Anda di halaman 1dari 18

BAB IV

Tax Planning PPh Pasal 22 dan Pasal 23/26 dan PPh Final

1. Pendahuluan
Sistem Withholding tax adalah cara mudah yang dilakukan pemerintahh untuk
memungut pajak. Cara ini mewajibkan wajib pajak melakukan pemungutan dan pemotongan
atas pajaknya, dari pihak lain sesuai dengan kewajiban wajib pajak untuk melakukan
pemotongan dan pemungutan pajak, dan selanjutnya menyetor dan melaporkan ke kantor
pajak setiap bulan berdasarkan ketentuan perpajakan. Tugas pemerintah dalam hal ini cukup
mengawasi saja, dan bila ada wajib pajak yang tidak menjalankan withholding tax dengan
benar. Dirjen Pajak tinggal menetapkan sanksi administrasi, yang akan menambah
pemasukan atau penerimaan negara. Lain halnya dengan sistem self assessement yang
memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan
melaporkan kewajiban perpajakannya sendiri.
2. Pajak Penghasilan Pasal 22
Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/2001 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan PMK No. 08/PMK.03/2008 menyangkut PPh Pasal 22 Impor.
Sebetulnya bidang PPh Pasal 22 impor ini menyangkut pemungtan pajak di sektor impor,
yang berhubungan dengan penyerahan dan pembayaran barang, serta pemasukan barang dari
luar daerah pabean ke dalam daerah pabean. Yang memungut PPh Pasal 22 impor adalah
Ditjen Bea Cukai atau bank devisa. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak yang dapat
dikurangkan dari PPh yang terutang di akhir tahun pajak. Dalam hal impor, tarif PPh Pasal 22
ini bervariasi, tergantung apakah perusahaan punya angka pengenal impor (API) atau tidak,
dan kalau tidak dikuasai artinya barang tak tertuan. Kalau ada API tarifnya 2,5% dari nilai
impot, kalau non API 7,5%, dan untuk barang tidak dikuasai juga dikenai 7,5%dari harga jual
lelang. Presentase itu dihitung dari harga barang atau nilai CIF+BM. Rate yang berbeda ini
mendorong adanya tax planing. Pada umumnya tax panner mencari tarif terendah, sehingga
dapat melakukan impot, tax planner yang baik akan merekomendasikan impot dengan API.
Rate yang berbeda juga mendorong orang untuk lari ke API. Bagi importir nya
memiliki API tidak mudah menerima permintaan pemilik barang atau jasa yang kurang atau
tidak dikenalnya untuk menggunakan fasilitas APInya. Karena resikonya sangat besar, jika si
pemilik barang tersebut mengeluarkan barang seludupan yang harganya sangat mahal dan
terlacak oleh Ditjen Bea Cukai, perusahaan yang mempunyai API, yang benderanya dipakai
untuk mengeluarkan barang, akan dikejar oleh Ditjen Bea Cukai, begitu juga dengan si
pemilik barang atau jasa tersebut. Memfasilitasi penggunaan API tersebut biasanya
digunakan oleh unit-unit bisnis dalam grup, tetapi biasanya ada perjanjian handling fee
didalamnya yakni jumlah fee yang harus dibayar berdasarkan penrjanjian handling fee antara
impotir yang memiliki API dengan pemilik barang atau jasa yang diberikan. Atas pengenaan
handling fee tersebut, dipotong PPH Pasal 23. Cara ini mungkin dipakai oleh orang atau
perushaan yang tidak punya API dengan “meminjam” bendera perusahaan yang mempunya
API untuk mengeluarkan impornya dengn kompensasi pemberian handling fee.
Ketentuan untuk barang yang tidak dikuasai, atau barang yang tidak bertuan adalah
membayar dengan rate yang sama dengan dikenakan pada non API. Bagi tax planner, banyak
hal yang bisa dimanfaatkan dalam barang yang tidak dikuasai ini. Biasanya barang yang
bertuan dari impotir kemudian ke pemilik barang atau produsen. Bagi pemerintah, yang
dituntu adalah tranparansi siapa pemilik barang tersebut. Dan harus membayar PPh Pasal 22
Tax management dan tax planning yang baik mensyaratkan beberapa hal, seperti tidak
melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal, serta didukung oleh bukti-bukti
pendukung yang memadai. Oleh sebab itu untuk meminimalisir koreksi fiskal pihak fiskus
terhadap hal-hal tersebut, solusinya adalah dengan membuat konttrak yang jelas dan secara
transparan mencatumkan hal dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak. Perusahaan
yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh Pasal 22 yang tidak bersifat final.
