). continuity of care (kesinambungan pelayanan) yaitu
peduli kepada faktor emosional dan kebutuhan pasien dan
keluarganya, (e). technical competence (kompetensi tehnis) terkait
dengan standar operasional prosedur yang harus dilakukan dalam
tindakan keperawatan pasien, (f). amenities (kenyamanan) adalah
bekerja dengan jadwal dan sesuai intervensi berdasarkan SOP, (g).
human relation (hubungan antar manusia) ialah selalu menjalin
hubungan kerja yang baik antar sesama rekan paramedis baik
konsultasi maupun berbagi pengalaman.
Sinambela (2012) mengemukakan bahwa kinerja memiliki
tiga dimensi yang saling terkait dan terhubung yakni kemampuan,
motivasi dan peluang. Motivasi yang berasal dari kepuasan akan
hasil yang dicapai memberikan dampak dalam meningkatkan
kinerja.
Dari beberapa pengertian dan uraian yang dikemukakan
ini maka dapatlah dikatakan bahwa kinerja karyawan sebagai
hasil akhir individu terhadap suatu kegiatan yang disengaja,
terencana dan terstruktur didasarkan pada tujuan, misi dan visi
organisasi tersebut. Kinerja karyawan akan tercapai bila didukung
oleh sejumlah faktor diantaranya kepemimpinan, budaya organisasi
dan motivasi. Indikator kinerja karyawan dapat diukur dengan
mengkombinasikan kriteria-kriteria tertentu misalnya antara
kriteria berdasarkan kepribadian dan kriteria perilaku.
2.2. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
Variabel
No Penulis/ Dependen Interve Indepen Alat Analisis Sampel Hasil
Judul ning/ den Penelitian
Modera
ting
01 Iis Torisa Motiva gaya metode Karya-wan Gaya kepemimpinan
Utami,SE,MM si kerja kepemimp kuantita PT Trade transformasional
(2011) karyawan i-nan tif dan hasil Servista-ma secara parsial
Pengaruh gaya transform penelitian Indone-sia berpengaruh terhadap
kepemimpinan a -sional diolah berjum-lah motivasi kerja
Transformasional dengan kurang karyawan 2.Gaya
terhadap motivasi menggunaka lebih 256 kepemimpinan
kerja karyawan n program orang. transformasional
pada PT Trade SPSS versi secara simultan
Servistama 15.0 berpengaruh terhadap
Indonesia motivasi kerja
Tangerang karyawan
02 Ni Ketut Motivasi , Budaya SEM yang Seluruh 1)budaya organisasi
Laswitarni (2010) Kinerja Organisasi dibantu karyawan mempunyai hubungan
Budaya Karyawan , dengan signifikan danpositif
Organisasi, Kepuasan program dengan motivasi. 2)
Kepuasan kerja AMOS Versi Hubungan signifikan
Kerja,Motivasi dan 7.0 dan positif antara
Kinerja Karyawan motivasi kerja dengan
(Suatu studi di PT kinerja karyawan
Delta Satria
Dewata Denpasar)
03 Kiruja EK, Elegwa Motivasi Kinerja SPSS 20 315 Hasil analisis korelasi
Mukuru (2013) Karyawan Analysis of adminis dalam penelitian ini
Effect of Motivation variance trator menunjukkan bahwa
on Employee (ANOVA motivasi karyawan
Performance In memiliki hubungan
Public Middle Level positif yang signifikan
Technical dengan kinerja
TrainingInstitutions karyawan
In Kenya
04. Heri Susanto dan Kinerja Motivasi Kepemimp program Seluruh 1.Pengaruh budaya
Nuraini Aisiyah karyawan Karyawan inan,Buda partial pegawai kerja terhadap kinerja
(2010) ya kerja leastsquare negeri sipil karyawan di
Analisis Pengaruh /PLS berjumlah KantorPertanahan
Kepemimpinan dan 85 orang Kabupaten Kebumen
Budaya Kerja adalah tidak
dengan Motivasi signifikan. 2.Pengaruh
sebagai variable motivasi
intervening terhadapkinerja
terhadap Kinerja karyawan
karyawan di adalah signifikan,
Kantor Pertanahan 3.Pengaruh motivasi
Kabupaten terhadap kinerja
Kebumen adalah signifikan, Hal
ini berarti motivasi
sebagai variabel
intervening terhadap
kinerja bagus

05 Kamaliah, Ahmad Kinerja Gaya SPPS 17.0 32 gaya kepemimpinan,


Rifqi, Mitha Akuntan Kepemimp Responden budaya organisasi dan
Elistha inan motivasi kerja ketiga
(2013) Budaya variabel ini secara
Pengaruh Gaya Organisasi parsial semuanya
Kepemimpinan, ,Motivasi berpengaruh secara
Budaya Organisasi positif dan
dan Motivasi Kerja signifikanmeningkatka
terhadap Kinerja n kinerja akuntan.
Akuntan
Pemerintah (Studi
Empiris
padaAkuntan
BPKP)

Gambaran dalam tabel 2.1. diatas menjelaskan tentang


penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan
variabel-variabel sama yang juga hendak diteliti dalam penelitian
ini. Tetapi variabel kepemimpinan yang disoroti oleh Utami (2011)
adalah gaya kepemimpinan transformasional dan pengaruhnya
terhadap motivasi karyawan, sedangkan dalam penelitian ini
melihat menurut konsep pengaruh kepemimpinan strategis
terhadap motivasi karyawan serta dampaknya kepada kinerja
karyawan. Demikian juga dengan yang diteliti oleh Laswitarni (2010)
melihat pengaruh organisasi dan kepuasan kerja terhadap motivasi
sedangkan dalam penelitian faktor kepuasan kerja menjadi
indikator yang diteliti dalam variabel motivasi kerja. Kiruju dan
Mukuru (2013) tidak melihat pengaruh tetapi hubungan antara
kinerja karyawan dengan motivasi kerja. Kemudian Susanto et al
(2010) dan Kamaliah et al (2013) menggunakan variabel-variabel
yang sama dengan yang dipakai dalam penelitian ini tetapi melihat
pengaruhnya secara langsung (parsial) dan bersama-sama
(simultan). Objek penelitian terhadap kinerja karyawan medic
merupakan hal yang membedakan dengan penelitian penelitian ini
sehingga penelitian ini bersifat research gap sebab ada variabel-
variabel baru dan indikator pengukuran yang tidak sama dengan
penelitian sebelumnya.
2.3. Perumusan Hipotesis
2.3.1. Pengaruh Kepemimpinan Strategis terhadap Motivasi
Kerja

Hughes dan Beatty (2005) menulis dalam buku mereka


“Becoming a Strategic Leader” bahwa fokus dari kepemimpinan
strategis adalah “sustainable competitive advantages” organisasi
untuk mendorong dan menggerakkan segenap kemampuan
karyawan sehingga akan berkembang. Lebih lanjut penjelasan
keduanya bahwa kepemimpinan strategis adalah kapasitas dan
kapabilitas yang dimiliki seseorang atau kelompok yang
bertanggungjawab dan memiliki pengaruh penting untuk menjamin
organisasi itu tetap bertahan hidup. Cara mereka menjaga
keberlanjutan organisasinya adalah dengan bagaimana memotivasi
karyawannya dengan tepat untuk mengubah sumber daya yang tak
bernilai menjadi bernilai, menciptakan peluang dan kesempatan
yang sama bagi para karyawannya untuk terlibat dalam proses itu.
Kemampuan mengambil keputusan-keputusan strategis, tidak
alergi menciptakan budaya organisasi lebih efektif dan
menjalankan bisnis secara beretika serta fokus atau berorientasi
pada masa depan. Dalam aksi-aksi itulah yang menempatkan
kepemimpinan strategis dapat mengelola dan mendorong sumber
daya yang tersedia di organisasinya untuk memberikan kontribusi
lebih dan unik dalam jangka panjang.
H1 : Kepemimpinan strategis berpengaruh terhadap motivasi
Kerja
2.3.2. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Motivasi Kerja
Budaya organisasi merupakan falsafah, ideologi, nilai-nilai,
anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma-norma yang
dimiliki secara bersama serta mengikat dalam suatu komunitas
tertentu (Koesmono, 2005). Kegagalan pemimpin menata dan
menciptakan budaya yang bersih dan sehat, maka tidaklah
mengherankan kalau organisasi itu dibiarkan. Beraneka ragamnya
bentuk organisasi atau perusahaan, pasti mempunyai budaya
yang berbeda-beda. Hal ini wajar karena lingkungan organisasinya
berbeda-beda pula misalnya antara perusahaan jasa berbeda
dengan perusahaan manufaktur dan trading. Hofstede (2010)
berpendapat bahwa perbedaaan itulah yang akan menjadikan
budaya organisasi menjadi heteroginitas.
Dalam organisasi, budaya organisasi berfungsi sebagai (1)
alat menciptakan perbedaan yang khas ini tidak bahwa organisasi
satu sama dengan organisasi yang lain tidak sama, (2) sebagai
indentitas bagi anggota organisasi, (3) budaya memudahkan
lahirnya komitmen terhadap kepentingan yang lebih luas daripada
kepentingan individu/perseorangan, (4) dapat memantapkan sistem,
(5) berfungsi sebagai mekanisme penciptaan makna dan sistem
pengendalian yang menuntun dan membentuk sikap serta perilaku
karyawan.
H2 : Budaya organisasi berpengaruh terhadap motivasi kerja
2.3.3. Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan
Melalui teori ERG-nya, Alderfer hendak mengemukakan
bahwa seorang pemimpin harus menyadari bahwa masing-masing
karyawannya memiliki beberapa kebutuhan untuk dipenuhi secara
bersamaan. Kebutuhan yang dimaksud ialah kebutuhan
keberadaan, kebutuhan hubungan antar personal dan kebutuhan
pertumbuhan dan pengembangan diri. Selain itu, jika peluang
pertumbuhan tidak diberikan kepada karyawan, mereka mungkin
akan memengaruhi hubungan antar personal dalam organisasi.
Kepemimpinan strategis seharusnya mampu mengenali situasi ini,
agar dapat mengambil langkah untuk berkonsentrasi pada
kebutuhan relasi antar personal sampai karyawannya terdorong
untuk mengejar kebutuhan pengembangan dirinya lagi. Jika proses
ini terjalani dengan baik maka kinerja karyawan dapat ditingkatkan
sesuai dengan harapan dan tujuan organisasipun tercapai.
Disini dibutuhkan kemampuan pemimpin untuk
mengarahkan dan menciptakan budaya kerja dan budaya
organisasi yang kondusif. Hal ini untuk mendorong karyawan untuk
bekerja lebih keras lagi, kinerja lebih terpacu demi mencapai tujuan
organisasi. Namun, haruslah diperhatikan bahwa pemberian
motivasi harus diarahkan dengan baik menurut prioritas dan dapat
diterima dengan baik oleh karyawan
H3 : Motivasi Kerja berpengaruh positif terhadap kinerja
karyawan.
2.3.4.1 Pengaruh Kepemimpinan Strategis terhadap Kinerja
Karyawan dengan Motivasi Kerja sebagai Variabel
Mediating

Kinerja dipahami sebagai yang menunjukkan hasil kerja


yang dicapai seseorang setelah melaksanakan tugas pekerjaan yang
dibebankan oleh organisasi. Sedangkan ukuran baik tidaknya hasil
kerja dapat dilihat dari mutu atau kualitas yang dicapai karyawan
sesuai dengan tuntutan organisasi.
Tuntutan terhadap hasil kerja dari organisasi terhadap
masing-masing karyawan, tidak terlepas dari peran strategis dari
pemimpin yang mendorong dan mengarahkan dalam menghasilkan
sesuatu serta meningkatkannya sesuai dengan harapan dan tujuan
yang ingin dicapai.
H4.1 : Kepemimpinan Strategis berpengaruh terhadap kinerja
karyawan dengan motivasi kerja sebagai variabel mediating.
2.3.4.2 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja
Karyawan dengan Motivasi Kerja sebagai Variabel
Mediating

Soeprihantono (1988) mengatakan bahwa kinerja


merupakan hasil pekerjaan seorang karyawan selama periode
tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, yang telah
ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama apabila
karyawan mampu bekerja sesuai dengan standar penilaian yang
ditetapkan organisasi. Dan untuk mencapai kinerja yang
diharapkan memerlukan dukungan budaya organisasi yang
profesional, terbuka dan teratur serta memiliki sistem dan aturan
yang jelas. Selain sebagai sebuah perangkat perekat dan
penghubung keragaman antar individu dalam organisasi, budaya
organisasi juga mampu menciptakan kondisi lingkungan kerja yang
aman dan nyaman untuk memotivasi para karyawan meningkatkan
kinerjanya.
H4.2 : Budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja
karyawan dengan motivasi kerja sebagai variabel mediating.
2.4. Model Penelitian
Untuk mendukung penelitian ini maka model penelitiannya
sebagai berikut :

Kepemimpinan
Strategis
(X1)

Motivasi Kerja Kinerja


Karyawan
(Y1) Medik (Y2)
Budaya
Organisasi
(X2)

2.5. Hipotesis

H1 : kepemimpinan strategis berpengaruh signifikan terhadap


motivasi
H2 : budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap
motivasi

H3 : motivasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan


H41 : kepemimpinan strategis berpengaruh signifikan terhadap
kinerja karyawan dengan motivasi sebagai variabel
mediating

H42 : budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja


karyawan dengan motivasi sebagai variabel mediating

Anda mungkin juga menyukai