Anda di halaman 1dari 13

BAB I 

PENDAHULUAN 

1.1.Latar Belakang Masalah 


Dalam proses pembelajaran saat ini,nilai tidak hanya berdasarkan kemamouan siswa saja
berdasarkan kemampuan akademiknya saja tetapi juga berdasarkan sikap dan tingkah laku siswa
tersebut terhadap gurunya. Banyak dari siswa yang saat ini tidak tahu bagaimana ia seharusnya
bersikap terhadap gurunya. Terkadang beberapa dari sikap dan perkataan mereka dianggap
kurang sopan namun mereka tidak menyadari hal tersebut.Disini pendidikan hendaknya
bagaimana merubah pengetahuan atau ilmu yang mereka dapat itu menjadi tingkah laku dan
bagaimana mereka menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. 
Etika itu harus diajarkan sejak dari dini agar para murid tahu siapa dirinya dan kepada siapa saja
mereka harus hormat. Sehingga nantinya akan tampak jelas peran orang tua dalam mendidik
mereka dan juga akan tampak bagaimana mereka merealisasikan ilmu yang telah merek dapat
dalam kehidupan sehari-hari. 

1.2. Rumusan Masalah 


Adapun rumusan masalah pada pembahasan kali ini adalah: 
a. Apa itu guru dan apa itu murid ?  
b. Bagaimana etika siswa kepada guru ?
c. Bagaimana etika siswa sesama siswa ?
d. Bagaimana etika siswa kepada orang tua ?
e. Bagaimana etika siswa dalam pembelajaran ?

1.3 .Tujuan Pembahasan 


Tujuan dari pembahasan ini adalah: 
a) Untuk mengetahui bagaimana seharusnya murid bersikap terhadap dirinya, disini maksudnya
bagaimana supaya mereka bisa menghargai diri mereka sendiri. 
b) Untuk mengetahui bagaimana sebaiknya murid yang beretika terhadap guru mereka.
c) Untuk mengetahui bagaimana sebaiknya siswa yang beretika terhadap kedua orang tua.
d) Untuk mengetahui bagaimana sebaiknya siswa yang beretika dalam proses pembelajaran.

1.4. Metode Pengumpulan Data 


Dalam pengumpulan data kali ini, metode yang digunakan adalah studi keperpustakaan. Dan
juga penulis mengambil beberapa data dari buku online yang berhubungan dengan topic yang
akan dijelaskan. 
BAB II 
PEMBAHASAN 

A. Pengertian Guru 
Dalam literature kependidikan islam, kata guru juga sering dikatakan dengan Ustadz,mu’alim,
murrabiy, muddaris dan muaddib. Sedangkan menurut Muhammad Ali al-Khuli dalam kamusnya
“Dictionary of Education; English-Erobic”, kata “guru” disebut juga dengan mu’allim dan
muddaris. 
Kata ustadz biasa digunakan untuk memanggil seorang professor.Ini mengandung makna
bahwa seorang guru dituntut prosionalisme dalam mengemban tugasnya. Seorang dikatakan
professional bilamana pada dirinya melihat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap
komitmen terhadap mutuproses dan hasil kerja, serta sikap continuous improvement, yaitu selalu
berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan
tuntutan zamannya. Yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah
tugas menyiapakam generasi penerus yang akan hidup pada zamannya dimasa depan.
Kata “mu’allim” berasal dari kata dasar ilm yang menangkap hakekat sesuatu.Dalam setiap ilmu
terkandung dimensi teoritis dan dimensi amaliyah.Ini mengandung makna seorang guru dituntut
untuk mampu menjelaskan hakekat ilmu pengetahuan yang diajarkannya, sertamenjelaskan
dimensi teoritis dan praktisnya, dan berusaha membangkitkan siswa untuk mengamalkannya. 
Dalam hal ini, sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Alaq: 5 sebagai berikut: 

“ Dia mengajarkan manusia apa yang mereka tidak ketahui” 

Ayat ini berindikasi bahwa Allah mengajarkan baca tulis dengan perantara pena. Dan pengajaran
itu berupa hal-hal yang tidak diketahui. Jadi pendidikan dalam arti ta’lim menunjukkan proses
pemberian informasi kepada obyek didik sebagai makhluk yang berakal, di samping itu pula
ta’lim juga menjadi indikator kelebihan manusia sebagai peserta didik karena kepemilikan akal
pada dirinya. 

Jadi, tugas guru adalah mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus
mengatur dan memelihara hasil karyanya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya,
masyarakat dan alam sekitarnya.

Dengan demikian, seorang guru dituntut untuk sekaligus melakukan transfer of knowledge,
internalisasi dan amaliyah (implementasi).Boleh dikatakan bahwa guru tidak hanya mengenalkan
sebuah konsep dari suatu ilmu, tapi lebih dari itu, seorang guru mampu menerapkan adanya
konsep itu.Melihat dari usaha-usaha guru di atas, maka kedudukan guru dalam Islam merupakan
realita dari ajaran itu sendiri.Tidak boleh tidak, Islam pasti memuliakan guru.Tak terbayangkan
terjadinya perkembangan pengetahuan tanpa adanya orang belajar dan mengajar; tak
terbayangkan adanya belajar mengajar tanpa adanya guru, karena Islam adalah agama.Maka
pandangan tentang guru, kedudukan guru tidak terlepas dari nilai-nilai kelangitan.
B. Pengertian Murid
Kata “murid” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai pengertian orang yang
sedang berguru.Menurut Ahmad Warson Al-Munawwir dalam kamusnya “Al-Munawwir”
bahwa “murid” adalah orang yang masa-masa belajar.Sedangkan kata “murid” menurut John M.
Echold dan Hassan Shadily adalah orang yang belajar (pelajar).Istilah lain yang berkenaan
dengan murid (pelajar) adalah al-thalib.Kata ini berasal dari bahasa Arab, thalaba, yathlubu,
thalaban, thalibun yang berarti “orang yang mencari sesuatu”.Pengertian ini dapat dipahami
karena seorang pelajar adalah orang yang tengah mencari ilmu pengetahuan,pengalaman, dan
keterampilan dan pembentukan kepribadiannya untuk bekal kehidupannya di masa depan agar
berbahagia dunia dan akhirat.

Kata al-thalib ini selanjutnya lebih digunakan untuk pelajar pada perguruan tinggi yang
selanjutnya disebut mahasiswa. Penggunaan kata althalibuntuk mahasiswa dapat dimengerti
karena seorang mahasiswa sudah memiliki bekal pengetahuan dasar yang iaperoleh dari tingkat
pendidikan dasar dan lanjutan, terutama pengetahuan tentang membaca, menulis dan berhitung.
Dengan bekal pengetahuan dasar ini, ia diharapkan memiliki bekal untuk mencari, menggali dan
mendalami bidang keilmuan yang diminatinya dengan cara membaca, mengamati, memilih
bahan-bahan bacaan, seperti buku-buku, surat kabar, majalah, fenomena sosial melalui berbagai
peralatan dan sarana pendidikan lainnya, terutama bahan bacaan. Bahan bacaan tersebut setelah
dibaca, ditelaah dan dianalisa selanjutnyadituangkan dalam berbagai karya ilmiah seperti artikel,
makalah, skripsi, tesis, desertasi, laporan penelitian dan lain sebagainya.Dengan demikian, dalam
arti al-thalib, seorang murid lebih bersifat aktif, mandiri, kreatif dan tidak bergantung kepada
guru. Bahkan dalam beberapa hal ia dapat meringkas, mengkritik dan menambahkan informasi
yang disampaikan oleh guru atau yang lebih dikenal sebagai dosen atau supervisor. Dalam
kontek ini seorang dosen harus bersikap demokratis, memberi kesempatan dan menciptakan
suasana kelas yang bebas, untuk mendorong mahasiswa untuk memecahkan masalah-masalah
yang mereka hadapi. Kesempatan belajar yang diciptakan dosen adalah agar merangsang para
mahasiswa belajar, berfikir, melakukan penalaran yang memungkinkan para mahasiswa dan
dosen tercipta hubungan sebagai mitra. Minat dan pemahaman, timbal balik antara dosen dan
mahasiswa ini akan memperkaya kurikulum dan kegiatan belajar mengajar pada bersangkutan.

