Anda di halaman 1dari 3

PANCASILA DAN AGAMA

Agama dan Pancasila memiliki kesamaan fungsi, yaitu sebagai nilai dan alat untuk
mencapai kesejahteraan lahir batin masyarakat. Tidak berlebihan kalau diibaratkan
roda kanan dan kiri sebuah kendaraan. Fungsi roda tersebut sama sebagai
penggerak badan kendaraan untuk menempuh satu tujuan tertentu, namun
perannya yang berbeda. Agama berperan sebagai perekat sosial dan
pembina ruhani, sedangkan Pancasila berperan sebagai pedoman (ideologi)
bernegara. Agama adalah rumah besar yang menyajikan tata kelola
mental, spiritual dan seluruh sendi kehidupan manusia, sedangkan Pancasila adalah
rumah besar ragam agama anak bangsa, menyajikan tata kelola negara supaya
terarah pada sasaran.

Antara agama dan Pancasila telah terjadi saling dukung dan saling menguatkan.
Pancasila mengakui agama dan juga agama mengapresiasi nilai-nilai Pancasila.
Pancasila memberi ruang yang luas bagi agama. Nilai ketuhanan yang terkandung
dalam Pancasila adalah inti ajaran agama. Sementara itu agama menilai positif
pada isi Pancasila karena tidak bertentangan dengan doktrin agama.

Ada beberapa hal perlu diperhatikan dalam beragama dan berpancasila. Pertama,


Pancasila jangan ditarik menjadi agama, tetaplah pada perannya. Juga agama
jangan ditarik menjadi ideologi terbatas, sebab akan menimbulkan bias konsep.
Aslinya, sebuah ideologi dirumuskan dalam suatu negara untuk tujuan tertentu,
sedangkan agama dibentuk untuk tujuan tanpa batas. Ideologi yang dirumuskan
oleh manusia tidak bisa diminta pertanggungjawaban untuk mengurus komitmen
ruhani, karena di luar nalarnya. Juga sebaliknya, ketika agama diminta
pertanggungjawabannya untuk tujuan atau kepentingan terbatas, ia akan
mengalami bias konsep.

Kepentingan jangka pendek atau yang bersifat sementara akan dipersepsi sebagai
kepentingan abadi dan sejati, ketika agama ditarik secara paksa menjadi ideologi
tujuan tertentu. Oleh sebab itu, agama dapat ditarik untuk perbandingan cara
pandang bukan untuk sebuah taktis-ideologis. Sebagai perbandingan cara pandang,
agama bisa dibawa masuk ke ranah ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya yang
menghasilkan warna dan kekhasan.
Kedua, Pancasila sebagai ideologi, pada tingkat makro dapat disandingkan dengan
ideologi lainnya, seperti kapitalisme, komunisme, sosialisme dan ideologi lainnya.
Oleh sebab itu, tidak perlu ada tawaran ideologi alternatif lagi untuk menggantikan
Pancasila, lebih-lebih tawaran ideologi yang rentan. Kita sudah sepakat bahwa
Pancasila sudah final sebagai ideologi negara. Konsep haluan bernegara kita sudah
benar dengan adanya Pancasila.

Ketiga, Pancasila sebagai ideologi negara tidak perlu diutak-atik lagi. Sudah sangat
ideal dan sarat makna untuk berbangsa dan bernegara. Boleh saja kita diskusi
ideologi alternatif, karena kita berada di negara demokrasi dan menjamin
kebebasan berpendapat. Namun, Pancasila sudah sangat mewadahi gagasan-
gagasan ideologi alternatif tersebut. Apa yang tidak ada dalam Pancasila? Unsur
agama terbawa, budaya sudah terwadahi, persatuan, keadilan,
kemanusiaan dan kerakyatan serta unsur-unsur modernitas terkandung di
dalamnya. Oleh sebab itu, Pancasila merupakan platform ideologi yang ideal.

Janganlah membenturkan Pancasila dengan penyimpangan perilaku. Lalu ditarik


secara paksa bahwa seolah-olah Pancasila tidak bermakna dalam proses berbangsa
dan bernegara. Sampai kiamat pun penyimpangan perilaku akan terus terjadi,
karena penghuni dunia ini, khususnya negeri kita, adalah manusia asli, bukan
malaikat atau manusia setengah dewa, yang memiliki potensi alami untuk menjadi
baik dan tidak baik. Tapi, ini bukan artinya toleransi dan rasionalisasi untuk
melegalkan penyimpangan perilaku. Tetap saja Setiap penyimpangan perilaku
harus kita usahakan untuk dieliminasi dan dibatasi ruang geraknya. Namun, yang
dimaksud adalah bahwa tidak bisa mengambinghitamkan Pancasila hanya gara-
gara masih terdapat penyimpangan perilaku dalam berbangsa dan bernegara,
terutama oleh para pemegang kekuasaan di negeri ini pada berbagai level dan
berbagai sektor.

Agama dan Pancasila sudah harmoni makna, apabila alat ukur yang digunakan
bukan kepentingan tertentu dan terbatas. Dengan kepentingan tertentu hal yang
sudah jelas duduk perkaranya menjadi abu-abu. Pancasila dan agama yang jelas-
jelas sudah sangat harmoni menjadi tidak jelas dan konflik. Seolah-olah Pancasila
di satu lembah dan agama di lembah lain yang tidak pernah terjadi komunikasi
substansi. Jadi, kepentingan tertentu yang menjadikan bias persepsi kita. Substansi
bernegara yang ideal sudah terkandung di dalam Pancasila, dan secara objektif
merupakan turunan ajaran agama.

Sebagai citra idealitas, Pancasila tidak memiliki kekurangan. Haluan bernegara dan
berbangsa sudah sangat jelas terumuskan di dalamnya. Harus diakui bersama,
bahwa yang belum jelas sampai saat ini adalah pengamalan isi Pancasila dalam
setiap langah strategis, baik langkah individu masyarakat maupun langkah
organisasi negara. Untuk hal ini kita perlu mengakuinya masih mengalami
defisit. Wajar tentunya, Pancasila sebagai ideologi selalu menyajikan gagasan
ideal, yang lumrahnya selalu terjadi benturan dengan kondisi real. Tapi, jangan
gara-gara realitas berbeda jauh dengan idealitas, lalu kita berhenti berbicara target-
target yang ideal. Jangan putus asa dan merasa lelah untuk membicarakan hal-hal
ideal dalam berbangsa dan bernegara.

Anda mungkin juga menyukai