Latar Belakang Wim
Latar Belakang Wim
Latar belakang
Dewasa ini kita tengah memasuki suatu zaman baru yang ditandai
dengan menguatnya paham pasar bebas, yang dikenal dengan zaman globalisasi.
Globalisasi sebagai sebuah proses bergerak amat cepat dan meresap ke segala
aspek kehidupan baik itu aspek ekonomi, politik, sosial budaya, maupun
pendidikan. Gejala khas dari proses globalisasi ini adalah kemajuan ilmu
menjadi realita yang tidak terelakan dan menantang. Namun, globalisasi sebagai
sebuah proses bersifat ambivalen satu sisi membuka peluang besar untuk
akan tetapi di sisi lain peradaban modern yang di kuasai oleh budaya ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin jauh dari nilai humanisasi dan etis . hal
ini di dasarkan pada kenyataan bahwa kemajuan manusia dewasa ini pada bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berbanding lurus dengan peningkatan moral
dalam satu sisih kemajuan pengetahuan dan teknologi memang membuat manusia
lebih muda menyelesaikan perkara hidup namun di sisih lain berdampak negatif
yaitu ketika ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi berfungsi sebagai
dinding peradaban yang dibangun oleh nenek moyang kita seperti tatanan adat
kejujuran, kerukunan dan kesetia kawanan lambat laun digeser oleh otonomi
manusia untuk tidak mengenal batas-batas hak dan wewenang dalam kehidupan
sosial .
prancis atau lebih di kenal dengan revolusi borjois dan hal tersebut menjadi
simbol kebebasan segala zaman. Dalam humanisme baru ini manusia modern
dan cenderung melepaskan diri dari keterikatan normatif yang dianngap telah
berkuasa penuh atas dirinya sendiri. Ini tercermin dari sikap manusia yang tidak
hanya ingin mengolah alam semesta namun lebih ingin menguasai demi
Yang diutamakan adalah kebebasan pribadi, dan hak-hak orang lain dilupakan.
Sikap ini sering kali menjerumuskan manusia ke dalam perbenturan dengan pihak
entitas sosial dan tidak berdampingan dengan sesama. Akibatnya nilai nilai moral
harus diakui bukanlah persoalan baru. Banyak ahli pendidikan dalam merumuskan
bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan. Bahkan sering dikatakan
bahwa terbentuknya moral yang baik pada subyek didik merupakan tujuan hakiki
menegaskan bahwa
program pendidikan, atau dengan kalimat lain meskipun dalam setiap satuan
pendidikan moral secara khusus tetap diperlukan guna memberikan arah atau
Dengan demikian kajian tentang konsep pendidikan moral secara spesifik bukan
suatu hal yang mengada-ada dan tumpang tindih (overlapping) dengan konsep
1
Muhammad Atiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. H. Bustami Dan
Johar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang, 1970) hal. 1
2
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam:Pemeliharaan Kesehatan Jiwa, Terj.
Khalilullah Ahmad Masykur (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1990) hal. 169
pendidikan secara umum. Dalam konteks pendidikan Islam, konseptualisasi
pemikiran itu dirasa kurang memadai. Hal ini didasarkan pada kenyataan masih
sebagai koreksi diri atas kelemahan kelemahan dari khazanah pemikiran yang
dimiliki. Oleh karena itu perlu adanya kajian terhadap pemikiran tokoh-tokoh
konsep pendidikan moral yang baik untuk dihidupkan di masa sekarang dan
jiwa dan pendidikan adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali,
Dalam sejarah pemikiran Islam al-Ghazali dikenal sebagai ahli dan praktisi
pendidikan, agama, hukum Islam, dan memiliki keilmuan yang luas mengenai
banyak mengulas tentang pendidikan akhlak (moral). Hal ini bisa dilihat dari
3
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian Dan Kesehatan
Mental (Jakarta:CV Ruhama,1994) hal.17
Mi’raj al-Salikin dan Ayyuha al-Walad. Pengertian pendidikan menurut al-
Ghazali tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh para ahli
Ghazali adalah upaya tazkiyah al-nafs dengan cara takhliyah al-nafs dan tahliyah
al-nafs. Takhliyah al-nafs adalah usaha penyesuaian diri melalui pengosongan diri
dengan moral dan sifat terpuji.5 Dengan demikian pemikiran al-Ghazali tentang
pendidikan moral sejalan dengan filsafatnya yang religius dan sufistik. 6 Amin
Abdullah dalam bukunya Filsafat Etika Islam, antara Al-Ghazali dan Kant juga
Sumber moral adalah wahyu dan Al-Ghazali menolak rasio sebagai prinsip
pengarah dalam tindakan etis manusia. Dalam hal ini peran rasio tidak dibutuhkan
secara optimal. Jika dibutuhkan, itupun hanya bersifat periferal. Al-Ghazali lebih
keutamaan mistis.
pribadi yang bermoral. Keduanya menekankan pada peran sentral guru atau
4
Musya Asy’ari (Ed), Islam, Kebebasan Dan Perubahan Sosial, Sebuah Bunga Rampai Filsafat
(Jakarta: Sinar Harapan, 1984) hal. 68
5
Ibid, Yahya Jaya, hal 36
6
Fatiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikn Akhlak Al-Ghazali Terj. Ahmad Hakim dan Imam
Aziz (Jakarta: P3M,1990) hal. 4
7
M. Amin Abdullah, Antara Al- Ghazali Dan Kant: Filsatat Etika Islam, Penerj. Hamzah
(Bandung: Mizan, 2002) hal. 40
pembimbing moral dengan konsep teacher centered dalam metode
moral harus menekankan peranan sentral guru dalam pendidikan dengan metode
budaya dan pemikiran, maka penulis merasa perlu untuk meneliti secara kritis dan
B. Rumusan masalah
pendidikan moral?
1. Al-Gazali
sufi abad pertengahan. Lahir pada 1058 M/450 H di desa Ghazalah, di Thus
(sekarang dekat Meshed),8 sebuah kota Persia.
Setelah ayahnya meninggal dunia ia dan saudaranya dididik oleh Ahmad bin
mempelajari Fiqh. Namun setelah sufi tersebut tidak sanggup lagi mengasuh
465 H, sebuah kota di Persia yang terletak antara kota Tabristan dan Nisabur .
kepada seorang fakih yang bernama Abu al-Qasim Isma’il bin Mus’idah al-
Isma’iliy atau yang populer dengan nama Imam Abu Nasr al-Isma’iliy. 9 Setelah
Nisabur pada tahun 470 H. untuk belajar kepada salah seorang ulama
Asy’ariyyah.
2. Pendidikan Moral
8
Wilayah Thus sendiri Terdiri dari dua Kotapraja, yaitu Thaburan dan Nawqan, sebuah kota kecil
yang sangat cocok, dibangun dengan kokoh, dan merupakan daerah yang padat penduduknya.
Wilayah tersebut juga terkenal dengan perairan dan pepohonannya serta kandungan mineral di
sekitar daerah barisan pegunungan. Daerah ini juga lebih dikenal sebagai tempat kelahiran
beberapa tokoh terkemuka dalam sejarah Islam seperti Wazir Nizam al-Mulk, ‘Umar
Khayyam, Shahrastani, Raghib Isfahaniy, Ibnu Tumart, dll. yang hidup sezaman dengan al-
Ghazali. Lihat Margaret Smith, al-Ghazali The Mystic (Lahore: Kazi Publication, t.t.), hal. 9. Lihat
juga dalam M. ‘Umaruddin, The Ethical Philosophy of al-Ghazali, (Delhi: Publisher &
Distributors, 1996), hal. 29.
9)
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.Cit, hal. 404.
Berdasarkan analisis terhadap hakekat jiwa, potensi dan fungsinya, Al-Ghazali
berpendapat bahwa moral dan sifat seseorang bergantung kepada jenis jiwa yang
berkuasa dalam dirinya. Kalau jiwa yang berkuasa nabbati dan hewani maka
moral dan sifat orang tersebut menyerupai nabbati dan hewani. Akan tetapi
apabila yang berkuasa jiwa insaniyyah maka orang tersebut bermoral seperti insan
kamil.
manusia. Ia juga menganggap penting unsur ini karena ruhani sangat memerlukan
membentuk manusia yang suci jiwanya dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah