Anda di halaman 1dari 103

KISAH RASULULLAH ‫ﷺ‬

Bagian 4

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل م َُحمد‬

Harta Abdul Muthalib

Setelah tumbuh dewasa, Abdul Muthalib pun menjadi seorang pemuka Mekah sebagaimana Hasyim, bapaknya.

Sementera itu, ketika Hasyim meninggal, hartanya dikuasai oleh Naufal, adiknya yang terkecil.
Setelah dewasa, Abdul Muthalib hendak meminta harta ayahnya, tetapi Naufal menolak. Abdul Muthalib pun
meminta bantuan kerabat ibunya yang tinggal di Yatsrib. Orang-orang Yatsrib mengirimkan 80 pasukan berkuda.
Naufal pun ketakutan dan menyerahkan harta Hasyim kepada Abdul Muthalib

Pada zaman pemerintahannya, Abdul Muthalib melakukan sebuah perbuatan yang akan dikenang orang
sepanjang zaman.

Sumber Air Mekah

Abdul Muthalib adalah pengurus air dan makanan bagi tamu-tamu yang datang ke Mekah. Setelah ratusan
tahun Sumur Zamzam tertimbun, air harus didatangkan dari beberapa sumur yang terpencar-pencar di sekitar
Mekah.

MENGGALI SUMUR ZAMZAM

Saat itu, Sumur Zamzam telah terkubur dan dilupakan orang selama ratusan tahun. Namun, Abdul Muthalib
tidak pernah lupa pada sejarah Mekah, bahwa dulu pernah ada mata air yang menghidupi Mekah, mata air yang
memancar keluar oleh kaki Ismail.

"Aku harus menemukannya!" pikir Abdul Muthalib. "Aku harus menemukan kembali Sumur Zamzam yang telah
dilupakan orang! Apalagi aku bertugas menyediakan air dan makanan bagi penduduk Mekah."

Pikiran seperti itu tidak pernah hilang dari benaknya, "Aku harus menemukannya! Aku harus menemukannya!"

Setelah itu, Abdul Muthalib mengambil tembilang (alat untuk menggali bertangkai panjang) dan memanggil
putra satu-satunya, "Harits, temani ayah mencari dan menggali kembali Sumur Zamzam!"

Harits mengangguk. Kemudian, mereka mulai mencari di mana dulu letak Mata Air Zamzam berada. Setelah
beberapa kali mencoba menggali di beberapa tempat, Sumur Zamzam tidak juga ditemukan.

"Ayah, mungkin Sumur Zamzam memang telah hilang," kata Harits.

"Tidak Nak, Ayah yakin Sumur itu masih ada! Kita harus menemukannya! Orang-orang Mekah akan hidup lebih
baik jika Sumur Zamzam ada di tengah kita!"

Dengan gigih keduanya pun terus mencari sumur Zam-Zam.


Orang-orang Quraisy, penduduk asli Mekah, melihat perbuatan mereka dengan heran.

"Mengapa engkau masih terus menggali, Abdul Muthalib? Bukankah dulu nenek moyang kita, Mudzaz bin Amr
pernah menggalinya, tapi tidak berhasil?"

Abdul Muthalib menaruh tembilangnya dan duduk.


Ya, ratusan tahun yang lalu Mudzaz bin Amr mertua Nabi Ismail ‫ عليه ااسالم‬pernah mencoba menggali Zamzam
tapi tidak berhasil.
Padahal, saat itu Mudzaz telah mempersembahkan sesaji berupa pedang dan pelana berpangkal emas agar
Sumur Zamzam ditemukan.
Bagian 6

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمد‬

TEBUSAN SERATUS UNTA

Dengan mem"baja"kan hati, Abdul Muthalib menuntun Abdullah menuju sebuah tempat di dekat sumur
Zamzam yang terletak di antara dua berhala Isaf dan Na'ila. Di tempat itulah biasanya orang orang Mekah
melakukan pengurbanan hewan untuk dewa-dewa mereka. Namun, masyarakat semakin keras menghalangi
Abdul Muthalib melakukan niatnya. Akhirnya, kekerasan hatinya pun luluh.

"Baiklah, tetapi apa yang harus kulakukan agar berhala tetap berkenan kepadaku?"

"Kalau penebusannya dapat dilakukan dengan harta kita, kita tebuslah," kata Mughirah bin Abdullah dari suku
Makhzum.

Setelah diadakan perundingan, mereka sepakat menemui seorang dukun di Yatsrib.

"Berapa tebusan kalian?" tanya dukun wanita itu.

"Sepuluh ekor unta."

"Kembalilah ke negeri kalian. Sediakan tebusan 10 ekor unta. Kemudian undi antara unta dan anak itu. Jika yang
keluar nama anakmu, tambahlah jumlah untanya, kemudian undi lagi sampai nama unta yang keluar."

Mereka pulang dengan lega dan segera mengundi dengan anak panah. Ternyata yang keluar adalah nama
Abdullah. Mereka menambahkan tebusan unta dan mengundi lagi. Ternyata, lagi lagi nama Abdullah yang
keluar. Demikianlah, Abdul Muthalib menambah dan menambah terus jumlah unta. Ketika jumlah unta sudah
mencapai 100 ekor, barulah nama unta yang keluar.

"Dewa sudah berkenan," seru orang orang.

"Tidak," bantah Abdul Muthalib. "Harus dilakukan sampai 3 kali."

Akhirnya, setelah 3 kali dikocok, yang keluar adalah nama unta. 100 ekor unta itu pun disembelih dan dibiarkan
begitu saja tanpa disentuh manusia dan hewan karena mereka beranggapan bahwa unta itu untuk dewa.
Keturunan Dua Orang yang Disembelih

Diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda,


"Aku adalah anak dua orang yang disembelih."
Yang dimaksud oleh beliau adalah Nabi Ismail nenek moyangnya, dan Abdullah ayahnya.

Si Penguasa Yaman

Saat Abdul Muthalib memimpin Mekah, ada sebuah peristiwa dahsyat. Kejadian ini bermula dari Yaman, sebuah
negeri yang terletak jauh di sebelah selatan Mekah. Saat itu, Yaman diperintah oleh seorang penguasa bernama
Abrahah Al Asyram.

"Aku tidak habis pikir, mengapa setiap tahun seluruh bangsa Arab datang ke tanah Mekah?" seru Abrahah
kepada para menterinya.

"Paduka tahu, di sana ada sebuah bangunan bernama Ka'bah. Bangunan tua itu begitu disucikan oleh penduduk
Jazirah Arab sehingga mereka tidak dapat berpaling darinya. Ke sanalah mereka pergi beribadah menyembah
para dewa sepanjang tahun," jawab salah seorang menteri.

"Apa istimewanya bangunan tua yang terbuat dari batu kasar itu? Aku ingin negeri kita, Yaman, mempunyai
sebuah rumah suci yang akan membuat bangunan tua di Mekah itu menjadi tidak berarti lagi dan dilupakan
orang!"

"Namun, apa mungkin kita bisa membuat rumah suci baru yang bisa menandingi Ka'bah?"

"Mengapa tidak? Buat sebuah gereja yang sangat indah! Hiasi dengan perlengkapan paling mewah yang kita
miliki! Gerbang emas, jendela perak, lantai pualam yang berkilau!
Semuanya! Kerahkan seluruh ahli bangunan! Aku ingin gereja itu selesai dalam waktu singkat!"

Tidak lama kemudian, berdirilah sebuah gereja seindah yang diinginkan Abrahah. Sang Penguasa Yaman itu
mengunjunginya dengan rasa puas.

"Lihat, tidak lama lagi, seluruh orang Arab akan datang ke sini!"
kata Abrahah kepada bawahannya,
"bahkan orang orang Mekah akan melupakan rumah tua mereka begitu melihat bangunan seindah ini!"

Bendungan Ma'rib

Penduduk asli Yaman adalah kaum Saba. Sebelum datangnya Islam, negeri Yaman telah terkenal dengan
kemajuan teknologi bangunannya. Salah satu bangunan yang amat terkenal adalah Bendungan Raksasa Ma'rib.
Ketika bangunan ini jebol, banjir besar melanda daerah sekitarnya sehingga para penduduk terpaksa pindah ke
negeri lain.
Bagian 7

Penyerbuan
Ternyata, apa yang diharapkan Abrahah tidak terjadi. Orang-orang Arab sudah sangat mencintai rumah purba
Ka'bah sehingga mereka tidak dapat berpaling ke rumah suci yang lain, betapa pun indahnya bangunan itu
dibuat. Orang-orang Arab merasa ziarah mereka tidak sah jika tidak mengunjungi Ka'bah. Bahkan, penduduk
Yaman sendiri tidak mengindahkan rumah suci baru itu. Seperti biasa, mereka tetap berbondong-bondong
berziarah ke Mekah.

"Tidak ada jalan lain!" geram Abrahah.

"Gerakkan pasukan gajah kita! Serbu dan hancurkan Ka'bah! Aku sendiri yang akan memimpin! Jika bangunan
tua itu hancur dan rata dengan tanah, orang orang Arab tidak akan punya pilihan lain selain datang ke tempat
kita!"

Sang Penguasa Yaman memang ditakuti orang karena pasukan gajah yang dimilikinya. Abrahah sendiri naik di
atas gajah yang paling besar dan kuat.

"Maju!" perintahnya.

Terompet pun membahana dan bumi seolah-olah pecah oleh gemuruh pasukan yang maju ke medan perang.
Mendengar keberangkatan pasukan ini untuk menghancurkan Ka'bah, penduduk Jazirah Arab terkejut.
Walaupun tahu pasukan Abrahah begitu kuat, jiwa kepahlawanan orang-orang Arab menjulang tinggi di hadapan
musuh.

Dzu Nafar, seorang bangsawan Arab, mengerahkan masyarakatnya untuk menahan gerak maju Abrahah. Akan
tetapi, ia dikalahkan dan ditawan.

Nufail bin Habib Al Khath'ami memimpin pasukan Kabilah Syahran dan Nahis. Namun, ia juga dikalahkan dan
dijadikan penunjuk jalan pasukan Abrahah.

Al Qullayus

Al Qullayus adalah nama gereja yang dibangun Abrahah agar orang tidak lagi pergi ziarah ke Mekah, tetapi ke
gereja ini. Mengetahui maksud Abrahah ini, bangsa Arab marah karena kecintaan mereka pada Ka'bah sudah
mendarah daging.

Sementara itu, seseorang dari suku Kinani malah pergi memasuki Al Qullayus dan membuat kerusakan di
dalamnya. Peristiwa inilah yang memicu Abrahah untuk menghancurkan Ka'bah.

Sikap Penduduk Mekah

"Kita lawan mereka, Abdul Muthalib! Berikan peringatan kepada setiap orang untuk bertempur!"

Orang-orang Quraisy di Mekah panik. Mereka meminta pendapat Abdul Muthalib untuk bertempur. Abdul
Muthalib tahu, sekeras apa pun mereka melawan, semuanya akan sia-sia. Pasukan Mekah akan ditaklukkan.
Karena itu, ia menjawab dengan bijak,
"Tidak, kita tidak akan mampu. Seorang utusan Abrahah telah tiba dan menyampaikan keterangan bahwa
Abrahah tidak akan memerangi kita. Abrahah hanya ingin menghancurkan Ka'bah. Kita akan selamat jika tidak
menghalanginya. Aku sarankan semua orang pergi mengungsi ke gunung-gunung di sekeliling kota."

Abdul Muthalib kemudian mendatangi markas Abrahah bersama beberapa orang pemuka Mekah.

"Kembalikan unta-unta kami yang dirampas pasukanmu," kata Abdul Muthalib kepada Abrahah.

"Akan kukembalikan unta-unta itu! Apakah ada hal lain yang engkau minta?" tanya Abrahah.

"Urungkan niatmu untuk menghancurkan Ka'bah. Jika engkau mau, kami akan berikan sepertiga harta dari
daerah Tihama yang subur."

Abrahah menggeleng, "Tidak."

"Kalau begitu, kami serahkan pengamanan Ka'bah kepada Tuhan pemilik Ka'bah!" jawab Abdul Muthalib, lalu dia
pergi.

Kini kota Mekah kosong. Penduduknya telah mengungsi. Jalan lebar terbuka bagi Abrahah untuk
menghancurkan Ka'bah yang letaknya sudah di depan mata.
Tidak ada yang mampu menghalangi kekuatan sebesar itu

Catatan

Abrahah Al Asyram

Abrahah Al Asyram bukanlah penduduk asli Yaman. Ia datang dari negeri Habasyah di Afrika, kemudian
menduduki Yaman.
70.000 pasukan Habasyah yang dipimpin Aryath berhasil mengalahkan Yaman. Akan tetapi, Aryath kemudian
dibunuh oleh Abrahah. Sejak itulah Abrahah memerintah Yaman.
Bagian 8

Kehancuran Abrahah

Allåhlah yang melindungi rumah suci-Nya. Ketika pasukan Abrahah bergerak mendekat, gajah Abrahah berhenti.
Sekeras apa pun Abrahah memukulinya, gajah itu tetap duduk tenang, bahkan akhirnya berusaha berjalan lagi
ke arah Yaman.

"Maju! Maju! Apa yang terjadi padamu?" bentak Abrahah pada tunggangannya.
"Dalam berbagai medan pertempuran, belum pernah kamu mengecewakan aku seperti ini! Kamu bahkan
tampak ketakutan! Ada apa sebenarnya?"

"Paduka! Ada yang datang dari arah laut!" teriak seorang prajurit sambil menunjuk-nunjuk panik.

Saat itulah, dari arah laut, Allah mengirim kawanan burung yang kepakan sayapnya menutupi sinar matahari
seperti iringan awan mendung yang bergerak cepat. Burung-burung itu menjatuhkan batu-batu menyala ke arah
pasukan gajah. Dengan panik setiap orang berusaha menyelamatkan diri, tetapi sia-sia. Semua orang, termasuk
Abrahah, mati.
Peristiwa ini Allah abadikan dalam surat Al Fil :

ِ ‫ُّك ِبأَصْ َحا‬


ِ ‫ب ْالف‬
‫ِيل‬ َ ‫أَلَ ْم َت َر َكي‬
َ ‫ْف َف َع َل َرب‬

Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?
Surah Al-Fil (105:1)

ٍ ‫أَلَ ْم َيجْ َع ْل َكيْدَ ُه ْم فِي َتضْ ل‬


‫ِيل‬

Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka´bah) itu sia-sia?
Surah Al-Fil (105:2)

‫َوأَرْ َس َل َعلَي ِْه ْم َطيْرً ا أَ َب ِابي َل‬

dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong,


Surah Al-Fil (105:3)

ٍ ِّ‫ار ٍة مِنْ سِ ج‬
‫يل‬ ِ ‫َترْ م‬
َ ‫ِيه ْم ِبح َِج‬

yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,
Surah Al-Fil (105:4)

ٍ ‫َف َج َعلَ ُه ْم َك َعصْ فٍ َمأْ ُك‬


‫ول‬

lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).


Surah Al-Fil (105:5)

Wabah Penyakit

Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa yang dibawa burung itu adalah kuman kuman wabah penyakit cacar.
Dalam beberapa hari saja seluruh pasukan mati dengan tubuh rusak seperti daun dimakan ulat.
Abrahah berhasil kembali ke Yaman, tetapi tidak lama setelah itu ia pun mati seperti pasukannya.

Kembali ke Mekah

Abdullah bin Abdul Muthalib tidak jadi disembelih karena telah ditebus ayahnya dengan 100 ekor unta.

Abdullah adalah pemuda yang berwajah tampan. Kegagahan parasnya banyak menarik perhatian gadis-gadis
Mekah. Apalagi setelah mereka tahu bahwa nyawa Abdullah telah ditebus dengan 100 ekor unta, suatu jumlah
yang luar biasa yang tidak pernah dialami seorang pun sebelumnya. Walaupun banyak gadis yang berusaha
menggodanya, kesopanan Abdullah tetap terjaga.

Gadis yang Meminang


Setelah penebusan Abdullah, Abdul Muthalib menggandeng tangan putranya menuju rumah Wahb bin Abdul
Manaf. Wahb mempunyai seorang putri bernama Aminah. Abdul Muthalib sudah sepakat dengan Wahb untuk
menikahkan putra-putri mereka.

Namun, di tengah jalan, seorang gadis cantik menegur Abdullah, "Engkau akan pergi ke mana, wahai Abdullah?"

"Aku akan pergi bersama ayahku."

Tanpa memedulikan Abdul Muthalib, gadis itu berkata, "Kulihat engkau memang dituntun ayahmu, tak ubahnya
seperti seekor unta yang akan disembelih. Demi engkau, aku akan menerimamu jika engkau mau menikahi diriku
sekarang juga."

Abdullah terperangah. Ia menatap gadis itu dengan gugup.

"Siapakah gadis ini? Pikir Abdullah, "dilihat dari pakaiannya yang dipenuhi perhiasan mahal, ia pasti seorang
gadis bangsawan. Matanya yang hitam memancarkan sinar yang teduh seperti yang biasa dimiliki gadis-gadis
berperangai lemah lembut dan penuh kasih sayang. Apa yang harus kukatakan kepadanya?"

Ketika Abdullah menoleh kepada ayahnya, dilihatnya Abdul Muthalib memberi isyarat agar Abdullah terus
melangkah dan tidak menggubris sang gadis .

"Aku bersama ayahku." Aku tak kuasa menolak kehendaknya dan berpisah dengannya.

Abdullah kembali berjalan bersama ayahnya. Hatinya dipenuhi rasa iba dan simpati kepada gadis yang
ditinggalkannya.
Hari itu juga, Abdul Muthalib datang ke rumah Wahb bin Abdul Manaf. Mereka sepakat menjodohkan Abdullah
dengan Aminah.

Keesokan harinya, Abdullah bertemu lagi dengan gadis yang kemarin. Abdullah menyapanya, "Mengapa engkau
tidak menyapaku seperti kemarin?"

Gadis itu menjawab dengan ketus, "Sinar berseri-seri yang kemarin kulihat pada wajahmu sudah tidak ada lagi.
Karena itu, sekarang aku sudah tidak membutuhkanmu!"

Sinar Kenabian

Sinar berseri-seri yang dilihat sang gadis pada wajah Abdullah menurut sebagian ahli sejarah adalah sinar
kenabian yang akan diturunkan Abdullah kepada putranya.
Ketika Abdullah sudah dijodohkan dengan Aminah, maka gadis itu sudah tidak bisa lagi berharap akan memiliki
putra yang kelak menjadi nabi.

Bagian 9

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمد‬

Pernikahan Abdullah dengan Aminah


Allah sudah menentukan bahwa jodoh yang paling tepat untuk Abdullah adalah Aminah binti Wahb. Aminah
adalah gadis yang paling baik keturunan dan kedudukannya di kalangan suku Quraisy.

Musim semi tahun 570 Masehi pun tiba. Batang-batang gandum di Yaman tumbuh menjulang tinggi. Dedaunan
kurma di kota Tha'if kembali bersemi. Sementara itu, padang-padang rumput dipenuhi harum bunga-bunga yang
tumbuh di kebun-kebun.

Bagi penduduk Mekah, musim semi adalah tanda kebebasan dan dimulainya lagi perdagangan musim panas ke
Syria. Abdullah pun berniat pergi musim ini.

"Kanda, sebenarnya hatiku sangat berat melepas kepergianmu. Entah mengapa hatiku diliputi kekhawatiran dan
kegelisahan. Aku bahkan berharap dapat menemukan suatu alasan untuk menahan kepergianmu," keluh
Aminah kepada suaminya.

Abdullah tersenyum menentramkan, "Hatiku pun terasa tertinggal di sini, Dinda. Aku tahu begitu besar rasa
sayangmu kepadaku sehingga engkau berharap dapat terus berada di sisiku."

"Bukan cuma itu, damai rasanya berada di sampingmu, Kanda."

Abdullah mengangguk, "Tetapi Dinda, kini di dalam perutmu ada bayi kita. Kau tahu aku adalah pemuda tak
berada. Saat ini, kita hanya mempunyai lima ekor kambing perah. Selain itu, tak ada lagi kekayaan yang dapat
menghidupi kita berdua selain sedikit kurma dan daging kering. Karena itu, inilah saatnya bagiku untuk pergi
berniaga dan menambah penghasilan kita."

Aminah terpaksa mengangguk menerima kenyataan itu. Ia memandang kepergian Abdullah dengan sendu,
seolah itu adalah detik-detik terakhir ia dapat melihat wajah suaminya.

Hamzah bin Abdul Muthalib

Pada hari pernikahan Abdullah dengan Aminah, Abdul Muthalib pun menikahi sepupunya yang bernama Hala.
Dari perkawinan ini, lahirlah Hamzah, paman Rasulullah yang seusia dengan beliau.

Abdullah Meninggal

Bersama kafilah dagang, Abdullah tiba di Gaza. Kemudian, dalam perjalanan pulang, ia singgah di Yatsrib. Di
sana, ia tinggal bersama saudara-saudara ibunya. Namun, ketika kawan-kawannya dari Mekah hendak
mengajaknya pulang, Abdullah jatuh sakit.

"Rasanya, aku takkan kuat menempuh perjalanan pulang," kata Abdullah kepada kawan-kawannya. "Kalian
berangkatlah dan sampaikan pesan kepada ayahku bahwa aku jatuh sakit."

Kawan-kawannya mengangguk, "Akan kami sampaikan pesanmu. Baik-baiklah engkau di sini."

Kafilah Mekah pun beranjak pulang. Ketika tiba di rumah, mereka menyampaikan pesan Abdullah kepada Abdul
Muthalib.
"Harits!" panggil Abdul Muthalib kepada putra sulungnya. "Pergilah ke Yatsrib. Lihatlah keadaan adikmu. Jika
sudah sembuh, jemputlah ia pulang."

Harits pun segera berangkat. Ketika tiba di rumah paman-pamannya di Yatsrib, yang ditemuinya adalah wajah-
wajah duka.

"Abdullah telah meninggal," kata mereka kepadanya, "mari, kami antar engkau ke pusaranya."

Harits pun menyampaikan berita sedih itu ke Mekah. Melelehlah air mata di pipi Abdul Muthalib. Namun,
kesedihan yang paling berat dirasakan oleh Aminah. Apalagi di saat itu ia tengah menantikan kelahiran bayinya.

"Selamat jalan, Kanda," isak Aminah, "hilanglah seluruh kebahagiaan hidupku bersamamu. Kini, tinggallah aku
yang hidup untuk membesarkan bayi kita."

Tidak lama lagi, bayi Aminah akan lahir. Bayi yang kelak ditakdirkan Allah menjadi orang besar yang mengubah
jalannya sejarah dunia.

Peninggalan Abdullah

Saat meninggal, Abdullah meninggalkan lima ekor unta, sekelompok ternak kambing, dan seorang budak
perempuan bernama Ummu Aiman yang kelak menjadi pengasuh Rasulullah. Nama aslinya adalah Barokah. Ia
berasal dari Habasyah.
Bagian 10

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمد‬

Kelahiran Muhammad ‫ﷺ‬

Pada hari Senin pagi tanggal 12 Rabiul Awwal pada tahun yang sama dengan penyerbuan Abrahah (tahun gajah),
Aminah melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat itu bertepatan dengan bulan Agustus tahun 570 Masehi.
(Sebagian pendapat mengatakan bahwa Aminah melahirkan pada tanggal 20 atau 21 April tahun 571 Masehi).

Aminah mengutus seseorang sambil berkata, "Pergilah kepada Abdul Muthalib dan katakan, 'Sesungguhnya
telah lahir bayi untukmu. Oleh karena itu, datang dan lihatlah '."

Abdul Muthalib bergegas datang. Ketika mengambil bayi itu dari pelukan Aminah, dadanya bergemuruh
dipenuhi rasa sayang.

"Kehadiranmu mengingatkan aku kepada ayahmu. Sungguh, di hatiku kini dirimu hadir sebagai pengganti
Abdullah."

Dengan penuh rasa syukur, orangtua itu menggendong cucunya berthawaf, mengelilingi Ka'bah. Kali ini tidak
kepada berhala, tetapi kepada Allah. Abdul Muthalib berdoa dan bersyukur.

"Aku memberimu nama Muhammad," kata Abdul Muthalib.

Muhammad berarti terpuji, sebuah nama yang tidak umum di kalangan masyarakat Arab, tetapi cukup dikenal.
Kemudian, ia memerintahkan orang untuk menyembelih unta dan mengundang makan masyarakat Quraisy.

"Siapa nama putra Abdullah, cucumu itu?" tanya seseorang kepada Abdul Muthalib.

"Muhammad."

"Mengapa tidak engkau beri nama dengan nama nenek moyang kita?"

"Kuinginkan ia menjadi orang yang terpuji, bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi," jawab Abdul
Muthalib.

Cahaya Aminah

Ketika Aminah mengandung Nabi Muhammad, ia melihat seberkas sinar keluar dari perutnya dan dengan sinar
tersebut ia melihat istana-istana Busra di Syam.

Saat itu di kalangan bangsawan Arab sudah berlaku tradisi yang baik, yakni mereka mencari wanita-wanita desa
yang bisa menyusui anak-anaknya.

Anak-anak disusukan di pedalaman agar terhindar dari penyakit, memiliki tubuh yang kuat dan agar dapat
belajar bahasa Arab yang murni di daerah pedesaan.

Tidak lama kemudian ke Mekah datanglah serombongan wanita dari kabilah bani Sa'ad mencari bayi untuk
disusui. Di antara mereka ada seorang ibu bernama Halimah binti Abu Dzu'aib.

"Suamiku," Panggil Halimah "tahun ini sungguh tahun kering tak ada tersisa sedikit pun hasil panen di kampung
halaman kita. Lihat unta tua kita tidak lagi menghasilkan susu sehingga anak-anak menangis pada malam hari
karena lapar."

"Semoga kita mendapat bayi seorang bangsawan kaya yang dapat memberi kita upah yang layak untuk
menanggulangi kesengsaraan ini," jawab sang suami.

Namun harapan mereka tak terkabul, hampir semua bayi bangsawan kaya telah diambil oleh teman-teman
serombongan mereka. Hanya ada satu bayi dalam gendongan ibunya yang mereka temui.

"Namanya Muhammad" kata Aminah kepada pasangan tersebut "ia anak yatim tinggal aku dan kakeknya yang
merawatnya." Halimah dan suaminya, Al-Harits bin Abdul Uzza saling berpandangan.

Mereka enggan menerima anak yatim karena tidak ada Ayah yang dapat memberi mereka upah yang layak.
Pasangan tersebut menggeleng dan pergi mencari bayi lain, Aminah memandangi bayi dalam dekapannya
dengan sendu. Setiap wanita Bani Saad yang mendapat tawaran untuk menyusui Muhammad, selalu
menolaknya karena anak yatim.

Tsuwaibah
Sebelum kedatangan para wanita Bani sa'ad, Muhammad disusui Tsuwaibah budak perempuan Abu Lahab.
Hanya beberapa hari Muhammad disusui oleh Tsuwaibah.

Akan tetapi, di kemudian hari, di sepanjang hidupnya Muhammad selalu memperlakukan Tsuwaibah dengan
baik.
Bagian 11

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمد‬

Halimah

Ketika Halimah dan Harits kembali ke rombongan, mereka melihat semua kawan mereka telah mendapatkan
bayi untuk dibawa pulang dan disusui.

Melihat itu, Halimah berkata kepada suaminya,


"Demi Allah, aku tak ingin mereka melihatku pulang tanpa membawa bayi. Demi Allah, aku akan pergi kepada
anak yatim itu dan mengambilnya."

"Tidak salah kalau engkau mau melakukannya. Semoga Allah memberi kita keberkahan melalui anak yatim
tersebut."

Akhirnya Halimah dan suaminya kembali menemui Aminah dan membawa Muhammad ke dusun mereka.
Aminah melepas bayinya itu dengan perasaan lega bercampur sedih. Lega karena akhirnya ada yang mengasuh
Muhammad, sedih karena harus berpisah dengannya selama dua tahun ke depan.

"Pergilah, Nak. Ibu menunggumu di sini," bisik Aminah dengan pipi yang hangat dialiri air mata.

Tatkala menggendong Muhammad, Halimah keheranan, "Aku tidak merasa repot membawanya, seakan-akan
tidak bertambah beban."

Kemudian, Halimah menyusui Muhammad.

"Lihat, bayi ini menyusu dengan lahap," kata Halimah kepada suaminya.

Setelah menyusui Muhammad, Halimah menyusui bayinya sendiri. Bayi itu juga menyusu dengan lahap. Setelah
itu, Muhammad dan bayi Halimah tertidur dengan lelap.

"Anak kita tidur dengan lelap," bisik Halimah kepada suaminya, "padahal, sebelumnya kita hampir tidak bisa
tidur karena ia rewel terus sepanjang malam."

Malam itu, keduanya bertambah heran karena unta tua mereka ternyata kini menghasilkan susu.

"Engkau tahu, Halimah. Sebelum ini unta tua kita tidak menghasilkan susu setetes pun," gumam Harits.

Suami istri itu meminum air susu unta sampai kenyang.


"Malam ini benar-benar malam yang indah, " kata Halimah kepada Harits, "bayi kita tertidur lelap dan kita pun
bisa beristirahat dengan perut kenyang."

"Demi Allah, tahukah engkau Halimah, engkau telah mengambil anak yang penuh berkah."

"Demi Allah, aku pun berharap demikian."

Kebanggaan Rasulullah

Lingkungan di Bani Sa'ad benar-benar sangat murni. Kelak Rasulullah pun dapat berkata dengan bangga, "Aku
adalah keturunan Arab yang paling tulen. Sebab aku anak suku Quraisy yang menyusui di Bani Sa'ad bin Bakr."

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Keberkahan

Keberkahan yang dibawa Muhammad kecil tidak berhenti sampai di situ.


Ketika dalam perjalanan kembali ke dusun Bani Sa'ad, terjadi hal yang mengherankan.

"Suamiku, tidakkah engkau melihat hal yang aneh pada keledai tungganganku?" tanya Halimah.

"Saat kita pergi, keledai ini berjalan pelan sekali," Harits menanggapi, "tetapi, kini ia dapat berjalan cepat seolah
tak kenal lelah. Padahal, beban yang dibawanya cukup berat."

Keledai itu berjalan cukup cepat sehingga bisa menyusul dan melewati rombongan wanita Bani Sa'ad lainnya
yang telah berjalan lebih dulu.

"Halimah putri Abu Dhu'aibi!" panggil para wanita itu keheranan, "tunggulah kami! Bukankah ini keledai yang
engkau tunggangi saat kita pergi?"

"Demi Allah, begitulah," balas Halimah, "ini memang keledaiku yang dulu."

"Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa!"

Ketika tiba di rumah, Halimah dan Harits tambah terkejut.

"Sepetak tanah kita!" bisik Halimah tak percaya.

"Sepetak tanah kita ini jadi begitu hijau dan subur! Padahal, saat kita berangkat, tak ada sepetak tanah pun yang
lebih gersang dari ini!"

"Domba-domba juga!" seru Harits, "domba domba kita jadi gemuk dan susunya penuh. Kini kita dapat memerah
dan meminum susu mereka setiap hari."

Begitulah keberkahan yang mereka terima selama mengasuh Muhammad. Namun, dua tahun pun berlalu, kini
tiba saatnya mengembalikan Muhammad kepada ibunya.
Bagian 12

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمد‬

Muhammad Kembali Ke Dusun

Halimah dan suaminya mengembalikan Muhammad kepada Aminah. Alangkah bahagianya Aminah bertemu lagi
dengan putra tunggalnya itu.

"Lihat! Kini engkau tumbuh menjadi anak yang tegap dan sehat!" ujar Aminah.

Aminah memandang Halimah dan suaminya dengan mata berbinar-binar penuh rasa terimakasih," Kalian telah
merawat Muhammad dengan baik, bagaimana aku harus berterimakasih?"

Halimah dan suaminya berpandangan dengan gelisah. Sebenarnya mereka merasa berat berpisah dengan
Muhammad. Mereka amat menyayangi anak itu. Selain itu, sejak Muhammad datang, kehidupan mereka
dipenuhi keberkahan.

"Kami cuma berharap andaikan saja engkau sudi membiarkan anak ini tetap bersama kami hingga menjadi
besar. Sebab, aku khawatir ia terserang penyakit menular yang kudengar kini sedang mewabah di Mekah," pinta
Halimah.

Aminah menyadari bahwa yang mereka pinta dan katakan ada benarnya, tetapi hatinya bimbang karena hampir
tak sanggup berpisah lagi dengan putranya. Ketika, Abdul Muthalib datang. Bangga sekali ia melihat
pertumbuhan cucunya yang begitu bagus di daerah pedalaman, maka ia berkata:

"Aku ingin Muhammad kembali ke Dusun Bani Sa'ad sampai ia berusia lima tahun," kata Abdul Muthalib, "agar
ia di situ belajar berkata-kata dan telinganya terbiasa mendengarkan bahasa Arab yang murni dengan fasih
pula."

Aminah mengerti bahwa ia harus kembali melepas Muhammad demi masa depan putranya sendiri.

"Beri aku waktu beberapa hari bersama putraku, setelah itu bolehlah kalian membawanya kembali," kata
Aminah.

Akhirnya, Muhammad pun dibawa kembali ke dusun Bani Sa'ad. Namun, di sana ia mengalami sebuah peristiwa
yang sangat mengguncangkan.

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Pembelahan Dada

Peristiwa itu terjadi tidak lama setelah keluarga Halimah kembali ke pedalaman. Saat itu umur Muhammad
belum lagi genap tiga tahun.
Hari itu, Muhammad kecil ikut menggembalakan kambing bersama saudara-saudaranya. Tiba-tiba salah seorang
putra Halimah datang berlari-lari sambil menangis.
"Ada apa?" Tanya Halimah dan suaminya panik.

"Saudaraku yang dari Quraisy itu! Dia diambil oleh seorang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan. Perutnya
dibelah sambil dibalik-balikkan!"

Halimah dan Harits segera berlari mencari Muhammad. Mereka menemukan anak itu sedang sendiri. Wajah
Muhammad pucat pasi. Halimah dan suaminya memperhatikan wajah Muhammad baik-baik.

"Apa yang terjadi padamu, Nak?" tanya mereka.

"Aku didatangi oleh seorang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan lalu perutku dibedah. Mereka mencari
sesuatu di dalamnya. Aku tak tahu apa yang mereka cari."

Tanpa bertanya lagi Halimah segera membawa Muhammad pulang. Hatinya dipenuhi kecemasan.

"Aku takut Muhammad didatangi dan digoda oleh jin" kata Halimah kepada suaminya.

"Lebih baik kita membawanya kembali ke Mekah," jawab Harits


Bagian 13

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Percakapan dengan Aminah

Karena kejadian itu, Halimah kembali ke Mekah dan menyerahkan Muhammad kepada ibunya. Aminah
menerima kedatangan mereka dengan rasa heran,

"Mengapa engkau mengantarkannya kepadaku, wahai ibu susuan? Padahal sebelumnya engkau meminta ia
tinggal denganmu?"

"Ya," jawab Halimah,

"Allah telah membesarkan Muhammad. Aku sudah menyelesaikan apa yang menjadi tugasku. Aku merasa takut
karena ada banyak kejadian terjadi padanya. Jadi, ia aku kembalikan kepadamu seperti yang engkau inginkan."

"Sebenarnya, apa yang terjadi?" tanya Aminah, "berkatalah dengan benar kepadaku."

Halimah terdiam sejenak, lalu bercerita dengan rasa berat, "Ada dua orang berbaju putih membawanya ke
puncak bukit. Mereka membelah dan mengeluarkan sesuatu dari dalam dadanya."

Setelah berkata demikian, Halimah mengangkat wajahnya memandang Aminah, tetapi ia terkejut melihat wajah
Aminah demikian tenang.

"Apakah engkau takut setanlah yang mengganggunya?" tanya Aminah.

Halimah mengangguk,
"Itulah sebenarnya yang membuatku khawatir sehingga cepat-cepat mengembalikannya kepadamu."

Aminah menarik napas.

"Demi Allah," katanya,

"Setan tidak akan mendapatkan jalan untuk masuk ke dalam jiwa Muhammad. Sesungguhnya, anakku akan
menjadi orang besar di kemudian hari. Ketika aku mengandungnya, aku melihat sinar keluar dari perutku.
Dengan sinar tersebut aku bisa melihat istana-istana Busra di Syam menjadi terang-benderang.
Demi Allah, aku belum pernah melihat orang mengandung yang lebih ringan dan lebih mudah seperti yang
kurasakan. Ketika aku melahirkannya, ia meletakkan tangannya di tanah dan kepalanya menghadap ke langit."

Halimah mendengar semua itu dengan takjub. Aminah menyentuh tangan Halimah dan berkata lembut,

"Biarkan ia bersamamu dan pulanglah dengan tenang."

Muhammad kecil pun kembali dibawa pulang. Namun, lagi-lagi terjadi sebuah peristiwa yang akhirnya membuat
Halimah benar-benar kawatir dan mengembalikan Muhammad kepada ibunya.

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Orang-Orang Habasyah

"Kak, tunggu!" seru Muhammad sambil berlari menuruni bukit. Saat itu, usia Muhammad sudah 5 tahun. Ia
sedang berlari mengejar saudara-saudaranya, yaitu anak-anak Halimah. Mereka sedang menggembala kambing.

"Ayo Muhammad kejar kami kalau bisa!" ujar Syaima, anak perempuan sulung Halimah sambil tertawa.

Anak-anak itu terus bermain. Diam-diam, ada beberapa orang Nasrani dari Habasyah sedang memerhatikan
mereka.

"Lihat, Kak! Itu Ibu datang!" seru Muhammad.

Anak-anak menoleh. Mereka memekik senang melihat Halimah datang menjemput.


Namun, wajah Halimah tampak khawatir. Ia mencurigai beberapa bayangan yang sedang mengintai sambil
berbisik-bisik di kejauhan. Hatinya makin berdebar ketika orang-orang Habasyah itu datang mendekat. Tanpa
memedulikan dirinya, mereka langsung mendekati Muhammad.

"Paman mau apa?" tanya Muhammad.

"Berbaliklah, Nak! Kami ingin melihat punggungmu!" perintah salah seorang dari mereka.

Muhammad membalikkan badan, lalu orang-orang Habasyah itu saling pandang dengan wajah terkejut. Tanpa
berkata apa-apa lagi, mereka berbalik ke tempat semula dan kembali berunding berbisik-bisik.

"Kalian bermainlah lagi, Ibu akan mencari tahu apa yang mereka bicarakan!" kata Halimah kepada Muhammad
dan saudara-saudaranya.
Diam-diam, Halimah mendekati tempat orang-orang Habasyah itu berada dan terkejut mendengar apa yang
mereka katakan,

"Kita harus merampas anak ini dan membawanya kepada raja di negeri kita. Kita telah mengetahui seluk beluk
tentang dia! Ada tanda di punggungnya yang meramalkan anak ini kelak akan menjadi orang besar."

Diam-diam, Halimah menjauh,

"Aku harus melarikan Muhammad dari mereka sekarang juga!"

Tanda-Tanda Rasul Terakhir pada Injil

Orang-orang Nasrani Habasyah itu tahu bahwa seorang Rasul terakhir akan dibangkitkan dan mereka
diperintahkan mengikutinya seperti yang tertera pada Injil di bagian Kitab Ulangan (18): 15-22,
"Bahwa seorang Nabi di antara kamu, dari antara segala saudaramu dan yang seperti aku ini, yaitu akan
dibangkitkan oleh Tuhan Allah-mu bagi kamu, maka dia haruslah kamu dengar."

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Muhammad Menghilang

Halimah cepat-cepat mengajak Muhammad pergi, namun dari kejauhan orang-orang Habasyah itu terlihat
bergegas mengikuti mereka. Untunglah Halimah mengenal daerah itu dengan baik, sehingga mereka bisa
melepaskan diri dari kejaran orang-orang Habasyah walaupun dengan susah payah.

Tidak berapa lama kemudian, Halimah berkemas menyiapkan Muhammad untuk segera kembali ke Mekah.
Sedih sekali Muhammad harus berpisah dengan saudara-saudaranya. Syaima, Unaisah, dan Abdullah.

"Muhammad, jangan lupakan kami ya?" pinta Syaima dengan mata berkaca-kaca.

Muhammad mengangguk sambil memeluk mereka satu persatu. Kemudian, berangkatlah Muhammad
meninggalkan dusun Bani Sa'ad dengan semua kenangan indah yang tidak akan pernah hilang dari benaknya
seumur hidup.

Halimah mengelus kepala Muhammad penuh sayang,


"Bergembiralah, Muhammad. Engkau akan berjumpa dengan ibu dan kakekmu."

Mekah pada malam hari sangat ramai ketika mereka tiba. Saat melalui kerumunan orang itulah, Muhammad
terpisah dan hilang. Halimah kebingungan. Ia takut orang-orang Habasyah itu diam-diam masih mengikuti
mereka dan mengambil kesempatan ini untuk menculik Muhammad.

Sambil menangis, Halimah mendatangi Abdul Muthalib, "Sungguh, pada malam ini, aku datang dengan
Muhammad, namun ketika aku melewati Mekah Atas, ia menghilang dariku. Demi Allah, aku tidak tahu di mana
kini ia berada."
Setelah memerintahkan orang untuk mencari, Abdul Muthalib berdiri di samping Ka'bah, lalu berdoa kepada
Allah agar Dia mengembalikan Muhammad kepadanya.
Bagian 14

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Bertemu Kakek dan Ibunda

Tidak lama kemudian, datanglah seseorang bernama Waraqah bin Naufal dan seorang temannya dari Quraisy.
Keduanya menyerahkan Muhammad ‫ ﷺ‬kepada Abdul Muthalib,

"Ini anakmu, kami menemukannya di Mekah Atas."

Alangkah lega dan gembiranya Abdul Muthalib.

"Cucuku!" katanya sambil mendekap Muhammad ‫ﷺ‬.

Abdul Muthalib memperhatikan cucunya dengan wajah berseri-seri, "Apakah kamu mau kakek ajak
menunggangi unta yang hebat?"

"Mau. Tetapi, mana untanya kek?"

Sambil tertawa, orang tua itu mengangkat Muhammad ‫ ﷺ‬dan mendudukkannya di atas bahu.

"Kau kini telah menduduki untanya, Nak! Ha....ha....ha...."

"Wah, unta hebatnya kok sudah tua ya Kek?"

"Biar tua, tapi ini unta yang hebat, cucuku! Lihat unta ini mampu mengajakmu berthawaf mengelilingi Ka'bah."

Abdul Muthalib membawa Muhammad ‫ ﷺ‬berthawaf di Kabah. Setelah itu ia memintakan


perlindungan Tuhan untuk cucunya itu dan mendoakannya.

"Mari kita menemui ibumu sekarang," ajak Abdul Muthalib.

Alangkah senangnya anak dan ibu itu ketika mereka saling bertemu. Walaupun demikian, tersisip kesedihan di
hati Muhammad ‫ ﷺ‬ketika ia melepas Halimah As Sa'diyah, ibu susu yang selama ini telah
merawatnya dengan limpahan kasih yang demikian besar.

"Selamat tinggal Muhammad. Jadilah orang besar seperti yang pernah dikatakan ibumu," kata Halimah sambil
beranjak pergi.

Sampai dewasa, Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬tidak pernah memutuskan tali silaturahim dengan ibu
susunya itu.

Gembala Kambing
Mulai dari hidupnya di Bani Sa'ad sampai masa kecilnya di Mekah, hidup Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬dilalui
sebagai seorang gembala.

Waraqah bin Naufal

Waraqah bin Naufal adalah paman Khodijah


(kelak menjadi istri Muhammad ‫)ﷺ‬.
Waraqah bin Naufal tidak menyukai berhala. Ia tetap mengikuti ajaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, menjadi
hamba Allah yang setia.
Ia tidak meminum minuman keras dan tidak berjudi. Ia bermurah hati terhadap orang orang miskin yang
membutuhkan pertolongannya.

Di Bawah Asuhan Kakek

Sejak itu, Abdul Muthalib bertindak sebagai pengasuh cucunya. Ia mengasuh Muhammad ‫ﷺ‬
dengan sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih sayangnya.

Abdul Muthalib adalah pemimpin seluruh Quraisy dan seluruh Mekah. Untuk dia, diletakkan hamparan khusus
tempatnya duduk di bawah naungan Ka'bah. Anak-anak beliau, paman-paman Muhammad ‫ﷺ‬, tidak
ada yang berani duduk di tempat itu. Mereka duduk di sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada
ayah mereka.

Suatu saat, Muhammad kecil yang montok itu duduk di atas hamparan tersebut. Serentak paman-paman beliau
langsung memegang dan menahan Muhammad ‫ ﷺ‬agar tidak duduk di atas hamparan. Namun,
ketika Abdul Muthalib datang dan melihat kejadian tersebut, berkata:

"Biarkan anakku itu," katanya, "Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung."

Kemudian, Abdul Muthalib duduk di atas hamparan tersebut sambil memangku Muhammad ‫ﷺ‬.
Dielus-elusnya punggung Muhammad ‫ ﷺ‬penuh sayang. Abdul Muthalib bergembira dengan apa
yang dilakukan cucunya itu.

Lebih-lebih lagi, kecintaan kakek kepada cucunya itu timbul ketika Aminah kemudian berniat membawa
Muhammad ‫ ﷺ‬ke Yatsrib untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara ibunya dari keluarga
Najjar.
Perjalanan ini juga bertujuan menengok makam Abdullah, ayah Muhammad ‫ﷺ‬. Sudah lama Aminah
memendam keinginan untuk menengok makam suami tercintanya itu. Kini, ia akan berangkat dengan ditemani
putranya seorang.

Aminah Wafat

Dalam perjalanan itu, Aminah membawa Ummu Aiman, budak perempuan peninggalan Abdullah. Sesampainya
di Yatsrib, mereka disambut oleh saudara-saudara Aminah. Kepada Muhammad ‫ ﷺ‬diperlihatkan
rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan.
Itu adalah saat pertama Muhammad ‫ ﷺ‬benar-benar merasa dirinya sebagai anak yatim. Apalagi ia
mendengar ibunya bercerita panjang lebar tentang sang ayah tercinta yang setelah beberapa waktu tinggal
bersama-sama, kemudian meninggal dunia.

(Di kemudian hari, setelah hijrah, pernah juga Rasulullah ‫ ﷺ‬menceritakan kepada sahabat-
sahabatnya tentang kisah perjalanan masa kecil beliau ke Yatsrib yang saat itu telah berubah nama menjadi
Madinah.
Beliau amat terkenang dengan perjalanan bersama ibunya itu, kisah perjalanan penuh cinta pada Madinah, kisah
penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.)

Sesudah cukup sebulan tinggal di Madinah, mereka pun bersiap pulang. Mereka berjalan dengan menggunakan
dua ekor unta yang mereka bawa dari Mekah.
Akan tetapi, di tengah perjalanan, di sebuah tempat bernama Abwa*), Aminah menderita sakit hingga kemudian
meninggal di tempat itu.

"Ibu! Ibu!" panggil Muhammad ‫ ﷺ‬kepada ibunya yang sudah wafat.

Dalam pelukan Ummu Aiman, dengan air mata meleleh, Muhammad ‫ ﷺ‬menyaksikan tubuh ibunya
dikuburkan di tempat itu.

Pada usia enam tahun. Muhammad ‫ ﷺ‬telah menjadi seorang anak yatim piatu.

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

) *Abwa

Abwa adalah sebuah dusun yang terletak di antara Madinah dengan Juhfa. Jaraknya 37 km dari Madinah
Bagian 15

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Abdul Muthalib Wafat

Muhammad ‫ ﷺ‬dibawa pulang oleh Ummu Aiman. Ia pulang sambil menangis hatinya pilu karena
kini sebatang kara. Muhammad ‫ ﷺ‬makin merasa kehilangan. Ia menjalani takdir sebagai seorang
anak yatim-piatu. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi dan semakin sedih.

Baru beberapa hari yang lalu, ia mendengar dari ibunya cerita keluhan duka kehilangan ayahandanya semasa ia
dalam kandungan.
Kini, ia melihat sendiri di hadapannya, ibunya pergi untuk tidak kembali lagi, sebagaimana ayahnya dulu.
Muhammad ‫ ﷺ‬yang masih kecil itu kini memikul beban hidup yang berat, sebagai seorang yatim-
piatu.

Ketika tiba di Mekah, Abdul Muthalib menyambut kedatangan cucunya itu dengan rasa iba yang dalam.
Kecintaan Abdul Muthalib pun semakin bertambah kepada Muhammad ‫ﷺ‬.
Rasa duka Muhammad ‫ ﷺ‬mungkin agak ringan apabila kakeknya, Abdul Muthalib, dapat hidup
lebih lama lagi. Namun, Allah ‫سبحانه و تعال‬
sudah menentukan lain.
Pada usia 80 tahun, sang kakek pun meninggal dunia. Saat itu, Muhammad ‫ ﷺ‬berusia delapan
tahun. Ia mengiringi jenazah kakeknya ke kubur sambil berlinangan air mata.

Kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu membekas begitu dalam pada diri Rasulullah ‫ﷺ‬, sehingga
di dalam Al Quran pun disebutkan ketika Allah ‫ ﷻ‬mengingatkan Rasulullah ‫ ﷺ‬akan nikmat
yang dianugerahkan kepadanya di tengah kesedihan itu,

َ ‫أَلَ ْم َي ِج ْد‬
‫ك َيتِيمًا َف َآو ٰى‬

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?


Surah Ad-Duha (93:6)

‫ضااًّل َف َه َد ٰى‬
َ ‫دَك‬
َ ‫َو َو َج‬

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
Surah Ad-Duha (93:7)

Keluarga Umayyah

Kematian Abdul Muthalib merupakan pukulan yang berat bagi keluarga Hasyim. Tidak ada anak-anak Abdul
Muthalib yang memiliki keteguhan hati, kewibawaan, pandangan tajam, terhormat, dan berpengaruh di
kalangan Arab seperti dirinya.

Kemudian keluarga Umayyah tampil ke depan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu mereka
idam-idamkan, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari keluarga Hasyim.

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Diasuh Abu Thalib

Sebelum wafat, Abdul Muthalib menunjuk salah seorang anaknya untuk mengasuh Muhammad ‫ﷺ‬.
Ia tidak menunjuk Abbas yang kaya, namun agak kikir. Ia juga tidak menunjuk Harist, putranya yang tertua
karena Harist adalah orang yang tidak mampu.
Abdul Muthalib menunjuk Abu Thalib untuk mengasuh Muhammad ‫ ﷺ‬karena sekalipun miskin, Abu
Thalib memiliki perasaan yang halus dan paling terhormat di kalangan Quraisy.

Abu Thalib juga amat menyayangi kemenakannya itu. Budi pekerti Muhammad ‫ ﷺ‬yang luhur,
cerdas, suka berbakti, dan baik hati, sangat menyenangkan Abu Thalib. Ia bahkan lebih mendahulukan
kepentingan Muhammad ‫ ﷺ‬daripada anak-anaknya sendiri.

Begitu pun sebaliknya, Muhammad ‫ ﷺ‬amat mencintai pamannya. Ia tahu pamannya memiliki
banyak anak kecil dan hidup dalam kemiskinan. Namun demikian, pamannya tidak pernah berhutang kepada
orang lain. Abu Thalib lebih suka bekerja keras memeras keringat untuk menafkahi keluarganya. Karena itulah,
tanpa ragu, Muhammad ‫ ﷺ‬ikut bekerja seperti anak-anak Abu Thalib yang lain. Ia ikut membantu
pekerjaan keluarga Abu Thalib, menggembalakan kambing, dan mencari rumput.

Abu Thalib merasa bahwa Muhammad ‫ ﷺ‬kelak akan menjadi orang yang bersih hatinya dan
dijauhkan dari dosa. Ia yakin, jika mengajak Muhammad ‫ ﷺ‬berdoa, Tuhan akan mengabulkan
permohonannya. Seperti yang dilakukannya ketika orang-orang Quraisy berseru "Wahai Abu Thalib, lembah
sedang kekeringan dan kemiskinan melanda. Marilah berdoa meminta hujan".

Maka, Abu Thalib keluar bersama Muhammad ‫ﷺ‬. Ia menempelkan punggung Muhammad
‫ ﷺ‬ke dinding Ka'bah dan berdoa. Kemudian, mendung pun datang dari segala penjuru, lalu
menurunkan hujan yang sangat deras hingga tanah di lembah-lembah dan di ladang menjadi gembur.
Bagian 16

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َس ِّي ِد َنا َعلَى م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Mengikuti Paman

Hati Muhammad ‫ ﷺ‬yang masih kecil merasa pengap dengan kehidupan di Mekah. Setiap hari,
dilihatnya anak-anak fakir miskin seusianya bekerja bersama-sama dengan bertelanjang tanpa rasa malu.

Muhammad ‫ ﷺ‬juga melihat setiap malam pintu rumah orang-orang kaya tertutup rapat. Di dalam,
mereka berpesta pora, menyaksikan para penari, dan bermabuk-mabukan sampai pagi sambil dijaga oleh para
budak. Padahal, di tempat lain, ia melihat orang-orang berjuang mencari rezeki antara hidup dan mati.

Muhammad ‫ ﷺ‬sering sekali melintas di depan gubuk-gubuk reyot dan rumah-rumah kumuh. Pintu-
pintu mereka juga tertutup rapat, tetapi di dalamnya tinggal orang-orang yang hidup menderita. Orang-orang itu
jika tidak memiki bahan makanan, besok atau lusa terpaksa menggadaikan anak gadis, istri atau ibunya untuk
dikumpulkan menjadi budak para saudagar demi melepaskan diri dari lilitan hutang.

Di depan gubuk-gubuk itu, Muhammad ‫ ﷺ‬melihat para pemuda berkumpul. Pikiran mereka
dipenuhi impian tentang datangnya mukjizat yang akan mampu membebaskan Mekah dari kebiadaban. Para
pemuda itu berkumpul mengelilingi seorang laki-laki yang bercerita tentang legenda-legenda indah orang-orang
terdahulu yang berjuang melawan raja yang sewenang-wenang.

Suatu saat, pada usia Muhammad 12 ‫ ﷺ‬tahun, Abu Thalib berniat pergi berdagang ke Syam untuk
mencari nafkah.

"Ajaklah aku, Paman!" pinta Muhammad ‫ﷺ‬.

"Tetapi, perjalanan padang pasir begitu sulit dan jauh! Aku tidak tega mengajak anak sekecilmu menempuh
kesulitan sedemikian berat!".

Saat itu, hanya Abu Thalib tempat Muhammad ‫ ﷺ‬berlindung. Ia merasa amat kesepian jika harus
menghadapi kehidupan Mekah seorang diri, tanpa ada paman di sampingnya.

"Kepada siapakah Paman akan meninggalkan aku seorang diri apabila Paman pergi nanti?" tanya Muhammad
‫ ﷺ‬begitu mengiba.
Abu Thalib sangat terharu,
"Demi Allah, aku pasti membawanya pergi. Ia tidak boleh berpisah denganku dan aku tidak boleh berpisah
dengannya selama-lamanya."

Lihb Si Peramal

Orang-orang Quraisy sering mendatangi Lihb dengan membawa anak-anaknya untuk diramal.

Suatu hari, Lihb melihat Muhammad ‫ﷺ‬.

"Kemarilah, hai anak muda!" serunya. Namun, Abu Thalib segera menyembunyikan Muhammad ‫ﷺ‬
dan membawanya pergi hingga Lihb berteriak-teriak,

"Celakalah kalian, bawa ke sini anak muda yang aku lihat tadi! Demi Allah, anak ini akan menjadi orang besar di
kemudian hari!"

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Jamuan Buhaira

Berangkatlah rombongan kafilah Quraisy menuju ke Syam 1). Ketika tiba di Busra, mereka melewati rumah
ibadah seorang pendeta Nasrani bernama Buhaira. Ia adalah pendeta yang pandai. Di rumah ibadahnya, selalu
ada pendeta dan umat Nasrani yang menuntut ilmu kepada Buhaira.

Biasanya, Buhaira tidak pernah menggubris rombongan Quraisy yang setiap tahun melintas di tempat itu.
Namun, kali ini ada yang berubah pada diri Buhaira. Ketika rombongan Quraisy, termasuk Abu Thalib dan
Muhammad ‫ﷺ‬, singgah di dekat rumah ibadahnya, Buhaira memerintahkan para pembantunya
untuk membuat masakan yang banyak.

Buhaira berbuat begitu karena dari jendela rumah ibadahnya, ia melihat hal yang aneh pada rombongan
Quraisy. Ada awan kecil yang bergerak pelan mengikuti ke mana pun kafilah pergi. Ada sesuatu atau seorang di
dalam kafilah yang dilindungi awan itu dari terik matahari.

Buhaira bergegas mendatangi kafilah yang tengah beristirahat di bawah pepohonan rindang dan berkata

"Hai orang-orang Quraisy, sungguh aku telah membuat makanan untuk kalian. Aku ingin kalian semua, anak
kecil, orang dewasa, budak, dan orang merdeka, singgah di rumahku"

Salah seorang Quraisy bertanya,

"Demi Allah, hai Buhaira, alangkah istimewanya apa yang engkau perbuat kepada kami hari ini. Padahal, kami
sering melewati tempat mu ini. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?"
"Engkau benar," jawab Buhaira,

"dulu aku memang seperti yang engkau katakan. Namun, kalian, semuanya, adalah tamuku kali ini dan aku ingin
menjamu kalian. Aku telah membuat makanan dan kalian semuanya harus ikut makan."

Dengan senang hati, rombongan Quraisy pun masuk ke rumah Buhaira untuk memenuhi undangannya. Hanya
saja, Muhammad ‫ ﷺ‬tidak ikut karena ia masih kecil. Ia ditugaskan menjaga perbekalan kafilah.

______
1) Negeri Syam

Abu Thalib berangkat tahun 582 Masehi ke negeri Syam.


Syam saat itu adalah sebuah negeri yang wilayahnya (sekarang) meliputi Syria, Yordania, dan Palestina.
Syam berada di bawah pemerintahan Romawi Timur
Bagian 17

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Percakapan Buhaira

Akan tetapi, segera saja Buhaira merasakan ada sesuatu yang kurang dari rombongan Quraisy itu. Maka, ia
kembali mengulangi permintaannya,

"Hai Orang-orang Quraisy, jangan sampai ada yang tidak makan makananku ini."

Salah seorang Quraisy berkata,

"Hai Buhaira, tidak ada seorang pun tertinggal yang layak datang kepadamu, kecuali anak muda yang paling kecil
di antara kami. Ia berada di tempat perbekalan rombongan."

Buhaira menggeleng-geleng kepala,


"Kalian jangan seperti itu. Panggil dia untuk makan bersama kalian!."

Orang-orang Quraisy merasa malu. Salah seorang dari mereka bahkan berkata,

"Demi Lata dan Uzza, adalah aib dari kami kalau putra Abdullah bin Abdul Muthalib tidak ikut makan bersama
kami."

Setelah Muhammad ‫ ﷺ‬dipanggil, Buhaira memeluknya dan mendudukkannya bersama rombongan


Quraisy yang lain. Sambil menyaksikan tamu-tamunya makan, sebenarnya mata Buhaira tertuju kepada
Muhammad ‫ ﷺ‬dengan seksama. Dari hasil pengamatannya itulah, Buhaira mengambil kesimpulan
dalam hati, "Anak ini mempunyai sifat-sifat kenabian."

Jamuan selesai. Sambil mengucapkan terimakasih, rombongan Quraisy pun membubarkan diri menuju tempat
perkemahan mereka untuk beristirahat.
Namun, Buhaira tidak membiarkan Muhammad ‫ ﷺ‬pergi. Diajaknya anak itu untuk duduk dan
bicara.
"Hai anak muda," panggil Buhaira,

"dengan menyebut nama Lata dan Uzza, aku akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadamu dan engkau
harus menjawabnya."

Wajah Muhammad ‫ ﷺ‬tampak berubah dan ia menjawab,

"Jangan bertanya tentang apa pun kepadaku sambil menyebut nama Lata dan Uzza. Demi Allah, tidak ada yang
sangat aku benci melainkan keduanya."

Buhaira tersenyum dan mengulangi permintaannya, "Baiklah, kalau begitu aku akan bertanya kepadamu
dengan menyebut nama Allah dan engkau harus menjawab pertanyaanku."

Wajah Muhammad ‫ ﷺ‬berubah cerah dan ia mengangguk,


"Tanyakan kepadaku apa saja yang ingin engkau tanyakan."

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Saran Buhaira kepada Abu Thalib

Buhaira menanyakan banyak sekali hal kepada Muhammad ‫ﷺ‬, tentang tidur Muhammad
‫ﷺ‬, tentang postur tubuh Muhammad ‫ﷺ‬, dan banyak lagi hal lainnya.
Muhammad ‫ ﷺ‬menjawab semua itu dan semua jawaban itu sesuai benar dengan perkiraan
Buhaira. Kemudian, Buhaira melihat punggung Muhammad ‫ ﷺ‬dan mendapati tanda kenabian di
antara kedua bahu Muhammad ‫ﷺ‬. Tanda kenabian itu seperti bekas orang berbekam.

Setelah itu, Buhaira mendekati Abu Thalib dan bertanya kepada nya, ''apakah anak muda ini anakmu? ''

''Iya, dia anakku." Jawab Abu Thalib

Buhaira menggeleng.
"Tidak, dia bukan anakmu. Anak muda ini tidak pantas mempunyai ayah yang masih hidup"

Abu Thalib agak tercengang, lalu dia pun mengangguk.


"Kau benar. Dia bukan anakku, dia anak saudaraku"

Buhaira mengangguk-angguk puas lalu bertanya lagi.


"Apa yang dikerjakan ayahnya?"

"Ayahnya telah meninggal dunia ketika dia masih berada dalam kandungan ibunya "

"Engkau benar" kata Buhaira menghela nafas dalam-dalam. Kemudian, sambil berbisik, dia menyampaikan
sebuah saran dengan sangat sungguh-sungguh.

"Sekarang, dengar saranku baik-baik. Bawa anak saudara mu ini ke negeri asalmu sekarang juga! Jaga dia dari
orang-orang Yahudi! Demi Allah, jika mereka melihat padanya seperti apa yang aku lihat, mereka pasti akan
membunuhnya. sesungguhnya, akan terjadi sesuatu yang besar pada diri anak saudaramu ini. Karena itu, segera
bawa pulang dia ke negeri asalmu!"

Abu Thalib tampak ketakutan dengan peringatan itu. Dia yakin bahwa apa yang dikatakan Buhaira itu benar.
Maka dari itu, segera setelah urusan perdagangannya selesai, Abu Thalib segera membawa Muhammad
‫ ﷺ‬pulang. Sesulit apa pun beban hidupnya, Abu Thalib tidak pernah lagi pergi berdagang ke tempat
jauh demi melindungi keponakannya itu.

Bushra (kota di mana Buhaira tinggal)

Jalur yang dilewati kafilah Abu Thalib adalah jalan kafilah Barat yang menyusuri Laut Merah, Madyan, Wadi Al
Qurra, Hijir, dan Kota Bushra.
Kota Bushra atau Bostra telah lama didirikan Romawi sebagai ibu kota wilayah Hauran, untuk menahan serbuan
Badui pedalaman.
Di kota ini, Romawi memusatkan pasukan dan mengumpulkan pajak dari para kafilah.
Bagi kafilah sendiri, Bostra adalah pusat perdagangan paling ramai sebelum tiba di Syria yang terletak lebih ke
Utara
Bagian 18

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Perlindungan Allah ‫ﷻ‬

Abu Thalib segera melaksanakan apa yg disarankan oleh Buhaira, karena peringatan itu memang beralasan.

Segera, setelah Abu Thalib dan Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬meninggalkan rumah Buhaira, datanglah 3
orang ahli kitab bernama Zurair, Daris, dan Tammam kepada Buhaira. Ketiganya menyandang senjata di
pinggang. Mereka bertanya kepada Buhaira apakah ia juga melihat seorang anak dengan ciri-ciri seperti ini dan
itu.

Buhaira tahu bahwa mereka mencari Sayyiduna Muhammad ‫ﷺ‬. Rupanya, ketiga orang ini juga telah
mendengar tentang Sayyiduna Muhammad ‫ﷺ‬. Buhaira memandang senjata2 yang mereka bawa
dengan perasaan ngeri.
Buhaira tahu mereka mencari Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬dengan maksud membunuhnya. Oleh
karena itu, Buhaira berusaha memberikan perlindungan kepada Sayyidina Muhammad ‫ﷺ‬.
Tidak henti-hentinya Buhaira menasihati ketiga tamunya akan adanya kekuasaan Allah ‫ﷻ‬. Diingatkannya
bahwa bagaimanapun usaha mereka, mereka tidak akan mampu mendekati Sayyiduna Muhammad
‫ ﷺ‬untuk membunuhnya.

Akhirnya, ketiganya pun melihat kebenaran dalam perkataan Buhaira. Batallah niat mereka untuk mengejar dan
membunuh Sayyiduna Muhammad ‫ﷺ‬, kemudian berlalulah mereka dari hadapan Buhaira.

Allah ‫ ﷻ‬menjaga Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬dari kejahatan dan kotoran-kotoran jahiliyah. Allah
membimbing Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬tumbuh menjadi orang yang paling ksatria, paling baik
akhlaknya, paling mulia asal-usulnya, paling baik pergaulannya, paling agung sikap santunnya, paling murni
kejujurannya, paling jauh dari keburukan dan akhlak yang mengotori kaum lelaki sehingga semua orang
menjulukinya "Al Amin" karena Allah ‫ ﷻ‬mengumpulkan sifat-sifat itu pada diri Habibina Muhammad
‫ﷺ‬.

Kelak setelah menjadi Rasul, Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬bercerita tentang perlindungan Allah ‫ﷻ‬
kepadanya sejak masa kecil dari segala bentuk kejahiliyahan. Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda,

"Pada masa kecilku, aku bersama anak-anak kecil Quraisy mengangkut batu untuk satu permainan yang biasa
dilakukan anak-anak. Semua dari kami melepas baju untuk alas di atas pundak (sebagai ganjalan) untuk memikul
batu.

"Aku maju dan mundur bersama mereka. Namun, tiba-tiba seseorang yang belum pernah aku lihat sebelumnya
menamparku dengan tamparan yang amat menyakitkan. Ia berkata, 'Kenakan pakaianmu!' Kemudian, aku
mengambil pakaianku dan memakainya. Setelah itu, aku memikul batu di atas pundakku dengan tetap
mengenakan pakaian dan tidak seperti teman temanku."

Membantu Paman

Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬juga pernah menjadi gembala sewaan, untuk membantu Abu Thalib yang
hidup dalam kemiskinan

Perang Fijar

Sebagai seorang remaja yang tumbuh di lingkungan Jazirah Arab. Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬juga
mengalami perang. Perang itu disebut Perang Fijar.
Saat peperangan dimulai, Umur Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬memasuki lima belas tahun.

Perang itu sendiri disebabkan sebuah pembunuhan.


Barradz bin Qois dari Bani Kinanah membunuh Urwa Ar-Rahhal bin Utba dari Bani Hawazin, hanya karena
Barradz jengkel ketika Urwa dipilih untuk memimpin kafilah dagang Nu'man bin Mundhir yang kaya.
Diam diam , Barradz mengikuti kafilah Urwa dari belakang dan membunuh Urwa.
Padahal ketika itu adalah bulan suci, bulan yang tidak diperkenankan bagi siapa pun untuk menumpahkan darah.

Karena Quraisy pelindung Barradz, Bani Hawazin mengumumkan perang terhadap Quraisy untuk membalas
kematian Urwa. Perang pun pecah pada bulan suci. Selama empat tahun berturut-turut, kedua belah pihak
saling menyerang.

Dalam pertempuran itu, awalnya Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬bertugas memunguti anak panah lawan
yang berjatuhan dan memberikannya kepada paman-pamannya. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, beliau
‫ ﷺ‬juga meluncurkan panah ke arah lawan untuk melindungi paman-pamannya.

Perang pun berakhir dengan perdamaian ala pedalaman: pihak yang menderita lebih sedikit korban manusianya
harus membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sejumlah selisih kelebihan korban. Dalam hal ini, pihak Quraisy
yang lebih sedikit menderita korban harus membayar kelebihan korban sebanyak dua puluh orang Hawazin.

Barradz bin Qois

Barradz bin Qois, si penyebab Perang Fijar, adalah seorang pemabuk.


Karena merusak citra sukunya, dia diusir dan mendapat naungan suku lain. Namun di sana, dia juga mabuk berat
dan membuat onar kemudian diusir lagi.

Akhirnya, Harb bin Muawiyah, ayah Abu Sofyan, menampungnya walaupun hampir saja Barradz bin Qois diusir
lagi, karena terus berbuat onar.
Dikarenakan perlindungan Harb dari Quraisy inilah, Bani Hawazin menyerang Quraisy ketika Barradz bin Qois
membunuh Urwa bin Utba.
Bagian 19

HILFUL FUDHUL

Selain mengikuti peperangan, Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬yang masih remaja juga mengikuti sebuah
perjanjian yang amat baik. Perjanjian itu kelak dikenal dengan nama Hilful Fudhul.

Perjanjian ini bertujuan untuk melindungi hak-hak para pedagang asing yang sering kali terdzalimi. Pencetus
perjanjian ini adalah protes seorang pedagang asing dari Yaman.
Saat itu, Ash bin Wa'il, seorang saudagar Mekah, tidak mau membayar utang kepada si pedagang. Pedagang itu
lalu menggubah syair dan membacakannya di depan umum.

Syair ini amat menggugah perasaan para pemuka Quraisy. Mereka khawatir apabila dibiarkan terus, para
pedagang Asing tidak mau lagi memasuki Mekah. Apalagi Perang Fijar mengakibatkan mulai terjadinya
perpecahan di pihak Quraisy.
Sepeninggal Abdul Munthalib, orang-orang Quraisy dari keluarga yang lain sudah mulai berani mencoba
menentang kekuasaan pemerintahan Quraisy. Maka dari itu, atas usulan Zubair bin Abdul Munthalib, seorang
paman Baginda Muhammad ‫ﷺ‬, orang-orang Quraisy dari keluarga Hasyim, Zuhra, Taim berkumpul.
Mereka bersepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha Pembalas bahwa Tuhan akan berada di pihak yang
terdzalimi, sampai orang itu tertolong.

Pertemuan ini sendiri berlangsung di rumah Abdullah bin Jud'an At Taimi yang megah. Perjanjian Hilful Fudhul
ini menjamin perlindungan terhadap hak-hak orang lemah. Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬ikut
menyaksikan perjanjian dan amat menyukainya.
Di kemudian hari, setelah diutus menjadi seorang Rosullullah, Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬bersabda: " Aku
tidak suka mengganti perjanjian yang kuhadiri di rumah Ibn Jud'an itu dengan jenis unta yang baik. Kalau
sekarang aku diajak, pasti akan kutolak"

Besarnya Diyat

Diyat adalah pembayaran ganti rugi.


Untuk kematian/wajah cacat total ganti ruginya sebanyak 100 ekor unta. Satu kaki/tangan/mata jadi buta
diganti dg 50 ekor unta.
Jika wajah cacat total, nilai gantinya 100 unta.
Luka sampai menembus otak, 33 ekor unta.
Cacat kelopak mata, 25 ekor unta.
Satu jari hilang/tulang retak, 15 ekor unta.
Luka sampai tulang kelihatan, 10 ekor unta.
Satu gigi copot, 5 ekor unta.
Demikian seterusnya dalam ketetapan yang rinci.
MENGGEMBALAKAN KAMBING

Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬melewati masa remajanya dengan menggembalakan kambing. Beliau


pernah berkata kepada para sahabatnya,

"Musa diutus, dia menggembala kambing. Daud diutus, dia menggembala kambing. Aku diutus juga
menggembala kambing keluargaku di Ajyad."

Sambil menggembala, pikiran Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬menerawang,

"Siapa yang menciptakan bintang-bintang yang begitu kemilau? Siapa yang membuat udara untuk kuhirup?
Siapa yang membuat jantungku berdetak? Siapa yang membuat matahari mengejar bulan dan bulan mengejar
matahari?"

Ribuan pertanyaan seperti itu membuat Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬selalu sibuk berpikir. Hal itu
membuat akhlak beliau terjaga demikian baik dari perbuatan buruk yang sering terjadi di Mekah.

Pada saat itu, orang menyembah patung di mana-mana, laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri sering
pergi berduaan, orang-orang melakukan thawaf tanpa busana, pesta mabuk-mabukan setiap malam, dan masih
banyak keburukan lain.

Meski demikian, pernah juga Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬ingin pergi ke kota untuk melihat sebuah
pesta pernikahan.

"Tolong jaga kambing-kambingku," pinta Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬kepada seorang teman


gembalanya.

"Baiklah, memang sudah giliranmu yang pergi bersenang-senang," kata teman Baginda Muhammad
‫ﷺ‬.
"Selama ini, kami selalu ada di padang gembala seperti seorang pertapa."

Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬pun pergi memasuki Mekah.

Di ujung kota, ia melihat ada sebuah pesta pernikahan yang dipenuhi berbagai hiburan dan musik.

Namun, belum sempat Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬tiba di rumah itu, tubuhnya tiba tiba disergap
keletihan. Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬duduk bersandar di dinding dan tertidur lelap sampai pagi. Ia
tidak sempat melihat tontonan di pesta sedikit pun.

Esok harinya, Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬datang lagi ke Mekah dengan maksud yang sama. Kali ini,
sebelum ia tiba di tempat pesta, telinganya mendengar musik indah yang turun dari langit, musik yang jauh lebih
indah daripada semua musik di dunia ini. Musik itu membuai Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬dan ia pun
kembali tertidur.
Sejak itu, Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬tidak lagi berminat untuk melihat pertunjukan musik di pesta.
Agar terhindar dari kenakalan yang sering dibuat para pemuda seusianya.

Akhlak Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬yang demikian baik selagi muda membuatnya disayang dan
dipercaya semua orang hingga ia pun dijuluki Al Amin, artinya "Yang Dipercaya".
Bagian 20

Khadijah

Namanya Khadijah binti Khuwalid. Sosoknya cantik dan anggun. Setelah ayah dan ibunya meninggal, saudara-
saudara Khadijah saling membagi harta kekayaan peninggalan orangtuanya. Namun, Khadijah sadar bahwa
kekayaan dapat membuat orang hidup menganggur dan berfoya-foya.
Dia dikaruniai kecerdasan yang luar biasa dan kekuatan sikap untuk mengatasi godaan harta. Maka dari itu,
Khadijah pun memutuskan untuk membangun kekayaannya sendiri berbekal warisan orangtuanya.
Tidak lama kemudian, Khadijah telah membuktikan bahwa kalau pun tidak mendapat harta warisan, dia mampu
mendapatkan kekayaan itu dari hasil jerih payahnya sendiri.

Dengan harta yang diperolehnya, Khadijah membantu orang-orang miskin, janda, anak-anak yatim, dan orang-
orang cacat. Jika ada seorang gadis yang tidak mampu, Khadijah menikahkan dan memberi mas kawinnya.
Khadijah lembut dan ramah. Walau menjadi pemimpin tertinggi dalam menjalankan bisnis keluarga sepeninggal
Ayahnya, dia juga mau menerima saran-saran orang lain. Khadijah tidak menyukai adanya jarak hubungan
antara atasan dan bawahan. Dia menganggap bawahan sebagai rekan kerja yang pantas dihormati.

Khadijah sendiri selalu tinggal di rumah. Karena itu, biasanya dia minta bantuan seorang agen, jika sebuah
kafilah sedang dipersiapkan untuk pergi ke luar negeri. Orang yang dimintai bantuan itu bertanggungjawab
membawa barang-barang dagangannya untuk dijual ke pasar-pasar asing. Khadijah sangat teliti memilih seorang
agen. Dia juga sangat lihai merencanakan waktu keberangkatan kafilah dan tempat tujuannya sebab barang
akan terjual dengan cepat pada waktu dan tempat yang tepat.

Begitu suksesnya Khadijah sebagai seorang saudagar, sampai-sampai jika sebuah kafilah Quraisy berangkat dari
Mekah, bisa dipastikan lebih dari separuhnya adalah harta perdagangan milik Khadijah. Dia seperti mempunyai
sentuhan emas. Diibaratkan jika dia menyentuh debu, debu ini akan berubah menjadi "emas". Karena itu
penduduk Mekah menjulukinya "Ratu Quraisy" atau "Ratu Mekah".

Kalau hanya kekayaan yang menjadi ukuran, tentu Allah ‫ ﷻ‬tidak akan menjadikan Khadijah (kelak) sebagai
istri seorang rosul. Pasti ada sifat lain yang lebih utama yang membuatnya sepadan dengan Nabi Muhammad
‫ﷺ‬.

Catatan

Sebuah kafilah dagang pada masa itu ibarat kampung bergerak. Hewan beban berjumlah 1000 sampai 2500
ekor dan diiringi seratus sampai tiga ratus orang. Kafilah perlu organisasi yang baik, biaya besar, dan keberanian
yang cukup. Jika ada perampok, seluruh anggota kafilah harus berani menyabung nyawa untuk
mempertahankan harta yang dibawanya.

Wanita Suci
Khadijah mempunyai seorang paman bernama Waraqah bin Naufal. Waraqah adalah sanak saudara Khadijah
yang paling tua. Dia Sangat mengutuk kebiasaan bangsa Arab Jahiliah yang menyembah berhala sehingga
menyimpang jauh dari apa yang diajarkan Nabi Ibrahim ‫ َعلَ ْي ِه ال َّساَل م‬dan Nabi Ismail ‫ َعلَ ْي ِه ال َّساَل م‬. Waraqah sendiri
adalah hamba Allah ‫ ﷻ‬yang setia dan lurus. Dia tidak pernah meminum minuman keras dan berjudi. Dia
murah hati terhadap orang-orang miskin yang membutuhkan pertolongannya.

Khadijah sangat terpengaruh pemikiran Waraqah bin Naufal. Khadijah juga sangat membenci berhala dan
patung-patung sesembahan.
Bersama beberapa keluarganya, Khadijah adalah pengikut setia ajaran Nabi Ibrahim ‫ َعلَ ْي ِه ال َّساَل م‬dan Nabi Ismail ‫َعلَ ْي ِه‬
‫ال َّساَل م‬.

Jika mendengar ada seorang anak perempuan akan dikubur hidup-hidup. Waraqah dan Khadijah akan segera
menemui sang Ayah dan mencegah perbuatannya. Jika kemiskinan yang menjadi alasan rencana pembunuhan
itu, Khadijah dan Waraqah akan membeli anak itu dan membesarkannya seperti anak kandung sendiri.

Sering kali beberapa waktu setelah itu, ayah si anak menyesali perbuatannya dan mengambil putrinya kembali.
Waraqah dan Khadijah akan memastikan dulu bahwa anak itu akan diasuh dengan benar dan disayangi, setelah
itu barulah dia mengizinkan sang Ayah membawa pulang anaknya kembali.

Budi pekerti Khadijah yang agung, santun, lembut dan penuh keteladanan ini membuat semua orang
menjulukinya juga sebagai Khadijah At Thahirah atau Khadijah yang suci.
Pertama kalinya dalam bangsa Arab seorang wanita dijuluki demikian, padahal orang Arab pada masa jahiliah itu
sangat mengagungkan laki-laki dan merendahkan wanita.

Catatan

Selain Khadijah, ada pula beberapa saudagar wanita terkenal.


Di antaranya adalah:
~ Hindun, istri Abu Sofyan dan
~ Asma binti Mukharribah, ibu Abu Jahl.

Para Saudagar wanita ini biasanya juga menjual keperluan wanita, seperti pakaian, parfum, perhiasan emas dan
perak, permata dan obat-obatan. Barang-barang ini tidak memerlukan banyak ruang, ringan dan laku keras di
mana-mana.
Bagian 21

Pembicaraan Abu Thalib

Pada musim semi tahun 595 Masehi, para pedagang Mekah kembali mulai menyusun kafilah perdagangan
musim panas mereka, untuk membawa barang dagangan ke Syria. Khadijah juga sedang mempersiapkan barang
dagangannya, tetapi ia belum menemukan seseorang untuk menjadi pemimpin kafilahnya. Beberapa nama
diusulkan orang, namun, tidak satu pun yang berkenan di hatinya.

Mendengar itu, Abu Thalib mendatangi Khadijah dan menawarkan kepadanya Sayyiduna Muhammad
‫ﷺ‬, keponakannya yang baru berusia 25 tahun, untuk menjadi agen Khadijah. Abu Thalib tahu
bahwa Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬belum cukup berpengalaman, tetapi ia sangat yakin bahwa
Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬lebih dari sekadar mampu.
Sebagaimana penduduk Mekah yang lain, Khadijah pun telah mendengar nama Baginda Muhammad
‫ﷺ‬. Satu hal yang Khadijah yakin adalah kejujuran Habibuna Muhammad ‫ﷺ‬. Bukankah
orang Mekah menjulukinya "Al Amin" atau "Orang yang bisa dipercaya". Maka, Khadijah menyetujui tawaran
Abu Thalib. Bahkan ia hendak memberi imbalan dua kali lipat kepada Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬dari
yang biasa diberikan kepada orang lain. Oleh karena itu, Abu Thalib pulang dengan gembira.

Segera saja Abu Thalib dan Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬menemui Khadijah yang kemudian
menerangkan tentang seluk beluk perdagangan. Otak Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬yang cerdas bekerja
dengan tangkas. Ia segera memahami semuanya. Tidak satu penjelasan pun yang ia minta untuk diterangkan
ulang.

Maka, kafilah pun disiapkan dengan suara riuh rendah. Khadijah menyertakan seorang pembantu laki-lakinya
yang terpercaya, Maisarah, untuk mendampingi Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬di perjalanan. Diantar
Abu Thalib dan paman-pamannya yang lain, Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬datang pada hari yang telah
ditentukan. Mereka disambut seorang paman Khadijah yang sedang menanti mereka dengan surat-surat
perdagangan.

Pemimpin kafilah membunyikan tanda dan semuanya segera berangkat. Pada musim panas, kafilah Mekah
berangkat menjelang senja dan terus berjalan pada malam hari. Mereka beristirahat pada siang hari karena
perjalanan siang akan sangat melelahkan semua orang.
Maka, berangkatlah Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬menempuh jalur yang pernah ditempuh bersama
pamannya 13 tahun yang lalu.

Imbalan untuk Baginda Muhammad ‫ﷺ‬

Imbalan yang diberikan Khadijah untuk seorang agen adalah dua ekor unta. Akan tetapi, Abu Thalib minta empat
ekor unta. Maka, Khadijah pun menjawab,
"Kalau permintaan itu bagi orang yang jauh dan tidak kusukai saja akan kukabulkan, apalagi buat orang yang
dekat dan kusukai."

Berdagang ke Syam

Dalam perjalanan, Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬mengenali bahwa Maisarah adalah teman yang baik.
Dengan senang hati, Maisarah menunjukkan dan menceritakan sejarah berbagai tempat menarik yang mereka
lewati. Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬juga menemui bahwa anggota kafilah yang lain sangat ramah dan
akrab terhadapnya.
Setelah satu bulan berjalan, tibalah mereka di Syria.

Setelah beristirahat beberapa hari, mulailah para pedagang menuju ke pasar. Walaupun ini adalah pengalaman
pertama. Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬sama sekali tidak bingung dengan tugasnya. Maisarah tercengang
melihat kelihaian Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬mengambil keputusan, pikirannya yang tajam, serta
kejujurannya. Semua barang yang mereka bawa laku terjual dengan jumlah keuntungan yang belum pernah
didapatkan Khadijah sebelum itu.
Setelah itu, Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬membeli barang-barang berkualitas yang akan dibawa pulang
ke Mekah untuk dijual dengan harga tinggi.
Di Syria, setiap orang yang berjumpa dengan Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬pasti sangat terkesan
olehnya. Penampilan Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬sangat memesona, ramah, dan sangat besar
perhatiannya pada setiap orang. Di tengah-tengah kesibukan itu, Maisarah melihat bahwa Habibuna
Muhammad ‫ ﷺ‬selalu memanfaatkan setiap waktu senggang untuk menyendiri dan berpikir. Ini
benar-benar tidak lazim bagi Maisarah. Ia tidak menyadari bahwa tuan mudanya ini memang sangat terbiasa
meluangkan waktu untuk memikirkan nasib umat manusia.

Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬juga amat heran melihat perpecahan berbagai kelompok Nasrani di Syria.
Setiap masing-masing dari mereka memiliki jalan dan pendapat sendiri padahal seharusnya mereka bergabung
dalam satu kelompok. Manakah yang paling benar dari semuanya itu. Pikiran-pikiran seperti ini membuat mata
Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬selalu terbuka pada saat orang-orang lain terlelap tidur.

Akhirnya, waktu untuk pulang pun tiba. Oleh-oleh untuk handai tolan pun dibeli dan semua barang dikemas.
Waktu pulang adalah waktu yang paling menggembirakan karena mereka akan berjumpa lagi dengan orang-
orang tercinta di kampung halaman. Mereka tidak sabar lagi mendengar tawa ria anak-anak mereka saat
kembali nanti dan mereka sadar jika waktu itu tiba, tidak akan kuat lagi mereka menahan air mata.

Hari Jum'at

Hari Jum'at pada zaman jahiliyah adalah hari bersuka ria di seluruh jazirah. Semua orang sibuk di pasar.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa, pernah terjadi, khutbah Jum'at Rasulullah ‫ ﷺ‬hampir
terganggu, karena saat itu datang kafilah membawa barang dagangan.
Pada hari Jum'at, semangat berdagang mengaliri darah semua orang pada saat itu.
Bagian 22

Perasaan Khadijah

Setelah beberapa bulan, kafilah Mekah pun datang kembali. Di tempat perhentian Marr Al Zahran, sehari
perjalanan dari Mekah, para agen biasanya mendahului datang ke Mekah untuk memberi laporan perdagangan.
Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬pun demikian. Ia lebih dulu tiba di Mekah. Namun, sebelum bertemu
Khadijah, ia berthåwaf dulu tujuh keliling mengelilingi Ka'bah.

Dari atas balkonnya yang megah, Khadijah bergegas datang menyambut dan Sayyiduna Muhammad
‫ ﷺ‬pun melaporkan hasil penjualan, barang yang dibeli, serta berbagai pengalaman kecil dalam
perjalanan. Saat itu, Khadijah sudah sangat terkesan dengan hasil yang diperoleh Baginda Muhammad
‫ﷺ‬, tetapi itu belum seberapa. Setelah Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬pulang, Maisaråh
menceritakan sendiri kesan-kesannya terhadap Habibuna Muhammad ‫ﷺ‬.

"Sungguh, belum pernah aku melihat pemuda yang demikian sempurna memandang masa depan. Keputusan-
keputusannya selalu tepat dan perkiraannya tidak pernah salah. Ia juga sangat jujur dan sopan," demikian
sebagian kisah Maisaråh.

Khadijah betul-betul sangat terkesan dengan agen barunya itu. Waraqah bin Naufal pun datang dan mendengar
sendiri kisah Maisarah tentang Sayyiduna Muhammad ‫ﷺ‬. Ada hal yang aneh pada diri Maisarah.
Biasanya, ia sangat menekankan laporannya pada masalah-masalah bisnis. Akan tetapi, kini persoalan dagang
seolah-olah menjadi hal kecil. Yang dibicarakan Maisarah kali ini hanya tentang Baginda Muhammad,
Muhammad, dan Muhammad ‫ﷺ‬. Padahal, keuntungan yang mereka dapat kali ini benar-benar luar
biasa. Jika dikatakan bahwa Khadijah memiliki "Sentuhan Emas", tepatlah apabila Baginda Muhammad
‫ ﷺ‬disebut memiliki "Sentuhan penuh berkah".

Ketika Waraqah telah mendengar semua itu, ia tenggelam dalam pemikiran yang sungguh-sungguh. Setelah
cukup lama berdiam diri, ia berkata kepada Khadijah,

"Mendengar darimu dan dari Maisarah mengenai Muhammad dan juga dari apa yang kulihat sendiri, aku
berpendapat bahwa ia memiliki semua sifat dan kemampuan sebagai seorang utusan Allah. Mungkin dialah yang
ditakdirkan untuk menjadi salah seorang di antara para rasul pada masa yang akan datang."

Pernikahan Agung

Khadijah memiliki teman seorang wanita bangsawan bernama Nafisah binti Munyah. Nafisah tahu setelah suami
kedua Khadijah meninggal, banyak bangsawan Quraisy yang melamarnya, namun Khadijah menolak. Nafisah
tahu bahwa Khadijah takut semua lamaran itu hanya bertujuan mengincar hartanya. Lebih dari itu, Nafisah juga
tahu bahwa yang diinginkan Khadijah adalah seorang laki-laki berakhlak agung. Nafisah juga tahu bahwa ada
satu laki-laki yang seperti itu di Mekah, ia adalah Habibuna Muhammad ‫ﷺ‬.

Karena itulah, begitu Khadijah membuka diri kepadanya tentang Baginda Muhammad ‫ﷺ‬, Nafisah
tidak terkejut lagi. Khadijah meminta Nafisah mencari jalan untuk mengetahui bagaimana pandangan Sayyiduna
Muhammad ‫ ﷺ‬tentang dirinya. Maka, ketika Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬dalam perjalanan
pulang dari Ka'bah, Nafisah menghentikannya. Nafisah pun bertanya,

"Wahai Muhammad, Anda telah menjadi seorang pemuda. Banyak lelaki yang lebih muda dari Anda telah
menikah dan beberapa di antaranya bahkan telah mempunyai anak. Mengapa Anda tidak menikah?"

"Aku belum mampu menikah, ya Nafisah. Aku belum mempunyai kekayaan yang cukup untuk menikah."

"Apa jawaban Anda jika ada seorang wanita yang cantik, kaya, dan terhormat mau menikah dengan Anda
walaupun Anda belum mampu?"

Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬balik bertanya dengan sedikit terperangah,


"Siapakah wanita itu?"

Nafisah tersenyum, "Wanita itu adalah Khadijah putri Khuwailid."

Alis Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬tambah terangkat,

"Khadijah? Bagaimana mungkin Khadijah mau menikah denganku? Bukankah Anda tahu bahwa banyak
bangsawan kaya raya dan kepala-kepala suku di Arab ini yang telah melamarnya dan ia telah menolak mereka
semua?"

"Jika Anda mau menikahinya, katakan saja dan serahkan semuanya kepadaku. Aku akan mengurus semuanya."

Ketika itu Abu Thalib menyetujuinya, Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬pun mengiyakan Nafisah. Maka,
pernikahan pun dilangsungkan.
Sebagai pengantin, Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬datang didampingi paman-pamannya yang ikut
berbahagia.

Perawakan Nabi Muhammad ‫ﷺ‬

Jarang ada pernikahan dilangsungkan demikian agung. Dalam acara itu, semua pemimpin Quraisy dan pembesar
Mekah diundang. Mempelai laki-laki menunggang kuda yang gagah diiringi para pemuda Bani Hasyim yang
menghunus pedang. Sementara itu, kaum wanita Bani Hasyim berjalan lebih dulu dan telah diterima di rumah
mempelai wanita.

Rumah Khadijah yang megah saat itu telah diterangi cahaya lilin dalam lampion-lampion yang digantung dengan
rantai-rantai emas. Setiap lampion terdiri atas 7 batang lilin.

Semua pembantu Khadijah diberi seragam khusus untuk menyambut para tamu yang datang menjelang sore
hari. Kamar pengantin benar-benar istimewa. Kain sutera dan brokat digantung begitu serasi. Lantainya tertutup
karpet putih dan diharumi dupa dari guci perak.

Khadijah sendiri begitu anggun hingga tampak bercahaya seperti matahari terbit. Ia mengenakan pakaian
pengantin yang sangat indah dan jarang ada duanya saat itu. Abu Thalib adalah wakil mempelai laki-laki dalam
memberi sambutan, sedangkan Waraqah bin Naufal adalah wakil pengantin wanita.

Tidak ada laki-laki segagah Sayyiduna Muhammad ‫ﷺ‬. Paras wajahnya tampan dan indah.
Perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi, juga tidak pendek. Rambutnya hitam sekali dan bergelombang.
Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung, lebat dan bertaut. Sepasang matanya lebar dan
hitam, di tepi putih matanya agak kemerahan, tampak lebih menarik dan kuat. Pandangannya tajam dengan
bulu mata yang hitam pekat. Hidungnya halus dengan barisan gigi yang bercelah-celah.
Cambangnya lebar, berleher jenjang, dan indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu yang bidang. Warna kulitnya
terang dan jernih dengan kedua telapak tangan dan kaki yang tebal. Jika berjalan, badannya agak condong ke
depan, melangkah cepat-cepat, dan pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan penuh pikiran, pandangan
matanya menunjukkan kewibawaan, membuat orang patuh kepadanya.
Bagian 23

Sifat Baginda Muhammad ‫ﷺ‬

Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬telah mendapat karunia Allah‫ ﷻ‬dengan pernikahan ini. Dari
seorang pemuda tidak kaya, Allah ‫ ﷻ‬telah mengangkatnya menjadi laki-laki berkedudukan tinggi dengan
harta yang mencukupi.

Seluruh penduduk Mekah memandang pernikahan ini dengan gembira dan penuh rasa hormat. Semua
undangan yang hadir berharap bahwa dari pasangan yang sangat ideal ini kelak lahir keturunan yang akan
mengharumkan nama Quraisy.

Para sesepuh dari kedua keluarga tahu bahwa Khadijah akan mendukung suaminya dengan kasih sayang dan
harta berlimpah. Sebaliknya, mereka juga berharap bahwa Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬yang bijak dan
cerdas akan membimbing istrinya menuju kebahagiaan hidup.
Kehidupan berlanjut dan keikutsertaan suami istri itu dalam pergaulan yang baik dengan masyarakat membuat
orang semakin menghormati mereka. Walau telah mendapat kehormatan demikian itu, Baginda Muhammad
‫ ﷺ‬tetaplah seorang yang rendah hati. Itu adalah sifatnya yang menonjol. Jika ada yang
mengajaknya berbicara, tidak peduli siapa pun itu, ia akan mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa
menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan dengan hati-hati, Habibuna Muhammad ‫ﷺ‬
bahkan memutar badannya untuk menghadap orang yang mengajaknya berbicara.

Semua orang tahu bahwa bicara Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬sedikit. Ia justru lebih banyak
mendengarkan pembicaraan orang lain. Selain bicara, Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬bukanlah orang
yang tidak bisa diajak bergurau. Ia sering juga membuat humor dan mengajak orang lain tertawa, tetapi apa
yang ia katakan dalam bergurau sekali pun adalah sesuatu yang benar.

Orang menyukai Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬yang apabila tertawa, tidak pernah sampai terlihat
gerahamnya. Apabila marah, tidak pernah sampai tampak kemarahannya. Orang tahu ia marah hanya dari
keringat yang tiba-tiba muncul di keningnya. Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬selalu menahan marah dan
tidak menampakkannya keluar.

Orang-orang menyayangi Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬karena ia lapang dada, berkemauan baik, dan
menghargai orang lain. Ia bijaksana, murah hati, dan sangat mudah bergaul dengan siapa saja. Namun, dibalik
semua kelembutan itu, ia mempunyai tujuan yang pasti, berkemauan keras, tegas, dan tidak pernah ragu-ragu
dalam tujuannya. Sifat-sifat demikian berpadu dalam dirinya sehingga menimbulkan rasa hormat yang dalam
bagi orang-orang yang bergaul dengan Baginda Muhammad ‫ﷺ‬.

Mahar Pernikahan

"Saksikanlah para hadirin," kata Waraqah bin Naufal dengan suara agak keras. "Saksikanlah bahwa aku
menikahkan Khadijah dengan Sayyiduna Muhammad ‫ﷺ‬, dengan mas kawin senilai 12 ekor unta
betina."

Kambing Sedekah

Setelah upacara resmi pernikahan selesai, Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬memerintahkan agar seekor
kambing disembelih di depan pintu rumah Khadijah dan membagikan dagingnya kepada fakir miskin. Itu belum
termasuk para undangan yang menghadiri jamuan pada malam harinya.
Jadi, selain diundang jamuan makan, fakir miskin pun dapat membawa pulang ke rumah beberapa kantung
daging.

Baqum Si Pedagang Romawi

Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬bukankah orang yang suka berpangku tangan, tetapi aktif bergaul dalam
masyarakat. Suatu hari terjadilah sebuah peristiwa yang membuat nama Baginda Muhammad ‫ﷺ‬
menjadi semakin harum. Peristiwa itu didahului oleh banjir besar yang melanda Mekah. Bukit-bukit di sekitar
Mekah tanpa ampun menumpahkan air hujan yang jarang turun itu ke kota yang tepat berada di bawah. Banjir
itu menyebabkan dinding Ka'bah yang memang sudah lapuk jadi retak dan terancam runtuh.
Sebenarnya, sebelum banjir tiba, sudah ada gagasan untuk memperbaiki Ka'bah, tetapi orang-orang takut
apabila Tuhan Ka'bah marah. Setelah banjir, tidak bisa dielakkan lagi bahwa dinding Ka'bah harus diperbaiki dan
ditinggikan.
Sudah menjadi takdir Allah bahwa waktu itu juga tersiar berita ada sebuah kapal Romawi terdampar di laut
Merah, dekat dengan pelabuhan Syu'aibah. Kapten kapal Romawi itu adalah seorang Nasrani yang berasal dari
Mesir. Baqum, namanya.

Orang-orang Mekah mengutus Walid bin Mughirah dan serombongan orang untuk membeli kapal itu,
membongkar kayu kayunya, dan mengangkutnya untuk membangun kembali Ka'bah. Baqum pun akhirnya
dikontrak sebagai ahli kayu.

Pada mulanya, tidak seorang pun berani membongkar dinding Ka'bah walau sedikit, karena takut dikutuk Tuhan.
Mungkin mereka masih ingat dengan jelas apa yang menimpa Abrahah dan pasukan gajahnya saat ingin
menghancurkan Ka'bah.
Akan tetapi, akhirnya, Walid bin Mughirah memberanikan diri merombak sudut bangunan bagian selatan.
Setelah itu, ia menunggu sampai besok. Ketika pagi tiba dan ia tidak juga dikutuk, mereka pun mulai melakukan
pembenahan Ka'bah.
Bagian 24

Membangun Ka'bah

Dalam pengerjaan Ka'bah orang-orang Quraisy dibagi menjadi empat bagian. Setiap kabilah masing-masing
mendapat pekerjaan satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali.

Pemugaran Ka'bah dimulai dengan memindahkan patung Hubal dan patung kecil lainnya. Setelah itu, pekerjaan
dilanjutkan dengan membersihkan pelataran dan membongkar dinding serta fondasi. Sayyiduna Muhammad
‫ ﷺ‬ikut terlibat dalam pekerjaan yang berlangsung berhari-hari itu.

Ada sebuah batu fondasi berwarna hijau yang tidak bisa dibongkar dengan cara apa pun. Karena itu, batu itu
mereka biarkan. Selanjutnya, didatangkanlah batu-batu granit biru dari bukit sekitarnya. Sebuah bahan
pencampur semen bernama bitumen yang didatangkan dari Syria pun mulai digunakan.

Pemugaran Ka'bah ini sebenarnya lebih menyerupai perbaikan hasil karya Nabi Ibrahim ‫ َعلَيْه ال َّساَل م‬dan Nabi Ismail
‫ َعلَ ْي ِه ال َّساَل م‬.

Pondasi Ka'bah ditinggikan sampai empat hasta ditambah satu jengkal atau sekitar dua meter. Dalamnya diuruk
tanah menjadi lantai yang sulit dicapai air apabila banjir datang kembali. Bersamaan dengan itu, pintu di sisi
timur laut pun diangkat setinggi pondasi. Dinding dinaikkan sampai 18 hasta. Saat itulah Ka'bah mulai diberi atap
bekas kapal yang kandas itu. Sebuah tangga untuk naik turun juga disiapkan. Kini Ka'bah bebas dari banjir. Isinya
terlindungi dari hujan, panas dan tangan jahil pencuri.

Pembangunan berjalan lancar sesuai dengan rencana sampai dinding tembok mencapai tinggi satu setengah
meter dan tiba saatnya batu hitam, Hajar Aswad, ditempatkan kembali ke tempatnya semula di sudut timur.

Karena ini merupakan upacara suci penuh kehormatan, berebut lah setiap kabilah untuk melaksanakannya.
Kabilah Abdu Dar merasa lebih berhak daripada Kabilah lain sehingga kedua kelompok saling beradu mulut
sampai suasana menjadi semakin panas.
Di tengah keadaan itu, muncul Abu Umayyah bin Al Mughirah. Ia adalah orangtua yang dihormati dan dipatuhi.
Ia pun mengajukan sebuah usul yang disetujui oleh semua pihak, "Serahkanlah putusan ini di tangan orang yang
pertama kali memasuki pintu Shafa."

HAJAR ASWAD

Ternyata yang datang pertama kali dari pintu Shafa adalah Habibuna Muhammad ‫ﷺ‬. Orang-orang
pun bersorak lega.

"Ini dia Al Amin" seru mereka.


"Dia adalah orang yang bisa dipercaya. Kami yakin dia bisa memecahkan persoalan ini. Kami akan menerima
putusannya."

Orang-orang Quraisy pun menceritakan persoalan yang mereka alami. Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬yang
saat itu belum berumur 30 tahun, memandang mereka dengan matanya yang teduh dan bijaksana. Sayyiduna
Muhammad ‫ ﷺ‬melihat berkobarnya api permusuhan pada mata setiap orang dari masing-masing
kabilah Quraisy. Keadaan ini benar-benar genting. Kalau salah mengambil keputusan, akan terjadi pertumpahan
darah di antara kabilah-kabilah itu.

Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬berpikir sejenak, lalu dia berkata,


"tolong bawakan sehelai kain."

Kain pun segera diberikan. Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬mengambil dan menghamparkan kain itu. Dia
lalu mendekati Hajar Aswad. Diangkatnya batu hitam itu dan diletakkan di tengah-tengah.

"Hendaknya, setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini," kata beliau lagi.

Kemudian, para ketua kabilah memegang ujung kain dan bersama-sama mengangkat Hajar Aswad. Di tempat
Hajar Aswad semula berada. Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬mengangkat dan meletakkannya kembali.

Semua pihak merasa amat puas dengan keputusan Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬yang adil itu.
Demikianlah, pada waktu muda. Rasulullah ‫ ﷺ‬telah menjadi orang yang cerdas dan bijaksana.

Putra Putri Nabi Muhammad ‫ﷺ‬

Khadijah adalah wanita teladan yang terbaik. Beliau wanita yang penuh kasih, setia, dan menyerahkan seluruh
hidupnya untuk suami tercinta. Khadijah juga wanita yang subur. Setelah lima belas tahun berumah tangga,
Khadijah melahirkan enam orang anak. Mereka adalah:
Ruqayyah, Zainab, Ummi Kultsum, Fatimah, Qasim dan Abdullah,

Namun, Qasim dan Abdullah wafat ketika masih bayi, sedangkan keempat anak perempuan yang lain tetap
hidup hingga dewasa. Kita dapat membayangkan betapa sedihnya Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬dan
Khadijah kehilangan kedua putra mereka.
Ketika pulang ke rumah dan duduk di samping Khadijah, Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬sering melihat
kesedihan di wajah istrinya itu. Saat itu, mempunyai anak laki-laki bagi masyarakat jahiliah adalah hal yang amat
penting dan dianggap sebagai sebuah kebanggaan. Sebaliknya, mempunyai anak perempuan adalah hal yang
amat memalukan, bahkan banyak orang yang memilih mengubur bayi perempuannya hidup-hidup dari pada
membesarkannya.

Tentu saja Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬dan Khadijah tidak merasa malu memiliki anak-anak
perempuan. Mereka menyayangi semua anak mereka tanpa pilih kasih. Apalagi putri bungsu mereka, Fatimah,
yang saat itu masih berusia lima tahun, anak cantik yang sedang lucu-lucunya. Hanya saja kehilangan dua anak
laki-laki yang masih bayi merupakan derita yang berat bagi orangtua mana pun.

Kekayaan Terbesar

Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah berkata bahwa kekayaan terbesar adalah istri yang salehah. Khadijah adalah
kekayaan terbesar Rasulullah ‫ ﷺ‬pada saat-saat paling sulit dalam hidup beliau.
Bagian 25

Rumah Tangga Baginda Muhammad ‫ﷺ‬

Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬selalu membuat suasana rumahnya menjadi hidup dengan canda dan
keramahan. Beliau suka berkelakar kepada siapa pun. Bukan hanya kepada istri dan putri-putrinya, beliau juga
amat ramah kepada pembantunya.

Sejak muda, Rasulullah ‫ ﷺ‬amat gemar memakai parfum. Bau wewangian itu akan membuat orang-
orang di sekitar beliau merasa senang. Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak menyukai baju berwarna merah. Beliau
lebih suka baju berwarna lurik atau putih. Rasulullah ‫ ﷺ‬juga gemar memakai surban dengan salah
satu ujungnya menggelantung antara pundak.
Beliau tidak pernah menggunakan baju yang seluruhnya terbuat dari sutera.

Kemudian datanglah satu orang yang amat Rasulullah ‫ ﷺ‬sayangi. Begitu sayangnya sampai beliau
mengangkatnya sebagai anak.

Zaid bin Haritsah

Suatu hari, keponakan Khadijah yang bernama Hakim bin Hizam membawa seorang budak laki-laki bernama Zaid
bin Haritsah. Zaid dibawa ke rumah Khadijah dalam keadaan mengenaskan. Lehernya dibelenggu sehingga ia
terpaksa merangkak seperti seekor kuda. Bunda Khadijah membeli Zaid dan memperlakukannya dengan baik.

Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬amat menyukai Zaid. Apalagi ketika Zaid bercerita bahwa ia dijadikan
budak dengan cara diculik.

Lima belas tahun yang lalu, Zaid kecil sedang berjalan pulang bersama ibunya ketika datang para perampok
gurun. Zaid disergap dan dibawa lari. Sejak itulah ia hidup sebagai seorang budak yang diperjualbelikan ke sana
kemari. Nasiblah yang membawanya bertemu dengan Rasulullah ‫ﷺ‬, orang yang amat Zaid cintai.

Melihat Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬amat menyayangi Zaid, Khadijah memberikan Zaid kepada
suaminya itu. Khadijah yang bijaksana mengerti bahwa suaminya menganggap Zaid seolah sebagai pengganti
Qasim dan Abdullah yang telah tiada. Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬segera memerdekakan Zaid. Namun,
secara tidak terduga, datanglah Haritsah, ayah Zaid.

Haritsah telah bertahun-tahun mencari Zaid sejak anaknya itu menghilang. Haritsah amat menyayangi dan
merindukan Zaid sehingga ia membuat puisi kesedihan tentang anaknya itu. Zaid pun amat menyayangi
ayahnya.

"Silakan membawa Zaid pulang," kata Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬kepada Haritsah. "Tetapi,
seandainya Zaid memilih tetap bersama saya, saya tidak akan menolaknya."

Ternyata, Zaid lebih memilih tinggal bersama Baginda Muhammad ‫ﷺ‬. Sayyiduna Muhammad
‫ ﷺ‬amat bahagia sehingga mengangkat Zaid sebagai putra beliau. Sejak saat itu, Zaid sering
dipanggil Zaid bin Muhammad.

Di kemudian hari, Allah ‫ ﷻ‬melarang anak angkat mewarisi harta ayah angkatnya yang telah wafat. Harta
seorang ayah tetaplah menjadi hak anak kandung, bukan anak angkat. Maha adil Allah ‫ ﷻ‬Yang Agung.

Gua Hira

"Berhala berhala yang bernama Hubal, Lata dan Uzza itu tidak pernah menciptakan seekor lalat sekali pun,
bagaimana mungkin mereka akan mendatangkan kebaikan bagi manusia?" demikian pikir Baginda Muhammad
‫ﷺ‬.

"Siapakah yang berada di balik semua ini? Siapa yang berada di balik luasnya langit dan tebaran bintang? Siapa
yang berada di balik padang pasir yang panas terbakar kilauan matahari? Siapa pencipta langit yang jernih dan
indah, langit yang bermandi cahaya bulan dan bintang yang begitu lembut, begitu sejuk? Siapa pembuat ombak
yang berdebur dan penggali laut yang begitu dalam? Siapa yang berada di balik semua keindahan ini?"

Demikianlah Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬tidak mencari kebenaran dalam kisah-kisah lama atau tulisan
para pendeta. Ia mencari kebenaran lewat alam. Ia mengasingkan dirinya dari keramaian dan pergi ke Gua Hira.

"Betapa sia-sianya hidup manusia, waktu terus berlalu, sementara jiwa-jiwa rusak karena dikuasai khayal
tentang berhala-berhala yang mampu melakukan ini dan itu. Betapa sia-sianya hidup manusia karena tertipu
dengan segala macam kemewahan yang tiada berguna.'"

Beliau mengasingkan diri seperti itu beberapa hari setiap bulan dan sepanjang bulan Ramadhan. Semakin lama,
jiwanya semakin matang dan semakin terisi penuh. Sampai suatu ketika, saat usia Sayyiduna Muhammad
‫ ﷺ‬menginjak 40 tahun, datanglah seseorang yang bukan dari dunia ini menemui beliau di Gua Hira.
Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬yang pemberani dan tenang itu amat terkejut melihatnya.
Bagian 26

Diangkat Menjadi Utusan Allah ‫ﷻ‬

Makhluk yang datang itu adalah Malaikat Jibril. Ia datang membangunkan Baginda Muhammad ‫ﷺ‬
yang sedang tidur karena kelelahan. Jibril berkata kepada Sayyiduna Muhammad ‫ﷺ‬, "Iqra
(Bacalah)!"
Dengan hati yang masih rasa terkejut, Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬menjawab, "Apa yang harus saya
baca."

Kemudian Malaikat Jibril mendekap sehingga Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬merasa lemas. Jibril
melepaskan dekapannya, lalu berkata lagi, "Bacalah!"

Kejadian itu berulang sampai tiga kali. Kemudian, setelah Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬berkata, "Apa
yang harus saya baca?" barulah Jibril membacakan Surat Al 'Alaq ayat pertama hingga ayat kelima:

َ ‫ا ْق َر ْأ ِباسْ ِم َرب‬
‫ِّك الَّذِي َخلَ َق‬

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,


Surah Al-'Alaq (96:1)

َ ‫َخلَ َق اإْل ِ ْن َس‬


‫ان مِنْ َعلَ ٍق‬

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.


Surah Al-'Alaq (96:2)

َ ‫ا ْق َر ْأ َو َر ُّب‬
‫ك اأْل َ ْك َر ُم‬

Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,


Surah Al-'Alaq (96:3)

‫الَّذِي َعلَّ َم ِب ْال َق َل ِم‬

Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,


Surah Al-'Alaq (96:4)

َ ‫َعلَّ َم اإْل ِ ْن َس‬


‫ان َما لَ ْم َيعْ لَ ْم‬

Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.


Surah Al-'Alaq (96:5)

Setelah mengucapkan ayat-ayat itu, Malaikat Jibril pun pergi meninggalkan Sayyiduna Muhammad
‫ ﷺ‬yang hatinya terhujam oleh firman Allah ‫ ﷻ‬tadi.

Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬mendadak tersentak sadar. Beliau terbangun dari ketakutan sambil
bertanya-tanya dalam hati, "Siapa gerangan yang kulihat tadi? Apakah aku telah diganggu jin?"

Beliau menoleh ke kiri dan ke kanan, tetapi tidak ada siapa pun. Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬diam sebentar
dengan tubuh gemetar. Beliau lalu lari ke luar gua, menyusuri celah-celah gunung sambil mengulang pertanyaan
dalam hati, "Siapa gerangan yang menyuruhku membaca tadi?"

Mendadak, Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬mendengar namanya dipanggil. Panggilan tersebut terasa dahsyat
sekali. Beliau memandang ke cakrawala dan melihat malaikat dalam bentuk manusia. Baginda Muhammad
‫ ﷺ‬tertegun ketakutan dan terpaku di tempatnya. Ia memalingkan wajah, tetapi di seluruh
cakrawala, ke mana pun beliau memandang rupa malaikat yang indah itu tidak juga berlalu.

Ketulusan Khadijah

Di rumah, Khadijah tiba-tiba merasa khawatir dengan nasib suaminya. Beliau mengutus orang untuk mencari
suaminya itu, tetapi tidak berhasil menemukannya.

Sementara itu, setelah rupa malaikat menghilang, Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬berjalan pulang
dengan hati yang sudah di penuhi wahyu Allah ‫ﷻ‬. Dengan jantung yang terus berdenyut keras dan hati
berdebar ketakutan, beliau pulang ke rumah.

"Selimuti aku," pinta Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬kepada Khadijah.

Khadijah segera menyelimuti suaminya yang menggigil kedinginan seperti terkena demam. Setelah rasa
takutnya mereda, beliau memandang Khadijah dengan tatapan mata meminta kekuatan dan perlindungan.

"Khadijah, kenapa aku?" kata Habibuna Muhammad ‫ﷺ‬.

Kemudian, Baginda Muhammad ‫ ﷺ‬menceritakan semua yang telah terjadi. Beliau juga berkata
bahwa ia takut semua itu bukan datang dari Allah ‫ﷻ‬, melainkan gangguan jin.

"Wahai putra pamanku," jawab Khadijah penuh sayang, "bergembiralah dan tabahkan hatimu. Demi Dia yang
memegang hidup Khadijah, aku berharap kiranya engkau akan menjadi nabi atas umat ini. Sama sekali Allah
‫ ﷻ‬takkan mencemoohkanmu sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan dan jujur dalam
berkata-kata. Engkau selalu mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu serta menolong mereka
yang dalam kesulitan atas jalan yang benar."

Kata-kata Khadijah itu menuangkan rasa damai dan tenteram ke dalam hati suaminya yang sedang gelisah.
Khadijah benar-benar yakin bahwa suaminya itu bukan diganggu jin. Beliau malah memandang suaminya itu
dengan penuh rasa hormat.

Habibuna Muhammad ‫ ﷺ‬pun segera tenang kembali. Beliau memandang Khadijah dengan penuh
kasih dan rasa terimakasih.
Tiba tiba, sekujur tubuhnya terasa amat letih dan beliau pun tertidur lelap.

Sejak saat itu, berakhirlah kehidupan tentang seorang Baginda Muhammad ‫ﷺ‬. Mulai saat itu,
kehidupan penuh perjuangan keras dan pahit akan dilaluinya sebagai seorang Rasulullah ‫ﷺ‬, utusan
Allah ‫ﷻ‬.

Kabar dari Waraqah bin Naufal

Khadijah menatap suaminya yang tertidur pulas itu. Dilihatnya kembali suaminya yang tertidur dengan nyenyak
dan tenang sekali. Khadijah membayangkan apa yang baru saja dituturkan suaminya. Firman Allah ‫ ﷻ‬dan
Malaikat yang indah. Luar biasa!
"Semoga kekasihku ini memang akan menjadi seorang nabi untuk menuntun umat ini keluar dari kegelapan,"
demikian pikir Khadijah.

Saat berpikir demikian, senyumnya mengembang. Namun, senyum itu segera menghilang, berganti rasa takut
memenuhi hati tatkala dibayangkan nasib yang bakal menimpa suaminya itu apabila orang-orang ramai
menentangnya.

Demikianlah, pikiran bahagia dan sedih terus berganti-ganti dalam benak Khadijah. Akhirnya, beliau
memutuskan untuk menceritakan hal ini kepada seseorang bijak yang dipercayanya.

Khadijah pun pergi menemui pamannya, Waraqah bin Naufal, seorang pendeta Nasrani yang jujur, dan
menceritakan semua yang didengarnya dari Sayyiduna Muhammad ‫ﷺ‬.

Waraqah bertafakur sejenak, lalu berkata, "Mahasuci Ia, Mahasuci. Demi Dia yang memegang hidup Waraqah.
Khadijah, percayalah, suamimu telah menerima 'namus besar' 1) seperti yang pernah diterima Musa ‫ َعلَ ْي ِه ال َّساَل م‬.
Sungguh, dia adalah nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tetap tabah."

Khadijah pulang. Dilihatnya suaminya masih tertidur. Dipandanginya suaminya itu dengan rasa kasih dan penuh
ikhlas, bercampur harap dan cemas. Tiba-tiba, tubuh suaminya menggigil, napasnya terlihat sesak dengan
keringat memenuhi wajah.

_______
1) Namus Besar

Namus besar yang dimaksud Waraqah bin Naufal berasal dari bahasa Yunani, noms, artinya kitab undang-
undang atau kitab suci yang diwahyukan. Namus bukan istilah dalam Al Qur'an.
Bagian 27

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمد‬

Orang yang Berselimut

Sayyiduna Muhammad ‫ ﷺ‬yang kini telah menjadi Rasulullah ‫ ﷺ‬terbangun karena


mendengar Malaikat Jibril membawakan wahyu kepadanya,

‫َيا أَ ُّي َها ْال ُمد َِّّث ُر‬

Hai orang yang berkemul (berselimut), (QS: Al-Muddassir 74:1)

ْ‫قُ ْم َفأ َ ْنذِر‬

bangunlah, lalu berilah peringatan! (74:2)

ْ‫َّك َف َكبِّر‬
َ ‫َو َرب‬

dan Tuhanmu agungkanlah! (74:3)


ْ‫ك َف َطهِّر‬
َ ‫َو ِث َيا َب‬

dan pakaianmu bersihkanlah, (74:4)

ْ‫َوالرُّ جْ َز َفاهْ جُر‬

dan perbuatan dosa tinggalkanlah, (74:5)

‫َواَل َتمْ ُننْ َتسْ َت ْك ِث ُر‬

dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. (74:6)

ْ‫ِّك َفاصْ ِبر‬


َ ‫َول َِرب‬

Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah. (74:7)

Khadijah memandang Rasulullah ‫ ﷺ‬dengan kasih yang bertambah besar. Beliau perlahan
mendekati suaminya. Khadijah dengan lembut memintanya agar kembali tidur.

"Waktu tidur dan istirahat sudah tidak ada lagi, Khadijah," demikian jawab Rasulullah ‫ﷺ‬.

"Jibril membawa perintah supaya aku memberi peringatan kepada umat manusia, mengajak mereka, dan
supaya mereka beribadah hanya kepada Allah. Namun, siapa yang akan kuajak? Siapa pula yang akan
mendengarkan?"

Khadijah cepat cepat menentramkan hati suaminya. Diceritakannya apa yang tadi dikatakan Waraqah. Dengan
penuh semangat, Khadijah menyatakan diri sebagai orang yang mengimani Rasulullah ‫ﷺ‬.

Dengan demikian, tercatat dalam sejarah bahwa orang pertama yang memeluk Islam adalah Khadijah.

Untuk lebih menentramkan Rasulullah ‫ﷺ‬, Khadijah meminta suaminya memberitahu dirinya
apabila malaikat datang.

Kemudian Jibril memang datang, namun hanya Rasulullah ‫ ﷺ‬yang dapat melihatnya. Khadijah
mendudukkan Rasulullah ‫ ﷺ‬di pangkuan sebelah kiri, lalu ke pangkuan sebelah kanan. Malaikat
Jibril masih terlihat oleh Rasulullah ‫ﷺ‬. Namun, ketika Khadijah melepas penutup wajahnya,
Rasulullah melihat Sang Malaikat menghilang.

Dari kejadian itu, Bunda Khadijah merasa yakin bahwa yang datang itu benar-benar malaikat, bukan jin.

Bertemu Waraqah

Tidak lama kemudian, Rasulullah ‫ ﷺ‬bertemu dengan Waraqah bin Naufal. Saat itu, Rasulullah
‫ ﷺ‬sedang melaksanakan thawaf. Sesudah Rasulullah ‫ ﷺ‬menceritakan keadaannya,
Waraqah berkata, "Demi Dia yang memegang hidup Waraqah, engkau adalah nabi atas umat ini. Engkau telah
menerima Namus Besar seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan didustakan, disiksa,
diusir, dan diperangi orang. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela yang di pihak
Allah dengan pembelaan yang sudah diketahui-Nya pula."

Kemudian, Waraqah mendekat dan mencium ubun-ubun Rasulullah ‫ﷺ‬.

Kini Rasulullah ‫ ﷺ‬memalingkan wajah ke sekitarnya, melihat orang-orang yang menyembah


patung-patung batu. Orang-orang ini juga menjalankan riba dan memakan harta anak yatim. Mereka jelas-jelas
berada dalam kesesatan. Kepada orang orang inilah Rasulullah ‫ ﷺ‬diperintahkan untuk menyeru
agar mereka menghentikan perbuatan perbuatan itu.

Namun, apakah mereka mau berhenti begitu saja? Orang orang Quraisy itu benar-benar amat kuat dalam
memegang keyakinan mereka.

Orang orang itu bahkan siap berperang dan mati untuk mempertahankan keyakinan mereka. Untuk itu,
Rasulullah ‫ ﷺ‬memerlukan datangnya wahyu penuntun lagi.

Namun, wahyu yang dinanti Rasulullah ‫ ﷺ‬ternyata tidak juga turun. Jibril tidak pernah datang lagi
untuk waktu yang lama. Rasulullah ‫ ﷺ‬merasa amat terasing. Rasa takutnya kembali muncul. Beliau
takut jika Allah ‫ ﷻ‬melupakan bahkan tidak menyukainya. Rasulullah ‫ ﷺ‬kembali pergi ke bukit
dan menyendiri lagi di Gua Hira. Ingin rasanya beliau membumbung tinggi dengan sepenuh jiwa, menghadap
Allah ‫ﷻ‬, dan bertanya mengapa dirinya seolah ditinggalkan.

Surah Adh Dhuha

Tiba-tiba, wahyu itu turun:

‫َوالض َُّح ٰى‬

Demi waktu matahari sepenggalahan naik,


Surah Ad-Duha (93:1)

‫َواللَّي ِْل إِ َذا َس َج ٰى‬

dan demi malam apabila telah sunyi (gelap), (93:2)

‫ُّك َو َما َقلَ ٰى‬


َ ‫ك َرب‬
َ ‫َّع‬
َ ‫َما َود‬

Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (93:3)

‫ك م َِن اأْل ُولَ ٰى‬


َ َ‫َولَآْل خ َِرةُ َخ ْي ٌر ل‬

Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan). (93:4)

‫ض ٰى‬
َ ْ‫ُّك َف َتر‬ َ ‫َولَ َس ْو‬
َ ِ‫ف يُعْ ط‬
َ ‫يك َرب‬

Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas. (93:5)
َ ‫أَلَ ْم َي ِج ْد‬
‫ك َيتِيمًا َف َآو ٰى‬

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? (93:6)

‫ضااًّل َف َه َد ٰى‬
َ ‫دَك‬
َ ‫َو َو َج‬

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. (93:7)

‫دَك َعا ِئاًل َفأ َ ْغ َن ٰى‬


َ ‫َو َو َج‬

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. (93:8)

ْ‫َفأَمَّا ْال َيتِي َم َفاَل َت ْق َهر‬

Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.


(93:9)

ْ‫َوأَمَّا السَّا ِئ َل َفاَل َت ْن َهر‬

Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.(93:10)

Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan. (93:11)

Rasa cemas dan takut di hati Rasulullah ‫ ﷺ‬kini hilang sudah. Betapa damainya firman Allah ‫ﷻ‬
itu terasa di hati beliau. Rasulullah ‫ ﷺ‬harus menjauhi setiap perbuatan mungkar dan
membersihkan pakaian. Beliau harus mengajak orang mengingat Allah ‫ﷻ‬. Beliau harus tabah menghadapi
gangguan, tidak boleh menolak orang yang meminta bantuan, dan berlaku lembut kepada anak yatim.

Allah ‫ ﷻ‬juga mengingatkan bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬yatim, lalu Allah ‫ ﷻ‬melindunginya lewat
asuhan kakeknya, Abdul Muthalib, dan pamannya, Abu Thalib.

Dulu, Rasulullah ‫ ﷺ‬hidup miskin, lalu Allah ‫ ﷻ‬memberinya kekayaan. Allah ‫ ﷻ‬pula yang
telah menyandingkan beliau dengan Khadijah, yang menjadi kawan semasa muda, kawan semasa beliau ber-
tahannuts, kawan yang penuh cinta kasih, yang memberi nasihat dengan rasa kasih sayang.

Allah ‫ ﷻ‬telah mendapati Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak tahu jalan, lalu diberi-Nya beliau petunjuk
kenabian. Cukuplah semua itu. Hendaklah mulai sekarang, Rasulullah ‫ ﷺ‬mengajak orang kepada
kebenaran, sedapat mungkin, sekuat mungkin.
Bagian 28

Shalat

Shalat adalah satu di antara ibadah pertama yang diajarkan Allah kepada Rasulullah ‫ﷺ‬. Suatu saat,
ketika Rasulullah ‫ ﷺ‬dan Khadijah sedang melaksanakan shalat, datanglah Ali bin Abu Thalib. Ali
yang saat itu masih anak-anak, tertegun melihat Rasulullah ‫ ﷺ‬dan Khadijah rukuk, sujud, serta
membaca ayat-ayat Al Qur'an.
"Kepada siapa kalian sujud?" tanya Ali ketika Rasulullah ‫ ﷺ‬dan Khadijah selesai shalat.

"Kami sujud kepada Allah," jawab Rasulullah, "Allah telah mengutusku dan memerintahkan aku mengajak
manusia menyembah Allah."

Kemudian, Rasulullah ‫ ﷺ‬mengajak sepupunya itu untuk beribadah kepada Allah ‫ ﷻ‬semata
serta meninggalkan berhala-berhala semacam Lata dan Uzza. Rasulullah pun membacakan beberapa ayat Al
Qur'an yang membuat Ali bin Abu Thalib terpesona karena ayat-ayat itu demikian indah.

Ali meminta waktu untuk berunding dengan ayahnya terlebih dahulu. Semalaman itu, Ali merasa gelisah.
Esoknya, ia memberitahukan kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬dan Khadijah bahwa ia akan mengikuti mereka
berdua, tidak perlu meminta pendapat ayahnya, Abu Thalib.

"Allah menjadikan saya tanpa saya perlu berunding dulu dengan Abu Thalib," demikian kata Ali, "apa gunanya
saya harus berunding dengan dia untuk menyembah Allah?"

Jadi, Ali adalah anak pertama yang memeluk Islam. Kemudian, Zaid bin Haritsah, bekas budak yang ikut
Rasulullah ‫ﷺ‬, ikut masuk Islam juga.
Sampai di situ, Islam masih terbatas pada keluarga Rasulullah ‫ﷺ‬: istri beliau, sepupu beliau, serta
bekas budak yang ikut beliau. Apa yang harus beliau lakukan untuk menyebarkan Islam lebih luas lagi? Beliau
tahu betul betapa kerasnya dan betapa kuatnya orang-orang Quraisy menyembah berhala yang diwarisi dari
nenek moyang mereka.

Walau demikian, Islam ini harus disebarkan, betapa pun kerasnya perlawanan orang.

Keislaman Abu Bakar

Abu Bakar bin Abu Quhafa dari kabilah bani Taim adalah teman akrab Rasulullah ‫ ﷺ‬sejak zaman
sebelum Rasulullah ‫ ﷺ‬diangkat menjadi utusan Allah ‫ﷻ‬. Rasulullah ‫ ﷺ‬amat
menyukai sahabatnya itu karena Abu Bakar adalah orang yang bersih, jujur, dan dapat dipercaya.

Suatu hari, Abu Bakar mendengar desas-desus tentang Rasulullah ‫ﷺ‬. Beliau segera keluar mencari
sahabatnya itu. Ketika mereka bertemu, Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah ‫ﷺ‬,

"Wahai Abu Qasim (salah satu panggilan Rasulullah ‫)ﷺ‬, ada apa denganmu? Kini engkau tidak lagi
terlihat di majelis kaummu dan kudengar orang-orang menuduh, bahwa engkau telah berkata buruk tentang
nenek moyangmu dan masih banyak lagi yang mereka katakan."

"Sesungguhnya, aku adalah utusan Allah," sabda Rasulullah ‫ﷺ‬,

"Allah mengutusku untuk menyampaikan risalah-Nya. Sekarang, aku mengajak kamu kepada agama Allah
dengan keyakinan yang benar. Demi Allah, sesungguhnya, apa yang kusampaikan adalah kebenaran. Wahai Abu
Bakar, aku mengajak kamu untuk menyembah Allah yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan
janganlah menyembah kepada selain-Nya, dan untuk selamanya kamu taat kepada-Nya."
Rasulullah ‫ ﷺ‬memperdengarkan beberapa ayat Al Qur'an. Selesai Rasulullah ‫ﷺ‬
berbicara, Abu Bakar langsung memeluk Islam. Melihat keislaman sahabatnya itu, Rasulullah ‫ﷺ‬
amat gembira. Tidak seorang pun yang ada di antara dua gunung di Mekah yang kegembiraannya melebihi
kegembiraan Rasulullah ‫ ﷺ‬saat itu.

Abu Bakar segera mengumumkan keislamannya itu kepada teman-temannya. Beliau juga mengajak mereka
mengikuti Rasulullah ‫ﷺ‬.
Dalam waktu singkat, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Sa'ad bin Abu Waqash
pun menemui Rasulullah dan masuk Islam.

Keislaman Utsman bin Affan

Utsman bin Affan menuturkan sendiri tentang keislamannya:

"Aku datang kepada bibiku Urwah binti Abdul Muthalib untuk menjenguknya karena ia sakit. Tidak lama
kemudian, Rasulullah ‫ ﷺ‬datang ke tempat itu juga dan aku perhatikan beliau. Waktu itu, tampak
jelas kebesarannya. Beliau pun menghampiri aku dan berkata,
"Wahai Utsman, mengapa kau memerhatikan aku begitu rupa?"

"Aku menjawab, 'Aku merasa kagum terhadap engkau dan terhadap kedudukan engkau di antara kami. Aku juga
kagum dengan apa yang dibicarakan orang-orang mengenai dirimu."

Utsman melanjutkan, "Kemudian, Rasulullah mengucapkan kalimat 'Laa illaha illallah'. Demi Allah, mendengar
kalimat itu, aku langsung bergetar. Kemudian, Rasulullah ‫ ﷺ‬membacakan ayat,

َ ‫َوفِي ال َّس َما ِء ِر ْزقُ ُك ْم َو َما ُتو َع ُد‬


٢٢ ‫ون‬

ِ ْ‫َف َو َربِّ ال َّس َما ِء َواأْل َر‬


َ ُ‫ض إِ َّن ُه لَ َح ٌّق م ِْث َل َما أَ َّن ُك ْم َت ْنطِ ق‬
٢٣ ‫ون‬

"Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu. Maka, demi Tuhan langit dan
bumi, sungguh, apa yang dijanjikan itu pasti terjadi seperti apa yang kamu ucapkan."
(Adz Dzariyat, 51: 22-23).

Kemudian, Rasulullah ‫ ﷺ‬berdiri dan pergi keluar. Aku pun mengikuti beliau dari belakang.
Kemudian, aku menghadap beliau dan aku masuk Islam."

Pengorbanan Seorang Istri

Khadijah yang berasal dari kalangan bangsawan Mekah, sadar betul bahwa suaminya kelak akan dibenci oleh
orang-orang kafir. Beliau berjuang di sisi suaminya, memilih Islam, dan menjadi pengikut pertama.
Khadijah menukar segala harta miliknya dengan kejayaan Islam yang tidak pernah beliau nikmati.
Bagian 29

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمد‬

Kaum Muslimin Awal


Mengetahui betapa kerasnya kebencian orang-orang Quraisy, kaum Muslimin permulaan (Assaabiquunal
Awaluun), melaksanakan ibadah mereka secara sembunyi-sembunyi. Jika hendak shalat mereka pergi ke celah-
celah gunung di Mekah. Keadaan ini berlangsung selama tiga tahun berturut-turut. Sementara itu, sedikit demi
sedikit Islam semakin meluas. Firman Allah ‫ ﷻ‬yang turun satu demi satu semakin memperkuat keyakinan
kaum Muslimin.

Ada satu hal yang membuat dakwah Islam berkembang, yaitu keteladan Rasulullah ‫ﷺ‬, yang beliau
contohkan dengan sangat baik. Beliau adalah orang yang penuh bakti dan penuh kasih sayang. Beliau juga
sangat rendah hati sekaligus gagah berani. Tutur kata beliau lembut dan selalu berlaku adil. Hak setiap orang
pasti ditunaikan sebagaimana mestinya. Perlakuan Rasulullah ‫ ﷺ‬terhadap orang-orang yang lemah,
yatim piatu, orang sengsara, dan orang miskin adalah perlakuan yang penuh kasih, lembut dan sayang.

Pada malam hari beliau tidak cepat tidur, Beliau bertahajud dan membaca wahyu yang disampaikan Allah
‫ ﷻ‬padanya. Beliau selalu merenung tentang nasib umatnya. Beliau juga merenungkan betapa luar biasanya
penciptaan langit, bumi dan segala isinya. Seluruh permohonannya dihadapkan kepada Allah ‫ﷻ‬. Hal-hal
seperti itu membuat orang-orang yang sudah beriman semakin bertambah cintanya kepada Islam dan semakin
kukuh keimanannya. Mereka sudah berketetapan hati meninggalkan sesembahan nenek moyang mereka dan
tidak takut siksaan orang-orang kafir yang membencinya.

Kalau orang lain telah Rasulullah ‫ ﷺ‬dakwahi bagaimana dengan keluarga beliau? Apakah beliau
juga berdakwah kepada paman-paman beliau yang sebagiannya merupakan para pembesar Quraisy yang
disegani? Apa yang mereka lakukan ketika mereka tahu bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬mengajak
meninggalkan sesembahan berhala yang telah begitu lama diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Jamuan Makan Untuk Kerabat

Tidak ada yang lebih dicintai Rasulullah ‫ ﷺ‬daripada kaum kerabatnya sendiri. Setelah tiga tahun,
turunlah firman Allah ‫ ﷻ‬yang memerintahkan agar beliau berdakwah kepada kerabatnya.

َ ‫ك اأْل َ ْق َر ِب‬
‫ين‬ َ ِ‫َوأَ ْنذِرْ َعش‬
َ ‫ير َت‬

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,


Surah Asy-Syu'ara' (26:214)

َ ‫ك م َِن ْالم ُْؤ ِمن‬


‫ِين‬ َ ‫ك لِ َم ِن ا َّت َب َع‬ ْ ‫َو‬
َ ‫اخفِضْ َج َن‬
َ ‫اح‬

dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.
Surah Asy-Syu'ara' (26:215)

َ ُ‫ك َفقُ ْل إِ ِّني َب ِري ٌء ِممَّا َتعْ َمل‬


‫ون‬ َ ‫َفإِنْ َع‬
َ ‫ص ْو‬

Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang
kamu kerjakan;
Surah Asy-Syu'ara' (26:216)

‫ِيم‬ ِ ‫َو َت َو َّك ْل َعلَى ْال َع ِز‬


ِ ‫يز الرَّ ح‬
Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang,
Surah Asy-Syu'ara' (26:217)

Rasulullah ‫ ﷺ‬mengundang makan keluarga besar beliau. Mereka pun datang,

"Muhammad beri aku arak!" seru seorang paman beliau yang bernama Zubair.

Namun Rasulullah ‫ ﷺ‬hanya menyuguhkan susu. Setelah mereka makan, Rasulullah ‫ﷺ‬
berdiri dan berkata,

"Saya tidak melihat ada seorang manusia di kalangan Arab yang dapat membawa sesuatu ke tengah-tengah
masyarakat lebih baik dari yang saya bawakan kepada kamu sekalian ini. Kubawakan kepada kamu dunia dan
akhirat yang terbaik. Allah telah menyuruhku mengajak kamu sekalian. Siapa di antara kamu yang mau
mendukungku?"

Setelah sesaat terpesona, semua orang menggerutu dan bangkit hendak pulang. Namun mereka kembali
terperangah ketika Ali bin Abu Thalib yang masih remaja bangkit seraya berseru lantang,

"Rasulullah saya akan membantumu! Saya adalah lawan siapa saja yang engkau tentang!"

Rasulullah ‫ ﷺ‬menepuk bahu Ali sambil berkata kepada yang lain,

"Inilah saudara saya, pembantu, dan pengganti saya. Ikuti dan patuhilah dia!"

Mendadak tawa hadirin meledak. Seseorang berkata kepada Abu Thalib,

"Ia memerintahkan engkau supaya mendengar dan mematuhi anakmu sendiri"

Kemudian, semua orang bubar begitu saja. Tidak seorang pun di antara para undangan yang tertawa terbahak-
bahak itu menyadari bahwa di antara mereka akan ditebas Ali memang bersungguh-sungguh dengan kata-
katanya itu.

Walid bin Mughirah

Pada awal kenabian, ada seorang bernama Walid bin Mughirah. Ia mempunyai dua sahabat yang merupakan
penyair hebat. Dengan syair-syairnya, mereka berusaha menjelek-jelekkan Rasulullah ‫ﷺ‬. Dengan
syair, Walid mempengaruhi orang banyak dengan dua sahabat penyairnya.

Penduduk Mekah Tidak Hirau

Meski ajaran Rasulullah ‫ ﷺ‬meluas dengan cepat, penduduk Mekah masih berhati-hati dan tidak
terlalu hirau. Mereka menduga ajakan Rasulullah ‫ ﷺ‬akan hilang dengan sendirinya dan orang akan
kembali menyembah kepercayaan nenek moyang mereka. Yang akhirnya, yang menang pasti Hubal, Latta dan
Uza pikir mereka, tidak sadar bahwa keimanan murni yang diajarkan Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak dapat
dikalahkan.
Bagian 30
َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمد‬

Seruan dari Bukit Shafa

Rasulullah ‫ ﷺ‬menaiki Bukit Shafa. Kemudian dengan suara lantang, beliau memanggil-manggil,
"Wahai orang-orang Quraisy! Wahai orang-orang Quraisy!"

Penduduk Mekah yang sibuk dengan urusannya terkejut dan menoleh.


"Muhammad berseru dari atas Shafa!" seru mereka.

Seketika, orang-orang datang berduyun sambil bertanya-tanya khawatir,


"Ada apa?"

Rasulullah ‫ ﷺ‬memandang kerumunan orang di bawah yang menatapnya dengan wajah penuh
tanda tanya.

"Bagaimana pendapat kalian kalau kuberi tahu bahwa di balik-bukit ini ada pasukan berkuda yang siap
menyerbu. Percayakah kamu kepadaku?"
tanya Rasulullah ‫ﷺ‬.

"Kami percaya!" jawab orang-orang yang di berkerumun itu.

"Kami tidak akan meragukan kata-katamu. Tidak pernah kami mendengar engkau berdusta."

Rasulullah ‫ ﷺ‬menarik napas dan menyampaikan seruannya,

"Aku mengingatkan kalian sebelum datang siksa yang amat berat! Wahai orang-orang Quraisy, Allah
memerintahkan aku untuk memberi peringatan kepada kalian bahwa yang terbaik bagi kehidupan dunia dan
akhirat adalah mengucapkan kalimat 'Laa ilaaha illallaah Muhammadurrasulullah."

Sejenak orang-orang tampak terpesona. Namun, Abu Lahab yang juga hadir di situ, dengan cepat naik darah. Ia
berseru keras-keras mencaci Rasulullah ‫ﷺ‬,

"Celaka engkau, Muhammad! Binasa dan celakalah seluruh hari-harimu! Hanya untuk omong kosong itukah
kamu mengumpulkan kami?"

Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak berkata apa-apa dihina sekeras itu. Beliau hanya menatap tajam wajah Abu
Lahab. Setelah teriakan Abu Lahab itu, orang-orang Quraisy seperti disadarkan dari rasa terpesonanya. Mereka
bubar dengan bermacam tingkah. Ada yang mengerutkan kening, ada yang berbisik-bisik, ada yang melirik
Rasulullah ‫ ﷺ‬sambil tersenyum mencibir.

Hinaan Abu Lahab itu tidak dibiarkan Allah ‫ﷻ‬.Turunlah firman yang mengutuk perbuatan itu.

Turunnya Surat Al-Lahab

Allah ‫ ﷻ‬berfirman: mengutuk Abu Lahab


ٍ ‫َّت َيدَ ا أَ ِبي لَ َه‬
َّ‫ب َو َتب‬ ْ ‫َتب‬

Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
Surah Al-Lahab (111:1)

َ ‫َما أَ ْغ َن ٰى َع ْن ُه َمالُ ُه َو َما َك َس‬


‫ب‬

Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.


Surah Al-Lahab (111:2)

َ ‫َس َيصْ لَ ٰى َنارً ا َذ‬


ٍ ‫ات لَ َه‬
‫ب‬

Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.


Surah Al-Lahab (111:3)

ِ ‫َوامْ َرأَ ُت ُه َحمَّالَ َة ْال َح َط‬


‫ب‬

Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.


Surah Al-Lahab (111:4)

‫فِي ِجي ِد َها َح ْب ٌل مِنْ َم َس ٍد‬

Yang di lehernya ada tali dari sabut.


Surah Al-Lahab (111:5)

Wahai Abu Lahab, sekarang apa yang akan engkau katakan? Dengarlah, keponakanmu Nabi Muhammad
‫ ﷺ‬tidak akan pernah lagi bungkam terhadap orang yang menentangnya. Keponakanmu Nabi
Muhammad ‫ ﷺ‬tidak akan pernah lagi menerima caci maki dan hinaan dari siapa pun sekali pun dari
pamannya sendiri. Jika caci maki itu ditujukan pada ajaran Allah ‫ ﷺ‬yang dibawanya. Keponakanmu
Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬bahkan siap terjun ke medan laga untuk menghadapi orang-orang yang
sombong dan congkak seperti dirimu.

Wahai Abu Lahab dengarkanlah! Dengarkanlah firman Allah ‫ ﷻ‬yang baru turun itu! Bukankah firman itu
seperti gelegar petir yang menyambar dirimu?

Dirimulah yang binasa, Abu Lahab! Seluruh hari-harimulah yang binasa! Binasalah kedua tanganmu dan sungguh
engkau akan benar-benar binasa!

Abu Lahab

Nama asli Abu Lahab adalah Abdul Uzza. Abu Lahab artinya si "Umpan Api".
Bisa dibayangkan betapa sakitnya hati Rasulullah ‫ ﷺ‬dihina Abu Lahab. Abu Lahab adalah paman
Rasulullah ‫ﷺ‬.
Lebih dari itu Rasulullah ‫ ﷺ‬menikahkan kedua putrinya, Ruqayyah dan Ummu Kultsum dengan ke
dua putra Abu Lahab, Utbah dan Utaibah.

Ummu Jamil
Selain Abu Lahab, ada seorang lagi yang amat murka dengan turunnya Surat Al Lahab. Dia adalah Ummu Jamil,
istri Abu Lahab. Begitu mendengar bunyi Surat Al Lahab yang disampaikan orang kepadanya, hati Ummu Jamil
menggelegak marah. Ia keluar rumah dan berjalan ke sana kemari mencari sasaran pelampaisan kemarahan.
Tidak lama kemudian, ia bertemu dengan Abu Bakar. Amarahnya naik ke ubun ubun.

"Apa maksud temanmu melantunkan syair tentang diriku?" bentak Ummu Jamil kepada Abu Bakar.

Abu Bakar mengerti bahwa yang dimaksud Ummu Jamil adalah Rasulullah. Sebenarnya, saat itu Rasulullah
‫ ﷺ‬ada di sisi Abu Bakar, tetapi Allah ‫ ﷻ‬menutupi beliau dari pandangan Ummu Jamil.

"Demi Allah, temanku itu tidak pandai bersyair!" sanggah Abu Bakar.

"Bukankah temanmu itu mengatakan bahwa di leherku ada tali dari sabut yang dipintal?"

Ummu Jamil meraba-raba lehernya. Di leher itu, ada untaian kalung yang amat indah. Ia mempertontonkan
perhiasannya itu kepada Abu Bakar sampai Abu Bakar merasa jengah dan memalingkan wajahnya.

"Inilah tali sabut yang dimaksud temanmu itu?" ejek Ummu Jamil sambil tersenyum. "Tidakkah ini merupakan
tali sabut paling indah di dunia?"

Ummu Jamil kemudian berlenggak-lenggok genit sambil mempermainkan kalungnya. Ia tertawa dengan
congkak. Abu Bakar tidak membalas, beliau cuma memejamkan mata.

Melihat Abu Bakar yang tetap tenang, Ummu Jamil melengos pergi sambil mengomel,

"Semua orang Quraisy tahu bahwa aku adalah putri kebanggaan mereka!"

Ummu Jamil adalah wanita yang sangat cantik. Ummu Jamil berarti "Ibu Kecantikan". Namun, seperti suaminya,
Ummu Jamil sangat membenci Rasulullah ‫ ﷺ‬dan kaum Muslimin. Begitu bencinya sampai ia
menyuruh budak-budaknya melemparkan kotoran dan batu kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬setiap kali beliau
lewat.
Bagian 31

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّب ِد َنا م َُحمد‬

Minta Mukjizat

Bersungguh-sungguh atau hanya sekedar mengejek, orang-orang Quraisy sering meminta mukjizat kepada
Rasulullah ‫ﷺ‬.

"Kalau Tuhanmu bisa menurunkan mukjizat, kami pasti akan beriman kepadamu!" demikian seru salah seorang
dari mereka kepada Rasulullah ‫ﷺ‬.

"Muhammad! Kalau engkau benar benar Rasulullah, mintalah Tuhan agar menyulap Bukit Shafa dan Marwa
menjadi bukit-bukit emas!" seru yang lain.
"Ya, itu benar! Tetapi kalau Tuhanmu tidak sanggup membuat bukit emas, cobalah turunkan ayat-ayat Allah itu
dalam sebuah kitab yang diturunkan langsung dari langit! Itu pun sudah akan membuat kami beriman!"

Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak menanggapi permintaan-permintaan aneh itu. Melihat Rasulullah ‫ﷺ‬


yang tetap diam dan tenang, orang-orang Quraisy jadi semakin kesal. Dari waktu ke waktu, sering di muka
umum dan disaksikan orang banyak, mereka mengajukan permintaan-permintaan lain yang lebih mustahil.

"Muhammad, kami dengar engkau sering membicarakan Jibril. Mengapa engkau tidak menampakkan Jibril di
hadapan kami agar kami yakin?"

"Muhammad, kalau Tuhammu memang sehebat yang engkau katakan, mintalah Ia menghidupkan orangtua-
orangtua kami yang sudah mati!"

"Muhammad, katamu engkau membawa agama kasih sayang buat seluruh alam! Kalau begitu, mintalah
Tuhanmu agar memunculkan mata air yang lebih sedap dari sumur Zamzam! Bukankah engkau tahu bahwa
penduduk Mekah sangat memerlukan air?"

"Ya, setidaknya mintalah Tuhanmu melenyapkan bukit-bukit yang mengurung Mekah agar kota ini dapat mudah
dicapai orang dari arah mana pun!"

Jawaban untuk Kaum Quraisy

Allah ‫ ﷻ‬sendirilah yang menjawab permintaan-permintaan itu melalui firman-Nya:

َ ‫ت م َِن ْال َخي ِْر َو َما َم َّسن َِي السُّو ُء ۚ إِنْ أَ َنا إِاَّل َنذِي ٌر َوبَشِ ي ٌر لِ َق ْو ٍم ي ُْؤ ِم ُن‬
‫ون‬ َ ‫ت أَعْ لَ ُم ْال َغي‬
ُ ْ‫ْب اَل سْ َت ْك َثر‬ ُ ‫ض ًّرا إِاَّل َما َشا َء هَّللا ُ ۚ َولَ ْو ُك ْن‬ ُ ِ‫قُ ْل اَل أَمْ ل‬
َ ‫ك لِ َن ْفسِ ي َن ْفعًا َواَل‬

Katakanlah: Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan
kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan,
dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.
Surah Al-A'raf (7:188)

Melalui ayat ini, Allah ‫ ﷻ‬menyuruh Rasulullah ‫ ﷺ‬mengatakan, "Wahai orang Quraisy, aku
hanyalah seorang pemberi peringatan. Bukankah aku tidak meminta kepadamu hal-hal di luar kemampuan akal?
Mengapa kamu justru memintaku menunjukkan hal-hal yang tidak masuk akal?

"Wahai orang Quraisy, bukankah Al Qur'an itu sendiri merupakan sebuah mukjizat? Kemudian, mengapa kamu
masih meminta mukjizat yang lain? Apakah jika mukjizat itu benar-benar diturunkan, kamu akan beriman
kepadaku? Bukankah jika mukjizat itu turun, kamu akan mengatakan bahwa aku hanyalah seorang penyihir yang
mengada-ada?

"Wahai orang Quraisy, kalau kamu tidak mau menyembah Allah dan tetap menyembah berhala, mengapa tidak
kamu minta saja mukjizat-mukjizat tadi kepada para berhala itu? Bukankah kamu tahu bahwa berhala-berhala
itu tidak dapat mendatangkan kebajikan? Bukankah mereka tidak bergerak, tidak hidup, dan hanya terbuat dari
batu dan kayu? Bukankah mereka tidak dapat membela diri jika ada orang yang datang dan menghancurkannya?
Demikianlah, Rasulullah ‫ ﷺ‬menjawab dengan kata-kata yang tidak dapat lagi dibantah
kebenarannya. Namun, apakah orang-orang kafir itu seketika mau menerima Islam? Tidak, mereka bahkan
melakukan hal-hal lain untuk menyingkirkan Rasulullah ‫ﷺ‬.

Ammarah bin Walid

Sekali pun tidak memeluk Islam, Abu Thalib adalah pelindung Rasulullah ‫ﷺ‬. Jika ada orang yang
membahayakan Rasulullah ‫ﷺ‬, Abu Thalib dan kabilahnya siap membelanya sampai titik darah
penghabisan. Tidak ada musuh Rasulullah ‫ ﷺ‬yang berani membunuh beliau tanpa menghadapi Abu
Thalib dan kabilahnya. Karena mengetahui kokohnya perlindungan Abu Thalib ini, para pemuka Quraisy
mendatangi orangtua itu di rumahnya.

"Abu Thalib," demikian mereka mengajak bicara,

"keponakanmu itu sudah memaki berhala-berhala kita, mencaci agama kita, dan menganggap sesat nenek
moyang kita. Engkau harus menghentikan dia sekarang. Jika tidak, biarlah kami yang akan menghadapinya. Kalau
kamu melindunginya juga, biar kabilah-kabilah kami yang akan menghadapi kabilahmu."

Abu Thalib menghela napas berat,


"Demi Tuhan Ka'bah, biar seluruh Mekah menghalangi jalanku, aku akan tetap melindungi kemenakanku itu."

Para pemimpin Quraisy itu saling berpandangan, lalu pergi tanpa berkata apa-apa. Bagaimanapun, mereka
belum sanggup menghadapi perang saudara yang akan menghancurkan kota Mekah. Mereka memutar akal dan
menemukan muslihat lain.

Para pemimpin Quraisy itu kembali mendatangi Abu Thalib sambil membawa serta Ammarah bin Walid. Ia
adalah pemuda Quraisy yang gagah perkasa dan paling tampan wajahnya.

"Ambillah dia! Jadikan dia sebagai anak. Ia jadi milikmu. Namun, serahkanlah keponakanmu yang menyalahi
agama kita dan agama nenek moyang kita, yang memecah belah persatuan kita itu untuk kami bunuh!"

"Bagaimana, Abu Thalib? Bukankah ini pertukaran yang adil? Seorang laki-laki ditukar pula dengan seorang laki-
laki!"

Wajah Abu Thalib berubah murka. Dengan mata menyala, ditatapinya para bangsawan itu satu demi satu.

"Betapa buruknya tawaran kalian kepadaku ini!" geram Abu Thalib.

"Bayangkan, kalian memberikan anakmu kepadaku untuk aku beri makan, sedangkan aku harus menyerahkan
anakku untuk kalian bunuh! Demi Tuhan Ka'bah, ini adalah hal yang tidak boleh terjadi buat selamanya!"

Abu Thalib adalah pemimpin kabilah Bani Hasyim. Kini Bani Hasyim terpecah dua. Kaum miskinnya membela Abu
Thalib, sedang kaum kayanya membela Abu Lahab.
Bagian 32

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمد‬
Dahsyatnya Iman

Abu Thalib memanggil Rasulullah ‫ ﷺ‬dan berkata,

"Muhammad, orang-orang Quraisy kembali datang padaku dan mengatakan, 'Wahai Abu Thalib, engkau adalah
orang terhormat dan terpandang di kalangan kami. Oleh karena itu, kami meminta baik-baik kepadamu untuk
menghentikan keponakanmu itu, tetapi tidak juga engkau lakukan. Ingatlah, kami tidak akan tinggal diam
terhadap orang yang memaki nenek moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan kita, dan mencela berhala-
berhala kita. Suruh diam dia atau kami lawan dia hingga salah satu pihak nanti binasa! ' "

Abu Thalib memandang wajah keponakannya lekat-lekat, hampir seperti memohon, lalu katanya,

"Jagalah Aku, Nak. Jaga juga dirimu. Jangan Aku dibebani dengan hal-hal yang tidak dapat kupikul. "

Rasullullah ‫ ﷺ‬tertegun. Beliau tahu, pamannya seolah sudah tidak berdaya lagi membelanya.
Pamannya hendak meninggalkan dan melepasnya. Sementara itu, kaum muslimin masih lemah dan belum
mampu membela diri. Namun, semua diserahkan pada kehendak Allah ‫ﷻ‬. Rasullullah ‫ﷺ‬
bertekad untuk terus berdakwah. Lebih baik mati membawa iman daripada menyerah atau ragu-ragu.

Oleh karena itu, dengan seluruh kekuatan jiwa, Rasulullah ‫ ﷺ‬berkata,

"Paman, demi Allah, kalau pun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar
aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan. Biar nanti Allah yang akan membuktikan apakah
kemenangan itu ada di tanganku atau aku binasa karenanya."

Begitulah kedahsyatan iman Rasulullah ‫ﷺ‬. Abu Thalib sampai tertegun dan gemetar mendengar
tekad keponakannya itu. Rasulullah ‫ ﷺ‬pergi sambil menitikkan airmata, tetapi Abu Thalib
memanggilnya kembali sambil berkata,

"Anakku katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau apa pun yang terjadi."

Utsman dan Ruqayyah

Sore itu, Rasulullah ‫ ﷺ‬pulang ke rumah dengan hati yang sangat sedih. Seharian, beliau melihat
para pengikutnya disiksa.

Betapa berat penderitaan orang-orang Muslim saat itu. Khadijah menghampiri suaminya tercinta. Dihibur dan
dikuatkannya kembali diri Rasulullah ‫ﷺ‬.

Tiba-tiba, pintu terbuka. Ruqayyah, putri kedua Rasulullah ‫ﷺ‬, tiba-tiba masuk sambil menangis.
Ruqayyah mendekap pangkuan ibunya sambil menangis tersedu-sedu.

"Ada apa, sayang?" tanya Khadijah begitu lembut, menutupi kekhawatirannya sendiri akan berita buruk yang
dibawa putrinya itu.

"Suamiku menceraikan aku, Bunda," isak Ruqayyah. "Ayah mertuaku, Abu Lahab, menyuruh suamiku
menceraikan aku dan suamiku menurut. Ia dijanjikan akan dinikahkan kembali dengan putri bangsawan."
Rasulullah ‫ ﷺ‬dan Khadijah saling bertatapan sedih. Sudah sekejam itu Abu Lahab bertindak untuk
menyakiti Rasulullah dan keluarganya.

"Ummu Jamil, ibu mertuaku, merobek-robek bajuku," lanjut Ruqayyah pilu. "Abu Lahab memukuliku. Abu Lahab,
Ummu Jamil, dan suamiku, Utbah, bersumpah tidak akan menerima lagi kehadiranku selama ayah masih tetap
mendakwahkan Islam."

Seberapa pun tabahnya Khadijah, akhirnya air matanya menitik juga melihat putrinya yang kini menjadi orang
terusir. Dengan lembut, Rasulullah ‫ ﷺ‬memeluk putrinya itu dan menghapus air mata di pipinya.

"Aku lebih sayang Ayah dan Bunda daripada siapa pun di dunia ini," bisik Ruqayyah kepada Rasulullah
‫ﷺ‬.

Dengan hati pilu, Rasulullah ‫ ﷺ‬pergi menemui Abu Bakar. Rasulullah ‫ ﷺ‬menceritakan
kejadian yang menimpa Ruqayyah.

"Ya Rasulullah," kata Abu Bakar dengan lembut.

"Sebenarnya, dari dulu, Utsman bin Affan sudah menaruh hati pada Ruqayyah, tetapi Utbah mendahuluinya.
Utsman sangat menyesal tidak dapat menyunting putri Anda."

Mendengar penuturan Abu Bakar, Rasulullah ‫ ﷺ‬pun kemudian menikahkan Utsman dengan
Ruqayyah. Untuk sementara, berakhir satu kesedihan.

Masih banyak lagi cobaan dan ujian lain yang akan mendera Rasulullah ‫ﷺ‬, keluarga, dan para
sahabatnya.

Duri-duri di Jalan

Gangguan Ummu Jamil dan Abu Lahab semakin menjadi jadi. Setiap kali Rasulullah ‫ ﷺ‬berjalan
untuk menemui para pengikutnya, setiap itu pula beliau menemukan duri-duri bertebaran di jalan. Perlahan dan
berhati-hati, Rasulullah ‫ ﷺ‬melangkah agar duri tidak menembus kakinya. Namun, hampir setiap kali
pula dalam keadaan itu, kotoran dan batu melayang ke arah beliau.

Suara tawa melengking terdengar jika Rasulullah ‫ ﷺ‬tengah sibuk menghindari lemparan batu dan
kotoran. Sambil menghapus kotoran yang melekat di pakaian, Rasulullah ‫ ﷺ‬menoleh ke arah suara
tawa. Ummu Jamil dan Abu Lahab kelihatan begitu menikmati penderitaan Rasulullah ‫ﷺ‬. Ummu
Jamil berpakaian mencolok dan selalu menatap Rasulullah ‫ ﷺ‬dengan tatapan menghina.

"Lihat!" lengking Ummu Jamil,

"Inilah Muhammad, anak gembel yang berani membawa agama baru! Agama yang dikiranya dapat menyamakan
kedudukan para bangsawan dan budak!"
Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak berkata apa-apa untuk membalas. Beliau hanya balik menatap dengan tatapan
yang tajam.

"Percuma kamu banyak berkata, istriku! Telinganya sudah tuli!" Sembur Abu Lahab. "Hai, para budak! Lanjutkan
kesenangan kalian!”

Seketika itu juga, budak-budak kuat bertubuh besar milik Abu Lahab dan Ummu Jamil kembali melempari
Rasullulah ‫ ﷺ‬dengan batu, kotoran, dan pasir. Diperlakukan seperti itu, Rasulullah ‫ﷺ‬
tidak membalas sedikit pun. Beliau hanya menghindar, menahan sakit, seraya bersabar dan terus bersabar.
Bagian 33

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمد‬

Bilal bin Rabbah

Beberapa pengikut Rasulullah ‫ ﷺ‬yang pertama berasal dari kalangan miskin dan lemah. Ajaran
Islam yang melarang penindasan membuat banyak budak dengan segera menjadi seorang Muslim. Namun, jika
tuan mereka tahu akan hal ini, para budak itu dipaksa harus memilih:
kembali menyembah berhala atau disiksa habis-habisan.

"Lemparkan dia dan baringkan tubuhnya di atas pasir!" raung Umayyah bin Khalaf Al Juhmi. Rupanya, ia sangat
murka mengetahui seorang budaknya, Bilal bin Rabbah, menjadi pengikut Rasulullah ‫ﷺ‬. Lebih
murka lagi ia ketika tahu bahwa Bilal, si pemuda hitam itu, lebih memilih menghadapi siksa dan membangkang
kehendaknya daripada harus keluar dari agama barunya itu.
Orang-orang suruhan Umayyah membuka seluruh baju Bilal. Kemudian, budak malang itu ditelentangkan di atas
padang pasir yang panasnya begitu menyengat saat matahari berada di atas kepala.

"Budak jelek, engkau akan diperlakukan seperti ini hingga engkau mati atau engkau mengingkari Muhammad
dan kembali menyembah Lata dan Uzza!".

Menghadapi ancaman itu, Bilal hanya berkata,


"Ahad! Ahad!" ("Maha Esa Allah! Maha Esa Allah! ")

Suara cambuk memerihkan telinga ketika Bilal disiksa, "Ahad! Ahad!"

"Letakkan batu besar di atas dadanya!" raung Umayyah.

Bilal merasa dadanya hampir remuk dan terasa sesak sekali, sehingga nyaris ia tidak dapat lagi bernapas atau
pun bersuara, tetapi ia tetap melantunkan kalimat juangngya. "Ahad! Ahad! Ahad!"

Ibu Bilal, Hamamah, juga disiksa tuannya. Menurut suatu riwayat, ia gugur dalam penyiksaan itu dan wafat
sebagai syuhada.
(Dalam riwayat yang lain, Hamamah, dimerdekakan Rasulullah ‫)ﷺ‬.

Khalid bin Sa'id


Seperti Bilal, Khalid bin Sa'id termasuk orang-orang pertama yang beriman. Khalid adalah orang ke kelima yang
masuk Islam. Ia bermimpi akan jatuh ke jurang api, tapi diselamatkan oleh seseorang yang ternyata ia adalah
Rasulullah ‫ﷺ‬.

Siksaan Demi Siksaan

Setelah melihat Umayyah menyiksa Bilal sedemikian kejam, para pemilik budak dan pembesar Quraisy yang lain
ikut menyiksa para budak mereka yang ketahuan memeluk agama Islam. Beragam siksaan sangat kejam
ditimpakan kepada para pemeluk Islam pertama itu.

"Hukuman apa yang harus kutimpakan kepada budak pembangkang ini, Tuan?" Tanya algojo.

Sang Tuan tersenyum sinis, "Cambuk dia sampai tanganmu tidak mampu lagi!"

Algojo melaksanakan tugasnya dengan patuh. Suara lecutan cambuk disertai erangan orang terdengar dari detik
ke detik. Setiap lecutan membuat rasa sakit lebih perih dari lecutan sebelumnya. Sebagian orang yang kuat
bertahan hingga pingsan. Sebagian yang lain gugur karena tidak kuat menahan derita.

Lebih dari itu, ternyata bukan hanya cambuk yang bicara.

"Buka pakaiannya!" perintah seorang bangsawan kepada tukang pukulnya.

Beberapa budak Muslim yang malang itu segera saja menjadi tidak berbaju.

"Pakaikan mereka pakaian besi yang ketat menempel di kulit!" seringai sang bangsawan.

Para tukang pukul segera menurut.

"Sekarang, bakar baju besi yang telah dikenakan itu!" seru bangsawan dengan buas.

Jerit kesakitan budak-budak Muslim itu amat memilukan karena baju besi yang dibakar itu menghanguskan
seluruh kulit tubuh mereka.

Ummu Ubais dan Zinnirah

Ummu Ubais dan Zinnirah adalah dua perempuan Muslim yang disiksa sampai jadi buta. Orang-orang Quraisy
mengejek dengan mengatakan bahwa kebutaan itu disebabkan mereka dikutuk berhala.
Akan tetapi, dengan izin Allah ‫ﷻ‬, keduanya kemudian dapat melihat lagi sehingga orang-orang Muslim
dapat membalas ejekan orang-orang kafir.
Bagian 34

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمد‬

Syahidah Pertama
Sabar, demikian sabda Rasulullah ‫ﷺ‬, setiap kali para pengikutnya mengadukan penderitaan
mereka. Saat itu memang tidak ada lagi yang dapat diperbuat selain sabar sampai mati. Sabar yang demikian
membuat para pemeluk Muslim pertama sanggup menanggung derita siksa di luar batas kemampuan fisik
manusia.

Khabbab bin Al Arat pernah meminta agar Rasulullah ‫ ﷺ‬berdo'a kepada Allah ‫ ﷻ‬dalam
menghadapi penindasan ini. Mendengar ini, Rasulullah ‫ ﷺ‬duduk dengan wajah merah padam
seraya bersabda,

"Sungguh telah terjadi sebelum kamu, ada orang yang disisir badannya dengan sisir besi hingga dagingnya
mengelupas dan terlihat tulang-tulangnya. Akan tetapi, ia tetap teguh memegang keyakinannya. Allah ‫ُسب َْحا َن ُه َو‬
‫ َت َعالَى‬akan menyempurnakan urusan ini sampai seorang penunggang kuda berjalan dari Shan'a ke Hadramaut
dan ia tidak takut kecuali kepada Allah. Ingatlah, serigala akan tetap ada di tengah-tengah gembalaan, hanya
saja kalian lengah."

Sumayyah adalah ibu Ammar bin Yasir. Beserta suami dan anaknya, Sumayyah disiksa karena mengikuti ajaran
Rasulullah. Ia diseret di jalan-jalan Kota Mekah, lalu dilempar ke padang pasir.

"Pukuli dia! Pukuli dia sekuat-kuatnya!" Perintah Abu Jahal.

Sumayyah pun dipukuli sampai pingsan. Kejadian ini dilakukan berulang-ulang selama berhari-hari. Namun,
semakin sakit tubuhnya, iman Sumayyah malah semakin tinggi.

"Engkau mengikuti Muhammad karena tertarik pada ketampanannya!" ejek Abu Jahal.

"Tidak," geleng Sumayyah,


"Aku mengikuti Rasulullah karena percaya pada apa yang beliau sampaikan. Aku mengikuti Rasulullah karena
beliau mengajarkan ada Tuhan yang lebih patut disembah daripada berhala-berhala kalian!"

Akhirnya, kesabaran Abu Jahal pun habis. Dia mengambil tombak dan menusuk Sumayyah.

Sumayyah tercatat dalam sejarah sebagai perempuan muslim pertama yang syahid (syahidah) karena membela
Islam.

Surga Untuk Keluarga Yasir

Ketika Rasulullah ‫ ﷺ‬menyaksikan Yasir, Sumayyah dan putra Yasir yang bernama Ammar disiksa
habis-habisan, beliau bersabda, "Sabar wahai keluarga Yasir, tempat yang telah dijanjikan bagi kalian adalah
surga."

PENEBUSAN

Melihat saudara-saudara baru mereka disiksa demikian kejam, Abu Bakar, Utsman bin Affan, dan semua orang
kaya yang beriman segera bertindak. Abu Bakar mendatangi Umayyah bin Khalaf yang sedang menyiksa Bilal.

"Bebaskan dia," pinta Abu Bakar.


"Tidak!" Cibir Umayyah.
"Engkau dan temanmu telah meracuni pikirannya! Justru aku yang minta kamu menghentikan pengaruh
jahatmu terhadap budakku ini!"

Abu Bakar merasa bahwa hati Umayyah tidak mungkin dibujuk lagi, maka dia segera mengajukan penawaran.

"Kubeli Bilal darimu! Lihat, ini lima uqiyah emas! Ambil uang itu, dan berikan Bilal kepadaku!"

Dengan seringai penuh kemenangan, Umayyah menyambar uang-uang emas itu.

"Wahai Abu Bakar! Andaikata engkau menawar satu uqiyah saja, sudah tentu aku menjualnya! Dia sudah tidak
berharga lagi bagiku!"

Wajah Abu Bakar memerah, bukan karena marah, melainkan karena dipenuhi rasa bahagia bisa menolong
saudaranya yang tertindas.

"Jangan hanya lima uqiyah" ujar Abu Bakar sepenuh hatinya, "Andaikan engkau menjual seratus uqiyah pun, aku
akan tetap membelinya!"

Kini giliran wajah Umayyah yang memerah. Terbayang keuntungan yang akan didapatnya seandainya ia
menawar lebih tinggi lagi.

Abu Bakar yang baik hati kemudian membebaskan Bilal. Tidak berhenti sampai di situ, beliau pun terus
menggunakan hartanya untuk membebaskan lima kaum muslimin lain yang tengah disiksa. Budak terakhir yang
dibebaskan adalah budak milik Umar bin Khattab.

Orang-orang Quraisy mengejek Abu Bakar, "Alangkah sia-sianya Abu Bakar itu! Dia membuang-buang uang
untuk membebaskan orang!"

Namun, semangat Abu Bakar justru membakar kaum muslimin lain untuk turut berusaha keras membebaskan
saudara-saudara mereka.
Bagian 35

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمد‬

Darul Arqam

Waktu terus berjalan. Kegigihan dakwah Rasulullah ‫ ﷺ‬mulai berbuah, sedikit demi sedikit, para
pemeluk Islam mulai bertambah. Rumah Rasulullah ‫ ﷺ‬yang kecil itu mulai terasa sempit.

"Ya Rasulullah, alangkah baiknya jika kita memindahkan tempat pertemuan ke rumahku," usul Arqam.
"Rumahku cukup luas untuk menampung jumlah kita yang sudah puluhan orang. Lagi pula, letaknya ada di
puncak bukit. Orang-orang jahat tidak mudah mencapai tempat itu untuk mengganggu kita."
Rasulullah ‫ ﷺ‬pun setuju. Oleh karena itu, pertemuan setiap malam pun pindah ke rumah Arqam.
Sebagian pemeluk Islam waktu itu adalah orang-orang lemah: para budak, buruh, orang miskin, perempuan-
perempuan fakir, serta orang tertindas lain. Sisanya adalah golongan orang terpelajar dan pedagang kaya.

Sebenarnya, kebanyakan pedagang mulanya agak ragu.

"Bagaimana jika nanti ajaran baru ini menutup Mekah dari rombongan saudagar dari tempat-tempat lain? Kalau
demikian yang terjadi, kita akan bangkrut." Ujar seorang pedagang.

Namun, keraguan itu ditepis Rasulullah ‫ﷺ‬. Islam tidak akan menutup Mekah. Islam juga tidak akan
mengubah musim ziarah ketika justru banyak pedagang mancanegara berdatangan ke Mekah. Islam tidak
melarang semua itu.

Hal yang dilarang adalah:


1. Menyembah berhala
2. Menyerahkan persembahan dan korban kepada bangsawan Quraisy
3. Bertelanjang ketika thawaf di Ka'bah
4. Menyelenggarakan pelacuran
5. Mengeluarkan kata-kata kotor dan tindakan buruk lain saat melaksanakan ziarah

Rencana Para Pemuka Quraisy

Setelah mendengar penjelasan Rasulullah ‫ﷺ‬, para pedagang pun merasa lega. Kebanyakan mereka
bukan pedagang budak dan tidak menarik untung dari korban yang dipersembahkan untuk bangsawan-
bangsawan Quraisy. Iman mereka pun semakin kuat.

Melihat Islam semakin dicintai para pengikutnya, para pembesar Quraisy pun menyusun rencana lain...

"Apa yang harus kita lakukan?" teriak seorang pemuka Quraisy.


"Abu Bakar dan teman-temannya terus membebaskan budak-budak kita! Tidak ada jalan lain, bunuh budak-
budak itu agar yang lain ketakutan!"

"Tidak," geleng Abu Jahal lemah. "Sumayyah telah kubunuh, tapi itu tidak membuat yang lain takut. Cari saja
cara yang lain!"

Seorang pemuka Quraisy berdiri cepat,


"Pukuli Muhammad sampai remuk! Dengan demikian, wibawanya akan hancur dan pengikutnya pun bubar
ketakutan!"

"Namun, keluarga Muhammad dari Bani Hasyim akan membelanya!" lengking yang lain.

"Siapa? Abu Thalib sudah terlalu tua! Yang harus kita takuti dari Bani Hasyim adalah Hamzah! Namun, engkau
lihat sendiri, Hamzah sibuk berfoya-foya sendiri! Ia tidak peduli pada nasib keponakannya itu! Pilihlah dua orang
yang paling ditakuti di Mekah untuk melaksanakan tugas ini!"
Sejenak, orang-orang terdiam sambil memandang berkeliling. Kemudian, seorang dari mereka menunjukkan
jarinya kepada pemuda bertubuh tinggi besar,
"Engkau, Umar bin Khattab! Engkau dan Abu Jahal! Tidak ada orang lain yang berani melawan kalau kalian
memukuli Muhammad!"

Orang-orang berseru "setuju."

"Sabar," tiba-tiba seseorang berseru,


"langkah awal bukanlah serangan fisik! Hancurkan dulu wibawanya! Ku usulkan agar kita suruh para budak
melempari Muhammad dan meneriakinya sebagai pembohong, orang gila, dan tukang sihir!"

Usul itu disetujui. Mulai hari itu, setiap Rasulullah melewati jalan-jalan di Mekah, para budak, para wanita yang
nasibnya justru sedang diperjuangkan Rasulullah ‫ﷺ‬, meneriaki beliau,
"Pembohong besar! Orang gila! Tukang sihir!"

Suara mereka keras dan tajam layaknya orang sedang mengusir kucing yang masuk dapur. Kemudian, apa yang
terjadi jika Abu Jahal atau Umar mulai memukuli Rasulullah ‫ﷺ‬

Kuda Jantan

Saat itu merupakan masa yang berat bagi Rasulullah ‫ﷺ‬. Beliau pergi ke sebuah tempat yang teduh,
berbaring di atas batu, dan berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Tidak ada yang lebih menyakitkan
dibanding cacian dan celaan dari orang-orang yang justru sedang diperjuangkan Rasulullah ‫ ﷺ‬mati-
matian.

Sementara itu, di depan Ka'bah, Abu Jahal berkoar di depan teman temannya,
"Aku bersumpah untuk menghantam kepala Muhammad dengan sebuah batu ketika dia sedang sujud kepada
Tuhannya!"

Beberapa orang bersorak memberi semangat, sedangkan yang lain saling pandang dengan terkejut. Itu adalah
sebuah tindakan kejam yang dapat menimbulkan kematian. Jika Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬meninggal,
Bani Hasyim pasti akan menuntut balas dan Mekah akan terpecah oleh perang saudara. Namun, Abu Jahal telah
mengucapkan sumpah yang tidak dapat ditarik lagi tanpa mencoreng mukanya sendiri. Oleh karena itu, mereka
memilih untuk mengamati apa yang terjadi dengan dada berdebar-debar.

Kesempatan yang ditunggu Abu Jahal pun tiba. Saat itu, Rasulullah ‫ ﷺ‬sedang shalat di depan
Ka'bah. Ketika beliau sujud, Abu Jahal dengan cepat melangkah mendekat. Kedua tanganya yang menggenggam
batu terangkat tinggi-tinggi, matanya menyala buas.

Namun, ketika batu akan dihujamkan sekuat tenaga, mendadak Abu Jahal berbalik pergi. Batu di tangannya
lepas dan wajahnya pucat ketakutan.

"Ada apa?" semua teman- temannya bertanya kebingungan.

Dengan napas tersendat-sendat, Abu Jahal berkata,


"Demi Tuhan, di depanku tadi berdiri seekor kuda jantan. Belum pernah aku menyaksikan seekor kuda jantan
serupa itu. Kepala, tengkuk, dan giginya sungguh mengerikan. Aku yakin dia akan menelanku seandainya batu
tadi kuhantamkan!"

Abu Jahal pergi cepat-cepat untuk menenangkan diri.

Orang-orang memandang Rasulullah ‫ ﷺ‬dengan heran dan takjub. Sementara itu, Rasulullah
‫ ﷺ‬tetap melanjutkan shalat dengan khusyuk. Wajah beliau begitu teduh dan tenteram.
Bagian 36

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمد‬

Singa Padang Pasir

Orang-orang terus menertawakan Rasulullah ‫ ﷺ‬setiap kali lewat. "Pembohong besar! Orang gila!
Tukang sihir!"

Abu Jahal terus menyemangati orang-orang yang mengejek sambil kerap kali melontarkan caci maki juga.

Rasulullah ‫ ﷺ‬mendadak berhenti melangkah. Beliau berpaling dengan tenang menghadap Abu
Jahal, dengan sorot matanya tajam. Abu Jahal berhenti dan terdiam. Dengan wajah sayu penuh belas kasihan,
Rasulullah ‫ ﷺ‬memandang orang-orang kecil yang mengejeknya. Seketika, sorak-sorai pun mereda.
Semua orang yang berada di sekitar tempat itu terpesona melihat keadaan Rasulullah ‫ﷺ‬. Baru kali
ini mereka seolah disadarkan, betapa menyakitkannya ejekan mereka itu diterima Rasulullah ‫ﷺ‬.
Sorot mata Rasulullah ‫ ﷺ‬seolah berkata, "Mengapa kalian mengejekku? Bukankah aku sedang
berjuang menyelamatkan kalian dari kekejaman bangsa Quraisy dengan membawa Islam yang mulia?
Seandainya kalian tahu, ejekan Abu Jahal itu tidak begitu menyakitkan dibanding kata-kata kalian, sebab kepada
kalianlah Allah meyuruhku menebar kasih sayang."

Tanpa sepatah kata pun, Rasulullah ‫ ﷺ‬berlalu. Orang-orang bubar dengan membawa perasaan
masing-masing. Tatapan Rasulullah ‫ ﷺ‬tadi sangat berkesan di hati seorang budak perempuan.
Ketika budak itu berjalan pulang, ia melihat Hamzah bin Abdul Muthalib datang.

Hamzah adalah paman Nabi, usia mereka hampir sebaya. Dari kecil, Rasulullah ‫ ﷺ‬dan Hamzah
dibesarkan bersama, bermain bersama, dan menjadi sahabat karib. Karena itulah Hamzah begitu menyayangi
Rasulullah ‫ﷺ‬.

Hamzah berjalan gagah dan bangga memasuki Mekah. Ia betul-betul laki-laki perkasa dengan perawakan tinggi
dan kekar. Dengan wajah angkuh, Hamzah melangkah sambil menyandang busurnya. Ia habis berburu.

Orang-orang yang melihatnya pun berbisik kagum. Namun, budak perempuan tadi merasa ada yang janggal,
mengapa orang segagah ini tidak membela Baginda Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, keponakannya sendiri?
Mengapa ia bisa setenang itu?
Tahukah ia bahwa Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬keponakannya, dicaci maki orang?
Baginda Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬dihina pemimpin kabilah lain yang menjadi saingan Bani Hasyim!
Pantaskah ia disebut sebagai pemuda perkasa yang pantang menyerah pada lawan, sedangkan ia tidak berbuat
apa pun ketika seorang keluarga Bani Hasyim dicaci maki orang?
Dengan dada hampir meluap, budak perempuan itu menegur Hamzah, "Tuan, tidak tahukah Anda apa yang
menimpa kemenakanmu itu?"

Hamzah berhenti dan budak perempuan itu menceritakan apa yang dilihatnya. Dalam sekejap saja, wajah
Hamzah memerah. Tanpa berkata apa pun, ia berbalik menuju Ka'bah dengan langkah bergegas. Ia mencari Abu
Jahal.

Kebimbangan Hamzah

Di depan Ka'bah, Abu Jahal bercerita kepada beberapa temannya, "Puas rasanya melihat Muhammad dicaci
begitu banyak orang", ujar Abu Jahal, "Kalau kuberi semangat sedikit lagi, bukan tidak mungkin mereka akan
memukulinya."

Teman-temannya terlihat ikut bersemangat. Beberapa orang mulai ikut bicara, tetapi mendadak semuanya
terdiam dan memandang ke satu arah. Abu Jahal ikut menoleh dan seketika kerongkongannya tercekat. Hamzah
bin Abdul Muthalib, sang pahlawan Bani Hasyim, menjulang di belakangnya dengan mata menyala tanpa ampun.

"Beraninya engkau mencaci maki Muhammad, padahal aku telah memeluk agamanya? Coba lakukan
penghinaanmu kepadaku jika engkau benar-benar jantan!"

Setelah berkata begitu, Hamzah melayangkan busurnya. Bunyinya mendecit, cepat , dan keras sehingga kepala
Abu Jahal pun terluka.

Beberapa teman Abu Jahal serempak berdiri. Tampaknya, perkelahian tidak terhindarkan lagi. Ketika Abu Jahal
melihat ini, ia mengangkat tangan untuk mencegah teman temannya. Abu Jahal yakin, dalam keadaan seperti
itu, Hamzah tidak akan ragu-ragu membunuh orang.

Dengan napas tersengal, Abu Jahal memegangi kepalanya. Ia berkata sambil menahan marah, "Kita tinggalkan
saja dia! Aku memang telah mencaci maki kemenakannya."

Mereka pun pergi dengan geram dan murung. Namun, hati Hamzah belum lagi lega. Ia pulang dengan bimbang,
"Mengapa begitu mudah kutinggalkan agama nenek moyangku?"

Setelah melewati malam yang gelisah, Hamzah akhirnya berdoa, "Ya Tuhan, jika Muhammad benar, teguhkanlah
hatiku. Jika Muhammad salah, jauhkanlah aku darinya!"

Hamzah menemui Rasulullah ‫ ﷺ‬dengan sedih dan menceritakan semua kegelisahan hatinya.
Rasulullah ‫ ﷺ‬lalu membacakan beberapa ayat Al Qur'an.

Perlahan, hati Hamzah dipenuhi rasa tenang, haru, dan kagum. Dengan bulat hati, ia pun berkata,

"Aku menyaksikan bahwa engkau itu sungguh benar, maka itu tampakkanlah agamamu, hai anak saudaraku!"

Bukan main bersyukurnya Rasulullah ‫ﷺ‬. Kini, Islam telah memiliki benteng yang kuat dalam
menghadapi kekerasan Quraisy. Hamzah memeluk Islam pada akhir tahun ke enam kenabian (nubuwwah).
Orang-orang Quraisy tidak putus asa, Mereka mempunyai cara lain untuk menekan perjuangan Rasulullah
‫ﷺ‬.

Singa Allah dan Singa Rasul-Nya

Kemudian seluruh kegagahan Hamzah dibaktikannya untuk membela Allah ‫ ﷻ‬dan agama-Nya, sehingga
Rasulullah ‫ ﷺ‬memberi Hamzah julukan istimewa, Singa Allah dan Singa Rasulullah. Hamzah adalah
komandan Sariyah yang pertama.
Sariyah adalah pasukan Muslim yang berangkat tanpa disertai Rasulullah ‫ﷺ‬.
Bagian 37

َ ‫اَل ٰلّ ُه َّم‬


ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Tawaran Utbah bin Rabi'ah

"Sesak dadaku melihat Muhammad dan para pengikutnya!" teriak seorang pembesar Quraisy. "Setiap hari
mereka semakin kuat!" geram yang lain. "Semua gangguan dan siksaan kita seolah tidak berpengaruh apa-apa.
Sangat mengherankan!" gerutu yang lain menggelengkan kepala.

Ketika suasana bertambah panas, Utbah bin Rabi'ah berdiri. Semua orang memandangnya dan menunggu.

"Kalau jalan kekerasan tidak membuahkan hasil, sudah saatnya kita mencoba cara lain, " kata Utbah bin Rabi'ah.
Suaranya pelan dan tenang.

"Kalau kalian setuju, aku akan bicara dengan Muhammad dan menawarkan beberapa hal menarik kepadanya.
Apakah kalian setuju?"

Setelah terdiam sejenak, akhirnya orang orang Quraisy itu pun setuju.

"Coba laksanakan usulmu! Kami bersedia memberi apa saja asal Muhammad mau bungkam!" kata mereka.

Utbah bin Rabi'ah pun menemui Rasulullah ‫ﷺ‬.

"Anakku," katanya lembut,

"engkau adalah orang terhormat. Namun kini, engkau membawa soal besar sehingga masyarakat kita tercerai-
berai. Sekarang dengarlah, kami menawarkan kepadamu beberapa hal, mungkin sebagiannya bisa engkau
terima. Anakku, kalau yang engkau inginkan adalah harta, kami siap mengumpulkan dan memberikan harta kami
sehingga engkau akan menjadi seorang paling kaya. Kalau engkau ingin kedudukan, akan kami angkat engkau
sebagai pemimpin kami sehingga kami tidak akan mengambil keputusan tanpa persetujuanmu. Kalau engkau
ingin menjadi raja, akan kami nobatkan engkau menjadi raja kami. Jika engkau diserang penyakit yang tidak
dapat engkau sembuhkan sendiri, akan kami biayai pengobatannya dengan harta kami sampai engkau sembuh."

Rasulullah ‫ ﷺ‬terdiam sejenak. Utbah bin Rabi'ah merasa kata katanya yang berbunga itu seolah
menguap tanpa jejak ke udara.
Surat Fushilat

Rasulullah ‫ ﷺ‬lalu membaca ayat-ayat Al Qur'an Surat Fushilat mulai dari ayat pertama:

‫ِيم‬ ِ ْ‫هللا الرَّ ح‬


ِ ‫من الرَّ ح‬ ِ ‫ِبسْ ِم‬

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

(1). ‫حم‬
Haa Miim. (Haa Miim) hanya Allah saja yang mengetahui arti dan maksudnya.

ٰ
ِ ‫َت ْن ِزي ٌل م َِن الرَّ حْ َم ِن الرَّ ح‬
(2). ‫ِيم‬
Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

َ ‫ًًّيا لِ َق ْو ٍم َيعْ لَم‬R4‫ت آ َيا ُت ُه قُرْ آ ًنا َع َر ِب‬


(3). ‫ُون‬ ِّ ُ‫ِك َتابٌ ف‬
ْ َ‫صل‬
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui,

َ ‫ض أَ ْك َث ُر ُه ْم َف ُه ْم اَل َيسْ َمع‬


(4). ‫ُون‬ َ ‫بَشِ يرً ا َو َنذِيرً ا َفأَعْ َر‬
yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling
(daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan.

َ ‫َو َقالُوا قُلُو ُب َنا فِي أَ ِك َّن ٍة ِممَّا َت ْدعُو َنا إِلَ ْي ِه َوفِي آ َذا ِن َنا َو ْق ٌر َومِنْ َب ْي ِن َنا َو َب ْين‬
َ ُ‫ِك ح َِجابٌ َفاعْ َم ْل إِ َّن َنا َعامِل‬
(5). ‫ون‬
Mereka berkata: "Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di
telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka lakukanlah (sesuai kehendak kamu);
sesungguhnya kami akan melakukan (sesuai kehendak kami)".

Rasulullah ‫ ﷺ‬terus membacakan ayat-ayat lanjutannya yang menuturkan tentang Rasulullah


‫ ﷺ‬hanyalah seorang pemberi peringatan, tentang gunung-gunung yang kokoh, tentang penciptaan
langit dan tujuh lapisannya, tentang azab petir yang menimpa kaum Tsamud, tentang ngerinya nasib kaum kafir
yang menolak wahyu dari Allah ‫ﷻ‬.

Ayat-ayat itu begitu memesona Utbah sampai ia lupa pada apa yang ia tawarkan kepada Rasulullah
‫ﷺ‬. Hatinya semakin hanyut, larut, dan...

"Cukuplah Muhammad. Cukuplah sekian saja!" seru Utbah. Ia diam sejenak, lalu kemudian bertanya lagi,

"Apakah engkau dapat menjawab selain yang tadi engkau baca?"

"Tidak".

Utbah terpana.

"Jadi, inilah Muhammad," pikirnya.


"Laki laki ini bukanlah orang yang ingin memiliki gunungan harta, kedudukan, kerajaan, dan sama sekali bukan
orang sakit. Ia hanyalah orang yang ingin mempertahankan tugasnya dengan baik sekali dan ia tadi
mengucapkan kata kata penuh mukjizat..."

Begitulah, akhirnya Utbah bin Rabi'ah kembali dengan tangan hampa. Para pembesar Quraisy pun kecewa
karena Rasulullah ‫ ﷺ‬menolak tawaran mereka. Kemudian, penganiayaan dan siksaan terhadap
kaum Muslimin pun berlanjut dan semakin ganas
Bagian 38

َ ‫اَل ٰلّ ُه َّم‬


ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Ke Habasyah

Gangguan terhadap kaum Muslimin semakin berat dari hari ke hari. Bahkan, beberapa orang gugur karena
disiksa terlalu keras. Berdasarkan wahyu dari Allah ‫ﷻ‬, Rasulullah ‫ ﷺ‬pun memerintahkan agar
mereka berhijrah.

"Wahai Rasulullah, ke mana kami akan pergi?"

Rasulullah ‫ ﷺ‬menasehati agar mereka pergi ke Habasyah yang rakyatnya menganut agama Kristen.

"Tempat itu diperintah oleh seorang raja dan tidak ada orang yang dianiaya di situ. Itu bumi yang jujur, sampai
nanti Allah ‫ ﷻ‬membukakan jalan buat kita semua," demikian sabda Rasulullah ‫ﷺ‬.

Mematuhi perintah Rasulullah ‫ﷺ‬, berangkatlah rombongan pertama kaum Muslimin ke Habasyah
pada bulan Rajab, tahun ke lima kenabian. Rombongan itu terdiri atas 12 orang pria dan 4 perempuan. Dengan
sembunyi-sembunyi, mereka meninggalkan Mekah, menyeberangi laut ke benua Afrika, dan tiba di pantai
Habasyah. Seperti yang dikatakan Rasulullah ‫ﷺ‬, Najasyi, Raja Habasyah itu, memberi mereka
perlindungan dan tempat yang baik.

Kelak, ketika mendengar bahwa orang Quraisy tidak lagi menyiksa kaum Muslimin, mereka kembali pulang.
Namun, ternyata berita itu tidak benar.
Di Mekah, keadaan justru semakin buruk bagi kaum Muslimin. Mereka pun berangkat kembali ke Habasyah, kali
ini dengan jumlah rombongan yang lebih besar, terdiri atas 83 orang pria dan 18 wanita dipimpin oleh Ja'far bin
Abu Thalib.

Habasyah

Saat itu Habasyah adalah negara yang meliputi bagian selatan Mesir, Erytrea, Ethiopia, dan Sudan. Habasyah
artinya 'persekutuan'. Dahulu Habasyah bersekutu dengan kerajaan Saba atau Himyar. Kaum Muslimin
berangkat dari Teluk Syu'aibah, sebelah selatan Jeddah.

Amarah Umar

Umar bin Khattab duduk termenung di rumahnya. Di seluruh Mekah, tidak ada seorang pun yang mampu
melunakkan hati Umar. Ia begitu cepat naik pitam dan garang. Ia tidak pernah luluh oleh rayuan gadis-gadis
penghibur setiap kali ia mendatangi para penjual khamr.
Ia tidak pula pernah terbujuk ikut bergabung dengan para pejalan malam yang suka bergerombol di pelataran
rumah sambil mendengarkan para penabuh rebana.

Segalanya tidak mampu melembutkan kekerasan hatinya yang suka bertindak garang dan menakutkan.

Namun kini, ia tengah duduk termenung sendiri.

"Hamzah, apa yang terjadi padamu? Engkau menaklukkan dan mempermalukan Abu Jahal, temanmu sendiri!
Apa yang membuatmu jadi seperti ini? Bahkan, engkau berani meninggalkan agama nenek moyang kita dan
bergabung dengan Muhammad! Ini jelas akan membuat pengikut agama baru ini jadi sombong dan besar
kepala!
Hamzah, bukankah engkau, Abu Jahal, Khalid bin Walid dan aku telah bersama membuat Quraisy jadi suku
paling disegani? Semua itu berkat kerja keras dan keuletan kita berempat. Suku-suku yang lain iri kepada
Quraisy karena Quraisy memiliki kita. Ini semua gara-gara Muhammad! Hamzah tidak lagi mau minum-minum
bersamaku. Betapa sepinya malam-malam tanpa Hamzah!"

"Muhammad, engkau membuat pusing kepala orang-orang miskin, para budak, buruh kasar, dan para
perempuan lemah! Engkau membuat mereka berani menentang para majikan! Apa yang engkau sampaikan
pasti sebuah sihir.
Muhammad, tegakah engkau melihat para pengikut mu pergi meninggalkan tanah air nya ke Habasyah yang
begitu jauh?
Ini benar-benar keterlaluan! Aku harus membunuh Muhammad sekarang juga! Meski aku harus berhadapan
dengan Hamzah, aku akan membunuhmu dan membuat Mekah kembali seperti dulu!"

Setelah berpikir begitu, Umar bin Khattab mencabut pedangnya. Amarahnya dengan cepat naik ke ubun-ubun.
Dengan langkah-langkah yang tidak bisa dirintangi, Umar berjalan cepat menuju Darul Arqam. Matanya
mengandung api dan pedangnya membara! Tidak seorang pun bisa menghalangi Umar jika ia sudah bertekat
dengan sunguh-sunguh!

Duka Umar

Ummu Abdillah adalah seorang perempuan tua. Ia juga tetangga Umar bin Khattab. Setelah ia sekeluarga
memeluk Islam, Umar suka mengganggunya. Padahal sebelum itu, Umar cukup hormat dan bahkan
menyayanginya.
Saat itu, Ummu Abdillah tengah membereskan barang-barang untuk dibawa hijrah ke Habasyah. Tiba-tiba,
hatinya berdebar. Ia melihat Umar bin Khattab melangkah dengan pedang terhunus! Karena tidak ada waktu lagi
untuk lari ke dalam rumah, Ummu Abdillah bersembunyi di balik barang-barangnya. Hatinya berdebar tidak
karuan. Tanpa sadar, ia menahan napas ketika Umar semakin mendekat.

Akan tetapi, Umar melihatnya dan berhenti.

"Jadi engkau benar benar akan berangkat, wahai Ummu Abdillah?"

Ummu Abdillah keluar dari tempat persembunyiannya. Ia heran karena suara Umar tidak terdengar marah
seperti biasanya.
"Ya, demi Allah. Engkau telah menyakitiku dan menindasku. Aku akan benar-benar pergi ke bumi Allah hingga
Allah memberikan jalan keluar bagiku," sahut Ummu Abdillah.

Sesaat, Umar tampak merenung, "Ini dia tetanggaku, mereka akan pergi juga meninggalkan Mekah."

Umar berpaling, menatap wajah tua Ummu Abdillah dan berkata dalam hati, "Begitu jauh jalan yang akan
ditempuh orang tua ini, begitu sedikit barang yang bisa dibawanya."

Akhirnya Umar melangkah pergi sambil berkata parau, "Semoga Allah senantiasa menyertaimu."

Ummu Abdillah terpana. Belum pernah Umar berlaku selembut ini sejak mereka memeluk Islam.

"Tidakkah engkau melihat kelemahlembutan dan kedukaan Umar terhadap kita?" tanya Ummu Abdillah kepada
putranya.

"Apakah Ibu berharap ia akan memeluk Islam?" tanya sang putra. "Dia tidak akan pernah memeluk Islam
sebelum keledai bapaknya juga masuk Islam!"
Bagian 39

ٰ
َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Berita untuk Umar

Umar melanjutkan langkahnya menuju Darul Arqam.


"Sudah jelas, Muhammad-lah yang menyebabkan semua kesengsaraan ini! Aku harus membunuhnya agar
Mekah kembali damai dan tenang. Mengenai Hamzah, aku akan bertarung dengannya. Aku yang mati atau
Hamzah yang mati, itu tidak terlalu membuatku risau."

Tiba-tiba, lamunannya buyar ketika Nu'aim bin Abdullah menegurnya, "Hendak kemana, wahai putra Khattab?"

"Aku akan menemui Muhammad! Dia yang menukar agama nenek moyang kita. Dia yang memecah belah
masyarakat Quraisy. Dia memiliki banyak angan-angan bodoh. Dia yang mencaci tuhan-tuhan kita. Untuk semua
kesalahannya itu, aku akan menebas lehernya!"

"Demi Allah, engkau telah tertipu oleh dirimu sendiri, wahai Umar! Apakah tindakanmu membunuh Muhammad
akan dibiarkan saja oleh Bani Abdi Manaf? Tidakkah lebih baik engkau pulang dan mengurusi keluarga mu
sendiri?"

Umar berhenti melangkah dan bertanya tajam, "Keluarga ku yang mana?"


"Saudara sepupumu sendiri, Sa'id bin Zaid bin Ammar dan istrinya yang tak lain adalah adik perempuanmu,
Fathimah binti Khattab. Mereka telah mengikuti ajaran Muhammad, urusi saja mereka dulu!"

Umar segera membalikkan badan dan melangkah cepat menuju ke rumah adiknya.

"Kalau itu benar, aku akan bertindak pada Sa'id bin Zaid seperti yang pernah dilakukan oleh ayahku yang garang.
Al Khattab, kepada ayah Sa'id, Zaid bin Ammar! Berani-beraninya dia memeluk Islam, sedangkan dia tahu aku
membenci agama itu!"
Dengan keras, Umar bin Khattab menggedor pintu rumah Sa'id bin Zaid dan Fatimah. Suaranya berdentum-
dentum keras mengejutkan siapa saja yang ada di dalam rumah. Sudah bisa diduga, kali ini akan jatuh lagi
korban dalam penganiayaan yang menimpa kaum Muslimin.

Amuk Umar bin Khattab

Di dalam rumah, Sa'id dan Fathimah binti Khattab sedang mengikuti ayat Al Qur'an yang dibacakan oleh
Khabbab bin Al Arat. Begitu pintu berguncang diketuk Umar, Sa'id dan Fathimah segera menyembunyikan
Khabbab. Fathimah segera menyembunyikan lembaran-lembaran yang tadi mereka baca di bawah pahanya.

Sa'id membuka pintu dan Umar bergegas masuk.


"Suara apa yang baru kudengar itu?" bentak Umar.

" Tidak.... kami tidak mendengar suara apa pun tadi "

Seketika amarah Umar bin Khattab meledak, "Kudengar kalian telah mengikuti ajaran Muhammad!"

Belum sepatah kata pun keluar dari mulut kedua suami istri itu, pedang Umar sudah terayun dan gagangnya
mengenai Sa'id hingga ia jatuh terjerembab di lantai dan luka. Melihat suaminya berdarah, Fathimah bangkit
berusaha melerai, tetapi tangan Umar cepat sekali menampar wajahnya.

Fathimah jatuh di samping suaminya dengan darah mengucur dari wajahnya.


Meski garang, Umar terkenal lembut dan penyayang kepada keluarganya sendiri. Melihat darah Fathimah, Umar
tertegun.

"Fathimah berdarah," pikirnya, "Mengapa aku bisa sampai begitu? Aku menyayangi adikku itu sepenuh hati,
bahkan lebih mirip rasa sayang antara ayah kepada putrinya!"

Fathimah yang lembut dan biasanya selalu patuh kepada Umar, kali ini mengangkat wajah, menentang langsung
paras kakaknya itu.

"Baiklah," seru Fathimah


"lakukanlah apa saja yang engkau kehendaki!"

Fathimah sudah siap menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Ia siap disiksa oleh kakaknya sendiri
yang dari kecil begitu menyayanginya, ia bahkan siap untuk mati. Kedua tangannya terentang, seolah siap
menerima tikaman pedang Umar ke dadanya.

Al Qur'an bukan Mantra Syair

Suatu malam, Umar bin Khattab diam-diam mendengar Rasulullah ‫ ﷺ‬membaca Al Qur'an pada
malam hari, Umar terpesona. Namun, ia berkata dalam hati, "Ah, ini pasti ucapan seorang penyair". Bisik hati
Umar.

Saat itu Rasulullah ‫ ﷺ‬membaca surah Al Haqqah ayat 41,


َ ‫َو َما ه َُو ِب َق ْو ِل َشاعِ ٍر ۚ َقلِياًل َما ُت ْؤ ِم ُن‬
‫ون‬

"Dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya."

Kembali, Umar bin Khattab diam-diam datang ke rumah Rasulullah ‫ ﷺ‬pada tengah malam dan
mendengar Rasulullah ‫ ﷺ‬membaca Al Qur'an. Umar berkata dalam hati, "Kalau ini bukan ucapan
tukang tenung, ini pasti ucapan Muhammad, bukan Firman Tuhan."
Namun, sesegera itu juga, Rasulullah ‫ ﷺ‬membaca Surah Al Haqqah ayat 43:

َ ‫َت ْن ِزي ٌل مِنْ َربِّ ْال َعالَم‬


‫ِين‬

"Ia (Al Qur'an) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam
Bagian 40

َ ‫اَل ٰلّ ُه َّم‬


ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمد‬

Surat Thohaa

Akan tetapi, Umar tidak bisa melawan rasa sayang kepada adiknya. Amarahnya padam seperti api terguyur
hujan. Ia duduk, diam dalam penyesalan. Ditatapnya wajah adiknya dalam-dalam, disesalinya luka akibat
tamparannya tadi.

"Perlihatkan lembaran-lembaran tadi yang kalian baca agar aku tahu apa yang Muhammad bawa," pinta Umar.

"Kami khawatir engkau merampas lembaran-lembaran itu."

"Tidak perlu takut, perlihatkanlah. Aku bersumpah akan mengembalikannya."

Saat itu, timbul harapan di hati Fatimah agar kakaknya memeluk Islam.

"Kakak engkau adalah penyembah berhala, karena itu engkau kotor. Sesungguhnya, lembaran ini tidak boleh
disentuh kecuali orang yang suci."

Tanpa berkata lagi, Umar berdiri lalu mandi. Setelah itu ia kembali dan membaca lembaran-lembaran yang berisi
surat Thohaa.

‫طه‬

Thaahaa.

َ ‫َما أَ ْن َز ْل َنا َعلَي‬


َ ْ‫ْك ْالقُر‬
‫آن لِ َت ْش َق ٰى‬

Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah;

‫إِاَّل َت ْذك َِر ًة لِ َمنْ َي ْخ َش ٰى‬

tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah),


‫ت ْال ُعلَى‬ َ ْ‫َت ْن ِزياًل ِممَّنْ َخلَ َق اأْل َر‬
ِ ‫ض َوال َّس َم َاوا‬

yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.

ِ ْ‫الرَّ حْ ٰ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش اسْ َت َو ٰى‬

(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ´Arsy.

َّ ‫ت‬
‫الث َر ٰى‬ ِ ْ‫ت َو َما فِي اأْل َر‬
َ ْ‫ض َو َما َب ْي َن ُه َما َو َما َتح‬ ِ ‫لَ ُه َما فِي ال َّس َم َاوا‬

Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua
yang di bawah tanah.

‫َوإِنْ َتجْ َهرْ ِب ْال َق ْو ِل َفإِ َّن ُه َيعْ لَ ُم السِّرَّ َوأَ ْخ َفى‬

Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih
tersembunyi.

‫هَّللا ُ اَل إِ ٰلَ َه إِاَّل ه َُو ۖ لَ ُه اأْل َسْ َما ُء ْالحُسْ َن ٰى‬

Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-
nama yang baik),

............

Umar terus membaca sebagian besar lembaran-lembaran tadi, lalu berhenti. Tangannya terkulai. Matanya sayu.
Dikembalikannya lembaran-lembaran tadi ke tangan Fatimah. Dengan rasa heran dan penuh harap, Fatimah
memerhatikan wajah kakaknya.

Kemudian di dengarnya Umar mendesah. "Alangkah bagus dan agung kata-kata ini."

Seolah mendadak matahari yang terang benderang muncul dari balik awan. Khattab bin Al Arat segera keluar
dari persembunyiannya.

"Wahai Umar!" serunya meluap-luap, "aku sungguh berharap mudah-mudahan Allah mengistimewakan dirimu.
Kemarin kudengar Rasulullah berdoa, "Ya Allah! kuatkanlah Islam dari dua Umar, Abu Jahal bin 'Amr bin Hisyam
atau Umar bin Khattab!"

Mendengar itu, Umar segera bangkit dan bergegas menuju Darul Arqam. Namun, tangannya masih menghunus
pedang dan wajahnya seperti singa padang pasir yang siap bertarung.

Keislaman Umar bin Khattab

Berdentum-dentum pintu Darul Arqam diketuk Umar. Sebelum membuka pintu, seorang sahabat mengintip
keluar dan terkejut, seperti baru mengalami mimpi buruk.
"Pengetuk pintu adalah Umar bin Khattab!" desisnya panik kepada Rasulullah dan orang-orang di dalam, "Dia
datang dengan pedang terhunus!"

Hamzah bin Abdul Muthalib berdiri dan berkata tenang. "Biarkan saja dia masuk. Jika dia datang dengan maksud
baik, kita sambut dengan baik. Namun, jika dia datang dengan maksud jahat, kita bunuh saja dia dengan
pedangnya"

Setelah berkata begitu, tangan Hamzah bergerak meraba gagang pedangnya. Suasana tambah mencekam ketika
pintu dibuka. Namun, Umar tidak juga masuk, ia tetap berdiri dengan sikap garang di depan pintu.

Melihat itu, Rasulullah ‫ ﷺ‬pun berdiri dan berjalan cepat menghampiri Umar. Dengan kecepatan
yang bahkan tidak terduga oleh Umar sendiri, tangan Rasulullah ‫ ﷺ‬yang mulia bergerak dan
mencengkeram leher baju Umar dengan kuat.

Dengan suara tegas yang tidak bisa dibantah, Rasulullah ‫ ﷺ‬berkata,

"Wahai Umar! Dengan maksud apa engkau datang? Demi Allah, aku tidak akan melihat engkau berhenti dengan
sikap dan tindakanmu terhadap kami hingga Allah menurunkan bencana untukmu"

Kerongkongan Umar tersekat karena begitu terkejut. Kesombongannya runtuh, bahkan rasa takut menguasai
dirinya. Dengan suara lirih ia berkata "Wahai Rasulullah....... "

Semua orang di Darul Arqam tercengang. Mereka lebih tercengang lagi mendengar Umar bin Khattab, sang Singa
Quraisy, melanjutkan kata-katanya,

"Aku datang kepadamu untuk beriman kepada Allah dan Utusan-Nya"

Rasulullah ‫ ﷺ‬melepaskan cengkeramannya dan berkata penuh rasa syukur, "Subhanallah ....."

Takbir Hamzah membahana. Pada bulan Dzulhijjah tahun keenam kenabian itu, Umar bin Khattab, Sahabat
berperang dan teman minumnya, menjadi saudara seiman. Hati mereka terikat dalam tali yang tidak bisa putus
lagi sampai ke akhirat. Dengan kegembiraan yang tiada tara, Rasulullah ‫ ﷺ‬mengusap dada Umar
agar sahabat barunya itu tetap dalam keimanan.
Bagian 41

َ ‫اَل ٰلّ ُه َّم‬


ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Berdakwah Terang-Terangan

Keesokan harinya, Umar mengingat-ingat siapa yang paling keras memusuhi Rasulullah ‫ﷺ‬.
Jawabannya pun langsung ditemukan, "Abu Jahal!" Tanpa membuang waktu, Umar pergi mengetuk pintu rumah
Abu Jahal. Abu Jahal keluar dan menyambut Umar,

"Selamat datang, wahai kemenakanku! Kabar apakah gerangan yang engkau bawa?"

"Aku datang untuk memberitahukan kepadamu bahwa aku telah memercayai ajaran-ajaran Muhammad!"
Wajah Abu Jahal pucat. Sambil membanting pintu, ia berseru lantang,

"Mudah-mudahan tuhan mengutukmu. Alangkah buruknya kabar yang engkau bawa!"

Tidak berhenti sampai disitu, di sepanjang jalan, Umar memberi tahu setiap orang bahwa ia telah memeluk
Islam.

Setelah itu, Umar pergi ke Ka'bah dan mengumumkan keislamannya. Rasa takut bercampur benci semakin
membengkak di hati orang-orang Quraisy yang masih kafir.

Setelah masuk Islam, Umar bertanya,

"Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran mati maupun hidup?"

Ketika Rasulullah ‫ ﷺ‬membenarkannya dengan tegas, Umar meminta agar Rasulullah ‫ﷺ‬
dan kaum Muslimin keluar secara terang-terangan. Rasulullah ‫ ﷺ‬menyetujui hal itu. Beliau dan
umatnya pun keluar ke jalan-jalan Kota Mekah dalam dua barisan menuju Masjidil Haram. Barisan sebelah
kanan Rasulullah ‫ ﷺ‬dipimpin oleh Hamzah dan barisan di sebelah kiri dipimpin oleh Umar bin
Khattab.

Sejak itulah Umar digelari Al Faruq (sang pembeda kebenaran dan kebathilan).

Islam Mengajarkan Kebaikan

Islam kemudian menjadi bahan diskusi hangat di Kota Mekah. Mereka yang penasaran terus bertanya kepada
temannya yang Muslim. Sementara itu, mereka yang benci tidak henti-hentinya menjelekkan agama ini.

"Apa yang diajarkan agama baru ini? Katakan kepadaku, Sobat. Biar aku paham mengapa kamu begitu mudah
meninggalkan agama nenek moyang kita," kata seseorang kepada sahabatnya.

"Engkau tahu bahwa hidupku sangat sulit," jawab teman Muslimnya,

"setiap kali kulihat orang-orang kaya mengendarai kuda-kuda istimewa, mengenakan pakaian mewah, dan
memasuki rumah megah, aku jadi bertanya, untuk apa sebenarnya Tuhan menciptakan aku ini? Aku tidak bisa
menikmati hidup kecuali bekerja keras untuk makan sehari-hari. Aku tidak tahu setelah aku mati akan ke mana
aku pergi. Sungguh sulit rasanya menjadi orang yang berharga dan mulia."

Sang muslim menoleh dan melihat wajah temannya itu tampak bersungguh-sungguh.

"Namun kemudian, Islam datang dan mengajarkan bahwa kemuliaan bukan terletak pada tumpukan emas dan
perak kita, akan tetapi pada sebanyak apa kebaikan yang telah kita buat. Islam tidak melarang perdagangan dan
orang menjadi kaya, tetapi Islam mengajarkan bahwa nilai cinta kasih, persaudaraan, tolong-menolong, dan
kebersamaan berada jauh di atas nilai setumpuk harta.
Tahukah engkau, setelah datangnya Islam, aku merasa menjadi yang lebih berarti daripada sebelumnya."

Sang teman mengangguk-angguk.


"Lebih dari itu," lanjut si Muslim,
"Islam mengenalkan aku kepada siapa sebenarnya Pencipta alam yang patut disembah: bukan berhala yang
tidak bisa apa-apa, melainkan Allah.
Melalui Rasulullah, Allah menurunkan perkataan-Nya buat kita. Coba dengarkan beberapa ayat berikut ini.
Engkau akan tahu bahwa tidak seorang penyair pun yang mampu menandingi keindahan bahasanya apalagi
kebenaran isinya."

Kemudian, beberapa ayat Al Qur'an mengalun dari mulut si Muslim dan langsung menembus hati temannya
yang kini kian larut dan kian dekat pada kebenaran.

Kesaksian Musuh

Bahkan para musuh Rasulullah ‫ ﷺ‬pun tidak dapat mengingkari kejujuran Rasulullah ‫ﷺ‬.
Tirmidzi meriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib bahwa Abu Jahal pernah berkata kepada Rasulullah
‫ﷺ‬,
"Sesungguhnya kami tidak mendustakanmu, tapi kami mendustakan apa yang engkau bawa."

Utusan Quraisy

Apa yang terjadi dengan Muslim yang berhijrah ke Habasyah.

"Kita tidak bisa membiarkan mereka berlindung di Habasyah!" Seru seseorang pembesar Quraisy.
"Dengan perlindungan yang diberikan Raja Najasyi, aku khawatir mereka akan bertambah kuat dan
membahayakan kita!"

"Kirim utusan kepada Najasyi!" Sambut pembesar yang lain,


"bujuk dia, katakan apa saja agar dia memulangkan para pengikut Muhammad itu!"

Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi'ah diutus menemui Raja Habasyah, Najasyi. Tiba di Habasyah, mereka
mempersembahkan hadiah-hadiah berharga untuk raja dan para pembesarnya.

"Paduka Raja," kata mereka, "kaum Muslim yang datang ke negeri Paduka ini adalah budak-budak kami yang
tidak punya malu. Mereka meninggalkan agama bangsanya dan tidak pula menganut agama Paduka. Mereka
membawa agama yang mereka ciptakan sendiri yang tidak kami kenal dan tidak juga Paduka kenal. Kami diutus
kepada Paduka oleh pemimpin-pemimpin masyarakat mereka, oleh orangtua-orangtua mereka, paman mereka,
dan keluarga mereka sendiri, agar Paduka sudi mengembalikan orang-orang itu kepada kami. Kami lebih
mengetahui betapa orang-orang itu mencemarkan dan memaki-maki tuhan-tuhan kami.

Sebenarnya, kedua utusan tersebut telah menyogok para pembesar istana untuk membantu meyakinkan raja.
Namun, Najasyi adalah raja yang bijaksana. Dia sama sekali tidak terpengaruh hadiah-hadiah yang dibawa kedua
utusan Quraisyi. Dia tidak mau mengusir kaum Muslimin kembali sebelum ia mendengar sendiri apa alasan
mereka pergi meninggalkan Mekah.

"Bawa para pengungsi itu ke hadapanku!" perintah Najasyi.

Seluruh kaum Muslimin menghadap, Raja bertanya, Agama apa ini yang sampai membuat Tuan-Tuan
meninggalkan masyarakat Tuan sendiri, tetapi tidak juga Tuan-Tuan menganut agamaku atau agama lain?"
Bagian 42

َ ‫اَل ٰلّ ُه َّم‬


ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Jawaban Kaum Muslimin

Saat itu, yang menjadi juru bicara kaum Muslimin adalah sepupu Rasulullah ‫ ﷺ‬yang amat tampan,
Ja'far bin Abu Thalib.

"Paduka Raja," Ucap Ja'far penuh hormat,


"ketika itu, kami masyarakat yang bodoh, kami menyembah berhala, bangkai pun kami makan, segala kejahatan
kami lakukan, memutuskan hubungan dengan kerabat, dengan tetangga pun kami tidak baik, yang kuat
menindas yang lemah.
Demikian keadaan kami sampai Tuhan mengutus seorang utusan-Nya dari kalangan kami yang sudah kami kenal
asal-usulnya. Dia jujur, dapat dipercaya, dan bersih pula.
Dia mengajak kami menyembah Allah Yang Mahatunggal, meninggalkan batu-batu dan patung-patung yang
selama ini kami dan nenek moyang kami menyembah.
Dia menganjurkan kami untuk tidak berdusta, untuk berperilaku jujur, mengadakan hubungan baik dengan
keluarga dan tetangga, menyudahi pertumpahan darah, serta menghentikan perbuatan terlarang lainnya.
Dia melarang kami melakukan segala kejahatan dan menggunakan kata-kata dusta, melarang memakan harta
anak yatim, dan melarang mencemarkan perempuan-perempuan bersih.
Dia minta kami menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Selanjutnya, disuruhnya kami melakukan
shalat, zakat, dan shaum (lalu Ja'far menyebut beberapa ketentuan Islam).
Kami pun membenarkannya. Kami turut segala yang diperintahkan Allah. Lalu, yang kami sembah hanya Allah
Yang Mahatunggal, tidak menyekutukan-Nya dengan apa dan siapa pun juga.
Segala yang diharamkan kami jauhi dan yang dihalalkan kami lakukan. Oleh karena itulah, masyarakat kami
memusuhi kami, menyiksa kami, dan menghasut kami, dan supaya kami meninggalkan agama kami dan kembali
menyembah berhala supaya kami membenarkan segala keburukan yang pernah kami lakukan dulu.
Oleh karena mereka memaksa kami, menganiaya kami, menekan kami, dan menghalang-halangi kami dari
agama kami, maka kami pun keluar, pergi ke negeri Tuan ini. Tuan jugalah yang menjadi pilihan kami. Senang
sekali kami berada di dekat Tuan, dengan harapan, di sini tidak akan ada penganiayaan."

Najasyi mendengarkan penuh dengan kesungguhan, lalu katanya, "Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu
yang dapat Tuan-tuan bacakan kepada kami?"

Surat Maryam

"Ya," jawab Ja'far.


Lalu, ia membaca surat Maryam, ayat 29-33:

َ ‫ان فِي ْال َم ْه ِد‬


‫ص ِب ًّيا‬ َ ‫ْف ُن َكلِّ ُم َمنْ َك‬
َ ‫ت إِلَ ْي ِه ۖ َقالُوا َكي‬ َ ‫َفأ َ َش‬
ْ ‫ار‬

maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil
yang masih di dalam ayunan?
Surah Maryam (19:29)

َ ‫َقا َل إِ ِّني َع ْب ُد هَّللا ِ آ َتان َِي ْال ِك َت‬


‫اب َو َج َعلَنِي َن ِب ًّيا‬
Berkata Isa: Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang
nabi,
Surah Maryam (19:30)

‫ت َح ًّيا‬ َّ ‫صاَل ِة َو‬


ُ ‫الز َكا ِة َما ُد ْم‬ َ ‫ت َوأَ ْو‬
َّ ‫صانِي ِبال‬ ُ ‫ار ًكا أَي َْن َما ُك ْن‬
َ ‫َو َج َعلَنِي ُم َب‬

dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku
(mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;
Surah Maryam (19:31)

‫َو َب ًّرا ِب َوالِدَ تِي َولَ ْم َيجْ َع ْلنِي َجبَّارً ا َشقِ ًّيا‬

dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.
Surah Maryam (19:32)

ُ ‫ُوت َو َي ْو َم أ ُ ْب َع‬
‫ث َح ًّيا‬ ُ ‫ت َو َي ْو َم أَم‬
ُ ‫َوال َّساَل ُم َعلَيَّ َي ْو َم وُ ل ِْد‬

Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada
hari aku dibangkitkan hidup kembali.
Surah Maryam (19:33)

Ayat-ayat Al-Qur'an itu membenarkan kitab Injil. Semua pemuka istana dibuat terkejut. Mereka berkata,

"Itu kata-kata yang keluar dari sumber yang mengeluarkan kata-kata Isa Al Masih."

Penuh haru, Najasyi membenarkan para pembesar istananya,

"Kata- kata ini dan yang dibawa oleh Musa, keluar dari sumber cahaya yang sama."

Najasyi berpaling kepada kedua utusan Quraisy,

"Pergilah. Kami takkan menyerahkan mereka kepada Tuan-Tuan!"

Kaum Muslimin saling berpandangan penuh syukur. Sementara itu, Amr bin Ash dan Abdullah bin Rabi'ah
berjalan keluar istana dengan wajah murung.

"Tidak bisa begini," keluh Abdullah.


"Tidak bisa kita jauh-jauh datang kesini untuk kemudian pulang dengan tangan hampa dan terhina."

Amr bin Ash, yang terkenal lihai dalam bersiasat, merenung sejenak.

"Rasanya, aku masih punya siasat lain," katanya. "Namun, biar kita kembali esok hari. Biarkan para pengikut
Muhammad itu merasa senang. Besok, akan kita kejutkan mereka dengan pertanyaan yang akan kita ajukan
kepada Najasyi."
Bagian 43
َ ‫اَل ٰلّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل َس ِّي ِد َنا م َُحمَّد‬

Kaum Muslimin Menang

Siasat para utusan Quraisy itu sederhana saja.


"Paduka" kata mereka kepada Najasyi keesokan harinya, sesungguhnya kaum Muslimin menuduh keji terhadap
Isa anak Maryam."

Mendengar itu, Najasyi terkejut. Dia langsung memanggil Ja'far dan teman-temannya.

"Benarkah kalian menuduh Isa anak Maryam dengan tuduhan yang jelek?" tanya Najasyi.

Ja'far kembali menjawab dengan tenang. "Tentang dia, pendapat adalah seperti yang dikatakan Nabi kami. "Dia
adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Ruh-Nya dan firman-Nya yang disampaikan perawan Maryam. "

Najasyi turun dari singgasananya dengan mata berbinar gembira. Dia mengambil sebuah tongkat dan membuat
garis lurus diatas tanah.

"Antara agama Tuan-Tuan dan agama kami," katanya penuh gembira bercampur haru, "sebenarnya tidak lebih
dari garis ini."

Nyata bagi Najasyi bahwa kaum Muslimin mengakui Nabi Isa ‫اَل م‬RR‫الس‬
َّ ‫ ِه‬RRْ‫ َعلَي‬, mengenal adanya Kristen, dan
menyembah Allah ‫ﷻ‬.

Kedua utusan Quraisy pun pulang dengan tangan hampa. Tidak ada celah bagi tuduhan atau siasat yang mereka
lancarkan. Kenyataan pahit ini akan segera sampai kepada para pemuka Quraisy di Mekah.

Setelah itu kaum Muslimin tinggal di Habasyah dengan perasaan aman dan tentram.

Sempat Kembali

Kaum muslimin yang berhijrah ke Habasyah sempat kembali ke mekah karena mendengar berita bahwa orang
Quraisy sudah tidak terlalu keras memusuhi Rasulullah ‫ ﷺ‬dan pengikutnya. Namun, ketika
mengetahui bahwa orang Quraisy malah bersikap semakin keras, mereka kembali berhijrah ke Habasyah.

Ajakan Saling Menyembah Tuhan

Di Mekah, para pembesar Quraisy, Abu Jahal bin Hisyam, Abu Sufyan bin Harb, Abu Lahab, Utbah bin Rabi'ah,
Walid bin Mughirah, dan Ummayah bin Khalaf mengundang Rasulullah ‫ ﷺ‬ke pertemuan mereka.
Sejenak, hati Rasulullah ‫ ﷺ‬penuh harapan, mungkin lewat pertemuan hari ini mereka akan
tersentuh oleh Islam.

Alangkah kecewanya Rasulullah ‫ ﷺ‬ketika lagi-lagi yang mereka tawarkan kepadanya adalah soal
harta dan kekuasaan. Beliau diam sejenak, lalu berkata,
"Apa yang kalian katakan sama sekali tidak pernah terlintas dalam lubuk hatiku. Aku datang memenuhi ajakan
kalian untuk mengadakan perundingan. Tidak ada maksud sama sekali untuk mencari harta kekayaan, tidak pula
kemuliaan, dan kekuasaan.
Allah telah mengutus diriku sebagai utusan bagi kalian semua. Jika kalian mau menerima ajaran-ajaran yang
kubawa, hal itu merupakan keberuntungan kalian di dunia dan di akhirat. Jika kalian semua menolak, aku akan
bersabar hingga Allah memutuskan persoalan yang terjadi di antara aku dan kalian."

Para pembesar Quraisy itu mengerutkan kening. Lagi-lagi Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬bicara tentang
Tuhannya. Salah seorang di antara mereka pun akhirnya bicara,

"Marilah antara kami dan engkau mengadakan kerja sama dalam persoalan ketuhanan ini. Jika yang kami
sembah lebih baik daripada yang kamu sembah, kami akan memperoleh keuntungan darinya. Jika yang engkau
sembah lebih baik daripada yang kami sembah, engkau akan memperoleh keuntungan darinya."

Orang itu menarik napas sejenak, lalu melanjutkan lagi,

"Maka, engkau harus menyembah tuhan-tuhan kami dan menjalankan perintah-perintahnya. Kami akan
menyembah Tuhanmu dan menjalankan perintah-Nya."

Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak menunggu sejenak pun untuk menanggapi. Beliau mengutip sebuah ayat Al
Qur'an (surah Al-Kafirun),

َ ‫اَل أَعْ ُب ُد َما َتعْ ُب ُد‬


‫ون‬

Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.


Surah Al-Kafirun (109:2)

‫ون َما أَعْ ُب ُد‬


َ ‫َواَل أَ ْن ُت ْم َع ِاب ُد‬

Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.


Surah Al-Kafirun (109:3)

‫َواَل أَ َنا َع ِاب ٌد َما َع َب ْد ُت ْم‬

Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
Surah Al-Kafirun (109:4)

‫ون َما أَعْ ُب ُد‬


َ ‫َواَل أَ ْن ُت ْم َع ِاب ُد‬

dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Surah Al-Kafirun (109:5)

ِ ‫لَ ُك ْم دِي ُن ُك ْم َول َِي د‬


‫ِين‬

Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.


Surah Al-Kafirun (109:6)
Perundingan pun buntu. Para pembesar Quraisy itu merasa tidak ada jalan lagi untuk melakukan perubahan.
Mereka merasa harus mengambil tindakan keras! Begitu kerasnya sampai Baginda Nabi Muhammad
‫ ﷺ‬dan pengikutnya akan meminta ampun kepada mereka!

Pemboikotan

"Kalian bayangkan!" seru seorang pemuka Quraisy kepada yang lainnya. "Jumlah pengikut Muhammad kian
bertambah! Budak-budak kita telah berani mengangkat muka di hadapan tuan-tuannya sebab mereka dilindungi
para pengikut Muhammad yang kaya raya! Jika kita menyiksa budak itu, pasti datang salah seorang pengikut
Muhammad yang tanpa berat hati akan membebaskan mereka!"

"Itu yang membuatku khawatir!" sahut yang lain,


"bayangkan jika jumlah budak yang dibebaskan itu makin banyak dan mereka diberi senjata, kita pasti akan
kewalahan menghadapinya!"

Pembesar yang lain terdiam. Mereka mengakui ancaman besar itu.

"Sejak Hamzah dan Umar mengikuti Muhammad, kita benar-benar kekurangan kekuatan," keluh seseorang.

Kata-kata itu menyakitkan dan membuka luka lama. Bagi para pembesar itu, puluhan budak yang masuk Islam
tidak sebanding dengan keislaman seorang Hamzah atau Umar.

"Muhammad tidak akan berdaya kalau keluarganya dari Bani Hasyim tidak melindunginya!" geram seseorang.

"Ya, Bani Hasyim pun belum semuanya jadi pengikut Muhammad, mereka harus menerima akibatnya! Kita
boikot mereka semua! Jangan beri mereka kesempatan untuk mencari nafkah! Kita buat mereka semua miskin
dan sengsara!"

Seruan itu disambut ramai oleh para pembesar. Akhirnya, mereka mengeluarkan sebuah pengumuman yang
mereka tulis di atas sebuah lembaran. Isinya melarang seluruh manusia menjalin hubungan pernikahan dan jual
beli dengan Bani Hasyim. Lembaran itu mereka gantungkan di dinding Ka'bah.

Keesokan harinya, penduduk Mekah menjadi gempar. Keputusan ini akan membuat Bani Hasyim terkucil,
kelaparan dan tertekan.
Bagian 44

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل م َُحمد‬

Derita Pemboikotan

Pemboikotan kecil-kecilan terhadap kaum Muslimin sebenarnya telah lama dijalankan. Kalau ada seseorang
saudagar menjadi Muslim, Abu Jahal akan mengatakan, "Akan kami boikot barang-barangmu dan mengubahmu
sampai jadi pengemis."

Rasulullah ‫ﷺ‬, Bani Hasyim dan kaum Muslimin diasingkan ke dalam Syi'ib, benteng kecil milik Abu
Thalib. Kaum Quraisy menegaskan bahwa jika Bani Hasyim menyerahkan Rasulullah ‫ﷺ‬,
pemboikotan kepada mereka akan dicabut. Namun, bukannya merasa takut, Bani Hasyim malah semakin setia
kepada Rasulullah ‫ ﷺ‬yang merupakan anggota keluarga mereka.

Pemboikotan ini berjalan tiga tahun lamanya. Selama itu, hanya musim haji saja Rasulullah ‫ ﷺ‬dan
para pengikutnya bebas berdakwah keluar Syi'ib. Itu pun selalu diikuti Abu Lahab sambil mengolok-olok
Rasulullah ‫ ﷺ‬dengan kata-kata kasar. Pada musim haji itu, Mekah ramai didatangi para peziarah
dari pelosok jazirah.

Akibat adanya pelarangan hubungan dagang, saat itu, Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak dapat membeli makanan
yang cukup. Pada waktu-waktu yang sulit, mereka sering terpaksa makan daun-daunan dan kulit-kulit pohon
yang tipis. Anak-anak menangis pada malam hari karena kelaparan. Semetara itu, orang-orang dewasa
mengganjal perutnya dengan batu agar tidak masuk angin.

Perbuatan kejam itu juga menimbulkan rasa kasihan sebagian orang Quraisy. Apalagi yang memiliki hubungan
saudara dengan Bani Hasyim. Orang-orang itu sering dengan berbagai cara menolong keluarga mereka di dalam
Syi'ib.

Suatu ketika Abu Jahal sedang meronda di sekitar Syi'ib, memergoki Hakim bin Hisyam bin Khuwailid dan budak
laki-lakinya berusaha meyelundupkan gamdum dan makanan lain untuk bibinya yang tidak lain Khadijah istri
Rasulullah ‫ﷺ‬.

Tanpa ampun, Abu Jahal memukuli budak laki-laki itu dan merampas karung gandumnya.

"Aku bersumpah....!" teriak Abu Jahal terengah-engah sambil terus memukul. "Aku bersumpah tidak seorang
pun dapat menyelundupkan makanan kepada Muhammad!"

Pada saat itu, Al Bakhtari datang sambil berseru kepada Abu Jahal. " Hei makanan ini tadinya milik bibinya.
Bibinya lalu mengirimkan kepadanya, mengapa engkau melarangnya mengantarkan makanan tersebut kepada
bibinya lagi?"

Kemudian keduanya berkelahi Abu Jahal terluka karena dipukul dengan tulang unta.

Syi'ib Abu Thalib

Syi'ib Abu Thalib, tempat kaum muslimin digiring, dikurung dan dijaga, dikelilingi dinding batu tinggi yang tidak
dapat dipanjat. Letaknya di Bukit Abu Qubays, sebelah timur Mekah. Pintu masuknya berupa celah sempit
dengan tinggi kurang dari dua meter yang hanya dapat dimasuki unta dengan susah payah.

Derita di Pengasingan

"Ibuuu aku lapar,"...tangis seorang anak di dalam Syi'ib.

"Besok ya nak! Besok kita dapat kiriman makanan," jawab ibunya.

"Tidak mau, aku mau makan sekaraaaang....." Karena tidak kuat menahan perutnya yang perih, anak itu
menangis dan menjerit-jerit.
Tangis dan jerit anak-anak terdengar hampir setiap malam dari dalam Syi'ib. Sebagian penduduk Mekah mulai
tidak tega melihat penderitaan Bani Hasyim, tetapi mereka takut untuk membantu.

Ada empat ratus orang keluarga Bani Hasyim yang bertahan di dalam Syi'ib. Kehidupan mereka begitu keras dan
penuh dengan kekurangan, tetapi tidak satupun yang berniat mengkhianati Rasulullah ‫ﷺ‬. Padahal,
tidak semua anggota keluarga telah memeluk agama Islam, termasuk Abu Thalib, sang pemimpin Bani Hasyim.

Kehadiran Rasulullah ‫ ﷺ‬di tengah-tengah mereka sudah cukup membuat mereka lupa akan segala
kecemasan dan membuat mereka selalu berbahagia. Mereka mengerti bahwa Allah telah memilih mereka untuk
melindungi utusan-Nya dari semua musuh. Bagi Bani Hasyim, itu sebuah kehormatan yang membuat mereka
tidak mau menukar Rasulullah dengan apa pun, bahkan dengan sebuah kerajaan sekali pun. Mereka bahkan
menjalankan tahun-tahun pengasingan yang pahit itu dengan rasa bangga.

Tidak satu pun dari empat ratus orang itu berniat untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Padahal, mereka tidak
tahu kapan pengasingan itu akan berakhir. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan dijalani
dengan penuh harapan. Mereka semua sudah bertekad mengikuti Rasulullah ‫ ﷺ‬kemana pun.
Mereka lebih suka menjadi tawanan dari pada bebas tanpa Rasulullah. Bagi mereka, hidup tanpa Rasulullah
‫ ﷺ‬adalah hidup yang tidak layak di jalani.

Selama masa-masa sulit itu, ada sosok penting selain Rasulullah ‫ ﷺ‬yang menjadi sosok teladan bagi
semua penghuni Syi'ib, bagaimana mereka harus menjalani hidup dengan penuh ketabahan.
Bagian 45

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل م َُحمد‬

Ketabahan Khadijah

Khadijah-lah yang menjadi teladan bagi semua orang pada saat-saat sulit itu. Beliau adalah keturunan
bangsawan dan dibesarkan dalam lingkungan yang mewah. Namun, ketika harus meninggalkan rumahnya yang
luas dan tinggal di lembah yang sempit. Khadijah sama sekali tidak menunjukkan keengganan. Beliau
mengumpulkan segala kekuatan, keberanian, kemampuan, serta bangkit penuh semangat.

Pada saat-saat itu, air adalah hadiah yang sangat berharga. Khadijah memberikan kepada Ali bin Abu Thalib
keping-keping emas untuk membeli air yang kemudian beliau bagikan secara merata kepada semua yang
membutuhkan.

Khadijah adalah bidadari pelindung bagi kaumnya. Beliau amat memerhatikan nasib anak-anak, keluarga Bani
Hasyim. Setiap kali ada bahan makanan yang berhasil di dapatkan, Khadijah mengatur agar anak-anak
mendapatkannya lebih dahulu daripada orang dewasa. Setelah itu, beliau mendahulukan kepentingan para
orang tua dibandingkan kepentingannya sendiri.

Khadijah selalu menjadikan sabar dan shalat sebagai sumber kekuatannya. Beliau memohon pertolongan Allah
setiap saat. Ketika berdoa, Khadijah tidak hanya mendapatkan pertolongan, tetapi juga keberanian, kekuatan,
kedamaian, ketenangan dan kepuasan.
Selama tiga tahun di pengasingan itu, kekayaan Khadijah yang berlimpah itu habis. Sebagian besar harta itu
digunakan untuk membeli air. Beliau amat berbahagia karena dapat menggunakan kekayaannya itu untuk
menyelamatkan hamba Allah yang paling mulia, Muhammad ‫ ﷺ‬dan keluarganya.
Beliau menganggap semua itu adalah sebuah kehormatan, sehingga sangat mensyukurinya.

Di tengah-tengah bencana dan kesusahan itu, Khadijah tetap tegar dalam keimanan. Hal itulah yang menjadi
sumber kekuatan yang tidak tergoyahkan bagi orang-orang di sekitar beliau. Khadijah selalu berhubungan
dengan Allah lewat shalat. Shalat adalah rahasia keberanian beliau. Perilaku beliau yang tenang dan lembut
menjadi pendorong (kekuatan) bagi seluruh anggota Bani Hasyim di tengah-tengah kesulitan itu.

Perhiasan Terindah di Dunia

Islam sangat memuliakan kaum wanita. Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:


"Seindah-indahnya perhiasan di muka bumi ini adalah wanita sholihah."

Hikmahnya "Wanita adalah tiang sebuah bangsa. Apabila wanitanya baik, baik pulalah suatu bangsa. Namun,
apabila wanitanya jelek, jelek pulalah bangsa itu."

Harta Abu Bakar

Ketika masuk Islam, Abu Bakar memiliki harta sebanyak 50.000 dirham. Beliau membebaskan tujuh budak
dengan 400 dirham per orang. Jadi, uang beliau terpakai sebanyak 2.800 dirham, sebagian besar sisanya
dipergunakan untuk mempertahankan hidup bersama kaum muslimin di dalam Syi'ib

Thufail Ad Dausi

Di tengah-tengah kesulitan itu, Rasulullah yang tidak pernah menyerah, sedikit demi sedikit terus mendapatkan
kemenangan. Suatu hari, datanglah seorang bangsawan dan penyair cendekia dari luar Mekah, bernama Thufail
Ad Dausi. Seketika itu juga, orang-orang Quraisy memberinya peringatan,

"Hati-hati terhadap Muhammad, jangan dengar kata-katanya. Dia telah memecah belah orang dengan
keluarganya. Kami takut jika kamu mendengarnya, kaum kamu juga akan terpecah-belah. Hati-hati dan jangan
sekali-kali mendengarkannya!"

Diperingatkan seperti itu, membuat Thufail penasaran.

"Namun, aku adalah cendikiawan dan penyair. Aku dapat mengenal mana yang baik dan mana yang buruk. Apa
salahnya kalau aku mendengarkan sendiri apa yang akan dikatakan orang itu? Jika ternyata baik akan aku
terima, kalau buruk akan kutinggalkan."

Setelah berfikir begitu, Thufail Ad Dausi mengikuti Rasulullah sampai ke rumahnya.

"Tuan benarkah Anda seperti dituduhkan orang?" tanya Thufail,


"Apa yang Anda bawa dan Anda sampaikan kepada mereka?"
Rasulullah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan membacakan ayat-ayat Al-Qur'an. Hati Thufail segera luluh
dan dia pun memeluk Islam. Ketika kemudian ia kembali kepada kaumnya, sebagian mereka langsung memeluk
Islam, sebagian yang lain tampak ragu.

Selain Thufail ada dua puluh orang yang diutus masyarakat beragama Nasrani untuk mencari tahu tentang
Rasulullah. Begitu bertemu dan berbincang dengan beliau, mereka langsung menyambut, menerima, dan
beriman kepada beliau.

Orang-orang Quraisy menjadi geram dan memaki-maki mereka.

"Kalian ini utusan yang gagal! Kalian disuruh oleh masyarakat seagamamu mencari berita tentang orang itu.
Sebelum kamu kenal benar-benar siapa dia, agama kamu sudah kamu tinggalkan dan lalu percaya saja apa yang
dikatakannya."

Abu Sufyan, Abu Jahal, dan Akhnas

Melihat orang-orang di luar Mekah seperti Thufail Ad Dausi dan orang-orang Nasrani memeluk Islam, para
Pembesar Quraisy yang paling gigih memusuhi Rasulullah pun jadi bertanya-tanya,

"Benarkah yang dibawa Muhammad itu benar?"

Diam-diam Abu Sufyan pergi pada suatu malam mendekati kediaman Rasulullah. Dia tahu Rasulullah selalu
bangun malam dan membaca Alquran. Saat Abu Sufyan mendengar ayat-ayat Alquran dibacakan, begitu tenang
dan damai hatinya. Suara Rasulullah yang merdu menggema di kalbunya.

Fajar pun tiba dan Abu Sufyan bergegas pulang. Namun saat itu, dia memergoki Abu Jahal juga sedang
mendengarkan bacaan Rasulullah. Mereka saling pandang tanpa mampu berkata, lewatlah Akhnas bin Syariq.
Rupanya, Akhnas pun diam-diam pergi mendengarkan Rasulullah membaca Alquran. Mereka bertiga pun saling
menyalahkan.

"Kejadian ini tidak boleh terulang lagi," ujar salah satu dari mereka.
"Jika masyarakat kita tahu, kedudukan kita akan lemah dan mereka akan berpihak kepada Muhammad."

Ketiganya pun berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan itu.


Namun, pada malam berikutnya, mereka terbawa perasaannya masing-masing seperti kemarin. Tanpa dapat
menolak bisikan hati, mereka kembali ke tempat semalam dan mendengarkan ayat Alquran dibacakan. Hampir
Fajar, mereka mereka bertemu dan saling menyalahkan laki.

Perbuatan itu terulang lagi pada malam ketiga. Ketika mereka saling bertemu pada waktu fajar, kembali mereka
saling tuduh.
Rasa takut kemudian timbul di hati masing-masing. Mereka takut kehilangan kedudukan jika masyarakatnya
memeluk Islam. Rasa takut inilah yang membuat mereka berteguh hati untuk membuang jauh-jauh perasaan
tenang dan damai yang mereka rasakan saat mendengar bacaan Alquran.
Setelah itu, tidak seorang pun dari mereka yang kembali ke rumah Rasulullah pada tengah malam untuk
mendengarkan beliau secara diam-diam.
Bagian 46
َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل م َُحمد‬

Mengejek Al Qur'an

َّ ُ‫أَ ٰ َذل َِك َخ ْي ٌر ُن ُزاًل أَ ْم َش َج َرة‬


ِ ‫الز ُّق‬
‫وم‬

(Makanan surga) itukah hidangan yang lebih baik ataukah pohon zaqqum.
Surah As-Saffat (37:62)

‫ِين‬ َّ ‫إِ َّنا َج َع ْل َنا َها فِ ْت َن ًة ل‬


َ ‫ِلظالِم‬

Sesungguhnya Kami menjadikan pohon zaqqum itu sebagai siksaan bagi orang-orang yang zalim.
Surah As-Saffat (37:63)

ْ َ
ِ ‫إِ َّن َها َش َج َرةٌ َت ْخ ُر ُج فِي أصْ ِل ال َجح‬
‫ِيم‬

Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang ke luar dari dasar neraka yang menyala.
Surah As-Saffat (37:64)

ِ ِ‫َط ْل ُع َها َكأ َ َّن ُه ُرءُوسُ ال َّشيَاط‬


‫ين‬

mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan.


Surah As-Saffat (37:65)

Surat Ash-shaffat ayat 62-65 menjelaskan tentang makanan orang di neraka berupa buah zaqqum.
Abu Jahal mengatakan bahwa pohon zaqqum itu tentunya seperti kurma Yatsrib yang dapat kamu santap.

Kemudian, Allah menghina Abu Jahal dalam Surat Ad-Dukhan ayat 43 - 49 .

ِ ‫الز ُّق‬
‫وم‬ َّ ‫ت‬َ ‫إِنَّ َش َج َر‬

Sesungguhnya pohon zaqqum itu,


Surah Ad-Dukhan (44:43)

‫َط َعا ُم اأْل َث ِِيم‬

makanan orang yang banyak berdosa.


Surah Ad-Dukhan (44:44)

‫ون‬ ُ ‫َك ْال ُمه ِْل َي ْغلِي فِي ْالب‬


ِ ‫ُط‬

(Ia) sebagai kotoran minyak yang mendidih di dalam perut,


Surah Ad-Dukhan (44:45)

ْ ْ
ِ ‫َك َغليِ ال َحم‬
‫ِيم‬

seperti mendidihnya air yang amat panas.


Surah Ad-Dukhan (44:46)
ْ ُ ُ
ِ ‫ُخذوهُ َفاعْ ِتلوهُ إِلَ ٰى َس َوا ِء ال َجح‬
‫ِيم‬

Peganglah dia kemudian seretlah dia ke tengah-tengah neraka.


Surah Ad-Dukhan (44:47)

‫ِيم‬ ْ ِ ‫صبُّوا َف ْو َق َر ْأسِ ِه مِنْ َع َذا‬


ُ ‫ُث َّم‬
ِ ‫ب ال َحم‬

Kemudian tuangkanlah di atas kepalanya siksaan (dari) air yang amat panas.
Surah Ad-Dukhan (44:48)

َ ‫ك أَ ْن‬
‫ت ْال َع ِزي ُز ْال َك ِري ُم‬ َ ‫ُذ ْق إِ َّن‬

Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.


Surah Ad-Dukhan (44:49)

Abdullah bin Ummi Maktum

Seorang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum bertanya,


"Ada seseorang bernama Muhammad yang membawa ajaran baru?" Temannya mengiyakan.

"Ajaran yang mengajak meyembah Tuhan Yang Mahatinggi?" tanya Abdullah bin Ummi Maktum lagi.

"Benar"

"Tuhan itu tidak bisa diraba seperti berhala?"

"Betul, Abdullah bin Ummi Maktum. Begitulah yang diajarkannya."

Abdullah bin Ummi Maktum termenung sambil menggosok-gosok ujung jemari tangannya.

"Tuhan yang tidak bisa diraba?" Pikir Abdullah bin Ummi Maktum,
"padahal ujung jariku ini sudah mengenal betul berhala-berhala. Aku bahkan bisa membedakan Latta dan Uzza
dengan memegang hidung mereka. Seandainya aku bisa bertemu sendiri dengan Muhammad!"

Dipenuhi rasa ingin tahu yang besar, Abdullah bin Ummi Maktum menemui Rasulullah. Sayang sekali, saat itu
Rasulullah sedang menyampaikan ayat-ayat Al Qur'an kepada Walid bin Mughirah. Ia adalah seorang pembesar
Quraisy yang sangat diharapkan keislamanannya.

Akan tetapi, Abdullah bin Ummi Maktum tidak mengetahui kehadiran Walid, karena buta, dia terus mendesak,
mendesak dan mendesak Rasulullah agar saat itu juga menerangkan tentang Islam kepadanya.

Karena tidak tahan didesak terus, sedangkan beliau sedang mendakwahi seorang tokoh penting, Rasulullah
membuang wajah beliau.

Saat itu, firman Allah turun untuk menegur beliau,


(QS 'Abasa, 80 ayat 1-6)

‫س َو َت َولَّ ٰى‬
َ ‫َع َب‬

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,


Surah 'Abasa (80:1)

‫أَنْ َجا َءهُ اأْل َعْ َم ٰى‬

karena telah datang seorang buta kepadanya.


Surah 'Abasa (80:2)

‫يك لَ َعلَّ ُه َي َّز َّك ٰى‬


َ ‫َو َما ي ُْد ِر‬

Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),


Surah 'Abasa (80:3)

ِّ ‫أَ ْو َي َّذ َّك ُر َف َت ْن َف َع ُه‬


‫الذ ْك َر ٰى‬

atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
Surah 'Abasa (80:4)

‫أَمَّا َم ِن اسْ َت ْغ َن ٰى‬

Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,


Surah 'Abasa (80:5)

َ ‫َفأ َ ْن‬
َ ‫ت لَ ُه َت‬
‫صد َّٰى‬

maka kamu melayaninya.


Surah 'Abasa (80:6)

Demikianlah, Allah sangat menjaga utusan-Nya dari kesalahan, bahkan untuk kesalahan sekecil itu. Apalagi
Rasulullah adalah orang yang sangat halus perasaanya sehingga jika akan merugikan orang miskin atau orang
lemah, beliau merasa takut.

Karena Dengki

Kebanyakan para pembesar Quraisy tidak mau mengikuti Nabi bukan karena lebih yakin dengan berhala,
melainkan lebih karena dengki, mengapa Muhammad diangkat menjadi Nabi, bukan mereka?

Walid bin Mughirah berkata, "Wahyu didatangkan kepada Muhammad bukan kepadaku, padahal aku kepala dan
pemimpin Quraisy, juga tidak kepada Abu Mas'ud Amr bin Umair Ats Tsaqafi sebagai pemimpin Tsaqif. Kami
adalah pembesar-pembesar dua kota."
Bagian 47

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل م َُحمد‬
Hisyam bin Amr

Hisyam bin Amr berjalan bolak-balik di depan rumahnya sambil menggerutu, "Tiga tahun sudah Bani Hasyim
diasingkan! Padahal, mereka masih bersaudara dengan suku-suku Quraisy yang lain. Ada yang sebagai sepupu,
ipar, paman, bibi.
Kalau saja tidak ada aku dan beberapa orang lain yang suka menyelundupkan makanan dengan diam-diam, Bani
Hasyim tentu sudah kelaparan! Sudah saatnya aku harus berbuat sesuatu!"

Dengan tekad demikian, Hisyam bin Amr pergi menemui sahabatnya, Zuhair bin Umayyah. Zuhair adalah adalah
anggota bani Makhzum, tapi bibinya adalah Atikah binti Abdul Muthalib dari Bani Hasyim.

"Zuhair," tegur Hisyam,


"Aku heran engkau masih bisa tenang menikmati makanan, pakaian, dan lainnya, padahal engkau tahu keluarga
ibumu dikurung sedemikian rupa hingga tidak boleh berhubungan dengan orang lain, tidak boleh berjual beli,
tidak boleh saling menikahkan! Aku bersumpah kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibuku, keluarga Abdul
Hakam bin Hisyam, lalu diajak untuk mengasingkan mereka, tentu aku tolak mentah-mentah!"

Zuhair terperangah,
"Sebetulnya sudah lama sekali persoalan ini meresahkan hatiku," kata Zuhair kemudian.

"Jadi apa lagi yang engkau tunggu?" tanya Hisyam.

Keduanya pun sepakat untuk bersama-sama membatalkan piagam kejam itu. Namun, itu tidak cukup. Mereka
harus mendapat dukungan juga dari yang lain.
Kemudian, secara rahasia malam itu juga mereka menemui Mut'im bin Adi dari Bani Naufal, Abu Al Bakhtary bin
Hisyam, dan Zam'a bin Aswad dari Bani Asad. Kelima orang itu membulatkan tekad untuk membatalkan piagam
yang telah tiga tahun dipasang di dinding Ka'bah.

Merobek Piagam

Esok harinya, Zuhair mengelingi Ka'bah tujuh kali seraya berseru, "Hai penduduk Mekah! Kamu sekalian enak-
enak makan dan berpakaian, padahal Bani Hasyim binasa, tidak bisa membeli atau menjual sesuatu pun! Demi
Allah, saya tidak akan duduk sebelum piagam yang kejam ini dirobek!"

Ketika itu, Abu Jahal berada tidak jauh dari tempat Zuhair, dengan cepat, datang menghampiri sambil berteriak,
"Engkau pendusta! Demi Allah, piagam itu tidak boleh dirobek!"

"Jika Zuhair engkau sebut pendusta, engkau jauh lebih pendusta!" balas Zam'a bin Aswad,
"Sebenarnya dulu pun saat piagam itu ditulis, kami tidak rela!"

"Zam'a benar!" dukung Abu Al Bakhtary,


"dulu kami tidak rela terhadap penulisan piagam itu dan kami pun tidak ikut menetapkannya!"

"Zam'a dan Abu Al Bakhtary benar!" sahut Mut'im bin Adi,


"dan siapa yang berkata selain itu dialah sang pendusta.
"Kami menyatakan kepada Allah untuk membebaskan diri dari piagam itu dan apa yang tertulis di dalamnya!"

Mata Abu Jahal berkilat-kilat dan bahunya gemetar menahan marah.


"Kalian pasti sudah bersekongkol tadi malam!" tuduhnya.
"Kalian diam-diam berkumpul ditempat tersembunyi dan memutuskan untuk mengingkari piagam bersama ini!"

Perang mulut hampir memuncak ketika Abu Thalib yang ketika dari tadi diam di pojok, berjalan mendatangi
mereka. Sikapnya yang tenang membuat orang-orang yang sedang bertengkar terdiam.

Mereka memandang Abu Thalib dan menanti yang akan dikatakan pemimpin Bani Hasyim itu.

"Semalam Muhammad menyampaikan sebuah pesan kepadaku mengenai piagam itu, "demikian kata Abu
Thalib.

Rayap yang Diutus Allah

"Muhammad menyampaikan kepadaku bahwa Allah telah mengutus rayap untuk memusnahkan piagam itu",
lanjut Abu Thalib dengan tenang.
Orang-orang itu saling pandang dengan rasa heran bercampur takjub. Benarkah kabar ini?

