Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Empirik

Kajian empiris dilakukan dalam rangka mendukung penelitian ini dengan

cara mengkaji dan mempelajari penelitian sejenis yang pernah dilakukan

sebelumnya. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan tentang kejadian DBD,

yaitu :

1. Widia Eka Wati (2009) dalam tesisnya yang berjudul “Beberapa faktor yang

berhubungan dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di

Kelurahan Ploso Kecamatan Pacitan tahun 2009”. Dari hasil penelitian

diperoleh bahwa keberadaan jentik Aedes Aegypti pada kontainer,

kebiasaan menggantung pakaian, ketersediaan tutup kontainer, frekuensi

pengurasan kontainer, dan pengetahuan responden tentang DBD

berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue

(DBD).

2. Azizah Gama dan Faizah Betty R (2010) dengan judul penelitian “Analisis

Faktor Resiko kejadian Demam Berdarah Dengue di desa Mojosongo

Kabupaten Boyolali tahun 2010”. Dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa

responden yang mempunyai kontainer >3 memiliki risiko untuk mengalami

DBD 6,75 kali lebih besar daripada responden yang mempunyai kontainer <

3 dengan batas bawah 2,15 dan batas atas 21,22 (OR : 6,75, CI 95% : 2,15

hingga 21,22). Responden yang melakukan mobilitas minimal periode 2

minggu sebelum kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) memiliki risiko

9,29 kali lebih besar daripada responden yang tidak melakukan mobilitas

minimal periode 2 minggu sebelum kejadian Demam Berdarah Dengue

(DBD) dengan batas bawah 1,08 dan batas atas 80,15 (OR : 9,29, CI 95% :
8

1,08 hingga 80,15). Responden yang mempunyai saluran air hujan bukan

merupakan faktor resiko kejadian DBD (OR : 0,00, CI 95% : 0), dan

responden yang biasa tinggal didalam rumah pada pagi hari bukan

merupakan faktor resiko kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) (OR :

0,00, CI 95% : 0,14 hingga 14,64). Nilai R2 Negelkerke sebesar 0,31

mempunyai arti bahwa model yang memasukkan variabel keberadaan

kontainer dan melakukan mobilitas hanya menjelaskan sebesar 31%

berhubungan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Hal ini berarti

sekitar 69% hubungan Demam Berdarah Dengue (DBD) dijelaskan oleh

variabel-variabel lain yang tidak diteliti dan diukur dalam penelitian ini.

3. Novi Hendrayanti (2008) dengan judul penelitian “Analisis manajemen

kegiatan pemberantasan sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-

DBD) dengan metode Combi (Communication for Behavioural Impact) di

Pekanbaru, studi kasus dikelurahan Sidomulyo Timur tahun 2008”.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kegiatan PSN COMBI

didukung berbagai masukan meliputi ketersediaan tenaga, dana, sarana dan

telah memiliki metode/prosedur serta penjadwalan kegiatan. Kegiatan PSN

COMBI dilaksanakan melalui tiga tahap manajemen PSN COMBI, yaitu

perencanaan, pelaksanaan dan monitoring serta dilaksanakan evaluasi

proses dan evaluasi tahap akhir kegiatan secara keseluruhan. Setiap hari

Rabu pukul 8 pagi dilakukan kunjungan rumah oleh Juru Pemantau Jentik

(Jumantik) untuk melakukan pemeriksaan jentik dilanjutkan dengan

pemberian penyuluhan singkat dan kegiatan kerja bakti bersama dipimpin

oleh RT/RW setiap Minggu pukul 8 pagi. Kegiatan PSN DBD yang spesifik

yang dilakukan masyarakat didukung dengan kunjungan rumah secara

berkala serta komunikasi dan motivasi melalui penyuluhan oleh Jumantik

kepada keluarga terbukti efektif dalam meningkatkan Angka Bebas Jentik di


9

Kelurahan Sidomulyo Timur menjadi 97,36% dalam 10 minggu pelaksanaan

hingga 11 Juni 2008.

Namun pelaksanaan kegiatan PSN COMBI di Kelurahan Sidomulyo Timur

masih memiliki beberapa hambatan diantaranya keterbatasan dalam hal

sumber daya (tenaga, dana dan sarana) serta belum didukung kebijakan dari

pemerintah daerah. Kerja sama lintas sektor masih perlu terus

dikembangkan serta perlu disusun suatu sistem dan kebijakan untuk

pemeliharaan perilaku PSN rutin yang telah terbentuk.

4. Mirmo Widijanto (2010) dengan judul penelitian “Hubungan pengetahuan,

sikap, tindakan masyarakat dan faktor lingkungan dengan penyebaran DBD

di Desa Gejugjati Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan tahun 2010”. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

faktor pengetahuan, sikap, tindakan masyarakat dan lingkungan fisik

terhadap penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD).

2.2 Kajian Teori

2.2.1. Kajian Teori Demam Berdarah Dengue (DBD)

Defenisi

Demam Dengue (DF) dan Demam Berdarah Dengue (DBD/DHF) adalah

penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinik

demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam,

limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.

Penyebab Penyakit

Penyebab penyakit Dengue adalah Arthophod Borne Virus, famili

Flaviviridae, geus flavivirus. Virus berukuran kecil sebesar 50 nm ini memiliki

single standard RNA. Virionnya terdiri dari nucleocapsid dengan bentuk kubus

simetris dan terbungkus dalam amplop lipoprotein. Genome (rangkaian


10

kromoson) virus Dengue berukuran panjang sekitar 11.000 dan terbentuk dari

tiga gen protein struktural yaitu nucleocapsid atau protein core (C), membrane-

associated protein (M) dan suatu protein envelope (E) serta gen protein non

stuktural (NS). Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4

yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah

dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan

serotipe terbanyak, sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan

serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh DEN-2, DEN-1 dan DEN-4.

