Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT DAN


PASANG SURUT

LAHAN PASANG SURUT

Dosen Pengampu :
Dr. Ir. Sutiyah, MP.

Disusun oleh :
Trideo Oktonugraha
193020401039

JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang maha esa, atas berkat dan
kebaikannya untuk kita semua sehingga pada saat ini kami dapat menyelesaikan
makalah kami yang berjudul Lahan Pasang Surut dan dapat diselesaikan dengan
tepat waktu.
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas yang
di berikan oleh ibu Dr. Ir. Sutiyah, MP. pada Mata Kuliah Pengelolaan Lahan
Gambut Dan Pasang Surut. Tidak hanya itu, tujuan dari penyusunan makalah ini
sendiri untuk menambah wawasan tentang Lahan Pasang Surut bagi para pembaca
dan juga penulis.
Kami mengucapakan terima kasih banyak kepada ibu Dr. Ir. Sutiyah, MP. untuk
tugas yang diberikan. Ini tidak hanya menjadi tugas semata yang harus kami
kerjakan, namun dari tugas inilah kami bisa mendapatkan pengetahuan yang lebih
lagi dan tugas ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang kami tekuni.
Kemudian pada seluruh pihak yang dengan kerelaan hati telah membagikan
wawasan dan pengetahuannya kepada kami, sehingga makalah ini dapat tersusun
dengan baik. Kiranya setiap ilmu yang dibagikan kepada kami dapat menjadi
berkat.
Kami menyadari bahwa makalah kami ini masih jauh dari kata sempurna atau
mungkin masih memiliki banyak sekali kekurangan dan kesalahan, maka dari itu
dengan rela hati, kami siap menerima setiap kritik maupun saran yang diberikan
kepada kami.

Palangka Raya, 01 Deaember 2020

Penyusun
Trideo Oktonugraha
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Tujuan ........................................................................................... 2
II. HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1. Proses Pembentukan Lahan Pasang Surut dan Faktor Yang
Mempengaruhinya......................................................................... 3
2.2. Karakteristik Lahan Pasang Surut ................................................. 4
2.3. Klasifikasi Lahan Pasang Surut .................................................... 6
2.4. Manfaat Lahan Pasang Surut Pada Bidang Pertanian ................... 10
III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan ................................................................................... 13
3.2. Saran .............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan
menjadi lahan pertanian berbasis tanaman pangan dalam menunjang ketahanan
pangan nasional. Lahan pasang surut Indonesia cukup luas sekitar 20,1 juta ha dan
9,3 juta diantaranya mempunyai potensi untuk pengembangan tanaman pangan
(Ismail et al. 1993). Propinsi Jambi diperkirakan memiliki lahan rawa seluas
684.000 ha, berpotensi untuk pengembangan pertanian 246.481 ha terdiri dari lahan
pasang surut 206.832 ha dan lahan non pasang surut (lebak) 40.521 ha (Bappeda,
2000). Menurut Suwarno et al. (2000) bahwa permintaan bahan pangan khususnya
beras terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga mendorong pemerintah untuk
mengembangkan lahan pertanian ke wilayah-wilayah bermasalah diantaranya lahan
rawa pasang surut yang tersedia sangat luas, diperkirakan lahan pasang surut dan
lahan marginal lainnya yang belum dimanfaatkan akan semakin meningkat
perannya dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Pemanfaatan lahan tersebut
untuk pertanian merupakan alternatif yang dapat mengimbangi berkurangnya lahan
produktif terutama di pulau Jawa yang beralih fungsi untuk berbagai keperluan
pembangunan non pertanian. Hasil penelitian Ismail et al. (1993) menunjukkan
bahwa lahan rawa ini cukup potensial untuk usaha pertanian baik untuk tanaman
pangan, perkebunan, hortikultura maupun usaha peternakan. Kedepan lahan rawa
ini menjadi sangat strategis dan penting bagi pengembangan pertanian sekaligus
mendukung ketahanan pangan dan usaha agribisnis (Alihamsyah, 2002).
Lahan pasang surut berbeda dengan lahan irigasi atau lahan kering.
Perbedaannya menyangkut kesuburan tanah, sumber air tersedia dan teknik
pengelolaannya. Lahan ini tersedia sangat luas dan dapat dimanfaatkan untuk lahan
pertanian. Kemudian tanah pasang surut juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan terutama untuk lahan persawahan. Luas lahan pasang surut yang dapat
dimanfaatkan berfluktuasi antara musim kemarau dan penghujan. Pemanfaatan
lahan pasang surut telah menjadi sumber mata pencaharian penting bagi masyarakat
disekitarnya meskipun belum dapat menggunakannya sepanjang tahun. Rata - rata
lahan pasang surut hanya dapat ditanami sekali dalam setahunnya selebihnya
2

dibiarkan dalam keadaan bero karena tergenang air. Hasil yang diperoleh sangat
tergantung kepada cara pengelolannya. Untuk itu perlu memahami karakteristik dan
sifat dari lahan pasang surut.

1.2. Tujuan
Tujuan pembuatan Makalah Lahan Pasang Surut adalah untuk mengetahui
proses pembentukan lahan pasang surut dan faktor yang mempengaruhinya,
karakteristik dan klasifikasi lahan pasang surut serta manfaatnya untuk pertanian.
3

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1. Proses pembentukan lahan pasang surut dan faktor yang mempengaruhi
Lahan rawa pasang surut berada dibagian muara sungai-sungai besar, berupa
pulau-pulau delta berukuran relatif kecil yang terpisah dari daratan, atau sebagai
pulau-pulau delta besar yang menyambung ke daratan, dan diapit oleh dua sungai
besar. Rawa pasang surut terbentuk karena proses akreasi (accreation), yaitu proses
pelebaran daratan baru ke arah laut yang terjadi secara alami, karena pengendapan
bahan-bahan sedimen yang dibawa sungai (sedimen load) diwilayah bagian muara
sungai besar. Di bagian muara sungai, pada saat air sungai yang bereaksi sekitar
netral (pH 5-6), bertemu dengan air laut yang bereaksi sekitar alkalis (pH 7-9),
maka muatan sedimen sungai yang berupa bahan halus, liat sampai debu halus, akan
"menjojot" yakni membentuk gumpalan-gumpalan kecil yang mengendap di dasar
laut. Pengendapan yang intensif terjadi selama musim hujan dan terus-menerus
berlangsung selama berabad-abad, lambat laun membentuk "dataran lumpur", atau
"mudflats" yang muncul sebagai daratan tanpa vegetasi sewaktu air surut, dan
tenggelam di bawah air sewaktu air pasang. Sejalan dengan waktu, tumbuhan yang
toleran air asin, khususnya api-api (Avicennia sp.) dan bakau/mangrove
(Rhizophora sp., Bruguiera sp.) akan tumbuh di lumpur, yang menjebak lebih
banyak sedimen, sehingga dataran lumpur terbangun secara vertical semakin tinggi,
dan akhirnya menjadi dataran rawa pasang surut, “tidal marsh”, atau “salt marsh”,
yang ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove.

Pasang surut terbentuk karena gaya tarik semua planet, terutama bulan dan
matahari terhadap bumi (Franco, 1986). Tarikan itu akan menyebabkan badan air
laut bergerak vertikal dan horizontal, sehingga permukaan air laut tidaklah statisk
4

melainkan dinamik dan selalu bergerak (Marchuk dan Kagan, 1983). Untuk
mengetahui karakteristik pasang surut laut, perlu dilakukan pengamatan di
lapangan (Hydrographic Services, 1987), dengan menggunakan alat perekam
pasang surut otomatis, rambu visual (Unesco, 1984) dan bisa juga dengan manual
atau secara digital. Data ini kemudian dihitung agar karakteristik pasang surut laut
dapat diketahui (Hydrographer of the Nurry, 1969) dan dianalisis pengaruhnya
terhadap endapan lumpur di lahan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan lahan pasang surut
antara lain, yaitu: a). Lama dan kedalaman air banjir atau air pasang serta kualitas
airnya; b). Ketebalan, kandungan hara dan kematangan gambut; c). Kedalaman
pirit, kemasaman total dan potensial setiap lahan; d). Pengaruh luapan atau intrusi
air asin atau payau; e). Tinggi muka air tanah dan keadaan substratum lahan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan lahan pasang surut antara
lain, yaitu: a). Lama dan kedalaman air banjir atau air pasang serta kualitas airnya;
b). Ketebalan, kandungan hara dan kematangan gambut; c). Kedalaman pirit,
kemasaman total dan potensial setiap lahan; d). Pengaruh luapan atau intrusi air
asin atau payau; e). Tinggi muka air tanah dan keadaan substratum lahan.

2.2. Karakteristik lahan pasang surut


Lahan rawa pasang surut terletak pada
topografi datar, sehingga sering terluapi dan
tergenang air secara periodik. Berdasarkan
jangkauan pasang surutnya air, Widjaja-Adhi
et al. (1992) membagi lahan rawa pasang surut
menjadi dua zona, yaitu : (1) zona pasang surut
payau/salin, dan (2) zona pasang surut air
tawar. Kedua zona tersebut mempunyai ciri
dan sifat yang berbeda sehingga dalam upaya
pemanfaatannya perlu dihubungkan antara aspek lahan (tipologi lahan) dengan
aspek air (tipe luapan) yang mengandung ciri-ciri yang lebih khas.
5

Tipologi lahan yang terdapat pada


zona pasang surut air payau yaitu
tipologi lahan salin, mempunyai ciri
unsur Na tukar yang cukup tinggi >8
me/100g tanah, dan berada dekat
dengan pantai. Lahan tersebut pada
umumnya telah dimanfaatkan oleh
petani untuk ushaha tani padi, juga
telah banyak yang mengkombinasikan padi di tabukan dan tanaman kelapa di surjan
atau tukungan. Tipologi lahan yang terdapat pada zona pasang surut air tawar, lebih
banyak dibanding dengan yang terdapat pada zona air payau/ salin. Pengelompokan
tipologi lahan pada zona air tawar, berdasarkan pada kedalaman bahan sulfidik,
tingkat oksidasi pirit dan ketebalan gambut. Atas dasar itu ditemukan delapan
tipologi lahan yang terdiri atas : (1) lahan sulfat masam aktual (SMA), (2) lahan
sulfat masam potensial (SMP) asam sulfat tanah (asam sulfatsulfat asam potensial
dan aktual), bila kedalaman lapisan pirit (FeS 2 > 2%) <50cm dari permukaan tanah,
(3) lahan sulfat masam bergambut (SMPG), (4) lahan potensial (P), (5) lahan
gambut dangkal (GDK), (6) lahan gambut sedang (GSD), (7) lahan gambut dalam
(GDL), dan (8) lahan gambut sangat dalam (GSDL) (Abdurachman et al.,1999).
Selain tipologi lahan, tipe luapan air mempunyai arti yang sangat penting
dalam menentukan kesesuaian wilayah untuk usaha pertanian. Berdasarkan tipe
luapan air pasang, lahan rawa pasang surut dapat dibagi dalam empat kategori,
yaitu:
1. Tipe luapan A, yaitu suatu wilayah yang dapat diluapi oleh air pasang baik oleh
pasang besar maupun oleh pasang kecil.
2. Tipe luapan B, yaitu wilayah yang hanya dapat diluapi oleh air pasang besar saja,
sedang pada pasang kecil air tidak dapat meluap ke petak sawah.
3. Tipe luapan C, yaitu wilayah yang tidak terluapi air pasang, tetapi air pasang
mempe-ngaruhi kedalaman muka air tanah kurang dari 50 cm dari permukaan
tanah.
6

4. Tipe D, yaitu wilayah yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh air pasang, namun
demikian air pasang mempengaruhi kedalam muka air tanah pada kedalaman
lebih dari 50 cm dari permukaan tanah.
5. Tipe luapan A dan B, sering juga disebut sebagai pasang surut langsung,
sedangkan tipe C dan D disebut sebagai pasang surut tidak langsung.

2.3. Klasifikasi lahan pasang surut


Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang besar
(spring tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai di bagian bawah
(downstream area) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona. Klasifikasi zona-zona
wilayah rawa ini telah diuraikan oleh Widjaja-Adhi et al. (1992), dan agak
mendetail olehSubagyo (1997). Ketiga zona wilayah rawa tersebut adalah:
Zona I : Wilayah rawa pasang surut air asin/payau
Zona II : Wilayah rawa pasang surut air tawar
Zona Ill : Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut
Zona I: Wilayah rawa pasang surut air asin/payau Wilayah rawa pasang surut
air asin/payau terdapat di bagian daratan yang bersambungan dengan laut,
khususnya di muara sungai besar, dan pulau-pulau delta di wilayah dekat muara
sungai besar. Di bagian pantai ini, dimana pengaruh pasang surut air asin/laut masih
sangat kuat, sering kali disebut sebagai “tidal wetlands”, yakni lahan basah yang
dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut/salin. Di bagian pantai yang terbuka
ke laut lepas, apabila pesisir pantainya berpasir halus, dan ombak langsung
mencapai garis pantai, oleh pengaruh energi ombak dan angin biasanya terbentuk
beting pasir pantai (coastal dunes/ridges), yang di belakangnya terdapat semacam
danau-danau sempit yang disebut laguna (lagoons). Wilayah di belakang laguna,
merupakan jalur yang ditumbuhi hutan bakau atau mangrove (Rhizophora sp.,
Bruguiera sp.), dan masih dipengaruhi oleh air pasang melalui sungai-sungai kecil
(creeks). Di belakang hutan mangrove, terdapat jalur wilayah yang dipengaruhi
oleh air payau (brackish water), dan ditumbuhi vegetasi nipah (Nipa fruticans).
7

Dibelakang hutan nipah, terdapat landform rawa belakang (backswamp) yang


dipengaruhi oleh air tawar (fresh water).
Selanjutnya lebih jauh ke arah daratan, pada landform cekungan/depresi,
ditempati oleh hutan rawa dan gambut air tawar (fresh-water swamp and peat
forests). Di bagian estuari atau teluk yang terlindung dari hantaman ombak

Gambar Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai


(DAS) bagian bawah dan tengah
langsung, atau di bagian pantai yang terlindung gosong pasir (sand spits), pada
bagian paling depan terdapat dataran lumpur tidak bervegetasi, yang terbenam di
bawah air laut sewaktu air pasang, tetapi terlihat muncul sebagai daratan sewaktu
air surut. Dataran berlumpur ini disebut ”tidal flats”, atau ”mudflats”. Pada bagian
daratan yang sedikit lebih tinggi letaknya, yang sebagian atau seluruhnya masih
digenangi air pasang, disebut ”tidal marsh” (rawa pasang surut), atau "salt marsh”
(rawa dipengaruhi air garam). Di bagian terluar yang masih dipengaruhi oleh
pasang surut, biasanya didominasi oleh vegetasi rambai (Sonneratia sp.), api-api
(Avicennia sp.), dan jeruju (Acanthus licifolius), dan di belakangnya ke arah
daratan ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove, dengan tumbuhan bawah buta-buta
(Excoecaria agallocha), dan pial (Acrostichum aureum). Jalur bakau ini lebarnya
beragam dan dapat mencapai 1,5-2 km ke arah darat.
8

Wilayah di belakang hutan mangrove, masih dipengaruhi oleh air pasang


melalui sungai-sungai kecil, namun sudah ada pengaruh air tawar dari hutan rawa
pantai lebih ke darat. Bagian yang dipengaruhi oleh air payau ini, didominasi oleh
nipah bersama panggang (Araliceae) dan pedada (Sonneratia acida), membentuk
jalur hutan nipah yang lebarnya dapat mencapai 500 m. Di belakang jalur hutan
nipah terdapat landform rawa belakang yang sudah dipengaruhi oleh air tawar. Di
rawa delta Pulau Petak, wilayah rawa belakang ini, umumnya didominasi pohon
gelam (Melaleuca leucadendron). Lebih jauh ke arah daratan, pada sub-landform
cekungan/ depresi ditempati hutan rawa dan gambut air tawar. Bagian wilayah
pasang surut yang dipengaruhi oleh air asin/salin dan air payau ini, di pantai timur
pulau Sumatera seperti di Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau, umumnya masuk ke
dalam daratan Pulau Delta dan sepanjang sungai besar sejauh dari beberapa ratus
meter sampai sekitar 4-6 km ke dalam. Wilayah ini, karena pengaruh air laut/salin
atau air payau, tanahnya mengandung garamgaram yang tinggi, dikatagorikan
sebagai tipologi lahan salin, dan tidak sesuai untuk lahan pertanian.
Berapa jauh zona I wilayah pasang surut air asin/payau masuk ke arah hulu dari
muara sungai, tergantung dari bentuk estuari, yaitu bagian muara sungai yang
melebar berbentuk V ke arah laut, dimana gerakan air pasang dan surut terjadi. Jika
bentuk estuari lebar dan lurus, pengaruh air asin/salin dapat mencapai sekitar 10-20
km dari mulut/muara sungai besar. Namun, apabila relatif sempit dan sungai
berkelok, pengaruh air asin/salin hanya mencapai jarak 5-10 km dari muara sungai.
Sementara dari laut/ sungai ke arah daratan Pulau Delta, atau ke arah wilayah
pinggiran sungai, jarak masuknya air pasang dapat mencapai sekitar 4-5 km 10.
Zona II: Wilayah rawa pasang surut air tawar Wilayah pasang surut air tawar
adalah wilayah rawa berikutnya ke arah hulu sungai. Wilayahnya masih termasuk
daerah aliran sungai bagian bawah, namun posisinya lebih ke dalam ke arah daratan,
atau ke arah hulu sungai. Di wilayah ini energi sungai, berupa gerakan aliran sungai
ke arah laut, bertemu dengan energi pasang surut yang umumnya terjadi dua kali
dalam sehari (semi diurnal). Karena wilayahnya sudah berada di luar pengaruh air
asin/salin, yang dominan adalah pengaruh air-tawar (fresh-water) dari sungai
sendiri. Walaupun begitu, energi pasang surut masih cukup dominan, yang ditandai
9

oleh masih adanya gerakan air pasang dan air surut di sungai. Di daerah tropika
yang beriklim munson, yang dicirikan oleh adanya musim hujan dan musim
kemarau, di musim hujan ditandai oleh volume air sungai yang meningkat,
berakibat bertambah besarnya pengaruh air pasang ke daratan kiri- kanan sungai
besar, dan bertambah jauh jarak jangkauan air pasang ke arah hulu. Limpahan banjir
sungai selama musim hujan yang dibawa air pasang, mengendapkan fraksi debu
dan pasir halus ke pinggir sungai. Pengendapan bahan halus yang terjadi secara
periodik selama ber-abad-abad akhirnya membentuk (landform) tanggul sungai
alam (natural levee), yang jelas terlihat ke arah hulu dan makin tidak jelas terbentuk,
karena pengaruh pasang surut, ke arah hilir dan di muara sungai besar. Di antara
dua sungai besar, ke arah belakang tanggul sungai, tanah secara berangsur atau
secara mendadak menurun ke arah cekungan di bagian tengah yang diisi tanah
gambut. Ke bagian tengah, lapisan gambut semakin tebal/dalam dan akhirnya
membentuk kubah gambut (peat dome). Bagian yang menurun tanahnya di antara
tanggul sungai dan depresi/kubah gambut disebut (sub- landform) rawa belakang
(backswamp). Di musim kemarau, pada saat volume air sungai relatif tetap atau
malahan berkurang, pengaruh air asin/salin dapat merambat sepanjang sungai
sampai jauh ke pedalaman. Pada bulan-bulan terkering, Juli-September, pengaruh
air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak sejauh 40-90 km dari muara sungai.
Makin jauh ke pedalaman, atau ke arah hulu, gerakan naik turunnya air sungai
karena pengaruh pasang surut makin berkurang, dan pada jarak tertentu berhenti.
Di sinilah batas zona II, dimana tanda pasang surut yang terlihat pada gerakan naik
turunnya air tanah juga berhenti. Jarak zona II dari pantai, tergantung dari bentuk
dan lebar estuari di mulut/muara sungai dan kelak-kelok sungai dapat mencapai
sekitar 100-150 km dari pantai. Sebagai contoh, kota Palembang di tepi S. Musi,
pengaruh pasang surut masih terasa, tetapi relatif sudah sangat lemah, berjarak
sekitar 105 km dari pantai. Di muara Anjir Talaran di dekat kota Marabahan di
Sungai Barito, Provinsi Kalimantan Selatan, yang berjarak (garis lurus) sekitar 65
km dari muara, pasang surut relatif masih agak kuat. Pencapaian air pasang di
musim hujan dan air asin di musim kemarau pada tiga sungai besar di Sumatera
adalah S. Rokan: 48 dan 60 km, S. Inderagiri: 146 dan 86 km, dan S. Musi 108 dan
10

42 km dari muara sungai. Di Kalimantan, S. Kapuas Besar: 150 dan 24 km, S.


Kahayan 125 dan 65 km, dan S. Barito 158 dan 68 km dari muara sungai. Di Papua,
S. Mamberamo: 30 dan 8 km, S. Lorenz (pantai selatan, barat Agats) 103 dan 63
km, dan S. Digul (barat Merauke) 272 dan 58 km dari muara sungai
(Nedeco/Euroconsult-Biec,1984).
Zona III: Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut Wilayah rawa lebak
terletak lebih jauh lagi ke arah pedalaman, dan dimulai di wilayah dimana pengaruh
pasang surut sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu, rawa lebak sering disebut sebagai
rawa pedalaman, atau rawa non-pasang surut. Biasanya sudah termasuk dalam
daerah aliran sungai bagian tengah pada sungai- sungai besar. Landform rawa lebak
bervariasi dan dataran banjir (floodplains) pada sungai-sungai besar yang relatif
muda umur geologisnya, sampai dataran banjir bermeander (meandering
floodplains), termasuk bekas aliran sungai tua (old river beds), dan wilayah danau
oxbow (oxbow lakes) pada sungai-sungai besar yang lebih tua perkembangannya.
Pengaruh sungai yang sangat dominan adalah berupa banjir besar musiman, yang
menggenangi dataran banjir di sebelah kiri- kanan sungai besar. Peningkatan debit
sungai yang sangat besar selama musim hujan, "verval" sungai atau perbedaan
penurunan tanah dasar sungai yang rendah, sehingga aliran sungai melambat,
ditambah tekanan balik arus air pasang dari muara, mengakibatkan air sungai
seakan-akan "berhenti" (stagnant), sehingga menimbulkan genangan banjir yang
meluas. Tergantung dari letak dan posisi lahan di landscape, genangan dapat
berlangsung dari sekitar satu bulan sampai lebih dari enam bulan. Sejalan dengan
perubahan musim yang ditandai dengan berkurangnya curah hujan, genangan air
banjir secara berangsur-angsur akan surut sejalan dengan perubahan musim ke
musim kemarau

2.4. Manfaat lahan pasang surut dalam bidang pertanian


Lahan rawa pasang surut jika dikembangkan secara optimal dengan
meningkatkan fungsi dan manfaatnya maka bisa menjadi lahan yang potensial
untuk dijadikan lahan pertanian di masa depan. Untuk mencapai tujuan
pengembangan lahan pasang surut secara optimal. Pemanfaatan lahan rawa pasang
11

surut untuk mendukung program peningkatan produksi pangan nasional dapat


dilakukan karena sudah tersedia berbagai inovasi teknologi (Suriadikarta 2011),
seperti: (1) teknologi pengelolaan air dan tanah, meliputi tata air mikro, penataan
lahan, ameliorasi dan pemupukan; (2) varietas unggul baru yang lebih adaptif dan
produktif; dan (3) alat dan mesin pertanian yang sesuai untuk tipologi lahan
tersebut. Namun, pengembangan dan optimalisasi pemanfaatan lahan rawa pasang
surut juga menghadapi hambatan nonteknis, antara lain permodalan, ketersediaan
tenaga kerja, dan penguasaan teknologi oleh petani. Kunci berhasil / tidaknya
pemanfaatan lahan pasang surut untuk usaha pertanian terletak pada pengelolaan
lahan dan air, yang dimaksudkan untuk menyediakan air bersih bagi tanaman dan
mampu membuang bahan beracun. Secara umum, teknik pengelolaan lahan dan air
di lahan pasang surut dikenal sebagai jaringan tata air makro dan tata air mikro. Jika
dilihat dari tipologi luapan, lahan pasang surut dibedakan atas tipe luapan A, B, C
dan D. Untuk lahan dengan tipe luapan A dan B, tata air perlu diatur dalam sistem
satu arah mengingat volume air yang banyak. Sedangkan untuk lahan dengan tipe
luapan C dan D, perlu dibuatkan sekat atau tabat yang berfungsi untuk menahan
atau menampung air hingga ketinggian tertentu untuk kebutuhan tanaman.
Pemanfaatan lahan pasang surut juga menentukan pola penataan lahan, selain
memperhatikan tipe luapannya. Beberapa contoh penataan lahan berdasarkan tipe
luapan dan penggunaan lahan untuk usahatani, diantaranya untuk lahan dengan tipe
luapan A disarankan penggunaan untuk sawah, tipe luapan B dibuat surjan dengan
variasi tanaman padi, palawija dan hortikultura. Tipe luapan C, dapat dimanfaatkan
untuk berbagai jenis tanaman pangan, hortikultura, serta integrasi dengan ternak.
Contoh pemanfaatan lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan yaitu di
Kabupaten Barito. Lahan dimanfaatkan untuk tanaman padi dan jeruk siam serta
sebagian untuk sayuran, yang ditata dengan sistem surjan. Dengan penataan lahan
tersebut, petani menikmati hasil dari multi komoditas. Kabupaten Barito sendiri
merupakan daerah sentra produksi padi dan jeruk siam di Kalimantan Selatan.
12
13

