Anda di halaman 1dari 22

BAB II

URAIAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN

A. Tinjauan Umum tentang Hak Tanggungan


1. Pengertian Hak Tanggungan
Secara resmi Undang-Undang Pokok Agraria menamakan
lembaga hak jaminan atas tanah dengan sebutan “Hak
Tanggungan”, yang kemudian menjadi judul Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-benda Yang Berkaitan dengan Tanah. Penyebutan
Hak Tanggungan dalam Undang-Undang Pokok Agraria ini
dipersiapkan sebagai pengganti lembaga hak jaminan hipotik dan
credietverband. 16
Hak Tanggungan, menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-
Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah, adalah:

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang


berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak
Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut atau tidak berikut benda-
benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-
kreditor lain.

16
Rachmadi Usman, Op.Cit, h. 68.

22
23

Angka 4 Penjelasan Umum atas UUHT antara lain menyatakan:

Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk


pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain.
Dalam arti, bahwa jika debitor cedera janji, kreditor pemegang
Hak Tanggunganberhak menjual melalui pelelangan umum
tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak
mendahulu daripada kreditor-kreditor lain.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 tersebut, terdapat


unsur-unsur esensial, yang merupakan sifat dan ciri-ciri dari Hak
Tanggungan, yaitu:
a. Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah,
Tujuan kreditor menguasai (secara yuridis saja) tanah
kepunyaan pihak lain semata-mata hanya sebagai jaminan
pelunasan hutang;
b. Dibebankan pada hak atas tanah berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
itu;
c. Untuk pelunasan utang tertentu;
d. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor-kreditor yang lain (kreditor biasa/
konkuren), dalam memperoleh pelunasan atas piutangnya.
Perumusan Hak Tanggungan sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal l angka 1 UUHT dimaksud bukan merupakan perumusan
umum tentang Tanggungan, tetapi hanya merumuskan Hak
Tanggungan atas tanah (beserta dengan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah) saja. Pembuat undang-undang tidak
hendak memberikan perumusan tentang Hak Tanggungan pada
umumnya, tetapi hanya membatasi diri dengan memberikan
perumusan Hak Tanggungan atas tanah beserta dengan benda-
benda yang berkaitan dengan tanah saja. Perumusannya
24

memberikan peluang untuk di kemudian hari adanya pengaturan


tentang Hak Tanggungan atas benda lain.17
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui ciri-ciri Hak
Tanggungan sebagai hak kebendaan, sebagai berikut:18
a. Hak Tanggungan merupakan hak jaminan kebendaan;
b. Hak jaminan kebendaan dimaksud adalah jaminan kebendaan
atas tanah, baik berikut maupun tidak berikut benda-benda lain
yang berkaitan dengan dan merupakan satu kesatuan dengan
tanah, yang berada di atas maupun di bawah permukaan tanah
sepanj ang benda-benda lain tersebut mempunyai kaitan
dengan dan merupakan satu kesatuan dengan tanah yang
bersangkutan;
c. Pembebanan Hak Tanggungan dimaksud sebagai jaminan
pelunasan utang tertentu;
d. Hak Tanggungan memberikan kedudukan istimewa, yang
diutamakan, atau hak mendahulu kepada pemegang Hak
Tanggungan dalam mengambil pelunasan utang tertentu yang
bersangkutan.

2. Subjek dan Objek Hak Tanggungan


a. Subjek Hak Tanggungan
Di dalam Undang-undang Hak Tanggungan pada Pasal 8
dan 9 disebutkan subjek hukum hak tanggungan, yaitu mereka
yang mengikatkan diri dalam perjanjian hak tanggungan. Subjek
hak tanggungan meliputi Pemberi Hak Tanggungan dan
Penerima atau Pemegang Hak Tanggungan.

17
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 1,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), h. 64-65
18
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008).
H. 333-334.
25

1) Pemberi Hak Tanggungan


Pasal 8 Undang-undang Hak Tanggungan menentukan,
bahwa pemberi Hak Tanggungan adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
objek hak tanggungan yang bersangkutan. Dengan
demikian, karena objeknya Hak Tanggungan adalah Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai atas tanah Negara, sejalan dengan ketentuan Pasal 8
Undang-undang Hak Tanggungan itu yang dapat menjadi
pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau
badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Negara.
Sebagai pemberi hak tanggungan bisa debitor pemilik
hak atas tanah atau orang lain yang bersedia menjamin
pelunasan utang debitor dengan membebankan tanah
miliknya. Bagi mereka yang akan menerima Hak
Tanggungan, haruslah memperhatikan ketentuan yang ada
di Pasal 8 ayat (2) UUHT yang menentukan,bahwa
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1) UUHT tersebut di atas harus ada dan masih ada
pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak
Tanggungan dilakukan.
Undang-Undang Hak Tanggungan menetapkan bahwa
kewenangan itu harus ada pada saat pendaftaran Hak
Tanggungan karena lahirnya hak tanggungan adalah pada
saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut sehingga
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
objek Hak Tanggungan diharuskan ada (telah ada dan
26

masih ada) pada pemberi Hak Tanggungan pada saat


pembuatan buku tanah Hak Tanggungan.
Dalam hal pemberi Hak Tanggungan adalah suatu
persoalan terbatas, pelaksanaannya haruslah
memperhatikan ketentuan-ketentuan Undang-undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Menurut ketentuan
Pasal 88 ayat (1) undang-undang tersebut, Direksi wajib
meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau
menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar
kekayaan perseroan. Selanjutnya menurut Pasal 88 ayat (4)
undang-undang tersebut, bahwa untuk melakukan perbuatan
hukum mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh
atau sebagian besar kekayaan perseroan itu, diumumkan
dalam 2 (dua) surat kabar harian paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak perbuatan hukum tersebut
dilakukan. 19
2) Pemegang Hak Tanggungan
Pasal 9 UUHT menyatakan bahwa Pemegang Hak
Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum
yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Dengan
demikian yang dapat menjadi pemegang Hak Tanggungan
adalah siapapun juga yang berwenang melakukan
perbuatan perdata untuk memberikan utang. Oleh karena
hak tanggungan sebagai lembaga jaminan hak atas tanah
tidak mengandung kewenangan untuk menguasai secara
fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan, maka
tanah tetap berada dalam penguasaan pemberi hak
tanggungan.

19
ST. Remy Sjahdeini, Op.Cit, h. 76-77.
27

b. Objek Hak Tanggungan


Objek hukum hak tanggungan adalah hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, yang wajib
didaftar (syarat publisitas) dan menurut sifatnya dapat dipindah-
tangankan (agar mudah dan pasti pelaksanaan pembayaran
utang yang dijamin pelunasannya).
UUPA menyatakan yang dapat dijadikan jaminan utang
dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna
Usaha dan Hak Guna Bangunan. Demikian menurut Pasal 25,
33 dan 39 UUPA.
Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, maka obyek
hak tanggungan harus memenuhi empat (4) syarat yaitu :
1) Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin
berupa uang. Maksudnya adalah jika debitor cidera janji
maka obyek hak tanggungan itu dapat dijual dengan cara
lelang.
2) Mempunyai sifat dapat dipindahkan, karena apabila debitor
cidera janji, maka benda yang dijadikan jaminan akan dijual.
Sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasikan
untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya.
3) Termasuk hak yang didaftar menurut peraturan pendaftaran
tanah yang berlaku, karena harus dipenuhi syarat publisitas
maksudnya adalah adanya kewajiban untuk mendaftarkan
obyek hak tanggungan dalam daftar umum, dalam hal ini
adalah Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan
kedudukan diutamakan atau preferen yang diberikan kepada
kreditor lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak
tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertipikat hak
atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat
mengetahuinya.
28

4) Memerlukan penunjukan khusus oleh Undang-undang.


Secara normatif, objek Hak Tanggungan telah disebutkan di
dalam Pasal 4 ayat (27) Undang-undang Hak Tanggungan
yaitu:20
1) Hak milik;
2) Hak guna usaha;
3) Hak guna bangunan;
4) Hak pakai atas tanah negara yang menurut sifatnya dapat
dipindah-tangankan;
5) Hak pakai atas tanah milik, yang akan diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah;
6) Rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun, yang
didirikan di atas tanah hak pakai atas tanah negara;
7) Berikut atau tidak berikut bangunan, tanaman, dan hasil
karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan milik
pemegang hak atas tanah.
Pada dasarnya hak atas tanah yang dapat menjadi objek
Hak Tanggungan haruslah hak atas tanah (tanah) menurut
Undang-Undang Pokok Agraria yang (sudah) terdaftar dan
sifatnya dapat dipindahtangankan. Namun persyaratan tersebut
dapat dikecualikan, di mana hak atas tanah yang berasal dari
konversi hak lama dan belum didaftar dimungkinkan dijadikan
sebagai jaminan pelunasan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan.

3. Proses Pembebanan Hak Tanggungan


Berdasarkan Undang-undang Hak Tanggungan, Proses
pembebanan hak tanggungan dilaksanakan melalui 2 tahap

20
Rachmadi Usman, Op.Cit, h. 78.
29

kegiatan, yaitu tahap pemberian hak tanggungan dan tahap


pendaftaran hak tanggungan:
a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Undang-Undang Hak Tanggungan pada Pasal 10 ayat (2)
menyebutkan pemberian hak tanggungan dilakukan dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Tahap pemberian hak tanggungan ini didahului dengan
perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang
yang dijamin pelunasannya, yang merupakan perjanjian
pokoknya. Janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai
jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam
dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-
piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang
menimbulkan utang tersebut.
Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan dalam Pasal 10 ayat
(1) UUHT yang menyatakan:

“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk


memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan
utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan
bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang
bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan
utang tersebut.”

Penjelasan ayat (1) Pasal 10 tersebut antara lain


menyatakan, perjanjian yang menimbulkan hubungan utang
piutang tersebut dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau
harus dibuat dengan akta otentik, tergantung pada ketentuan
hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Dalam hubungan
utang-piutang itu timbul dari perjanjian utang-piutang atau
perjanjian kredit, perjanjian kredit tersebut dapat dibuat di dalam
30

maupun di luar negeri dan pihak-pihak yang bersangkutan dapat


perseorangan atau badan hukum asing, sepanjang kredit yang
bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di
wilayah negara Republik Indonesia.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT
tersebut dapat diketahui. bahwa pemberian Hak Tanggungan
harus diperjanjikan terlebih dahulu dan janji itu dipersyaratkan
harus dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak
terpisah dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau
perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Ini berarti
setiap janji untuk memberikan Hak Tanggungan terlebih dahulu
dituangkan dalam perjanjian utang piutangnya. Dengan kata lain
sebelum Akta Pemberian Hak Tanggungan dibuat, dalam
perjanjian utang piutang untuk dicantumkan “janji” pemberian
Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu,
berhubung sifat Hak Tanggungan sebagai perjanjian accessoir.
Ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT menyatakan:
“Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan
Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dapat disimpulkan bahwa ketentuan di atas menyebutkan
pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kedudukannya sebagai pejabat yang berwenang dalam
pembuatan APHT, maka akta yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah tersebut merupakan akta otentik.
Untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan,
baik itu mengenai subjek, obyek maupun utang yang dijamin,
maka menurut ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT, di
31

dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) wajib


21
dicantumkan hal-hal di bawah ini:
1) Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak
Tanggungan;
2) Domisili pihak-pihak pemegang dan pemberi Hak
Tanggungan;
3) Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang
dijamin, yang meliputi juga nama dan identitas debitur yang
bersangkutan;
4) Nilai tanggungan;
5) Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.
Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UUHT mengemukakan bahwa
ketentuan ini menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya
Akta Pemberian Hak Tanggungan. Sehingga jika tidak
dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang disebut pada ayat
ini dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan mengakibatkan
akta yang bersangkutan batal demi hukum.
Adapun konsekuensi hukum bagi tidak dicantumkannya
secara lengkap hal-hal yang disebutkan pada ayat (1) dari Pasal
11 UUHT tersebut dari Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
dimaksud adalah batal demi hukum, seyogyanya dicantumkan
sebagai salah satu syarat dari Pasal 11 UUHT dan tidak
sekadar dikemukakan dalam penjelasan dari Pasal 11 ayat (1)
UUHT itu.
Bahwa nama dan identitas para pihak dalam perjanjian
pemberian Hak Tanggungan harus disebutkan suatu syarat
yang logis. Tanpa identitas yang jelas, PPAT tidak tahu siapa
yang menghadap kepadanya, dan karenanya tidak tahu siapa
yang menandatangani aktanya, apakah penghadap cakap

21
Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan (Edisi Revisi dengan UUHT),
(Semarang: Fakultas Hukum Univesitas Diponegoro, 2008), h. 66-68.
32

bertindak, apakah ia mempunyai kewenangan bertindak


terhadap persil jaminan dan sebagainya. Hal itu berkaitan
dengan masalah kepastian hukum dan asas spesialitas
daripada Hak Tanggungan.22
Selanjutnya dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT menyatakan
bahwa dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dapat
dicantumkan janji-janji antara lain:23:
1) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak
Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan
dan atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak
Tanggungan.
2) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak
Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan
objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis
terlebih dahulun dari pemegang Hak Tanggungan.
3) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi Hak Tanggungan apabila debitur
sungguh-sungguh cidera janji.
4) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak
Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan,
jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau
untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hal
yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi
atau dilanggarnya ketentuan Undang-Undang.

22
J.Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku I,
(Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), h. 289.
23
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, cet.3, (Bandung: CV
Alfabeta, 2005), h. 80.
33

5) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama


mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek
Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji.
6) Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan
pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan
dibersihkan dari Hak Tanggungan.
7) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan
melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa
persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak
Tanggungan.
8) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh
seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi
Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek
Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak
Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum.
9) Janji bahwa pemegang Hak Tanggugan akan memperoleh
seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima
pemberian Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya,
jika objek Hak Tanggungan diasuransikan.
10)Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan
objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak
Tanggungan.
11)Janji yang dimaksud Pasal 14 ayat (4) UUHT.
b. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Pemberian Hak Tanggungan menurut Pasal 13 ayat (1)
UUHT, wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Adapun yang
menjadi tata cara pendaftaran Hak Tanggungan adalah sebagai
berikut:
1) Setelah dilakukannya penandatanganan Akta Pemberian
Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT dilakukan oleh
para pihak, PPAT mengirimkan Akta Pemberian Hak
34

Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang


diperlukan oleh Kantor Pertanahan. pengiriman tersebut
harus dilakukan oleh PPAT selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak
Tanggungan itu.
2) Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor
Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak
Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas
tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin
catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang
bersangkutan.
3) Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari
ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh
pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi
bertanggal hari kerja berikutnya.
Di dalam Pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan
dijelaskan bahwa:
1) Sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan
menerbitkan sertifikat hak tanggungan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2) Sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”,
3) Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse
akte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
35

4) Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah


yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3)
dikembalikan pada pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan.
5) Sertifikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang
Hak Tanggungan.
Ketentuan-ketentuan yang ada pada ayat ini menegaskan
adanya kekuatan eksekutorial atas sertifikat hak
tanggungan, sehingga apabila debitor cidera janji siap untuk
dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Hal ini berarti sertifikat hak tanggungan merupakan bukti
adanya hak tanggungan. Oleh karena itu maka sertifikat hak
tanggungan dapat membuktikan sesuatu yang pada saat
pembuatannya sudah ada atau dengan kata lain yang menjadi
patokan pokok adalah tanggal pendaftaran atau pencatatannya
dalam buku tanah hak tanggungan.

4. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)


Di dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT menentukan bahwa SKMHT
wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT. Syarat lain yang
harus dipenuhi perihal pembuatan SKMHT diatur pula di dalam
Pasal 15 ayat (1) antara lain:
a. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain
daripada membebankan Hak Tanggungan.
b. Tidak memuat kuasa substitusi.
c. Mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah
utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas
debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
36

Yang dimaksud dengan “tidak memuat kuasa untuk melakukan


perbuatan hukum lain” dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat
kuasa untuk menjual, menyewakan objek Hak Tanggungan, atau
memperpanjang hak atas tanah.
Mengenai unsure-unsur pokok yang harus dicantumkan dalam
SKMHT harus jelas dan terperinci, ini diperlukan untuk melindungi
kepentingan pemberi Hak Tanggungan, terutama memberikan
perlindungan mengenai jumlah utang harus sesuai dengan jumlah
yang telah diperjanjikan, selain itu harus jelas menunjuk secara
khusus objek Hak Tanggungan, kreditor dan debitornya.
Undang-undang Hak Tanggungan juga menentukan kuasa
untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali
atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga, kecuali dalam
dua hal, yakni:
1) Karena kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tersebut
telah dilaksanakan, atau
2) Karena telah habis jangka waktunya.
Ketentuan ini dimaksudkan agar pemberian Hak Tanggungan
benar-benar dilaksanakan, sehingga memberikan kepastian hukum
bagi pemegang maupun pemberi Hak Tanggungan, terlebih
mengingat bahwa kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan
tersebut hanya dibuat dalam keadaan yang sangat khusus dan
dengan persayaratan yang ketat, serta jangka waktu berlakunya
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) itu
dibatasi.24

5. Hapusnya Hak Tanggungan


Sebagaimana telah disebutkan di atas, Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan alasan limitatif bagi

24
Rachmadi Usman, Op.Cit., h. 124
37

hapusnya Hak Tanggungan. Alasan-alasan limitatif tersebut


25
adalah:
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak
Tanggungan;
c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan
peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Sesuai dengan sifat accessoir dari Hak Tanggungan, adanya
hak tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijamin
pelunasannya.
Ada beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan hak atas
tanah yang dibebani hak tanggungan hapus, yaitu:
a. Jangka waktunya berakhir, kecuali hak atas tanah yang
dijadikan objek hak tanggungan diperpanjang sebelum berakhir
jangka waktunya. Hak tanggungan mana tetap melekat pada
hak atas tanah yang bersangkutan;
b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena suatu
syarat batal dipenuhi;
c. Dicabut untuk kepentingan umum;
d. Dilepaskan dengan sukarela oleh pemilik hak atas tanah;
e. Tanahnya musnah.
Walaupun hak atas tanah itu hapus, namun pemberi hak
tanggungan tetap berkewajiban untuk membayar hutangnya.
Hapusnya hak tanggungan yang dilepas oleh pemegang hak
tanggungan dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis
mengenai dilepaskannya hak tanggungan tersebut oleh pemegang
hak tanggungan kepada pemberi hak tanggungan. Hapusnya hak
tanggungan karena pembersihan hak tanggungan berdasarkan
penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadinya

25
Kartini Muljadi, Hak Tanggungan, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 262.
38

karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani hak


tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu
dibersihkan dari beban hak tanggungan.26

6. Eksekusi Hak Tanggungan


Eksekusi berasal dari kata “executive” yang berarti pelaksanaan
putusan. Sebagai alasannya bertitik tolak dari ketentuan Bab
Sepuluh Bagian Kelima HIR atau titel keempat Bagian Keempat
RBg, pengertian eksekusi sama dengan pengertian menjalankan
putusan pengadilan, tiada lain daripada melaksanakan isi putusan
pengadilan, yakni melaksanakan secara paksa putusan pengadilan
dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah
(tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara
sukarela. 27
Eksekusi merupakan tindakan paksa yang dilakukan pengadilan
dengan bantuan kekuatan umum, guna menjalankan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selama
putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, upaya dan
tindakan eksekusi belum berfungsi. Eksekusi baru berfungsi
sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa terhitung sejak
tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan
pihak tergugat tidak mau menaati dan memenuhi putusan secara
sukarela.28
Latar belakang lahirnya eksekusi ini adalah dikarenakan
pemberi hak tanggungan atau debitur tidak melaksanakan
prestasinya sebagai mana mestinya, walaupun pihak yang
bersangkutan telah memberi peringatan atau somasi 3kali berturut-
turut oleh kreditur. Dalam hal ini perlu diketahui yang dapat

26
H. Salim HS, Op.Cit, h. 188
27
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Eksekusi Bidang Perdata. (Jakarta: Sinar
Grafika. 2006), h. 6.
28
M.Yahya Harahap. Op.Cit., h. 8.
39

dieksekusi adalah salinan putusan dan grosse akta (salinan


pertama dari akta autentik). Grosse akta dapat dieksekusi karena
memuat titel eksekutorial, sehingga akta disamakan dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Eksekusi dibedakan menjadi 4 jenis, sebagaimana disajikan
berikut ini.29
a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan
untuk membayar sejumlah uang. eksekusi ini diatur di dalam
Pasal 196 HIR
b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan
suatu perbuatan. Ini diatur di dalam Pasal 225 HIR. Orang tidak
dapat dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa
perbuatan. Akan tetapi, pihak yang dimenangkan dapat minta
kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai
dengan uang.
c. Eksekusi riil, yaitu merupakan pelaksanaan prestasi yang
dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara
langsung. Jadi eksekusi riil itu adalah pelaksanaan putusan
yang menuju kepada hasil yang sama seperti yang
dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang bersangkutan.
Eksekusi riil ini tidak diatur di dalam HIR akan tetapi diatur
dalam Pasal 1033 Rv yang merupakan pelaksanaan putusan
yang berupa pengosongan benda tetap. HIR hanya mengenal
eksekusi riil dalam penjualan lelang (Pasal 200 ayat (11) HIR)
dan
d. Eksekusi parat (parate executie), yaitu merupakan pelaksanaan
perjanjian tanpa melalui gugatan atau tanpa melalui pengadilan.
parate executie ini terjadi apabila seorang kreditur menjual
barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial
(Pasal 1155, Pasal 1175 ayat (2) KUH Perdata.

29
H. Salim HS, Op.Cit, h. 189.
40

B. Tinjauan Umum tentang Hak Guna Bangunan


1. Pengertian Hak Guna Bangunan
Di dalam UUPA Hak Guna Bangunan di atur di dalam Pasal 35
sampai dengan Pasal 40 dan Pasal 19 sampai dengan Pasal 38
Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
Hak Guna Bangunan adalah salah satu hak atas tanah yang
diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Pengertian Hak Guna
Bangunan diatur di dalam Pasal 35 ayat (1) yang berbunyi:
“Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun”.
Pernyataan Pasal 35 ayat (1) tersebut mengandung pengertian
bahwa pemegang HGB bukanlah pemegang hak milik atas bidang
tanah dimana bangunan tersebut didirikan.30 Terkait dengan hal
tersebut, dalam Pasal 37 UUPA dinyatakan bahwa HGB dapat
terjadi terhadap tanah yang dikarenakan penetapan pemerintah
dan juga adanya pernyataan yang berbentuk otentik antara pemilik
tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh
Hak Guna Bangunan itu yang bermaksud menimbulkan hak
tersebut.
Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
lain serta dijadikan jaminan hutang. Dengan demikian, maka sifat-
sifat dari Hak Guna Bangunan adalah:31
a. Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah
yang bukan miliknya sendiri, dalam arti dapat diatas Tanah
Negara ataupun tanah milik orang lain.

30
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat
Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Pemisahan Horizontal,(Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996) h. 190
31
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, (Jakarta : Prestasi Pustaka) h. 31
41

b. Jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20


tahun lagi.
c. Dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain.
d. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak
tanggungan.

2. Subjek dan Objek Hak Guna Bangunan


Hak Guna Bangunan dapat dipunyai oleh Warga Negara
Indonesia maupun badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hal tersebut sesuai
dengan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria. Pada
ayat (2) dijelaskan bahwa:

“Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna


Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut
dalam ayat (1) Pasal ini, dalam jangka waktu 1 tahun wajib
melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang
memenuhi syarat”.

Ketentuan tersebut berlaku juga bagi pihak lain yang


memperoleh Hak Guna Bangunan jika ia tidak memenuhi syarat-
syarat tersebut. Jika HGB yang bersangkutan tidak dilepaskan atau
dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena
hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan
diindahkan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.
Mengenai tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna
Bangunan telah diatur dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No.
40 Tahun 1996. Bila melihat pada Pasal 37 UUPA, maka dapat
dimengerti bahwa HGB dapat diberikan di atas tanah Negara yang
didasari penetapan dari pemerintah. Selain itu HGB juga dapat
diberikan di atas tanah Hak Milik berdasar pada adanya
kesepakatan yang berbentuk otentik antara pemilik tanah dengan
42

pihak yang bermaksud menimbulkan atau memperoleh HGB


tersebut.
Melihat pada ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah No.40
Tahun 1996, maka tanah yang dapat diberikan dengan hak guna
bangunan adalah Tanah Negara; Tanah Hak Pengelolaan; dan
Tanah Hak Milik. Dengan demikian dapat diketahui pula bahwa
obyek dari HGB adalah Tanah Negara, tanah hak pengelolaan dan
tanah Hak Milik dari seseorang.
Ketentuan mengenai Hak Guna Bangunan yang diberikan di
atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan, diatur lebih lanjut
dalam ketentuan Pasal 22 dan Pasal 23 PP No. 40 Tahun 1996,
dan pada dasarnya HGB yang diberikan di atas tanah Negara dan
tanah Hak Pengelolaan diberikan berdasarkan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun
1999, tentang Tata Cara Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan
Hak Pengelolaan, dengan memperhatikan ketentuan yang diatur
dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No.3 Tahun
1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan
Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

3. Hapusnya Hak Guna Bangunan


Hapusnya Hak Guna Bangunan diatur di dalam Pasal 40
Undang-Undang Pokok Agraria, yang menyatakan bahwa:
Pasal 40
Hak Guna Bangunan Hapus karena:
a. Jangka waktunya berakhir;
b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu
syarat tidak dipenuhi;
c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir;
d. Dicabut untuk kepentingan umum;
43

e. Ditelantarkan;
f. Tanahnya musnah;
g. Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2).
Pasal 40 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut selanjutnya
dipertegas kembali dalam Pasal 35 hingga Pasal 38 Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996 , yang juga memberikan ketentuan
mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan, antara lain :
1) Hak Guna Bangunan hapus karena:
a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangannya;
b. Dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum
jangka waktunya berakhir karena;
1) Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang
hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13,
dan/atau Pasal 14;
2) Putusan pengadilam yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap;
c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum
jangka waktunya berakhir;
d. Dicabut berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961;
e. Ditelantarkan;
f. Tanahnya musnah;
g. Ketentuan Pasal 20 ayat (2).
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Presiden.

Anda mungkin juga menyukai