C. Etika Murid 
a. Etika Murid terhadap dirinya 

  Berniat ikhlas karena Allah semata. 

Sebelum memulai pelajaran, siswa harus lebih dahulu membersihkan dirinya dari segala sifat
buruk karena belajar itu termasuk ibadah, dan ibadah yang diterima Allah adalah ibadah yang
dilakukan dengan tulus ikhlas. Oleh karena itu, belajar yang diniatkan bukan karena Allah akan
sia-sia. Nabi SAW bersabda: artinya: “ Sesungguhnya amal perbuatan itu dilandasi atas niat…” 
Hendaknya tujuan pendidikan itu karena takut kepada Allah SWT dan untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: 

“ Pelajarilah ilmu karena sesungguhnya mempelajarinya karena Allah adalah sebentuk takut
kepada-Nya.” 
 Jangan meninggalkan suatu mata pelajaran sebelum benar-benar menguasainya. 
 Bersungguh-sungguh dan tekun belajar, siang dan malam, dengan terlebih dahulu
mencari ilmu yang lebih penting. 
 Tawaddu’, iffah, sabar, dan tabah, wara’, dan tawakal. 
 Disiplin dan selektif memilih lingkungan (pendidikan).

Islam sangat mengutamakan kedisiplinan, terutama penggunaan waktu, bahkan Allah SWT
bersumpah demi masa (waktu). Rasulullah SAW sendiri mewaspadai betul waktu, sehingga
beliau bersabda:

“ Pergunakanlah lima kesempatan sebelum datang lima kesempitan: sehatmu sebelum sakitmu,
waktu lapangmu sebelum waktu sempitmu, masa mudamu sebelum masa tuamu, masa kayamu
sebelum masa miskinmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu”. (H.R. Baihaqi) 

Kemudian murid juga selektif dalam membentuk lingkungan pergaulan, karena lingkungan turut
membentuk corak pendidikan, perilaku, dan pola pikir seseorang. Seperti sabda Nabi SAW: 

” Perumpamaan sahabat yang baik dan sahabat yang buruk itu bagaikan pembawa misik (kasturi)
dan penyulut api. Pembawa kasturi terkadang memberi kepadamu atau kau membeli dirinya, atau
(paling tidak) kamu mencium bau harumnya. Adapun penyulut api, kalau tidak membakar
pakaianmu, maka kamu mendapat bau baranya”.

b. Etika Sesama Murid


.
1. Menyintai kepada sesama murid seper-mursyidan dan sebagaimana menyintai dirinya
sendiri.
2. Mendahului memberi salam, dilangsungkan berjabat tangan dan ditambah perkataan
yang menyejukkan ketika berjumpa.
3. Bergaul dengan mereka dengan pergaulan yang baik, sopan dan menyenangkan.
4. Berbuat tawadluk kepada mereka, sehingga tidak ada tanggapan bahwa dirinya merasa
lebih dekat dengan Syaikh dan keluarganya, merasa lebih senior, dll.
5. Berusaha mendamaikan jika melihat, mengerti dan mengetahui teman seper-guruan
ada yang berbeda pendapat yang menyebabkan permusuhan.
6. Bertanya nama & alamat jika awal ketemu dengan sesama murid thoriqoh dan jangan
lupa bertanya nama ayahnya.
7. Berkata jujur setiap berkata dengan sesama murid agar tidak timbul mengadu domba
terhadap sesama.
8. Jangan sekali-kali menjatuhkan nama baik teman seper-guruan, terutama jika teman
lain sedang menerima ujian.
9. Memenuhi janji yang telah dijanjikan kepada temannya selama tidak menyebabkan
melakukan ma’siyat.
10. Mau menerima ‘udzur (alasan) teman seper-guruan yang melakukan kesalahan
sekalipun bohong.
11. Menjahui satron-satronan terhadap sesama murid dengan membuang wajah ketika
bertemu lebih 3 hari 3 malam.

b. Etika Murid Terhadap Guru 

Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos(tunggal) atau ta etha(jamak) yang berarti watak,
kebiasaan dan adat istiadat. Pengertian ini berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik
pada diri seseorang maupun suatu masyarakat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi
lain. 

Dari pengertian diatas, kita hendaknya mencoba mengaitkan dengan kemajuan pendidikan
yang tidak hanya terpatri pada pengetahuan namun juga etika yang berdampak positif untuk anak
didik.Kemajuan sebuah bangsa sangat berbanding lurus dengan kemajuan pendidikannya,
rumusan ini sangat signifikan mengingat pendidikan adalah pondasi terhadap perubahan dari
tidak tahu menjadi tahu, dari lemah menjadi semangat, dari takut menjadi berani, semua ini
merupakan implikasi dari perkembangan pendidikan. 

Pendidikan merupakan ikhtiar yang strategis untuk kemajuan bangsa, dan kemajuan bangsa
harus ditopang dengan sumber daya manusia yang stabil akan nuansa akhlak, bukan hanya
tertera pada catatan yang terangkum di kurikulum dan materi ajar, melainkan nilai-nilai mulia
yang aplikatif terinternalisasi dalam diri manuisa. 

Keberhasilan pendidikan dapat dilihat dari perbaikan sikap dan perilaku peserta didik dalam
hal ini murid, karena tujuan utama dari pendidikan ialah memperbaiki kualitas manusia, maka
pendidikan yang berhasil ialah pendidikan yang menghasilkan manusia yang berpengetahuan dan
berakhlak mulia. Sebuah ungkapan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh, penanaman
moralitas yang terintegrasi dalam proses pendidikan dan pengajaran sedemikian penting, karena
kecerdasan Intelektual tanpa dikawal kecerdasan moral dan kecerdasan spiritual akan mengalami
keterpurukan didalam diri. 

Pada zaman Rasulullah dan para Sahabat murid itu mendapatkan kedudukan yang sangat
tinggi dalam proses pendidikan, karena murid itu adalah sosok yang sedang tumbuh dan
berkembang yang harus diperhatikan oleh pendidik. Dalam hal ini, para guru membuat aturan
bagaimana muridmampu merealisasikan aturan, sehingga dapat menciptakan proses
pembelajaran yang baik. 

Adapun mengenai etika murid terhadap guru, menurut Sa’id bin Muhammad Da’ib Hawwa itu
ada sepuluh: 

1. Mendahulukan kesucian jiwa dari pada kejelekan akhlak dan keburukan sifat, karena ilmu
adalah ibadahnya hati, shalatnya jiwa, dan peribadatannya batin kepada Allah. 

2. Mengurangi keterikatannya dengan kesibukan dunia, karena iktan-iktan itu menyibukkan dan
memalingkan kepada Allah. Jika pikiran terpecah maka tidak bisa mengetahui berbagai hakekat.
Oleh karena itu, ilmu tidak akan diberikan kepada seseorang sebelum seseorang tersebut
menyerahkan seluruh jiwanya. 
3. Tidak bersikap sombong kepada orang yang berilmu dan tidan tidak bertindak sewenang-
wenang terhadap guru, bahkan ia harus menyerahkan seluruh urusannya dan mematuhi
nasehatnya. Oleh karena itu, penuntut ilmu tidak boleh bersikap sombong terhadap guru. Di
antara bentuk kesombongannya terhadap guru adalah sikap tidak mau mengambil manfaat (ilmu)
kecuali dari orang-orang besar yang terkenal. 

4. Hendaknya seorang murid menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara mereka, baik
yang ditekuni itu termasuk ilmu dunia ataupun akhirat. Karena itu akan membingungkan akal
dan pikirannya, dan membuatnya putus asa dari melakukan pengkajian dan telaah mendalam. 

5. Seorang penuntut ilmu tidak boleh meninggalkan suatu cabang ilmu yang terpuji, atau salah
satu jenis ilmu, kecuali ia harus mempertimbangkan matang-matang dan memperhatikan tujuan
dan maksudnya. 

6. Hendaknya seorang tidak menekuni semua bidang ilmu secara sekaligus melainkan memulai
dengan yang lebih mudah. 

7. Hendaklah seorang murid tidak memasuki suatu cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu
yang sebelumnya. 

8. Hendaklah mengetahui faktor penyebab adanya ilmu yang mulia. Yang dimaksud adalah
kemulian hasil, kekokohan dan kekuatan dalil. 

9. Hendaklah tujuan murid di dunia adalah semata-mata untuk menghias dan mempercantik
hatinya dengan keutamaan, dan akhirat adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
meningkatkan diri untuk bisa berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan
orangorang yang didekatkan (muqorrobin). 

10. Hendaklah mengetahui kaitan dengan tujuan agar supaya mengutamakan yang tinggi. 

Sedangkan menurut Hasyim Asy’ari bahwa etika murid terhadap ada sepuluh macam yang harus
diketahui oleh murid:

1. Murid hendaknya membersihkan hati dari segala kotoran, agar ilmu mudah masuk pada
dirinya. 

2. Memfokuskan niat hanya semata-mata karena Allah dan beramal dengan ilmunya, menjaga
syariat, menerangi hati dan taqorrub Kepada Allah. 

3. Berusaha semaksimal mungkin untuk segera memperoleh ilmu, tidak tertipu oleh lamunan-
lamunan kosong atau kemalasan. 

4. Qona’ah dan sabar terhadap makanan dan pakaian yang sederhana agar segera memperoleh
kedalam ilmu dan sumber hikmah. 
5. Pandai mengatur waktu, sehingga semua potensi bisa dimanfaatkan secara maksimal. 

6. Makan sekedarnya, tidak terlalu kenyang, agar tidak menghambat ibadah dan memberatkan
badan.
 
7. Berusaha bersikap waro’ (hati-hati terhadap masalah haram, subhat dan sia-sia); memilih yang
halal bagi kebutuhan hidupnya agar hati senantiasa bersinar dan siap menerima cahaya ilmu dan
keberkahanya. 

8. Menghindari makanan yang menyebabkan kemalasan dan melemahkan keberanian, termasuk


juga menghindari hal-hal yang banyak menyebabkan lemahnya daya ingat. 

9. Menyedikitkan tidur selama tidak mengganggu kesehatan diri. 

10. Meninggalkan hal yang bisa menarik pada kesia-sian dan kelalaian dari belajar dan ibadah. 

Sangat jelas sekali, keharusan adanya niat dan kebersihan hati dalam belajar.Karena belajar
dianggap sebagai ibadah dan tujuannya adalah ridha dan taqorrub kepada Allah.Untuk itu, murid
harus menyesuaikan diri dengan sifat-sifat bersih dan suci dari Allah.Penekanan pentingnya
kebersihan hati dalam belajar itu berdasarkan atas kepercayaan bahwa ilmu merupakan anugerah
dari Allah yang maha Agung. Semakin suci dan bersih hati manusia akan semakin baik dan kuat
menerima ilmu dan nur Allah. 

Dan juga perlu disadari, bahwa hormat dan patuh kepada gurunya bukanlah manifestasi
penyerahan total kepada guru yang dianggap memiliki otoritas, melainkan karena keyakinan
murid bahwa guru adalah penyalur kemurahan Tuhan kepada para murid di dunia maupun di
akhirat. Selain itu juga didasarkan atas kepercayaan bahwa guru tersebut memiliki kesucian
karena memegang kunci penyalur ilmu pengetahuan dari Allah.Dengan demikian, dalam kontek
kepatuhan santri pada guru hanyalah karena hubungannya dengan kesalehan guru kepada Allah,
ketulusannya, dan kecintaanya mengajar murid-murid. 

Adapun etika murid terhadap guru dalam kesehariannya adalah sebagai berikut: 
Ø Hendaklah murid menghormati guru, memuliakan serta mengagungkannya karena Allah, dan
berdaya upaya pula menyenangkan hati guru dengan cara yang baik. 
Ø Bersikap sopan di hadapan guru, serta mencintai guru karena Allah. 
Ø Selektif dalam bertanya dan tidak berbicara kecuali setelah mendapat izin dari guru 
Ø Mengikuti anjuran dan nasehat guru. 
Ø Bila berbeda pendapat dengan guru, berdiskusi atau berdebat lakukanlah dengan cara yang
baik. 
Ø Jika melakukan kesalahan, segera mengakuinya dan meminta maaf kepada guru. 
Ø Hendaknya murid memilih guru yang tidak hanya betul-betul menguasai bidangnya, tetapi
juga mengamalkan ilmunya dan berpegang teguh kepada agamanya. 
c. Etika Siswa Terhadap Orang Tua

1.  Pengertian Etika Kepada Orang Tua


Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos (tunggal) atau ta etha (jamak), yang berarti watak,
kebiasaan atau adat istiadat. Jadi etika kepada orang tua adalah perlakuan / kebiasaan yang
baik kepada kedua orang tua.

2.  Etika-Etika kepada Orang Tua

 Patuh kepada orang tua ( Jika disuruh oleh orang tua, tidak membantah )
 Tidak boleh berbohong, Harus berkata jujur
 Sopan dan santun kepada orang tua
   Berbakti kepada orang tua
   Menghormati orang tua
 Memuliakan orang tua
   Merawat dan menjaga orang tua
   Mendoakan orang tua

 Jangan pernah sekalipun memarahi orangtua, kalau ada yang dirasakan tidak benar
pada orangtua harus disampaikan secara sopan.

 Jangan pernah mengajari, menasehati atau mengkuliahi orangtua. Bila ingin memberi
masukan atau pendapat harus dengan sopan atau bila orangtua minta pendapat kita. 

 Jangan sekalipun menyela pembicaraan orangtua

 Tatakrama lain adalah sikap sehari-hari harus menomor satukan atau mendahulukan
orangtua untuk melakukan aktifitas seperti mendapatkan tempat duduk, memulai makan,
memulai perjamuan minum. 

 Jangan sekalipun menyentuh kepala orangtua bila sedang berhadapan atau


berkomunikasi, kecuali untuk tindakan tertentu seperti memotong rambut. 

 Bila berhadapan dan berbicara dengan orangtua harus dalam sikap sopan, jangan
berkacak pinggang, jangan dengan kaki di atas kursi, jangan melotot, jangan dengan
suara keras dan membentak. 