III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan tentang lahan pasang surut dapat disimpulkan
bahwa proses pembentukan lahan pasang surut dimulai dari proses endapan sungai
atau laut sebagai akibat pasang surut air laut. Kemudian terbentuk endapan muda
yang berasal dari pengendapan bahan sungai yang bermuara di daerah tersebut.
Hasil endapan membentuk tanah aluvial yang merupakan jenis tanah yang
terbentuk karena endapan.
Karakteristik lahan pasang surut berdasarkan tipologi terbagi menjadi 2 yaitu
tipologi lahan yang terdapat pada zona pasang surut air payau dan lahan yang
terdapat pada zona pasang surut air tawar. Karakteristik lahan pasang surut
berdasarkan pada tipe luapan air pasang, yaitu tipe luapan A, tipe luapan B, tipe
luapan C, tipe luapan D dan tipe luapan A dan B.

3.2. Saran
Saya berharap pembaca dapat memahami isi dari makalah yang telah susun ini
dan berharap pula pada masukan kepada pihak terkait atas kemajuan dan kritik
untuk makalah saya.
14

DAFTAR PUSTAKA

Ar-Riza, I., Alkasuma. 2008. Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Strategi
Pengembangannya Dalam Era Otonomi Daerah. Jurnal Sumberdaya
Lahan. 2(2) : 95-104. (www.neliti.com). Diakses Pada 01 Desember
2020.
Kurniawan, A. Y. (2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis pada
usahatani padi lahan pasang surut di Kecamatan Anjir Muara
Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan. AGRIDES: Jurnal
Agribisnis Perdesaan, 2(1), 9263.
Mulia, Hendra Sahuri., Asmahan Akhmad., & Rini Hazriani. 2011. Evaluasi
Kesesuaian Lahan Rawa Pasang Surut Untuk Tanaman Padi Di
Kecamatan Teluk Pakedai Kabupaten Kubu Raya. Jurnal Sains
Mahasiswa Pertanian. 2(1). (jurnal.untan.ac.id). Diakses Pada 01
Desember 2020.
Nazemi, D., & Hairani, A. (2012). Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Rawa Pasang
Surut Melalui Pengelolaan Lahan dan Komoditas. Agrovigor: Jurnal
Agroekoteknologi, 5(1), 52-57.
Suriadikarta, D. A., & Sutriadi, M. T. (2007). Jenis-jenis lahan berpotensi untuk
pengembangan pertanian di lahan rawa. Jurnal Litbang
Pertanian, 26(3), 115-122.
Susilawati, Ani., Erwan Wahyudi., & Nurimdah Minsyah. 2017. Pengembangan
Teknologi untuk Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut
Berkelanjutan. Jurnal Lahan Suboptimal. 6(1) : 87-94.
(www.jlsuoptimal.unsri.ac.id). Diakses Pada 01 Desember 2020.
Thony, Agoes., Endah Novitarini. 2020. Kajian Usaha Tani PAdi Di Lahan Pasang
Surut Dan Penerapan Teknologi Tepat Guna Di DEsa Banyuurip
Kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin. Jurnal Agribis. 13(2)
: 1502-1513. (jurnal.umb.ac.id). Diakses Pada 01 Desember 2020.

Anda mungkin juga menyukai