Anda di halaman 1dari 3

HASIL KAJIAN WALHI SULAWESI SELATAN TERHADAP OMNIBUS LAW

“Omnibus Law Semakin Melemahkan Sistem Perlindungan Negara terhadap Rakyat


dan Lingkungan Hidup, Bertentangan Dengan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dan
Bereskiko menciptakan ecocide di Indonesia”

Penulis:

Muhammad Al Amin
(Direktur Eksekutif WALHI Sulsel)

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan telah melakukan


penelitian mengenai UU Omnibus yang saat ini sedang dibahas oleh pemerintah pusat
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Pada saat yang sama, UU Omnibus juga
menuai konflik di antara masyarakat Indonesia, khususnya tenaga kerja, petani,
nelayan, aktivis lingkungan dan perempuan.

WALHI Sulsel sampai saat ini berada pada kesimpulan bahwa undang-undang baru
(peraturan) terkait Omnibus Law / UU Cipta Kerja akan melemahkan system
perlindungan negara terhadap masyarakat rentan dan lingkungan hidup dan sudah pasti
bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan serta beresiko terjadi
ecocide atau suatu kondisi dimana rakyat sengsara karena kerusakan lingkungan dan
pelanggaran HAM lainnya. Berikut ini adalah catatan dan sikap WALHI Sulsel tentang
Hukum Omnibus:

A. Omnibus Law mengubah sistem desentralisasi menjadi resentralisasi.

Pasca reformasi pada tahun 1998, Indonesia telah mengalami perbaikan dan
peningkatan dalam tata pemerintahan yakni dari pemerintahan sentralistik ke
pemerintahan desentralistik. Sistem pemerintahan desentralistik ditandai dengan
besarnya otoritas pemerintah daerah dalam membuat peraturan yang sesuai
dengan kondisi geografis daerah dan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di
daerah. Selain itu, pemerintah daerah saat ini juga memiliki kewenangan untuk
mengeluarkan izin ataupun mencabut izin ketika izin tersebut memberi dampak
buruk bagi masyarakat dan lingkungan.

Oleh karena itu, pada dasarnya rencana pemerintah menerbitkan Undang-Undang


Omnibus Law merupakan langkah mundur bagi tata kelola pemerintahan di
Indonesia, karena Omnibus Law secara tegas berencana untuk mengembalikan
system pemerintahan orde-baru (rezim otoriter) yakni sentralistik, dimana
pemerintah pusat akan mengendalikan semua pembuatan peraturaan daerah
bahkan menghapus seluruh kewenangan perizinan yang dimiliki oleh pemerintah
daerah. Kemudian, pemerintah pusat juga dapat menghapus peraturan-peraturan
daerah yang bertentangan dengan kebijakan pusat. Hal ini sama saja bahwa seluruh
kebijakan harus bersifat sentralistik.
Buktinya dalam Pasal 18 (1) RUU Omnibus menjelaskan bahwa perencanaan tata
ruang wilayah harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat. Pada Pasal
19 (1) UU Omnibus mengatur bahwa konsultasi publik dilakukan kepada pihak yang
berkepentingan, pengembang, dan pengguna properti negara. Dua artikel ini akan
menghilangkan keterlibatan pemerintah daerah dan konsultasi publik secara
keseluruhan, terutama yang terkena dampak langsung proyek. Pemerintah pusat
akan membatasi konsultasi publik kepada pihak-pihak yang disebutkan di atas.
Selanjutnya, mengenai konsultasi itu akan diatur ke Peraturan Pemerintah (PP) oleh
pemerintah pusat.

B. Omnibus Law Menghapus Persyaratan Hukum Lingkungan dan Hak Asasi Manusia
di semua proyek pembangunan / pengelolaan SDA, termasuk infrastruktur.

Dalam Pasal 23 ayat 4 RUU Omnibus Law, izin lingkungan dihapus dan diubah
menjadi izin usaha. Pada dasarnya, ketentuan yang selama ini dugunakan terkait
perizinan proyek pembangunan termasuk infrastruktur adalah izin lingkungan yang
dikeluarkan melaui beberapa syarat izin pendukung, antara lain izin lokasi, izin
prinsip, izin eksplorasi, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, dan kelayakan
lingkungan hidup. Dengan demikian, UU Omnibus menghilangkan sebagian besar
proses perizinan dan penilaian lingkungan dalam pembangunan.

Saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan
pra-kondisi untuk penghapusan izin lingkungan dengan mengeluarkan Peraturan
Menteri (Permen) Nomor 6 Tahun 2020 tentang delegasi/pengalihan kewenangan
terkait penerbitan izin usaha, lingkungan hidup dan kehutanan kepada Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Kehadiran peraturan menteri ini
menunjukkan bahwa pemerintah, dalam hal ini KLHK, telah melepaskan tanggung
jawab untuk melakukan perlindungan lingkungan dan sosial. Mengacu pada sifat
BKPM yang lebih beroirentasi pada pertumubuhan ekonomi dan investasi. Tentu
BKPM tidak memilki orientasi pada perlindungan sosial dan lingkungan hidup
sebagaimana fungsinya. Selain itu, kondisi ini sangat beresiko terhadap meluasnya
kerusakan lingkungan dan bencana alam serta kemiskinan dan kriminalitas di
Indonesia.

Selain itu, Omnibus Law juga sangat berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
Dalam Undang-Undang Omnibus pasal 171 mengatur hak izin tanah dan atau
konsesi lahan. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa tanah yang ditinggalkan dan
tidak digunakan dalam waktu dua tahun akan dicabut dan diambil oleh negara yang
kemudian dimasukkan dalam mekanisme land bank untuk kebutuhan investasi.
Ketentuan ini sangat jauh dari semangat perlindungan melainkan sudah bentuk
pelangaran HAM. Bila ketentuan ini dijalankan maka akan menimbulkan implikasi
berupa perampasan tanah masyarakat yang dianggap tidak dikelola dengan baik.
Kemudian dalam Pasal 50 UU Omnibus mengatur kewenangan perencanaan tata
ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang semula merupakan kewenangan
pemerintah daerah ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat. Ini akan
menimbulkan konflik di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil karena prencanaan
pembangunan pesisir tidak melibatkan partisipasi publik dan tidak
mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

C. Omnibus Law Melemahkan system demokrasi, pembangunan berkelanjutan dan


memicu konflik structural (Masyarakat vs Negara-MDBs)

Di berbagai daerah di Indonesia, NGO atau CSO memiliki peran penting dalam
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dalam dua puluh tahun
terakhir, NGO telah berkontribusi dalam memperkuat sistem pembangunan
berkelanjutan hingga di level desa, di mana masyarakat termasuk masyarakat adat
telah terlibat aktif dalam pembangunan mulai dari proses perencanaan,
pelaksanaan, hingga tahap evaluasi. Dampak dari meningkatnya partisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan yakni menurunnya konflik.

Kehadiran UU Omnibus sebagai pengganti 82 undang-undang tentu akan merusak


seluruh struktur dan sistem pembangunan berkelanjutan yang telah dibangun oleh
NGO bersama-sama dengan masyarakat. Dengan demikian, ini juga akan
memunculkan konflik sumber daya alam yang besar dan berkepanjangan, serta
menyengsarakan kehidupan rakyat di berbagai daerah di Indonesia.

D. Omnibus Law Menghilangkan Hak-Hak Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat

Masyarakat adat adalah kelompok yang paling rentan dan paling sering diabaikan
dalam proses pembangunan dan persyaratan hukum di Indonesia. Mayoritas dari
masyarakat adat hidup dan mencari penghidupan di area hutan, pesisir dan pulau-
pulau kecil. Namun sering kali pembangunan terutama proyek infrastruktur
menggusur mereka dari wilayah mereka. Maka seharusnya dilakukan pemerintah
Indonesia adalah menerbitkan kebijakan perlindungan untuk memastikan
keberlanjutan hidup masyarakat adat yang tersebar di berbagai daerah di
Indonesia.

Akan tetapi, saat ini pemerintah baru saja merencanakan untuk menerbitkan
Omnibus Law yang isinya menghilangkan perlindungan bagi masyarakat adat.
Rancangan Undang-Undang Omnibus Law yang diusulkan pemerintah secara jelas
menghilangkan persyaratan hukum untuk AMDAL, konsultasi publik, FPIC yang
diperlukan untuk melindungi kehidupan masyarakat adat yang terkena risiko atau
selalu terdampak setiap proyek infrastruktur. Dengan demikian, koalisi pemantau
pembangunan infrastruktur sangat yakin bahwa kebijakan Omnibus Law akan
mengusir dan memiskinkan bahkan akan menghilangkan keberadaan masyarakat
beserta kearifan local yang mereka miliki.

++ Selesai ++

Anda mungkin juga menyukai