Ilmu Kalam (HAFILDA)
Ilmu Kalam (HAFILDA)
1. Aliran khawarij
Khawarij merupakan aliran dalam islam yang pertama kali muncul, mereka selalu
menyatakan “La hukma illalah” (tiada hukum yang benar kecuali disisi Allah).
Aliran yang muncul akibat tidak setuju dengan tahkim yang di adakan pada perang Siffin
antara Saidina Ali Bin Abi Thalib dengan Saidina Muawiyah. Mereka memfatwakan bahwa
sekalian dosa adalah besar, tidak ada namanya dosa kecil atau dosa besar. Sekalian
pendurhakaan kepada Tuhan adalah besar tidak ada yang kecil menurut aliran khawarij.[1]
Aliran khawarij menurut Al-Bagdadi terpecah menjadi 20 sekte. Diantaranya adalah Al-
Muhakimah fatwanya adalah Orang yang melakukan dosa besar adalah kafir, telah keluar
dari islam dan kekal di dalam neraka. Orang-orang yang menyetujui tahkim, berzina,
membunuh tanpa sebab, dll. Adalah orang yang berbuat salah dan menjadi kafir keluar dari
islam.[2]
Al-Najdat pendapatnya yaitu orang yang berdosa besar adalah kafir dan kekal di dalam
neraka hanyalah orang islam yang tidak sefaham dengan golonganya, adapun pengikutnya
jika melakukan dosa besar betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalam neraka, dan
kemudian masuk surga.
Al-Sufriah pemimpin golongan ini adalah Ziad Ibn Al-Asfar, mereka berpendapat bahwa
orang yangn melakukan dosa besar adalah musyrik, ada diantara mereka yang membagi dosa
besar dalam dua golongan. Yang pertama yaitu dosa yang ada sangsinya di dunia seperti
membunuh dan berzina, dosa yang tidak ada sangsinya di dunia, seperti meninggalkan sholat
dan puasa.
Orang yang berbuat dosa besar golongan pertama tidak di pandang kafir, yang menjadi
kafir hanyalah orang yang melakukan dosa besar golongan ke dua.
Al-Ibadah pemimpinnya adalah ‘Abdullah Ibn Ibad merupakan golongan paling moderat
diantara golongan khawarij yang lain. Paham mereka tentang dosa besar adalah Orang yang
melakukan dosa besar Muwahhid tetapi bukan mukmin dan kalaupun kafir hanya merupakan
kafir al-ni mah bukan kafir al-millah. Dengan kata lain mengerjakan dosa besar tidak
membuat seseorang keluar dari agama islam.[3]
2. Murjia’ah
Kaum murji’ah yang “gullah” (yang radikal) sampai ada yang beri’tikad, bahwa asal kita
sudah mengakui dalam hati atas wujud-Nya Tuhan dan sudah percaya dalam hati kepada
Rasul-rasul-Nya maka kita sudah mukmin walaupun melahirkan dengan lidah hal-hal yang
mengkafirkan, seperti menghina Nabi, Al-Qur’an dll.
