Anda di halaman 1dari 2

*Caliphatization*

Beberapa waktu lalu, via email saya menerima kiriman


soft copy tesis master di Department of Southeast Asian
Studies University of Passau, Jerman, dari penulisnya
sendiri, Muhammad Riza Nurdin, yang berjudul From
Jerusalem to Jakarta, then Aceh: The Global-Local Nexus
of Hizbut Tahrir Indonesia. Intinya, tesis ini meneliti
hubungan antara aspek globalitas dari agenda Hizbut
Tahrir Indonesia dan aspek lokalitasnya.

Bukan kali ini saja Hizbut Tahrir (HT) menjadi obyek


penelitian. Cukup banyak peneliti, baik dari dalam
maupun luar negeri, yang mengkaji atau mengamati HT
dengan aneka ragam perihal yang diteliti. Di antaranya,
seperti Syamul Rijal, dosen IAIN Antasari Banjarmasin,
yang meneliti sistem rekrutmen yang dilakukan oleh HTI
di kalangan mahasiswa di Makassar. Hasil penelitian itu
menjadi tesis S-2 di Australian National University
(ANU), Canberra, Australia, dan diterbitkan dengan judul
Menarik Kaum Muda, Studi Terhadap Sistem Rekrutmen
Hizbut Tahrir Indonesia di Makassar, Sulawesi Selatan
(2010). Lalu ada Muhammad Imdadun Rahmat yang
meneliti sejarah masuk dan berkembangnya HTI di
Indonesia. Tesis S-2 di UIN Sahid, Jakarta, itu kemudian
diterbitkan sebagai buku pada tahun 2007 dengan judul,
Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam
TimurTengah ke Indonesia.

Di level internasional, ada Mohamed Nawab Mohamed


Osman yang untuk tesis Ph.D-nya di ANU, Canberra,
meneliti jaringan dan strategi mobilisasi HTI. Hasil
penelitian itu diterbitkan sebagai buku pada 2010 dengan
judul, The Transnational Network of Hizbut Tahrir
Indonesia dan Reviving the Caliphate in the Nusantara:
Hizbut Tahrir Indonesia's Mobilization Strategy and Its
Impact in Indonesia. Ada lagi Fahlesa Munabari yang
menulis Hizb ut-Tahrir Indonesia: The Quest for the
Caliphate and Shariah yang dipresentasikan dalam
seminar internasional Islam and Middle East: Dynamics
of Social and Political Transformation di Kyoto, 2-3
August 2008. Pada tahun 2010 dia juga menulis Hizbut
Tahrir Indonesia: The Rhetorical Struggle for Survival
yang merupakan bagian dari buku Islam in Contention:
Rethinking Islam and State in Indonesia (Wahid Institute,
2010). Ada lagi Mohammad Iqbal Ahnaf yang pada 2009
menulis Between Revolution and reform: The Future of
Hizbut Tahrir Indonesia.

Tentu saja bukan hanya Hizbut Tahrir di Indonesia yang


menarik para peneliti atau pengamat, di negara lain,
Hizbut Tahrir juga mengundang perhatian. Kirstine
Sinclair pada tahun 2010, misalnya, menulis tesis untuk
gelar Ph.D-nya di University of Southern Denmark
dengan titel The Calipate as Homeland: Hizb ut-Tahrir in
Denmark and Britain. Ada juga Emmanuel Karagiannis
yang pada 2005 menulis tentang HT di Kyrgyztan dalam
Political Islam and Social Movement Theory: The Case
of Hizb ut-Tahrir in Kyrgyzstan.

Tentu, tidak semua peneliti bersikap obyektif. Ada yang


lebih berperan sebagai "provokator" oleh karena
tulisannya banyak dibumbui oleh pemikiran insinuatif. Di
antaranya Zeyno Baran, keturunan Turki-Amerika
Serikat, Direktur the Center for Eurasian Policy dan
peneliti senior pada the Hudson Institute, sebuah lembaga
think tank di Washington D.C. Dalam Hizb ut-Tahrir:
Islam's Political Insurgency (2004), Zeyno menyebut
Hizbut Tahrir bertindak sebagai "conveyor belt" untuk
radikalisme dan terorisme. Maksudnya, HT memang
tidak terlibat langsung dalam terorisme, tetapi katanya
HT dengan ideologi Islamnya itu telah mendorong para
aktivisnya menjadi teroris.

++++
Muhammad Riza Nurdin dalam tesisnya menyamakan
strategi HT di Indonesia di era globalisasi ini dengan
restoran cepat saji McDonald. Bila McDonald melakukan
McDonaldization ke seluruh penjuru dunia termasuk ke
Indonesia, maka HT melakukan Chaliphatization. Bila di
Indonesia yang mayoritas Muslim, McDonald
menggunakan strategi halalization yang tidak ditemukan
di negeri asalnya AS, HTI di Indonesia mengkaitkan
agenda global dengan isu-isu lokal (localization).
Menurut Riza, mengutip Arjun Appadurai dalam buku
Disjuncture and Difference in the Global Cultural
Economy (1990), setiap proyek globalisasi selalu
mengambil jalan yang sama dan menggunakan unsur-
unsur yang juga kurang lebih sama, mencakup: 1.
ethnoscape (orang); 2. technoscape (teknologi); 3.
financescape (modal); 4) mediascape (gambar); dan 5.
ideoscape (ideologi). Dalam hal McDonald, tampak
bahwa financescape dan mediascape mengambil kontrol
dominan. Adapun dalam konteks caliphatization HT,
ideoscape memainkan peran paling penting, dibantu oleh
ethnoscape dan mediascape. Bedanya, McDonald adalah
institusi bisnis, sedangkan HT dengan caliphatization
adalah gerakan (Islam) global.

Selanjutnya menurut Riza, kekuatan publikasi dan


internet memberikan kontribusi signifikan terhadap
mengglobalnya agenda Kekhalifahan. Dengan beberapa
publikasi tentang Islam pada umumnya, serta
ideologi dan strategi pada khususnya, ajaran HT menjadi
relatif lebih mudah dicerna. Saat ini siapapun dapat
dengan mudah mempelajari visi global HT dari website
dan mengunduh buku ideologisnya.

Dari sudut yang berbeda, caliphatization bukan hanya


bakal menjadi kekuatan global yang mengambil jalan
yang sama seperti proyek-proyek globalisasi lainnya,
menurut Riza, ini sesungguhnya juga adalah sebuah
counter untuk proyek globalisasi Barat, baik itu
McDonaldization, Coca-kolonisasi atau produk lain dari
Kapitalisme dan hegemoni Barat. Dengan caliphatization,
HT menawarkan Islam dan Kekhalifahan sebagai
alternatif dari globalisasi Barat.

Sisi sebaliknya dari globalisasi adalah lokalisasi. Seperti


McDonald yang masuk ke Indonesia dengan taktik
halalization-nya, HT juga mengambil langkah-langkah
tertentu untuk mengadaptasikan agenda globalnya dalam
konteks Indonesia. Menurut Riza, HT tampaknya
menyadari benar bahwa sebagai sebuah gerakan global,
keberhasilannya sangat bergantung pada faktor-faktor
sosial dan politik lokal. Dalam konteks Indonesia, tidak
bisa disangkal bahwa tidak sedikit dari kalangan ormas
Islam yang masih menganggap agenda HT tidak
kompatibel dengan kondisi Indonesia. Meski di era
Soeharto HT harus bergerak secara sembunyi-sembunyi,
di era pasca-Soeharto gerakan ini telah banyak membuat
kemajuan penting. Hal ini berkat kemampuan HT dalam
melokalisasi agenda globalnya dan penggunaan kerangka
khusus sebagai sarana taktis untuk menarik lebih banyak
pengikut. Selain itu, publikasi lokal seperti buletin Jumat
Al-Islam, tabloid Media Umat, jurnal al-Waie dan situs
HTI juga memainkan peran penting untuk menjembatani
kesenjangan antara agenda global dan konteks lokal.
Hasil dari proses itu adalah terbentuknya identitas ganda
(double identity), yakni global dan lokal. Dapat
disimpulkan bahwa ternyata globalisasi menyediakan
homogenitas dan heterogenitas sekaligus. Ada kesamaan
konteks global, tetapi juga ada beberapa perbedaan yang
berakar pada perbedaan konteks lokal sebagai dampak
dari adanya fenomena-fenomena lokal.

Singkatnya, menurut Riza dalam kesimpulan akhir


tesisnya, *Hizbut Tahrir Indonesia adalah contoh
terbaik* sebuah gerakan yang memiliki kemampuan
untuk menunjukkan hubungan antara global dan lokal,
serta dinamika multi-tingkat (multi-level): global,
nasional (Indonesia) dan daerah (Aceh) dapat dilihat
secara simultan. Globalisasi gerakan terlihat pada agenda
caliphatization pada satu sisi, dan lokalisasi di sisi lain
terlihat pada isu-isu lokal yang diangkat.

Akhirnya, Riza menyimpulkan jika di era global banyak


gerakan sosial, terutama gerakan pelestarian lingkungan,
memiliki slogan "think globally, act locally (berpikir
global, bertindak lokal)" atau "think locally, act globally
(berpikir lokal, bertindak global)", maka HT layak
memiliki slogan "think and act both globally and locally
(berpikir dan bertindak baik global maupun lokal)".
[Ismail Yusanto ; Jubir HTI ]

Anda mungkin juga menyukai