Anda di halaman 1dari 13

Gagal Nafas Akut pada Seorang Laki-laki Berusia 70 Tahun

Selvi lim (102017034), Jevon Belva Nirahua (102017071),


Clarissa Andreas (102017134), Ni Luh Pricilia Sari Sudharsana
(102017144), Ronald Wongkar (102017148), Christoper
Tandrian (102017186), Jasmine Nazer Ragustri (102017209)
Kelompok D6
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat
Ronald.2017fk148@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Sistem respirasi merupakan salah satu sistem penting yang ada dalam tubuh manusia.
Sistem respirasi berfungsi untuk mengeluarkan CO2 dari tubuh dan memasukan O2 kedalam
tubuh sehingga sel-sel dalam tubuh dapat berfungsi dengan baik. Namun ketika terjadi gagal
nafas maka sistem pernafasan tidak mampu memasukan O 2 dan mengeluarkan CO2 dengan baik.
Gagal nafas dapat disebabkan baik oleh paru maupun oleh penyebab diluar paru. Gagal nafas
sendiri dibedakan menjadi 3 tipe berdasarkan kadar PaO 2 dan PCO2. Gagal nafas akut perlu
mendapat penanganan yang cepat dan tepat agar tidak menimbulkan kematian. Untuk
mendiagnosis apakah pasien terkena gagal nafas akut dapat dilakukan melaui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gold standard pemeriksaan penunjang dari gagal
nafas akut yaitu pemeriksaan analisa gas darah arteri.
Kata kunci: gagal nafas akut, asidosis respiratorik, analisa gas darah
Abstract
The respiratory system is one of the important systems in the human body. The
respiratory system functions to remove CO2 from the body and enter O2 into the body so that the
cells in the body can function properly. However, when there is respiratory failure, the
respiratory system is unable to enter O2 and excrete CO2 properly. Respiratory failure can be
caused either by the lungs or by causes outside the lungs. Respiratory failure itself is divided into
3 types based on levels of PaO2 and PCO2. Acute respiratory failure needs to be treated quickly
and accurately so as not to cause death. To diagnose whether the patient has acute respiratory
failure, history, physical examination and investigation can be performed. The gold standard of
investigation of acute respiratory failure is the arterial blood gas analysis.
Keyword: acute respiratory failure, respiratory acidosis, blood gas analysis
Pendahuluan
Sistem respirasi merupakan salah satu sistem penting yang ada dalam tubuh manusia. Sistem
respirasi berfungsi untuk mengeluarkan CO2 dari tubuh dan memasukan O2 kedalam tubuh
sehingga sel-sel dalam tubuh dapat berfungsi dengan baik. Ketika terjadi kegagalan baik pada
paru maupun otot pernafasan maka dapat menimbulkan gagal nafas.1 Ketika terjadi gagal nafas
maka sistem pernafasan tidak mampu memasukan O2 dan mengeluarkan CO2 dengan baik yang
akan menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia atau kombinasi dari keduanya.2
Gagal nafas akut
Epidemiologi
Gagal nafas menjadi salah satu penyebab meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas
seseorang. Setiap tahun diperkirakan bahwa sebanyak 1 juta orang dirawat di ICU karna gagal
nafas. Di Amerika, kejadian gagal nafas mengalami peningkatan dari 1.007.549 pada tahun 2001
menjadi 1.917.910 pada tahun 2009. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Franca et al
(2011) di Brazil, bahwa sebanyak 843 (49%) orang di rawat di ruang ICU karena gagal nafas
akut, 141 orang terkena gagal nafas setelah dirawat di ICU, sebanyak 475 orang meninggal
diruangan ICU dan 56 orang meninggal setelah keluar dari ruangan ICU.3
Etiologi
Gagal nafas secara umum dapat disebabkan oleh penyebab langsung didalam paru
(intrapulmoner) maupun di luar paru (ekstrapulmoner), yaitu:4
1. Gangguan pada sistem saraf pusat sehingga akan terjadi depresi pernafasan, yang dapat disebabkan
oleh overdosis narkotika, obat penenang (sedative), trauma intrakranial (hemorrhage, iskemik), dan
ensefalopati metabolik.5
2. Gangguan pada sistem saraf tepi seperti kelemahan otot pernafasan dan dinding dada seperti pada
penderita sindrom Guillian-Brave, skoliosis, cedera pada sumsum tulang, botulism, intoksikasi
(organofosfat) dan miastenia gravis.5
3. Obstruksi saluran nafas yang dapat disebabkan oleh banyak penyebab seperti pada penderita PPOK,
infeksi, laringotrakeomalasia, benda asing, anafilaksis, bronkiolitis, fibrosis kistik dan asma.5
4. Abnormalitas alveolus yang dapat menyebabkan gagal nafas tipe 1 (hipoksemia) seperti pada
penderita edema paru dan pneumonia berat.
Klasifikasi gagal nafas
Gagal nafas dapat terjadi baik secara akut maupun secara kronis. Pada gagal nafas akut,
hasil dari analisa gas darah dan status asam basa berada batas yang tidak normal dan merupakan
suatu keadaan yang mengancam jiwa. Sedangkan gagal nafas kronis terjadi secara perlahan dan
memiliki gejala yang kurang jelas. Gagal nafas kronis juga terjadi dalam beberapa hari atau
bulan.1
Berdasarkan pada kemampuan melakukan ventilasi untuk mengeluarkan CO2 dari darah,
gagal nafas dibedakan menjadi 3, yakni:4,6
1. Gagal nafas tipe 1 yaitu hipoksemia. Memiliki hasil analisa gas darah berupa PaO2 < 60 mmHg
dengan kadar PaCO2 dalam batas normal. Pada tipe ini, terjadi gangguan pertukaran gas pada
membran aveolar-kapiler (kegagalan oksigenasi). Contoh penyebab dari gagal nafas tipe 1 yaitu
pneumonia, edema paru, asma, pneumotoraks, emboli paru, pneumokoniosis, bronkiekstasis, ARDS
dan obesitas.1
2. Gagal nafas tipe 2 yaitu hiperkapnia. Memiliki hasil analisa gas darah berupa PaCO 2 ≥ 45 mmHg dan
sering terjadi hipoksemia. Gagal nafas tipe 2 disebabkan oleh kegagalan pompa pernafasan
(kegagalan ventilasi). Contoh penyebab dari gagal nafas tipe 2 yaitu PPOK, asma yang berat,
overdosis obat, keracunan, miastenia gravis, polineuropati, kelainan otot primer, trauma kepala,
trauma servikal, edema pulmoner, ARDS dan tetanus.1
3. Gagal nafas tipe 3, yaitu gabungan dari kegagalan oksigenasi dan ventilasi yang ditandai
dengan hipoksemia dan hiperkarbia penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2.
Berikut tabel klasifikasi gagal nafas (tabel 1)
Kategori Karakteristik
Gagal nafas hiperkapnea PaCO2 > 45 mmHg
Akut Berkembang dalam hitungan menit hingga jam
Kronis Berkembang lebih dari beberapa hari atau lebih
Gagal nafas hipoksemia PaCO2 > 60 mmHg
Akut Berkembang dalam hitungan menit hingga jam
Kronis Berkembang lebih dari beberapa hari atau lebih
Tabel 1. Klasifikasi dalam gagal nafas.1
Patofisiologi
Dalam keadaan normal, hasil PO2 arteri yang mencapai 100 mmHg menunjukkan bahwa
oksigenasi darah arteri berjalan dengan baik dan efisien. Sedangkan fungsi pengeluaran/eliminasi
CO2 yang baik dan efektif dapat dilihat pada kadar PCO2 arteri yang < 40 mmHg. Sehingga PaO2
menunjukkan proses oksigenasi yang efektif dan PCO2 menunjukkan fungsi dari ventilasi yang
efektif.7
1. Pada hipoksemia
Gagal nafas tipe 1 lebih sering dijumpai dari pada yang tipe 2. Gagal nafas hipoksemia
menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim atau sirkulasi dalam paru. Pada
hiposekmia yang berat akan menyebabkan terjadinya hipoksia (penurunan penyampaian O 2 ke
jaringan). Namun hipoksia dapat juga disebabkan oleh curah jantung yang rendah, anemia, syok
sepsis dan keracunan karbon monoksida. Terdapat 4 mekanisme patofisiologi dari terjadinya
hipoksemia, yaitu ventilasi, peningkatan shunt, gangguan difusi dan hipoventilasi alveolar. Gagal
nafas tipe 1 dapat disebabkan oleh ARDS, asma, edema paru, PPOK, fibrosis interstitial,
pneumonia, pneumotoraks, emboli paru dan hipertensi pulmonal.8
2. Pada hiperkapnea
Pada gagal nafas tipe 2, kadar dari PaCO2 akan meningkat hal ini disebabkan oleh peningkatan
CO2 dalam ruang alveolus (menyebabkan PaO2 dan pH menurun). Kegagalan pompa pada gagal
nafas tipe 2 dapat disebabkan oleh gangguan pada pusat pernafasan sehingga akan
mempengaruhi otot pernafasan (dapat disebabkan oleh anestesi, overdosis obat dan penyakit
medula), kemungkinan adanya cacat mekanik pada dinding dada (seperti trauma), penyakit saraf
autoimun (GBS), miopati dari otot-otot pernafasan dan serangan asma akut. Tipe 2 dapat juga
disebabkan oleh adanya beban inspirasi yang berlebih sehingga menyebabkan otot inspirasi
menjadi lelah.8
Gejala klinis
Pada pasien yang masih memiliki kemampuan bernafas normal maka pasien akan
kelihatan sesak dan gelisah sedangkan pada pasien yang tidak memiliki kemampuan bernafas
dengan normal maka akan tampak tenang dan mengantuk. Gagal nafas dimulai dengan stadium
kompensasi, dimana terjadi peningkatan upaya nafas menggunakan otot nafas tambahan,
retraksi, takipnea dan takikardi. Peningkatan upaya nafas pada stadium kompensasi memiliki
tujuan agar dapat mempertahankan aliran udara. Selanjutnya dapat terjadi stadium dekompensasi
yang ditandai dengan menurunnya upaya nafas.2 Kemudian terdapat juga gejala klinis pasien
gagal nafas berdasarkan gagal nafas akut yang dialami, yakni:4
1. Gejala klinis pada pasien yang mengalami hipoksemia, berupa: dispnea, kebingungan, mengantuk,
takikardi, perubahan status mental, hipotensi, kejang, asidosis laktat, aritmia, takipnea dan sianosis
(dalam tabel 2).
Sistem Ringan-sedang Berat
Susunan saraf pusat Konfusi Letargi
Agitasi Penurunan status mental dan
kesadaran
Jantung Takikardi Bradikardi
Hipertensi Hipotensi
Pernafasan Sesak nafas, takipnea, nafas Sesak bertambah dan
yang sulit takipnea, dapat terjadi
bradipnea
Analisa gas darah PaO2 < 60-80 mmHg PaO2 < 60 mmHg
Kulit Dingin Sianosis
Tabel 2. Gejala klinis pada pasien gagal nafas tipe 1.1
2. Gejala klinis pada pasien yang mengalami hiperkapnea, berupa: somnolen, sakit kepala
(khas, karena vasodilatasi dan peningkatan tekanan intrakranial yang bertambah berat
pada waktu bangun tidur pagi hari), perubahan perilaku, koma, papiloedema, tremor,
asteriks dan bicara kacau.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis dapat ditanyakan berupa riwayat penyakit dan riwayat keluarga.
