Pada saat dinas jaga malam di sebuah IGD RSUD, Dr. Tari melakukan pemeriksaan seorang
perempuan 35 tahun yang diantar oleh polisi. Pasien mengaku dianiaya oleh pacarnya. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan vulnus contussum di regio frontal kepala, vulnus excoriatum
diregio antebrachii dextra dan vulnus laceratum diregio cruris dextra. Dr. Tari melakukan
perawatan terhadap perlukaan yang dialami korban dan pada saat membuat kesimpulan visum
et repertum perlukaan, dokter Tari menuliskan kualifikasi perlukaan pasien adalah luka derajat
2. Pada saat bersamaan polisi mengantarkan seorang laki-laki dewasa tanpa identitas dan sudah
dalam kondisi death on arrival (DOA) karena kecelakaan lalu lintas ke RSUD. Dr. Tari
melakukan pemeriksaan luar sesuai surat permintaan visum (SPV) terhadap jenazah tersebut.
Pada pemeriksaan luar ditemukan kondisi jenazah dengan wajah hancur dengan bagian-bagian
tubuh yang sudah tidak utuh. Setelah menunggu selama 1 minggu di lemari jenazah, tidak ada
pihak keluarga yang datang mengambil jenazah sehingga pihak rumah sakit memutuskan untuk
menguburkan jenazah setelah berkoordinasi dengan dinas sosial dan pihak kepolisian. Dr. Tari
juga mengeluarkan surat keterangan kematian (SKK) sesuai kondisi saat itu.
Sebulan kemudian, polisi penyidik dari Polres datang mengantarkan SPV ekshumasi ke RSUD
karena ada orang yang mengaku sebagai anak korban DOA, ingin tahu kepastian identitas
jenazah dan sebab kematian korban. Pada hari yang telah disepakati, tim Forensik dari RSUD
melakukan ekshumasi. Dokter Forensik yang melakukan autopsi terhadap jenazah tersebut
mengambil sampel jaringan untuk pemeriksaan histopatologi, toksikologi dan DNA. Dari hasil
autopsi disimpulkan bahwa sebab kematian korban adalah patah tulang dasar tengkorak yang
terjadi ketika korban masih hidup/sesaat sebelum mati (perimortem). Tidak ditemukan racun
didalam tubuh jenazah dan analisis DNA menyimpulkan match semua lokus short tandem
repeats (STR) yang diperiksa antara jenazah dengan anak korban. Dokter Forensik
menuangkan semua temuan ke dalam visum et repertum jenazah dan menyerahkannya kepada
Polres yang meminta.
Bagaimanakah Anda menjelaskan kasus-kasus diatas ?
STEP 1: Terminologi
1. vulnus contussum: luka akibat pecahnya pembuluh darah di dalam kulit, tidak terjadi
robekan dan tidak ada perdarahan keluar. Biasa disebut luka memar.
2. vulnus excoriatum: luka lecet yang disebabkan oleh gesekan benda keras.
3. vulnus laceratum: luka yang menyebabkan robek pada tubuh dimana interpretasinya
panjang dikali lebar dikali kedalaman.
4. visum et repertum: keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan tertulis
yang menghasilkan pemeriksaan medis terhadap manusia hidup atau mati.
5. luka derajat 2: atau luka sedang, luka menyebabkan penyakit atau menghalangi
pekerjaan korban untuk sementara waktu, menurut KUHP pasal 351 ayat 1.
6. death on arrival: seorang pasien dalam keadaan mati, tidak sempat diberi pertolongan
pertama, saat di triase sudah hitam.
7. surat permintaan visum: surat permintaan yang dibuat oleh penyidik kepada dokter
untuk permintaan pembuatan visum.
8. surat keterangan kematian: surat yang menerangkan bahwa seseorang telah meninggal
dunia yang berisikan identitas, waktu kematian, serta sebab kematian.
9. Ekshumasi: penggalian mayat yang dilakukan demi keadilan oleh pihak yang
berwenang yang selanjutnya mayat tersebut diperiksa secara forensik.
10. Toksikologi: ilmu yang mempelajari segala jenis racun dan bagaimana hubungannya
terhadap organisme hidup.
11. short tandem repeats: metode unutk identifikasi pasien atau orang menggunakan
mikro genetik yang ada didalam gen berdasarkan urutan basa nitrogen pada dna.
Catatan:
Di samping jenis visum et repertum sebagaimana tersebut
pada huruf a-f, di dalam proses pemeriksaan perkara pidana dikenal
pula:
Berita Acara Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP)
yang diberikan untuk menggambarkan atau melukiskan
keadaan
TKP berhubungan dengan tindak pidana yang terjadi;
Pasal 179:
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib
memberikan keterangan ahli demi keadilan;
(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga
bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan
ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji
akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan
yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya.
Pasal 133 ayat (1) KUHAP mengatur tentang pemeriksaan
dokter perlu dilakukan, yaitu menyangkut korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa pidana.
Namun demikian, korban tindak pidana kesusilaan yang
memerlukan pemeriksaan dokter dalam rangka pembuatan visum et
repertum tidak dikategorikan di dalamnya; sedangkan visum et
repertum diperlukan pula untuk kasus tindak pidana di bidang
kesusilaan. Tidak disebutkannya korban tindak pidana kesusilaan
sebagai objek dalam pemeriksaan kedokteran forensik juga
dinyatakan di dalam RUU KUHAP Pasal 37 ayat (1).
RUU KUHAP sebagai ius constituendum, hukum yang
dicitacitakan berlakunya di masa yang akan datang pada Pasal 37
ayat (1) menyebutkan: “dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani korban luka, keracunan atau mati yang diduga
akibat peristiwa tindak pidana, penyidik berwenang mengajukan
permintaan keterangan kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan/atau ahli lainnya”.
Penjelasan Resmi atas Pasal 133 ayat (2) KUHAP menyatakan,
keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter
bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan. Penjelasan
Resmi atas Pasal 133 ayat (2) KUHAP, mirip dengan Penjelasan
Resmi atas RUU KUHAP Pasal 37 ayat (1), yang menentukan bahwa
keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman
dianggap sebagai keterangan ahli, sedangkan keterangan yang
diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman dianggap
hanya sebagai keterangan.
Penjelasan Pasal 133 ayat (2) KUHAP menimbulkan kerancuan
berkaitan dengan kategori jenis keterangan yang diberikan oleh
dokter. Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam Keputusan Menteri
Kehakiman No. M.01.PW.07.03 Tahun 1982 berkaitan dengan
Penjelasan Pasal 133 ayat (2) KUHAP menyatakan, hal ini tidak
menjadi masalah walaupun keterangan dari dokter bukan ahli
kedokteran kehakiman itu bukan sebagai keterangan ahli, tetapi
keterangan itu sendiri adalah petunjuk dan petunjuk itu adalah alat
bukti yang sah, walaupun nilainya agak rendah, tetapi diserahkan
saja pada hakim yang menilainya dalam sidang. Dengan demikian,
keterangan dokter bukan ahli kedokteran kehakiman (disebut
keterangan menurut Penjelasan Pasal 133 ayat (2) KUHAP), dan
menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP dikategorikan sebagai alat
bukti petunjuk. Penilaian sepenuhnya diserahkan kepada hakim,
untuk menentukan kategori alat bukti keterangan yang diberikan
oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman. Implementasi Pasal
133 ayat (2) KUHAP “tidak menimbulkan permasalahan” dalam
implementasinya, tercermin dari konsep RUU KUHAP Pasal 37
sehingga pembentuk undang-undang tidak perlu melakukan
perubahan ketentuan formulasi Pasal 133 KUHAP .
KUHAP Pasal 133 ayat (2) mirip dengan RUU KUHAP Pasal 37
ayat (2) yang menyebutkan, permintaan keterangan ahli
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis
dengan menyebutkan secara tegas untuk pemeriksaan luka,
keracunan, mayat, dan/atau bedah mayat; sedangkan KUHAP Pasal
133 ayat (3) mirip dengan Pasal 37 ayat (3) RUU KUHAP yang
menyebutkan: dalam hal korban mati, mayat dikirim kepada ahli
kedokteran kehakiman dan/atau dokter pada rumah sakit dengan
memperlakukan mayat tersebut secara baik dengan penuh
penghormatan dan diberi label yang dilak dan diberi cap jabatan
yang memuat identitas mayat dan dilekatkan pada ibu jari kaki atau
bagian lain badan mayat.
KUHAP Pasal 134 sebagai ius constitutum dapat disandingkan
dengan ketentuan RUU KUHAP Pasal 38 sebagai ius constituendum,
yaitu sebagai berikut: