Anda di halaman 1dari 8

Nama: Muhammad zulham

NPM: 16310206
Kelompok 7

Celera Kepala
Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak .Menurut Brain Injury Association of America, cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik .

Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian, terutama
pada dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena
trauma, dan setengah dari total kematian akibat trauma berhubungan dengan otak. Kasus
cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5
menit. Cedera kepala dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun angka kejadian
tertinggi adalah pada dewasa muda berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3
hingga 4 kali lebih sering dibandingkan wanita .
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu lintas
yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk
transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7
persen .
Klasifikasi Cedera Kepala
Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support cedera kepala diklasifikasikan
dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.

Mekanisme Cedera Kepala


Percobaan biomekanika cedera kepala telah banyak dipelajari pada hewan coba,
kadaver manusia, dan model eksperimental tulang kepala dan otak. Pada tahun 1943,
Holbourn menunjukkan efek kekuatan rotasional dengan gel pada tengkorak manusia, dan
3 tahun kemudian, merekam fenomena ini pada tengkorak monyet yang digantikan
dengan plastik transparan. Perkembangan teknologi memungkinkan dengan Computed
Tomography (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) mempelajari efek linier
dan angular akselerasi pada otak pasien percobaan .
Dengan mekanisme fisiologis pada cedera kepala akan dapat memperkirakan
dampak pada cedera kepala primer. Komponen utama diantaranya kekuatan cedera
(kontak atau gaya), jenis cedera (rotasional, translational, atau angular), dan besar serta
lamanya dampak tersebut berlangsung. Kekuatan kontak terjadi ketika kepala bergerak
setelah suatu gaya, sedangkan gaya inersia terjadi pada percepatan atau perlambatan
kepala, sehingga gerak diferensial otak relatif terhadap tengkorak. Meskipun satu proses
mungkin mendominasi, sebagian besar pasien dengan cedera kepala mengalami
kombinasi dari mekanisme ini.
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan cedera kepala benturan kepala dengan
benda padat pada kecepatan yang cukup, beban impulsif memproduksi gerak tiba-tiba
kepala tanpa kontak fisik yang signifikan, dan statis beban kompresi statis atau kuasi
kepala dengan kekuatan bertahap.
Kekuatan kontak biasanya mengakibatkan cedera fokal seperti memar dan patah
tulang tengkorak. kekuatan inersia terutama translasi mengakibatkan cedera fokal, seperti
kontusio dan Subdural Hematoma (SDH), sedangkan cedera rotasi akselerasi dan
deselerasi lebih cenderung mengakibatkan cedera difus mulai dari gegar otak hingga
Diffuse Axonal Injury (DAI). Cedera rotasi secara khusus
menyebabkan cedera pada permukaan kortikal dan struktur otak bagian dalam
Percepatan sudut merupakan kombinasi dari percepatan translasi dan rotasi,
merupakan bentuk yang paling umum dari cedera inersia. Karena sifat biomekanis kepala
dan leher, cedera kepala sering mengakibatkan defleksi kepala dan leher bagian tengah
atau tulang belakang leher bagian bawah (sebagai pusat pergerakan).
Cedera lainnya merupakan trauma penetrasi atau luka tembak yang mengakibatkan
perlukaan langsung organ intrakranial, yang pasti membutuhkan intervensi pembedahan.

Morfologi Cedera Kepala


Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi atau area terjadinya trauma
Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara garis besar
adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-
fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain and
Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala tertutup adalah apabila suatu
pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak
menekan tengkorak. Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah
menembus sampai kepada dura mater.
Patofisiologi
Cedera kepala didasarkan pada proses patofisiologi dibagi menjadi dua yang
didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan
fisik yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat
permanen. Dari tahapan itu, dikelompokkan cedera kepala menjadi dua

 Cedera Otak Primer


Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik yang
merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan perdarahan).
Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi,
kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang
tengkorak, yang dapat memberi efek pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat
mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus
Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan atau pembuluh darah. Cedera
parenkim berupa kontusio, laserasi atau Diffuse Axonal Injury (DAI), sedangkan cedera
pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural, subarachnoid dan intraserebral ,
yang dapat dilihat pada CT scan. Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan
subarachnoid traumatik dan DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskemik baik
fokal maupun global
Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti
hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure (ICP) yang meninggi,
edema, kompresi jaringan fokal, kerusakan mikrovaskular pada fase lanjut (late phase),
terjadi vasospasme .Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi menjadi:
1. Fase awal (fase1, segera, dengan hipoperfusi)
2. Fase intermediate (fase2, hari1-3, tampak hiperemia)
3. Fase lanjut vasospastik (fase3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran darah
(Ingebrigtsen, et al. 1998).
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral
 . Cedera otak fokal
Cedera otak fokal secara tipikal menimbulkan kontusio serebri dan traumatik
Intrakranial hematoma

1. Kontusio Serebri (memar otak)


Kontusio serebri merupakan cedera fokal berupa perdarahan dan
bengkak pada subpial, merupakan cedera yang paling sering terjadi. Dilaporkan
bahwa 89% mayat yang diperiksa postmortem mengalami kontusioserebri
Faktor Risiko Klinis Cedera Kepala
Faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan angka survival meliputi nilai GCS
rendah, usia lanjut, dijumpainya hematom intrakranial dan keadaan sistemik lain yang
memperberat keadaan cedera kepala. Penelitian lain menunjukkan, 30-60 % pasien cedera
kepala dengan Intracranial Pressure (ICP) tidak terkontrol meninggal dan berbeda dengan
penelitian besar lainnya dijumpai hasil outcome yang lebih baik dengan cacat sedang

 . Faktor Usia
Pada usia diatas 60 tahun yang mengalami cedera kepala memiliki risiko terjadinya
kelainan pada otak lebih besar dibandingkan usia muda (Munro, 2002). Terdapat hubungan
yang bermakna antara usia tua dan lesi otak, dan kemungkinan bertahan hidup pada pasien
dengan hematoma intrakranial menurun sesuai dengan peningkatan usia (Amacher, 1987).
Hal ini karena pada usia tua berisiko terjadi lesi fokal karena atrofi otak dan mudah
robeknya bridging vein pada usia tua

 . Hipotensi
Hipotensi, yang bisa muncul kapan saja akibat trauma, telah dijadikan prediktor
utama terhadap outcome pada pasien cedera kepala. Hipotensi merupakan faktor yang sering
ditemukan diantara kelima faktor terkuat yang mempengaruhi outcome pasien cedera
kepala. Riwayat penderita dengan kondisi hipotensi berhubungan dengan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala

 . Hipoksia
Katsurada dkk melaporkan bahwa diantara penderita cedera kepala berat dalam
keadaan koma, 43% mendapat hipoksia arterial dibawah 70 mmHg, 51% mempunyai
perbedaan oksigen alveolar-arterial lebih dari 30% ; 14% mendapat hiperkarbia lebih dari45
mmHg. Miller (1978) mendapatkan bahwa 30% dari penderita ada awalnya sudah menderita
hipoksia.

2.3. Penilaian Derajat Berat Trauma

Penilaian derajat keparahan cedera sangat penting dalam penanganan trauma.


Penilaian ini sudah dimulai sejak 50 tahun yang lalu. Penilaian derajat keparahan didasarkan
pada parameter-parameter anatomis ataupun fisiologis yang dituangkan dalam bentuk skor
atau skala. Skor pada trauma mengkonversi derajat keparahan cedera menjadi hitungan
angka sehingga membantu tenaga medis untuk bertukar informasi secara universal Skor juga
digunakan untuk meramalkan prognosis.
Beberapa sistem skor trauma dikembangkan dan digunakan di banyak negara untuk
memperkirakan beratnya trauma dan kerusakan jaringan. Sistem skor pada trauma harus
memiliki akurasi, reabilitas dan spesifisits yang baik. Sistem skor ini memberikan
keuntungan berupa:
1. Penilaian objektif untuk mendeteksi level trauma sehingga dapat memperkirakan
rencana perawatan yang dibutuhkan
2. Memberikan data fisiologi yang berhubungan dengan mortalitas pada fase awal.
3. Menentukan transportasi pasien menuju rumah sakit yang tepat.
4. Pasien yang memiliki keuntungan yang besar terhadap terapi dapat dideteksi lebih
awal.
5. Menentukan sarana kesehatan yang dibutuhkan pada daerah tersebut.

6. Memberikan data-data epidemiologi trauma.


7. Menilai efektivitas penanganan trauma pada pusat kesehatan

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik (terutama kepala dan leher) :

Kepala : hematoma, laserasi, penumpukan cairan, depresi tulang Fraktur tengkorak :

adakah otorea, hemotimpanum, rinorea, raccoon eyes, battle sign

Leher : adakah deformitas, kekakuan atau nyeri

Jejas trauma di bagian tubuh lain : dada, abdomen dan ekstremitas

 Status mental : sadar penuh, orientasi, confusion/bingung, gaduh-gelisah, tidak responsif


 Saraf kranial :

- Refleks pupil (N.II, N.III), Doll’s eye response (N.III,N.IV,N.VI),

respons okulomotor kalorik (N.III,N.IV,N.VI,N.VIII), refleks

kornea dan seringai wajah (N.V, N.VII), refleks muntah (N.IX,N.X)

 Pemeriksaan sensorimotor

- Asimetri, gerakan (spontan/menuruti perintah), tonus otot, koordinasi (jika memungkinkan),


reaksi terhadap nyeri (menarik/ withdrawl, deserebrasi, dekortikasi, tidak ada respons)

 Pemeriksaan refleks fisiologis, patologis, klonus.

Pemeriksaan Penjung

 Pemeriksaan darah tepi lengkap.


 Pemeriksaan protein S 100 B (bila tersedia fasilitas pemeriksaan),

bertujuan untuk menilai adakah indikasi pemeriksaan CT-scan dan

untuk menentukan prognosis.


 Pemeriksaan CT scan kepala (lihat algoritme)

Anda mungkin juga menyukai