Anda di halaman 1dari 20

Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Ringkasan Anggaran
Pendapatan dan Belanja
Daerah
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

2017
Kata Pengantar
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan pemerintah daerah
selama satu tahun yang ditetapkan oleh peraturan daerah. APBD dapat dijadikan sebagai sarana
komunikasi pemerintah daerah kepada masyarakatnya mengenai prioritas pengalokasian yang dilakukan
oleh pemerintah daerah setelah berkoordinasi dengan pihak legislatif, DPRD.

APBD terdiri dari tiga komponen utama yaitu pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah.
Pendapatan daerah terdiri dari pos Pendapatan Asli Daerah (PAD), pos Dana Perimbangan, dan pos Lain-
Lain Pendapatan Daerah yang Sah. Di dalam pos PAD ada komponen Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
yang merupakan sumber pendapatan utama dari pemerintah daerah itu sendiri yang diperoleh dari wajib
pajaknya. Selanjutnya untuk Dana Perimbangan merupakan dana yang diperoleh pemerintah daerah dari
pemerintah pusat sebagai perwujudan dari pelaksanaan desentralisasi fiskal. Selain sumber pendapatan
yang diperoleh dari daerah tersebut dan pemerintah pusat, pemerintah daerah juga memperoleh
pendapatan dari daerah lain yang berupa komponen Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan pemda lainnya
yang ada di dalam pos Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah.

Komponen belanja daerah merupakan perwujudan pemerintah daerah dalam mengeluarkan uangnya untuk
pelayanan publik. Terdapat empat pos utama di dalam belanja daerah yaitu pos Belanja Pegawai, pos
Belanja Barang dan Jasa, pos Belanja Modal, dan pos Belanja lainnya. Melalui belanja daerah ini diperoleh
informasi prioritas belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang dapat berdampak pada
kesejahteraan warganya.

Dalam APBD, Pemda dapat merencanakan defisit atau surplus APBD. Pada kenyataannya, di dalam
dokumen APBD seringkali terjadi defisit daerah. Defisit daerah dapat ditutup dengan pembiayaan daerah.
Pembiayaan daerah terdiri dari dua pos yaitu penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
Pemerintah daerah memiliki kecenderungan untuk menutup defisit daerah dari Sisa Lebih Penghitungan
Anggaran (SiLPA) Tahun Anggaran sebelumnya atau dengan melakukan pinjaman daerah atau obligasi
daerah yang berada di pos penerimaan pembiayaan. Pos pengeluaran pembiayaan juga memiliki dua
komponen utama yang banyak digunakan oleh pemda yaitu penyertaan modal (investasi daerah) dan
pembayaran pokok utang.

Guna melihat penganggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah selama satu tahun ini, Direktorat
Evaluasi Pengelolaan dan Informasi Keuangan Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
menyusun ringkasan APBD Tahun 2017 untuk memberikan informasi/gambaran mengenai APBD di 542
pemerintah daerah. Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah bekerja sama dan berkontribusi dalam penyusunan laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat
bagi semua pihak yang membutuhkannya.

2
Gambaran Umum APBD 2017
Pendapatan dan Belanja daerah dalam APBD tahun 2017 mengalami
peningkatan dibandingkan dengan APBD tahun 2016. Persentase
peningkatan pendapatan adalah sebesar 1,9 persen, dimana
peningkatan tersebut lebih tinggi daripada peningkatan belanja yang
hanya sebesar 0,5 persen. Hal ini kemudian terlihat dari jumlah defisit
pada tahun 2017 yang lebih rendah 13,4 Triliun Rupiah, jika
dibandingkan tahun 2016. Sementara itu anggaran pembiayaan tahun
2017 lebih rendah dibandingkan dengan anggaran tahun 2016
dengan selisih sebesar 12,5 Triliun Rupiah atau 20,28 persen.

3
Gambaran Umum Pendapatan
Daerah

4
Komposisi Pendapatan Daerah
Komposisi pendapatan daerah pada APBD secara nasional dibagi
menjadi 3 (tiga) bagian utama yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD),
Dana Perimbangan, dan Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah.
Dana Perimbangan masih mendominasi sumber pendapatan daerah
yaitu sebesar 66,1 persen atau 664,5 triliun rupiah dari total
pendapatan daerah sebesar 1.005,2 triliun rupiah.

5
Komposisi Pendapatan Asli Daerah
Komposisi PAD pada APBD TA 2017
secara nasional dapat dibagi ke dalam 4
(empat) bagian utama yaitu Pajak
Daerah, Retribusi Daerah, Hasil
Pengelolaan Kekayaan Daerah yang
Dipisahkan, dan Lain-Lain PAD yang
Sah. Pajak Daerah merupakan sumber
pendapatan tertinggi dari PAD yaitu
sebesar 69,5 persen atau 168,8 triliun
rupiah dari PAD sebesar 243,1 triliun
rupiah.

Komposisi Dana Perimbangan


Komposisi Dana Perimbangan pada
APBD TA 2017 secara nasional dapat
dibagi ke dalam 3 (tiga) bagian utama
yaitu Dana Bagi Hasil (DBH), Dana
Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi
Khusus (DAK). DAU merupakan sumber
pendapatan tertinggi dari Dana
Perimbangan yaitu sebesar 61,6 persen
atau 409,2 triliun rupiah dari Dana
Perimbangan sebesar 664,5 triliun
rupiah.

Komposisi Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah


Komposisi Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah pada APBD TA 2017 secara nasional dapat dibagi ke dalam 4 (empat)
bagian utama yaitu Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus, Pendapatan Lain-Lain, Pendapatan Hibah, Pendapatan
Dana Darurat, Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemda lainnya, dan Bantuan Keuangan dari Provinsi dan Pemda
lainnya. Komponen pendapatan tertinggi pada pos Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah adalah Dana Penyesuaian
dan Otonomi Khusus yaitu sebesar 73,7 persen atau 71,9 triliun rupiah dari 97,6 triliun rupiah.

6
Rasio Kemandirian Daerah

Rasio kemandirian daerah menggambarkan tingkat kemandirian suatu daerah terhadap bantuan pihak
eksternal, baik yang bersumber dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah lain. Rasio ini
ditunjukkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan daerah. Semakin besar angka rasio PAD maka
semakin tinggi kemandirian daerah tersebut. Sebaliknya, semakin kecil angka rasio PAD maka semakin
rendah kemandirian daerah tersebut. Rasio kemandirian daerah nasional sebesar 24,2 persen. Wilayah
yang memiliki rasio kemandirian daerah di atas rasio kemandirian nasional adalah wilayah Jawa dengan
persentase sebesar 34,8 persen, sedangkan sisanya berada di bawah rasio nasional, dengan wilayah
Papua memiliki rasio terkecil sebesar 6,0%.

16,5% 17,6%

14,2% 6,0%

34, 8%

22,6%

Nasional:

Pada rasio kemandirian daerah agregat se-provinsi, daerah yang rasionya


tertinggi adalah DKI Jakarta dengan besaran rasio sebesar 66,4 persen,
sedangkan yang memiliki rasio terkecil adalah Papua Barat dengan besaran
rasio 4,8 persen.

7
Ruang Fiskal

Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki oleh
pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan yang menjadi prioritas
daerah. Ruang fiskal daerah diperoleh dengan menghitung total pendapatan daerah dikurangi dengan
pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya dan belanja yang sifatnya mengikat (DAK, Dana
Penyesuaian dan Dana Otonomi Khusus, Pendapatan Hibah, Dana Darurat, 25 persen DBH dan DAU,
Belanja Pegawai, Pegawai dan Belanja Bunga) dibagi dengan total pendapatannya. Ruang fiskal daerah
saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar anggaran digunakan untuk belanja rutin dan belanja
yang sudah ditentukan penggunaannya. Diharapkan ke depannya pemda dapat efektif dan efisien dalam
menggunakan anggarannya sehingga dapat tercipta ruang fiskal yang lebih besar.
Kalimantan merupakan wilayah dengan ruang fiskal terbesar, sedangkan Sulawesi merupakan wilayah
dengan ruang fiskal terkecil.

17,4% 23,1%

13,4% 21,0%

23, 0%
16,0%

Nasional :

Ruang fiskal nasional yaitu sebesar 16,3 persen. Wilayah yang memiliki ruang
fiskal di atas rata-rata nasional yaitu di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Maluku dan
Papua. Ruang fiskal untuk agregat se-provinsi yang tertinggi yaitu di DKI Jakarta
dengan besaran ruang fiskal sebesar 45,6 persen, sedangkan ruang fiskal
agregat se-provinsi terkecil yaitu di Nusa Tenggara Timur dengan besaran ruang
fiskal sebesar 7,7 persen.

8
Gambaran Umum Belanja Daerah

9
Komposisi Belanja Daerah
Komposisi belanja daerah pada APBD secara nasional dibagi ke dalam
4 (empat) bagian utama yaitu Belanja pegawai, belanja modal,
belanja barang dan jasa dan belanja lainnya. Total Belanja APBD
tahun 2017 adalah sebesar 1.052,6 triliun rupiah dengan proporsi
terbesar adalah belanja pegawai sebesar 38,5 persen, disusul belanja
barang dan jasa sebesar 22,2 persen, kemudian belanja modal
sebesar 21,1 persen, dan terakhir belanja lainnya sebesar 18,2
persen.

10
Rasio Belanja Pegawai

Rasio belanja pegawai digunakan untuk mengukur porsi belanja pegawai terhadap total belanja daerah.
Semakin membaiknya kualitas belanja daerah dapat dilihat dari semakin menurunnya porsi belanja
pegawai dalam APBD. Semakin sedikit porsi belanja APBD yang digunakan untuk belanja aparatur maka
APBD dapat dioptimalkan untuk mendukung jenis belanja lain yang lebih terkait dengan pelayanan publik
seperti belanja modal untuk pembangunan fasilitas masyarakat atau untuk mendukung belanja yang
efektif mendorong roda perekonomian daerah seperti peningkatan konektivitas dengan pembangunan
jalan dan jembatan baru.
Rasio belanja pegawai secara nasional adalah 38,5 persen. Berdasarkan wilayah Sulawesi merupakan
wilayah dengan porsi belanja pegawai tertinggi yakni mencapai 39,5 persen dari keseluruhan belanja
daerah. Adapun porsi belanja pegawai terendah adalah Maluku-Papua yang hanya sebesar 27,2 persen.

37,7% 36,7%

39,5% 27,2%

37,8%
37,8%

Daerah se-provinsi Sumatera Barat merupakan daerah yang memiliki porsi belanja
pegawai tertinggi dalam APBD Tahun 2017 dengan porsi sebesar 41,9 persen,
disusul oleh daerah se-provinsi Jawa Tengah (41,1 persen) dan daerah se-provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (41,1 persen). Adapun daerah dengan porsi belanja
pegawai terkecil berturut-turut adalah daerah se-provinsi Papua Barat (24,0
persen), daerah se-provinsi Papua (25,5 persen), dan daerah se-provinsi Banten
(31,3 persen).

11
Rasio Belanja Barang dan Jasa

Rasio belanja barang dan jasa digunakan untuk mengukur porsi belanja barang dan jasa terhadap total
belanja daerah. Belanja barang dan jasa merupakan jenis belanja yang digunakan untuk pembelian
barang dan jasa yang memiliki masa manfaat kurang dari 12 (dua belas) bulan dalam melaksanakan
program dan kegiatan pemerintahan daerah, contohnya pembelian barang pakai habis, perjalanan
dinas, dan pemeliharaan gedung.
Rasio belanja barang dan jasa secara nasional adalah 22,2 persen. Berdasarkan wilayah, Maluku-Papua
merupakan wilayah dengan porsi belanja barang dan jasa tertinggi yakni mencapai 24,2 persen dari
keseluruhan belanja daerah. Adapun porsi belanja barang dan jasa terendah adalah Sulawesi yang
hanya sebesar 20,4 persen.

21,2% 21,6%

20,4% 24,2%

21,0%
20,4%

Daerah se-provinsi Kepulauan Riau merupakan daerah yang memiliki porsi


belanja barang dan jasa tertinggi dalam APBD Tahun 2017 dengan porsi sebesar
28,2 persen, disusul oleh provinsi DKI Jakarta (26,1 persen) dan daerah se-
provinsi Riau (24,7 persen). Adapun daerah dengan porsi belanja barang dan
jasa terkecil berturut-turut adalah daerah se-provinsi Sulawesi Tenggara (15,7
persen), daerah se-provinsi Lampung (17,1 persen) dan daerah se-provinsiJawa
Tengah (18,0 persen).

12
Rasio Belanja Modal
Rasio belanja modal digunakan untuk mengukur porsi belanja modal yang dibelanjakan terhadap total
belanja daerah dalam rangka pemberian layanan kepada masyarakat. Belanja modal merupakan jenis
belanja yang digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap
berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam
kegiatan pemerintahan, contohnya pembelian tanah, pembangunan gedung, dan peningkatan jalan.
Salah satu sumber belanja modal adalah dari Dana Transfer Umum (DAU&DBH). Guna mempercepat
pelayanan publik, mulai tahun 2017 pemerintah daerah harus mengalokasikan penggunaan 25 persen
dari DTU untuk belanja infrastruktur pelayanan publik, yang merupakan bagian dari belanja modal.
Rasio belanja modal secara nasional adalah 21,1 persen. Berdasarkan wilayah, Kalimantan merupakan
wilayah dengan porsi belanja modal tertinggi yakni mencapai 23,3 persen dari keseluruhan belanja
daerah. Adapun porsi belanja modal terendah adalah Jawa yang hanya sebesar 20,4 persen.

