Anda di halaman 1dari 79

BAB I

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. F
Gender : Laki-laki
Umur : 60 tahun
MR : 03.75.25
Alamat : Jl Jelitik, Sungailiat Kab, Bangka
Pekerjaan : Buruh Harian

ANAMNESIS
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada bahu kanan post KLL sejak 2 jam
SMRS. Pasien sedang mengendarai motor tiba-tiba menabrak anjing di jalan, lalu
terjatuh dengan posisi bahu terbentur stang motor dan dada kanan terbentur aspal.
Bahu kanan membengkak dan nyeri, pasien tidak bisa menggerakkan tangannya.
Sesak nafas (+), nyeri saat menarik nafas (+) terutama dada sebelah kanan,
penurunan kesadaran (-), muntah (-), pada saat kecelakaan pasien menggunakan
helm. Kelemahan pada kaki atau tangan (-), BAB dan BAK tidak ada kelainan.
Pasien dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (laboratorium dan
pemeriksaan radiologi X-ray thoraks) didiagnosis dengan fraktur tertutup os
clavicula dextra 1/3 medial dextra dan kontusio paru yang akan dilakukan ORIF
pada tanggal 24/02/2020. Dua hari setelah dirawat di RS, pasien tiba-tiba
mengeluh sesak nafas hebat, nyeri pada saat menarik nafas, batuk-batuk (+), pucat
(-). Keluhan muncul setelah pasien berjalan ke kamar mandi. Pasien kemudian
dilakukan foto rontgen thoraks ulang lalu didapatkan adanya tension
pneumothoraks dextra, emfisema subkutis dan fraktur costae IV-XI dextra.
RPD : fraktur costae sekitar 2 tahun yll Hipertensi (-), DM (-)
Riwayat alergi : Disangkal.

1
PEMERIKSAAN FISIK
Primary Survey (22/02/2020)
1. Airway : Bebas, pendarahan (-), muntahan (-)
2. Breathing : spontan, pergerakan dinding dada kanan sama dengan kiri,
krepitasi (+) pada regio clavicula sinistra, perkusi sonor pada kedua lapang
paru, suara nafas vesikular menurun pada lapang paru sebelah kanan, RR
24x/m, regular
3. Circulation : TD 130/90 mmHg, Nadi 87x/m, reg, isi cukup, tegangan kuat
4. Dissability : GCS E4V5M6, pupil isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+)
5. Exposure : T: 36.5, jejas (+) pada status lokalis

Secondary Survey (22/02/2020)


AMPLE (Allergies, medical currently used, past ilnesses/pregnancy, last meal,
events/environment related to injury).

Allergy : Tidak ada alergi obat


Medical currently used :-
Past ilnesses : Riwayat fraktur costae sinistra 2 tahun yll
Last meal : 4 jam SMRS
Events/environment : Kecelakaan lalu lintas

Status Generalisata:
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : CM
Derajat gizi : normal

a. Kepala : hematoma (-), luka robek (-)


b. Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor (ø 3mm), refleks cahaya (+/+), laserasi palpebra (-)
c. Telinga : ottore (-)
d. Hidung : rhinorea (-)

2
e. Mulut : laserasi (-)
f. Leher : JVP tidak meningkat, jejas (-)
g. Thorax Depan :
Inspeksi
Bentuk : Simetris, terdapat jejas dan hematoma pada daerah
tulang selangka dan dada kanan bagian bawah
Pergerakan : Statis: simetris; dinamis: simetris, hemithoraks
tidak ada tertinggal
Palpasi
Nyeri Tekan : nyeri tekan (+) pada os clavicula dextra dan regio
thoraks antrior dextra bagian bawah
Fremitus : Kanan = kiri
Iktus : tidak terlihat, teraba di ICS V 1cm medial LMCS
Krepitasi : (+)
Perkusi
Paru : Sonor
Batas paru-hati R/A : R: ICS IV LMCD, A: ICS V LMCD
Peranjakan : 1 cm
Jantung :
Batas Atas Jantung : ICS III
Batas Kanan Jantung : ICS V, LPSD
Batas Kiri Jantung : ICS V, 1cm medial LMCS
Auskultasi
Paru :
Suara Pernapasan : vesikuler kanan menurun dibanding kiri
Suara Tambahan : tidak ada
Jantung :
M1 > M2, T1 > T2, A2 >A1, P2 > P1 murmur sistolis (-), murmur
diastolis (-), HR: 87x/m, regular
h. Abdomen:
Inspeksi : simetris, vena kolateral (-), caput medusae (-)
Palpasi : soepel, nyeri tekan (-) rebound tenderness (-), defans muskular
(-), psoas sign (-), obturator sign (-)

Hati
Perbesaran : tidak ada pembesaran
Permukaan : tidak teraba
Pinggir : tidak teraba
Nyeri Tekan : (-)
Limpa
Pembesaran : (-) Schuffner (-), Haecket (-)
Ginjal
Ballottement : (-)
Perkusi : Shifting dullnes (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal

3
i. Ekstremitas : Pemeriksaan Neurologi: pemeriksaan motorik dan sensorik
dalam batas normal
j. Status Urologi :
Regio flank/CVA Kanan Kiri
Tanda radang (-) (-)
Ballotement (-) (-)
Nyeri tekan (-) (-)
Nyeri ketok (-) (-)
Massa (-) (-)
Jaringan parut (-) (-)

Regio Suprasimfisis
Inspeksi : datar, memar (-), benjolan/ massa (-)
Palpasi : buli tidak penuh, nyeri tekan (-), benjolan/ massa (-)

Status Lokalisata:
Look : deformitas (+) dan hematoma pada os clavicula dextra
Feel : krepitasi (+) pada os clavicula, nyeri tekan (+) pada os clavicula
dextra dan costae V dextra
Move : ROM aktif pasif terbatas
Primary Survey (24/02/2020) pukul 12.00
1) Airway : Bebas, pendarahan (-), muntahan (-)
2) Breathing : spontan, pergerakan dinding dada asimetris (pergerakan
dinding dada kanan tertinggal) krepitasi (+) dibawah kulit di daerah leher dan
dada kanan, perkusi hipersonor lapang paru sebelah kanan, suara nafas
vesikular menurun pada lapang paru sebelah kanan, RR 30x/m, regular, nafas
dangkal
3) Circulation : TD 110/80 mmHg, Nadi 92x/m, reg, isi cukup, tegangan kuat
4) Dissability : GCS E4V5M6, pupil isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+)
5) Exposure : T: 36.7, jejas (+) pada status lokalis

Secondary Survey (24/02/2020) pukul 12.00


Allergy : Tidak ada alergi obat
Medical currently used : inj. Ketorolac 30 mg IV
Past ilnesses : Fraktur os clavicula dextra dan kontusio paru
Last meal : pukul 07.00 pagi

4
Events/environment : Kecelakaan lalu lintas

Status lokalisata:
Leher : JVP 5-2 cmH2O, krepitasi dibawah kulit pada regio colli anterior (+)
Thorax
Inspeksi : asimetris, pergerakan dada kanan tertinggal
Palpasi : stem remitus menurun pada lapang paru sebelah kanan,
krepitasi bawah kulit (+)
Perkusi : hipersonor pada lapang paru kanan
Auskultasi : vesikular (+) menurun pada paru kanan, rh (-/-), wh (-/-)

DIAGNOSIS KERJA
- Susp. Pneumothoraks dextra
- Close fracture os clavicula dextra 1/3 medial tipe simple Allman group I
(Type 2B1) pro ORIF
RENCANA TINDAKAN
 Rontgen X-ray Thoraks AP

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium (22/02/2020)

Pemeriksaan Hasil Rujukan

Darah Rutin

Hb 14.7 11.5 – 15.5 g/dL

Ht 42 36 – 45 %

Eritrosit 5.0 3.8 – 5.5 juta/mm3

Leukosit 12.500 3.600-10.500 /mm3

Trombosit 220.000 150.000-450.000 /mm3

MCV 84 79 – 96 fl

MCH 29 27 – 32 pg

MCHC 35 30-36 g/dl


Diff. Count
Netrofil 71 50 -70 %
Lympho 22 25 – 40 %

5
Mono 7 2–8%
Kadar Gula Darah

KGD (sewaktu) 116 60 – 200 mg/dL

Fungsi Ginjal

Ureum 42 17 – 43 mg/dL

Kreatinin 0.9 0,6 - 1,1 mg/dL

HbsAg (-)

Rontgen Thoraks (22/02/2020)

- Cor tidak membesar

- Sinus dan diafragma normal

- Pulmo: hili kabur, corakan bronkovaskular bertambah, tidak tampak bercak


lunak

- Skeletal: tampak fraktur komplit 1/3 tengah klavikula kanan,

Kesimpulan:

6
- menyokong gambaran fraktur klavikula kanan

- tidak tampak kardiomegali

- tidak tampak gambaran traumatic wet lung

Rontgen Thorax (24/02/2020)

- Cor tidak membesar

- Sinus dan diafragma normal

- Pulmo: hili kabur, corakan bronkovaskular bertambah, tidak tampak bercak


lunak, tampak bayangan lusen avaskular di hemothoraks lateral kiri bawah dengan
pleural line (+)

7
- Skeletal dan soft tissue: tampak fraktur komplit 1/3 tengah klavikula kanan, serta
fraktur costae III-IX dextra, tampak bayangan lusen densitas udara pada soft
tissue dinding toraks kanan dan daerah leher kanan

Kesimpulan:

- Menyokong gambaran pneumothoraks kanan

- Gambaran emfisema subkutis disertai gambaran fraktur klavikula kanan

- Multiple fraktur costae III- IX dextra (pada foto tanggal 21/02/2020 fraktur
costae tidak tervualisasi)

DIAGNOSIS
- Tension pneumothorax dextra
- Close fracture os clavicula dextra 1/3 medial tipe simple Allman group I
(Type 2B1)
- Multipe fracture os costae III-IX dextra

PENATALAKSANAAN
Tatalaksana (UGD)
- IVFD RL 20 tpm

- O2 10L/m via NRM

- Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam IV

- Arm sling

- pro ORIF os clavicula dextra tanggal 24/02/2020 pukul 13.00

Tatalaksana Rawat Inap

- Pro ORIF os clavicula dextra tanggal 24/02/2020 pukul 13.00

- Pro pemasangan chest tube tanggal 24/02/2020 pukul 13.00

8
- Diet MB

- IVFD RL 16 tpm

- Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam IV

- Inj. Dexametason 1 amp/8 jam IV

- Inj. Omeprazole 1 vial/12 jam IV

- Codein 2x1 tab PO

- durogesic patch 12.5mcg (k/p)

FOLLOW UP
24 Februari 2020
S Sesak nafas berkurang
O KU baik
TD 100/60 mmHg
HR 88 x/m
RR 20 x/m
T 36.40C
SpO2: 89%
WSD: Vol 300 cc, Undulasi (+), bubble (+)
A Post ORIF clavicula dextra + post WSD ai simple
pneumothoraks dextra + fr. Costae posterior III-IX dextra
P  IVFD RL 16 tpm
 O2 2lpm via NK
 Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
 Inj. Ceftizoxime 1 g/ 12 jam
 Durogesic patch 12.5 mcg
 Awasi produk WSD (undulasi, bubble)
 Codein 2x10 mg PO

25 Februari 2020
S Sesak nafas (+) berkurang, nyeri post op (+), tidak bisa BAK

9
O KU: baik
TD 140/80 mmHg
HR 69 x/m
RR 22 x/m
T 36.40C
SpO2: 93%
WSD: Vol 350 cc, Undulasi (+), bubble (-)
Status lokalis: vesika urinaria: full blast (+)
A Post ORIF clavicula dextra (H-1) + post WSD ai simple
pneumothoraks dextra (H-1) + fr. Costae posterior III-IX dextra
P  IVFD RL 16 tpm
 O2 2lpm via NK --> stop
 Pasien posisi berbaring atau posisi berbaring 1/2 duduk
 Pemasangan urine kateter (UOP +/- 700 cc, kuning
jernih)
 Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
 Inj. Ceftizoxime 1 g/ 12 jam
 Durogesic patch 12.5 mcg dipertahankan
 Awasi produk WSD (undulasi, bubble)
 Codein 2x10 mg PO

26 Februari 2020
S Sesak nafas (+) berkurang, batuk (+), sulit mengeluarkan dahak
O KU: baik
TD 140/80 mmHg
HR 69 x/m
RR 24 x/m
T 36.50C
SpO2: 88%
WSD: Vol tetap 350 cc, Undulasi (+), bubble (-)
A Post ORIF clavicula dextra (H-2) + post WSD ai simple
pneumothoraks dextra (H-2) + fr. Costae posterior III-IX dextra
P  IVFD RL 16 tpm
 Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
 Inj. Ceftizoxime 1 g/ 12 jam
 Inj. Bromhexine 2mg/12 jam

10
 Nebu combivent 1/2 amp/24 jam
 Durogesic patch 12.5 mcg
 Awasi produk WSD (undulasi, bubble)
 Codein 2x10 mg PO

27 Februari 2020
S Sesak nafas (+) berkurang, batuk (+) berdahak berkurang
O KU: baik
TD 170/100 mmHg
HR 69 x/m
RR 22 x/m
T 36.50C
SpO2: 90%
WSD: Vol 100 cc, Undulasi (+), bubble (-)
A Post ORIF clavicula dextra (H-3) + post WSD ai simple
pneumothoraks dextra (H-3) + fr. Costae posterior III-IX dextra
P  IVFD RL 16 tpm
 Pasien mobilisasi duduk
 Ganti container dengan NaCl initial 300 cc + povidone
iodine
 Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
 Inj. Ceftizoxime 1 g/ 12 jam
 Inj. Bromhexine 2mg/12 jam
 Nebu combivent 1/2 amp/24 jam
 Durogesic patch 12.5 mcg
 Awasi produk WSD (undulasi, bubble)
 Codein 2x10 mg PO
 GG 3x1 tab PO

28 Februari 2020
S Sesak nafas (-), batuk (+) berdahak berkurang
O KU: baik
TD 150/80 mmHg
HR 70 x/m
RR 22 x/m
T 36.50C

11
SpO2: 93%
WSD: Vol - Undulasi (+), bubble (-)
A Post ORIF clavicula dextra (H-4) + post WSD ai simple
pneumothoraks dextra (H-4) + fr. Costae posterior III-IX dextra
P  IVFD RL 16 tpm
 Aff WSD dan cateter urine
 Durogesic patch 12.5 mcg
 Cefixime 2x200 mg PO
 GG 3x1 tab PO

29 Februari 2020
S Sesak nafas (-), batuk (+) berdahak berkurang, nyeri (+)
O KU: baik
TD 140/90 mmHg
HR 67 x/m
RR 22 x/m
T 36.50C
SpO2: 90%
A Post ORIF clavicula dextra (H-5) + post WSD ai simple
pneumothoraks dextra (H-5) + fr. Costae posterior III-IX dextra
P  Rawat jalan
 Cefixime 2x200 mg PO
 Ketorolac 3x10 mg PO

12
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Trauma Thoraks

Trauma thoraks adalah luka atau cedera mengenai rongga thoraks yang
dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thoraks ataupun isi dari cavum
thoraks yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat
menyebabkan keadaan gawat thoraks akut. (Ivey, et al, 2012)

Trauma thoraks dapat meliputi kerusakan pada dinding dada, vertebra


thorakalis, jantung, paru-paru, aorta thorakalis dan pembuluh darah besar, namun
jarang mengenai esofagus. (Ivey, et al, 2012)

2.1.2 Anatomi Thoraks

Thoraks (atau dada) adalah daerah tubuh yang terletak diantara leher dan
abdomen. Thoraks rata dibagian depan dan belakang tetapi melengkung di
bagian samping. Rangka dinding thoraks yang dinamakan cavea thoracis
dibentuk oleh columna vertebralis di belakang, costae dan spatium di bagian
samping, serta sternum dan cartilage costalis di depan. Di bagian atas, thorax
berhubungan dengan leher dan di bagian bawah dipisahkan dengan abdomen
oleh diaphragma. Cavea thoracis melindungi paru dan jantung dan merupakan
tempat perlekatan otot-otot thoraks, ekstremitas superior, abdomen dan
punggung. (Snell, et al, 1997)

Cavitas thoracis (rongga thoraks) dapat dibagi menjadi: bagian tengah


yang disebut mediastinum dan bagian lateral yang ditempati pleura dan paru.
Paru diliputi oleh selapis membrane tipis yang disebut pleura viceralis, yang
beralih di hilus pulmonalis (tempat saluran udara utama dan pembuluh darah
masuk ke paru-paru) menjadi pleura parietalis dan menuju ke permukaan dalam
dinding thoraks. Dengan cara ini terbentuk dua kantong membranosa yang

13
dinamakan cavitas pleuralis pada setiap sisi thoraks, diantara paru-paru dan
dinding thoraks. (Snell, et al, 1997)

Rongga dibentuk oleh sebuah kerangka tulang yang terdiri dari dua belas
pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir di anterior dalam segmen tulan
g rawan dan dua pasang kosta yang melayang. Secara anatomi, kosta diklasifikas
ikan menjadi 3, yaitu: (Talbot, et al.,2017)

1. Kosta verae (iga sejati)

Kosta verae terdiri dari tujuh pasang kosta (kosta 1-7), dimana masing-ma
sing kosta menempel pada tulang sternum melalui kartilago kosta secara l
angsung.

2. Kosta spuriae (iga semu)

Kosta spuriae terdiri dari 3 pasang kosta (kosta 8-10), dimana ketiga kosta
ini hanya menempel ke bagian bawah tulang sternum melalui katilago kos
ta yang diatasnya.

3. Kosta fluctuantes (iga melayang)

Kosta fluctuantes terdiri dari 2 pasang kosta (kosta 11-12), dimana karena
kedua kosta ini terlalu pendek, mereka tidak menempel ke tulang sternum.

Gambar 1. Tulang Kosta tampak depan (kiri) dan belakang (kanan)

Setiap kosta terdiri dari kepala, leher, dan badan. Pada bagian kepala me
mliki satu facet untuk terhubung dengan sendi costovertebrae. Kecuali kosta satu

14
dan dua, semua kosta memiliki cekungan untuk perjalanan serabut saraf dan pem
buluh darah pada tepi bawah tulang. Pada kosta pertama terdapat lekukan untuk a
rteri dan vena subclavia pada bagian superiornya. Pada kosta kedua, terdapat tub
erositas untuk perlekatan dari otot serratus anterior. (Talbot, et al.,2017)

Gambar 2. Diding thorax depan tampak dari dalam

Setiap kosta terdiri dari kepala, leher, dan badan. Pada bagian kepala me
mliki satu facet untuk terhubung dengan sendi costovertebrae. Kecuali kosta satu
dan dua, semua kosta memiliki cekungan untuk perjalanan serabut saraf dan pem
buluh darah pada tepi bawah tulang. Pada kosta pertama terdapat lekukan untuk a
rteri dan vena subclavia pada bagian superiornya. Pada kosta kedua, terdapat tub
erositas untuk perlekatan dari otot serratus anterior. (Talbot, et al.,2017)

Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus utama


dinding anterior thoraks. Muskulus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan
muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus posterior dinding

15
posterior thoraks. Tepi bawah muskulus pectoralis mayor membentuk
lipatan/plika aksilaris posterior. (Snell, et al, 1997)

Figure 1. Morphologic classification of the ribs.

(a) Drawing shows the eighth rib, which is a


typical rib with a head, tubercle, and body and a
facet at each end. (b) Drawing shows the first
and second ribs, which are considered to be
atypical because of their specialized shapes and
attachments, and the 11th and 12th ribs, which
are considered to be atypical because they lack
the anatomic distinctions of the typical ribs.

Gambar 3. Klasifikasi morfologi dari tulang kosta

Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan
bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan
yaitu muskulus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada
membesar sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus. Pleura
adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana
terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan
kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut
sampai ke hilus dan mediastinum bersama–sama dengan pleura parietalis, yang
melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru
pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru – paru normal,
hanya ruang potensial yang ada. (Samsuhidajat, et al, 2005)

16
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam
kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian
muskuler melengkung membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi
motorik dari interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik
setinggi putting susu, turut berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi
biasa/ tenang sekitar 75%. (Samsuhidajat, et al, 2005)

2.1.3. Etiologi

a. Trauma tembus (tajam)

Pada trauma tembus terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi)


langsung akibat penyebab trauma, terutama akibat tusukan benda tajam (pisau,
kaca, peluru, dsb). Sekitar 10-30% dari trauma tembus memerlukan operasi
torakotomi.

b. Trauma tumpul

Pada trauma tumpul tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.


Penyebabnya antara lain kecelakaan lalu lintas, terjatuh, cedera olahraga, dsb.
Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru. <10%
trauma jenis ini memerlukan operasi torakotomi.(Chung, et al, 2014)

2.1.4 Epidemiologi

Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10 %, dimana


trauma thoraks menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang
terjadi di Amerika Utara. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah
sakit dan banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan
kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorax
dan hanya 15 – 30 % dari trauma tembus thoraks yang membutuhkan tindakan
torakotomi. Mayoritas kasus trauma thoraks dapat diatasi dengan tindakan teknik
prosedur yang akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus
penyelamatan kasus trauma thoraks. (Chung, et al, 2014)

17
2.1.5. Patofisiologi

Pada dasarnya patofisiologi yang terjadi pada trauma thoraks adalah


akibat dari kegagalan ventilasi, kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar
dan kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik.

Hipoksia, hiperkarbia dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thoraks.


Hipoksia jaringan merupakan akibat dari tidak kuatnya pengangkutan oksigen ke
jaringan oleh karena hipovolemia (kehilangan darah), pulmonary
ventilation/perfusion mismatch (contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus)
dan perubahan dalam tekanan intrathoraks (contoh tension pneumothoraks,
pneumothoraks terbuka). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak
adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathoraks atau penurunan
tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan
(syok).

2.1.6. Kelainan Akibat Trauma Thoraks

Tabel 2.1 Kelainan akibat trauma Thoraks

Fraktur Iga

Pneumothorax

Pneumothorax sederhana

Pneumothorax terbuka
Trauma dinding
Tension Pneumothorax
thoraks dan paru
Hematothorax

Hematothorax Masif

Flail Chest

Cedera trakea dan Bronkus

Trauma Jantung Tamponade Jantung


dan Aorta
Kontusio Miocard

18
Trauma Tumpul Jantung

Ruptur Aorta (Traumatic Aortic Disruption)

2.1.7. Fraktur Kosta

a. Definisi Fraktur Kosta

Fraktur kosta adalah patah tulang yang terjadi pada tulang kosta. Flail
chest secara khusus didefinisikan dengan patah tulang pada dua atau lebih patah
tulang kosta pada dua atau lebih lokasi yang menyebabkan adanya gerakan
paradoksal dari dinding thoraks selama pernafasan. (ATLS 10th ed, 2018)

b. Epidemiologi

Fraktur kosta lebih sering terjadi pada usia lanjut dibandingkan usia
muda, dan disebabkan oleh ketidakelastisitas dari dinding thoaks usia lanjut (Tal
bot, et al.,2017)

Fraktur kosta pada remaja biasanya karena kegiatan olah raga dan
rekreasi sedangkan pada orang dewasa penyebab utamanya adalah kecelakaan
lalu lintas. Pada usia lanjut, penyebab utama terjadinya fraktur kosta adalah jatuh
dari ketinggian. Fraktur kosta juga bisa karena proses patologis. Pada anak- anak
umur kurang dari 3 tahun penyebab terbanyak karena menjadi korban kekerasan
pada anak 82% dari 62 anak-anak dengan umur kurang dari 3 tahun menjadi
korban kekerasan pada anak (Talbot, et al.,2017)

Prevalensi dari fraktur kosta berhubungan dengan prevalensi penyebab


dari trauma. Fraktur kosta di dunia lebih banyak terjadi karena kecelakaan
lalulintas (Talbot, et al.,2017)

Pada anak anak lebih banyak terjadi trauma pada bagian bawah thoraks
dan bagian perut sehingga bila terjadi fraktur kosta dapat menjadi tanda adanya
kemungkinan cedera dengan tenaga yang lebih besar. Pada anak-anak jarang

19
terjadi fraktur kosta karena tulang kosta anak anak lebih elastis dibandingkan
orang dewasa (Talbot, et al.,2017)

c. Patofisiologi Fraktur Kosta

Struktur tulang kosta pada dinding thoraks dapat dibagi menjadi tiga area
berdasarkan tingkat trauma yang diperlukan untuk mengalami suatu cedera. Area
atas termasuk tulang kosta pertama hingga keempat. Fraktur pada area ini
umumnya memerlukan trauma dengan kecepatan tinggi dan berhubungan dengan
cedera pembuluh darah besar dan pleksus brakialis. Area tengah meliputi kosta
kelima hingga sembilan. Fraktur pada area ini lebih sering terjadi pada sisi
posterior atau lateral dengan komplikasi seperti laserasi paru, kontusio paru,
hematoma, hematothoraks, dan pneumothoraks. Area bawah termasuk kosta 10
hingga 12 dan berhubungan dengan cedera pada organ solid (cedera lien dan
hepar) (Ivey, et al, 2012)
Stress Rib Fractures (SRF) merupakan cedera yang dimulai dengan adanya
tekanan kecil pada tulang, yang mana berlangsung terus menerus menyebabkan
fraktur mikrotubulus yang lama kelamaan menimbulkan fraktur pada kosta.
Cedera ini jarang terjadi dan terdiagnosis, paling sering terlihat pada pekerja dan
atlet dengan gerakan berulang. Paling sering terlihat pada kosta empat hingga
delapan sisi lateral atau anterolateral oleh karena kontraksi berulang dari otot
seratus anterior. Temuan radiografi mungkin normal pada tahap awal (Talbot, et
al.,2017)
Buckle fracture pada tulang kosta terjadi akibat retaknya korteks tulang
bagian dalam atau bagian luar. Tipe patah tulang ini tampak sebagai keriput
hingga adanya retakan pada korteks dan umumnya terlewatkan pada pemeriksaan
radiografi (Talbot, et al.,2017)
Fraktur kosta nondisplaced didefinisikan sebagai fraktur dengan patahan
lengkap pada korteks dengan posisi yang masih satu kesejajaran, umumnya
melibatkan medula dan korteks bagian dalam dan bagian luar. Deteksi terhadap
fraktur kosta undisplaced sulit dan gambaran cedera ini seringkali terlihat pada
foto follow up saat muncul tanda tanda penyembuhan (Talbot, et al.,2017)

20
Saat terjadi patahan pada korteks disertai hilangnya kesejajaran garis
tulang, fraktur tersebut dikatakan displaced. Pergeseran tulang ini dapat minimal
atau tampak jelas. Cedera pada jaringan dan struktur disekitarnya dapat terjadi,
dan berbagai komplikasi berbahaya lainnya telah dilaporkan pada berbagai
literatur. Fraktur displace ini teridentifikasi pada foto polos atau pada CT Scan.
Ketebalan dan densitas dari korteks kosta berhubungan dengan displacement dari
fraktur ini termasuk gaya yang diterima oleh tulang tersebut. Elastisitas juga
berpengaruh terhadap terjadinya displacement yang mana berbeda pada tiap
individu. Pada tulang anak anak dengan elastisitas yang tinggi memerlukan suatu
gaya yang lebih besar untuk menimbulkan fraktur sempurna pada kosta anak anak
dibandingkan dengan kosta dewasa (Liman, et al, 2003).
Fraktur segmental merupakan cedera tingkat tinggi dengan dua buah
patahan yang sempurna yang terpisah pada satu kosta yang sama. Farktur
segmental ini mungkin masih dalam satu garis yang sejajar atau seringkali
bergeser sebagian atau seluruhnya pada satu atau kedua lokasi fraktur. Fraktur
kosta segmental yang terjadi pada dua atau lebih kosta yang berurutan
berhubungan dengan meningkatnya risiko flail chest. Flail chest menyebabkan
terjadinya gerakan pernapasan paradoksal, dimana dinding dada yang cedera
tertari kedalam pada saat inspirasi dan menggembung keluar pada saat ekspirasi
(ATLS 10th ed, 2018)

d. Manifestasi Klinis

Gambaran mengenai kondisi prehospital yang diberikan oleh paramedis


dapat memberi informasi mengenai kemungkinan adanya fraktur kosta. Adanya
tabrakan kendaraan bermotor, deformitas dari setir kendaraan dan aktifnya sabuk
pengaman dan airbag berhubungan dengan cedera pada kosta.
Pasien dengan fraktur kosta mengeluh nyeri saat inspirasi dan sesak napas.
Nyeri pada saat palpasi, adanya krepitasi, dan deformitas dari dinding dada
merupakan tanda umum adanya fraktur kosta. Gerakan dinding dada yang
paradoksal saat bernapas merupakan tanda adanya flail chest. Adanya gangguan
oksigenasi dapat merupakan tanda adanya pneumothoraks, hematothoraks, atau

21
kontusio pulmonum. Adanya kecurigaan fraktur kosta bagian bawah perlu
dilakukan penilaian adanya kecurigaan cedera pada organ intraabdomen (Talbot,
et al.,2017)
Pada pasien dengan fraktur kosta tanpa riwayat trauma perlu dicurigai
adanya tumor tulang primer pada dinding dada yang bermanifestasi sebagai
fraktur kosta, termasuk adanya metastasis tulang akibat adanya keganasan pada
organ lain (Talbot, et al.,2017)

e. Pemeriksaan Diagnostik

 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium secara umum tidak begitu berguna untuk
mengevaluasi kasusisolated rib fractures. Pemeriksaan urinalisis pada kasus patah
tulang kosta bagian bawah diindikasikan pada kecurigaan trauma ginjal. Tes
fungsi paru seperti analisa gas darah digunakan untuk mengetahui adanya
kontusio paru tetapi bukan pemeriksaan untuk fraktur kosta itu sendiri (Talbot, et
al.,2017)
 Foto Polos Thoraks
Pemeriksaan awal pada pasien dengan kecurigaan fraktur kosta paska
trauma thoraks adalah foto polos thoraks. Deteksi dini adanya fraktur kosta
maupun komplikasinya sangat penting untuk mengetahui kelainan patologis dan
perencanaan perawatan. ((Talbot, et al.,2017)
Pemeriksaan foto polos thoraks sangat berguna untuk mengetahui cedera l
ainnya seperti adanya hemothorax, pneumothorax, kontusio paru, atelektasis, pneu
monia dan cedera pembuluh darah. Adanya patah tulang sternum dan scapula dap
at menjadi kecurigaan adanya fraktur kosta. Cedera aorta tampak ada pelebaran >
8 cm dari mediastinum pada bagian atas kanan dari hasil foto polos Thoraks (Talb
ot, et al.,2017)

Studi menunjukkan bahwa foto dalam posisi posteroanterior memiliki nilai


spesifisitas namun bukan sensitivitas terhadap fraktur kosta. Posisi anteroposterior

22
kurang sensitif dibandingkan dengan radiografi posisi posteroanterior (Talbot, et a
l.,2017)

 Ultrasonography

Pemeriksaan Ultrasonography (USG) memberikan diagnosa yang cepat ta


npa radiasi. Pemeriksaan USG juga dapat mendeteksi kartilago tulang kosta dan c
ostochondral junction . Proses penyembuhan dengan callous formation juga dapat
dideteksi dengan USG.USG dilaporkan mempunyai sensitivitas yang bisa diterima
dengan hasil sensitivitas lebih tinggi dibandingkan dengan radiografi (0.92 vs. 0.4
4) tetapi hasil ini sangat tergantung pada operator alat dan alat yang digunakan (K
urihara, et al, 1999)

 CT Scan Thoraks

Fraktur kosta sederhana dapat dicurigai dan dinilai berdasarkan pemeriksa


an klinis dan tidak memerlukan pemeriksaan CT scan secara rutin, kecuali ditemu
kan kondisi patologis lain pada rongga intrathorax yang memerlukan penilaian leb
ih lanjut (Talbot, et al.,2017)

CT scan thoraks lebih sensitif daripada foto polos thoraks untuk


mengetahui fraktur tulang kosta. Jika dicurigai adanya komplikasi dari fraktur
kosta pada pemeriksaan foto polos thoraks. CT scan dapat membedakan area dari
kontusio paru terjadi atelectasis atau aspirasi. (Talbot, et al.,2017)

 Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI digunakan untuk mengetahui angulasi patah tulang kosta bagian
posterior lateral meskipun MRI tidak digunakan untuk diagnosis pertama pada
patah tulang kosta
Mengidentifikasi penyebab nyeri dinding dada anterior seringkali sulit.
Secara klinis untuk diagnosis diferensialnya luas meliputi fraktur kosta, cedera

23
kartilage kosta, dan cedera jaringan otot. Cedera kartilage kosta merupakan
diagnosis pencitraan yang jarang namun sering terjadi didalam praktik klinis
sehari hari dan ditangani tanpa konfirmasi pencitraan. Pada pasien yang mana
diagnosis klinis tidak jelas atau memerlukan konfirmasi dan menyampingklan
cedera lain, terutama pada atlet profesional, MRI merupakan teknik yang berguna.
(Talbot, et al.,2017)

f. Manajemen Fraktur Kosta


 Sistem Skoring Pada Fraktur Kosta
Jumlah fraktur kosta berkaitan dengan keparahan dari cedera, sejalan
dengan faktor usia, keduanya merupakan determinan yang paling penting didalam
mengetahui morbiditas dan mortalitas. Jumlah fraktur empat keatas berkaitan
dengan tingginya angka mortalitas. Berdasarkan usia dan jumlah fraktur ini,
Easter menciptakan suatu rumusan untuk menentukan pasien dewasa mana yang
memiliki risiko yang lebih tinggi sehingga membutuhkan penanganan oleh tingkat
pelayanan yang lebih tinggi.
Rumusan tersebut diformulasikan sebagai: Rib fracture score ¼ (breaks ×
sides) + age factor. Breaks adalah jumlah fraktur pada kosta, bukan jumlah kosta
yang fraktur. Side memiliki nilai bila sisi bilateral adalah 2 dan unilateral adalah
1. Didalam studi Maxwell dan kolega, tidak ditemukan validitas yang kuat
sebagai prediktor secara statistik, namun berguna sebagai sarana skrinning untuk
meningkatkan kewaspadaan akan timbulnya risiko. Sistem skoring ini juga
digunakan sebagai alat untuk menentukan tingkat obat analgetika yang tepat yang
dibutuhkan pasien. (May, et al, 2016)

24
Gambar 4. Manajemen Nyeri Pada Fraktur Kosta

 Manajemen Ventilasi
Penanganan ventilasi pada pasien dengan fraktur kosta dimulai dengan
pemberian oksigen tambahan. Pemberian cairan saline secara nebulizer dapat
berguna untuk mengurangi retensi sputum. Pemberian tekanan oksigen positif
dapat mencegah atelektasis, mengurangi intrapulmonary shunting, dan
mengurangi gerakan paradoksal bila terdapat flail chest. Bila semua usaha tersebut
gagal, diperlukan ventilasi secara invasif dengan sedasi. Hal ini sedapat mungkin
dihindari bila tidak terdapat cedera lain pada pasien. Sekali pasien terpasang
ventilator, proses pelepasan alat ini sangat sulit. Penanganan nyeri yang baik
merupakan kunci didalam penanganan pasien ini. (May, et al., 2016)

25
 Manajemen Nyeri
Penanganan nyeri perlu dipertahankan selama perawatan dan merupakan
dasar dari kualitas perawatan pasien untuk menjamin kenyamanan pasien. Pasien
dengan patah tulang kosta akan mengalami nyeri berat ketika bernafas, berbicara,
batuk maupun ketika menggerakkan tubuh. Sehingga penanganan nyeri
merupakan prioritas untuk menurunkan risiko paru dan efek sistemik dari fraktur
seperti penurunan fungsi pernafasan yang memicu terjadinya hypoxia, atelectasis,
dan pneumonia (May, et al., 2016)
Pemberian analgetika dimulai sejak pasien berada di unit gawat darurat
untuk mengurangi nyeri pasien, meningkatkan kenyamanan pasien dan mencegah
komplikasi yang dapat muncul beberapa hari berikutnya. Golongan opioid
sebelumnya merupakan terapi utama, namun dengan efek samping yang
signifikan, diantaranya depresi napas, refleks batuk yang berkurang, dan delirium.
Saat ini digunakan analgetika yang sifatnya multi-modalitas, yang
menggabungkan blok saraf regional dan analgetika epidural thorakal.(May, et al.,
2016)
Tahap pertama dengan pemberian analgetika sederhana secara reguler,
seperti parasetamol, opioid golongan lemah, obat anti inflamasi non steroid, dan
opioid golongan kuat pada nyeri yang sangat berat. Bila analgetika yang diberikan
sudah cukup untuk pasien, regimen obat ini dilanjutkan. (May, et al., 2016).
Tahap kedua golongan opioid diberikan bila nyeri tidak tertangani dengan
baik pada intervensi tahap pertama. Pemberian morfin secara intravena dapat
dititrasi berdasarkan berat badan. Setelah efek analgetika yang didapat cukup,
opioid golongan kuat (morfin sulfat) dapat ditambahkan dalam resep reguler
menggantikan opioid golongan lemah. Efek samping dari opioid golongan kuat
seperti mual, muntah, konstipasi, dapat ditangani dengan pemberian obat sesuai
keluhan.(May, et al., 2016)
Tahap ketiga menggunakan analgetika yang dikontrol sendiri oleh pasien
secara intravena. Bila nyeri masih tidak dapat dikontrol atau sudah menggunakan
bolus morfin bermacam-macam, sudah saatnya memulai analgetika yang dikontrol
pasien. Penambahan gabapentinoid harus dipikirkan.(May, et al., 2016)

26
Tahap keempat menggunakan teknik anestesi regional dan fiksasi operasi.
Analgetika epidural telah menjadi standar ketika opioid tidak cukup tersedia.
Pasien dengan fraktur kosta dengan level yang lebih tinggi, bilateral, flail chest,
drain interkostal, dan dengan gangguan respirasi akibat nyeri dapat mendapatkan
manfaat dari pemberian analgetika epidural. Jumlah fraktur kosta, cedera pada
organ lain, usia, komorbiditas, dan status hemodinamik memberikan dampak
terhadap volume obat anestesi, penambahan opioid, dan jumlah awal yang diinfus.
Beberapa pasien trauma dengan cedera organ lain memiliki kontraindikasi
penggunaan epidural atau yang mana tidak memungkinkan untuk memposisikan
pasien saat insersi.Kerugian dari analgetika epidural thorakal diantaranya, secara
teknis lebih sulit pada saat insersi, dengan risiko menusuk dura atau cedera pada
medula spinalis, terjadi hipotensi, retensi urine dan pruritus.

 Tindakan Bedah
Tindakan bedah emergensi pada fraktur kosta sendiri biasanya jarang
diperlukan, namun bila terjadi cedera pada organ di dalam rongga thorax,
seringkali diperlukan tindakan bedah emergensi. Adapun beberapa indikasi untuk
tindakan thoracotomy emergency adalah hipotensi yang tidak responsive
(mungkin berhubungan dengan cardiac tamponade atau emboli udara), produksi
dari chest tube yang massif (diatas 1500 cc), traumatic arrest pada pasien yang
sebelumnya masih memiliki aktifitas jantung. (Talbot, et al.,2017)
Pada fraktur kosta sendiri, tindakan bedah diindikasikan bila terdapat flail
chest atau terdapat fraktur pada empat atau lebih fraktur kosta pada pasien berusia
45 tahun keatas. Fiksasi patah tulang melalui pembedahan/Surgical Rib fixation
(SRF) merupakan suatu penanganan pada flail chest untuk menjaga stabilitas
dinding thoraks
Fiksasi tulang dengan operasi untuk menstabilkan tulang dada telah
banyak dikerjakan di berbagai negara. Pasien dengan flial chest, kegagalan
pernapasan, penggunaan ventilator yang berkepanjangan, atau dengan fungsi
paru-paru yang berkurang sangat dipertimbangkan untuk dilakukan fiksasi dengan
operasi. Tujuannya adalah untuk menstabilkan dinding dada, mengembalikan

27
mekanisme pernapasan normal, dan mengurangi nyeri. Indikasi lain seperti fraktur
kosta yang tidak mempan dengan manajemen nyeri pada umumnya, fraktur yang
sifatnya non-union, dan saat tindakan thorakotomi akibat cedera primer yang lain.
(Talbot, et al.,2017)

g. Komplikasi Fraktur Kosta


 Hipoksia
Fraktur kosta mengganggu proses ventilasi dengan berbagai mekanisme.
Ketidaksesuaian perfusi/ventilasi menurunkan pertukaran gas dan penurunan
compliance paru sehingga secara klinis muncul gejala seperti hipoksia.
 Atelektasis
Nyeri dari patah tulang kosta dapat disebabkan karena penekanan respirasi
yang menyebabkan atelektasis dan pneumonia. Hipoksemia berhubungan dengan
ketidak sesuaian ventilasi dan perfusi karena penurunan ventilasi sehingga
meningkatkan FiO2.
 Kerusakan Organ Viseral
Fraktur pada kosta bagian bawah biasanya berhubungan dengan trauma
pada organ abdomen dibandingkan dengan parenkim paru.Fraktur pada bagian
bawah kiri berhubungan dengan trauma lien dan fraktur pada bagian bawah kanan
berhubungan trauma liver dengan fraktur pada kosta 11 dan 12 biasanya
berhubungan dengan cedera ginjal.
 Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah suatu kondisi adanya udara yang terperangkap di
rongga pleura akibat robeknya pleura visceral, dapat terjadi spontan atau karena
trauma, yang mengakibatkan terjadinya peningkatantekanan negatif intrapleura
sehingga mengganggu proses pengembangan paru.
 Hematothoraks
Hematothoraks berhubungan dengan adanya darah/bekuan darah pada
rongga thoraksdan memerlukan tindakan segera thoracostomy drainage.Sumber
perdarahan umumnya berasal dari arteri interkostalis atau arteri mamaria
interna.Pasien hematothoraksdapat terjadi syok hipovolemik berat yang

28
mengakibatkan terjadinya kegagalan sirkulasi, tanpa terlihat adanya perdarahan
yang nyata oleh karena perdarahan masif yang terjadi, yang terkumpul di dalam
rongga thoraks,
 Kontusio paru
Fraktur kosta selalu berhubungan dengan kontusio paru. Patah tulang kosta
multipel ditemukan menjadi predisposisi terjadinya penurunan fungsi paru dan
compromised ventilation.
 Nyeri
Nyeri pada trauma tumpul thoraks berkaitan dengan fungsi pernapasan
yang terhambat, yang mana dapat memicu komplikasi serius. Berbagai modalitas
analgetika telah dinilai dan dibandingkan pada populasi fraktur kosta

2.1.8. Flail Chest

Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas


dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga
multiple pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur.
Adanya segmen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada
pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkin paru di bawahnya terjadi
sesuai dengan kerusakan pada tulang makan akan menyebabkan hipoksia yang
serius. (ATLS 10th ed, 2018)

Kesulitan utama pada kelainan flail chest yatu trauma pada parenkim paru
yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding
dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan
ekspirasi, efek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab
timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang
mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya.
Flail chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat)
dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak
secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang

29
abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis.
Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang
multiple, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. (ATLS
10th ed, 2018)

Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan


pernafasan, juga membantu dalam diagnosis flail chest. Terapi awal yang
diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan
resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka ada kerusakan parenkim paru
pada flail chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun
kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar
pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitive ditujukan untuk
mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian
cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita
membutuhkan penggunaan ventilator.

Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan


intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan
pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap.
Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan
penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu
untuk melakukan intubasi dan ventilasi.

2.1.9. Penanganan Trauma Thoraks

Penatalaksanaan Awal

Pengelolaan penderita terdiri dari :

a. Primary Survey

b. Resusitasi fungsi vital

c. Secondary survey yang rinci

30
d. Perawatan definitive

Prinsip

1) Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara


umum (primary survey – secondary survey)

2) Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan


fisik, pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara
konsekutif (berturutan)

3) Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien


stabil), adalah: portable x-ray, portable blood examination, portable
bronchoscope. Tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan
memindahkan pasien dari ruang emergency.

4) Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama


untuk menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan
tindakan penyelamatan nyawa.

5) Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan


bersamaan atau setelah melakukan prosedur penanganan trauma.

6) Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah
memiliki sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).

Hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada trauma thoraks,


intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya.Trauma
yang bersifat mengancam nyawa harus secara langsung dilakukan terapi
secepat dan sesederhana mungkin. Kebanyakan kasus trauma thorax yang
mengancam nyawa di terapi dengan mengontrol airway atau melakukan
pemasangan chest tube atau dekompresi thoraks dengan jarum. Secondary
survey membutuhkan anamnesis trauma dan kewaspadaan yang tinggi terhadap
adanya trauma-trauma yang spesifik.

31
Primary survey

Cedera thoraks yang memerlukan tindakan darurat adalah obstruksi jalan


napas, hemothoraks besar, tamponade jantung, tension pneumothoraks, dada gail
(flail chest, dada instabil), pneumothoraks terbuka dan kebocoran udara trakea-
bronkus.Semua kelainan ini menyebabkan gawat dada atau thoraks akut yang
analog dengan gawat perut, dalam arti diagnosis harus ditegakkan secepat
mungkin dan penanganan dilakukan segera untuk mempertahankan pernafasan,
ventilasi paru dan perdarahan. Sering tindakan yang diperlukan untuk
menyelamatkan penderita bukan merupakan tindakan operasi, seperti
membebaskan jalan napas, aspirasi rongga pleura, aspirasi rongga pericard, dan
menutup sementara luka dada.Akan tetapi, kadang diperlukan torakotomi darurat.
Luka tembus di dada harus segera ditutup dengan jahitan yang kedap udara.
Berikut adalah tabel mengenai gangguan ABC (airway, breathing, circulation)
yang dapat menyebabkan gawat dada:

32
Tabel 2.2. Gangguan pada trauma dada

Penyebab Diagnosis
- Sianosis, pucat, stridor
A. Obstruksi jalan nafas - Kontraksi otot bantu nafas (+)
- Retraksi supraklavikula dan intercostal
- Suara nafas bronchial
- Pneumothoraks
B. Kebocoran trakea
- Emfisema
- Infeksi
- Gerakan nafas paradoks
C. Flail chest
- Sesak nafas, sianosis
- Luka pada tinding thoraks
D. Open Pneumothoraks
- Kebocoran udara yang terdengar dan tampak
- Hemithoraks mengembang
- Gerakan hemithoraks kurang
- Suara nafas berkurang
E.Tension pneumothoraks
- Sesak nafas progressif
- Emfisema subkutis
-Trakea terdorong ke sisi sebelah
- Anemia, syok hipovolemik
- Sesak Napas
F. Hemothoraks massif - Pekak pasa perkusi
- Suara napas berkurang
- Tekanan vena sentral tidak meninggi
- Syok Kardiogenik
G. Tamponade jantung - Tekanan vena meninggi (leher)
- Bunyi jantung berkurang

33
1. Airway

Patensi airway dan ventilasi harus dinilai dengan mendengarkan gerakan


udara pada hidung penderita, mulut, dan dada serta dengan inspeksi pada daerah
orofaring untuk sumbatan airway oleh benda asing dan dengan mengobservasi
retraksi otot-otot interkostal dan supraklavikular.

Gambar 5. Teknik Head tilt- Chin lift- Jaw thrust

Jika jalan nafas tidak paten, harus segera dibuat paten. Obstruksi sering
disebabkan oleh lidah pasien, dan pengarahan rahang dengan mendorong
mandibula ke depan sudah cukup membuka jalan nafas. Bantuan dengan slang
oral atau nasal dapat juga membantu. Benda asing, termasuk gigi yang dislokasi,
harus dikeluarkan.

Cedera skeletal juga bisa mengakibatkan gangguan airway, walaupun


jarang ditemukan. Sebagai contoh cedera pada dada bagian atas yang
menyebabkan dislokasi kea rah posterior atau fraktur dislokasi dari sendi
sternoklavikular. Fraktur seperti ini bisa menimbulkan sumbatan airway bagian
atas, bila displacement dari fragmen proksimal fraktur atau komponen sendi
distal menekan trakea. Hal ini juga depat menyebabkan cedera pembuluh darah
pada ekstremitas yang homolateral akibat kompresi fragmen fraktur atau laserasi
dari cabang utama arkus aorta. Cedera ini diketahui bila ada sumbatan airway
atas (stridor), adanya tanda berupa perubahan dari kualitas suara (jika penderita
masih dapat berbicara), dan cedera yang luas pada dasar leher dengan terabanya
defek pada region sendi sternoklavikular.

34
Yang terbaik adalah dengan intubasi endotrakeal (ET), walaupun hal ini
kemungkinan sulit dilakukan jika ada tekanan yang cukup besar pada trakea.
Intubasi dilakukan jika trauma vertebrae cervicales sudah disingkirkan secara
klinis. Jika masih ada kemungkinan cedera tulang belakang dan intubasi harus
dipasang, kepala harus distabilkan dan ditahan dalam possi netral oleh seorang
asisten, lalu prosedur ini dapat dilakukan tanpa menggerakkan vertebrae
cervicales.

2. Breathing

Walaupun jalan nafas sudah bersih dan paten, pernafasan masih mungkin
belum adekuat. Amati dada dan leher, harus dalam keadaan terbuka. Pergerakan
penafasan dan kaulitas pernafasan dinilai dengan observasi, palapasi, dan
auskultasi. Jika perlu, ventilasi dibantu dengan alat kantong berkatup yang
dihubungkan dengan masker atau ETT.

Gejala yang terpenting yang harus diperhatikan adalah hipoksia termasuk


peningkatan frekuensi dan perubahan pada pola pernafasan, terutama pernafasan
yang lambat memburuk. Sianosis adalah gejala hipoksia yang lanjut pada
penderita trauma. Bila sianosis tidak ditemukan bukan merupakan indikasi
bahwa oksigen jaringan adekuat atau airway adekuat. Jenis cedera toraks yang
penting dan mempengaruhi breathing adalah keadaan-keadaan di bawah ini :

1. Pneumotoraks

Pneumothoraks ditandai dengan dispnea dengan suara nafas yang


meredup dan timpani pada satu sisi, mungkin disertai dengan emfisema subkutis.
Tatalaksana awal: Dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke
5 (setinggi papilla mamae) linea mid axillaris anterior.

2. Tension Pneumotoraks

Tanda-tanda yang disebut di atas ditambah dengan deviasi trakea, distensi


vena leher, sianosis, dan syok. Keadaan ini dapat menimbulkan hipoksia yang

35
sangat berat. Ketika tekanan intrapleura meninggi dan kedua paru tertekan, aliran
darah yang melali sirkulasi sentral akan menurun secar signifikan yang
mengakibatkan hipotensi arterial dan syok. Keadaan ini dapat mematikan dalam
beberapa menit bila tidak segera dikoreksi.

Tatalaksana awal :

1) Needle decompression: Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi


segera dan penaggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang
berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang
terkena. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi
pneumothoraks sederhana. Evaluasi ulang selalu diperlukan.
2) Dilanjutkan dengan, terapi definitif dengan pemasangan selang dada (chest
tube) pada sela iga ke 5 ( setinggi puting susu) di anterior garis midaksilaris.

3. Pneumotoraks terbuka (sucking chest wound).

Luka tembus yang nyata dengan aliran udara yang melewati defek di
dinding dada. Walaupun ada trauma tembus dinding dada, udara yang masuk ke
ruang pleura lebih banyak berasal dari paru-paru yang rusak daripada defek
dinding dada. Manifestasi Klinis, adalah terdapatnya luka pada dada yang dapat
menembus ke paru-paru dan merusak paru, dan ditemukan adanya dispnea
dengan suara nafas yang meredup dan timpani pada satu sisi.

Tatalaksana Awal :

1) Langkah awal : menutup luka dengan kasa steril yang di plester hanya pada
3 sisi (diharapkan terjadi flutter type valve)
2) Lalu segera pasang selang chest tube (WSD)

4. Flail Chest

Sebuah segmen dinding dada bergerak paradoksal, yakni ke dalam saat


inspirasi dan keluar saat ekspirasi. Flail chest terjadi ketika segemen didning
dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan didnding dada.

36
Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multiple pada dua atau lebih tulang
iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen
mengembang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Palpasi
gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan
membantu diagnosis.

Gambar 6. Flail Chest

5. Hemotoraks Massif

Terkumpulnya darah dan cairan di salah satu hemitoraks dapat


menyebabkan gangguan usaha bernafas akibat penekanan paru-paru dan
menghambat ventilasi yang adekuat. Perdarahan yang banyak dan cepat akan
mempercepat timbulnya syok.

6. Tamponade jantung.

Bunyi nafas simetris, tapi ada hipotensi yang sulit diikuti dengan distensi
vena leher. Tamponade jantung terjadi karena pengumpulan darah di kantong
pericardium akibat trauma tumpul atau trauma tembus.

C. Circulation

Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas dan keteraturannya. Pada


penderita hipovolemia, denyut nadi arteri radialis dan arteri dorsalis pedis
mungkin tidak teraba oleh karena volume yang kecil. Tekanan darah dan tekanan

37
nadi harus diukur dan sirkulasi perifer dinilai melalui inspeksi dan palpasi kulit
untuk warna dan temperatur. Vena leher harus dinilai apakah distensi atau tidak.
Pada keadaan tension pneumotoraks atau cedera diafragma, distensi vena
mungkin tidak tampak pada penderita. Perfusi harus dipertahankan dengan
mengendalikan perdarahan, infus cairan dan darah melalui IV berkaliber besar
sesuai indikasi, dekompresi tension pneumotoraks atau tamponade pericardium,
atau torakotomi terbuka dengan kompresi aorta dan masase jantung internal.
Cedera toraks yang akan mempengaruhi dan harus ditemukan pada pemeriksaan
primary survey di C (Circulation) ini adalah :

1. Hemotoraks massif.

Sering terjadi pada trauma dada mayor dan sering disertai dengan
pneumotoraks. Merupakan keadaan terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari
1500cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang
merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru.
Hemotoraks dapat disebabkan oleh cedera pembuluh darah dinding dada,
pembuluh besar, atau organ-organ intratoraks, seperti paru, jantung, dan
esophagus.

Hemothoraks besar dapat menimbulkan :

- Syok hipovolemik

- Hipoksia akibat gangguan pada ekspansi paru.

Ditemukan gejala:

- Nyeri dada pleuritik

- Dyspnea

Pemeriksaan fisik ditemukan:

- Bunyi pernafasan meredup

38
- Pekak pada perkusi, kecuali bisal disertai dengan pneumotoraks yang
signifikan

Gambar 7. Hemotoraks

Pada foto toraks, cairan terlihat di bawah basis paru pada foto tegak.
Hemotoraks mungkin kurang tampak pada foto telentang dan hanya gambarnya
berkabut pada sis yang sakit.

2. Tamponade jantung.

Terjadi karena penggumpalan darah di kantong pericardium. Pengisisan


diastolik dan volume sekuncup menurun. Pada orang yang menderita trauma
dada, tekanan darah yang turun dan distensi vena leher (tanpa ada tanda-tanda
tension pneumotoraks yang lain) merupakan indikasi kuat terjadi tamponade
pericardium akut. Syok berat tidak sebanding dengan jumlah darah yang hilang.
Temuan-temuan lain dapat mencakup nadi mengecil, bunyi jantung melemah,
dan pulsus paradoksus (tekanan darah turun lebih dari 10mmHg pada inspirasi).
Namun tanda-tanda ini mungkin tidak ada, dan jika tidak ada, bukan berarti
tamponade jantung akut tidak dapat disingkirkan.

39
2.2 Fraktur Clavicula
Clavicula merupakan tulang pembentuk struktur bahu. Bentuknya secara
umum tipis dengan bagian lateral yang berartikulasi pada acromion dan
medial yang berakhir pada sternum. Tulang ini memiliki dua buah
lengkungan: yang lebih besar adalah bagian koronal yang memberi bentuk
huruf S (konveks anterior sisi medial dan konkaf anterior sisi lateral) (Pulsen
et al, 2018).

(a) (b)
Gambar 8 (a). Anatomi tulang clavicula, (b). potongan cross
sectional dan anatomi topografik clavicula

Dari segi topografi anatomi clavicula didapatkan bagian diafisis


yang tipis yang merupakan tulang kortikal yang keras, implan yang
digunakan adalah cortical screw; sedangkan untuk sisi medial dan lateral
yang merupakan tulang cancellous yang lebih lunak, digunakan larger
pitch cancellous screws yang dapat diinsersi tanpa tapping. Bentuk
topografik anatomi dari clavicula ini diperlukan untuk menentukan
implan yang akan digunakan dengan tepat (Canale ST et al, 2016).
Clavicula memiliki beberapa ligament yang menyokong
keberadaan clavicula, diantaranya adalah

40
a. Ligamen coracoclavicular (medial atau konoid-lateral atau
trapezoid)
Ligamen trapezoid dan conoid merupakan ligamen yang tebal,
dan kuat yang berjalan dari dasar dari processus coracoid dari
scapula sampai bagian inferior dari lateral clavicula. Ligamen
trapezoid menempel pada tonjolan tulang yang spesifik,
sedangkan ligamen conoid yang lebih medial berinsersi pada
conoid tubercle. Ligamen-ligamen ini memberikan fungsi yang
penting sebagai suspensi dari korset bahu pada clavicula
(Paulsen et al, 2018).

41
(a) (b)
Gambar 9. (a). ligamen clavicula lateral dan (b). medial

b. Ligamen acromioclavicular
Kapsul dari sendi acromioclavicular membentuk ligamen-
ligamen acromioclavicular. Pada bagian superior, dan pada
bagian posterosuperior, ligamen tersebut menahan pergeseran
anteroposterior dari distal clavicula. Studi biomekanis yang
terbaru menyebutkan bahwa capsul acromioclavicular
menahan translasi anterior-posterior (Paulsen et al, 2018).
c. Ligamen Capsul

Gambar 10. beban bahu yang di topang oleh clavicula


(Court-Brown CM, 2015).

Ligamen ini mungkin merupakan bagian dari persendian


sternoclavicular yang paling kuat dan yang menghambat
pergeseran superior dari sisi medial clavicula, dan pergeseran
inferior pada sisi ujung lateral clavicula. Kapsul posterior
ditetapkan sebagai struktur yang paling penting dalam

42
menahan pergeseran/translasi ke arah anterior maupun
posterior pada sendi sternoclavicular (Paulsen et al, 2018).

d. Ligamen sternoclavicular
Ligemen ini memperkuat perlakatan antara manubrium
sternii dengan tulang clavicula.
e. Ligamen inter-clavicular
Ligamen-ligamen yang kuat terbentang dari medial
clavicula sampai sisi superior sternum sampai kontralateral dari
clavicula. Ligamen tersebut merenggang pada saat bahu
diangkat tetapi menghambat pergeseran yang menurun dari
ujung lateral clavicula (Paulsen et al, 2018).
f. Ligamen costoclavicular
Ligamen costoclavicula merupakan ligamen yang kuat
yang berjalan dari bagian atas dari iga pertama dan bagian
yang berdekatan dari sternum sampai bagian inferior dari
clavicula. Kadang-kadang, ligamen tersebut keluar dari bagian
medial clavicula yang menjadi tempat perlengketan fossa
rhomboid. Untuk tujuan studi tentang anatomi, serat-serat
ligamen costoclavicular menstabilkan medial clavicula
melawan rotasi keatas dan kebawah (Paulsen et al, 2018).

Tidak sepenting scapula dalam hal origo musculus, namun


clavicula memiliki insersio dari beberapa muskulus besar. Di sisi medial,
muskulus pectoralis major berorigo di shaft clavicula anteroinferior, dan
muskulus sternokleidomastoideus berorigo di bagian superiornya. Origo
pectoralis dan origo anterior deltoid bergabung di bagian lateral,
sementara insersi trapezius bergabung dengan origo deltoid. Insersio
muskulus memegang peranan yang signifikan terhadap terjadinya
deformitas setelah fraktur: fragmen medial clavicula terangkat oleh
tarikan muskulus sternokleidomastoideus, sedangkan fragmen distal
tertarik ke bawah oleh deltoid, dan ke medial oleh pectoralis major. Di

43
sisi bawah clavicula merupakan insersi dari muskulus subklavius, yang
fungsinya sedikit, namun merupakn soft tissue buffer pada ruang
subclavicula superior dari plexus brachialis dan pembuluh subklavia
(Paulsen et al, 2018).
Anatomi nervus supraclavicular berasal dari cabang cervical C3
dan C4 yang keluar dari common trunk di belakang batas posterior dari
muskulus sternokleidomastoideus. Terdapat tiga buah cabang besar
(anterior, media, dan posterior) yang melewati clavicula dari medial ke
lateral (Paulsen et al, 2018), dan berisiko cedera saat tindakan operasi.
Jika saraf ini terpotong, maka terdapat area yang mati rasa dari luka
operasi, yang akan membaik dengan berjalannya waktu. Masalah yang
lebih sulit adanya terbentuknya neuroma yang nyeri pada bekas luka
operasi, yang walaupun jarang terjadi, dapat memperburuk outcome
operasi (Canale ST et al, 2016).

Gambar 11. Anatomi otot clavicula

Struktur neurovaskular yang lebih vital terletak inferior dari


clavicula. Vena subklavia berjalan di bawah muskulus subklavius dan di
atas costa pertama, yang mudah diakses (untuk akses vena sentral) dan

44
rentan terhadap trauma. Arteri subklavia dan plexus brachialis terletak
lebih posterior, terpisah dari vena dan clavicula oleh lapisan muskulus
skalenus anterior di bagian medial. plexus terletak paling dekat dengan
clavicula pada bagian tengahnya, sehingga tidak dianjurkan menggunakan
bor, screw, atau instrumen lain pada subclavicular space (Paulsen et al,
2018).

2.2.1 Klasifikasi Fraktur Clavicuula


Klasifikasi fraktur clavicula cukup banyak, Allman membagi fraktur
berdasarkan lokasi fraktur yaitu proximal, medial, dan distal, karena
tingginya angka delayed union atau non-union pada faraktur 1/3 distal,
neer membagi menjadi tiga subklasifikasi berdasarkan kondisi
ligamentum dan derajat pergeseran (Blom A et al, 2018) (Court et al,
2015) (Canale, 2016).
Neer tipe I didasarkan pada ligamentum coracoclavicular masih
intak, Neer tipe II didasarkan pada kondisi ligementum coracoclavicular
saat ruptur atau lepas dari fragmen medial tetapi ligamentum trapezoid
tetap intak dengan segmen distal, dan Neer tipe III intraarticular. Neer
tipe II disubklasifikasikan menjadi dua oleh Rockwood menjadi tipe IIA:
konoid dan trapezoid melekat pada fragmen distal dan tipe IIB: konoid
lepas dari fragmen medial (Blom A et al, 2018) (Court et al, 2015)
(Canale, 2016).
Klasifikasi yang lebih detail untuk fraktur midshaft dibuat oleh
Robinson, yang berguna untuk pengolahan data dan membandingkan
hasil klinis (Blom A et al, 2018) (Court et al, 2015) (Canale, 2016).

45
Gambar 12. Klasifikasi fraktur clavicula

2.2.2 Manifestasi Klinis Fraktur Klavikula


Gambaran klinis pada fraktur clavicula biasanya penderita datang
dengan keluhan jatuh atau trauma. Pasien merasakan sakit bahu dan
diperparah dengan setiap gerakan lengan. Fraktur clavicula sangat mudah

46
didiagnosa dengan pemeriksaan fisik karena jaringan subkutis yang
sangat tipis. Pada pemeriksaan fisik pasien akan terasa nyeri tekan pada
daerah fraktur dan kadang-kadang terdengar krepitasi pada setiap
gerakan. Dapat juga terlihat kulit yang menonjol akibat desakan dari
fragmen fraktur. Pembengkakan lokal akan terlihat disertai perubahan
warna lokal pada kulit sebagai akibat trauma dan gangguan sirkulasi yang
mengikuti fraktur. Trauma pada pleksus brakhial yang berhubungan
dengan fraktur clavicula dapat terjadi. Kerusakan vaskular walaupun
jarang tetapi dapat terjadi terutama pada arteri subklavia.

Gambar 13. Posisi jatuh yang paling sering menyebabkan


fraktur clavicula

2.2.3 Diagnosis Fraktur Klavikula


Pemeriksaan radiologis yang diperlukan minimal adalah rontgen
dengan proyeksi anterior dan kemiringan 30 derajat sefalik. Biasanya
didapatkan fraktur pada 1/3 tengah dari tulang, fragmen bagian luar
biasanya terletak lebih rendah dari fragmen bagian dalam. Fraktur pada
1/3 lateral dapat terlewatkan, atau perkiraan derajat pergeserannya dapat
lebih rendah, kecuali jika rontgen proyeksi bahu juga dikerjakan. Rontgen
sendi sternoclavicular pada fraktur 1/3 medial juga lebih baik dikerjakan.
Saat menilai kemajuan klinis, harus diingat bahwa ‘clinical’ union
biasanya mendahului ‘radiological’ union beberapa minggu sebelumnya.

47
CT scan dengan rekonstruksi tiga dimensi mungkin diperlukan
untuk menentukan derajat pemendekan secara akurat atau untuk
mendiagnosis fraktur dislokasi sternoclavicula dan untuk meyakinkan
union dari sebuah fraktur.

Gambar 14
a. fraktur clavicula 1/3 tengah displaced – paling sering terjadi
b. fraktur biasanya menyembuh dalam posisi ini, tampak adanya
‘tonjolan’.

2.2.4 Penatalaksanaan dan Tindakan


Penatalaksanaan awal dan tindakan saat menemukan kasus dimulai
dari primary survey dimulai dari airway, breathing, circulatio (ABC).
Selesai dari primary survey maka tindakan selanjutnya adalah melakukan
pemeriksaan lokasi fraktur dengan rumus look, feel dan move. Dari look
umumnya akan didapatkan adanya penonjolan atau bagian yang berbeda
dengan bagian yang sehat, feel akan didapatkan krepitasi pada bagian
yang fraktur, dan pada saat dilakukan move maka akan terjadi
keterbatasan dalam bergerak (Sharon Henry et al, 2018).

48
Fraktur Clavicula 1/3 Tengah Terdapat kesepakatan bahwa fraktur
clavicula 1/3 tengah non displaced seharusnya diterapi secara non
operatif. Sebagian besar akan berlanjut dengan union yang baik, dengan
kemungkinan non-union di bawah 5% dan kembali ke fungsi normal
(Paladini P, 2012).
Manajemen non operatif meliputi pemakaian simple sling untuk
kenyamanan. Sling dilepas setelah nyeri hilang (setelah 1-3 minggu) dan
pasien disarankan untuk mulai menggerakkan lengannya. Tidak ada bukti
yang menyatakan bahwa penggunaan figure-of-eight bandage
memberikan manfaat dan dapat berisiko terjadinya peningkatan insidens
terjadinya luka akibat penekanan pada bagian fraktur dan mencederai
struktur saraf; bahkan akan meningkatkan risiko terjadinya non-union
(Paladini P, 2012).
Terdapat lebih sedikit kesepakatan mengenai manajemen fraktur
1/3 tengah. Penggunaan simple splintage pada fraktur dengan
pemendekan lebih dari 2 cm dipercaya menyebabkkan risiko terjadinya
malunion simptomatik – terutama nyeri dan tidak adanya tenaga saat
pergerakan bahu – dan peningkatan insidens terjadinya non-union.
Sehingga dikembangkan teknik fiksasi internal pada fraktur clavicula
akut yang mengalami pergeseran berat, fragmentasi, atau pemendekan.
Metode yang dikerjakan berupa pemasangan plat (terdapat plat dengan
kontur yang spesifik) dan fiksasi intramedular (Paladini P, 2012).

49
Gambar 15. Fraktur clavicula 1/3 tengah dengan pergeseran berat
(dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi internal dengan plate dan
screw)

Gambar 16. Fraktur clavicula 1/3 tengah dengan pergeseran berat


yang dilakukan fiksasi dengan lockable, large diameter intramedullary
nail

Fraktur Clavicula 1/3 Distal Sebagian besar fraktur 1/3 distal


clavicula mengalami pergeseran minimal dan ekstra-artikular.

50
Ligamentum coracoclavicula yang intak mencegah pergeseran jauh dan
manajemen non operatif biasanya dipilih. Penatalaksanaannya meliputi
pemakaian sling selama 2-3 minggu sampai nyeri menghilang,
dilanjutkan dengan mobilisasi dalam batas nyeri yang dapat diterima.
Fraktur clavicula 1/3 distal displaced berhubungan dengan robeknya
ligamentum coracoclavicula dan merupakan injuri yang tidak stabil.
Banyak studi menyebutkan fraktur ini mempunyai tingkat non-union yang
tinggi bila ditatalaksana secara non operatif. Pembedahan untuk stabilisasi
fraktur sering direkomendasikan. Teknik operasi menggunakan plate dan
screw coracoclavicular, fiksasi plat hook, penjahitan dan sling techniques
dengan graft ligamen dacron dan yang terbaru adalah locking plates
clavicula (Paladini P, 2012).

Gambar 17. Fraktur clavicula 1/3 distal

Fraktur Clavicula 1/3 Proksimal Sebagian besar fraktur yang


jarang terjadi ini adalah ekstra-artikular. Penatalaksanaan yang dilakukan
sebagian besar adalah non operatif kecuali jika pergeseran fraktur
mengancam struktur mediastinal. Fiksasi pada fraktur berhubungan
dengan komplikasi yang mungkin terjadi seperti migrasi dari implan ke

51
mediastinum, terutama pada penggunaan K-wire. Metode stabilisasi lain
yang digunakan yaitu penjahitan dan teknik graft, dan yang terbaru
locking plates (Paladini P, 2012).

2.2.5 Komplikasi
2.1.1. Komplikasi dini
Meskipun clavicula bagian proksimal terletak dekat dengan
struktur vital, kejadian pneumotoraks, ruptur pembuluh darah
subklavia, dan cedera pleksus brachialis jarang terjadi (Sharon Henry
et al, 2018)
2.1.2. Komplikasi Lanjutan
Non-union
Pada fraktur shaft yang mengalami pergeseran, non-union terjadi
pada 1-15% kasus. Fraktur risiko meliputi usia yang bertambah tua,
besar pergeseran, komunitif fraktur, dan pasien perempuan, namun
prediksi akurat mengenai fraktur yang akan mengalami non-union
sulit dikerjakan. Non-union yang simptomatik diterapi dengan fiksasi
plat dan graft tulang jika diperlukan. Tindakan ini biasanya
memuaskan dan memiliki tingkat union yang tinggi. Fraktur
clavicula 1/3 lateral mempunyai tingkat non-union yang tinggi (11,5-
40%). Pilihan terapi untuk non-union simptomatik adalah eksisi
bagian lateral dari clavicula (bila fragmen kecil dan ligamentum
coracoclavicular intak) atau reduksi terbuka, fiksasi interna dan graft
tulang bila fragmen besar. Implan yang digunakan adalah locking
plates and hooked plates (Sharon Henry et al, 2018).
Malunion
Semua fraktur yang mengalami pergeseran akan sembuh dengan
posisi nonanatomis dengan pemendekan dan angulasi, meskipun
tidak menunjukkan gejala. Beberapa akan mengalami nyeri
periskapular, yang biasanya terjadi pada pemendekan lebih dari 1,5

52
cm. Pada kasus ini, operasi osteotomi korektif dan pemasangan plat
dapat dipertimbangkan (Sharon Henry et al, 2018).
Kekakuan bahu (Frozen Shoulder)
Hal ini sering terjadi namun biasanya hanya sementara.

2.3 Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah kondisi dimana terjadi akumulasi udara di antara
pleura visceral dan pleura parietal. Pneumothoraks dibagi menjadi dua tipe:
traumatik dan non-traumatik. Terdapat dua tipe pneumothoraks non-traumatik :
primary spontaneus pneumothorax muncul tanpa penyebab yang diketahui
sebelumnya, sedangkan secondary spontaneus pneumothorax dikarenakan adanya
penyakit paru yang mendasari. Sedangkan, pneumothoraks traumatik diakibatkan
oleh adanya trauma tumpul atau tajam dan diklasifikan menjadi simple
pneumothorax, tension atau open pneumothorax. (Richard, 2019)

2.3.1 Patofisiologi

Pada pneumothoraks terjadi perubahan tekanan pada rongga dada. Tekanan


normal pada cavitas pleura adalah negatif jika dibandingkan dengan tekanan
atmosfer. Ketika terdapat hubungan antara alveolus dengan cavitas pleura, udara
akan mengisi cavitas dan merubah tekanan. Tension pneumothorax muncul
apabila hubungan dalam bentuk “one-way valve” dimana tidak terjadi pertukaran
udara keluar dari cavitas pleura. Tekanan pada cavitas pleura yang meningkat
menyebabkan hipoksia, pergeseran mediastinum. (Richard, 2019)

2.3.2 Manifestasi Klinis

Gejala atau keluhan yang sering muncul adalah sesak nafas yang didapatkan
hampir seluruh pasien. Seringkali sesak dirasakan mendadak atau lama kelamaan
makin berat, pernafasan dangkal dengan mulut terbuka. Terdapat gejala nyeri
dada didapatkan pada 75-90% pasien, nyeri dirasakan tajam pada sisi yang sakit,
terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernafasan. Gejala lain
seperti batuk-batuk didapatkan pada 25-35% pasien, kulit tampak sianosis, denyut

53
jantung meningkat, dan bisa tidak menunjukkan gejala (silent) terdapat pada 5-
10% pasien, biasanya pada jenis pneumothoraks spontan primer (Alsagaff, dkk
2009).

2.3.4 Initial Assesment (Penilaian Awal) Pneumothoraks

Survei Primer (Life Threatening Injuries) (American College of Surgeon,


2018)

1) Airway

Adanya pembengkakan jalan nafas, pendarahan dan muntah dapat berakibat


aspirasi. Pada trauma tajam pada leher atau dada akan menyebabkan pendarahan
dan berakibat pada obstruksi jalan nafas. Inspeksi orofaring untuk melihat adanya
pendarahan atau benda asing. Perhatikan apakah terdapat stridor dan kemampuan
pasien berbicara untuk menilai patensi jalan nafas. Palpasi daerah leher anterior
untuk menilai adanya krepitasi.

Pasien dengan obtruksi jalan nafas dapat dilakukan pembersihan darah atau
muntahan menggunakan suction. Tindakan ini hanya bersifat sementara dan
dibutuhkan pemberian alat bantu nafas definitif. Palpasi jika terdapat jejas pada
daerah sendi sternoklavikula. Jika terdapat dislokasi posterior atau fraktur
klavikula lakukan ekstensi bahu pasien atau stabilisasi klavikula yang dapat
mengurangi obstruksi.

2) Breathing and Ventilation

Lakukan penilaian pada dada dan leher pasien. Kemungkinan dibutuhkan


cervical collar pada kasus trauma thoraks untuk restriksi gerakan servikal.
Pergerakan dinding dada dinilai apakah simetris atau tidak. Nilai seberapa adekuat
usaha nafas pada pasien, dengarkan bunyi nafas dan identifikasi apabila terdapat
bunyi nafas tambahan yang mengindikasikan efusi atau kontusi. Palpasi untuk
menentukan daerah nyeri, krepitasi dan jejas. Pada trauma dada sering terjadi
hipoksia disertai peningkatan usaha nafas dan perubahan irama nafas. Sianosis
adalah tanda terakhir yang dapat dtemukan. Tension pneumothorax, open

54
pneumothoax dan hemothoraks masif adalah trauma dada mayor yang dapat
mempengaruhi pernafasan dan ventilasi.

Langkah 1. Dengarkan tanda terjadinya obstruksi parsial


- asimetris atau hilangnya bunyi nafas
- adanya bunyi nafas tambahan (bunyi yang mengindikasikan hemothoraks)
Langkah 2. Lihat apakah terdapat tanda-tanda ancaman gagal nafas
- Takipnea
- penggunaan otot respiratorik tambahan
- pergerakan dinding dada simetris/atau tidak
- sianosis (penemuan akhir)
Langkah 3. Palpasi dan perkusi jika ada udara
- hipersonor jika ada udara berlebih di dalam paru
- krepitasi
- pekak bila ada cairan
A) Open pneumothorax

Pneumothoraks terbuka defek atau luka yang besar pada dinding dada
yang terbuka menyebabkan pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga
pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada
dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung
mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil
dibandingkan dengan trakea.

Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan


hiperkapnia. Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa steril yang diplester
hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi
efek flutter type valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka,
mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk
menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang
dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan

55
menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan
menyebabkan tension pneumothoraks kecuali jika selang dada sudah terpasang.
Kasa penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah plastic wrap atau
petrolatum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan
dilanjutkan dengan penjahitan luka (American College of Surgeon, 2018).

B) Tension Pneumothorax

Berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran


udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam
rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang
masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di
intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke
sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous
return); ini yang mengakibatkan kematian serta akan menekan paru kontralateral.

Penyebab tersering dari tension pneumothoraks adalah komplikasi


penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada
penderita dengan kerusakan pada pleura visceral. Tension pneumothoraks dapat
timbul sebagai komplikasi dari pneumotoraks sederhana akibat trauma toraks
tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah
salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna.
Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan
tension pneumothoraks, jika salah cara menutup defek pada luka tersebut dengan
pembalut (occlusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme
flap-valve. Tension pneumothoraks juga dapat terjadi pada fraktur tulang
belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures).

56
Gambar 18. Tension Pneumothorax (American College of Surgeon, 2018)

Diagnosis tension pneumotoraks ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan


tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi. Bila ada
kemungkinan tension pneumothoraks sebaiknya tidak menunggu foto Rontgen.
Dengan pungsi darurat rongga thoraks berupa tusukan sederhana dengan jarum di
ruang antariga II, penderita dapat diselamatkan. Tension pneumothoraks ditandai
dengan gejala nyeri dada, sesak, distress pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi
trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis
merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension
pneumothorax dan tamponade jantung maka sering membingungkan pada
awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada
hemitoraks yang terjadi tension pneumothoraks dapat membedakan keduanya.

Tension pneumothoraks membutuhkan dekompresi segera dan


penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar
pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang emngalami kelainan.
Tindakan ini akan mengubah tension pneumothoraks menjadi pneumothoraks
sederhana (catatan ; kemungkinan terjadi pneumotraks yang bertambah akibat
tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitive selalu
dibutuhkan dengan pemasangan selang dada (Chest tube) pada sela iga ke 5 (garis
putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris (American College of
Surgeon, 2018).

57
3) Circulatory

Trauma thoraks yang mempengaruhi sirkulasi dan dapat dinilai dari primary
survey antara lain hemothoraks masif, tamponade jantung, dan terhentinya
sirkulasi akibat trauma. Inspeksi kulit apakah terdapat mottling, sianosis dan
pucat. Lakukan penilaian pada JVP untuk melihat apakah terdapat distensi,
walaupun pada kasus hipovolemia tidak ditemui adanya distensi vena leher.
Auskultasi denyut jantung untuk menilai regular atau irregular serta kualitasnya.
Pada pasien dengan hipovolemia, denyut nadi distal akan menghilang karena
hilangnya cairan. Palpasi juga kulit untuk menilai suhu dan menentukan apakah
kulit kering atau berkeringat. Pada EKG dapat ditemui adanya PEA (pulseless
electrical activity) pada kasus-kasus tamponade jantung dan tension
pneumothorax (American College of Surgeon, 2018).

Gambar 19. Perbedaan Tension Pneumothoraks dan Hemothoraks Masif


(American College of Surgeon, 2018)

4) Dissability

Dilakukan penilaian GCS, ukuran dan reaksi pupil pada pemeriksaan


dissability. Adanya perubahan tingkat kesadaran mengindikasikan kita untuk
melakukan penilaian tentang oksigenasi pasien, ventilasi dan perfusi (American
College of Surgeon, 2018).

58
5) Exposure and Enviromental control

Pada survei primer, lepaskan seluruh pakaian pasien dengan menggunting


baju untuk menilai dan melakukan pemeriksaan. Setelah selesai melakukan
penilaian, tutup pasien dengan selimut hangat atau alat penghangat tambahan
untuk menhindari pasien dari hipotermia. Hangatkan cairan infus sebelum
diberikan dan pertahankan lingkungan tetap hangat (American College of
Surgeon, 2018).

Survei Sekunder (Potentially life-threatening injuries) (American College of


Surgeon, 2018)

Survei sekunder pada pasien trauma thoraks termasuk dalam pemeriksaan


fisik lebih mendetil, EKG lanjutan, monitor saturasi oksigen, analisa gas darah,
foto x-ray thoraks dan CT scan pada pasien dengan trauma aorta atau spinalis.
Extended FAST (eFAST) adalah alat lainnya untuk mendeteksi pneumothoraks
dan hematothoraks.

Pada survei sekunder, anamnesis pasien atau keluarga pasien mengenai


mekanisme trauma dan riwayat sebelumnya. Riwayat yang ditanyakan disingkat
AMPLE (Allergies, medical currently used, past ilnesses/pregnancy, last meal,
events/environment related to injury).

59
Gambar 20. Mekanisme Trauma (American College of Surgeon, 2018)

60
1. Simple pneumothorax

Pneumothoraks diakibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara


pleura visceral dan parietal. Dislokasi fraktur veterbra juga dapat ditemukan
bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari
pneumotoraks akibat trauma tumpul. Dalam keadaan normal rongga toraks
dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh
karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya
udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru.
Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak
mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika pneumotoraks terjadi,
suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi hipersonor.
Fototoraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis.

Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube


pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks
adalah dengan dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan mengandung
resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungan dengan WSD (Water Seal
Drainage) dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk
mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau
ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan
peneumotoraks traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya
dapat menjadi life thereatening tension pneumotorax, terutama jika awalnya
tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan positif diberikan. Toraks penderita
harus dikompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk (American College of
Surgeon, 2018).

61
Gambar 21. Simple Pneumothoraks (American College of Surgeon,
2018)

Pemeriksaan Fisik Pneumothoraks

1. Inspeksi:
a) Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiperekspansi dada)
b) Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakan tertinggal
c) Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi:
a) Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b) Iktus jantung terdorong ke sisi thoraks yang sehat
c) Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi:
a) Suara perkusi hipersonor
b) Batas jantung terdorong ke arah thoraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi

62
4. Auskultasi:

a) Pada bagian yang sakit, suara nafas vesikular menurun atau menghilang
(Alsagaff, dkk 2009).

Pemeriksaan Penunjang Pneumothoraks


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan radiologi foto thoraks,
ultrasonografi, atau CT scan. Namun, pemeriksaan radiologi foto thoraks adalah
yang paling sering dilakukan. Pada foto thoraks akan didapatkan perubahan
radiolusensi pada lapang paru dan hilangnya marking paru. Dapat terjadi deviasi
trakea dan pergeseran mediastinum apabila terjadi pneumothoraks besar. Menurut
luasnya paru yang mengalami kolaps, pneumothoraks dapat diklasifikan menjadi
dua, yaitu: (Alsagaff, dkk 2009).

1) Pneumothoraks parsialis, yaitu pneumothoraks yang menekan sebagian kecil


paru (<50% volume paru)

2) Pneumothoraks totalis, yaitu pneumothoraks yang mengenai sebagian besar


paru (>50% volume paru).

Perhitungan luas pneumothoraks menggunakan rumus 1 dikurangi dengan


perkiraan lebar paru dan hemithoraks. Contohnya, lebar hemithoraks diperkiraan
10 cm, lebar paru yang mengalami pneumothoraks 5 cm, rasio 5 3/103 = 0.125.
ukuran pneumothoraks 1 minus 0.125 atau 87.5%. Jika terdapat adhesi antara
paru-paru dan dinding dada, paru tidak kolaps secara simetris, perhitungan ini
tidak dapat dilakukan. (Richard, 2019)

63
Gambar 22. Rontgen X-ray Thoraks (Richard, 2019)

2.3.5 Tatalaksana Pneumothoraks

A. Dekompresi (needle decompresion)

Persiapan Pasien (American College of Surgeon, 2018)

1) Sebelum melakukan tindakan dekompresi jarum, persiapan pasien yang perlu


dilakukan sebagai berikut :

2) Lakukan informed consent pada pasien dan atau keluarga pasien mengenai
tindakan yang akan dilakukan, tujuan, manfaat, risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi selama proses atau pasca tindakan dekompresi jarum

3) Pasien harus mengetahui bahwa tindakan dekompresi jarum merupakan


pertolongan pertama yang sifatnya sementara, dan setelahnya akan diikuti
dengan pemasangan chest tube atau kateter interkostal. Pastikan pasien atau
keluarga pasien menandatangani lembar persetujuan tindakan dan informed
consent

4) Pastikan pasien sudah terpasang monitor beserta pulse oximetry, berikan


oksigen 100% high flow dan berikan ventilasi jika diperlukan

64
5) Perlu dicatat bahwa tindakan ini sering dilakukan dalam setting gawat darurat
untuk menyelamatkan nyawa. Oleh karena itu, tindakan persiapan (termasuk
informed consent) bisa ditunda dan dilakukan setelah tindakan.

Peralatan

Peralatan yang harus disiapkan untuk tindakan dekompresi jarum yakni :

1. Alat pelindung diri (sarung tangan steril, gown, dan masker)

2. Larutan povidone iodine 10% atau chlorhexidine 2%

3. Spuit 5 cc dengan needle 25G, isi dengan lidocaine 1-2% sebanyak 4 cc untuk
tindakan anestesi lokal

4. Large bore needle (ukuran 14-16G), dan kateter over-the-needle dengan


panjang setidaknya 5–8 cm

5. Gauze tape

Posisi Pasien

Posisi pasien saat tindakan dekompresi jarum disesuaikan dengan lokasi


insersi jarum. Jika insersi jarum dilakukan di second intercostal space (ICS 2)
linea midklavikula, maka pasien diposisikan dalam kondisi terlentang. Namun,
jika insersi jarum dilakukan di ICS 4 atau 5 anterior dari linea midaksila, maka
sebaiknya pasien dalam posisi terlentang dengan tangan diabduksi, atau pasien
bisa dalam posisi duduk atau lateral dekubitus. Tujuannya adalah untuk
memudahkan proses pemasangan chest tube atau kateter interkostal setelahnya
(Wernick. 2015)

Prosedural

1. Sebelum melakukan tindakan dekompresi jarum, pasang monitor dan pulse


oximetry pada pasien, berikan oksigen 100% high flow dan berikan ventilasi
jika diperlukan. Pastikan posisi pasien sudah tepat dan nyaman, dan peralatan
sudah siap. Prosedur dari tindakan dekompresi jarum adalah :

65
2. Cuci tangan kemudian gunakan alat pelindung diri

3. Berikan tanda pada lokasi untuk insersi. Pada anak-anak, dilakukan di linea
midklavikula ICS 2. Sedangkan pada orang dewasa, bisa dilakukan pada linea
midklavikula di ICS 2 atau pada sisi anterior dari linea midaksila di ICS 5

4. Lakukan prosedur aseptik dan antiseptik

5. Lakukan tindakan anestesi jika waktu dan kondisi memungkinkan

6. Lakukan insersi large bore needle ukuran 14–16G atau kateter over-the-
needle (dengan panjang setidaknya 5–8 cm) dengan terpasang spuit 10 cc
Luer-Lok yang sudah diisi dengan 3 cc cairan normal saline, gunanya untuk
identifikasi udara yang teraspirasi. Insersi jarum dilakukan tepat di atas tulang
iga ke-3 (jika lokasi insersi dilakukan pada ICS 2), atau tepat di atas tulang
iga ke-6 (jika lokasi insersi dilakukan pada ICS 5)

7. Pada saat penusukan jarum, usahakan posisi jarum tegak lurus dengan
dinding dada

8. Setelah jarum menembus pleura parietal, lihat apakah tampak gelembung saat
dilakukan aspirasi. Jika ya, lepaskan spuit, kemudian dengarkan bunyi udara
yang keluar dari jarum (hissing sound)

9. Cabut jarum dengan meninggalkan kateter masih berada di dalam rongga


pleura, lakukan fiksasi dan stabilisasi kateter

10. Setelah tindakan dekompresi jarum, cek kembali status airway, breathing dan
circulation (ABC) pada pasien

11. Selanjutnya, segera persiapkan alat dan bahan untuk dilakukan pemasangan
chest tube atau kateter interkostal

Terdapat perbedaan lokasi insersi pada dekompresi jarum yang diperbarui


yakni yang pada mulanya dianjurkan dilakukan pada linea midklavikula di ICS 2
menjadi penusukan pada sisi anterior dari linea midaksila di ICS 5. Alasan dari

66
perubahan lokasi ini karena penusukan di ICS 5 diduga lebih aman (risiko
perdarahan lebih rendah), dan sama dengan lokasi pemasangan chest tube atau
kateter interkostal pada tindakan selanjutnya (American College of Surgeon,
2018).

Follow Up

Setelah dilakukan dekompresi jarum, pastikan status dari ABC pasien stabil.
Pemeriksaan ABC yakni berupa pemeriksaan patensi jalan nafas, frekuensi dan
pola pernafasan, saturasi oksigen, pulsasi, dan tekanan darah. Setelah itu, segera
lakukan pemasangan chest tube atau kateter interkostal yang terhubung dengan
water seal drainage (WSD).

Follow up selanjutnya yang perlu dilakukan adalah rontgen toraks setelah


pemasangan chest tube atau kateter interkostal, untuk menilai kembali ekspansi
paru-paru, posisi kateter interkostal dan menilai kembali deviasi mediastinum
akibat tension pneumothorax (Kim, et al 2010)

B. Pemasangan Chest Tube

1. Operative tube thoracostomy

 tindakan septik aseptik

 anestesi lokal

 insisi kulit 2-4 cm dilakukan deseksi tumpul sampai pleura

 jari operator dimasukkan ke dalam rongga pleura untuk melepaskan


perlekatan paru dengan dinding dada

 masukkan chest tube yang telah diklem ujung proksimal ke dalam rongga
pleura dnegan tuntunan hemostat

 setelah ujung proksimal chest tube terfiksasi dibawah air, klem dapat dibuka

 lakukan penjahitan dan tutup dengan kassa steril

67
Sistem WSD (water seal drainage) : sistem drainase menggunakan water seal
untuk mengalirkan udara cairan dari cavum pleura dan mempertahankan tekanan
negatif cavitas pleura. Prinsip WSD adalah gravitasi menyebabkan udara dan
cairan mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan yang lebih rendah. Udara atau
caran dalam rongga pleura menghasilkan tekanan positif (>763 mmHg)
sedangkan udara/cairan water seal pada selang dada menghasilkan tekanan positif
kecil (761 mmHg) dan tekanan sub atmosfir 746 mmHg. Sistem pleural drainage
dibagi menjadi 2 yaitu;

1) Bottle collection system

- Sistem satu botol

Botol berfungsi sebagai water seal dan botol penampung. Umumnya


digunakan pada pneumothoraks. Chest tube dihubungkan dengan selang kaki
melalui lubang sumbat ke dalam botol berisi cairan, ujung distal ditanam 2 cm
dibawah permukaan cairan dalam botol.

- Sistem dua botol

Botol pertama sebagai penampung/drainase. Botol kedua sebagai water seal.


Keuntungannya water seal tetap pada satu level dan dapat dihubungkan dengan
suction control. Biasanya digunakan untuk evakuasi cairan.

- Sistem tiga botol

Botol pertama sebagai penampung, botol kedua sebagai water seal sedangkan
botol ketiga sebagai suction kontrol, tekanan dikontol dengan manometer.
Digunakan bila menggunakan continues suction dengan tekanan -15 sampai -20
mmHg.

2) One-way flutter valve

Sistem ini dibuat dengan prinsip klep satu arah yang akan menutup bila
teknan dalam pleura lebih kecil dari tekanan atmosfir dan membuka jika
sebaliknya. Disarankan untuk pneumothoraks tanpa cairan.

68
Gambar 22. Sistem Kolektif dengan Botol (Saryono, 2010)

Gambar 23. One-way flutter valve (Saryono, 2010)

69
Evaluasi WSD

1) Perawatan luka WSD dengan mengganti verban setiap hari

2) Perawatan selang dan botol WSD

- Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari dan diukur berapa cairan yang
keluar. Setiap penggantian botol harus tertutup dengan melakukan klem pada
selang WSD.

- Cairan di botol adalah cairan antiseptik

- Dinilai apakah ada undulasi atau tidak, begitu juga dengan gelembung udara
(bubble)

Pelepasan Chest Tube

- Sebaiknya diklem selama 12-24 jam sebelum pelepasan

- Pada saat pengangkatan, pasien harus membuang nafas dan melakukan manuver
valsava

- Chest tube diangkat diakhir ekspirasi dan jahitan dikaitkan

- Perawatan rutin luka jahitan dan aff pada 3-5 hari, rontgen dada dianjurkan 1,2
sampai 24 jam setelah pengangkatan chest tube.

70
BAB III

ANALISA KASUS

TEORI KASUS
Anamnesis Anamnesis
Fraktur clavicula dan fraktur os costae - Nyeri pada bahu kanan
- Nyeri saat bernafas - Sulit menggerakan lengan kanan
- Badan sulit digerakan, atau terbatasnya - Sesak nafas (+)
gerakan pada bagian yang cedera - Nyeri saat menarik nafas
- Riwayat Jatuh dengan bahu atau dada - Riwayat jatuh posisi bahu kanan
terlebih dahulu terbentur stang motor dan dada kanan
terbentur aspal

Tension Pneumothorax pasien tiba-tiba mengeluh sesak nafas


- Sesak nafas hebat hebat
- Nyeri saat menarik nafas nyeri pada saat menarik nafas
- Batuk-batuk
batuk-batuk (+)
- Pucat (sianosis)
pucat (-).
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik
Fraktur Primary Survey (22/02/2020)
- Terbatasnya gerakan ataupun fungsi A: bebas, perdarahan (-), muntah (-)
tulang yang mengalami fraktur B: spontan, pergerakan dinding lapangan
- Nyeri tekan pada daerah tulang yang paru kanan = kiri (+), perkusi sonor kedua
mengalami faktur lapangan paru, nafas vesikular menurun
- Krepitasi saat dilakukan palpasi lapangan paru kanan, RR: 24x/m, regular
- Terdapat bagian yang bulging (menonjol) C: TD 130/90mmHg, N 87x/m, regular,
atau tampak normal jika dibandingkan isian cukup, tegangan kuat
dengan bagian yang sehat D: GCS E4V5M6, Pupil isokor 3/3, RC +/+
E: T: 36,5, jejas (+) pada status lokalis

Tension pneumothoraks Secondary Survery (22/02/2020)


- Gerakan hemithoraks tertinggal A: Alergi(-)
- hipersonor pada lapang paru yang cidera M: Obat yang sedang digunakan (-)

71
- Suara nafas berkurang/menghilang P: Riw. fraktur costae sinistra 2 tahun yll
L: 4 jam SMRS
E: Kecelakaan lalu lintas
Status Lokalisata (22/02/2020)
I: simetris (+), jejas dan hematoma (+) di
daerah tulang selangka dan dada kanan
bawah
P: nyeri tekan (+). Krepitasi (+)
P: sonor (+), peranjakan 1 cm
A: suara paru kanan < suara paru kiri

Primary Survey (24/02/2020)


A: bebas, perdarahan (-), muntah (-)
B: spontan, pergerakan dinding lapangan
paru kanan = kiri (+), perkusi hipersonor
lapangan paru kanan, nafas vesikular
menurun lapangan paru kanan, RR: 30x/m,
regular, nafas dangkal
C: TD 110/80mmHg, N 92x/m, regular,
isian cukup, tegangan kuat
D: GCS E4V5M6, Pupil isokor 3/3, RC +/+
E: T: 36,7 jejas (+) pada status lokalis

Secondary Survery (24/02/2020)


A: Alergi(-)
M: Inj. Ketorolac 30 mg IV
P: Fracture clavicular (D) dan Contusio
Pulmonal
L: pukul 07:00 pagi
E: Kecelakaan lalu lintas

Status Lokalisata (24/02/2020)


I: asimetris, pergerakan dada kanan
tertinggal

72
P: stem fremitus lapangan kanan menurun,
krepitasi bawah kulit (+)
P: hipersonor (+)
A: suara paru kanan < suara paru kiri

Pemeriksaan Hasil Penunjang Lab Pemeriksaan Hasil Penunjang Lab


Tidak ada tanda khusus Darah Rutin
Hb: 14,7
Ht 42
Leukosit 12.500*
Trombosit 220.000

Kadar Gula Darah


KGDS 116

Fungsi Ginjal
Ur: 42
Cr: 0,9

Screeening
HbsAg: non reaktif

Foto Rontgen AP Foto Rontgen AP


Fraktur os clavicula dan costae (22/02/2020)
- gambaran diskontinuitas (displacement - cor tidak membesar
atau indisplacement) tulang yang - sinus dan diafragma normal
mengalami fraktur - pulmo: hilir kabur, corakan
bronkovaskular bertambah, tidak tampak
Tension pneumothoraks bercak lunak
- hiperlusen/ avascular pada lapang paru - skeletal: tampak fraktur komplit 1/3
- terdorongnya posisi jantung medial klavikula kanan
- deviasi trakea
Kesan
Emfisema subkutis : - menyokong gambarang fraktur klavikula

73
Tampak bayangan lusens pada sof tissue kanan
- tidak tampak kardio megali
Kontusio Paru : - tidak tampak gambaran traumatic wet
Tampak corakan bronkovaskular lung
meningkat
(24/02/2020)
- cor tidak membesar
- sinus dan diafragma normal
- pulmo: hilir kabur, corakan
bronkovaskular bertambah, tidak tampak
bercak lunak
- tampak bayangan lusen avascular di
hemothorax lateral kiri bawah dengan
pleural line
- skeletal: tampak fraktur komplit 1/3
medial klavikula kanan, fraktur costae III-
IX kanan, tampak bayangan lusen densitas
udara pada soft tissue thorax kanan dan
daerah leher kanan

Kesan
- menyokong gambaran pneumothorax
kanan
- gambaran emfisema subkutis disertai
gambaran fraktur klavikula kanan
- multiple fracture costae III-IX dextra

Etiologi Etiologi
- Riwayat trauma thorax (trauma - Riwayat. Fraktur costae 2 tahun yang lalu
tajam/tumpul) - Riwayat kecelakaan lalu lintas (trauma
tumpul)

Patofisiologi Patofisiologi
trauma toraks tembus /tajam menyebabkan Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas

74
perlukaan parenkim paru dimana dada sebelah kanan dan bahu
membentur aspal (trauma tumpul) 
fraktur os clavicula dan fr. Multiple os
costae
Pasien banyak melakukan mobilisasi 
multiple fr. Os costae  perlukaan
parenkim paru (kontusi paru) dan pleura
visceral
Robeknya pleura visceral  one-way valve
 paru menjadi kolaps terganggunya
ventilasi dan perfusi  sesak nafas, nafas
dangkal
Indikasi Operasi Fraktur Clavicula Indikasi Operasi Fraktur Clavicula
- fraktur terbuka - tidak ada perbaikan selama
- Fraktur dengan gangguan vaskularisasi menggunakan arm sling
- Fraktur dengan “scapulothorcic - fraktur dengan posisi potongan ke bagian
dissociation” (floating shoulder) vaskular dan nervus
- Fraktur dengan displaced glenoid neck -fraktur os clavicula 1/3 medial displaced
fraktur.
- fraktur os clavicula 1/3 medial displaced
- fraktur os clavicula segmental atau
comminuted
Indikasi Pemasangan WSD Indikasi Pemasangan WSD
- Pneumothoraks - Tension pneumothoraks : setelah
dilakukan needle decompresion

Komplikasi Komplikasi
Dini - pneummothorax
- kerusakan jaringan vascular - frozen shoulder
- pneumothorax - emfisema subkutis
- cedera plexus brachialis

Lanjut
- displacement
- non-union

75
- mal union
- frozen shoulder

BAB IV

KESIMPULAN

76
Seorang laki-laki, umur 60 tahun, berinisial Tn. F datang dengan keluhan
nyeri pada bahu kanan post KLL sejak 2 jam SMRS. Pasien sedang mengendarai
motor tiba-tiba menabrak anjing di jalan, lalu terjatuh dengan posisi bahu
terbentur stang motor dan dada kanan terbentur aspal. Bahu kanan membengkak
dan nyeri, pasien tidak bisa menggerakkan tangannya. Sesak nafas (+), nyeri saat
menarik nafas (+) terutama dada sebelah kanan, penurunan kesadaran (-), muntah
(-), pada saat kecelakaan pasien menggunakan helm. Kelemahan pada kaki atau
tangan (-), BAB dan BAK tidak ada kelainan.

Pada pemeriksaan primary survey, airway tampak bebas, breathing spontan,


pergerakan dinding dada sama antara kanan dan kiri, krepitasi pada tulang
clavicula kanan, perkusi sonor pada kedua lapangan paru. Suara vesikuler
terdengar menurun pada regio thoraks kanan. Sirkulasi tampak baik, disability
tidak ada, dan eksposure berupa jejas.

Dua hari setelah dirawat di RS, pasien kembali mengeluh sesak nafas yang
semakin memberat, nyeri pada saat menarik nafas, batuk-batuk (+), pucat (-),
krepitasi subkutis (+). Pasien kemudian dilakukan foto rontgen thoraks ulang lalu
didapatkan adanya simple pneumothoraks dextra, emfisema subkutis dan fraktur
costae IV-XI dextra. Pasien dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang (laboratorium dan pemeriksaan radiologi X-ray thoraks) didiagnosis
dengan fraktur tertutup os clavicula dextra 1/3 medial dextra dan kontusio paru
yang akan dilakukan ORIF pada tanggal 24/02/2020.

Setelah dilakukan orif dan pemasangan WSD pasien tampak mengalami


perbaikan KU dan TTV. Prognosis pada kasus ini quo ad vitam dan quo ad
functionam bonam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wernick B, Hon HH, Mubang RN, et al. Complications of needle


thoracostomy: A comprehensive clinical review. Int J Crit Illn Inj Sci. 2015;
5(3): 160–169.

77
2. Kim J, Jeong J, Cho SJ, et al. Needle decompression for trauma patients:
chest wall thickness and size of the needle. J Korean Soc Traumatol. 2010;
23(2): 63-67.
3. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support: Tenth
Edition. Chest Trauma; 2018, p66-77.
4. Saryono. Water Seal Drainage (WSD). Departemen Bedah FK Unsoed; 2010,
p8-10.
5. Richard W. Pneumothorax: An Article of MSD. Vanderbilt University
Medical Centre.; 2009. https://www.msdmanuals.com. Diakses pada 28
Februari 2020.
6. Alsagaff, Hood, Mukty H. Dasar-dasar ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Universitas Airlangga; 2009, p162-179.
7. Ivey, K.M., White, C.E., Wallum, T.E., Aden, J.K., Cannon, J.W., Chung,
K.K., McNeil, J.D., Cohn, S.M. and Blackbourne, L.H., 2012. Thoracic
injuries in US combat casualties: a 10-year review of Operation Enduring
Freedom and Iraqi Freedom. Journal of trauma and acute care surgery, 73(6),
pp. S514-S519.
8. Snell R.S. Dinding Thorax. Dalam Anatomi Klinik Bagian ke Satu. Jakarta:
EGC, 1998.
9. Talbot, B.S., Gange Jr, C.P., Chaturvedi, A., Klionsky, N., Hobbs, S.K. and
Chaturvedi, A., 2017. Traumatic rib injury: patterns, imaging pitfalls,
complications, and treatment. Radiographics, 37(2), pp.628-651.
10. Sjamsuhidajat R., de Jong W. Dinding Toraks dan Pleura. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, 2005.
11. Chung JH, Cox CW, Mohammed TL, et al. ACR Appropriateness Criteria
blunt chest trauma. J Am Coll Radiol 2014;11(4):345–351.
12. Advanced trauma life support (ATLS®): The tenth edition. (2018). Journal
of Trauma and Acute Care Surgery, 74(5), pp.1363-1366.
13. Liman ST, Kuzucu A, Tastepe AI, Ulasan GN, Topcu S. Chest injury due to
blunt trauma. Eur J Cardiothorac Surg 2003;23(3):374–378.
14. Kurihara Y, Yakushiji YK, Matsumoto J, Ishikawa T, Hirata K. The ribs:
anatomic and radiologic considerations. RadioGraphics 1999;19(1):105–
119; quiz 151–152.
15. Bansidhar BJ, Lagares-Garcia JA, Miller SL. Clinical rib fractures: are
follow-up chest x-rays a waste of resources? Am Surg 2002;68(5):449–453

78
16. May, L., Hillermann, C. and Patil, S., 2016. Rib fracture management. Bja
Education, 16(1), pp.26-32.
17. Blom A, Warwick D, Whitehouse MR, editors. 2018. Apley & Solomon’s
System of Orthopaedics and Trauma 10th edition. New York: CRC Press.
18. Court-Brown CM, Heckman JD, McQueen MM, Ricci WM, Tornetta III P,
editors. 2015. Rockwood and Green’s Fracture in Adults 8th edition.
Philadelphia: Wolters Kluwer.
19. Canale ST, Beaty SH, editors. 2016. Campbell’s Operative Orthopedics 13th
edition. Tennessee: Elsevier.
20. H. V. F. Paulsen, J Waschke. 2018. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Edisi 24.
Jakarta: Elsevier.
21. Jaffe, B.M., Berger, D.H. The appendix. In Brunicardi, F.C., Andersen, D.K.,
Biiliar, T.R., Dunn, D.L., Hunter, J.G., Pollock, R.E, editors.
Schwartz’Principles of Surgery 10th ed. New York: McGraw-Hill
Companies. 2015.
22. Paladini P, Pellegrini A, Merolla G, Campi F, Porcellini G. 2012. Treatment
of Clavicle Fracture. New York: Translational Medicine @ UniSa.
23. Sharon Henry, Karen Brasel, Ronald M. S, editors. 2018. Advanced Trauma
Life Support 10th edition. Chicago: The American College os Surgeons.
24. Smal, V. 2008. Surgical Emergencies. In: Dolan, Brian and Holt, Lynda, ed.
Accident & Emergency Theory into Practice. 2nd edition. London: Elsevier.

79

Anda mungkin juga menyukai