Sedangkan untuk PPh Pasal 22 yang bersifat final tidak dapat dikreditkan dalam SPT
Tahunan PPh.

Pengecualian-pengecualian (Tax Exemption) PPh Pasal 22


Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 yaitu:
a. Impor barang atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.
b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk atau Pajak Pertambahan
Nilai, sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan No.
254/KMK.03/2001 yang telah diubah dengan KMK No. 392/KMK.03/2001 dan
236/KMK.02/2003dan 154/KMK.02/2007 dan terakhir diubah dengan PMK
No.08/PMK.03/2008
Pengajuan SKB PPh Pasal 22
Sesuai Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat mengajukan permohonan
pembebasan dari pemotongan atau pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain kepada Direktur
Jendral Pajak karena :
a. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukan tidak akan terutang
Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian.
b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang kerugian
tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan netto tahun pajak yang
bersangkutan.
c. Pajak Penghasilan yang telah dibayarkan lebih besar dari Pajak Penghasilan yang
akan terutang.
Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh final, dapat diajukan permohonan Surat
Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi kriteria, seperti yang
dimaksudkan dalam Keputusan Dirjen Pajak di atas, dan tax planner yang baik akan selalu
memanfaatkan momentum kapan permohonan SKB PPh Pasal 22 tersebut diajukan agar tidak
terjadi lebih bayar pajak penghasilan.
Secara garis besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat 4 kelompok, yaitu:
a. PPh Pasal 22 impor
b. PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN
c. PPh Pasal 22 atas Kegiatan Usaha Lain
d. PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.
3. Pajak Penghasilan Pasal 23
PPh Pasal 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib
pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau
penyelenggaran kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Tidak jarang terjadi
dispute dalam bisnis tentang kewajiban PPh Pasal 23, dimana perusahaan pemilik proyek
atau penerima jasa mengharuskan adanya pemungutan atau pemotongan PPh Pasal 23 dari
pihak ketiga, sedangkan pihak pemberi jasa (kontraktor) tidak bersedia dipotong pajaknya
karena tidak ada pasal pemotongannya dalam kontrak perjanjian. Apabila perusahaan pemilik
proyek tidak memotong PPh Pasal 23, dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat
dilakukan pemeriksaan pajak, maka perusahaan pemilik proyek akan dikenai kewajiban
untuk membayar PPh Pasal 23 (withholding tax) yang terutang ditambah denda
keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.
Pengenaan Pajak Atas Deviden
UU PPh No. 10 Tahun 1994 menyebutkan bahwa, dividen yang diterima oleh
Perseroan dalam negeri (selain bank atau lembaga keuangan lainnya) tidak termasuk objek
pajak PPh Badan dengan syarat bahwa (1) Deviden berasal dari laba yang ditahan dan (2)
Kepemilikan saham Perseroan yang menerima deviden tersebut paling sedikit memiliki 25%
dari nilai saham yang disetor dari badan yang dibayar dividen.
Perubahan Tarif PPh Pasal 23
UU PPh yang baru No. 36 Tahun 2008 telah menurunkan Tarif PPh Pasal 23 yang
semula 15% menjadi:
a. 15% dan peredaran bruto atas dividen, bunga, royalti, dan hadiah,
penghargaan, bonus, dan sejenisnya.
b. 2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya
Pengajuan SKB PPh Pasal 23
Pengajuan SKB PPh Pasal 23 yakni sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No.
192/PJ/2002, dimana wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan pemotongan
PPh Pasal 23 oleh pihak lain kepada Direktur Jendral Pajak dengan kriteria seperti yang
dimaksud dalam keputusan Dirjen Pajak. Tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan
momentum pengajuan permohonan SKB PPh Pasal 23 tersebut agar tidak terjadi lebih bayar
pajak penghasilan.
Pemotong PPh Pasal 23/26
1. Badan Pemerintah.
2. Subjek pajak badan dalam negeri.
3. Bentuk usaha tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri.
4. Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP
Subjek Pajak PPh Pasal 23/26
1. Wajib Pajak Dalam Negeri.
2. Bentuk Usaha Tetap.
3. Wajib Pajak Luar Negeri.
Objek Pajak PPh Pasal 23/26
Adalah penghasilan yang berasal dari:
1. Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi.
2. Penyerahan jasa yang dietrima oleh wajib pajak badan.
3. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21.
Penggunaan Metode Gross Up atas Pajak Penghasilan PPh Pasal 26/21/23 Yang
Ditanggung Oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja
Pasal 4 huruf d PP. Nomor 138 Tahun 2000
Penghasilan dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap termasuk Pajak
Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali:
a. Pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPh tetapi
tidak termasuk dividen.
b. Sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk
pemotongan pajak. Pajak Penghasilan, sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21
dan PPh Pasal 26 dapat ditanggung oleh pemberi penghasilan atau pemberi kerja,
dengan perlakuan perpajakan sebagai berikut:
a) Dalam hal PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemberi penghasilan, sesuai
dengan ketentuan perpajakan, pajak tersebut diperlakukan sama seperti
kenikmatan, yaitu sebagai bukan biaya pemberi kerja dan bukan
penghasilan pegawai yang menerimanya.
b) Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1) kecuali dividen yang ditanggung oleh pemberi
penghasilan, dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang pajak tersebut
ditambahkan (gross-up) pada penghasilan yang dipakai sebagai dasar
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut.
Penggunaan Metode Gross up yang dijelaskan dalam Pasal 4 huruf d Peraturan Pemerintah
No. 138 Tahun 2000 diberlakukan untuk diterapkan pada PPh Pasal 21 dan Pasal 26, dimana
Pajak Penghasilannya ditanggung oleh pemberi penghasilan atau pemberi kerja, sehingga
pemberi penghasilan atau pemberi kerja akan dapat membukukan dalam buku besarnya dan
melaporkan dalam laporan keuangan fiscal maupun komersil sebagai biaya deductible. Jadi
Pasal 4 huruf d PP No. 138 Tahun 2000 tersebut adalah legitimasi praktik gross up untuk
objek PPh Pasal 26 dan Pasal 21, sedangkan untuk objek PPh lainnya seperti PPh Pasal 23
antara lain dapat merunjuk pada Surat Dirjen Pajak No. S-1105/MK.012/1985 dan Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-64/PJ/2009.
Analisis Ekualisasi Oleh Objek PPh Pasal 23 pada SPT Tahunan PPh Badan dengan
SPT Masa PPh Pasal 23
Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 23, jumlah penghasilan bruto dalam
masa SPT Masa PPh Pasal 23 dicocokan dengan pos pengeluaran yang menjadi objek
pemotongan PPh Pasal 23. Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas
pemotongan PPh Pasal 23 yang ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan
terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut.
4. Pajak Penghasilan Pasal 26
Objek pengenaan PPh Pasal 26 mirip dengan PPh Pasal 23. Perbedaannya adalah PPh
Pasal 26 ini dikenakan kepada wajib pajak luar negeri (WPLN). Dalam PPh Pasal 26 ini tariff
pemotongan atas pembayaran kepada WPLN adalah 20% dengan memperhatikan ada
tidaknya tax treaty. Jika ada tax treaty nilai efektifnya 10%, tapi bisa juga 5%, dan bisa juga
0% . sebagai tax planner harus melakukan treaty shopping, cari rate terendah.
Pasal 26 ayat (1) d
Imbalan Sehubungan dengan Jasa, Pekerjaan, Kegiatan
1. Bila ada Tax Treaty
a. Jika pemberian jasa oleh WLPN Kurang dari time test (uji waktu):
Tidak ada BUT, maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak atas penghasilan
yang diterima oleh WPLN.
b. Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi time test (uji waktu):
Ada BUT, maka Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima
oleh WPLN bersangkutan berupa Corporate Tax (tarif PPh Pasal 17), Branch Profit
Tax (tarif PPh Pasal 26).
2. Bila tidak ada Tax Treaty
a. Jika pemberian jasa oleh WPLN kurang dari time test: tidak ada BUT, maka
Indonesia mengenakan pajak basis bruto dan tarif tunggal 20%.
b. Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi time test: ada BUT, maka Indonesia
mengenakan pajak basis neto dan tarif Pasal 17 UU PPh.
Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 26
PPh Pasal 26 dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak
luar negeri yang menerima penghasilan dari Indonesia. Pengenaan PPh Pasal 26 tersebut
adalah:
1. Dikenakan sebesar 20% dari jumlah bruto dan bersifat final atas penghasilan WPLN
berupa:
a. Bunga, deviden, royalti, sewa, dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan
harta.
b. Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi PPh dari suatu BUT kecuali
ditanamkan kembali dengan syarat yang ada didalam PMK
No.257/PMK.03/2008.
2. Dikenakan 20% dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final atas penghasilan
WPLN berupa:
a. Penghasilan dari jumlah harta Di Indonesia (20% x 25% x harga jual).
b. Premi asuransi yang dibayarkan ke luar negeri:
1) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri oleh
tertanggung (20% x 50% jumlah premi).
2) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN oleh perusahaan
asuransi yang berkedudukan Di Indonesia (20% x 10% x jumlah premi).
3) Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN, oleh perusahaan
reasuransi yang berkedudukan Di Indonesia (20% x 5% x jumlah premi).
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 26 pada SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT
masa PPh Pasal 26
Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 26, jumlah penghasilan bruto dalam
SPT Masa PPh Pasal 26 dicocokan (pencocokannya didasajikan terperinci per transaksi)
dengan pos pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 26. Dalam banyak kasus,
terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 26 yang ditemukan oleh
pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil
pemeriksaan tersebut.
5. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2) Final
Penjualan saham di bursa efek dikenai PPh final dengan tarif 0.1%. Final itu secara
prinsip selalu meringankan. Dalam hal ini bagaimana dengan obligasi? jadi menjual obligasi,
secara aspek pajak tidak favourable, karena bayar pajaknya lebih banyak (pajak bunga 15%).
Bursa pasar modal berusaha agar obligasi diperlakukan sama dengan saham, supaya pasar
obligasi bergairah. Usaha mereka berhasil dengan dikeluarkannya PP 16 Tahun 2009 yang
berlaku efektif 1 Januari 2009. Dengan demikian bunga obligasi dan Surat Utang Negara
dikenai PPh Final tetapi tarif pajak bunganya tetap sebesar 15% bagi Wajib Pajak Dalam
Negeri dan BUT, dan tarif 15% diberlakukan bagi bunga/diskonto obligasi dengan kupon dan
diskonto obligasi tanpa bunga.
Pokok Perubahan UU PPh No. 36 Tahun 2008 Atas Objek Pajak Pasal 4 Ayat (2)
Menegaskan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang baru, yang selama ini tidak secara
eksplisit diatur dalam ketentuan, seperti bunga obligasi dan Surat Utang Negara. Berbeda
dengan Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan, sehingga pasar obligasi Reksadana bergairah; bunga dan atau diskonto dari
obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak secara gradual dikenai PPh Pasal 4(2) Final
sebagai berikut:
1. 0% (nol persen) untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2C10.
2. 5% (lima persen) untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.
3. 15% (lima belas persen) untuk tahun 2014 dan seterusnya.
Tax Planner bisa membandingkan dan menarik keuntungan dari perbedaan tarif bunga
di atas, dengan segala kelebihan dan kekurangan dari reksadana dibanding dengan obligasi
yang dipasarkan di bursa efek.
Karakteristik PPh Final Pasal 4 ayat (2)
* Pengenaannya diatur khusus dengan peraturan pemerintah.
* Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabung dengan penghasilan lainnya
(dianggap selesai/rampung).
* Jumlah PPh final baik yang telah dipotong sendiri atau dipotong oleh
* Biaya - biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan yang dikenai PPh final
tidak dapat dikurangkan.
Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2):
1. Diskonto/bunga obligasi dan surat utang negara
2. Penghasilan dari transaksi peniualan saham, obligasi dan sekuritas lainnya yang
diperdagangkan di Bursa Efek
3. Bunga deposito dan tabungan, serta diskonto SBI
4. Penghasilan berupa hadiah atas undian
5. Penghasilan atas sewa tanah dan/atau bangunan
6. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
7. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
8. Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
9. Bunga dan/atau diskonto obligasi dan surat berharga negara (SBN)
10. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
11. Penghasilan atas dividen yang diterima oleh WP orang pribadi dalam negeri
12. Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu
Diskonto atau bunga obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan
perdagangannya di bursa efek (PP No. 6 Th 2002)
Yang dimaksud dengan obligasi yang diperdagangkan dan atau dilaporkan
perdagangannya di bursa efek adalah obligasi korporasi dan obligasi pemerintah atau surat
utang negara berjangka lebih dari satu tahun, yang diperdagangkan dan atau dilaporkan
perdagangannya di bursa efek indonesia.
Tarif pemotongan PPh:
• 20% bagi WPDN dan BUT.
• 20% atau sesuai tarif dalam P3B, bagi wajib pajak penduduk atau yang berkedudukan di
luar negeri.
Dasar pengenaan pemotongan PPh:
• Bunga obligasi dengan kupon: jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan
obligasi.
• Diskonto obligasi dengan kupon: selisih harga jual atau nilai nominal di atas harga
perolehan obligasi, tidak termasuk kupon berjalan.
• Diskonto obligasi tanpa bunga: selisih lebih harga iual atau nilai nominal di atas harga
perolehan obligasi.
Pengecualian aturan:
• Pemotongan PPh tidak bersifat final apabila penerima penghasilan adalah orang pribadi
dalam negeri, yang seluruh penghasilannya termasuk penghasilan bunga dan diskonto
obligasi tersebut dalam satu tahun pajak tidak melebihi jumlah PTKP (bisa direstitusi).
• Tidak dilakukan pemotongan jika penerima penghasilan adalah:
a. Bank yang didirikan di lndonesia atau cabang bank luar negeri di indonesia.
b. Dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh
menteri keuangan.
c. Reksadana yang terdaftar pada Bapepam selama lima tahun pertama sejak
pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.

Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek (PP 411199410. PP


1411997)
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi
penjualan saham di bursa efek dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Besarnya Pajak Penghasilan:
a. 0,1% (satu per seribu) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan.
b. saham pendiri dikenai tambahan PPh sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai
saham perusahaan pada saat penutupan bursa di akhir tahun 1995.
c. Dalam hal saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek setelah 1 Januari
1997, nilai saham sebagai dasar pengenaan tarif O,5% ditetapkan sebesar
harga saham pada saat penawaran umum perdana.
Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI (PP 131 /2000)
• Tarif yang dikenakan adalah sebesar 20% dari jumlah bruto
• Termasuk dalam pengertian bunga adalah bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito
atau tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan atau
berkedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
• Dikecualikan dari pemotongan ini:
- Bunga dan deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank lndonesia (SBI)
sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta SBI tersebut tidak melebihi Rp
7.500.000 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
- Bunga dan diskonto SBI yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
- Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana
Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya
diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU No. 11
Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
-Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka pemilikan rumah
sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan
sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
untuk dihuni sendiri.
Penghasilan berupa hadiah atas undian (PP 132/2000)
• Besarnya PPh yang wajib dipotong atau dipungut adalah 25% (dua puluh lima persen) dari
jumlah bruto hadiah undian.
• Yang wajib memotong atau memungut PPh adalah penyelenggara undian.
Penghasilan atas sewa tanah dan atau bangunan (PP 29/1996 jo PP 5/2002)
• Sewa tanah dan bangunan yang dimaksud adalah: Tanah, rumah susun, apartemen,
kondominium, gedung kantor, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, industri
• Tarif pemotongan PPh: Bagi orang pribadi dan badan adalah 10% dari jumlah bruto.
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
Ketentuan mengenai usaha jasa konstruksi di tahun 2009 diatur dengan PP N0. 51
Tahun 2008 yang diterbitkan tanggal 20 Juli 2008 PP No 40 Tahun 2009, namun berlaku
sejak Januari 2008. Dengan terbitnya PP No. 51 Tahun 2008 ini, atas penghasilan dari usaha
jasa konstruksi, dikenai PPh Final.
Tarif PPh atas Jasa Konstruksi (PPh Final)
Penyedia jasa adalah bentuk usaha tetap (BUT), tarif PPh tersebut tidak temasuk PPh atas
sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Gambaran mengenai usaha jasa konstruksi ini dapat dilihat dari tulisan yang dimuat di
majalah Indonesian Tax Review berikut ini.
Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (PP 48/1994 jo PP
71/2008)
a. Objek PPh Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (PPh PHTB)
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan wajib dibayarkan Pajak Penghasilan. Ruang lingkup pengalihan
hak atas tanah dan atau bangunan meliputi:
1)Penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak,
lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah.
2) Penjualan, tukar-menukar. pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati
dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk pembangunan untuk
kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus.
3) Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain kepada
pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan
persyaratan khusus.
b. Tarif
1) 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan.
2) Atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan
oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan atau
bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai
pengalihan.
c. Sifat
Pembayaran PPh PHTB oleh siapa pun (baik WPOP, yayasan, badan termasuk yang main
business-nya mengalihkan tanah dan atau bangunan) bersifat final.
a. Pengecualian Objek PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau
bangunan:
1) Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah PTKP yang melakukan pengalihan
hak atas tanah dan atau bangunan dengan jumlah bruto kurang dari Rp 60.000.000 dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
2) Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan
hak atas tanah dan atau bangunan kepada pemerintah.
3) Orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan atau bangunan dengan cara hibah
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan
pendidikan. badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemlikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
4) Badan yang melakukan pengalihan tanah dan atau bangunan dengan cara hibah kepada
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi. atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan
usaha. pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
5} Pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan karena warisan. PP No. 71/2008 berlaku
mulai 01 Januari 2009.
Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri
Peraturan: pelaksanaan ketentuan perpajakan yang nerkait dengan dividen yang
diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri dimuat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri serta Peraturan Menkeu
No.111/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak
Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri.
• Atas penghasilan berupa dividen (dengan nama dan dalam bentuk apa pun temasuk dividen
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi)
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenai Pajak
Penghasilan sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto dan bersifat final.
• Pajak Penghasilan yang bersifat final dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang
membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen. Pemotongan dilakukan
pada saat dividen disediakan untuk dibayarkan.
Bunga dan atau Diskonto Obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN); (PP No 16 tahun
2009 Jo. PMK No. 85/PMK03/2009)
Bunga dan Diskonto Obligasi
• Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua
belas) bulan, Bunga obligasi adalah imbalan yang diterima dan atau diperoleh pemegang
obligasi dalam bentuk bunga dan atau diskonto).
• Atas penghasilan yang diterima dan atau diperoleh wajib pajak berupa bunga obligasi,
dikenai pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat ' anal.
Ketentuan dimaksud tidak berlaku apabila pene.ima penghasilan berupa bunga obligasi
adalah:
1. Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf h UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan.
2. Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau Cabang bank luar negeri di Indonesia.
Besarnya Pajak Penghasilan adalah:
a. Bunga dari obligasi dt ngan kupon sebesar:
1) 15% (lima belas persen) bagi wajib palak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran
pajak berganda bagi wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap, dari jumlah bruto
bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligasi.
b. Diskonto dari obligasi dengan kupon sebesar:
I) 15% (lima belas persen) bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran
pajak berganda bagi wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap, dari selisih lebih harga
jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan.
c. Diskonto dari Obligasi tanpa bunga sebesar:
1) 15% (lima belas persen) bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
2) 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan penerima penghindaran pajak
berganda bagi wajib pajak luar negeri, selain bentuk usaha tetap, dari selisih lebih harga jual
atau
d. Bunga dan atau diskonto dari obligasi yang diterima dan atau dipegang oleh wajib pajak
reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
sebesar:
1) 0% (nol persen) untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010.
2) 5% (lima persen) untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013.
3) 15% (lima belas persen) untuk tahun 2014 dan seterusnya.
Pemotongan Pajak Penghasilan dilakukan oleh:
a. Penerbit obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk, atas bunga dan
atau diskonto yang diterima pemegang obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo bunga
obligasi dan diskonto yang diterima pemegang Obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo
Obligasi.
b) Perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara dan atau pembeli. atas
bunga dan diskonto yang diterima penjual obligasi pada saat transaksi.
Surat Berharga Negara
• Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan berupa bunga atau imbalan surat berharga
negara yang diterbitkan di pasar internasional, ditanggung oleh pemerintah.
• Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan pihak ketiga atas jasa yang diberikan
kepada pemerintah dalam penerbitan surat berharga negara di pasar internasional ditanggung
oleh pemerintah.
• Penerbitan di pasar internasional adalah kegiatan penawaran dan penjualan surat berharga
negara dalam valuta asing di luar wilayah indonesia.
Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang
Pribadi (PMK No. 85/PMK.0312008)
• Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di
Indonesia kepada anggota keperasi orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah:
a. 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan Rp 240.000 per
bulan.
b. 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga simpanan
lebih dari Rp 240.000 per bulan. • Pajak Penghasilan wajib dipotong oleh koperasi yang
melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota koperasi orang pribadi pada saat
pembayaran.
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Waiib Pajak Badan atau WPOP
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 46/2013)
• Wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah wajib pajak yang memenuhi
kriteria sebagai berikut: i) Wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan tidak termasuk
bentuk usaha tetap; dan ii) menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari
jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp4.800.000.000,00 dalam 1 (satu) tahun pajak.
• Tidak termasuk wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan
dan/atau jasa yang dalam usahanya, yakni: i) menggunakan sarana atau prasarana yang dapat
dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan ii) menggunakan sebagian
atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha
atau berjualan.
• Tidak termasuk wajib pajak badan adalah: i) Wajib pajak badan yang belum beroperasi
secara komersial; atau ii) Wajib pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah
beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00.
• Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah 1% (satu persen).
• Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dan Usaha dalam I (satu)
tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan.
Analisis Ekuallsasl Objek PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final) pada SPT Tahunan PPh Badan
dengan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final)
Dalam melakukan ekuallsasi terhadap PPh Pasal 4 Ayat ( 2), jumlah penghasilan bruto dalam
SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2) dicocokan (pencocokannya disajikan terperinci per transaksi)
dengan pos pengeluaran yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 4 Ayat ( 2).
Dalam banyak kasus, terjadl pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh Pasal 4 ayat
2( Final) yang ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan terbitnya SKP
Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan tersebut. Hal ini disebabkan karena:
1. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang belum
dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.
2. Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang disetorkan ke kas negara tidak cocok atau lebih
rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak
3. Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang dibukukan di buku besar atau ledger pembukuan
tidak cocok dengan SPT PPh Masa Pasal 4 ayat 2 (Final).
Ekualisasi harus dibuat secara rinci dari seluruh pos dan akun pengeluaran lama yang ada di
laporan kcuangan/buku besar/ledger yang seharusnya terkena pemotongan PPh Pasal 4 ayat
(2) dibandingkan dengan jumlah yang telah dipotong menurut SPT Masa PPh, PPh Pasal 4
ayat(2)

6. PPh Pasal 15
Merupakan PPh yang dikenakan berdasarkan Norma Penghitungan Khusus (NPK) atau
deemq profit, yang meliputi:
1. PPh atas sewa pesawat udara dalam negeri. tarif pajaknya 1.8% dari peredaran bruto dan
bersifat tidak final.
2. PPh Final Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, tarif pajaknya 1,2% dari peredaran bruto
bersifat final
3. PPh Final Perusahaan Pelayaran/Penerbangan Luar negeri, tarif pajaknya 2,64% dari
peredaran bruto bersifat final.
4. PPh Final atas Wajib Pajak Luar negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di
Indonesia, tarif pajaknya 0,44% dari nilai ekspor bruto bersifat final.
5. Penghasilan neto Wajib Pajak BUT dari kegiatan usaha pengeboran "minyak dan gas bumi,
tarifnya 14% dari peredaran bruto, bersifat final

7. Tax Planning PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final


Dalam praktik, kewajiban memotong. menyetor. dan melaporkan PPh sesuai mekanisme
withholding tax pada umumnya memiliki kuantitas yang cukup besar. Apalagi sejak adanya
perluasan objek withholding tax sejak tahun 2000.
Beberapa hal krusial dalam penanganan PPh Pasal 22/23/26 dan PPh Final:
1. Masalah Pembuatan Kontrak
Pada transaksi yang merupakan objek PPh Pasal 23/26/Final, hal pokok yang harus
diperhatikan adalah masalah pembuatan kontrak. Kontrak bisa dikatakan sebagai cikal bakal
terjadinya transaksi antara pihak-pihak terkait. Jika kontrak tidak ada dapat digantikan oleh
SPK (Surat Perintah Kerja). atau PO (Purchase Order). Oleh karena itu kesepakatan yang
dibuat di dalam kontrak harus mencakup kesepakatan yang memengaruhi hak dan kewajiban
perpajakan masing-masing pihak. Jika di dalam kontrak jelas disebutkan nilai jasa dan nilai
materialnya; maka PPh Pasal 23/26 hanya akan dikenakan atas jasa yang diberikan saja,
kecuali untuk jasa konstruksi dan jasa katering (termasuk nilai materialnya). Sebaliknya, Jika
di dalam kontrak tidak ada pemisahan antara nilai jasa dan nilai material. maka PPh Pasal 23
dikenakan atm keseluruhan nilai kontrak. Di samping itu juga harus terdapat kejelasan atas
hak dan kewajiban masing-masing pihak agar dalam implementasinya tidak menimbulkan
masalah perbedaan penafsiran. Makin jelas dan detail pengaturan klausul perpajakannya,
akan makin baik karena akan mendukung implementasi kewajiban perpajakannya. Jadi kata
kuncinya adalah “Ingat withholding tax, ingat kontrak."
2. Konflik dalam withholding tax
Jika perusahaan memiliki transaksi yang menimbulkan kewajiban untuk memungut
withholding tax, maka penting bagi perusahaan untuk melaksanakan kewajibannya ini
sebaik-baiknya. Konflik dalam withholding tax akan terjadi jika penerima penghasilan tidak
bersedia dipotong pajaknya atau adanya perbedaan penafsiran mengenai jenis pajak dan
besarnya tarif pajak yang akan dipotong. Celakanya konflik ini juga sering terjadi antara
bagian keuangan atau pajak dengan bagian lain dalam satu perusahaan. Oleh karena
kewajiban pemotongan penyetoran, dan pelaporan ada pada pemberi penghasilan maka
konflik dapat diatasi dengan cara negosiasi ulang dengan pihak pemberi jasa. Jika pemberi
jasa tetap tidak bersedia dipotong pajaknya, maka perusahaan dapat melakukan salah satu
dari dua cara berikut ini, membayarkan sendiri pajak yang terutang (PPh ditanggung) atau
melakukan gross up atas nilai kontrak (diberikan tunjangan PPh). Jika perusahaan
membayarkan sendiri pajak yang terutang. maka pajak tersebut tidak boleh dikurangkan.
Sementara itu pimpinan perusahaan melakukan gross up maka pajak yang terutang boleh
dibayarkan  kecuali dividen, dan PPh Final. Grosss up sebaiknya dimulai dari kontrak
perjanjian, invoice, FP, dan dokumen lain yang terkait agar terdapat kesesuaian antara
penerima dan pemberi jasa.
3. Rekonsiliasi objek withholding tax dengan laporan keuangan
Kewajiban wajib pajak dalam kedudukan sebagai pemotong atau pemungut
(withholder) perlu mendapat perhatian serius dari perusahaan oleh karena itu perlu dilakukan
pengendalian perpajakan ( tax control) Untuk memastikan bahwa seluruh objek withholding
tax sudah dilakukan pemotongan atau pemungutannya. Caranya adalah melalui rekonsiliasi
atau ekualisasi antara SPT Masa dengan objek PPh yang terdapat dalam laporan keuangan
komersial. Dalam hal ini terdapat akun-akun yang sepenuhnya merupakan objek withholding
tax dapat langsung diperbandingkan. Akan tetapi atas akun. akun yang di dalamnya hanya
terdapat sebagian saja yang merupakan objek widholding tax, maka perlu dilakukan
pemisahan antara yang objek dan yang bukan objek withholding tax. Bila diperlukan dapat
dibuat buku pembantu untuk mencatat rincian objek withholding tax dikaitkan dengan buku
besarnya, mulai dari nama akun, tanggal transaksi, nomor journal voucher, jenis transaksi,
jumlah objek, masa pelaporan, dan nomor serta tanggal bukti pemotongan PPh yang dibuat.
4. Klausul Kontrak dengan WPLN
Di samping harus mengatur klausul perpajakan secara jelas dan rinci, khusus kontrak
dengan pihak Wajib Pajak Luar negeri harus memperhatikan beberapa hal, antara lain:
 Negara asal WPLN tersebut, sehingga perusahaan mengetahui apakah perlu melihat pada
ketentuan tax treaty atau tidak.
 Jika kontrak dilakukan dengan WPLN di negara treaty partner, perlu diperhatikan agar
WPLN memberikan CRT (certificate of residence taxpayer) kepada perusahaan sebelum
dilakukan pembayaran atau penagihan. Dan hal ini diakomodasi di dalam kontrak dengan
WPLN tersebut.

8. Tax Planning Pajak Penghasilan Pasal 25 Orang Pribadi


Sesuai PerMenkeu No. 255/PMK.O3/2008, besarnya angsuran Pajak Penghasilan
Pasal 25 untuk wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (wajib pajak orang pribadi
pengusaha tertentu adalah "wajib pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar
di beberapa tempat Ref. Per-Dirjen Pajak No.35/PJ/ZOO9), ditetapkan sebesar 0,75 % (nol
koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing
tempat usaha tersebut. Sedangkan untuk wajib pajak masuk bursa dan wajib pajak lainnya
yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar
Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal
menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan
dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal Z3 serta Pasal 24 yang dibayar atau
terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas). Hanya karena
kealpaan tax planner yang tidak menghitung atau merencanakan angsuran PPh Pasal 25
dengan benar, khususnya untuk wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu yang mestinya
didasarkan pada laporan keuangan berkala, akan bisa berimplikasi pada timbulnya lebih
bayar pajak pada SPT Tahunan PPh Badan yang ujung-ujungnya akan mengakibatkan
perusahaan menghadapi pemeriksaan pajak oleh fiskus. Dampaknya tax planning harus
disesuaikan kembali karena "terganggu” oleh pemeriksaan pajak (bila efeknya signifikan
terhadap jumlah pajak yang harus dibayar perusahaan).

Anda mungkin juga menyukai