23,3%
21,1%
21,6%
22,6%

18,0%
19,9%

Daerah se-provinsi Kalimantan Utara merupakan daerah yang memiliki porsi


belanja modal tertinggi dalam APBD Tahun 2017 dengan porsi sebesar 31,3%,
disusul oleh provinsi Maluku Utara (27,7 persen), dan daerah se-provinsi
Sulawesi Barat (25,8 persen). Adapun daerah dengan porsi belanja modal terkecil
berturut-turut adalah daerah se-provinsi Jawa Barat (15,4 persen), daerah se-
provinsi Jawa Tengah (15,8 persen), dan daerah se-provinsi Jawa Timur (17,4
persen).

13
Gambaran Umum Surplus/Defisit &
Pembiayaan

14
Surplus/Defisit
Defisit daerah merupakan selisih kurang pendapatan daerah dengan belanja daerah.
Defisit daerah ditutup oleh pembiayaan daerah yang meliputi Penggunaan SILPA,
Pinjaman Daerah, Penggunaan Dana Cadangan, Penggunaan Hasil Penjualan Kekayaan
Daerah yang Dipisahkan, Penerimaan Kembali Penerimaan Pinjaman. Defisit Tahun 2017
sebesar 47,4 triliun rupiah lebih kecil 13 triliun rupiah dibanding defisit APBD tahun 2016

sebesar 60,7 triliun rupiah.

Pendapatan Belanja
Defisit
APBD APBD
Rp 47,4 triliun
Rp1.005,2 Rp1.052,6
triliun triliun

Daerah dalam penyusunan anggaran cenderung Defisit, dari 542 dari propinsi/kabupaten/kota sebanyak 84,9
persen (460 daerah) APBD defisit, 13,1 persen (71 daerah) surplus dan hanya 2,0 persen (11 daerah) yang
menyusun anggaran berimbang

Sumatera
Rupiah
Keterangan Daerah
(Miliar) Kalimantan Sulawesi
Defisit 139 -12.034,47 Rupiah Rupiah
Surplus 23 2.294,78 Keterangan Daerah Keterangan Daerah
(Miliar) (Miliar)
Berimbang 2 Defisit 49 -6.404,87 Defisit 73 -3.541,89
Surplus 9 191,90 Surplus 13 192,31
Berimbang 3 Berimbang 1

Maluku & Papua


Jawa
Rupiah
Rupiah Bali & Nusa Tenggara Keterangan Daerah
Keterangan Daerah (Miliar)
(Miliar)
Rupiah Defisit 46 -4.223,70
Defisit 114 -21.504,05 Keterangan Daerah
(Miliar) Surplus 16 1.178,75
Surplus 5 155,13
Defisit 39 -3.794,59 Berimbang 5
Berimbang 0
Surplus 5 89,47
Berimbang 0

Rata-rata Defisit kota adalah Rata-rata Defisit Kabupaten Rata-rata Defisit Propinsi adalah
121,27 miliar rupiah. Defisit adalah 84,08 miliar rupiah. Defisit 444,52 miliar rupiah. Untuk
Terbesar Kota Surabaya (979,76 terbesar Kab. Badung (790,5 propinsi defisit terbesar adalah
miliar rupiah) Defisit terkecil miliar rupiah), Defisit terkecil Prov. Riau (2,15 triliun rupiah)
Kota Banda Aceh (700,00 juta Kab. Penukal Abad Lematang Ilir defisit terkecil Prov. Gorontalo
rupiah) 53,24 juta rupiah) (7,84 miliar rupiah)

15
Pembiayaan Daerah
Pembiayaan Daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang berjalan
maupun pada tahun anggaran berikutnya.

 Sumber penerimaan pembiayaan daerah terbesar berasal dari


SILPA tahun sebelumnya yaitu mencapai 85,3 persen,
sehingga walaupun angka defisit daerah terlihat besar, namun
tidak mengindikasikan bahwa risiko fiskal daerah juga besar.