Pada anamnesis juga dapat diketahui gejala-gejala yang dialami oleh pasien seperti pasien
mengalami hipoksemia akan mengalami gejala gelisah, kejang (bila mengenai SSP), aritmia,
hipotensi (bila mengenai kardiovaskuler), dispnea, takipnea (bila mengenai sistem respirasi).
Sedangkan gejala dari hiperkapnea yaitu somnolen, letargi dan perubahan status mental. 6
Sedangkan pemeriksaan fisik digunakan untuk melihat ada tidaknya gejala dari hipoksemia atau
hypercapnea seperti adanya takikardi, takipnea, sianosis pada kulit dan membran mukosa.6
Kemudian menggunakan pemeriksaan penunjang berupa pulse oksimetri dan analisa gas darah.
Analisa gas darah arteri menjadi gold standard untuk menilai terjadinya gagal nafas.
Analisa gas darah akan memberikan informasi mengenai status asam-basa, kadar PaO 2, kadar
PaCO2 dan lain-lain. PaO2 mempengaruhi pengangkutan oksigen ke jaringan dan PaCO2 untuk
menilai fungsi dari ventilasi. Gagal nafas dapat ditegakkan apabila diperoleh hasil laboratorium
berupa: adanya hipoksemia (PaO2 < 50-60 mmHg, SaO2 < 90%, PaO2 < 60 mmHg, FiO2 40%
atau rasio dari PaO2/FiO2 < 300) dan adanya tanda dari hiperkapnea (PaCO 2 > 50 mmHg, Ph <
7,25, PaCO2 > 40 mmHg).2
Tatalaksana
Tatalaksana pada gagal nafas akut dapat berupa mengatasi gejala yang terjadi dan mengatasi
penyakit yang mendasari terjadinya gagal nafas akut pada pasien.
1. Mengatasi hipoksemia, dengan tujuan untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang baik.
Oksigen dapat diberikan melalui nasal cannula, simple face mask nonrebreathing mask, atau high
flow nasal cannula. Pemberian oksigen perlu diperhatikan karna apabila memberikan oksigen
berlebih maka akan menyebabkan keracunan oksigen dan narkosis CO2 sehingga oksigenasi harus
diberikan dari dosis terendah terlebih dahulu. Target dari terapi oksigenasi yaitu agar PaO2 mencapai
60 mmHg dan SaO2 sekitar 90%.4
2. Mengkoreksi hiperkapnea dan asidosis respiratory dengan mengobati penyakit dasar atau melalui
pemberian ventilasi (karena hiperkapnea berarti adanya hipoventilasi alveolar). Tujuan dari
pemberian ventilasi yaitu agar dapat memperbaiki hipoksemia, memperbaiki asidosis respiratory dan
mengistirahatkan otot pernafasan.4
Indikasi menggunakan ventilasi mekanik yaitu apabila pasien mengalami apnea dengan henti
nafas, takipnea dengan frekuensi nafas > 30x/menit, tingkat kesadaran yang terganggu atau
pasien dalam kondisi koma, kelelahan otot pernafasan, hemodinamik yang tidak stabil,
kegagalan sumplementasi oksigen (PaO2 tidak mencapai 55-60 mmHg) dan hiperkapnea dengan
Ph < 7,25.4
Berdasarkan keadaan pasien, maka tatalaksana dapat dibagi menjadi:2
Tatalaksana darurat. Prinsip dari tatalaksana ini yaitu untuk mengatur agar jalan nafas
pasien dapat tetap terbuka (sniffing position), membersihkan lendir atau pemasangan endotrakeal
tube, menggunakan oropharingeal airway mask, nasopharingeal airway mask, hingga
trakheostomi (bila obstruksi terletak diatas trakea). Setelah saluran nafas terbuka, langkah
selanjutnya yaitu memberikan oksigen utntuk mengatasi hipoksemia.2
Tatalaksana lanjutan. Prinsip dari tatalaksana ini yaitu untuk menjaga terjadinya
stabilisasi dan mencegah terjadinya perburukan pasien. Pasien-pasien gagal nafas sering
mengeluarkan lendir yang akan menjadi beban pernafasan sehingga perlu dilakukan perawatan
jalan nafas. Pemberian oksigen masih dilakukan pada tatalaksana ini untuk menjaga saturasi
oksigen > 95% (hati-hati pada oksigen berkonsentrasi tinggi, karena dapat merusak paru). Dapat
juga diberikan terapi farmakologis berupa bronkodilator, antibiotik, nutrisi dan fisioterapi.2
Berikut obat-obat yang dapat digunakan pada pasien yang mengalami gagal nafas akut:7
Bronkodilator, mempunyai efek langsung pada kontraksi otot polos dan memiliki efek
tidak langsung pada edema dan inflamasi. Bronkodilator merupakan terapi utama pada
penyakit paru obstruktif, namun dapat juga digunakan pada edema paru, ARDS dan pneumonia
Agonis beta adrenergik, lebih efektif apabila diberikan secara inhalasi karena mempunyai
efek bronkodilatasi yang sama dengan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan pada
pemberian oral atau parenteral. Contoh yang sering digunakan yaitu albuterol, metaproterenol
dan terbutalin. Efek samping yang dapat ditimbulkan berupa tremor, takikardia, palpitasi, aritmia
dan hipokalemia.
Antikolinergik, memiliki efek bronkodilatasi dan lebih direkomendasikan pada pasien-
pasien dengan bronkitis kronis dibandingkan pada pasien asma. Contoh obat yaitu ipratropium
bromida (efek samping berupa: takikardia, palpitasi dan retensi urin)
Teofilin, memiliki efek bronkodilatasi namun efek yang ditimbulkan tidak sekuat efek
yang timbul dari penggunaan agonis beta adrenergik. Teofilin dimetabolisme di hati dan
berkurang pada pasien-pasien demam, usia lanjut dan berhenti merokok.
Kortikosteroid, digunakan untuk menurunkan inflamasi jalan nafas. Kortikosteroid lebih
sering digunakan dalam bentuk preparat parenteral dan oral dibandingkan dalam bentuk inhalasi
terutama untuk gagal nafas akut, sehingga memiliki efek samping berupa: hiperglikemia,
hipokalemia, retensi natrium, miopati, gangguan sistem imun, gastritis dan perdarahan
gastrointestinal.
Ekspektoran dan nukleonik. Digunakan untuk memperbaiki dan mengeluarkan sputum
dari jalan nafas pasien.
Prognosis
Prognosis dari gagal nafas bergantung pada penyakit dasar yang mendasari terjadinya
gagal nafas serta penanganan yang cepat dan adekuat. Bila gagal nafas terus berkembang maka
dapat timbul hipertensi pulmoner yang akan memperberat hipoksemia. Jika terdapat penyakit
komorbid berupa penyakit ginjal dan infeksi pada paru, maka prognosis akan lebih buruk.1
Pencegahan
Oleh karena gagal nafas bukan merupakan sebuah penyakit, tetapi merupakan hasil akhir
dari suatu penyakit maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan berupa melakukan terapi
atau penanganan pada penyakit dasar tersebut. Bila terjadi gagal nafas, maka sebaiknya pasien di
rawat di ruang intensif.1
Asidosis respiratorik
pH darah yang normal berkisar antara 7,35-7,45 dan dipertahankan oleh mekanisme asam
basa tubuh sehingga sel dapat berfungsi dengan baik. Pada beberapa keadaan maka dapat terjadi
penurunan pH darah (asidemia). Keadaan yang mendasari asidemia disebut sebagai asidosis.
Asidosis sendiri dibedakan menjadi 2 berdasarkan komponen yang terlibat. Bila terjadi gangguan
komponen respiratorik maka disebut sebagai asidosis respitaroik dan bila terjadi gangguan pada
komponen metabolik maka disebut sebagai asidosis metabolik. Pasien dengan asidosis
respiratorik memiliki gejala berupa: dispnea, cemas, mengi, sakit kepala, napas pendek dan cepat
(untuk mengeluarkan CO2).9 Untuk mengetahui jenis asidosis yang dialami oleh pasien, perlu
dilakukan pemeriksaan analisa gas darah arteri.10
EWS
Early Warning Score (EWS) merupakan sebuah instrumen yang digunakan untuk
menentukan apakah pasien perlu dipantau secara terus-menerus atau apakah pasien perlu
dilakukan tindakan resusitasi. EWS dapat digunakan untuk memprediksi kejadian henti jantung
dalam 48 jam. Berdasarkan penelitian di New Zeland, bahwa implementasi dari EWS mampu
menurunkan angka kejadian henti jantung secara signifikan di rumah sakit. Penilaian dari EWS
meliputi pemeriksaan tekanan darah, denyut nadi, frekuensi nafas, suplementasi O2, dan
kesadaran.11 Berikut tabel penilaian EWS (gambar 1).
Gambar 1. Tabel penilaian EWS.
Sumber: Doyle DJ. Clinical early warning scores: new clinical tools in evolution. TOATJ. 2018;
12: 26-33
Setelah melakukan penilaian pada pasien, maka akan mendapatkan sejumlah score yang
selanjutnya berdasarkan score tersebut akan menentukan tindakan apa yang harus atau yang akan
dilakukan pada pasien (lihat gambar 2).
Skor Durasi pengawasan Respon klinis

minimal setiap 12 jam pengawasan rutin terus menerus dari National Early Warning Scores (NEWS) dengan setiap
0
pemeriksaan
Total (1-4) minimal setiap 4-6 jam perawat yang harus memeriksa pasien
perawat akan memutuskan apakah durasi pengawasan ditingkatkan atau diturunkan
Total (≥5, atau 3 dalam 1 peningkatan durasi sampai minimal sekali tiap jam perawat secara cepat akan memberitahukan tim medis yang merawat pasien
variabel) klinisi yang kompeten memeriksa pasien yang mengalami perburukan
perawatan dalam lingkungan yang ada fasilitas pengawasan (monitoring)
Total (≥7) pengawasan tanda vital terus menerus perawat secara cepat menginformasikan tim medis yang merawat pasien
pemeriksaan dalam keadaan darurat oleh tim klinisi dengan kompetensi perawatan kritis, termasuk
dokter dengan kemampuan tata laksana jalan nafas tingkat lanjut
pertimbangkan untuk memindahkan pasien ke fasilitas perawatan kritis tingkat 2 atau 3 (ruang
pelayanan intensif)

Gambar 2. Tindakan yang dilakukan berdasarkan pada score yang diperoleh dari tabel EWS.
Skenario 12
Pasien laki laki usia 70 tahun datang ke IGD dengan sesak nafas dan penurunan
kesadaran. Dari alloanamnesis didapatkan pasien mempunyai kebiasaan merokok satu bungkus
per hari selama kurang lebih dua puluh tahun. Berapa nilai EWS dari pasien ini?
Rumusan masalah
Seorang laki-laki berusia 70 tahun mengalami sesak nafas dan penurunan kesadaran.
Hipotesis
Seorang laki-laki berusia 70 tahun mengalami gagal nafas akut
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan hasil berupa: kesadaran E3M5V4. Dengan tanda-tanda
vital berupa TD 90/50 mmHg, FN 115x/menit, RR 30x/menit, suhu 37,6 0C, SpO2 95%. Terlihat
retraksi suprasternal pada saat inspirasi dan ekspirasi yang memanjang disertai wheezing pada
saat auskultasi.
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil: AGD: pH 7,234, PO2 67 mmHg, PCO2
57 mmHg, BE -5 mEq/L, HCO3 17,4 mEq/L, SaO2 94%.
Dengan nilai normal:
Komponen Nilai Normal Satuan

Ph 7,35 – 7,45

paCO2 35 – 45 mmHg
paO2 80 – 100 mmHg
HCO3 20 - 26 mEq/l
Total
21 - 27 mEq/l
CO2
Base (-)2,5 – (+)
mEq/l
Ekses 2,5
Saturasi
95 – 98 %
O2
Nilai EWS berdasarkan skenario yaitu:

Sehingga total score yang didapatkan yaitu: 3+1+3+2+3 = 12. Sehingga tatalaksana yang
diberikan berupa:
Skor Durasi pengawasan Respon klinis

minimal setiap 12 jam pengawasan rutin terus menerus dari National Early Warning Scores (NEWS) dengan setiap pemeriksaan
0
Total (1-4) minimal setiap 4-6 jam perawat yang harus memeriksa pasien
perawat akan memutuskan apakah durasi pengawasan ditingkatkan atau diturunkan
Total (≥5, atau 3 dalam 1 peningkatan durasi sampai minimal sekali tiap perawat secara cepat akan memberitahukan tim medis yang merawat pasien
variabel) jam
klinisi yang kompeten memeriksa pasien yang mengalami perburukan
perawatan dalam lingkungan yang ada fasilitas pengawasan (monitoring)
Total (≥7) pengawasan tanda vital terus menerus perawat secara cepat menginformasikan tim medis yang merawat pasien
pemeriksaan dalam keadaan darurat oleh tim klinisi dengan kompetensi perawatan kritis,
termasuk
dokter dengan kemampuan tata laksana jalan nafas tingkat lanjut
pertimbangkan untuk memindahkan pasien ke fasilitas perawatan kritis tingkat 2 atau 3 (ruang
pelayanan intensif)

Kesimpulan
Hipotesis diterima, seorang laki-laki berusia 70 tahun terkena gagal nafas akut ec PPOK
dan asidosis respiratorik.
Daftar pustaka
1. Syahrani F, Librianty N, Lindra DA. Gagal nafas. Dalam: Rasmin M, Jusuf A, Amin M, et al,
Editors. Buku ajar pulmonologi kedokteran respirasi. Jakarta: UI Publishing; 2018: 361-79
2. Bakhtiar. Aspek klinis dan tatalaksana gagal nafas akut pada anak. JKS. 2013; 13(3): 173-8.
3. Deli H, Arifin MZ, Fatimah S. perbandingan pengukuran status sedasi richmon agitation sedation
scare (RASS) dan ramsay sedation scale (RSS) pada pasien gagal nafas terhadap lama weaning
ventilator di GICU RSUP dr. hasan sadikin bandung. Jurnal Riset Kesehatan. 2017; 6(1): 32-9
4. Shebl E, Burns B. Respiratory Failure. [Updated 2020 Aug 10]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526127/
5. Schneider J, Sweberg T. Acute respiratory failure. Crit Care Clin. 2013;29(2):167- 183.
6. Dewi DAMS. Diagnosis dan penatalaksanaan gagal nafas akut [Internet]. 2017 [Cited
8 November 2020]. Available from:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/a3094ca3eede2196d8bdb1a6f
ffc6b2c.pdf
7. Amin Z, Purwoto J. Gagal nafas akut. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et al, editors. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: InternaPublishing; 2014: 4089-98
8. Ramah T, Kurniyanta P. Terapi oksigen pada pasien kegagalan pernafasan [Internet].
2016 [Cited 8 November 2020]. Available from:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/110dcae4760e287b49a099a2
9322603d.pdf
9. Patel S, Sharma S. Respiratory Acidosis. [Updated 2020 Jun 24]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482430/
10. Efrida, Parwati I, Redjeki IS. Pendekatan stewart dalam ph darah yang mendasari asidosis
metabolik. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 2013; 19(2): 79-87
11. Subhan N. Giwangkencana GW, Prihartono MA, Tavianto D. Implementasi early warning score
pada kejadian henti jantung di ruang perawatan RSUP dr. hasan sadikin bandung yang ditangani
tim code blue selama tahun 2017. JAP. 2019; 7(1): 33-41

Anda mungkin juga menyukai