Anda di halaman 1dari 16

Penyusunan APBD

Dalam UU 17 Tahun 2003 yang mengatur keuangan negara sebagai dasar

penyusunan APBD dan pengelolaan keuangan daerah tidak banyak memuat peran

serta masyarakat. Baik dalam pemanfaatan anggaran maupun evaluasinya.

Penyusunan APBD seharusnya tidak bisa lepas dari kaidah penganggaran sektor

publik. Setidaknya ada tiga kaidah yang harus dipenuhi dalam penyusunan APBD.

Tiga kaidah tersebut adalah legitimasi hukum, legitimasi finansial, dan legitimasi

politik. Legitimasi hukum menyangkut sejauh mana APBD disusun dengan mengacu

pada peraturan perundangan yang ada. Penyusunan APBD terikat pedoman, prosedur,

tahap, dan peruntukan sesuai dengan peraturan yang ada. Legitimasi finansial

mensyaratkan penyusunan APBD harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kekuatan

anggaran yang dimiliki daerah. Di dalamnya harus dipatuhi asas efisiensi dan

efektivitas penggunaan anggaran. Penggelembungan dana (markup) dan anggaran

ganda menjadi sesuatu yang haram dan melanggar asas efisiensi.

Dari sisi efektivitas, anggaran harus sesuai prioritas kebutuhan dan tepat

sasaran terhadap kepentingan publik. Istilah menghabiskan anggaran tidak lagi

dikenal dalam penyusunan APBD saat ini. Yang diterapkan adalah prinsip money

follow function, yaitu, uang disediakan untuk memenuhi fungsi kebutuhan pelayanan

pemerintah kepada masyarakat. Tidak ada alokasi anggaran tiap instansi, yang ada

adalah kebutuhan anggaran instansi.

Sementara itu, legitimasi politik mensyaratkan bahwa APBD harus merupakan

hasil aspirasi masyarakat. Legitimasi politik tidak sekadar berupa pengesahan oleh

wakil rakyat. Tetapi, di dalamnya merupakan pemenuhan kebutuhan masyarakat hasil

perencanaan bottom-up yang sesungguhnya. Praktik saling titip proyek atau agenda
terselubung lainnya menjadi sesuatu yang menodai legitimasi politik ini. Ketiga hal

diatas cukup menggambarkan bagaimana sesungguhnya. Lalu pertanyaan yang akan

muncul adalah, akankah perubahan itu berdampak kepada tingkat serapan anggaran

yang mampu dinikmati masyarakat secara luas? Atau justru sebaliknya, prospek

peningkatan kesejahteraan masyarakat akan semakin sulit dicapai.


Proses Perencanaan dan Penganggaran Daerah

Penganggaran merupakan suatu proses menyusun rencana keuangan yaitu

pendapatan dan pembiayaan, kemudian mengalokasikan dana ke masing-masing

kegiatan sesuai dengan fungsi dan sasaran yang hendak dicapai dan selanjutnya

masing-masing kegiatan tersebut dikelompokkan ke dalam program berdasarkan

tugas dan tanggung jawab dari satuan kerja tertentu dengan standar biaya yang

berlaku. Penyusunan anggaran merupakan suatu rencana tahunan yang merupakan

aktualisasi dari perencanaan jangka menengah maupun jangka panjang, dengan

kewenangan yang dimiliki saat ini pemerintah daerah dapat menyusun struktur

anggaran yang memungkinkan masyarakat dan manajemen pemerintah daerah

mengawasi dan mengevaluasi kebijakan yang telah dan akan dilaksanakan

Mardiasmo (2001) melakukan studi tentang masalah utama yang timbul dalam

proses perencanaan dan persiapan anggaran pemerintah kabupaten/kota di Indonesia,

yaitu ketergantungan keuangan terhadap pemerintah propinsi dan pusat, dan

pembatasan keuangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Studi kasus pada

enam kabupaten/kota dengan periode amatan 1991/1992 sampai dengan 1995/1996

yang meneliti budgetary slack dan pendekatan anggaran serta waktu pemberian
bantuan menyimpulkan dua hal, pertama, ketergantungan keuangan pemerintah

daerah kabupaten/kota terhadap pemerintah propinsi dan pusat mendorong terjadinya

kesenjangan anggaran, kedua, pendekatan bottom-up cenderung menjadi sebuah

formalitas belaka karena pemerintah kabupaten/kota dianggap tidak memiliki

perencanaan strategik dan prioritas yang jelas.

Halim (2001:19) mengatakan proses anggaran yang telah disepakati antara

pemerintah daerah dan DPRD merupakan amanat rakyat. Ini adalah tantangan untuk

menunjukkan bahwa sebagai pihak yang bertanggungjawab akan “kepentingan

rakyat” pemerintah daerah dan DPRD harus memposisikan dirinya pada posisi yang

tepat. Selain itu, hal tersebut adalah sebuah peluang untuk menunjukkan bahwa

pemerintah daerah dan DPRD bukan sebagai salah satu “penikmat” dana rakyat, akan

tetapi dapat berbagi rasa dengan rakyat dari dana yang tersedia bagi daerah.

Berkaitan dengan adanya tuntutan terciptanya akuntabilitas publik maka DPRD

memiliki peran dan kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan masa-masa

sebelumnya. Fungsi perencanaan anggaran daerah hendaknya sudah dilakukan oleh

para anggota DPRD sejak proses penjaringan aspirasi masyarakat (needs assessment)

hingga penetapan kebijakan umum APBD serta penentuan strategi dan prioritas

APBD.

Keberhasilan pengelolaan keuangan daerah sangat ditentukan oleh proses awal

perencanaannya. Semakin baik perencanaannya akan memberikan dampak semakin

baik pula implementasinya di lapangan. Keterlibatan berbagai lembaga/instansi dalam

proses perencanaan diperlukan kesatuan visi, misi dan tujuan dari setiap lembaga
tersebut. Dalam menentukan alokasi dana anggaran untuk setiap kegiatan biasanya

digunakan metode incrementalism yang didasarkan atas perubahan satu atau lebih

variabel yang bersifat umum, seperti tingkat inflasi dan jumlah penduduk.

Prinsip dan Kebijakan Penyusunan APBD dan Perubahan APBD

Prinsip penyusunan APBD dan Perubahan APBD Tahun 2008 berdasarkan

Permendagri Nomor 30 Tahun 2007 adalah :

a. Partisipasi Masyarakat

Hal ini mengandung makna bahwa pengambilan keputusan dalam proses

penyusunan dan penetapan APBD sedapat mungkin melibatkan partisipasi

masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui akan hak dan kewajibannya dalam

pelaksanaan APBD.

b. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran

APBD yang disusun harus dapat menyajikan informasi secara terbuka dan

mudah diakses oleh masyarakat meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan pada

setiap jenis belanja serta korelasi antara besaran anggaran dengan manfaat dan

hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu,

setiap pengguna anggaran harus bertanggung jawab terhadap penggunaan sumber

daya yang dikelola untuk mencapai hasil yang ditetapkan.

c. Disiplin Anggaran

Beberapa prinsip dalam disiplin anggaran yang perlu diperhatikan antara

lain:

1) Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara

rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan

belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja;


2) Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian

tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan

melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit

anggarannya dalam APBD/Perubahan APBD;

3) Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang

bersangkutan harus dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui

rekening kas umum daerah.

d. Keadilan Anggaran

Pajak daerah, retribusi daerah, dan pungutan daerah lainnya yang

dibebankan kepada masyarakat harus mempertimbangkan kemampuan

masyarakat untuk membayar. Masyarakat yang memiliki kemampuan

pendapatan rendah secara proporsional diberi beban yang sama, sedangkan

masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk membayar tinggi diberikan

beban yang tinggi pula. Untuk menyeimbangkan kedua kebijakan tersebut

pemerintah daerah dapat melakukan perbedaan tarif secara rasional guna

menghilangkan rasa ketidakadilan. Selain daripada itu dalam mengalokasikan

belanja daerah, harus mempertimbangkan keadilan dan pemerataan agar dapat

dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi pemberian

pelayanan.

e. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran Dana yang tersedia harus dimanfaatkan

seoptimal mungkin untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan


masyarakat. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

anggaran, dalam perencanaan anggaran perlu memperhatikan:

1) Tujuan, sasaran, hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin

dicapai;

2) Penetapan prioritas kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan

harga satuan yang rasional.

f. Taat Azas

APBD sebagai rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah ditetapkan

dengan Peraturan Daerah, memperhatikan:

1) APBD tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, mengandung arti bahwa apabila pendapatan, belanja dan pembiayaan

yang dicantumkan dalam rancangan peraturan daerah tersebut telah sesuai

dengan ketentuan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden,

keputusan presiden, atau peraturan/keputusan/surat edaran menteri yang

diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat

sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dimaksud mencakup

kebijakan yang berkaitan dengan keuangan daerah.

2) APBD tidak bertentangan dengan kepentingan umum, mengandung arti

bahwa rancangan peraturan daerah tentang APBD lebih diarahkan agar

mencerminkan keberpihakan kepada kebutuhan dan kepentingan masyarakat

(publik) dan bukan membebani masyarakat. Peraturan daerah tidak boleh


menimbulkan diskriminasi yang dapat mengakibatkan ketidakadilan,

menghambat kelancaran arus barang dan pertumbuhan ekonomi masyarakat,

pemborosan keuangan negara/daerah, memicu ketidakpercayaan masyarakat

kepada pemerintah, dan mengganggu stabilitas keamanan serta ketertiban

masyarakat yang secara keseluruhan mengganggu jalannya penyelenggaraan

pemerintahan di daerah.

3) APBD tidak bertentangan dengan peraturan daerah lainnya, mengandung arti

bahwa apabila kebijakan yang dituangkan dalam peraturan daerah tentang

APBD tersebut telah sesuai dengan ketentuan peraturan daerah sebagai

penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Sebagai

konsekuensinya bahwa rancangan peraturan daerah tersebut harus sejalan

dengan pengaturannya tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah

dan menghindari adanya tumpang tindih dengan peraturan daerah lainnya,

seperti; Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan

sebagainya.

Sedangkan Kebijakan penyusunan APBD dan Perubahan APBD Tahun 2008

berdasarkan Permendagri Nomor 30 Tahun 2007 adalah :

a. Kebijakan Pendapatan Daerah. Misalnya, kebijakan untuk meningkatkan target

PAD didasari alasan untuk apa dana tersebut akan digunakan. Semestinya PAD

tidak boleh digunakan untuk membayar penghasilan dan tunjangan serta


perjalanan dinas dan belanja lain yang berhubungan dengan para anggota DPRD,

karena kebutuhan tersebut sudah dialokasikan dari DAU.

b. Kebijakan Belanja Daerah. Belanja daerah dimaksudkan untuk melaksanakan

Tupoksi masing-masing SKPD sesuai dengan target yang ditentukan. Belanja

daerah nantinya akan dicairkan sesuai dengan anggaran kas SKPD, yang telah

diakomodasi dalam anggaran kas pemerintah daerah. Dengan demikian, prioritas

belanja tidak hanya pada besaran angka, tetapi juga pada jaminan bahwa

pelaksanaan anggaran belanja tsb tepat pada waktunya.

c. Kebijakan Pembiayaan Daerah. Pembiayaan merupakan komponen APBD yang

secara tidak langsung adalah “turunan” dari Pendapatan dan Belanja karena (1)

adanya surplus defisit, sehingga arus kas masuk dan keluar tidak sama; (2)

adanya anggaran tahun lalu yang tidak terealisasi seluruhnya, sehingga harus

dilanjutkan ke tahun berikutnya; (3) adanya kebijakan APBD tahun lalu yang

harus direalisasikan pada tahun berikutnya, seperti adanya pinjaman/piutang

yang akan ditagih pada tahun mendatang; dan (3) adanya kebijakan untuk

membayarkan atau menerima dana dari sumber luar, seperti investasi dan

pinjaman yang dimaksudkan untuk pendanaan atas program/kegiatan APBD

yang memang lebih ekonomis dan efisien dengan menggunakan dana dari pihak

eksternal.
Teknis Penyusunan APBD

Berdasarkan Permendagri Nomor 30 Tahun 2007 langkah-langkah yang harus

dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menyusun APBD pada tahun anggaran 2008

yaitu:

1. Penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :

a. Kepala Daerah menyampaikan rancangan KUA kepada DPRD paling lambat

pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas oleh TAPD

bersama Panitia Anggaran DPRD

b. Substansi rancangan KUA meliputi program dan kegiatan menurut urusan

pemerintahan, organisasi, sasaran dan target kinerja serta pagu anggaran

indikatif.

c. Program dan kegiatan yang tercantum dalam Nota Kesepakatan KUA antara

Kepala Daerah dengan Pimpinan DPRD, dapat dicantumkan klausul yang

menyatakan bahwa dalam hal terjadi pergeseran asumsi yang melandasi

penyusunan KUA akibat adanya kebijakan pemerintah, dapat dilakukan

penambahan atau pengurangan program dan kegiatan serta pagu anggaran

indikatif apabila belum ditampung dalam Nota Kesepakatan KUA.

2. Penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :

a. Penyampaian rancangan PPAS kepada DPRD paling lambat minggu kedua

bulan Juli tahun anggaran


b. Substansi rancangan PPAS dimaksud meliputi urutan prioritas program dan

kegiatan serta sasaran dan target kinerja masing-masing program dan kegiatan

yang didasarkan pada KUA dan pagu anggaran definitif.

c. Prioritas program dan kegiatan serta pagu anggaran definitif yang tercantum

dalam Nota Kesepakatan PPA dapat berubah apabila :

1) adanya kebijakan pemerintah bagi provinsi dan/atau kabupaten/kota dan

kebijakan provinsi untuk kabupaten/kota;

2) adanya penambahan/pengurangan sumber pendapatan daerah

d. Tidak diperkenankan untuk melakukan penambahan program dan kegiatan

serta pagu anggaran definitif, apabila program dan kegiatan serta pagu

anggaran definitif tersebut tidak dicantumkan dalam klausul Nota

Kesepakatan PPA

3. Penyusunan dan penyampaian surat edaran kepala daerah tentang pedoman

penyusunan RKA-SKPD kepada seluruh SKPD.

4. Penyusunan rancangan peraturan daerah tentang APBD.

5. Penyusunan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.

6. Penyampaian rancangan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala

daerah tentang penjabaran APBD.

3.11. APBD Kabupaten Aceh Tamiang

APBD merupakan parameter dalam menentukan maju atau tidaknya suatu

daerah atau progress report yang dilakukan dengan pendekatan anggaran kinerja atau
performance budgeting system yang mengutamakan upaya pencapain hasil atau

output daerah. Dengan kata lain APBD merupakan dokumen penting bagi suatu

daerah, karena dalam APBD tergambar pendapatan, sumber-sumber pendapatan dan

belanja daerah baik berupa belanja pembangunan maupun belanja rutin.

Berikut adalah perkembangan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun

Anggaran 2003 s/d 2008.

Tabel 8. Perkembangan APBD Kabupaten Aceh TamiangTahun Anggaran 2003 s/d 2008

TahunPendapatan Peningkatan Belanja (Rp.) Peningkatan


(Rp.) Rp.% 114.038.257.050 Rp.%
114.038.257.050
2003 - - - -
2004 156.438.860.070 42.400.603.020 37,18 183.950.941.685 69.912.684.635 61,31
2005 196.756.439.974 40.317.579.904 25,77 242.272.606.941 58.321.665.256 31,71
2006 332.948.492.980 136.192.053.006 69,22 424.637.330.863 182.364.723.922 75,27
2007 401.334.529.997 68.386.037.017 20,54 631.693.061.128 207.055.730.265 48,76
2008 473.193.535.642 71.859.005.645 17,91 654.109.034.727 22.415.973.599 3,55
Sumber : Bappeda Kabupaten Aceh Tamiang (data diolah), 2009

Dari tabel 8 diatas dapat dijelaskan bahwa pada awal pembentukannya APBD

Kabupaten Aceh Tamiang adalah sebesar Rp. 114.038.257.050,- Sebagai Kabupaten

yang baru terbentuk, Kabupaten Aceh Tamiang menganut sistem anggaran

berimbang, artinya besaran belanja disesuaikan dengan target pendapatan. Hal ini

dilakukan agar pelaksanaan APBD dapat dilakukan dengan lebik efektif dan efesien.

Kemudian pada tahun 2004 menjadi Rp. 183.950.941.685,- meningkat sebesar

Rp. 69.912.684.635,- atau sebesar 61,31%. Sedangkan target pendapatan pada tahun
ini meningkat sebesar Rp. 42.400.603.020,- atau naik 37,18%. Pada tahun anggaran

2005 APBD Kabupaten Aceh Tamiang terus meningkat sebesar Rp. 74.364.124.580,-

atau 44,29% menjadi Rp. 242.272.606.941,-.

APBD Kabupaten Aceh Tamiang terus meningkat dari tahun-tahun seiring

dengan peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap pembangunan baik sarana

maupun prasarana dibidang infrastruktur seperti jalan dan jembatan, sarana dan

prasarana pendidikan dan juga sarana dan prasarana kesehatan juga pemberdayaan

dibidang ekonomi, sosial budaya. Peningkatan tersebar terjadi pada tahun anggaran

2006 dimana target pendapatan dalam APBD Kabupaten Aceh Tamiang naik sebesar

69,22% atau sebesar 136.192.053.006,- dan belanja meningkat sebesar 75,27% atau

menjadi Rp. 424.637.330.863,- dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun anggaran

2007 peningkatan APBD Kabupaten Aceh Tamiang kembali menurun jika

dibandingkan peningkatan pada tahun 2006, yaitu meningkatan sebesar 48,76%

menjadi Rp. 631.693.061.128,-. Keadaan ini disebabkan karena banjir bandang yang

melanda Kabupaten Aceh Tamiang pada 23 Desember 2006 yang telah

menghancurkan sebahagian infrastruktur, baik perumahan masyarakat, perkantoran,

juga sarana dan prasarana perekonomian masyarakat. Dampak kehancuran yang

diakibatkan banjir bandang masih terus terasa hingga tahun 2008, dimana APBD

Kabupaten Aceh Tamiang hanya meningkat sedikit yaitu sebesar 3,55% menjadi Rp.

654.109.034.727,-.

Perkembangan APBD Kabupaten Aceh Tamiang dari Tahun 2003 hingga

Tahun 2008 dapat dilihat pada grafik berikut :


Gambar 3. Grafik Perkembangan APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2003 s/d 2008
Tingkat perbandingan usulan musrenbang dan kegiatan dalam APBD

dapat dilihat pada grafik berikut :

Gambar 5. Grafik Jumlah Aspirasi Masyarakat yang ditampung


dalam APBD Kabupaten Aceh Tamiang Tahun Anggaran
2008

Anda mungkin juga menyukai