Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

SEBAB-SEBAB MUNCULNYA G 30S/PKI

1. Latar Belakang
Sejak D.N. Aidit terpilih menjadi ketua PKI tahun 1951, ia dengan cepat
membangun kembali PKI yang porak-poranda akibat kegagalan pemberontakan tahun
1948. Usaha yang dilakukan D.N. Aidit berhasil dengan baik, sehingga dalam
pemilihan umum tahun 1955, PKI berhasil meraih dukungan rakyat dan
menempatkan diri menjadi satu dari empat partai besar di Indonesia, yaitu PNI,
Masyumi, dan NV.
Tampaknya PKI berkeinginan merebut kekuasaan melalui parlemen pada masa
Demokrasi Terpimpin. Di sarnping itu, mereka juga terlihat mempersiapkan diri
untuk mencapai tujuannya, yaitu berkuasa atas wilayah Republik Indonesia. Untuk itu
dibentuk biro khusus yang secara rahasia bertugas mempersiapkan kader-kader di
berbagai organisasi politik, termasuk dalam tubuh ABRI. PKI juga berusaha
memengaruhi Presiden Soekarno untuk menyingkirkan dan melenyapkan lawan-
lawan politiknya. Hal ini tampak dengan dibubarkannya Partai Masyumi, PSI, dan
Partai Murba oleh presiden. PKI juga berhasil memecah-belah PNI menjadi dua
kelompok. Upaya itu ditempuh oleh PKI dengan menyusupkan Ir.Surachman
(seorang tokoh PKI) ke dalam tubuh PNI.Setelah PKI merasa cukup kuat,
dihembuskan isu bahwa pimpinan TNI Angkatan Darat membentuk Dewan Jenderal
yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada saat peringatan Hari
Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. PKI juga menyebutkan bahwa anggota
Dewan Jenderal itu adalah agen Nekolim (Amerika Serikat atau Inggris). Tuduhan itu
ditolak oleh Angkatan Darat, bahkan Angkatan Darat langsung menuduh PKI yang
akan melakukan perebutan kekuasaan. Namun dalam rangka memperingati Hari
Ulang Tahun ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965, puluhan ribu tentara telah

1
berkumpul di Jakarta sejak akhir bulan September 1965, sehingga dugaan-dugaan
akan terjadinya kudeta semakin bertambah santer.
1.1 Angkatan kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri
Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini
gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga
menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari
tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang
berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak
setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer
dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha
memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi
dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara
dengan slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN
Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan
Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri
dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua
pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek
karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas
tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar
terjadi antara mereka dengan polisi dan para pemilik tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang
menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah
siapapun (milik negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru

2
revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita
milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-
perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI
menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu
yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota
kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer
oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan
dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi
militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi
yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian
dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan
bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan
yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-
unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan
melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan
karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk
pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan
kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani
yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri
sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu,
kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang
makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka,

3
depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan
memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI
bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan
bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap
berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan
Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan
negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat
negara.

1.2 Isu sakitnya Bung Karno


Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar
isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu
perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut
Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi
hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut

1.3 Isu masalah tanah dan bagi hasil


Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok
Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang
sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada
tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil
pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan
partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun
pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para
petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA,
melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat
keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa

4
Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai
‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk
membersihkannya. Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga
dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua
tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di provinsi-provinsi lain
juga terjadi hal demikian.

1.4 Faktor Malaysia


Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16
September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini [1].
Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan
Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang
menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober),
dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi
Angkatan Darat.

Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para


“ demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno,
membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku
Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan
memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap
Malaysia pun meledak. ”
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang
menginjak-injak lambang negara Indonesia[2] dan ingin melakukan balas
dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang
Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina
Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat
untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal
pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia

5
yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat
itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di
pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan
usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan
ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di
Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak
mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak
mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak
berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk
berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo,
komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan
sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga
dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara
Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno
merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan
amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya,
mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat
tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya
meng"ganyang Malaysia".

Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak


“ dengan suara-batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui
bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit
jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin
menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia
tidak mungkin menjadi boneka. ”

6
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang
Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI
juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi
motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah
yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang
semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional
PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-
Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini,
namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin
meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena
posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya
Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA)
yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah
percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia
masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh
karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan
bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. " Soekarno berkata, "Kamu bisa
menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu
musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak
sekarang.
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai
mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang
kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada
Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap
misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan

7
dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari
para jenderal ini.

1.5 Faktor Amerika Serikat


Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam
dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme.
Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas
memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-
talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada
bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang
membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam
konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat
dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green
ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa
usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak
memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada
Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan
kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis
Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober
masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini,
menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit
Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada
militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak
memiliki banyak bukti-bukti fisik.

8
9
1.6 Faktor ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah
mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur.
Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang
dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung
tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan
barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan
kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji
para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang
menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak
rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian,
gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun
mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas
pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash
terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di
Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

10
BAB II
PERISTIWA G 30S/PKI
Menjelang terjadinya peristiwa G30S/PKI, tersiar berita bahwa kesehatan
presiden mulai menurun dan berdasarkan diagnosis dan tim dokter RRC ada
kemungkinan Presiden Soekamo akan lumpuh atau meninggal. Setelah mengetahui
keadaan Presiden Soekarno seperti itu, D.N. Aidit langsung mengambil suatu
keputusan untuk memulai gerakan. Rencana gerakan diserahkan kepada
Kamaruzaman (alias Syam) yang diangkat sebagai Ketua Biro Khusus PKI dan
disetujui oleh D.N. Aidit. Biro Khusus itu menghubungi kadernya di kalangan ABRI,
seperti Brigjen Supardjo, Letnan Kolonel Untung Dari Cakrabirawa, Kolonel Sunardi
dan TNI-AL, Marsekal Madya Omar Dani dan TNT-AU dan Kolonel Anwar dan
Kepolisian.
Menjelang pelaksanaan Gerakan 30 September 1965, pimpinan PKI telah
beberapa kali mengadakan pertemuan rahasia. Tempat pertemuan terus berpindah dan
satu tempat ke tempat yang lainnya. Melalui serangkaian pertemuan itu, pimpinan
PKI menetapkan bahwa Gerakan 30 September 1965 secara fisik dilakukan dengan
kekuatan militer yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I
Resimen Cakrabirawa (Pasukan pengawal Presiden) yang bertindak sebagai pimpinan
formal seluruh gerakan.
Sebagai pemimpin dari Gerakan 30 September 1965, Letnan Kolonel Untung
mengambil suatu keputusan dan memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan
untuk siap dan mulai bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965. Pada dini hari itu,
mereka melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira
tinggi dan seorang perwira pertama dan Angkatan Darat. Para perwira Angkatan
Darat disiksa dan selanjutnya dibunuh. Mereka dibawa ke Lubang Buaya, yaitu satu
tempat yang terletak di sebelah selatan pangkalan udara utama Halim Perdana
Kusuma. Selanjutnya para korban itu dimasukkan ke dalam satu sumur tua, kemudian

11
ditimbun dengan sampah dan tanah. Ketujuh korban dan TNI-Angkatan Darat adalah
sebagai berikut:

1. Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat atau Men


Pangad).
2. Mayor Jenderal R. Soeprapto (Deputy II Pangad).
3. Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo (Deputy III Pangad).
4. Mayor Jenderal Suwondo Parman (Asisten I Pangad)
5. Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad).
6. Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman / Oditur).
7. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H. Nasution).

Ketika terjadinya penculikan itu, Jenderal A.H. Nasution yang juga menjadi target
penculikan berhasil menyelamatkan diri setelah kakinya tertembak. Namun, putrinya
yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban sasaran tembak dan kaum penculik
dan kemudian gugur. Ajudan Jenderal A.H. Nasütion yang bernama Letnan Satu
Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban. Sedangkan korban lainnya adalah
Pembantu Letnan Polisi Karel Satsuit Tubun. ia gugur pada saat gerombolan yang
berusaha menculik Jenderal A.H. Nasution. Pada waktu bersamaan, G3OS/PKI
mencoba untuk mengadakan perebutan kekuasaan di Yogyakarta, Solo, Wonogiri dan
Semarang. Selanjutnya gerakan tersebut mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi
melalui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965. Dewan Revolusi yang dipancarkan
melalui siaran RRI itu dibacakan oleh Letnan Kolonel Untung. Sementara itu, Dewan
Revolusi di daerah Yogyakarta diketuai oleh Mayor Mulyono. Mereka telah
melakukan penculikan terhadap Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono.
Kedua perwira TNI-AD ini dibunuh oleh gerombolan penculik di desa Kentungan
yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta. 

12
13
BAB III
PENUMPASAN G 30S/PKI

A. Penumpasan G 30s/PKI di Jakarta


Operasi penumpasan G30S/PKI yang dilancarkan pada tanggal 1 Oktober 1965
diusahakan sedapat mungkin tidak menimbulkan bentrokan senjata. Langkah yang
pertama kali dilakukan adalah menetralisasi pasukan yang berada di sekitar Medan
Merdeka yang dimanfaatkan atau dipergunakan oleh kaum Gerakan 30 September.
Pasukan tersebut berasal dari anggota pasukan Batalyon 503/Brawijaya dan anggota
pasukan Batalyon 545/Diponegoro. Anggota pasukan Batalyon 503/Brawijaya
berhasil disadarkan dari keterlibatan Gerakan 30 September tersebut dan kemudian
mereka ditarik ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur. Sedangkan anggota
pasukan Batalyon 545 / Diponegoro berhasil ditarik mundur sekitar pukul 17.00 WIB
oleh pihak Gerakan 30 September ke Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma.
Operasi militer tentang penumpasan Gerakan 30 September mulai dilakukan
sore hari, tanggal 1 Oktober 1965 pukul 19.15 WIB. Sementara itu, pasukan RPKAD
berhasil menduduki kembali gedung RRI Pusat, gedung telekomunikasi dan
mengamankan seluruh wilayah Medan Merdeka tanpa terjadi bentrokan bersenjata
atau pertumpahan darah. Juga pasukan Batalyon 238 Kujang/Siliwangi berhasil
menguasai Lapangan Banteng dan mengamankan Markas Kodam V/Jaya dan
sekitarnya. Batalyon I Kavaleri berhasil mengamankan BNI Unit I dan percetakan
uang negara di daerah Kebayoran. Dengan demikian, dalam waktu yang sangat
singkat, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 itu juga kota Jakarta telah berhasil
dikuasai kembali oleh ABRI dan kekuatan G3OS/PKI yang memberontak telah
berhasil dilumpuhkan.
Untuk menentramkan kegelisahan masyarakat dan menyadarkan pasukan yang
terlibat dalam G3OS/PKI, maka dilakukanlah berbagai bentuk upaya. Di antaranya

14
melalui siaran RRI pada pukul 20.00 WIB, Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan
sementara Angkatan Darat mengumumkan adanya usaha perebutan kekuasaam Usaha
perebutan kekuasaan itu dilakukan oleh gerombolan yang menamakan dirinya
“Gerakan 30 September 1965” serta penculikan terhadap enam perwira tinggi
Angkatan Darat Sementara itu Presiden dan Menko Hankam/KASAB dalam keadaan
aman dan sehat. Dinyatakan pula bahwa di antara Angkatan Darat Angkatan Laut dan
Kepolisian telah terjadi saling pengertian untuk bekerja sama menumpas G3OS/PKI.
Mayjen Soeharto juga menganjurkan kepada rakvat Indonesia agar tetap tenang dan
waspada. Setelah berhasil diketahui bahwa basis utama dari G3OS/PKI berada di
sekitar lapangan udara Halim Perdana Kusuma. maka Iangkah berikutnya adalah
berupaya membebaskan pangkalan tersebut dan tangan G3OS/PKI. Presiden
Soekarno dihimbau untuk meninggalkan daerah Halim Perdana Kusuma. Hal ini
dimaksudkan. untuk menjaga keselamatannya apabila terjadi bentrokan fisik antara
pasukan TNI dengan pasukan pendukung G3OS/PKI yang bersembunyi di sekitar
pangkalan udara Halim Perdana Kusuma.
Kemudian Presiden Soekarno meninggalkan halim Perdana Kusuma menuju
Istana Bogor. Sedangan pasukan RPKAD yang dibantu oleh pasukan Batalyon 238
Kujang/Siliwangi dan Batalyon 1 Kavaleri diperintahkan bergerak menuju sasaran.
Juga didatangkan bantuan kekuatan pasukan sebanyak tiga kompi tempur Kavaleri
pengintai yang langsung dipimpin oleh Komandan Kesejahteraan Kavaleri
(Dansenkav) Kolonel Subiantoro. Mereka tiba di Cijantung dan langsung
diikutsertakan dalam gerakan untuk menutup jalan simpang tiga Cililitan, Kramat Jati
dan simpang tiga Lanuma Halim Lubang Buaya tanpa menemui kesulitan. Pada pukul
06.10 WIB tanggal 2 Oktober 1965 daerah pangkalan udara Halim Perdana Kusuma
sudah berhasil dikuasai, walaupun sempat mendapat perlawanan kecil dan timbul
kontak senjata. Kontak senjata juga terjadi pada saat dilakukan gerakan pembersihan
yang dilanjutkan hingga ke kampung-kampung di sekitar wilayah lubang Buaya.