Persoalan dosa besar yang di timbulkan kaum khawarij mau tidak mau menjadi bahan
perhatian pula bagi mereka, kalau khawarij menjatuhkan hukum kafir kepada orang yang
melakukan dosa besar, jika murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.[4]
Adapun dosa besar yang mereka lakukan itu di tunda penyelenggaraanya di hari
perhitungan kelak. Karena mereka mengatakan bahwa orang mu’min yang mengakui dalam
hati atas wujud-Nya Tuhan dan sudah percaya dalam hati kepada Rosul-rosul-Nya ia mu’min
walaupun melakukan dosa besar, Dosa bagi kaum murji’ah tidak apa-apa asal sudah ada iman
dalam hati.[5]
3. Mu’tazilah
mu’tazilah (mengasingkan diri) mereka memfatwakan orang yang melakukan dosa besar
tidak akan di ampuni dosanya sebelum ia bertaubat, dan akan terus menerus di dalam neraka
tidak akan keluar lagi. Akan tetapi kalau orang mu’min yang berbuat dosa besar/dosa kecil ia
akan di hukum dalam neraka di suatu tempat, lain dari tempat orang kafir. Nerakanya agak
dingin mereka tinggal di antara dua tempat, yakni antara surga dan neraka.[6]
Prinsip ini sangat penting yang karenya Washil Bin ‘Atha pendiri mu’tazilah memisahkan
diri dari gurunya Hasan Al-Basri, ia memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar selain
syirik tidak mu’min tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan adalah suatu hal yang berdiri
sendiri antara iman dan kafir, dan tingkatan orang fasik dibawah orang mu’min di atas orang
kafir. Jalan tengah ini di ambilnya dari :
1. Fikiran-fikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan adalah jalan tengah antara
dua jalan yang berlebih-lebihan.
2. Plato yang mengatakan bahwa ada sesuatu tempat di antara baik dan buruk.
Golongan mu’tazilah memperdalam jalan tengah tersebut sehingga di jadikanya suatu
prinsip “Rationalitas-ethis Philosopis”.[7]
4. Asy’ariyah
Bagi Al-Asy’ari orang yang berdosa besar adalah tetap mukmin, karena masih ada
imannya, tetapi karena dosa besar yang telah di lakukannya ia menjadi fasiq, jadi ia bukan
teman juga bukan musuh.[8]
Orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka orang itu
tetap mu’min, dimandikan, dikuburkan, sebagai orang mu’min. Karena pada hakikatnya ia
mu’min yang durhaka kepada Tuhan.
Orang semacam itu di akhirat nanti menurut keyakinan Asy’ariyah akan mendapat
beberapa kemungkinan :
1. Boleh jadi dosanya di ampuni oleh Tuhan.
2. Boleh jadi ia mendapat syafaat dari nabi Muhammad SAW sehingga di
bebaskan dan tidak mendapat hukuman dan langsung masuk surga.
3. Ia di hukum di dalam neraka buat seketika, dan akhirnya di keluarkan
dan di masukan kedalam surga.
Pendapat ini berdasarkan pada ayat Qur’an :
ﺍﻦﷲﻻﻳﻐﻔﺮﺍﻦﻳﺸﺮﻚﺑﻪﻮﯿﻐﻔﺮﻣﺎﺪﻮﻦﺬﻠﻚﻠﻤﻦﯿﺸﺄﻮﻣﻦﻳﺸﺮﻚﺒﺎﷲﻔﻘﺪﻔﺗﺮﻯﺍﺛﻤﺎﻋﺿﻴﻣﺎ
Artinya :
“Bahwasanya Tuhan (Allah) tidak mengampuni dosa seseorang kalau ia memepersekutukan-
Nya, tetapi di ampuni-Nya selain dari pada itu bagi siapa yang di kehendakiNya. Siapa yang
mempersekutukan Allah sesungguhnya ia telah membuat dosa yang sangat besar”.(Qs. An-
nisa’:48).[9]
Jadi orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum tobat, maka orang itu
tetap mukmin. Bila orang itu tidak mendapat ampunan dari Allah dan tidak pula mendapat
syafa’at Nabi Muhammad saw untuk mendapatkan ampunan dari Allah swt maka orang itu
dimasukkan ke neraka buat sementara, kemudian dikeluarkan dari neraka untuk dimasukkan
ke surga.
5. maturidiyah
Al-Maturidi menolak ajaran Mu’tazilah mengenai masalah soal dosa besar tetapi aliran
ini sefaham dengan aliran Asy’ariyah yaitu : bahwa orang yang berdosa besar masih tetap
mu’min, dan soal dosa besarnya nnanti akan di tentukan Tuhan kelak di akhirat.[10]
1. Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah menafsirkan Tuhan itu Esa, Tidak ada yang menyamainya, bukan jism,
bukan syakhs, bukan Jauhar, bukan pula ardl, tidak berlaku pada-Nya, tidak bisa di sifati
dengan sifat-sifat yang yang ada pada mahluk yang menunjukan ketidak azalian-Nya.[16]
Kaum mu’tazilah menyelesaikan perasalahan tentang sifat Tuhan ini dengan mengatakan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak
mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya.[17]
Tuhan tetap mengetahui, berkuasa dan sebagainya bukanlah sifat dalam arti kata
sebenarnya, arti dari kata Tuhan mengetahui menurut Abu Huzail, adalah “Tuhan mengetahui
dengan perantara pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri”.[18]
2. Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah menyampaikan penyelesaian yang bertentangan dengan kaum
mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut
Asy’ari sendiri, tidak di ingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat, karena perbuatan-
perbuatanya. Disamping menyatakan jika Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan
sebagainya juga menyatakan Ia mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Asy’ari sangat mengingkari orang-orang yang berlebihan menghargai akal fikiran yaitu
golongan mu’tazilah maka di katakanya mereka adalah sesat karena tidak mengakui sifat-
sifat Tuhan dan menjauhkan Tuhan dari sifat-sifatNya dan meletakannya pada bentuk yang
tidak dapat di terima oleh akal.[19]
Dan menurut Al-Bagdadi terdapat konsensus dikalangan kaum asy’ariyah bahwa daya,
pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan, dan sabda Tuhan adalah kekal.[20]
3. Maturidiyah
Kaum Maturidiyah golongan Bukhara mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan,
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal mereka
menyelesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang
terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri. Juga
mengatakan Tuhan serta sifat-sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah
kekal.
Kaum Maturidiyah golongan Samarkand dalam hal ini kelihatanya tidak sefaham dengan
mu’tazilah karena Al-Maturidy mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain
dari Tuhan .[21]
BAB III
KESIMPULAN
Perbedaan aliran antara pelaku dosa besar, iman dan kufur, serta sifat-sifat Tuhan yaitu :
1. Khawarij memberi hukum kafir pada pelaku dosa besar, dan orang yang melakukan dosa
besar telah keluar dari islam.
2. Mu’tazilah yang berpendapat adanya tempat diantara surga dan neraka bagi seorang
mu’min yang melakukan dosa besar Manzilah Baina Manzilataini. Iman itu tidak tasdiq
ataupun ma’rifat melainkan ‘amal, dan Allah tidak memiliki sifat.
3. Murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mu’min dan dosa besar yang mereka
lakukan itu di tunda penyelenggaraanya di hari perhitungan kelak.
4. Asy’ariyah berfatwa bahwa seorang mu’min yang melakukan dosa besar tetap mu’min,
untuk hukuman di akhirat itu adalah kuasa Tuhan. Iman itu Tasdiq, dan mengakui adanya
sifat-sifat Tuhan.
5. Maturidiyah dalam hal dosa besar sepaham dengan aliran Asy’ariyah yang melakukan dosa
besar tetap mu’min, Iman itu Tasdiq dan mengakui adanya sifat-sifat Tuhan.
6. Ahlus Sunah berpendapat iman adalah diikrarkan dengan lisan, diyakini dalam hati dan di
realisasikan dengan perbuatan.
DAFTAR PUSTAKA
Posting Komentar
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda
Langganan: Posting Komentar (Atom)
ARSIP BLOG
▼ 2012 (9)
o ▼ Juli (9)
Hukum Membaca Istiadzah
Studi Kritis Ilmu Kalam
Khawarij
Perbandingan Antara Aliran-aliran Pelaku Dosa Besar
Idealisme Schelling
Pelangi Untuk Ku
prinsip apersepsi
Tokoh Filsafat
Surat Untuk Calon Imam Ku
MENGENAI SAYA
Unknown
Lihat profil lengkapku
Tema Jendela Gambar. Diberdayakan oleh Blogger.