 Bila melihat orangtua sedang kesulitan seperti mengangkat beban berat, sedang
mengerjakan pekerjaan berat lainnya tanpa diminta kita harus segera membantah.
3.   Contoh-Contoh Etika Kepada Orang tua
o   Paijo adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Namun masing-masing sifat dari ketiga
anak tersebut berbeda-beda. Hanya perilaku Paijo yang sangat terpuji daripada kedua
saudaranya. Paijo sering membantu ayahnya ketika bekerja di ladang. Jika disuruh Paijo
langsung melakukan apa yang disuruh kedua orang tuanya.
o   Suryo adalah anak yang selalu berbakti kepada kedua orang tuanya. Jika berangkat
sekolah ia selalu berpamitan dan meminta salam dahulu kepada orang tuanya.
o   Siti selalu cinta kepada ibunya. setiap kali ibunya sakit ia selalu merawat ibunya dengan
tulus dan penuh cinta. Bahkan Siti juga pernah ijin sekolah untuk merawat ibunya yang
sedang sakit.
o   Laras adalah anak yatim piatu. Sejak umur 5 tahun ia di tinggal oleh orang tuanya.
Sekarang ia tinggal bersama tantenya. Setelah sholat ia selalu berdoa kepada orang tuanya agar
orang tuanya ditempatkan di tempat yang layak.
o   Yadi merupakan anak tunggal. Tetapi ia selalu membantu ibunya berjualan keliling
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia tidak malu meskipun membawa sepeda ontel
untuk berjualan keliling. Ia ingin membahagiakan orangtuanya.
o   Sekarang Santi adalah pengusaha sukses di Jakarta. Meskipun begitu Santi merasa
kurang dalam hidupnya, yaitu ingin menghajikan kedua orang tuanya. Tak lama kemudian
orang tuanya berangkat Haji dan pulang dengan selamat.

C. Etika Siswa Dalam Proses Pembelajaran


a. Dalam pelajaran
a. Mendahulukan materi pelajaran yang wajib dipelajari, misalnya, tentang
ketauhidan kepada Allah SWT, kemudian belajar al-Quran dengan terus menerus
meningkatkan pemahaman terhadap isi kandungannya, serta belajar hadits-hadits
Rasulullah SAW dan terus menerus meningkatkan pengetahuan tentang hadits
Rasulullah SAW.

b. Tidak menyibukkan diri pada hal-hal yang diperdebatkan oleh para ulama, karena itu
bisa membingungkan hati para pencari ilmu.

c. Mendiskusikan materi-materi yang belum difahami kepada orang-orang yang bisa


meluruskan dan mengetahui kebenarannya.
d. Membuat tugas/PR di rumah.
e. Tidak mencontek pada saat ujian.
f. Memperhatikan guru saat dalam proses belajar.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Etika ialah suatu sesuatu yang di mana dan bagaimana suatu cabang utama filsafat yang
mempelajari suatu nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai suatu standar dan penilaian
moral. Jadi etika ialah suatu kebiasaan tata cara dalam berprilaku didalam lingkungan
masyarakat

Tugas dan tanggung jawab murid adalah: mengutamakan ilmu yang mempunyai
kemaslahatan paling besar untuk agama umat dan kehidupan akhirat, mengulangi pelajaran, ikut
bertanggung jawab pada pendanaan pendidikan jika ia mampu, mematuhi peraturan yang
berlaku, mengutamakan menuntut ilmu dari pada amalan sunat lainnya, dan lain-lain.

 
B. SARAN
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat membantu para peserta didik untuk semakin tahu
bagaimna seharusnya mereka bersikap.Dan para peserta didik hendaknya tahu bagaiman etika
mereka jika mereka berhadapan dengan guru mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Abudin, Nata, Persepektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid, (Jakarta: Rajawali


Press, 2001
Abuddin Nata, Ibid, hlm. 89-90

Hamzah Ya’qub, Etika islam, (Bandung: Rineka Cipta, 1983), hlm. 12


MAKALAH PROFESI KEPENDIDIKAN
ETIKA SISWA DENGAN GURU, SESAMA SISWA, ORANG TUA, DAN
DALAM PEMBELAJARAN

DI SUSUN OLEH :

NAMA : ANGGI OKTAVIANI


NIM : 06111381621031

FAKULTAN KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


JURUSAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017

Anda mungkin juga menyukai