15
Karena di daerah-daerah itu sebelumnya disinyalir dijadikan sebagai tempat latihan
kemiliteran Pemuda Rakyat dan Gerwani. 
Dalam gerakan pembersihan ke kampung-kampung di sekitar Lubang Buava,
Ajun Brigadir Polisi (Abriptu/Kopral Satu) Sukitman yang sempat ditawan oleh regu
penculik Brigjen Dl Pandjaitan berhasil meloloskan diri. Kemudian pada tanggal 3
Oktober 1965 berhasil menemukan jenazah para perwira tinggi Angkatan Darat yang
dikuburkan dalam sumur tua. Pengangkatan jenazah baru berhasil dilaksanakan pada
tanggal 4 Oktober 1965 oleh anggota RPKAD dan KKOAL (marinir). Seluruh
jenazah dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (sekarang RSPAD Gatot
Subroto) untuk dibersihkan dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan
Darat. Keesokan harinya bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5
Oktober 1965, jenazah para perwira tinggi Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Kalibata. Mereka dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi, serta
diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi, anumerta. Ketika berada di Halim
Perdana Kusuma pada tanggal 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan
perintah yang ditujukan kepada seluruh jajaran Angkatan Bersenjata. Presiden
Soekarno meminta untuk mempertinggi kesiapsiagaan dan untuk tetap di pos masing-
masing serta hanya bergerak jika ada perintah. Seluruh rakyat agar tetap tenang dan
meningkatkan kewaspadaan serta memelihara persatuan dan kesatuan nasional. Selain
itu, diumumkan bahwa pimpinan Angkatan Darat untuk sementara waktu dipegang
oleh Presiden/Panglima Tertinggi ABRI dan untuk melaksanakan tugas sehari-hari
dalam Angkatan Darat ditunjuk untuk sementara Mayor Jenderal Pranoto
Reksosamudro, Asisten II Men/Pangad. Perintah itu tidak segera diketahui oleh
anggota ABRI yang berada di luar Halim. Oleh karena itu, pada hari yang sama,
sesuai dengan tata cara yang berlaku, Mayor Jenderal Soeharto menyatakan untuk
sementara memegang pimpinan Angkatan Darat 

16
17
B. Penumpasan G 30 S/PKI di Jawa Tengah dan Yogyakarta
Ketika meletus G30S/PKI, daerah yang paling gawat keadaannya adalah di
Jakarta dan Jawa Tengah. Di kedua daerah itu pihak G30S/PKI mempergunakan
kekuatan senjata, sedangkan di daerah lainnya secara umum kaum G30S/PKI itu
tidak beraksi menggunakan kekuatan bersenjata. Kodam VII / Diponegoro memiliki
tiga Brigade, yaitu Brigade 4, 5, 6. Sebagai hasil penggarapan Biro Khusus PKI ,
anggota Brigade 4 dipergunakan oleh kaum G30S/PKI sedangkan anggota Brigade 5
hanya sedikit yang berhasil dipengaruhi. Hanya anggota Brigade 6 yang tidak
terpengaruh oleh mereka. Batalyon yang aktif dipergunakan oleh kaum G30S/PKI
adalah Batalyon K dan M yang berkedudukan di Solo. Batalyon L dan C
berkedudukan di Yogyakarta, serta Batalyon D berkedudukan di Salatiga. 
Setelah G30S/PKI bergerak di Jakarta, pada tanggal 1 Oktober 1965 gerakan itu
juga memulai aksinya di daerah Jawa Tengah. Munculnya G305/PKI di Jawa Tengah
diawali dengan siaran RRI Semarang. Melalui RRI Semarang itu, Asisten Kodam
Vil/Diponegoro, Kolonel Suhirman mengumumkan dukungannya terhadap G305/PKI
pada daerah Tingkat I Jawa Tengah. Mereka berhasil menguasai Markas Kodam
Vil/Diponegoro dan kemudian dijadikan markas serta meluaskan gerakannya ke
seluruh Korem dan Brigade di lingkungan Kodam VII/Diponegoro. Di samping itu,
G3OS/PKI mendatangkan pasukan pelindung, di antaranya dan Solo, Batalyon K di
bawah pimpinan Mayor Kadri dan dua kompi Batalyon D dari Salatiga pimpinan
Mayor Supardi. Pasukan ini ditempatkan di tempat-tempat strategis terutama di
Makodam, RRI dan telekomunikasi. Selanjutnya, Kolonel Sahirman mengumumkan
bahwa Letnan Kolonel Sastrodibroto mengambil alih pimpinan Kodam
Vil/Diponegoro dan di beberapa tempat pendukungnya mengambil alih pimpman
setempat, di antaranya:

18
1. Markas Komando Resort Militer (Makorem) 071/Purwokerto dipimpin oleh
Kepala Staf Letnan Kolonel Soemito.
2. Makorem 072/Yogvakarta dipunpm oleh Kepala Seksi 5 Mayor Mulyono.
3. Markas Brigade Infantri 6 dipimpin oleh Komandan Kompi Markas, Kapten
Mintarso.

Dewan Revolusi Yogvakarta mengumumkan melalui RRI pada tanggal 1


Oktober 1965 bahwa yang menjadi Ketua G3OS/PKI di Yogyakarta adalah Mayor
Mulyono. Dengan mempergunakan kekuatan Batalyon L, mereka menguasai
Makorem 072 dan menculik Kepala Staf Korem 072 Letnan Kolonel Sugiyono.
Selanjutnya mereka mengeluarkan perintah kepada segenap Komando Distrik Muter
(Kodim) supaya mendukung G3OS/PKI. Mereka juga membagi-bagikan senjata
kepada anggota Legiun Veteran setempat. Pada tanggal 2 Oktober 1965, terjadi
demonstrasi anggota PKI dan organisasi massanya di depan Makorem 072 untuk
menyatakan dukungannya kepada Gerakan 30 September 1965. Pada hari itu juga
Komandan Korem 072 Kolonel Katamso diculik dan rumahnya dan dibawa ke
kompleks Batalyon L di desa Kentungan, sebelah utara kota Yogyakarta. Selanjutnya
Kolonel Katamso bersama Letnan Kolonel Sugijono dibunuh oleh anggota
G3OS/PKI. Dengan kekuatan Batalyon M, G3OS/PKI juga melakukan gerakannya di
Solo. Gerakan itu diawali dengan penculikan. Mereka menculik Komandan Brigade 6
Kolonel Azahari, Kepala Staf Brigade 6 Letnan Kolonel Parwoto, Kepala Staf Kodim
735 Mayor Soeparman, Komandan Polisi Militer Detasemen Surakarta Kapten
Prawoto dan Komandan Batalyon M, Mayor Darso. Selain melakukan penculikan,
mereka juga melakukan pendudukan terhadap kantor RRI, telekomunikasi dan bank-
bank negara. Pada tanggal 2 Oktober 1965, Wali Kota Solo, Oetomo Ramelan,
melalui RRI mengumumkan dukungannya kepada G3OS/PKI. 

19
Daerah Surakarta diliputi suasana pemberontakan. Rakyat yang bukan anggota
PKI atau organisasi satelitnya merasa ketakutan dan khawatir. Sementara itu, polisi
belum bertindak mereka hanya mengamati kegiatan yang dilakukan PKI dan
organisasi massanya. Hal ini disebabkan polisi hanya memiliki kekuatan satu kompi
Brimob dan satu kompi Perintis. Demikian juga tentara pelajar yang bergabung
dalam organisasi GPTP (Gerakan Pelaksana Tjita-jita Prokiamasi) sebanyak 50 orang
serta organisasi massa golongan nasionalis dan agama. Mereka masih pasif dalam
menghadapi kekuatan massa G3OS/PKI yang mendapat perlindungan dan oknum-
oknuni Brigade 6.Oleh karena itu, Pangdam VII/Diponegoro, Brigadir Jenderal
Surjosumpeno, setelah mendengar pengumuman letnan Kolonel Untung melalui
radio, segera memanggil perwira stafnya dan Sad Tunggal Jawa Tengah untuk
mengadakan taklimat (briefing). Pangdam memerintahkan kepada para pejabat
supaya tetap tenang dan berusaha untuk menenangkan rakyat, karena situasi yang
sebenarnya belum diketahui. Ia berangkat ke Salatiga untuk mengadakan taklimaf
yang sama dan direncanakan akan terus ke Magelang. Asisten 2, Letnan Kolonel
Soeprapto diperintahkan untuk mengadakan taklimat (briefing) di Solo. Namun
ketika Pangdam VII/Diponegoro tidak berada di Semarang, Kolonel Sahirman
mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi dan Kolonel Usman mengambil alih
pimpinan Kodam VII/Diponegoro.

20
BAB IV
KESIMPULAN
A. Gerakan 30 September PKI
Gerakan 30 September 1965/PKI merupakan gerakan sekelompok militer yang
menculik dan membunuh sejumlah perwira tinggi angkatan darat. Gerakan ini
dipimpin Letkol. Untung (Komandan Batalyon I Cakrabirawa) yang dibantu oleh satu
batalyon dari Divisi Diponegoro, satu batalyon dari Divisi Brawijaya, dan orang sipil
dari pemuda rakyat. Setelah menculik dan membunuh para perwira tinggi angkatan
darat, pada tanggal 1 Oktober 1965 PKI dapat menguasai Studio RRI Pusat dan
Gedung Telekomunikasi. Letkol. Untung menyiarkan pengumuman bahwa “Gerakan
30 September” adalah gerakan kelompok militer yang bertindak untuk melindungi
Presiden Soekarno dari kudeta. Kudeta itu direncanakan oleh suatu dewan yang
terdiri atas jenderal-jenderal yang korup dan menikmati penghasilan tinggi serta
menjadi kaki tangan CIA (Agen Rahasia Amerika).
Para korban kebiadapan PKI diangkat sebagai Pahlawan Revolusi. Berikut
korban-korban keganasan PKI:
1) Di Jakarta, para korbannya yaitu
a. Letjen. Ahmad Yani, Men/Pangad
b. Mayjen. S. Parman, Asisten I Men/Pangad
c. Mayjen. R. Suprapto, Deputi II Men/Pangad
d. Mayjen. Haryono, M.T, Deputi III Men/Pangad
e. Brigjen. D.I. Panjaitan, Asisten IV Men/Pangad
f. Brigjen. Sutoyo Siswomiharjo, Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal TNI
AD
g. Lettu. Piere Andreas Tendean, Ajudan Menko Hankam/Kepala Staf
Angkatan Bersenjata

21
h. Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun, Pengawal rumah Wakil P.M. II Dr. J.
Leimena.
Para jenderal itu di bawa ke Halim, dan jenderal yang masih hidup dibunuh
secara kejam. Setelah semuanya dibunuh, para korban keganasan PKI tersebut
dimasukkan dalam sebuah sumur tua yang sudah tidak dipakai lagi di Lubang Buaya.
Ada satu Jenderal yang berhasil lolos dalam penculikan di Jakarta yaitu Jenderal
Abdul Haris Nasution yang menjabat sebagai Menteri Kompartemen Hankam/Kepala
Staf Angkatan Darat. Akan tetapi putrinya yang bernama Ade Irma Suryani
tertembak oleh gerombolan penculik.

2) Di Yogyakarta, aksi pemberontakan dipimpin oleh Mayor Mulyono. Dan


korbannya yaitu:
a. Kolonel Katamso Dharmokusumo, Komandan Korem 072 Yogyakarta
b. Letnan Kolonel Sugiyono M., Kepala Staf Korem 072 Yogyakarta

Kedua perwira itu dibunuh di asrama Batalyon L di Desa Kentungan (di luar kota
Yogyakarta).
Menghadapi situasi politik yang panas tersebut Presiden Soekarno berangkat
menuju Halim Perdanakusumah, dan segera mengeluarkan perintah agar seluruh
rakyat Indonesia tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan serta memelihara
persatuan dan kesatuan bangsa. Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima Komando
Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) mengambil alih komando Angkatan Darat,
karena belum adanya kepastian mengenai Letnan Jenderal Ahmad Yani yang
menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat.

22
LAMPIRAN
1. Jenderal Ahmad Yani

Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani lahir di Jawa Tengah, 19 Juni 1922 
meninggal di Lubang Buaya Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43 tahun. Adalah
komandan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, dan dibunuh oleh anggota
Gerakan 30 September. Ahmad Yani lahir di Jenar Purworejo, Jawa Tengah pada
tanggal 19 Juni 1922 di keluarga Wongsoredjo, keluarga yang bekerja di sebuah
pabrik gula yang dijalankan oleh pemilik Belanda. Pada tahun 1927, Yani pindah
dengan keluarganya ke Batavia, di mana ayahnya kini bekerja untuk General
Belanda. Di Batavia, Yani bekerja jalan melalui pendidikan dasar dan menengah.
Pada tahun 1940, Yani meninggalkan sekolah tinggi untuk menjalani wajib militer di
tentara Hindia Belanda pemerintah kolonial. Ia belajar topografi militer di Malang,
Jawa Timur, tetapi pendidikan ini terganggu oleh kedatangan pasukan Jepang pada
tahun 1942. Pada saat yang sama, Yani dan keluarganya pindah kembali ke Jawa
Tengah.Pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara yang disponsori Jepang Peta
(Pembela Tanah Air), dan menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang. Setelah
menyelesaikan pelatihan ini, Yani meminta untuk dilatih sebagai komandan peleton
Peta dan dipindahkan ke Bogor, Jawa Barat untuk menerima pelatihan. Setelah
selesai, ia dikirim kembali ke Magelang sebagai instruktur.

23
2. Letnan Jenderal R. Suprapto

Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto lahir di Jawa Tengah, 20 Juni 1920.
Meninggal di Lubangbuaya Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 45 tahun. Adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu korban dalam
G30SPKI dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.Suprapto
yang lahir di Purwokerto ini boleh dibilang hampir seusia dengan Panglima Besar
Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar.
Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat
SMU) Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1941. Sekitar tahun
itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan dengan pecahnya
Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer pada Koninklijke
Militaire Akademie di Bandung. Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai
tamat karena pasukan Jepang sudah keburu mendarat di Indonesia. Oleh Jepang, ia
ditawan dan dipenjarakan, tapi kemudian ia berhasil melarikan diri. Selepas
pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti kursus Pusat Latihan
Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah itu, ia bekerja di
Kantor Pendidikan Masyarakat. Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang
yang turut serta berjuang dan berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap.
Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di
Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk sebagai tentara, sebab
sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti di
Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan
oleh rakyat Indonesia pada umumnya.

24
3. Letnan Jenderal Haryono

Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono lahir di kota


Surabaya Jawa Timur, 20 Januari 1924. Meninggal di Lubang Buaya Jakarta, 1
Oktober 1965 pada umur 41 tahun. Adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia
yang terbunuh pada persitiwa G30S PKI. Letjen Anumerta M.T. Haryono
sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian
diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia
sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di
Jakarta, namun tidak sampai tamat.Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang
sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang
mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan
masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh
pangkat Mayor.Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara
tahun 1945 sampai tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia
ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam
perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga pernah ditempatkan
sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu sebagai Wakil Tetap
pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan
Konferensi Meja Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.

25
4. Letnan Jenderal Siswondo Parman

Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman lahir di Wonosobo Jawa Tengah, 4
Agustus 1918. Meninggal di Lubang Buaya Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 47
tahun. Siswondo Parman atau lebih dikenal dengan nama S. Parman adalah salah satu
pahlawan revolusi Indonesia dan tokoh militer Indonesia. Ia meninggal dibunuh pada
persitiwa Gerakan 30 September dan mendapatkan gelar Letnan Jenderal Anumerta.
Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.Parman merupakan perwira intelijen,
sehingga banyak tahu tentang kegiatan PKI. Dia termasuk salah satu di antara para
perwira yang menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri
dari buruh dan tani. Penolakan serta posisinya sebagai pejabat intelijen yang tahu
banyak tentang PKI, membuatnya menjadi korban penculikan oleh Resimen
Tjakrabirawa yang dipimpin Serma Satar. Penculikannya diduga diatur oleh kakak
kandungnya sendiri, yaitu Ir. Sakirman yang merupakan petinggi di Politbiro CC PKI
kala itu.

5. Mayor Jenderal Pandjaitan

Brigadir Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir di Sumatera Utara, 19
Juni 1925. Meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40
tahun) adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia. Ia dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar,
kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah
Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan

26
Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan
Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau
hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.Ketika Indonesia sudah
meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali
ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan
Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf
Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda
melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan
Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).Seiring dengan
berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan
kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi
Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan
lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.Setelah mengikuti kursus
Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn,
Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun
pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira
yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College,
Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat
(Men/Pangad). Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI
terjadi. Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas
keberhasilannya membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina
(RRC) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke
dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan gedung
Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan
PKI yang sedang giatnya mengadakan persiapan melancarkan pemberontakan.

27
6. Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo

Mayor Jendral TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo lahir di Jawa Tengah, 28


Agustus 1922. Meninggal di Lubang Buaya Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43
tahun. adalah seorang perwira tinggi TNI-AD yang diculik dan kemudian dibunuh
dalam peristiwa Gerakan 30 September di Indonesia. Setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Sutoyo bergabung ke dalam bagian Polisi
Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Hal ini
kemudian menjadi Polisi Militer Indonesia. Pada Juni 1946, ia diangkat menjadi
ajudan Kolonel Gatot Soebroto, komandan Polisi Militer. Ia terus mengalami
kenaikan pangkat di dalam Polisi Militer, dan pada tahun 1954 ia menjadi kepala staf
di Markas Besar Polisi Militer. Dia memegang posisi ini selama dua tahun sebelum
diangkat menjadi asisten atase militer di kedutaan besar Indonesia di London. Setelah
pelatihan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung dari tahun 1959
hingga 1960, ia diangkat menjadi Inspektur Kehakiman Angkatan Darat, kemudian
karena pengalaman hukumnya, pada tahun 1961 ia menjadi inspektur
kehakiman/jaksa militer utama. Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, anggota
Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Sersan Mayor Surono masuk ke dalam
rumah Sutoyo di Jalan Sumenep, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka masuk melalui
garasi di samping rumah. Mereka memaksa pembantu untuk menyerahkan kunci,
masuk ke rumah itu dan mengatakan bahwa Sutoyo telah dipanggil oleh Presiden
Soekarno. Mereka kemudian membawanya ke markas mereka di Lubang Buaya. Di
sana, dia dibunuh dan tubuhnya dilemparkan ke dalam sumur yang tak terpakai.
Seperti rekan-rekan lainnya yang dibunuh, mayatnya ditemukan pada 4 Oktober dan
dia dimakamkan pada hari berikutnya. Dia secara anumerta dipromosikan menjadi
Mayor Jenderal dan menjadi Pahlawan Revolusi.

28
7. Kapten Pierre Tendean

Kapten CZI Anumerta Pierre Andreas Tendean lahir 21 Februari 1939 – meninggal 1
Oktober 1965 pada umur 26 tahun. adalah seorang perwira militer Indonesia yang
menjadi salah satu korban peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965.
Mengawali karier militer dengan menjadi intelijen dan kemudian ditunjuk sebagai
ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution dengan pangkat letnan satu, ia dipromosikan
menjadi kapten anumerta setelah kematiannya. Tendean dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Kalibata dan bersama enam perwira korban G30S lainnya, ia
ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965. Pierre
Andreas Tendean terlahir dari pasangan Dr. A.L Tendean, seorang dokter yang
berdarah Minahasa, dan Cornet M.E, seorang wanita Indo yang berdarah Perancis,
pada tanggal 21 Februari 1939 di Batavia (kini Jakarta), Hindia Belanda. Pierre
adalah anak kedua dari tiga bersaudara; kakak dan adiknya masing-masing bernama
Mitze Farre dan Rooswidiati. Tendean mengenyam sekolah dasar di Magelang, lalu
melanjutkan SMP dan SMA di Semarang tempat ayahnya bertugas. Sejak kecil, ia
sangat ingin menjadi tentara dan masuk akademi militer, namun orang tuanya ingin ia
menjadi seorang dokter seperti ayahnya atau seorang insinyur. Karena tekadnya yang
kuat, ia pun berhasil bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD)
di Bandung pada tahun 1958.Pada pagi tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30
September (G30S) mendatangi rumah Nasution dengan tujuan untuk menculiknya.
Tendean yang sedang tidur di ruang belakang rumah Jenderal Nasution terbangun
karena suara tembakan dan ribut-ribut dan segera berlari ke bagian depan rumah. Ia
ditangkap oleh gerombolan G30S yang mengira dirinya sebagai Nasution karena
kondisi rumah yang gelap. Nasution sendiri berhasil melarikan diri dengan melompati
pagar. Tendean lalu di bawa ke sebuah rumah di daerah Lubang Buaya bersama enam
perwira tinggi lainnya. Ia ditembak mati dan mayatnya dibuang ke sebuah sumur tua
bersama enam jasad perwira lainnya.

29
8. AIP Karel Satsuit Tubun

Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuit Tubun (lahir di Maluku
Tenggara, 14 Oktober 1928 – meninggal di Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 36
tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah seorang
korban Gerakan 30 September pada tahun 1965. Ia adalah pengawal dari J.
Leimena.Karel Satsuit Tubun lahir di Tual, Maluku Tenggara pada tanggal 14
Oktober 1928. Ketika telah dewasa ia memutuskan untuk masuk menjadi anggota
POLRI. Ia pun diterima, lalu mengikuti Pendidikan Polisi, setelah lulus, ia
ditempatkan di Kesatuan Brimob Ambon dengan Pangkat Agen Polisi Kelas Dua atau
sekarang Bhayangkara Dua Polisi. Ia pun ditarik ke Jakarta dan memiliki pangkat
Agen Polisi Kelas Satu atau sekarang Bhayangkara Satu Polisi. Ketika Bung Karno
mengumandangkan Trikora yang isinya menuntut pengembalian Irian Barat kepada
Indonesia dari tangan Belanda. Seketika pula dilakukan Operasi Militer, ia pun ikut
serta dalam perjuangan itu. Setelah Irian barat berhasil dikembalikan, ia diberi tugas
untuk mengawal kediaman Wakil Perdana Menteri, Dr. J. Leimena di Jakarta.
Berangsur-angsur pangkatnya naik menjadi Brigadir Polisi. Karena mengganggap
para pimpinan Angkatan Darat sebagai penghalang utama cita-citanya. Maka PKI
merencanakan untuk melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah
Perwira Angkatan Darat yang dianggap menghalangi cita-citanya. Salah satu
sasarannya adalah Jenderal A.H. Nasution yang bertetangga dengan rumah Dr. J.
Leimena. Gerakan itu pun dimulai, ketika itu ia kebagian tugas jaga pagi. Maka, ia
menyempatkan diri untuk tidur. Para penculik pun datang, pertama-tama mereka
menyekap para pengawal rumah Dr. J. Leimena. Karena mendengar suara gaduh
maka K.S. Tubun pun terbangun dengan membawa senjata ia mencoba menembak
para gerombolan PKI tersebut. Malang, gerombolan itu pun juga menembaknya.
Karena tidak seimbang K.S. Tubun pun tewas seketika setelah peluru penculik
menembus tubuhnya.

30
9. Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo

Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo (lahir di Sragen, Jawa Tengah, 5


Februari 1923 – meninggal di Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 42 tahun)
adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Katamso termasuk tokoh yang
terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September. Ia dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta.

10. Kolonel Sugiono

Kolonel Anumerta R. Sugiyono Mangunwiyoto (lahir di Gedaren, Sumbergiri,


Ponjong, Gunung Kidul, 12 Agustus 1926 – meninggal di Kentungan, Yogyakarta, 1
Oktober 1965 pada umur 39 tahun) adalah seorang pahlawan Indonesia yang
merupakan salah seorang korban peristiwa Gerakan 30 September.Kol. Sugiyono
menikah dengan Supriyati. Mereka memiliki anak enam orang laki-laki; R. Erry
Guthomo (l. 1954), R. Agung Pramuji (l. 1956), R. Haryo Guritno (l. 1958), R.
Danny Nugroho (l. 1960), R. Budi Winoto (l. 1962), dan R. Ganis Priyono (l. 1963);
serta seorang anak perempuan, Rr. Sugiarti Takarina (l. 1965), yang lahir setelah
ayahnya meninggal. Nama Sugiarti Takarina diberikan oleh Presiden Sukarno.Ia
dimakamkan di TMP Semaki, Yogyakarta.

31

Anda mungkin juga menyukai