Abu Thalib cepat berkata lagi,


"Jika kemenakan ku itu berbohong, kita biarkan apa yang ada di antara kalian dan dia. Biarlah kami menanggung
pengasingan selamanya. Namun jika Muhammad benar, kalian harus berhenti memboikot dan berbuat semena-
mena terhadap kami."

Tampak sekali Abu Thalib sangat yakin dengan perkataannya sehingga bersedia menanggung boikot sampai mati
jika perkataan Rasulullah tidak benar.
Semua orang terdiam. Mereka terharu sekaligus mengagumi rasa saling percaya dan kesetiaan yang demikian
tinggi antara Abu Thalib dan Rasulullah.

"Baiklah, engkau adil," kata mereka,


"kami terima perkataanmu tadi, Abu Thalib."

Berbondong-bondong, mereka pergi ke Ka'bah dan menemui bahwa yang dikatakan Rasulullah memang benar.
Rayap telah memakan isi piagam itu, kecuali sebagian kecil yang bertuliskan "Bismika allahumma (Dengan nama-
Mu ya Allah)."

Demikianlah, akhirnya piagam itu dibatalkan. Rasulullah dan keluarganya kini bisa kembali berada di tengah-
tengah masyarakat seperti semula.

Apakah kini Rasulullah dan para pengikutnya bisa bernafas lebih lega? Apalagi adanya kekuasaan Allah melalui
rayap, mungkinkah hati orang-orang musyrik berubah? Ternyata sama sekali tidak! Justru kekufuran mereka
semakin menjadi-jadi. Mereka itu seperti yang tercantum dalam firman Allah:

ٌّ‫َوإِنْ َي َر ْوا آ َي ًة يُعْ ِرضُوا َو َيقُولُوا سِ حْ ٌر مُسْ َتمِر‬


Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: (Ini
adalah) sihir yang terus menerus.
Surah Al-Qamar (54:2)

Bulan-Bulan Suci

Ada empat bulan suci dalam setahun ketika Rasulullah dan kaum Muslimin dibebaskan dari pemboikotan. Bulan-
bulan suci itu adalah bulan pertama, Muharram (saat diharamkannya kekerasan), lalu bulan ketujuh, Rajab (yang
dihormati), kemudian bulan kesebelas, Dzulqa'dah (bulan damai), terakhir bulan kedua belas Dzuhijjah (bulan
haji).

Tetap Berdakwah

Bulan-bulan suci (Muharram, Rajab Dzulqa'dah, Dzulhijjah) itulah dimanfaatkan Rasulullah untuk semakin giat
berdakwah selama pemboikotan.
Bagian 48

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل م َُحمد‬

Ketegaran Tiada Banding

Suatu ketika, di tengah jalan, Rasulullah berpapasan dengan Umayyah bin Khalaf. Umayyah bin Khalaf adalah
seorang pemuda berperangai buruk. Ia suka bermusuhan dan tidak punya rasa takut kepada siapa pun. Sekali
pun Umar bin Khatthab dan Hamzah bin Abdul Muthalib telah bergabung dengan pasukan kaum Muslimin.
Umayyah menganggap enteng-enteng saja. Dia bahkan telah sesumbar akan membunuh Rasulullah dengan
tangannya sendiri.

Oleh karena itu, ketika berpapasan dengan Rasulullah, Umayyah langsung menggertak sambil menunjuk kuda
yang dituntunnya, "Aku beri makan kuda ini, tidak lain adalah untuk membunuhmu!"

Rasulullah menatap Umayyah dengan tajam sambil membalas cepat, "Tidak, justru akulah yang akan
membunuhmu dengan izin Allah."

Kini Rasulullah tidak segan lagi menjawab setiap ejekan dan ancaman orang-orang Quraisy. Beliau semakin
gencar dan tekun berdakwah tanpa memperdulikan resikonya lagi. Keberanian Rasulullah ini meruntuhkan
wibawa musuh-musuh beliau yang selama ini selalu membangga-banggakan diri.

Masyarakat kecil perlahan mulai terpengaruh dengan keberanian Rasulullah ini. Mereka merasa, jika bergabung
dengan kaum Muslimin, mereka tidak akan diejek dan disakiti semena-mena lagi. Kekukuhan hati Rasulullah
dalam menghadapi bahaya merambah ke hati orang-orang yang tertindas.

Suatu hari, seorang pria asing menjerit, "Wahai orang-orang Quraisy! Adakah orang yang bersedia menolong
diriku? Hakku dirampas oleh Amr bin Hisyam (Abu Jahal)! Aku adalah pendatang dan telah dilakukan sewenang-
wenang!"
Siapa orang Quraisy yang berani menantang keganasan Abu Jahal untuk menolong laki-laki malang ini?

Keberanian Rasulullah

Memang tidak ada yang berani! Tidak seorang pun! Namun, mereka menyarankan kepada laki-laki asing itu,
"Carilah Muhammad dan minta tolong kepadanya."

Walau menyarankan begitu, hampir semua orang yakin, Rasulullah akan mampu melakukannya. Semua tahu
bahwa Abu Jahal adalah musuh Rasulullah yang paling jahat dan beringas.

"Ada apa, Saudara? Apa yang bisa kubantu?" Demikian sapa Rasulullah ketika orang asing itu datang.

"Tuan, aku adalah orang asing di sini. Amr bin Hisyam tidak mau membayar unta yang dibeli dariku!"

Rasulullah mengajak lelaki itu ke rumah Abu Jahal. Melihat mereka, orang-orang tertawa gaduh. Mereka yakin
Muhammad tidak akan punya cukup keberanian untuk menghadapi Abu Jahal. Muhammad pasti akan
mengecewakan laki-laki asing itu. Mereka bersiap-siap melontarkan ejekan paling menyakitkan untuk
meruntuhkan wibawa Rasulullah di hadapan para pengikutnya.

Ketika Rasulullah dan orang asing itu tiba di rumah Abu Jahal, ia sedang berada ditengah-tengah budak dan para
penunggang kudanya. Tiba-tiba pintu diketuk dengan keras. Wajah Abu Jahal memerah menahan marah,

"Siapa yang berani mengetuk pintuku sekeras itu? Tidak tahu dia kalau aku sedang bersama bawahanku! Dengan
mudah, mereka bisa kusuruh melumatkan orang itu!"

Abu Jahal membuka pintu dan terkejut melihat Rasulullah di depannya. Saat itu wajah Rasulullah tampak sangat
penuh percaya diri. Hati beliau sudah bulat untuk membela orang yang teraniaya ini.

Abu Jahal tidak berkata sepatah kata pun. Ia masuk ke rumah dan keluar lagi untuk membayar pembelian unta
laki-laki asing itu.

Orang asing itu sangat berterimakasih kepada Rasulullah. Ia segera pergi dan bercerita kepada orang-orang di
sekitar Ka'bah. Mau tidak mau, keberanian Rasulullah ini menimbulkan rasa kagum di hati mereka. Mereka yang
tadi sudah siap mengejek pun membubarkan diri dengan perasaan bercampur aduk, kesal, geram, tetapi
sekaligus hormat dan kagum.

Laki-laki dari Suku Ghifar

Kabar tentang ajaran Islam sudah mulai menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arabia. Suatu hari, datanglah
seorang laki-laki berwajah ramah dan bijaksana. Abu Thalib melihatnya, lalu menegur, "Sepertinya Anda laki-laki
asing?"

"Betul, namaku Abu Dzar dari suku Ghifar."


Sebelum datang sendiri, Abu Dzar mengutus seorang saudaranya untuk mencari tahu tentang Rasulullah.
Sesudah melihat apa yang dilakukan Rasulullah, saudara Abu Dzar melaporkan,

"Demi Allah, aku telah melihat orang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan."

Karena belum puas dengan berita itu, Abu Dzar pun datang ke Mekah. Ali bin Abu Thalib mengajak Abu Dzar
bermalam di rumahnya. Esok harinya, Ali bertanya kepada Abu Dzar,

"Jika Anda tidak berkeberatan bercerita, apa yang mendorong Anda datang ke negeri ini?"

"Kalau Anda berjanji untuk merahasiakannya, aku akan menceritakannya."


Ali mengangguk.

Kemudian, Abu Dzar berkata,

"Di kampungku, kami mendengar tentang seseorang yang bernama Muhammad. Orang mengatakan bahwa ia
membawa ajaran baru. Aku ingin menemuinya. Namun, aku tahu pemerintah Quraisy akan menindak setiap
orang asing yang sengaja menemuinya."

"Ikuti saya," bisik Ali bin Abu Thalib, masuklah ke tempat saya masuk. Jika saya melihat orang yang saya
khawatirkan akan mengganggu keselamatan Tuan, saya akan merapat ke tembok dan Tuan silahkan berjalan
terus."

Malam itu juga, Abu Dzar bertemu Rasulullah.

"Hatiku sangat pedih melihat orang-orang kaya yang congkak, budak-budak yang sengsara, kaum perempuan
yang tertindas, kaum miskin yang tidak mampu berbuat apa-apa. Apa yang Islam tawarkan untuk mengatasi
semua ini?" tanya Abu Dzar.

Rasulullah menjawab semua pertanyaan itu sampai Abu Dzar merasa sangat puas. Saat itu juga, Abu Dzar
menyatakan keimanannya dengan semangat menggelora.

Ketika Abu Dzar berpamitan, Rasulullah berpesan.


"Wahai Abu Dzar, kembalilah ke masyarakatmu. Kabarkanlah kepada mereka ajaran Islam, dan rahasiakanlah
pertemuan kita ini dari penduduk Mekah karena aku khawatir mereka akan mengganggu keselamatanmu."

Abu Dzar malah pergi ke Ka'bah dan berseru-seru mengajak orang masuk Islam.

Anjuran bersabar kepada Abu Dzar

Suatu hari, Rasulullah bertanya kepada Abu Dzar,

"Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu jika menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti untuk
mereka pribadi?"

Jawab Abu Dzar,


"Demi yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedang saya!"

Sabda Rasulullah,

"Maukah kamu aku beri jalan yang lebih baik dari itu? Yaitu bersabarlah sampai kamu menemuiku."
Bagian 49

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل م َُحمد‬

Abu Thalib Sakit Keras

Beberapa bulan setelah piagam dihapus, Rasulullah kembali mengalami ujian besar.

Kali ini bukan penyiksaan dari pihak lawan, melainkan berupa kehilangan orang yang beliau cintai.

Karena sudah lanjut usia dan menderita kehidupan berat di pengasingan selama tiga tahun, Abu Thalib jatuh
sakit.

Saat itu usianya sudah delapan puluh tahun.

Mengetahui Abu Thalib sakit keras, orang-orang Quraisy khawatir akan terjadi perang antara kaum Quraisy dan
Rasulullah beserta para pengikutnya.

Apalagi dipihak Rasulullah ada Hamzah dan Umar yang terkenal garang dan keras.

Selama ini, Abu Thalib selalu bisa menjadi penengah kedua belah pihak.

Para pemuka Quraisy menemui Abu Thalib dipembaringan dan berkata,

"Abu Thalib, engkau adalah keluarga kami juga.

Sekarang ini, keadaan antara kami dan kemenakanmu sudah sangat mencemaskan kami.

Panggilah dia.

Kami dan dia akan saling memberi dan menerima.

Biarlah dia dengan agamanya dan kami dengan agama kami pula"

Rasulullah Kemudian datang.

Mengetahui maksud kedatangan mereka, Rasulullah bersabda,

"Sepatah kata saja saya minta yang akan membuat mereka merajai semua orang Arab dan bukan Arab."

"Katakanlah, demi ayahmu," kata Abu Jahal,


"Sepuluh kata sekali pun silahkan !"

Rasulullah bersabda,

"Katakan, tidak ada ada Tuhan selain Allah dan tinggalkan segala penyembahan selain Allah."

"Muhammad," seru mereka,

"Maksudmu tuhan-tuhan itu dijadikan satu saja ?"

Para Pembesar Quraisy Saling pandang dengan kecewa menghadapi keteguhan Rasulullah.

"Pulanglah," kata mereka satu sama lain,

"Orang Ini tidak akan memberikan apa-apa seperti yang kamu kehendaki.

Pergilah Kalian !"

Abu Thalib Wafat

Rasulullah duduk di sisi pembaringan pamannya.

Dengan sedih, ditatapnya wajah bijaksana orang tua itu.

Hati Rasulullah dipenuhi rasa duka, tidak hanya karena melihat sakit sebelum maut yang diderita Abu Thalib,
tetapi juga karena sampai saat itu, pamannya belum juga membuka hatinya kepada Islam.

Rasulullah menggenggam tangan pamannya dengan lembut.

Inilah Abu Thalib yang dulu mengajaknya berdagang ke Syam karena tidak tega berpisah dengannya.

Inilah pamannya yang dulu merawatnya penuh kasih sayang, bahkan mencintainya melebihi kecintaan kepada
anak-anaknya sendiri.

Inilah Abu Thalib yang membuka jalan pertemuannya dengan Khadijah dan mendorongnya menjadi pemimpin
kafilah dagang Khadijah.

Inilah Abu Thalib yang selalu menjadi pelindungnya sejak dirinya menjadi yatim sampai menjadi utusan Allah

Abu Thalib membuka matanya yang sayu dan memandang Rasulullah,

"Demi Allah, wahai anak saudaraku, aku tidak melihatmu menawarkan sesuatu yang berat kepada para pemuka
kaummu."

Sejenak timbul harapan Rasulullah akan keislaman pamannya itu,


"Wahai pamanku, ucapkanlah satu kalimat maka dengan kalimat tersebut engkau berhak mendapat syafaatku
pada Hari Kiamat."

Akan tetapi, Abu Thalib tetap enggan menerima ajakan tersebut.

Kemudian wafatlah ia.

Kini, hilang sudah seorang pelindung Rasulullah.

Mulai saat ini, Rasulullah harus menghadapi semuanya sendiri.

Kata-Kata Terakhir Abu Thalib

Ketika Rasulullah mengajak Abu Thalib mengucapkan syahadat pada saat-saat terakhirnya, Abu Thalib berkata,

"Kalau saja aku tidak khawatir nasib keluargaku akan dianiaya setelah kepergianku dan kaum Quraisy bakal
mengatakan, bahwa aku berucap karena gentar menghadapi sakaratul maut, aku tentu mengucapkannya.

Kalau pun kuucapkan, itu sekadar menyenangkan hatimu."

Khadijah Wafat

Seusai penguburan Abu Thalib, Rasulullah kembali ke rumah dan menemukan Khadijah jatuh sakit.

Rasulullah menggenggam tangan Khadijah yang kini terasa panas.

Dari hari ke hari, wajah Khadijah semakin pucat dan gemetar, Rasulullah amat terharu.

Pada saat-saat seperti ini, istrinya itu tetap berusaha menguatkan hatinya.

Seolah-olah Khadijah tahu bahwa perjuangan suaminya masih sangat panjang dan berliku, sedangkan
perjuangannya sendiri sudah mencapai titik akhir.

Akhirnya saat perpisahan sepasang suami istri yang mulia itu pun tiba.

Hanya beberapa hari setelah Abu Thalib meninggal, Khadijah pun wafat dengan tenang.

Dalam beberapa hari saja, Rasulullah kehilangan dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya, paman yang
mengasuh dan melindunginya serta istri yang setia mendampingi dalam menempuh semua suka dan duka,
terutama setelah beliau diangkat menjadi Rasul selama sepuluh tahun terakhir kehidupan mereka.

Masa-masa duka ini dikenal dengan nama 'Amul Huzni (tahun kesedihan).

Saat itu, seolah-olah semua kegembiraan di hati Rasulullah pudar. Indahnya kehidupan seolah-olah ikut terkubur
bersama jasad dua orang kesayangan itu.

Rasulullah tertunduk di samping pusara Khadijah. Air mata beliau mengalir tanpa tertahan.
Beliau ingat, betapa besar penderitaan pamannya dan kesengsaraan yang dipikul istrinya saat mereka bertindak
melindungi beliau.

Rasanya, hidup Khadijah lebih banyak dilalui dengan menanggung begitu berat beban perjuangan dibanding
menikmati manisnya kehidupan.

Keluarga dan sahabat merasakan betul kesedihan Rasulullah.

Sekuat tenaga, mereka berusaha menghibur Rasulullah.

Inilah saat-saat ketika para pengikut, yang biasanya dihibur dan dikuatkan hatinya oleh Rasulullah, berganti
menghibur dan menguatkan hati Rasulullah.

Sungguh pada saat yang mengharukan, tetap ada keindahan yang tampak dalam persaudaraan mereka.
Bagian 50

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل م َُحمد‬

Kenangan akan Khadijah

Kenangan akan Khadijah tetap hidup di hati Rasulullah sampai beliau wafat. Rasulullah ingat pernikahan mereka
yang penuh berkah. Itulah satu-satunya pernikahan di dunia ini yang dipenuhi berkah surga dan dunia sekaligus.

Saat pernikahan itu, Khadijah mengadakan jamuan buat semua orang, mulai dari yang paling kaya sampai yang
paling miskin. Bangsa Arab yang saat itu hanya mengenal air putih, dalam walimah pernikahan Rasulullah dan
Khadijah, disuguhi minuman segar sari buah dan sirup mawar.

Selama beberapa hari, semua orang, baik tua maupun muda, makan di rumah Khadijah. Kepada orang-orang
miskin, Khadijah memberikan beberapa keping uang emas dan perak serta pakaian. Kepada para janda, Khadijah
menyumbangkan kebutuhan hidup yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

Rasulullah juga terkenang saat setelah menikah, Khadijah tidak lagi tertarik pada perdagangan serta kesuksesan
yang diraihnya. Pernikahan telah mengganti perhatian Khadijah. Beliau telah mendapatkan Muhammad Al
Musthafa sebagai hartanya yang paling berharga di dunia ini. Begitu Khadijah menjadi istri Rasulullah semua
perak, emas, dan berlian kehilangan harga di matanya. Rasullullah menjadi satu-satunya yang Khadijah sayangi,
perhatikan, dan cintai. Beliau mengabdikan diri sepenuhnya pada kehidupan Rasulullah.

Saat-saat didampingi Khadijah boleh dikatakan merupakan sat-saat yang sangat membahagiakan Rasulullah.
Dari rahim Khadijah-lah lahir dua orang putra dan empat orang putri Rasulullah, termasuk puteri terkecil mereka
Fatimah Az Zahra, yang menjadi cahaya mata ayahnya.

Tidak ada laki-laki lain yang cocok mendampingi Khadijah selain Rasulullah. Begitu serasinya mereka sampai ada
ahli sejarah yang menduga bahwa seandainya Khadijah tidak bertemu Rasulullah dalam hidupnya, kemungkinan
besar Khadijah tidak akan menikah sampai akhir hidupnya, karena bukanlah kekayaan, ketampanan, dan
keturunan yang menarik hati Khadijah, melainkan keluhuran budi yang mampu meluluhkan hatinya. Itulah yang
ada dalam diri Rasulullah.
Rumah di Surga

Dalam Shahih Al Bukhari, Abu Hurairah berkata, Jibril mendatangi rumah Rasulullah seraya berkata, "Wahai
Rasulullah, inilah yang datang Khadijah sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau
minuman. Jika ia datang, sampaikan salam padanya dari Rabb-nya dan sampaikan kabar kepadanya tentang
sebuah rumah di Surga yang di dalamnya tidak ada hiruk-pikuk dan keletihan."

Khadijah Wanita Sempurna

Sebelum kedatangan Islam, Khadijah dijuluki Ratu Mekah. Namun, ketika cahaya Islam terbit, Allah memberi
beliau kedudukan sebagai ibu kaum beriman (ummulmukminin). Saat itu, sebagian kaum Muslimin adalah
orang-orang miskin. Mereka tidak bisa mencari nafkah, karena orang-orang kafirlah yang menguasai
perdagangan. Orang-orang itu tidak memberikan kesempatan bagi kaum Muslimin untuk bekerja. Pada saat itu,
kaum Muslimin bisa terhindar dari kelaparan berkat bantuan Khadijah.

Khadijah juga memberi mereka tempat tinggal. Khadijah menggunakan begitu banyak uangnya untuk orang-
orang Muslim di Mekah yang miskin akibat boikot orang-orang musyrik. Pertolongan Khadijah telah
mematahkan tujuan orang-orang musyrik untuk menarik para pengikut Rasulullah yang miskin pada kekafiran
lagi.

Khadijah tidak pernah menyisakan sampai uang terakhir yang dimilikinya demi kesejahteraan para pemeluk
Islam. Cinta Khadijah kepada mereka tidak berbeda dengan cinta ibu kepada anaknya. Kalian tahu, seorang ibu
rela mengorbankan nyawanya sendiri demi keselamatan anak-anaknya. Seorang ibu bisa merasakan lapar,
namun jika anak-anaknya kelaparan, ia akan mengutamakan anak-anaknya lebih dulu. Ia akan memberikan jatah
makannya untuk anak-anaknya dan rela menahan lapar. Bahkan jika anak-anaknya merasa kenyang dan senang,
itu sudah cukup membuat seorang ibu juga merasa senang dan kenyang sehingga ia lupa rasa lapar yang
dideritanya sendiri. Cinta seorang ibu tidak mengenal syarat. Cinta seorang ibu penuh perlindungan dan penuh
kasih.

Dengan keluhuran budi istrinya yang begitu agung sangat wajar jika Rasulullah merasa amat berduka ketika
Khadijah wafat.

Rasulullah Amat Mencintai Khadijah

Begitu besarnya cinta Rasulullah kepada Khadijah sampai beliau bersabda, "Demi Allah! Allah tidak
menggantikan Khadijah dengan seorang yang lebih baik. Ia telah beriman kepadaku pada saat orang-orang
mengingkari risalahku. Ia percaya kepadaku pada saat orang-orang nendustaiku. Ia telah mengorbankan
hartanya padahal orang lain tidak mau melakukannya, dan Allah telah melimpahkan karunia bagiku anak-anak
melalui Khadijah.

Setelah Abu Thalib Tiada


Ketika ibunya wafat, Fatimah Az Zahra baru berusia tiga tahun. Anak perempuan yang matanya masih basah
karena baru kehilangan ibunya itu kini melihat ayahnya dihina orang sejadi-jadinya. Para tetangga mereka
seperti Hakam bin Ash, Uqbah bin Abu Muith, Adi bin Hamra, dan Abu Lahab sangat sering melempar batu
ketika ayahnya sedang shalat. Bahkan tidak cuma batu, tetapi juga jeroan kambing. Jeroan kambing itu pernah
mereka melemparkan ke dalam panci masakan Rasulullah yang siap disajikan.

Kejadian paling ringan yang pernah menimpa Rasulullah adalah ketika seorang Quraisy pandir mencegatnya di
jalan dan secara tiba-tiba menyiramkan tanah ke atas kepala beliau. Rasulullah tidak membalas hinaan itu.
Beliau pulang ke rumah dengan kepala yang penuh tanah.

Di rumah, Fatimah membersihkan kepala ayahnya sambil menangis.

Tidak ada yang lebih pilu rasanya hati seorang ayah dibanding mendengar tangis anaknya. Apalagi yang
menangis ini adalah anak perempuan yang baru saja ditinggal mati ibunya. Hampir kaku rasanya Rasulullah
karena begitu pilu, bahkan beliau hampir saja ikut menangis.

Muhammad adalah ayah yang bijaksana dan penuh kasih sayang pada putri-putrinya. Tak ada lagi yang beliau
lakukan menghadapi tangis pilu putrinya selain memohon pertolongan kepada Allah dengan keimanan sepenuh
hati.

"Jangan menangis, putriku," begitu yang Rasulullah bisikkan kepada Fatimah sambil menghapus air matanya,
"sesungguhnya Allah akan melindungi ayahmu."

Rasulullah kemudian berkata,


"Sebelum wafat Abu Thalib, orang-orang Quraisy itu tidak seberapa menggangguku."

Apa yang kemudian beliau lakukan untuk melepaskan diri dari tekanan Quraisy yang semakin menjadi-jadi?
Bagian 51

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل م َُحمد‬

Tindakan Bengis Abu Lahab

Sepeninggal Abu Thalib, Abu Lahab terpilih sebagai ketua Bani Hasyim. Segera setelah ia terpilih, Abu Lahab
menyatakan melepas perlindungan terhadap diri Rasulullah dengan memberikan pengumuman secara terbuka
di Pasar Ukazh dan di Ka'bah. Ini adalah tindakan yang amat kejam, sampai Rasulullah sempat minta
perlindungan dari keluarga selain Bani Hasyim.

Bani Hasyim adalah satu di antara sekian banyak kabilah. Pemimpin sebuah kabilah dipilih karena bijak, berani,
dan tegas. Pemimpin kabilah menduduki kedudukan terhormat. Pemimpin kabilah biasanya dipilih setelah
berusia 40 tahun.
Dalam pertempuran, kaum muda berjuang di garis depan melindungi pemimpin kabilah dan sesepuh di garis
belakang.

Cara Rasulullah Berdakwah


Ada 6 cara yang dilakukan Rasulullah untuk berdakwah:
1. Mengumpulkan orang.
2. Mendatangi tempat-tempat pertemuan dan keramaian.
3. Mendatangi kota-kota lain.
4. Menugasi setiap muslim untuk berdakwah.
5. Menugasi muslim pilihan untuk mengajar.
6. Mengirimkan surat dan utusan kepada para raja dan pemimpin.

Tha'if

Rasulullah berdakwah ke Tha'if pada tahun 10 kenabian (akhir Mei 619). Tha'if terletak 100 kilometer sebelah
Tenggara Mekah. Tha'if adalah kota pegunungan dengan ketinggian hampir 2.000 meter diatas permukaan laut.
Tha'if adalah kota dagang dengan hasil bumi dan perkebunan buah seperti anggur.

Rasulullah mencoba mengalihkan dakwah langsung keluar Kota Mekah. Bersama Zaid bin Haritsah, Rasulullah
pergi ke kota Tha'if. Tiba di kota itu, Rasulullah menemui tiga orang pembesar kota dan menawarkan Islam
kepada mereka. Apa tanggapan mereka?

"Bahkan akan kusobek-sobek selubung Ka'bah untuk membuktikan bahwa demikian tidak percayanya aku
padamu!" ujar seseorang.

Mendengar temannya bicara seperti itu, yang lain tersenyum mengejek sambil berkata,
"Apakah Tuhan tidak mendapatkan orang yang lebih baik daripada kamu? Kalau engkau seorang nabi, pastilah
engkau terlalu mulia untuk menjadi teman bicaraku. Kalau bukan, maka engkau terlalu rendah kulayani."

Rasulullah meminta tiga pembesar Tha'if yaitu Mas'ud, Abdu Yalail, dan Habib, tidak mengumumkan kepada
masyarakat penolakan mereka terhadap beliau. Akan tetapi, ketiga pembesar itu tidak mengabulkan permintaan
Rasulullah. Mereka malah menghasut agar para pemuda mengolok-olok Rasulullah.
Mereka keluar dan berteriak kepada orang banyak,
"Wahai penduduk Tha'if! Lihat orang ini! Ia mencoba mengganti para berhala kita dengan satu Tuhan baru yang
tidak terlihat!"

Para pemuda mulai datang bergerombol dengan wajah memerah karena murka.

"Orang ini rupanya berniat menipu dan membodohi kalian! Apa yang akan kalian perbuat?"

"Usir dia!"

"Jangan cuma diusir, lempar dia dengan batu agar jera dan tidak berani membawa kegilaannya kemari!"

Kemudian, mulailah para pemuda melempari Rasulullah dengan batu. Melihat hal itu, orang-orang kaya tidak
mau ketinggalan. Mereka menyuruh budak-budaknya,

"Hei, tunggu apalagi? Ambil batu dan lempari dia! Sekaranglah saatnya kalian bersenang-senang!"
Rasulullah dan Zaid berlari di sepanjang jalan ke luar Kota Tha'if. Mereka diikuti hujan batu disertai gemuruh caci
maki dan cemooh gerombolan pemuda dan budak. Batu-batu terbang berbunyi debag-debug menghantam
seluruh tubuh Rasulullah meski sudah dilindungi Zaid. Darah suci Rasulullah berceceran di sepanjang jalan.

Doa Rasululllah

Setelah jauh keluar dari kota, gerombolan orang yang mengejar Rasulullah pun membubarkan diri dengan
senyum puas dan mengejek. Saat itu Rasulullah bertemu dengan seorang istri pembesar Tha'if dari Bani Jumah
yang sedang lewat. Perempuan itu memandang Rasulullah dengan rasa kasihan bercampur heran.

"Lihatlah, apa yang ditimpakan kepada kami oleh rakyat suamimu," sabda Rasulullah.

Mendengar orang Tha'iflah yang menganiaya beliau, perempuan itu berlalu dengan perasaan takut jika
diketahui orang bahwa ia menunjukkan belas kasihan kepada Rasulullah.

Untuk melepas lelah dan membasuh luka, Rasulullah dan Zaid berlindung di sebuah kebun anggur milik Utbah
dan Syaibah. Keduanya anak Rabi'ah, seorang pembesar Quraisy. Saat itu, keluarga Rabi'ah memerhatikan
Rasulullah dari jauh, tetapi mereka tidak berbuat apa pun.

Setelah napasnya kembali normal, Rasulullah mengangkat kepala dan menengadah ke langit. Beliau
memanjatkan doa yang amat mengharukan.

"Allahuma ya Allah, kepada-Mu juga aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku, serta
kehinaanku di hadapan manusia."

"Oh Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang, Engkaulah Pelindungku."

"Kepada siapa hendak Engkau serahkan aku? Kepada orang jauh yang berwajah muram, kepadaku, atau kepada
musuh yang akan menguasai diriku?"

"Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli, karena sungguh luas kenikmatan yang Engkau
limpahkan kepadaku."

"Aku berlindung kepada nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan, dunia, dan akhirat."

"Janganlah kemurkaan-Mu menimpa aku."

"Kepada-Mu lah aku menghamba sampai Engkau puas sesuai kehendak-Mu. Tiada yang lebih kuat dan kuasa
dari pada-Mu."
Bagian 52

َ ‫اَللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
‫آل م َُحمد‬

Di Kebun Anggur
Melihat penderitaan yang begitu buruk dialami Rasulullah, Utbah dan Syaibah merasa iba. Mereka menyuruh
seorang budak mereka untuk memberikan buah anggur kepada Rasulullah.

Rasulullah menjulurkan tangan untuk memgambil anggur seraya mengucap, "Bismillah."

Budak itu terkejut keheranan mendengar ucapan itu.

"Kata-kata itu tidak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini." ujarnya.

Kemudian, Rasulullah bertanya kepada sang budak siapa namanya dan dari negeri mana dia berasal, serta apa
agamanya.

"Namaku Addas, aku berasal dari Niniveh di Mesopotamia. Aku beragama Nasrani."

Rasulullah kemudian berkata lagi, "Dari negeri baik-baik, Yunus bin Matta."

Dengan rasa heran yang lebih besar daripada sebelumnya, Addas bertanya, "Darimana Tuan tahu nama Yunus
bin Matta?"

"Dia saudaraku," jawab Rasulullah, "dia seorang nabi dan aku juga seorang nabi."

Mendengar itu, hati Addas dipenuhi rasa haru yang menyengat. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia mencium
kepala, tangan, dan kaki Rasulullah.

Utbah dan Syaibah memerhatikan hal itu dengan heran.

"Lihat, ia merusak budakmu," kata Syaibah.

Ketika Addas kembali, mereka bertanya dengan marah,


"Mengapa pula engkau cium kepala, tangan, dan kaki orang itu?"

"Itulah laki-laki yang paling baik di negeri ini," jawab Addas.


"Ia mengatakan sesuatu yang hanya diketahui oleh para nabi."

Utbah dan Syaibah saling pandang sebelum berkata dengan keras,


"Addas, jangan sampai orang itu memalingkan engkau dari agamamu. Agamamu itu lebih baik daripada
agamanya."

Saat Paling Getir

Jibril dan Malaikat Penjaga Gunung, menawarkan diri untuk menghancurkan Tha'if. Namun, Rasulullah menolak,
beliau bahkan mendoakan kebaikan bagi penduduk Tha'if.

Kembali ke Mekah
Setelah Abu Thalib meninggal, Abu Lahab lah yang terpilih sebagai pemimpin kabilah Bani Hasyim. Abu Lahab
langsung mengumumkan kepada khalayak bahwa Bani Hasyim kini tidak lagi melindungi Rasulullah. Hal itu
berarti Rasulullah boleh dianiaya, bahkan sampai dibunuh oleh siapa pun tidak akan ada yang menuntut balas
kematiannya.

Dalam perjalanan kembali ke Mekah, keadaan Nabi yang tanpa perlindungan ini merisaukan Zaid. Zaid pun
bertanya,

"Wahai Rasulullah, apa yang akan kita lakukan jika kita kembali ke Mekah tanpa perlindungan? Aku khawatir jika
orang akan berbuat sewenang-wenang kepada Anda."

Rasulullah menatap Zaid dengan pandangan menghibur sambil berkata dengan keyakinan penuh,

"Allah akan melindungi agama dan Rasul-NYA."

Tiba-tiba di luar Mekah, melalui seorang penduduk, Rasulullah menghubungi Al Akhnas bin Syariq untuk
menanyakan apakah ia mau memberi perlindungan. Namun, Al Akhnas menolak.
Rasulullah kemudian menghubungi Suhail bin Amr dari Bani Amr bin Lu'ay, tetapi ia juga menolak.
Akhirnya Al Muth'im bin Adi bersedia memberi perlindungan.

Esok paginya, Al Muth'im menuju Ka'bah dan memgumumkan perlindungannya. Abu Lahab datang dan
memprotes dengan ejekan,

"Kamu memberi perlindungan atau menjadi pengikutnya?"

"Kami memberi perlindungan kepada orang yang seharusnya engkau lindungi", jawab Al Muth'im.

Suatu hari, Rasulullah pergi ke Ka'bah, Abu Jahal melihatnya dan berseru kepada sekumpulan orang Quraisy
dengan nada menghina,

"Wahai keturunan Abdu Manaf, inilah Nabi kalian."

Menanggapi olokan itu, Utbah bin Rabi'ah berkata,


"Peduli apa pula engkau, apakah kita ini mempunyai seorang nabi atau raja?"

Rasulullah mendekati keduanya dan berkata,

"Wahai Utbah, demi Allah ucapanmu adalah tanggunganmu sendiri. Sementara untukmu, Abu Jahal, nasib jelek
akan menimpamu sehingga kelak engkau akan sedikit tertawa dan banyak menangis."

Saat Penuh Perjuangan

Setelah Abu Thalib meninggal ruang gerak dakwah Rasulullah di Mekah semakin sempit. Beliau pun mencoba
mengalihkan dakwah Islam ke suku-suku Arab lain yang sering berdatangan ke Mekah pada bulan-bulan haji.
Setiap hari Rasulullah mengunjungi perkemahan Badui, setiap kali itu pula Abu Lahab mengikuti beliau. Setelah
beliau beranjak pergi, Abu Lahab mendekat dan berkata,

"Orang yang tadi hanya ingin menukar kepercayaan Anda kepada Latta dan Uzza, serta jin-jin sekutu Anda,
dengan agama sesat yang dibawanya."

Seorang pemuka kabilah Badui pernah bertanya kepada Rasulullah,

"Kalau kami jadi pengikutmu dan Tuhan memberimu kemenangan menghadapi lawanmu, apakah kami akan
berkuasa setelah Anda?"

Rasulullah menjawab,

"Kekuasaan adalah pemberian Allah ketika Ia menghendaki."

Dengan muka masam, pemimpin kabilah itu berkata ketus,

"Dugaan saya, Anda ini mengharap kami melindungi Anda dari orang Badui dengan dada kami, lalu kalau Anda
menang orang lain akan memetik untung! Tidak, terima kasih."

Anda mungkin juga menyukai