 Porsi terbesar untuk pengeluaran pembiayaan adalah untuk


penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah yaitu
mencapai 68,4 persen

16
Rasio SiLPA Tahun Sebelumnya Terhadap Penerimaan Pembiayaan

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Tahun Sebelumnya yang dimaksud disini adalah selisih lebih
realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran pada periode tahun sebelumnya, sedangkan Sisa Lebih
Pembiayaan Anggaran (SILPA) Tahun Berkenaan adalah selisih antara surplus/defisit anggaran dengan
pembiayaan netto di tahun berkenaan. Adapun faktor yang mendorong terjadinya SiLPA antara lain
pelampauan target pendapatan daerah dan penyerapan belanja daerah yang kurang optimal.
Nilai SiLPA pada tahun sebelumnya akan digunakan dalam APBD tahun berjalan sebagai salah satu
sumber penerimaan pembiayaan terbesar dalam rangka menutup defisit daerah.

 Penerimaan pembiayaan yang bersumber dari SiLPA Tahun Anggaran sebelumnya


pada tahun 2017 sebesar 85,3 persen lebih kecil 9 persen dari tahun 2016 yang
mencapai 94,1 persen.
 Rata-rata SiLPA Propinsi adalah 508,6 miliar rupiah. Untuk propinsi SiLPA terbesar
adalah Prov. DKI (5,7 triliun rupiah) SiLPA terkecil Prov. Gorontalo (10,4 miliar rupiah).
 Rata-rata SiLPA Kabupaten adalah 68,1 miliar rupiah. SiLPA terbesar Kab. Badung
(790,5 miliar rupiah), SiLPA terkecil Kab. Lanny Jaya (244,3 juta rupiah).
 Rata-rata SiLPA kota adalah 108,7 miliar rupiah. SiLPA Terbesar Kota Surabaya (998,8
miliar rupiah) SiLPA terkecil Kota Pekan Baru (1,5 miliar rupiah).

17
Rasio Pinjaman Daerah Terhadap Penerimaan Pembiayaan

Secara umum, pinjaman daerah dan obligasi daerah belum menjadi sumber utama dalam pembiayaan
daerah, dimana jumlah daerah yang menganggarkan penerimaan pinjaman dan obligasi daerah hanya
mencapai 66 daerah atau 12 persen dari total pemerintah daerah.
Jika dilihat dari agregat daerah (provinsi, kabupaten, dan kota dalam satu provinsi), daerah yang
menganggarkan penerimaan pinjaman dan obligasi daerah terbesar adalah Provinsi DKI Jakarta
(2,03 triliun rupiah).
Untuk kategori provinsi, hanya 3 provinsi yang menganggarkan penerimaan pinjaman dan obligasi
daerah yaitu Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Maluku Utara, dan Provinsi Kalimantan Utara. Untuk kategori
kabupaten dan kota se-provinsi, kabupaten dan kota se-Provinsi Kalimantan Timur merupakan daerah
dengan nilai penerimaan pinjaman daerah dan obligasi daerah terbesar yaitu 728,2 miliar rupiah.

18
Rasio Penyertaan Modal (investasi) Pemerintah Daerah Terhadap
Pengeluaran Pembiayaan

Pengeluaran pembiayaan digunakan untuk Pembentukan dana cadangan, penyertaan modal (investasi)
pemerintah daerah), pembayaran pokok utang, pemberian pinjaman daerah, pembayaran kegiatan
lanjutan, pengeluaran perhitungan pihak ketiga.

 Secara agregat nasional pengeluaran pembiayaan sebesar 68,4 persen digunakan


untuk penyertaan modal, dan pengeluaran kedua terbesar adalah untuk pembayaran
pokok utang sebesar 21,0 persen, dan pengeluaran ketiga terbesar adalah
pembentukan dana cadangan sebesar 5,7 persen.
 Rata-rata penyertaan modal APBD propinsi 229,5 miliar rupiah, provinsi terbesar Prov
DKI sebesar 6,6 triliun rupiah.
 Rata-rata penyertaan modal APBD Kabupaten 5,5 miliar rupiah, kabupaten terbesar
Kab Gunung mas sebesar 48,5 miliar rupiah.
 Rata-rata penyertaan modal APBD Kota 9,8 miliar rupiah, kota terbesar Kota Bandung
sebesar 103,0 miliar rupiah.

19
Rasio Pembayaran Pokok Utang Terhadap Pengeluaran Pembiayaan

Rata-rata pembayaran pokok utang APBD propinsi 48,4 miliar rupiah, propinsi terbesar Prov Sumatera
Selatan sebesar 1,37 triliun rupiah.
Rata-rata pembayaran pokok utang APBD Kabupaten 3,0 miliar rupiah, kabupaten terbesar Kab. puncak
sebesar 100,0 miliar rupiah.
Rata-rata pembayaran pokok utang APBD Kota 5,3 miliar rupiah, kota terbesar Kota Bandar Lampung
sebesar 166,0 miliar rupiah.

20

Anda mungkin juga menyukai