KLP Pajak 3 Final
KLP Pajak 3 Final
Tax Planning PPh Pasal 22 dan Pasal 23/26 dan PPh Final
1. Pendahuluan
Sistem Withholding tax adalah cara mudah yang dilakukan pemerintahh untuk
memungut pajak. Cara ini mewajibkan wajib pajak melakukan pemungutan dan pemotongan
atas pajaknya, dari pihak lain sesuai dengan kewajiban wajib pajak untuk melakukan
pemotongan dan pemungutan pajak, dan selanjutnya menyetor dan melaporkan ke kantor
pajak setiap bulan berdasarkan ketentuan perpajakan. Tugas pemerintah dalam hal ini cukup
mengawasi saja, dan bila ada wajib pajak yang tidak menjalankan withholding tax dengan
benar. Dirjen Pajak tinggal menetapkan sanksi administrasi, yang akan menambah
pemasukan atau penerimaan negara. Lain halnya dengan sistem self assessement yang
memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan
melaporkan kewajiban perpajakannya sendiri.
2. Pajak Penghasilan Pasal 22
Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/2001 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan PMK No. 08/PMK.03/2008 menyangkut PPh Pasal 22 Impor.
Sebetulnya bidang PPh Pasal 22 impor ini menyangkut pemungtan pajak di sektor impor,
yang berhubungan dengan penyerahan dan pembayaran barang, serta pemasukan barang dari
luar daerah pabean ke dalam daerah pabean. Yang memungut PPh Pasal 22 impor adalah
Ditjen Bea Cukai atau bank devisa. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak yang dapat
dikurangkan dari PPh yang terutang di akhir tahun pajak. Dalam hal impor, tarif PPh Pasal 22
ini bervariasi, tergantung apakah perusahaan punya angka pengenal impor (API) atau tidak,
dan kalau tidak dikuasai artinya barang tak tertuan. Kalau ada API tarifnya 2,5% dari nilai
impot, kalau non API 7,5%, dan untuk barang tidak dikuasai juga dikenai 7,5%dari harga jual
lelang. Presentase itu dihitung dari harga barang atau nilai CIF+BM. Rate yang berbeda ini
mendorong adanya tax planing. Pada umumnya tax panner mencari tarif terendah, sehingga
dapat melakukan impot, tax planner yang baik akan merekomendasikan impot dengan API.
Rate yang berbeda juga mendorong orang untuk lari ke API. Bagi importir nya
memiliki API tidak mudah menerima permintaan pemilik barang atau jasa yang kurang atau
tidak dikenalnya untuk menggunakan fasilitas APInya. Karena resikonya sangat besar, jika si
pemilik barang tersebut mengeluarkan barang seludupan yang harganya sangat mahal dan
terlacak oleh Ditjen Bea Cukai, perusahaan yang mempunyai API, yang benderanya dipakai
untuk mengeluarkan barang, akan dikejar oleh Ditjen Bea Cukai, begitu juga dengan si
pemilik barang atau jasa tersebut. Memfasilitasi penggunaan API tersebut biasanya
digunakan oleh unit-unit bisnis dalam grup, tetapi biasanya ada perjanjian handling fee
didalamnya yakni jumlah fee yang harus dibayar berdasarkan penrjanjian handling fee antara
impotir yang memiliki API dengan pemilik barang atau jasa yang diberikan. Atas pengenaan
handling fee tersebut, dipotong PPH Pasal 23. Cara ini mungkin dipakai oleh orang atau
perushaan yang tidak punya API dengan “meminjam” bendera perusahaan yang mempunya
API untuk mengeluarkan impornya dengn kompensasi pemberian handling fee.
Ketentuan untuk barang yang tidak dikuasai, atau barang yang tidak bertuan adalah
membayar dengan rate yang sama dengan dikenakan pada non API. Bagi tax planner, banyak
hal yang bisa dimanfaatkan dalam barang yang tidak dikuasai ini. Biasanya barang yang
bertuan dari impotir kemudian ke pemilik barang atau produsen. Bagi pemerintah, yang
dituntu adalah tranparansi siapa pemilik barang tersebut. Dan harus membayar PPh Pasal 22
Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal, seperti tidak
melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal, serta didukung oleh bukti-bukti
pendukung yang memadai. Oleh sebab itu untuk meminimalisir koreksi fiskal pihak fiskus
terhadap hal-hal tersebut, solusinya adalah dengan membuat konttrak yang jelas dan secara
transparan mencatumkan hal dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak. Perusahaan
yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh Pasal 22 yang tidak bersifat final.
Sedangkan untuk PPh Pasal 22 yang bersifat final tidak dapat dikreditkan dalam SPT
Tahunan PPh.
6. PPh Pasal 15
Merupakan PPh yang dikenakan berdasarkan Norma Penghitungan Khusus (NPK) atau
deemq profit, yang meliputi:
1. PPh atas sewa pesawat udara dalam negeri. tarif pajaknya 1.8% dari peredaran bruto dan
bersifat tidak final.
2. PPh Final Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, tarif pajaknya 1,2% dari peredaran bruto
bersifat final
3. PPh Final Perusahaan Pelayaran/Penerbangan Luar negeri, tarif pajaknya 2,64% dari
peredaran bruto bersifat final.
4. PPh Final atas Wajib Pajak Luar negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di
Indonesia, tarif pajaknya 0,44% dari nilai ekspor bruto bersifat final.
5. Penghasilan neto Wajib Pajak BUT dari kegiatan usaha pengeboran "minyak dan gas bumi,
tarifnya 14% dari peredaran bruto, bersifat final