Terinfeksinya seseorang dengan salah satu serotipe tersebut diatas, akan

menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang

bersangkutan. Meskipun keempat serotipe virus tersebut mempunyai daya

antigenis yang sama namun mereka berbeda dalam menimbulkan proteksi silang

meski baru beberapa bulan terjadi infeksi dengan salah satu dari mereka.

Gambar 2.1. Virus Dengue


11

Epidemiologi

Epidemiologi penyakit Dengue adalah ilmu yang mempelajari tentang

kejadian dan distribusi serta frekuensi penyakit Dengue menurut variabel

epidemiologi (orang, tempat, dan waktu) dan berupaya menetukan faktor resiko

terjadinya kejadian itu di kelompok populasi. Distibusi yang dimaksud adalah

distribusi orang, tempat dan waktu sedangkan frekuensi dalam hal ini adalah

Insidens, CFR. Dll. Determinan faktor risiko berarti faktor yang mempengaruhi

atau faktor yang memberi risiko atas terjadinya penyakit Demam Dengue/

Demam Berdarah Dengue (DBD).

KLB Dengue pertama kali terjadi tahun 1653 di Frech West Indies

(Kepulauan Karibia), meskipun penyakitnya sendiri sudah telah dilaporkan di

Cina pada permulaan tahun 992 SM. Di Australia serangan penyakit DBD

pertama kali dilaporkan pada tahun 1897, serta di Italia dan Taiwan pada tahun

1931. KLB di Filipina terjadi pada tahun 1953 – 1954, sejak saat itu serangan

penyakit DBD disertai tingkat kematian yang tinggi melanda beberapa negara di

wilayah Asia Tenggara termasuk India, Indonesia, Kepualauan Maladewa,

Myanmar, Srilangka, Thailand, Singapore, Kamboja, Malaysia, New Caledonia,

Filipina, Tahiti dan Vietnam.

Penyebaran virus ini, dikenal 2 jenis transisi, yaitu dengue kota (urban

dengue) dimana rantai penularannya adalah manusia-nyamuk-manusia dan

dengue hutan (jungle dengue) dimana rantai penularannya adalah manusia-

nyamuk-monyet-nyamuk-manusia. Nyamuk penting dalam rantai penularan

dengue di kota-kota besar adalah Aedes Aegypti sedangkan dihutan adalah

Aedes Niveus. Virus dengue tersebar sangat luas di benua Asia, Afrika, Amerika

dan juga Australia dengan endemisitas dan kombinasi tipe virus yang belum

tentu sama. Asia Tenggara termasuk salah satu wilayah endemik dimana

keempat tipe virus dapat ditemukan.


12

Manifestasi infeksi virus dengue sangat beragam mulai dari tanpa gejala,

demam ringan, demam dengue, dan demam berdarah dengue (DBD). Dalam

kenyataannya, jumlah kasus dengan manifestasi klinik ringan dalam bentuk

tanpa gejala dan demam ringan ternyata merupakan mayoritas. Diperkirakan

kasus dengan manifestasi demam berdarah dengue hanya merupakan kira-kira

5% dari seluruh kasus infeksi virus dengue. Kelompok yang bermanifestasi

ringan tersebut secara klinik sukar didiagnosis.

Situasi di Indonesia, penyakit Dengue pertama kali dilaporkan pada

tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya. Pada tahun 2010 penyakit Dengue telah

tersebar di 33 propinsi, 440 Kab/kota. Sejak ditemukan pertama kali kasus

Demam Berdarah Dengue (DBD) meningkat terus bahkan sejak tahun 2004

kasus meningkat sangat tajam. Kenaikan kasus Demam Berdarah Dengue

(DBD) berbanding terbalik dengan angka kematian (CFR) akibat Demam

Berdarah Dengue (DBD), dimana pada awal ditemukan di Surabaya dan Jakarta

CFR sekitar 40% kemudian terus menurun dan pada tahun 2010 telah mencapai

0,87%. Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) terbanyak dilaporkan di daerah-

daerah dengan tingkat kepadatan yang tinggi, seperti provinsi-provinsi di Pulau

Jawa, Bali dan Sumatera.

Morfologi Vektor DBD

Berdasarkan Permenkes Nomor 374/Menkes/Per/III/2011 tentang

pengendalian vektor bahwa vektor adalah arthopoda yang dapat menular

penyakit terhadap manusia.

Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah nyamuk yang dapat

menularkan, memindahkan dan atau menjadi sumber penular Demam Berdarah

Dengue (DBD). Di Indonesia ada 3 jenis nyamuk yang bisa menularkan virus

Dengue yaitu Aedes Aegypti, Aedes Albopictus, dan Aedes Scutellaris.


13

Seseorang yang didalam darahnya mengandung virus Dengue merupakan

sumber penular Demam Berdarah Dengue (DBD). Virus Dengue berada dalam

darah selama 4 – 7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam.

Morfologi tahapan Aedes Aegypti sebagai berikut :

a. Telur

Telur berwarna hitam dengan ukuran + 0,80 mm, berbentuk obal yang

mengapung satu persatu pada permukaan air yang jernih, atau menempel

pada dinding tempat penampung air. Telur dapat bertahan sampai + 6 bulan

di tempat kering.

Gambar 2.2. Morfologi Aedes Aegypti secara Mikroskopis.

b. Jentik

Ada 4 tingkat (instar) jentik/larva sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut,

yaitu :

1) Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm

2) Instar II : 2,5 – 3,8 mm

3) Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II

4) Instar IV : berukuran paling besar 5 mm

Gambar 2.3. Larva Aedes Aegypti


14

c. Pupa

Pupa berbentuk seperti “koma”. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping

dibanding larva (jentiknya). Pupa Aedes Aegypti berukuran lebih kecil jika

dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain.

Gambar 2.4. Pupa Aedes Aegypti

d. Nyamuk dewasa

Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata

nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih

pada bagian badan dan kaki.

Gambar 2.5. Bulu Antena Aedes Aegypti Jantan (Kiri), Betina (Tengah)

Sebenarnya yang dimaksud dengan vektor Demam Berdarah Dengue (DBD)

adalah nyamuk Aedes Aegypti betina. Perbedaan morfologi antara nyamuk

Aedes Aegypti betina dengan yang jantan terletak pada perbedaan morfologi

antenanya, Aedes Aegypti jantan memiliki antena berbulu lebat sedangkan

betina berbulu agak jarang/ tidak lebat.


15

Bioekologi

a. Siklus Hidup

Nyamuk Aedes Aegypti seperti juga jenis nyamuk lainnya mengalami

metamofosis sempurna, yaitu telur – jentik (larva) – pupa – nyamuk. Stadium

telur, jentik, dan pupa hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas

menjadi jentik (larva) dalam waktu + 2 hari setelah telur terendam air. Stadium

jentik/larva biasanya berlangsung 6 – 8 hari, dan stadium kepompong (pupa)

berlangsung antara 2 – 4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa

selama 9 – 10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2 – 3 bulan.

Gambar 2.6. Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti


16

b. Habitat Perkembangbiakan

Habitat perkembangbiakan Aedes Aegypti adalah tempat-tempat yang

dapat menampung air di dalam, di luar atau disekitar rumah serta tempat-tempat

umum. Habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti dapat dikelompokkan

sebagai berikut :

1) Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti drum,

tangki reservoir, tempayan, bak mandi/WC, dan ember.

2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti tempat

minum burung, vas bunga, perangkap semut, bak kontrol pembuangan air,

tempat pembuangan air kulkas/dispencer, barang-barang bekas; ban,

kaleng, botol, plastik, dan lain-lain.

3) Tempat penampungan air alamiah seperti lubang pohon, lubang batu,

pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu, dan

tempurung coklat/karet, dan lain-lain.

c. Perilaku Nyamuk Dewasa

Setelah keluar dari pupa, nyamuk istirahat di permukaan air untuk

sementara waktu. Beberapa saat setelah itu, sayap meregang menjadi kaku,

sehingga nyamuk mampu terbang mencari makanan. Nyamuk Aedes Aegypti

jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya

sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai

darah manusia daripada hewan (bersifat antropofilik). Darah diperlukan untuk

pematangan sel telur agar dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk

menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap darah samapi

dikeluarkan, waktunya bervariasi aqntara 3 – 4 hari. Jangka waktu tersebut

disebut dengan siklus gonotropik.


17

Aktivitas menggigit nyamuk Aedes Aegypti biasanya mulai pagi dan

petang hari, dengan 2 puncak aktivitas antara pukul 09.00 – 10.00 dan 16.00 –

17.00. Aedes Aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali

dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah.

Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit.

Setelah mengisap darah, nyamuk akan beristirahat pada tempat yang

gelap dan lembab di dalam atau di luar rumah, berdekatan dengan habitat

perkembangbiakannya. Pada tempat tersebut nyamuk menunggu proses

pematangan telurnya.

Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina

akan meletakkan telurnya diatas permukaan air, kemudian telur menepi dan

melekat pada dinding-dinding habitat perkembangbiakannya. Pada umumnya

telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu + 2 hari. Setiap kali bertelur

nyamuk betina dapat menghasilkan telur sebanyak + 100 butir. Telur itu ditempat

yang kering (tanpa air) dapat bertahan + 6 bulan, jika tempat-tempat tersebut

kemudian tergenang air atau kelembabannya tnggi maka telur dapat menetas

lebih cepat.

d. Penyebaran

Kemampuan terbang nyamu Aedes Aegypti betina rata-rata 40 meter,

namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat

berpindah lebih jauh. Aedes Aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub

tropis, di Indoensia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah maupun di tempat

umum. Nyamuk Aedes Aegypti dapat hidup dan berkembang biak sampai

ketinggian daerah + 1.000 m dpl. Pada ketinggian diatas + 1.000 m dpl, suhu

udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan nyamuk berkembangbiak.


18

e. Variasi Musiman

Pada musim hujan populasi Aedes Aegypti akan meningkat karena telur-

telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas ketika habitat

perkembangbiakannya (TPA bukan keperluan sehari-hari dan alamiah) mulai

terisi hujan. Kondisi tersebut akan meningkatkan populasi nyamuk sehingga

dapat menyebabkan peningkatan penularan penyakit Dengue.

Penularan dan Masa Inkubasi

a. Vektor DBD

Virus Dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk

Aedes (Ae). Ae Aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama namun

spesies lain seperti Ae. Albopictus, Ae. Polynesiensis dan Ae. Niveus juga

dianggap sebagai vektor sekunder. Kecuali Ae. Aegypti semuanya mempunyai

daerah distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun merupakan

host yang sangat baik untuk virus Dengue, biasanya mereka merupakan vektor

epidemi yang kurang efisien dibandingkan Ae. Aegypti.

Gambar 2.7. Nyamuk Aedes Aegypti

Nyamuk penular Dengue ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia,

kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter diatas

permukaan laut.
19

b. Siklus Penularan

Nyamuk Aedes betina biasanya terinveksi virus Dengue pada saat dia

mengisap darah manusia dari seseorang yang sedang dalam fase demam akut

(viraemia) yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.

Nyamuk menjadi infektif 8 – 12 hari sesudah mengisap darah penderita yang

sedang viremia (periode inkubasi ekstrinsik) dan tetap infektif selama hidupnya.

Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik tersebut, kelenjar ludah nyamuk yang

bersangkutan akan terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk

tersebut menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan ke

tubuh orang lain. Setelah masa inkubasi di tubuh manusia selama 3 – 4 hari

(rata-rata 4 – 6 hari) timbul gejala awal penyakit secara mendadak yang ditandai

demam, pusing, myalgia (nyeri otot), hilangnya nafsu makan dan berbagai tanda

atau gejala lainnya.

Viremia biasanya muncul pada saat atau sebelum gejala awal penyakit

tampak dan berlangsung selama kurang lebih lima hari. Saat-saat tersebut

penderita dalam masa sangat infektif untuk vektor nyamuk yang berperan dalam

siklus penularan. Hal tersebut merupakan bukti pola penularan virus secara

vertikal dari nyamuk-nyamuk betina yang terinfeksi ke generasi berikutnya.

Gambar 2.8. Siklus Penularan Penyakit DBD


20

c. Masa Inkubasi

Infeksi Dengue mempunyai masa inkubasi antara 2 sampai 14 hari,

biasanya 4 – 7 hari.

d. Host

Virus Dengue menginfeksi manusia dan beberapa species dari primata

rendah. Tubuh manusia adalah reservoir utama bagi virus tersebut, meskipun

studi yang dilakukan di Malaysia dan Afrika menunjukkan bahwa monyet dapat

terinfeksi oleh dengue sehingga dapat berfungsi sebagai host reservoir.

Semua orang rentan terhadap penyakit ini, pada anak-anak biasanya

menunjukkan gejala lebih ringan dibandingkan dengan orang dewasa. Penderita

yang sembuh dari infeksi denga satu jenis serotipe akan memeberikan imunitas

homolog seumur hidup tetapi tidak memberikan perlindungan terhadap infeksi

serotipe lain dan dapat terjadi infeksi lagi oleh serotipe lainnya.

Gejala/ Tanda Utama DBD

a. Demam

1. Demam tinggi mendadak, sepanjang hari, berlangsung 2-7 hari.

2. Fase kritis ditandai saat demam mulai turun biasanya setelah hari

ke 3 – 6, hati-hati karena pada fase tersebutdapat terjadi syok.

b. Tanda-tanda perdarahan

Penyebab perdarahan pada pasien ialah gangguan pada pembuluh

darah, trombosit, dan faktor pembekuan. Jenis perdarahan yang terbanyak

adalah perdarahan kulit seperti uji Tourniquet positif, petekie, purpura, ekimosis

dan perdarahan konjungtiva.

Perdarahan ini terjadi disemua organ. Bentuk perdarahan dapat hanya

berupa uji Tourniquet (Rumple Leede) positif atau dalam bentuk satu atau lebih

manifestasi perdarahan sebagai berikut : Petekie, Purpura, Ekimosis,


21

Perdarahan Konjungtiva, Epistaksis, Pendarahan gusi, Hematemesis, Melena

dan Hematuri.

Uji Tourniquest positif sebagai tanda perdarahan ringan, dapat dinilai

sebagai presumtif test (dugaan keras) oleh karena uji Tourniquest positif pada

hari-hari pertama demam terdapat pada sebagian besar penderita Demam

Berdarah Dengue (DBD). Namun uji Tourniquest positif dapat juga dijumpai pada

penyakit virus lain (campak, demam chikungunya), infeksi bakteri (tyhpus

abdominalis) dan lain-lain.

Petekie merupakan tanda perdarahan yang sering ditemukan. Tanda ini

dapat muncul pada hari-hari pertama demam. Epistaksis dan perdarahan gusi

lebih jarang ditemukan, sedangkan perdarahan gastrointestinal biasanya

menyertai renjatan. Kadang-kadang dijumpai pula perdarahan konjungtiva serta

hematuri.

c. Pembesaran hati (hepatomegali)

Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan

penyakit, bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4

cm dibawah lengkungan iga kanan dan dibawah Procesus Xifoideus.

Proses pembesaran hati, dari tidak teraba menjadi teraba, dapat

meramalkan perjalanan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Derajat

pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit, namun nyeri tekan di

hipokondrium kanan disebabkan oleh karena peregangan kapsul hati. Nyeri perut

lebih tampak jelas pada anak besar daripada anak kecil.

d. Renjatan (syok) dengan tanda-tanda :

1. Kulit terasa dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan

dan kaki.

2. Penderita menjadi gelisah.


22

3. Sianosis di sekitar mulut.

4. Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak terasa.

5. Perbedaan tekanan nadi sistolik dan diastolik menurun < 20 mmHg.

Adapun penyebab renjatan karena perdarahan atau karena kebocoran

plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang terganggu.

e. Trombositopeni

Jumlah trombosit < 100.000/µl biasanya ditemukan diantara hari ke 3-7

sakit, pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah

trombosit dalam batas normal menurun. Pemeriksaan dilakukan pada saat

pasien diduga menderita Demam Berdarah Dengue (DBD), bila normal maka

diulang tiga hari sampai suhu turun.

f. Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)

Meningkatnya nilai hematokrit (Ht) > 20% menggambarkan

hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka

terjadinya pembesaran plasma, sehingga dilakukan pemeriksaan hematokrit

secara berkala. Pada umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan

hematokrit (Kemenkes RI, 2011: 5).

Diagnosis

1. Secara Klinis

- Demam tinggi mendadak berlangsung selama 2 – 7 hari.

- Terdapat manifestasi/ tanda-tanda perdarahan ditandai dengan:

a. Uji Bendung (Tourniquest Test)

b. Petekie, ekimosis, purpura

c. Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi

d. Pembesaran hati
23

e. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi

(< 20 mmHg), hipotensis, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan

pasien tampak gelisah.

2. Laboratorium

- Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)

- Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler yang

ditandai adanya : Hemokonsentrasi/ peningkatan hematokrit > 10%dari

data baseline saat pasien belum sakit atau sudah sembuh atau adanya

efusi pleura, asites atau hipoteinemia (hipoalbuminemia).

Derajat penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) diklasifikasikan dalam

4 derajat :

Derajat I : Demam dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah Uji

Tourniquet positif.

Derajat II : Terdapat perdarahan spontan antara lain perdarahan kulit

(petekie), perdarahan gusi, epistaksis atau perdarahan lain

(menstruasi berlebihan, perdarahan saluran cerna).

Derajat III : Derajat I atau II disertai kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan

lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang atau

hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan

anak tampak gelisah.

Derajat IV : Seperti derajat III disertai Syok berat (profound shock), nadi tidak

dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

Faktor Resiko Penularan Infeksi Dengue

Beberapa faktor yang beresiko terjadinya penularan dan semakin

berkembangnya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah pertumbuhan

jumlah penduduk yang tidak memiliki pola tertentu, faktor urbanisasi yang tidak
24

berencana dan terkontrol dengan baik, semakin majunya sistem transportasi

sehingga mobilitas penduduk sangat mudah, sistem pengelolaan limbah dan

penyediaan air bersih yang tidak memadai, berkembangnya penyebaran dan

kepadatan nyamuk, kurangnya sistem pengendalian nyamuk yang efektif, serta

melemahnya struktur kesehatan masyarakat. Selain faktor-faktor lingkungan

tersebut, status imunologi seseorang, strain virus/serotipe virus yang

menginfeksi, usia dan riwayat genetik juga berpengaruh terhadap penularan

penyakit.

Perubahan iklim (Climate Change) global yang menyebabkan kenaikan

rata-rata temperatur, perubahan pola musim hujan dan kemarau juga disinyalir

menyebabkan risiko terhadap penularan Demam Berdarah Dengue (DBD)

bahkan berisiko terhadap munculnya KLB Demam Berdarah Dengue (DBD).

Adanya kenaikan curah hujan (ICH) dibeberapa provinsi yaitu NTT, DKI dan

Kalimantan selalu diikuti dengan kenaikan kasus Demam Berdarah Dengue

(DBD).

Pencegahan dan Pemberantasan

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) belum dapat dicegah dengan

imunisasi. Satu-satunya cara mencegah Demam Berdarah Dengue (DBD) hanya

dengan membasmi nyamuk kebun dan nyamuk pembawa virus Demam

Berdarah.

Surveilans Kasus

Surveilans kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) meliputi proses

pengumpulan, pencatatan, pengolahan, analisis dan interpretasi data kasus serta

penyebarluasan informasi ke penyelenggara program, instansi dan pihak terkait

secara sistematis dan terus menerus.


25

Tujuan surveilans adalah agar tersedianya data dan informasi

epidemiologi sebagai dasar manajemen kesehatan untuk pengambilan

keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program

kesehatan dan peningkatan kewaspadaan serta respon kejadian luar biasa yang

cepat dan tepat. Secara khusus, tujuan surveilans adalah :

1. Memantau kecenderungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).

2. Mendeteksi dan memprediksi terjadinya KLB Demam Berdarah Dengue

(DBD) serta penanggulangannya.

3. Menindaklanjuti laporan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan

melakukan PE, serta melakukan penangulangan seperlunya.

4. Pemantauan kemajuan program pengendalian DBD.

5. Menyediakan informasi untuk perencanaan pengendalian Demam Berdarah

Dengue(DBD).

6. Pembuatan kebijakan pengendalian Demam Berdarah Dengue (DBD).

Beberapa variabel data yang berhubungan dengan pengendalian Demam

Berdarah Dengue (DBD) adalah sebagai berikut :

1. Data kesakitan dan kematian menurut golongan umur dan jenis kelamin,

kasus Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD), Sindrom

Syok Dengue (SSD) dari unit pelayanan kesehatan, W1, kewaspadaan

mingguan, bulanan, dan tahunan.

2. Data penduduk menurut golongan umur tahunan.

3. Data desa, kecamatan, kabupaten, provinsi terdapat kasus Demam Dengue

(DD), Demam Berdarah Dengue (DBD), Sindrom Syok Dengue (SSD)

bulanan dan tahunan.

4. Data angka bebas jentik (ABJ) kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hasil

dari kegiatan pengamatan jentik.


26

Data tersebut diatas dapat diperoleh dari :

1. Laporan rutin DBD, mingguan, bulanan (puskesmas, kabupaten/kota, dan

provinsi).

2. Laporan KLB/wabah/W1 (puskesmas, kabupaten/kota, provinsi).

3. Laporan laboratorium dari UPK (puskesmas, RS, labkes, dll).

4. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan (puskesmas, kabupaten/kota).

5. Laporan penyelidikan KLB/wabah (puskesmas, kabupaten/kota).

6. Survei khusus (pusat, provinsi, kabupaten/kota).

7. Laporan data demografi (puskesmas, kabupaten/kota, provinsi).

8. Laporan data vektor (puskesmas, kabupaten/kota, provinsi).

9. Laporan dari Badan Meteorologi & Geofisika provinsi, kabupaten/kota,

kecamatan tentang curah hujan dan hari hujan.

Pengendalian Vektor

Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh

vektor dengan meminimalkan habitat perkembangan vektor, menurunkan

kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan menusia

serta memutuskan rantai penularan penyakit.

Pengendalian Demam Berdarah Dengue (DBD) yang tepat adalah

pemutusan rantai penularan dengan pengendalian vektornya, karena vaksin dan

obat masih dalam proses penelitian. Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD)

sudah menyebar keseluruh Indonesia, hal ini disebabkan oleh adanya perubahan

iklim global, kemajuan teknologi transportasi, mobilitas penduduk, urbanisasi,

dan infrastruktur penyediaan air bersih yang kondusif untuk perkembangbiakan

vektor Demam Berdarah Dengue (DBD), serta perilaku masyarakat yang belum

mendukung upaya pengendalian.


27

DBD merupakan salah salah satu penyakit berbasis lingkungan, oleh karena

itu pengendalian vektornya tidak mungkin berhasil dengan baik tanpa melibatkan

peran serta masyarakat termasuk lintas`sektor, lintas program, LSM, tokoh

masyarakat dan penyandang dana. Pengendalian vektor harus berdasarkan

pada data informasi tentang bioekologi vektor, situasi daerah termasuk sosial

budayanya.

Metode pengendalian vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) bersifat

spesifik lokal, dengan mempertimbangkan faktor lingkungan fisik (cuaca/iklim,

pemukiman, habitat perkembangbiakan) dan sosial budaya (pengetahuan, sikap

dan perilaku) Beberapa metode pengendalian vektor antara lain :

1. Kimia

Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisida

merupakan salah satu metode pengendalian yang lebih populer dimasyarakat

dibanding dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium

dewasa dan pra-dewasa. Karena insektisida adalah racun, maka

penggunaannya harus mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan

organisme bukan sasaran termasuk mamalia. Disamping itu penentuan jenis

insektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk

dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang

berulang disatuan ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga

sasaran.

Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian Demam Berdarah

Dengue (DBD) adalah :

a. Sasaran Dewasa (nyamuk) adalah : Organophospat (Malathion, Methyl

Pirimipos), Pyretheroid (Cypermethrine, lamda-cyhalotrine, Cyflutrine,

Permethrine & S-Biolethrine). Yang ditujukan untuk stadium dewasa yang


28

diaplikasikan dengan cara pengabutan panas/ Foging dan pengabutan

dingin/ULV.

b. Sasaran pra dewasa (jentik) : Organophospat (Temephos).

2. Biologi

Pengendalian vektor biologi menggunakan agent bilogi seperti

predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra-dewasa

vektor Demam Berdarah Dengue (DBD). Jenis vektor yang digunakan adalah

ikan pemakan jentik (cupang, tampalo, gabus, guppy, dan lain-lain), sedangkan

larva Capung, Toxorhyncites, Mesocyclops dapat juga berperan sebagai predator

walau bukan sebagai metode yang lazim untum pengendalian vektor Demam

Berdarah Dengue (DBD).

Jenis pengendalian vektor biologi : parasit (Romanomermes Iyengeri) dan

bakteri (Baccilus Thuringiensis Israelensis. Golongan insektisida biologi untuk

pengendalian Demam Berdarah Dengue (DBD) (Insect Growth Regulator/IGR

dan Bacillus Thuringiensis Israelensis/BTI), ditujukan untuk stadium pra dewasa

yang diaplikasikan kedalam habitat perkembangbiakan vektor.

Insect Growth Regulators (IGRs) mampu menghalangi pertumbuhan nyamuk

dimasa pra dewasa dengan cara merintangi/menghambat proses chittin

synthesis selama masa jentik berganti kulit atau mengacaukan proses perubahan

pupae dan nyamuk dewasa. IGRs memiliki tingkat racun yang sangat rendah

terhadap mamalia (nilai LD50 untuk keracunan akut pada methoprene adalah

34.600 mg/Kg).

Bacillus Thuringiensis Israelensis (BTI) sebagai pembunuh jentik

nyamuk/larvasida yang tidak mengganggu lingkungan. Bti terbukti terbukti aman

bagi manusia bila digunakan dalam air minum dalam dosis normal. Keunggulan

Bti adalah menghancurkan jentik nyamuk tanpa menyerang predator

Enthomopagus dan spesies lain. Formula Bti cenderung secara cepat


29

mengendap di dasar wadah, karena itu dianjurkan pemakaian yang berulang kali.

Racunnya tidak tahan sinar dan rusak oleh sinar matahari.

3. Manajemen lingkungan

Lingkungan fsik seperti tipe pemukiman, saran-prasarana penyediaan air,

vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya habitat

perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor Demam Berdarah Dengue (DBD).

Nyamuk Aedes Aegypti sebagai nyamuk pemukiman mempunyai habitat utama

di kontainer buatan yang berada didaerah pemukiman. Manajemen lingkungan

adalah upaya pengelolaan lingkungan sehingga tidak kondusif sebagai habitat

perkembangbiakan atau dikenal sebagai Source Reduction seperti 3M plus

(menguras, menutup, memanfaatkan barang bekas, dan plus; menyemprot,

memelihara ikan predator, menabur larvasida dan lain-lain) ; dan menghambat

pertumbuhan vektor (menjaga kebersihan lingkungan rumah, mengurangi

tempat-tempat yang gelap dan lembab di lingkungan rumah dan lain-lain).

4. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

Pengendalian vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) yang paling efisien

dan efektif adalah dengan memutuskan mata rantai penularan pemberantasan

jentik. Pelaksanaannya dimasyarakat dilakukan melalui upaya pemberantasan

sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) dalam bentuk kegiatan 3

m plus. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, kegiatan 3 M plus ini harus

dilakukan secara luas/serempak dan terus menerus/berkesinambungan.

Cara pemberantasan sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD)

dengan 3 M, antara lain :

a. Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak

mandi/WC, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).

b. Menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air seperti gentong,

air/tempayan, dan lain-lain (M2).


30

c. Memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat

menampung air hujan (M3).

Selain itu ditambah (plus) dengan cara lain, seperti :

a. Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya

yang sejenis seminggu sekali.

b. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar atau rusak.

c. Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan

tanah, dan lain-lain).

d. Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit di kuras

atau di daerah yang sulit air.

e. Memelihara ikan pemakan jentik dikolam/bak-bak penampungan air.

f. Memasang kawat kasa.

g. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar.

h. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai.

i. Menggunakan kelambu.

j. Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk.

k. Cara-cara spesifik lainnya dimasing-masing daerah.

5. Pengendalian Vektor Terpadu (Intregrated Vector Management/ivm)

Pengendalian vektor terpadu merupakan konsep pengendalian vektor yang

diusulkan oleh WHO untik mengefektifkan berbagai kegiatan pemberantasan

vektor oleh berbagai institusi. Pengendalian vektor terpadu dalam pengendalian

vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) saat ini lebih difokuskan pada

peningkatan peran serta sektor lain melalui kegiatan Pokhanal Demam Berdarah

Dengue (DBD), kegiatan PSN anak sekolah dan lain-lain.


31

2.2.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil pengindraan manusia, atau hasil

tahu seseorang terhadap suatu objek melalui indra yang dimilikinya. Dengan

sendirinya pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan pengetahuan

tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap

obyek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra

pendengaran (telinga) dan indra penglihatan (mata) (Notoatmodjo, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Roger tahun 1974 (dalam Notoatmodjo,

2010), diketahui bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang

sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour).

Penelitian tersebut diketahui bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan

akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut

akan terjadi proses yang berurutan, yaitu :

a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau obyek tersebut, di sini sikap

subjek sudah mulai timbul.

c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik atau tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responeden sudah lebih baik lagi.

d. Trial, subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang

dikehendaki oleh stimulus.

e. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.


32

Secara garis besarnya, pengetahuan dibagi dalam 6 tingkatan

pengetahuan yaitu :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami suatu obyek bukan sekedar tahu terhadap obyek tersebut, tidak

sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat

menginterpretasikan secara benar tentang obyek yang diketahui tersebut.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan apabila orang-orang yang telah memahami obyek yang

dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui

tersebut pada situasi yang lain.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan sesorang untuk menjabarkan dan atau

memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen

yang terdapat dalam suatu masalah atau obyek yang diketahui.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk merangkum atau

meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen

pengetahuan yang dimiliki.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan

sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau

norma-norma yang berlaku di masyarakat.


33

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek

penelitian atau responden. Kedalamam pengetahuan yang ingin diketahui atau

diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas. Pada penelitian ini,

pengetahuan yang ingin diukur adalah pengetahuan keluarga tentang penyakit

Demam Berdarah Dengue, penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue, tanda-

tanda orang menderita penyakit Demam Berdarah Dengue, Cara penyebaran

penyakit Demam Berdarah Dengue, cara pencegahan Demam Berdarah

Dengue, dan program puskesmas untuk pemberantasan Demam Berdarah

Dengue.

2.2.2. Sikap

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau obyek

tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan

(senang – tidak senang, setuju – tidak setuju, baik – tidak baik, dan sebagainya)

(Notoatmodjo, 2010). Newcomb (dalam Notoatmodjo, 2010) menyatakan bahwa

sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan

merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain fungsi sikap belum

merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan

predisposisi perilaku (tindakan), atau reaksi tertutup.

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap juga terdiri dari tindakan-

tindakan berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut:

1. Menerima (Receiving)

Menerima dapat diartikan bahwa orang atau subyek mau menerima stimulus

yang diberikan (obyek).


34

2. Menanggapi (Responding)

Menanggapi diartikan memberikan jawaban atau terhadap pertanyaan atau

obyek yang dihadapi.

3. Menghargai (Valuing)

Menghargai diartikan subyek atau seseorang memberikan nilai yang positif

terhadap obyek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain,

bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain

merespon.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatnya adalah bertanggung jawab terhadap apa

yang telah diyakininya. Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu

berdasarkan keyakinannya, dia harus berani mengambil risiko bila ada orang

lain yang mencemoohkan atau adanya risiko lain.

Menurut teori reason action yang dikembangkan oleh Fesbein dan Ajzen

(1980) dalam Notoatmodjo (2010) menekankan pentingnya peranan dari

Intention atau niat sebagai alasan atau faktor penentu perilaku. Selanjutnya niat

ini ditentukan oleh :

1. Sikap

Penilaian yang menyeluruh terhadap perilaku atau tindakan yang akan

diambil.

2. Norma Subyektif

Kepercayaan terhadap pendapat orang lain apakah menyetujui atau tidak

menyetujui terhadap tindakan yang akan diambil tersebut.

3. Pengendalian Perilaku

Bagaimana persepsi terhadap konsekuesi atau akibat dari perilaku yang

akan diambilnya.
35

Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang

sama dengan wawancara untuk mengukur pengetahuan. Bedanya hanya pada

substansi pertanyaan saja. Bila pada pengukuran pengetahuan pertanyaan-

pertanyaannya menggali jawaban apa yang diketahui oleh responden, namun

pada pengukuran sikap pertanyaan-pertanyaannya menggali pendapat atau

penilaian responden terhadap obyek. Pada penelitian ini, sikap yang ingin diukur

adalah sikap masyarakat terhadap kejadian DBD.

2.2.3. Perilaku

Determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku

merupakan resultan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal

(lingkungan). Teori Precede – Proceed yang dikembankan oleh Lawrence Green

yang dirintis sejak tahun 1980, mencoba manganalisi perilaku manusia dari

tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua

faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavio causes) dan faktor di luar perilaku

(non-behavior causes) (Notoatmodjo, 2010).

Perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yakni :

1. Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors), yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.

2. Faktor-faktor Pemungkin (Enabling Factors), yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan.

3. Faktor-faktor penguat (Reinforcing Factors), yang terwujud dalam sikap dan

perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya.

Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme)

terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem

pelayanan kesehatan, makana dan muniman serta lingkungan (Soekidjo

Notoatmodjo, 2003: 117).


36

Perilaku sehat adalah pengetahuan, sikap dan tindakan proaktif untuk

memelihara dan mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari

ancaman penyakit (Depkes RI, 2002: 3).

Seorang ahli kesehatan Becker (Soekidjo Notoatmodjo, 2013:118)

mengklasifikasikan perilaku kesehatan sebagai berikut :

1. Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya

atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan

kesehatannya.

2. Perilaku sakit (ilness behaviour)

Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit,

persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala,

pengobatan penyakit dan sebagainya.

3. Perilaku peran sakit (the sick role behaviour)

Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran yang mencakup

semua hak-hak orang sakit (right) dan kewajiban sebagai orang sakit

(obligation). Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit maupun

orang lain (terutama keluarga) yang selanjutnya disebut perilaku peran orang

sakit.

Perilaku ini meliputi :

a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan

b. Mengenal/mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan/ penyembuhan

penyakit yang layak.

Mengetahui hak (misalnya: hak memperoleh perawatan, memperoleh

pelayanan kesehatan dan sebagainya) dan kewajiban orang sakit

(memberitahukan penyakitnya kepada orang lain terutama kepada

dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain, dan

sebagainya).
37

Perilaku kesehatan yang mempengaruhi penurunan angka kejadian

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah sebagai berikut :

1. Membersihkan tempat penamungan air seminggu sekali, seperti air di vas

bunga, air tempat minum burung.

2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air seperti tempayan, bak mandi

dan tempat penampungan air bersih yang memungkinkan tempat

berkembang biak nyamuk, hendaknya ditutup rapat-rapat.

3. Menguras tempat penampungan air sekurang-kurangnya 1 minggu sekali

seperti bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air bersih.

4. Mengubur barang-barang bekas seperti ban bekas, kaleng-kaleng bekas,

tempurung kelapa.

5. Membuang sampah pada tempatnya atau membakarnya seperti plastik

bekas air mineral, potongan bambu, tempurung kelapa dan lain-lain yang

dapat menampung air hujan hendaknya dibuang ditempat sampah atau

segera membakarnya.

6. Mengantung pakaian.

Faktor risiko tertular penyakit Demam Berdarah Dengue adalah rumah atau

lingkungan dengan baju atau pakaian bergantungan yang disukai nyamuk

untuk beristirahat.

7. Memakai kelambu

Orang yang tinggal di daerah endemis dan sedang wabah Demam Berdarah

sebaiknya waktu tidur memakai kelambu. Terutama waktu tidur siang hari,

karena nyamu Aedes Aegypti menggigit pada siang hari.

8. Memakai lotion anti nyamuk

Pada waktu tidur lengan dan kaki dibaluri lation anti nyamuk agar terhindar

dari gigitan nyamuk Aedes Aegypti.


38

9. Menaburkan bubuk abate

Bubuk abate ditaburkan kedalam wadah-wadah air di dalam rumah.

10. Memelihara ikan pemakan jentik seperti ikan kepala timah, ikan

cupang/tempalo dan lain-lain)

11. Mengikuti kegiatan pencegahan dan penanggulangan penyakit Demam

Berdarah Dengue di lingkungan tempat tinggal (Kemenkes RI, 2011: 14).

Anda mungkin juga menyukai