LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. F
Gender : Laki-laki
Umur : 60 tahun
MR : 03.75.25
Alamat : Jl Jelitik, Sungailiat Kab, Bangka
Pekerjaan : Buruh Harian
ANAMNESIS
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada bahu kanan post KLL sejak 2 jam
SMRS. Pasien sedang mengendarai motor tiba-tiba menabrak anjing di jalan, lalu
terjatuh dengan posisi bahu terbentur stang motor dan dada kanan terbentur aspal.
Bahu kanan membengkak dan nyeri, pasien tidak bisa menggerakkan tangannya.
Sesak nafas (+), nyeri saat menarik nafas (+) terutama dada sebelah kanan,
penurunan kesadaran (-), muntah (-), pada saat kecelakaan pasien menggunakan
helm. Kelemahan pada kaki atau tangan (-), BAB dan BAK tidak ada kelainan.
Pasien dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (laboratorium dan
pemeriksaan radiologi X-ray thoraks) didiagnosis dengan fraktur tertutup os
clavicula dextra 1/3 medial dextra dan kontusio paru yang akan dilakukan ORIF
pada tanggal 24/02/2020. Dua hari setelah dirawat di RS, pasien tiba-tiba
mengeluh sesak nafas hebat, nyeri pada saat menarik nafas, batuk-batuk (+), pucat
(-). Keluhan muncul setelah pasien berjalan ke kamar mandi. Pasien kemudian
dilakukan foto rontgen thoraks ulang lalu didapatkan adanya tension
pneumothoraks dextra, emfisema subkutis dan fraktur costae IV-XI dextra.
RPD : fraktur costae sekitar 2 tahun yll Hipertensi (-), DM (-)
Riwayat alergi : Disangkal.
1
PEMERIKSAAN FISIK
Primary Survey (22/02/2020)
1. Airway : Bebas, pendarahan (-), muntahan (-)
2. Breathing : spontan, pergerakan dinding dada kanan sama dengan kiri,
krepitasi (+) pada regio clavicula sinistra, perkusi sonor pada kedua lapang
paru, suara nafas vesikular menurun pada lapang paru sebelah kanan, RR
24x/m, regular
3. Circulation : TD 130/90 mmHg, Nadi 87x/m, reg, isi cukup, tegangan kuat
4. Dissability : GCS E4V5M6, pupil isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+)
5. Exposure : T: 36.5, jejas (+) pada status lokalis
Status Generalisata:
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : CM
Derajat gizi : normal
2
e. Mulut : laserasi (-)
f. Leher : JVP tidak meningkat, jejas (-)
g. Thorax Depan :
Inspeksi
Bentuk : Simetris, terdapat jejas dan hematoma pada daerah
tulang selangka dan dada kanan bagian bawah
Pergerakan : Statis: simetris; dinamis: simetris, hemithoraks
tidak ada tertinggal
Palpasi
Nyeri Tekan : nyeri tekan (+) pada os clavicula dextra dan regio
thoraks antrior dextra bagian bawah
Fremitus : Kanan = kiri
Iktus : tidak terlihat, teraba di ICS V 1cm medial LMCS
Krepitasi : (+)
Perkusi
Paru : Sonor
Batas paru-hati R/A : R: ICS IV LMCD, A: ICS V LMCD
Peranjakan : 1 cm
Jantung :
Batas Atas Jantung : ICS III
Batas Kanan Jantung : ICS V, LPSD
Batas Kiri Jantung : ICS V, 1cm medial LMCS
Auskultasi
Paru :
Suara Pernapasan : vesikuler kanan menurun dibanding kiri
Suara Tambahan : tidak ada
Jantung :
M1 > M2, T1 > T2, A2 >A1, P2 > P1 murmur sistolis (-), murmur
diastolis (-), HR: 87x/m, regular
h. Abdomen:
Inspeksi : simetris, vena kolateral (-), caput medusae (-)
Palpasi : soepel, nyeri tekan (-) rebound tenderness (-), defans muskular
(-), psoas sign (-), obturator sign (-)
Hati
Perbesaran : tidak ada pembesaran
Permukaan : tidak teraba
Pinggir : tidak teraba
Nyeri Tekan : (-)
Limpa
Pembesaran : (-) Schuffner (-), Haecket (-)
Ginjal
Ballottement : (-)
Perkusi : Shifting dullnes (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
3
i. Ekstremitas : Pemeriksaan Neurologi: pemeriksaan motorik dan sensorik
dalam batas normal
j. Status Urologi :
Regio flank/CVA Kanan Kiri
Tanda radang (-) (-)
Ballotement (-) (-)
Nyeri tekan (-) (-)
Nyeri ketok (-) (-)
Massa (-) (-)
Jaringan parut (-) (-)
Regio Suprasimfisis
Inspeksi : datar, memar (-), benjolan/ massa (-)
Palpasi : buli tidak penuh, nyeri tekan (-), benjolan/ massa (-)
Status Lokalisata:
Look : deformitas (+) dan hematoma pada os clavicula dextra
Feel : krepitasi (+) pada os clavicula, nyeri tekan (+) pada os clavicula
dextra dan costae V dextra
Move : ROM aktif pasif terbatas
Primary Survey (24/02/2020) pukul 12.00
1) Airway : Bebas, pendarahan (-), muntahan (-)
2) Breathing : spontan, pergerakan dinding dada asimetris (pergerakan
dinding dada kanan tertinggal) krepitasi (+) dibawah kulit di daerah leher dan
dada kanan, perkusi hipersonor lapang paru sebelah kanan, suara nafas
vesikular menurun pada lapang paru sebelah kanan, RR 30x/m, regular, nafas
dangkal
3) Circulation : TD 110/80 mmHg, Nadi 92x/m, reg, isi cukup, tegangan kuat
4) Dissability : GCS E4V5M6, pupil isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+)
5) Exposure : T: 36.7, jejas (+) pada status lokalis
4
Events/environment : Kecelakaan lalu lintas
Status lokalisata:
Leher : JVP 5-2 cmH2O, krepitasi dibawah kulit pada regio colli anterior (+)
Thorax
Inspeksi : asimetris, pergerakan dada kanan tertinggal
Palpasi : stem remitus menurun pada lapang paru sebelah kanan,
krepitasi bawah kulit (+)
Perkusi : hipersonor pada lapang paru kanan
Auskultasi : vesikular (+) menurun pada paru kanan, rh (-/-), wh (-/-)
DIAGNOSIS KERJA
- Susp. Pneumothoraks dextra
- Close fracture os clavicula dextra 1/3 medial tipe simple Allman group I
(Type 2B1) pro ORIF
RENCANA TINDAKAN
Rontgen X-ray Thoraks AP
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium (22/02/2020)
Darah Rutin
Ht 42 36 – 45 %
MCV 84 79 – 96 fl
MCH 29 27 – 32 pg
5
Mono 7 2–8%
Kadar Gula Darah
Fungsi Ginjal
Ureum 42 17 – 43 mg/dL
HbsAg (-)
Kesimpulan:
6
- menyokong gambaran fraktur klavikula kanan
7
- Skeletal dan soft tissue: tampak fraktur komplit 1/3 tengah klavikula kanan, serta
fraktur costae III-IX dextra, tampak bayangan lusen densitas udara pada soft
tissue dinding toraks kanan dan daerah leher kanan
Kesimpulan:
- Multiple fraktur costae III- IX dextra (pada foto tanggal 21/02/2020 fraktur
costae tidak tervualisasi)
DIAGNOSIS
- Tension pneumothorax dextra
- Close fracture os clavicula dextra 1/3 medial tipe simple Allman group I
(Type 2B1)
- Multipe fracture os costae III-IX dextra
PENATALAKSANAAN
Tatalaksana (UGD)
- IVFD RL 20 tpm
- Arm sling
8
- Diet MB
- IVFD RL 16 tpm
FOLLOW UP
24 Februari 2020
S Sesak nafas berkurang
O KU baik
TD 100/60 mmHg
HR 88 x/m
RR 20 x/m
T 36.40C
SpO2: 89%
WSD: Vol 300 cc, Undulasi (+), bubble (+)
A Post ORIF clavicula dextra + post WSD ai simple
pneumothoraks dextra + fr. Costae posterior III-IX dextra
P IVFD RL 16 tpm
O2 2lpm via NK
Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
Inj. Ceftizoxime 1 g/ 12 jam
Durogesic patch 12.5 mcg
Awasi produk WSD (undulasi, bubble)
Codein 2x10 mg PO
25 Februari 2020
S Sesak nafas (+) berkurang, nyeri post op (+), tidak bisa BAK
9
O KU: baik
TD 140/80 mmHg
HR 69 x/m
RR 22 x/m
T 36.40C
SpO2: 93%
WSD: Vol 350 cc, Undulasi (+), bubble (-)
Status lokalis: vesika urinaria: full blast (+)
A Post ORIF clavicula dextra (H-1) + post WSD ai simple
pneumothoraks dextra (H-1) + fr. Costae posterior III-IX dextra
P IVFD RL 16 tpm
O2 2lpm via NK --> stop
Pasien posisi berbaring atau posisi berbaring 1/2 duduk
Pemasangan urine kateter (UOP +/- 700 cc, kuning
jernih)
Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
Inj. Ceftizoxime 1 g/ 12 jam
Durogesic patch 12.5 mcg dipertahankan
Awasi produk WSD (undulasi, bubble)
Codein 2x10 mg PO
26 Februari 2020
S Sesak nafas (+) berkurang, batuk (+), sulit mengeluarkan dahak
O KU: baik
TD 140/80 mmHg
HR 69 x/m
RR 24 x/m
T 36.50C
SpO2: 88%
WSD: Vol tetap 350 cc, Undulasi (+), bubble (-)
A Post ORIF clavicula dextra (H-2) + post WSD ai simple
pneumothoraks dextra (H-2) + fr. Costae posterior III-IX dextra
P IVFD RL 16 tpm
Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
Inj. Ceftizoxime 1 g/ 12 jam
Inj. Bromhexine 2mg/12 jam
10
Nebu combivent 1/2 amp/24 jam
Durogesic patch 12.5 mcg
Awasi produk WSD (undulasi, bubble)
Codein 2x10 mg PO
27 Februari 2020
S Sesak nafas (+) berkurang, batuk (+) berdahak berkurang
O KU: baik
TD 170/100 mmHg
HR 69 x/m
RR 22 x/m
T 36.50C
SpO2: 90%
WSD: Vol 100 cc, Undulasi (+), bubble (-)
A Post ORIF clavicula dextra (H-3) + post WSD ai simple
pneumothoraks dextra (H-3) + fr. Costae posterior III-IX dextra
P IVFD RL 16 tpm
Pasien mobilisasi duduk
Ganti container dengan NaCl initial 300 cc + povidone
iodine
Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
Inj. Ceftizoxime 1 g/ 12 jam
Inj. Bromhexine 2mg/12 jam
Nebu combivent 1/2 amp/24 jam
Durogesic patch 12.5 mcg
Awasi produk WSD (undulasi, bubble)
Codein 2x10 mg PO
GG 3x1 tab PO
28 Februari 2020
S Sesak nafas (-), batuk (+) berdahak berkurang
O KU: baik
TD 150/80 mmHg
HR 70 x/m
RR 22 x/m
T 36.50C
11
SpO2: 93%
WSD: Vol - Undulasi (+), bubble (-)
A Post ORIF clavicula dextra (H-4) + post WSD ai simple
pneumothoraks dextra (H-4) + fr. Costae posterior III-IX dextra
P IVFD RL 16 tpm
Aff WSD dan cateter urine
Durogesic patch 12.5 mcg
Cefixime 2x200 mg PO
GG 3x1 tab PO
29 Februari 2020
S Sesak nafas (-), batuk (+) berdahak berkurang, nyeri (+)
O KU: baik
TD 140/90 mmHg
HR 67 x/m
RR 22 x/m
T 36.50C
SpO2: 90%
A Post ORIF clavicula dextra (H-5) + post WSD ai simple
pneumothoraks dextra (H-5) + fr. Costae posterior III-IX dextra
P Rawat jalan
Cefixime 2x200 mg PO
Ketorolac 3x10 mg PO
12
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Trauma thoraks adalah luka atau cedera mengenai rongga thoraks yang
dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thoraks ataupun isi dari cavum
thoraks yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat
menyebabkan keadaan gawat thoraks akut. (Ivey, et al, 2012)
Thoraks (atau dada) adalah daerah tubuh yang terletak diantara leher dan
abdomen. Thoraks rata dibagian depan dan belakang tetapi melengkung di
bagian samping. Rangka dinding thoraks yang dinamakan cavea thoracis
dibentuk oleh columna vertebralis di belakang, costae dan spatium di bagian
samping, serta sternum dan cartilage costalis di depan. Di bagian atas, thorax
berhubungan dengan leher dan di bagian bawah dipisahkan dengan abdomen
oleh diaphragma. Cavea thoracis melindungi paru dan jantung dan merupakan
tempat perlekatan otot-otot thoraks, ekstremitas superior, abdomen dan
punggung. (Snell, et al, 1997)
13
dinamakan cavitas pleuralis pada setiap sisi thoraks, diantara paru-paru dan
dinding thoraks. (Snell, et al, 1997)
Rongga dibentuk oleh sebuah kerangka tulang yang terdiri dari dua belas
pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir di anterior dalam segmen tulan
g rawan dan dua pasang kosta yang melayang. Secara anatomi, kosta diklasifikas
ikan menjadi 3, yaitu: (Talbot, et al.,2017)
Kosta verae terdiri dari tujuh pasang kosta (kosta 1-7), dimana masing-ma
sing kosta menempel pada tulang sternum melalui kartilago kosta secara l
angsung.
Kosta spuriae terdiri dari 3 pasang kosta (kosta 8-10), dimana ketiga kosta
ini hanya menempel ke bagian bawah tulang sternum melalui katilago kos
ta yang diatasnya.
Kosta fluctuantes terdiri dari 2 pasang kosta (kosta 11-12), dimana karena
kedua kosta ini terlalu pendek, mereka tidak menempel ke tulang sternum.
Setiap kosta terdiri dari kepala, leher, dan badan. Pada bagian kepala me
mliki satu facet untuk terhubung dengan sendi costovertebrae. Kecuali kosta satu
14
dan dua, semua kosta memiliki cekungan untuk perjalanan serabut saraf dan pem
buluh darah pada tepi bawah tulang. Pada kosta pertama terdapat lekukan untuk a
rteri dan vena subclavia pada bagian superiornya. Pada kosta kedua, terdapat tub
erositas untuk perlekatan dari otot serratus anterior. (Talbot, et al.,2017)
Setiap kosta terdiri dari kepala, leher, dan badan. Pada bagian kepala me
mliki satu facet untuk terhubung dengan sendi costovertebrae. Kecuali kosta satu
dan dua, semua kosta memiliki cekungan untuk perjalanan serabut saraf dan pem
buluh darah pada tepi bawah tulang. Pada kosta pertama terdapat lekukan untuk a
rteri dan vena subclavia pada bagian superiornya. Pada kosta kedua, terdapat tub
erositas untuk perlekatan dari otot serratus anterior. (Talbot, et al.,2017)
15
posterior thoraks. Tepi bawah muskulus pectoralis mayor membentuk
lipatan/plika aksilaris posterior. (Snell, et al, 1997)
Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan
bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan
yaitu muskulus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada
membesar sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus. Pleura
adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana
terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan
kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut
sampai ke hilus dan mediastinum bersama–sama dengan pleura parietalis, yang
melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru
pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru – paru normal,
hanya ruang potensial yang ada. (Samsuhidajat, et al, 2005)
16
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam
kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian
muskuler melengkung membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi
motorik dari interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik
setinggi putting susu, turut berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi
biasa/ tenang sekitar 75%. (Samsuhidajat, et al, 2005)
2.1.3. Etiologi
b. Trauma tumpul
2.1.4 Epidemiologi
17
2.1.5. Patofisiologi
Fraktur Iga
Pneumothorax
Pneumothorax sederhana
Pneumothorax terbuka
Trauma dinding
Tension Pneumothorax
thoraks dan paru
Hematothorax
Hematothorax Masif
Flail Chest
18
Trauma Tumpul Jantung
Fraktur kosta adalah patah tulang yang terjadi pada tulang kosta. Flail
chest secara khusus didefinisikan dengan patah tulang pada dua atau lebih patah
tulang kosta pada dua atau lebih lokasi yang menyebabkan adanya gerakan
paradoksal dari dinding thoraks selama pernafasan. (ATLS 10th ed, 2018)
b. Epidemiologi
Fraktur kosta lebih sering terjadi pada usia lanjut dibandingkan usia
muda, dan disebabkan oleh ketidakelastisitas dari dinding thoaks usia lanjut (Tal
bot, et al.,2017)
Fraktur kosta pada remaja biasanya karena kegiatan olah raga dan
rekreasi sedangkan pada orang dewasa penyebab utamanya adalah kecelakaan
lalu lintas. Pada usia lanjut, penyebab utama terjadinya fraktur kosta adalah jatuh
dari ketinggian. Fraktur kosta juga bisa karena proses patologis. Pada anak- anak
umur kurang dari 3 tahun penyebab terbanyak karena menjadi korban kekerasan
pada anak 82% dari 62 anak-anak dengan umur kurang dari 3 tahun menjadi
korban kekerasan pada anak (Talbot, et al.,2017)
Pada anak anak lebih banyak terjadi trauma pada bagian bawah thoraks
dan bagian perut sehingga bila terjadi fraktur kosta dapat menjadi tanda adanya
kemungkinan cedera dengan tenaga yang lebih besar. Pada anak-anak jarang
19
terjadi fraktur kosta karena tulang kosta anak anak lebih elastis dibandingkan
orang dewasa (Talbot, et al.,2017)
Struktur tulang kosta pada dinding thoraks dapat dibagi menjadi tiga area
berdasarkan tingkat trauma yang diperlukan untuk mengalami suatu cedera. Area
atas termasuk tulang kosta pertama hingga keempat. Fraktur pada area ini
umumnya memerlukan trauma dengan kecepatan tinggi dan berhubungan dengan
cedera pembuluh darah besar dan pleksus brakialis. Area tengah meliputi kosta
kelima hingga sembilan. Fraktur pada area ini lebih sering terjadi pada sisi
posterior atau lateral dengan komplikasi seperti laserasi paru, kontusio paru,
hematoma, hematothoraks, dan pneumothoraks. Area bawah termasuk kosta 10
hingga 12 dan berhubungan dengan cedera pada organ solid (cedera lien dan
hepar) (Ivey, et al, 2012)
Stress Rib Fractures (SRF) merupakan cedera yang dimulai dengan adanya
tekanan kecil pada tulang, yang mana berlangsung terus menerus menyebabkan
fraktur mikrotubulus yang lama kelamaan menimbulkan fraktur pada kosta.
Cedera ini jarang terjadi dan terdiagnosis, paling sering terlihat pada pekerja dan
atlet dengan gerakan berulang. Paling sering terlihat pada kosta empat hingga
delapan sisi lateral atau anterolateral oleh karena kontraksi berulang dari otot
seratus anterior. Temuan radiografi mungkin normal pada tahap awal (Talbot, et
al.,2017)
Buckle fracture pada tulang kosta terjadi akibat retaknya korteks tulang
bagian dalam atau bagian luar. Tipe patah tulang ini tampak sebagai keriput
hingga adanya retakan pada korteks dan umumnya terlewatkan pada pemeriksaan
radiografi (Talbot, et al.,2017)
Fraktur kosta nondisplaced didefinisikan sebagai fraktur dengan patahan
lengkap pada korteks dengan posisi yang masih satu kesejajaran, umumnya
melibatkan medula dan korteks bagian dalam dan bagian luar. Deteksi terhadap
fraktur kosta undisplaced sulit dan gambaran cedera ini seringkali terlihat pada
foto follow up saat muncul tanda tanda penyembuhan (Talbot, et al.,2017)
20
Saat terjadi patahan pada korteks disertai hilangnya kesejajaran garis
tulang, fraktur tersebut dikatakan displaced. Pergeseran tulang ini dapat minimal
atau tampak jelas. Cedera pada jaringan dan struktur disekitarnya dapat terjadi,
dan berbagai komplikasi berbahaya lainnya telah dilaporkan pada berbagai
literatur. Fraktur displace ini teridentifikasi pada foto polos atau pada CT Scan.
Ketebalan dan densitas dari korteks kosta berhubungan dengan displacement dari
fraktur ini termasuk gaya yang diterima oleh tulang tersebut. Elastisitas juga
berpengaruh terhadap terjadinya displacement yang mana berbeda pada tiap
individu. Pada tulang anak anak dengan elastisitas yang tinggi memerlukan suatu
gaya yang lebih besar untuk menimbulkan fraktur sempurna pada kosta anak anak
dibandingkan dengan kosta dewasa (Liman, et al, 2003).
Fraktur segmental merupakan cedera tingkat tinggi dengan dua buah
patahan yang sempurna yang terpisah pada satu kosta yang sama. Farktur
segmental ini mungkin masih dalam satu garis yang sejajar atau seringkali
bergeser sebagian atau seluruhnya pada satu atau kedua lokasi fraktur. Fraktur
kosta segmental yang terjadi pada dua atau lebih kosta yang berurutan
berhubungan dengan meningkatnya risiko flail chest. Flail chest menyebabkan
terjadinya gerakan pernapasan paradoksal, dimana dinding dada yang cedera
tertari kedalam pada saat inspirasi dan menggembung keluar pada saat ekspirasi
(ATLS 10th ed, 2018)
d. Manifestasi Klinis
21
kontusio pulmonum. Adanya kecurigaan fraktur kosta bagian bawah perlu
dilakukan penilaian adanya kecurigaan cedera pada organ intraabdomen (Talbot,
et al.,2017)
Pada pasien dengan fraktur kosta tanpa riwayat trauma perlu dicurigai
adanya tumor tulang primer pada dinding dada yang bermanifestasi sebagai
fraktur kosta, termasuk adanya metastasis tulang akibat adanya keganasan pada
organ lain (Talbot, et al.,2017)
e. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium secara umum tidak begitu berguna untuk
mengevaluasi kasusisolated rib fractures. Pemeriksaan urinalisis pada kasus patah
tulang kosta bagian bawah diindikasikan pada kecurigaan trauma ginjal. Tes
fungsi paru seperti analisa gas darah digunakan untuk mengetahui adanya
kontusio paru tetapi bukan pemeriksaan untuk fraktur kosta itu sendiri (Talbot, et
al.,2017)
Foto Polos Thoraks
Pemeriksaan awal pada pasien dengan kecurigaan fraktur kosta paska
trauma thoraks adalah foto polos thoraks. Deteksi dini adanya fraktur kosta
maupun komplikasinya sangat penting untuk mengetahui kelainan patologis dan
perencanaan perawatan. ((Talbot, et al.,2017)
Pemeriksaan foto polos thoraks sangat berguna untuk mengetahui cedera l
ainnya seperti adanya hemothorax, pneumothorax, kontusio paru, atelektasis, pneu
monia dan cedera pembuluh darah. Adanya patah tulang sternum dan scapula dap
at menjadi kecurigaan adanya fraktur kosta. Cedera aorta tampak ada pelebaran >
8 cm dari mediastinum pada bagian atas kanan dari hasil foto polos Thoraks (Talb
ot, et al.,2017)
22
kurang sensitif dibandingkan dengan radiografi posisi posteroanterior (Talbot, et a
l.,2017)
Ultrasonography
CT Scan Thoraks
23
kartilage kosta, dan cedera jaringan otot. Cedera kartilage kosta merupakan
diagnosis pencitraan yang jarang namun sering terjadi didalam praktik klinis
sehari hari dan ditangani tanpa konfirmasi pencitraan. Pada pasien yang mana
diagnosis klinis tidak jelas atau memerlukan konfirmasi dan menyampingklan
cedera lain, terutama pada atlet profesional, MRI merupakan teknik yang berguna.
(Talbot, et al.,2017)
24
Gambar 4. Manajemen Nyeri Pada Fraktur Kosta
Manajemen Ventilasi
Penanganan ventilasi pada pasien dengan fraktur kosta dimulai dengan
pemberian oksigen tambahan. Pemberian cairan saline secara nebulizer dapat
berguna untuk mengurangi retensi sputum. Pemberian tekanan oksigen positif
dapat mencegah atelektasis, mengurangi intrapulmonary shunting, dan
mengurangi gerakan paradoksal bila terdapat flail chest. Bila semua usaha tersebut
gagal, diperlukan ventilasi secara invasif dengan sedasi. Hal ini sedapat mungkin
dihindari bila tidak terdapat cedera lain pada pasien. Sekali pasien terpasang
ventilator, proses pelepasan alat ini sangat sulit. Penanganan nyeri yang baik
merupakan kunci didalam penanganan pasien ini. (May, et al., 2016)
25
Manajemen Nyeri
Penanganan nyeri perlu dipertahankan selama perawatan dan merupakan
dasar dari kualitas perawatan pasien untuk menjamin kenyamanan pasien. Pasien
dengan patah tulang kosta akan mengalami nyeri berat ketika bernafas, berbicara,
batuk maupun ketika menggerakkan tubuh. Sehingga penanganan nyeri
merupakan prioritas untuk menurunkan risiko paru dan efek sistemik dari fraktur
seperti penurunan fungsi pernafasan yang memicu terjadinya hypoxia, atelectasis,
dan pneumonia (May, et al., 2016)
Pemberian analgetika dimulai sejak pasien berada di unit gawat darurat
untuk mengurangi nyeri pasien, meningkatkan kenyamanan pasien dan mencegah
komplikasi yang dapat muncul beberapa hari berikutnya. Golongan opioid
sebelumnya merupakan terapi utama, namun dengan efek samping yang
signifikan, diantaranya depresi napas, refleks batuk yang berkurang, dan delirium.
Saat ini digunakan analgetika yang sifatnya multi-modalitas, yang
menggabungkan blok saraf regional dan analgetika epidural thorakal.(May, et al.,
2016)
Tahap pertama dengan pemberian analgetika sederhana secara reguler,
seperti parasetamol, opioid golongan lemah, obat anti inflamasi non steroid, dan
opioid golongan kuat pada nyeri yang sangat berat. Bila analgetika yang diberikan
sudah cukup untuk pasien, regimen obat ini dilanjutkan. (May, et al., 2016).
Tahap kedua golongan opioid diberikan bila nyeri tidak tertangani dengan
baik pada intervensi tahap pertama. Pemberian morfin secara intravena dapat
dititrasi berdasarkan berat badan. Setelah efek analgetika yang didapat cukup,
opioid golongan kuat (morfin sulfat) dapat ditambahkan dalam resep reguler
menggantikan opioid golongan lemah. Efek samping dari opioid golongan kuat
seperti mual, muntah, konstipasi, dapat ditangani dengan pemberian obat sesuai
keluhan.(May, et al., 2016)
Tahap ketiga menggunakan analgetika yang dikontrol sendiri oleh pasien
secara intravena. Bila nyeri masih tidak dapat dikontrol atau sudah menggunakan
bolus morfin bermacam-macam, sudah saatnya memulai analgetika yang dikontrol
pasien. Penambahan gabapentinoid harus dipikirkan.(May, et al., 2016)
26
Tahap keempat menggunakan teknik anestesi regional dan fiksasi operasi.
Analgetika epidural telah menjadi standar ketika opioid tidak cukup tersedia.
Pasien dengan fraktur kosta dengan level yang lebih tinggi, bilateral, flail chest,
drain interkostal, dan dengan gangguan respirasi akibat nyeri dapat mendapatkan
manfaat dari pemberian analgetika epidural. Jumlah fraktur kosta, cedera pada
organ lain, usia, komorbiditas, dan status hemodinamik memberikan dampak
terhadap volume obat anestesi, penambahan opioid, dan jumlah awal yang diinfus.
Beberapa pasien trauma dengan cedera organ lain memiliki kontraindikasi
penggunaan epidural atau yang mana tidak memungkinkan untuk memposisikan
pasien saat insersi.Kerugian dari analgetika epidural thorakal diantaranya, secara
teknis lebih sulit pada saat insersi, dengan risiko menusuk dura atau cedera pada
medula spinalis, terjadi hipotensi, retensi urine dan pruritus.
Tindakan Bedah
Tindakan bedah emergensi pada fraktur kosta sendiri biasanya jarang
diperlukan, namun bila terjadi cedera pada organ di dalam rongga thorax,
seringkali diperlukan tindakan bedah emergensi. Adapun beberapa indikasi untuk
tindakan thoracotomy emergency adalah hipotensi yang tidak responsive
(mungkin berhubungan dengan cardiac tamponade atau emboli udara), produksi
dari chest tube yang massif (diatas 1500 cc), traumatic arrest pada pasien yang
sebelumnya masih memiliki aktifitas jantung. (Talbot, et al.,2017)
Pada fraktur kosta sendiri, tindakan bedah diindikasikan bila terdapat flail
chest atau terdapat fraktur pada empat atau lebih fraktur kosta pada pasien berusia
45 tahun keatas. Fiksasi patah tulang melalui pembedahan/Surgical Rib fixation
(SRF) merupakan suatu penanganan pada flail chest untuk menjaga stabilitas
dinding thoraks
Fiksasi tulang dengan operasi untuk menstabilkan tulang dada telah
banyak dikerjakan di berbagai negara. Pasien dengan flial chest, kegagalan
pernapasan, penggunaan ventilator yang berkepanjangan, atau dengan fungsi
paru-paru yang berkurang sangat dipertimbangkan untuk dilakukan fiksasi dengan
operasi. Tujuannya adalah untuk menstabilkan dinding dada, mengembalikan
27
mekanisme pernapasan normal, dan mengurangi nyeri. Indikasi lain seperti fraktur
kosta yang tidak mempan dengan manajemen nyeri pada umumnya, fraktur yang
sifatnya non-union, dan saat tindakan thorakotomi akibat cedera primer yang lain.
(Talbot, et al.,2017)
28
mengakibatkan terjadinya kegagalan sirkulasi, tanpa terlihat adanya perdarahan
yang nyata oleh karena perdarahan masif yang terjadi, yang terkumpul di dalam
rongga thoraks,
Kontusio paru
Fraktur kosta selalu berhubungan dengan kontusio paru. Patah tulang kosta
multipel ditemukan menjadi predisposisi terjadinya penurunan fungsi paru dan
compromised ventilation.
Nyeri
Nyeri pada trauma tumpul thoraks berkaitan dengan fungsi pernapasan
yang terhambat, yang mana dapat memicu komplikasi serius. Berbagai modalitas
analgetika telah dinilai dan dibandingkan pada populasi fraktur kosta
Kesulitan utama pada kelainan flail chest yatu trauma pada parenkim paru
yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding
dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan
ekspirasi, efek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab
timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang
mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya.
Flail chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat)
dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak
secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang
29
abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis.
Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang
multiple, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. (ATLS
10th ed, 2018)
Penatalaksanaan Awal
a. Primary Survey
30
d. Perawatan definitive
Prinsip
6) Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah
memiliki sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).
31
Primary survey
32
Tabel 2.2. Gangguan pada trauma dada
Penyebab Diagnosis
- Sianosis, pucat, stridor
A. Obstruksi jalan nafas - Kontraksi otot bantu nafas (+)
- Retraksi supraklavikula dan intercostal
- Suara nafas bronchial
- Pneumothoraks
B. Kebocoran trakea
- Emfisema
- Infeksi
- Gerakan nafas paradoks
C. Flail chest
- Sesak nafas, sianosis
- Luka pada tinding thoraks
D. Open Pneumothoraks
- Kebocoran udara yang terdengar dan tampak
- Hemithoraks mengembang
- Gerakan hemithoraks kurang
- Suara nafas berkurang
E.Tension pneumothoraks
- Sesak nafas progressif
- Emfisema subkutis
-Trakea terdorong ke sisi sebelah
- Anemia, syok hipovolemik
- Sesak Napas
F. Hemothoraks massif - Pekak pasa perkusi
- Suara napas berkurang
- Tekanan vena sentral tidak meninggi
- Syok Kardiogenik
G. Tamponade jantung - Tekanan vena meninggi (leher)
- Bunyi jantung berkurang
33
1. Airway
Jika jalan nafas tidak paten, harus segera dibuat paten. Obstruksi sering
disebabkan oleh lidah pasien, dan pengarahan rahang dengan mendorong
mandibula ke depan sudah cukup membuka jalan nafas. Bantuan dengan slang
oral atau nasal dapat juga membantu. Benda asing, termasuk gigi yang dislokasi,
harus dikeluarkan.
34
Yang terbaik adalah dengan intubasi endotrakeal (ET), walaupun hal ini
kemungkinan sulit dilakukan jika ada tekanan yang cukup besar pada trakea.
Intubasi dilakukan jika trauma vertebrae cervicales sudah disingkirkan secara
klinis. Jika masih ada kemungkinan cedera tulang belakang dan intubasi harus
dipasang, kepala harus distabilkan dan ditahan dalam possi netral oleh seorang
asisten, lalu prosedur ini dapat dilakukan tanpa menggerakkan vertebrae
cervicales.
2. Breathing
Walaupun jalan nafas sudah bersih dan paten, pernafasan masih mungkin
belum adekuat. Amati dada dan leher, harus dalam keadaan terbuka. Pergerakan
penafasan dan kaulitas pernafasan dinilai dengan observasi, palapasi, dan
auskultasi. Jika perlu, ventilasi dibantu dengan alat kantong berkatup yang
dihubungkan dengan masker atau ETT.
1. Pneumotoraks
2. Tension Pneumotoraks
35
sangat berat. Ketika tekanan intrapleura meninggi dan kedua paru tertekan, aliran
darah yang melali sirkulasi sentral akan menurun secar signifikan yang
mengakibatkan hipotensi arterial dan syok. Keadaan ini dapat mematikan dalam
beberapa menit bila tidak segera dikoreksi.
Tatalaksana awal :
Luka tembus yang nyata dengan aliran udara yang melewati defek di
dinding dada. Walaupun ada trauma tembus dinding dada, udara yang masuk ke
ruang pleura lebih banyak berasal dari paru-paru yang rusak daripada defek
dinding dada. Manifestasi Klinis, adalah terdapatnya luka pada dada yang dapat
menembus ke paru-paru dan merusak paru, dan ditemukan adanya dispnea
dengan suara nafas yang meredup dan timpani pada satu sisi.
Tatalaksana Awal :
1) Langkah awal : menutup luka dengan kasa steril yang di plester hanya pada
3 sisi (diharapkan terjadi flutter type valve)
2) Lalu segera pasang selang chest tube (WSD)
4. Flail Chest
36
Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multiple pada dua atau lebih tulang
iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen
mengembang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Palpasi
gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan
membantu diagnosis.
5. Hemotoraks Massif
6. Tamponade jantung.
Bunyi nafas simetris, tapi ada hipotensi yang sulit diikuti dengan distensi
vena leher. Tamponade jantung terjadi karena pengumpulan darah di kantong
pericardium akibat trauma tumpul atau trauma tembus.
C. Circulation
37
nadi harus diukur dan sirkulasi perifer dinilai melalui inspeksi dan palpasi kulit
untuk warna dan temperatur. Vena leher harus dinilai apakah distensi atau tidak.
Pada keadaan tension pneumotoraks atau cedera diafragma, distensi vena
mungkin tidak tampak pada penderita. Perfusi harus dipertahankan dengan
mengendalikan perdarahan, infus cairan dan darah melalui IV berkaliber besar
sesuai indikasi, dekompresi tension pneumotoraks atau tamponade pericardium,
atau torakotomi terbuka dengan kompresi aorta dan masase jantung internal.
Cedera toraks yang akan mempengaruhi dan harus ditemukan pada pemeriksaan
primary survey di C (Circulation) ini adalah :
1. Hemotoraks massif.
Sering terjadi pada trauma dada mayor dan sering disertai dengan
pneumotoraks. Merupakan keadaan terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari
1500cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang
merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru.
Hemotoraks dapat disebabkan oleh cedera pembuluh darah dinding dada,
pembuluh besar, atau organ-organ intratoraks, seperti paru, jantung, dan
esophagus.
- Syok hipovolemik
Ditemukan gejala:
- Dyspnea
38
- Pekak pada perkusi, kecuali bisal disertai dengan pneumotoraks yang
signifikan
Gambar 7. Hemotoraks
Pada foto toraks, cairan terlihat di bawah basis paru pada foto tegak.
Hemotoraks mungkin kurang tampak pada foto telentang dan hanya gambarnya
berkabut pada sis yang sakit.
2. Tamponade jantung.
39
2.2 Fraktur Clavicula
Clavicula merupakan tulang pembentuk struktur bahu. Bentuknya secara
umum tipis dengan bagian lateral yang berartikulasi pada acromion dan
medial yang berakhir pada sternum. Tulang ini memiliki dua buah
lengkungan: yang lebih besar adalah bagian koronal yang memberi bentuk
huruf S (konveks anterior sisi medial dan konkaf anterior sisi lateral) (Pulsen
et al, 2018).
(a) (b)
Gambar 8 (a). Anatomi tulang clavicula, (b). potongan cross
sectional dan anatomi topografik clavicula
40
a. Ligamen coracoclavicular (medial atau konoid-lateral atau
trapezoid)
Ligamen trapezoid dan conoid merupakan ligamen yang tebal,
dan kuat yang berjalan dari dasar dari processus coracoid dari
scapula sampai bagian inferior dari lateral clavicula. Ligamen
trapezoid menempel pada tonjolan tulang yang spesifik,
sedangkan ligamen conoid yang lebih medial berinsersi pada
conoid tubercle. Ligamen-ligamen ini memberikan fungsi yang
penting sebagai suspensi dari korset bahu pada clavicula
(Paulsen et al, 2018).
41
(a) (b)
Gambar 9. (a). ligamen clavicula lateral dan (b). medial
b. Ligamen acromioclavicular
Kapsul dari sendi acromioclavicular membentuk ligamen-
ligamen acromioclavicular. Pada bagian superior, dan pada
bagian posterosuperior, ligamen tersebut menahan pergeseran
anteroposterior dari distal clavicula. Studi biomekanis yang
terbaru menyebutkan bahwa capsul acromioclavicular
menahan translasi anterior-posterior (Paulsen et al, 2018).
c. Ligamen Capsul
42
menahan pergeseran/translasi ke arah anterior maupun
posterior pada sendi sternoclavicular (Paulsen et al, 2018).
d. Ligamen sternoclavicular
Ligemen ini memperkuat perlakatan antara manubrium
sternii dengan tulang clavicula.
e. Ligamen inter-clavicular
Ligamen-ligamen yang kuat terbentang dari medial
clavicula sampai sisi superior sternum sampai kontralateral dari
clavicula. Ligamen tersebut merenggang pada saat bahu
diangkat tetapi menghambat pergeseran yang menurun dari
ujung lateral clavicula (Paulsen et al, 2018).
f. Ligamen costoclavicular
Ligamen costoclavicula merupakan ligamen yang kuat
yang berjalan dari bagian atas dari iga pertama dan bagian
yang berdekatan dari sternum sampai bagian inferior dari
clavicula. Kadang-kadang, ligamen tersebut keluar dari bagian
medial clavicula yang menjadi tempat perlengketan fossa
rhomboid. Untuk tujuan studi tentang anatomi, serat-serat
ligamen costoclavicular menstabilkan medial clavicula
melawan rotasi keatas dan kebawah (Paulsen et al, 2018).
43
sisi bawah clavicula merupakan insersi dari muskulus subklavius, yang
fungsinya sedikit, namun merupakn soft tissue buffer pada ruang
subclavicula superior dari plexus brachialis dan pembuluh subklavia
(Paulsen et al, 2018).
Anatomi nervus supraclavicular berasal dari cabang cervical C3
dan C4 yang keluar dari common trunk di belakang batas posterior dari
muskulus sternokleidomastoideus. Terdapat tiga buah cabang besar
(anterior, media, dan posterior) yang melewati clavicula dari medial ke
lateral (Paulsen et al, 2018), dan berisiko cedera saat tindakan operasi.
Jika saraf ini terpotong, maka terdapat area yang mati rasa dari luka
operasi, yang akan membaik dengan berjalannya waktu. Masalah yang
lebih sulit adanya terbentuknya neuroma yang nyeri pada bekas luka
operasi, yang walaupun jarang terjadi, dapat memperburuk outcome
operasi (Canale ST et al, 2016).
44
rentan terhadap trauma. Arteri subklavia dan plexus brachialis terletak
lebih posterior, terpisah dari vena dan clavicula oleh lapisan muskulus
skalenus anterior di bagian medial. plexus terletak paling dekat dengan
clavicula pada bagian tengahnya, sehingga tidak dianjurkan menggunakan
bor, screw, atau instrumen lain pada subclavicular space (Paulsen et al,
2018).
45
Gambar 12. Klasifikasi fraktur clavicula
46
didiagnosa dengan pemeriksaan fisik karena jaringan subkutis yang
sangat tipis. Pada pemeriksaan fisik pasien akan terasa nyeri tekan pada
daerah fraktur dan kadang-kadang terdengar krepitasi pada setiap
gerakan. Dapat juga terlihat kulit yang menonjol akibat desakan dari
fragmen fraktur. Pembengkakan lokal akan terlihat disertai perubahan
warna lokal pada kulit sebagai akibat trauma dan gangguan sirkulasi yang
mengikuti fraktur. Trauma pada pleksus brakhial yang berhubungan
dengan fraktur clavicula dapat terjadi. Kerusakan vaskular walaupun
jarang tetapi dapat terjadi terutama pada arteri subklavia.
47
CT scan dengan rekonstruksi tiga dimensi mungkin diperlukan
untuk menentukan derajat pemendekan secara akurat atau untuk
mendiagnosis fraktur dislokasi sternoclavicula dan untuk meyakinkan
union dari sebuah fraktur.
Gambar 14
a. fraktur clavicula 1/3 tengah displaced – paling sering terjadi
b. fraktur biasanya menyembuh dalam posisi ini, tampak adanya
‘tonjolan’.
48
Fraktur Clavicula 1/3 Tengah Terdapat kesepakatan bahwa fraktur
clavicula 1/3 tengah non displaced seharusnya diterapi secara non
operatif. Sebagian besar akan berlanjut dengan union yang baik, dengan
kemungkinan non-union di bawah 5% dan kembali ke fungsi normal
(Paladini P, 2012).
Manajemen non operatif meliputi pemakaian simple sling untuk
kenyamanan. Sling dilepas setelah nyeri hilang (setelah 1-3 minggu) dan
pasien disarankan untuk mulai menggerakkan lengannya. Tidak ada bukti
yang menyatakan bahwa penggunaan figure-of-eight bandage
memberikan manfaat dan dapat berisiko terjadinya peningkatan insidens
terjadinya luka akibat penekanan pada bagian fraktur dan mencederai
struktur saraf; bahkan akan meningkatkan risiko terjadinya non-union
(Paladini P, 2012).
Terdapat lebih sedikit kesepakatan mengenai manajemen fraktur
1/3 tengah. Penggunaan simple splintage pada fraktur dengan
pemendekan lebih dari 2 cm dipercaya menyebabkkan risiko terjadinya
malunion simptomatik – terutama nyeri dan tidak adanya tenaga saat
pergerakan bahu – dan peningkatan insidens terjadinya non-union.
Sehingga dikembangkan teknik fiksasi internal pada fraktur clavicula
akut yang mengalami pergeseran berat, fragmentasi, atau pemendekan.
Metode yang dikerjakan berupa pemasangan plat (terdapat plat dengan
kontur yang spesifik) dan fiksasi intramedular (Paladini P, 2012).
49
Gambar 15. Fraktur clavicula 1/3 tengah dengan pergeseran berat
(dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi internal dengan plate dan
screw)
50
Ligamentum coracoclavicula yang intak mencegah pergeseran jauh dan
manajemen non operatif biasanya dipilih. Penatalaksanaannya meliputi
pemakaian sling selama 2-3 minggu sampai nyeri menghilang,
dilanjutkan dengan mobilisasi dalam batas nyeri yang dapat diterima.
Fraktur clavicula 1/3 distal displaced berhubungan dengan robeknya
ligamentum coracoclavicula dan merupakan injuri yang tidak stabil.
Banyak studi menyebutkan fraktur ini mempunyai tingkat non-union yang
tinggi bila ditatalaksana secara non operatif. Pembedahan untuk stabilisasi
fraktur sering direkomendasikan. Teknik operasi menggunakan plate dan
screw coracoclavicular, fiksasi plat hook, penjahitan dan sling techniques
dengan graft ligamen dacron dan yang terbaru adalah locking plates
clavicula (Paladini P, 2012).
51
mediastinum, terutama pada penggunaan K-wire. Metode stabilisasi lain
yang digunakan yaitu penjahitan dan teknik graft, dan yang terbaru
locking plates (Paladini P, 2012).
2.2.5 Komplikasi
2.1.1. Komplikasi dini
Meskipun clavicula bagian proksimal terletak dekat dengan
struktur vital, kejadian pneumotoraks, ruptur pembuluh darah
subklavia, dan cedera pleksus brachialis jarang terjadi (Sharon Henry
et al, 2018)
2.1.2. Komplikasi Lanjutan
Non-union
Pada fraktur shaft yang mengalami pergeseran, non-union terjadi
pada 1-15% kasus. Fraktur risiko meliputi usia yang bertambah tua,
besar pergeseran, komunitif fraktur, dan pasien perempuan, namun
prediksi akurat mengenai fraktur yang akan mengalami non-union
sulit dikerjakan. Non-union yang simptomatik diterapi dengan fiksasi
plat dan graft tulang jika diperlukan. Tindakan ini biasanya
memuaskan dan memiliki tingkat union yang tinggi. Fraktur
clavicula 1/3 lateral mempunyai tingkat non-union yang tinggi (11,5-
40%). Pilihan terapi untuk non-union simptomatik adalah eksisi
bagian lateral dari clavicula (bila fragmen kecil dan ligamentum
coracoclavicular intak) atau reduksi terbuka, fiksasi interna dan graft
tulang bila fragmen besar. Implan yang digunakan adalah locking
plates and hooked plates (Sharon Henry et al, 2018).
Malunion
Semua fraktur yang mengalami pergeseran akan sembuh dengan
posisi nonanatomis dengan pemendekan dan angulasi, meskipun
tidak menunjukkan gejala. Beberapa akan mengalami nyeri
periskapular, yang biasanya terjadi pada pemendekan lebih dari 1,5
52
cm. Pada kasus ini, operasi osteotomi korektif dan pemasangan plat
dapat dipertimbangkan (Sharon Henry et al, 2018).
Kekakuan bahu (Frozen Shoulder)
Hal ini sering terjadi namun biasanya hanya sementara.
2.3 Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah kondisi dimana terjadi akumulasi udara di antara
pleura visceral dan pleura parietal. Pneumothoraks dibagi menjadi dua tipe:
traumatik dan non-traumatik. Terdapat dua tipe pneumothoraks non-traumatik :
primary spontaneus pneumothorax muncul tanpa penyebab yang diketahui
sebelumnya, sedangkan secondary spontaneus pneumothorax dikarenakan adanya
penyakit paru yang mendasari. Sedangkan, pneumothoraks traumatik diakibatkan
oleh adanya trauma tumpul atau tajam dan diklasifikan menjadi simple
pneumothorax, tension atau open pneumothorax. (Richard, 2019)
2.3.1 Patofisiologi
Gejala atau keluhan yang sering muncul adalah sesak nafas yang didapatkan
hampir seluruh pasien. Seringkali sesak dirasakan mendadak atau lama kelamaan
makin berat, pernafasan dangkal dengan mulut terbuka. Terdapat gejala nyeri
dada didapatkan pada 75-90% pasien, nyeri dirasakan tajam pada sisi yang sakit,
terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernafasan. Gejala lain
seperti batuk-batuk didapatkan pada 25-35% pasien, kulit tampak sianosis, denyut
53
jantung meningkat, dan bisa tidak menunjukkan gejala (silent) terdapat pada 5-
10% pasien, biasanya pada jenis pneumothoraks spontan primer (Alsagaff, dkk
2009).
1) Airway
Pasien dengan obtruksi jalan nafas dapat dilakukan pembersihan darah atau
muntahan menggunakan suction. Tindakan ini hanya bersifat sementara dan
dibutuhkan pemberian alat bantu nafas definitif. Palpasi jika terdapat jejas pada
daerah sendi sternoklavikula. Jika terdapat dislokasi posterior atau fraktur
klavikula lakukan ekstensi bahu pasien atau stabilisasi klavikula yang dapat
mengurangi obstruksi.
54
pneumothoax dan hemothoraks masif adalah trauma dada mayor yang dapat
mempengaruhi pernafasan dan ventilasi.
Pneumothoraks terbuka defek atau luka yang besar pada dinding dada
yang terbuka menyebabkan pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga
pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada
dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung
mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil
dibandingkan dengan trakea.
55
menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan
menyebabkan tension pneumothoraks kecuali jika selang dada sudah terpasang.
Kasa penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah plastic wrap atau
petrolatum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan
dilanjutkan dengan penjahitan luka (American College of Surgeon, 2018).
B) Tension Pneumothorax
56
Gambar 18. Tension Pneumothorax (American College of Surgeon, 2018)
57
3) Circulatory
Trauma thoraks yang mempengaruhi sirkulasi dan dapat dinilai dari primary
survey antara lain hemothoraks masif, tamponade jantung, dan terhentinya
sirkulasi akibat trauma. Inspeksi kulit apakah terdapat mottling, sianosis dan
pucat. Lakukan penilaian pada JVP untuk melihat apakah terdapat distensi,
walaupun pada kasus hipovolemia tidak ditemui adanya distensi vena leher.
Auskultasi denyut jantung untuk menilai regular atau irregular serta kualitasnya.
Pada pasien dengan hipovolemia, denyut nadi distal akan menghilang karena
hilangnya cairan. Palpasi juga kulit untuk menilai suhu dan menentukan apakah
kulit kering atau berkeringat. Pada EKG dapat ditemui adanya PEA (pulseless
electrical activity) pada kasus-kasus tamponade jantung dan tension
pneumothorax (American College of Surgeon, 2018).
4) Dissability
58
5) Exposure and Enviromental control
59
Gambar 20. Mekanisme Trauma (American College of Surgeon, 2018)
60
1. Simple pneumothorax
61
Gambar 21. Simple Pneumothoraks (American College of Surgeon,
2018)
1. Inspeksi:
a) Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiperekspansi dada)
b) Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakan tertinggal
c) Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi:
a) Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b) Iktus jantung terdorong ke sisi thoraks yang sehat
c) Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi:
a) Suara perkusi hipersonor
b) Batas jantung terdorong ke arah thoraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
62
4. Auskultasi:
a) Pada bagian yang sakit, suara nafas vesikular menurun atau menghilang
(Alsagaff, dkk 2009).
63
Gambar 22. Rontgen X-ray Thoraks (Richard, 2019)
2) Lakukan informed consent pada pasien dan atau keluarga pasien mengenai
tindakan yang akan dilakukan, tujuan, manfaat, risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi selama proses atau pasca tindakan dekompresi jarum
64
5) Perlu dicatat bahwa tindakan ini sering dilakukan dalam setting gawat darurat
untuk menyelamatkan nyawa. Oleh karena itu, tindakan persiapan (termasuk
informed consent) bisa ditunda dan dilakukan setelah tindakan.
Peralatan
3. Spuit 5 cc dengan needle 25G, isi dengan lidocaine 1-2% sebanyak 4 cc untuk
tindakan anestesi lokal
5. Gauze tape
Posisi Pasien
Prosedural
65
2. Cuci tangan kemudian gunakan alat pelindung diri
3. Berikan tanda pada lokasi untuk insersi. Pada anak-anak, dilakukan di linea
midklavikula ICS 2. Sedangkan pada orang dewasa, bisa dilakukan pada linea
midklavikula di ICS 2 atau pada sisi anterior dari linea midaksila di ICS 5
6. Lakukan insersi large bore needle ukuran 14–16G atau kateter over-the-
needle (dengan panjang setidaknya 5–8 cm) dengan terpasang spuit 10 cc
Luer-Lok yang sudah diisi dengan 3 cc cairan normal saline, gunanya untuk
identifikasi udara yang teraspirasi. Insersi jarum dilakukan tepat di atas tulang
iga ke-3 (jika lokasi insersi dilakukan pada ICS 2), atau tepat di atas tulang
iga ke-6 (jika lokasi insersi dilakukan pada ICS 5)
7. Pada saat penusukan jarum, usahakan posisi jarum tegak lurus dengan
dinding dada
8. Setelah jarum menembus pleura parietal, lihat apakah tampak gelembung saat
dilakukan aspirasi. Jika ya, lepaskan spuit, kemudian dengarkan bunyi udara
yang keluar dari jarum (hissing sound)
10. Setelah tindakan dekompresi jarum, cek kembali status airway, breathing dan
circulation (ABC) pada pasien
11. Selanjutnya, segera persiapkan alat dan bahan untuk dilakukan pemasangan
chest tube atau kateter interkostal
66
perubahan lokasi ini karena penusukan di ICS 5 diduga lebih aman (risiko
perdarahan lebih rendah), dan sama dengan lokasi pemasangan chest tube atau
kateter interkostal pada tindakan selanjutnya (American College of Surgeon,
2018).
Follow Up
Setelah dilakukan dekompresi jarum, pastikan status dari ABC pasien stabil.
Pemeriksaan ABC yakni berupa pemeriksaan patensi jalan nafas, frekuensi dan
pola pernafasan, saturasi oksigen, pulsasi, dan tekanan darah. Setelah itu, segera
lakukan pemasangan chest tube atau kateter interkostal yang terhubung dengan
water seal drainage (WSD).
anestesi lokal
masukkan chest tube yang telah diklem ujung proksimal ke dalam rongga
pleura dnegan tuntunan hemostat
setelah ujung proksimal chest tube terfiksasi dibawah air, klem dapat dibuka
67
Sistem WSD (water seal drainage) : sistem drainase menggunakan water seal
untuk mengalirkan udara cairan dari cavum pleura dan mempertahankan tekanan
negatif cavitas pleura. Prinsip WSD adalah gravitasi menyebabkan udara dan
cairan mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan yang lebih rendah. Udara atau
caran dalam rongga pleura menghasilkan tekanan positif (>763 mmHg)
sedangkan udara/cairan water seal pada selang dada menghasilkan tekanan positif
kecil (761 mmHg) dan tekanan sub atmosfir 746 mmHg. Sistem pleural drainage
dibagi menjadi 2 yaitu;
Botol pertama sebagai penampung, botol kedua sebagai water seal sedangkan
botol ketiga sebagai suction kontrol, tekanan dikontol dengan manometer.
Digunakan bila menggunakan continues suction dengan tekanan -15 sampai -20
mmHg.
Sistem ini dibuat dengan prinsip klep satu arah yang akan menutup bila
teknan dalam pleura lebih kecil dari tekanan atmosfir dan membuka jika
sebaliknya. Disarankan untuk pneumothoraks tanpa cairan.
68
Gambar 22. Sistem Kolektif dengan Botol (Saryono, 2010)
69
Evaluasi WSD
- Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari dan diukur berapa cairan yang
keluar. Setiap penggantian botol harus tertutup dengan melakukan klem pada
selang WSD.
- Dinilai apakah ada undulasi atau tidak, begitu juga dengan gelembung udara
(bubble)
- Pada saat pengangkatan, pasien harus membuang nafas dan melakukan manuver
valsava
- Perawatan rutin luka jahitan dan aff pada 3-5 hari, rontgen dada dianjurkan 1,2
sampai 24 jam setelah pengangkatan chest tube.
70
BAB III
ANALISA KASUS
TEORI KASUS
Anamnesis Anamnesis
Fraktur clavicula dan fraktur os costae - Nyeri pada bahu kanan
- Nyeri saat bernafas - Sulit menggerakan lengan kanan
- Badan sulit digerakan, atau terbatasnya - Sesak nafas (+)
gerakan pada bagian yang cedera - Nyeri saat menarik nafas
- Riwayat Jatuh dengan bahu atau dada - Riwayat jatuh posisi bahu kanan
terlebih dahulu terbentur stang motor dan dada kanan
terbentur aspal
71
- Suara nafas berkurang/menghilang P: Riw. fraktur costae sinistra 2 tahun yll
L: 4 jam SMRS
E: Kecelakaan lalu lintas
Status Lokalisata (22/02/2020)
I: simetris (+), jejas dan hematoma (+) di
daerah tulang selangka dan dada kanan
bawah
P: nyeri tekan (+). Krepitasi (+)
P: sonor (+), peranjakan 1 cm
A: suara paru kanan < suara paru kiri
72
P: stem fremitus lapangan kanan menurun,
krepitasi bawah kulit (+)
P: hipersonor (+)
A: suara paru kanan < suara paru kiri
Fungsi Ginjal
Ur: 42
Cr: 0,9
Screeening
HbsAg: non reaktif
73
Tampak bayangan lusens pada sof tissue kanan
- tidak tampak kardio megali
Kontusio Paru : - tidak tampak gambaran traumatic wet
Tampak corakan bronkovaskular lung
meningkat
(24/02/2020)
- cor tidak membesar
- sinus dan diafragma normal
- pulmo: hilir kabur, corakan
bronkovaskular bertambah, tidak tampak
bercak lunak
- tampak bayangan lusen avascular di
hemothorax lateral kiri bawah dengan
pleural line
- skeletal: tampak fraktur komplit 1/3
medial klavikula kanan, fraktur costae III-
IX kanan, tampak bayangan lusen densitas
udara pada soft tissue thorax kanan dan
daerah leher kanan
Kesan
- menyokong gambaran pneumothorax
kanan
- gambaran emfisema subkutis disertai
gambaran fraktur klavikula kanan
- multiple fracture costae III-IX dextra
Etiologi Etiologi
- Riwayat trauma thorax (trauma - Riwayat. Fraktur costae 2 tahun yang lalu
tajam/tumpul) - Riwayat kecelakaan lalu lintas (trauma
tumpul)
Patofisiologi Patofisiologi
trauma toraks tembus /tajam menyebabkan Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas
74
perlukaan parenkim paru dimana dada sebelah kanan dan bahu
membentur aspal (trauma tumpul)
fraktur os clavicula dan fr. Multiple os
costae
Pasien banyak melakukan mobilisasi
multiple fr. Os costae perlukaan
parenkim paru (kontusi paru) dan pleura
visceral
Robeknya pleura visceral one-way valve
paru menjadi kolaps terganggunya
ventilasi dan perfusi sesak nafas, nafas
dangkal
Indikasi Operasi Fraktur Clavicula Indikasi Operasi Fraktur Clavicula
- fraktur terbuka - tidak ada perbaikan selama
- Fraktur dengan gangguan vaskularisasi menggunakan arm sling
- Fraktur dengan “scapulothorcic - fraktur dengan posisi potongan ke bagian
dissociation” (floating shoulder) vaskular dan nervus
- Fraktur dengan displaced glenoid neck -fraktur os clavicula 1/3 medial displaced
fraktur.
- fraktur os clavicula 1/3 medial displaced
- fraktur os clavicula segmental atau
comminuted
Indikasi Pemasangan WSD Indikasi Pemasangan WSD
- Pneumothoraks - Tension pneumothoraks : setelah
dilakukan needle decompresion
Komplikasi Komplikasi
Dini - pneummothorax
- kerusakan jaringan vascular - frozen shoulder
- pneumothorax - emfisema subkutis
- cedera plexus brachialis
Lanjut
- displacement
- non-union
75
- mal union
- frozen shoulder
BAB IV
KESIMPULAN
76
Seorang laki-laki, umur 60 tahun, berinisial Tn. F datang dengan keluhan
nyeri pada bahu kanan post KLL sejak 2 jam SMRS. Pasien sedang mengendarai
motor tiba-tiba menabrak anjing di jalan, lalu terjatuh dengan posisi bahu
terbentur stang motor dan dada kanan terbentur aspal. Bahu kanan membengkak
dan nyeri, pasien tidak bisa menggerakkan tangannya. Sesak nafas (+), nyeri saat
menarik nafas (+) terutama dada sebelah kanan, penurunan kesadaran (-), muntah
(-), pada saat kecelakaan pasien menggunakan helm. Kelemahan pada kaki atau
tangan (-), BAB dan BAK tidak ada kelainan.
Dua hari setelah dirawat di RS, pasien kembali mengeluh sesak nafas yang
semakin memberat, nyeri pada saat menarik nafas, batuk-batuk (+), pucat (-),
krepitasi subkutis (+). Pasien kemudian dilakukan foto rontgen thoraks ulang lalu
didapatkan adanya simple pneumothoraks dextra, emfisema subkutis dan fraktur
costae IV-XI dextra. Pasien dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang (laboratorium dan pemeriksaan radiologi X-ray thoraks) didiagnosis
dengan fraktur tertutup os clavicula dextra 1/3 medial dextra dan kontusio paru
yang akan dilakukan ORIF pada tanggal 24/02/2020.
DAFTAR PUSTAKA
77
2. Kim J, Jeong J, Cho SJ, et al. Needle decompression for trauma patients:
chest wall thickness and size of the needle. J Korean Soc Traumatol. 2010;
23(2): 63-67.
3. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support: Tenth
Edition. Chest Trauma; 2018, p66-77.
4. Saryono. Water Seal Drainage (WSD). Departemen Bedah FK Unsoed; 2010,
p8-10.
5. Richard W. Pneumothorax: An Article of MSD. Vanderbilt University
Medical Centre.; 2009. https://www.msdmanuals.com. Diakses pada 28
Februari 2020.
6. Alsagaff, Hood, Mukty H. Dasar-dasar ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Universitas Airlangga; 2009, p162-179.
7. Ivey, K.M., White, C.E., Wallum, T.E., Aden, J.K., Cannon, J.W., Chung,
K.K., McNeil, J.D., Cohn, S.M. and Blackbourne, L.H., 2012. Thoracic
injuries in US combat casualties: a 10-year review of Operation Enduring
Freedom and Iraqi Freedom. Journal of trauma and acute care surgery, 73(6),
pp. S514-S519.
8. Snell R.S. Dinding Thorax. Dalam Anatomi Klinik Bagian ke Satu. Jakarta:
EGC, 1998.
9. Talbot, B.S., Gange Jr, C.P., Chaturvedi, A., Klionsky, N., Hobbs, S.K. and
Chaturvedi, A., 2017. Traumatic rib injury: patterns, imaging pitfalls,
complications, and treatment. Radiographics, 37(2), pp.628-651.
10. Sjamsuhidajat R., de Jong W. Dinding Toraks dan Pleura. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, 2005.
11. Chung JH, Cox CW, Mohammed TL, et al. ACR Appropriateness Criteria
blunt chest trauma. J Am Coll Radiol 2014;11(4):345–351.
12. Advanced trauma life support (ATLS®): The tenth edition. (2018). Journal
of Trauma and Acute Care Surgery, 74(5), pp.1363-1366.
13. Liman ST, Kuzucu A, Tastepe AI, Ulasan GN, Topcu S. Chest injury due to
blunt trauma. Eur J Cardiothorac Surg 2003;23(3):374–378.
14. Kurihara Y, Yakushiji YK, Matsumoto J, Ishikawa T, Hirata K. The ribs:
anatomic and radiologic considerations. RadioGraphics 1999;19(1):105–
119; quiz 151–152.
15. Bansidhar BJ, Lagares-Garcia JA, Miller SL. Clinical rib fractures: are
follow-up chest x-rays a waste of resources? Am Surg 2002;68(5):449–453
78
16. May, L., Hillermann, C. and Patil, S., 2016. Rib fracture management. Bja
Education, 16(1), pp.26-32.
17. Blom A, Warwick D, Whitehouse MR, editors. 2018. Apley & Solomon’s
System of Orthopaedics and Trauma 10th edition. New York: CRC Press.
18. Court-Brown CM, Heckman JD, McQueen MM, Ricci WM, Tornetta III P,
editors. 2015. Rockwood and Green’s Fracture in Adults 8th edition.
Philadelphia: Wolters Kluwer.
19. Canale ST, Beaty SH, editors. 2016. Campbell’s Operative Orthopedics 13th
edition. Tennessee: Elsevier.
20. H. V. F. Paulsen, J Waschke. 2018. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Edisi 24.
Jakarta: Elsevier.
21. Jaffe, B.M., Berger, D.H. The appendix. In Brunicardi, F.C., Andersen, D.K.,
Biiliar, T.R., Dunn, D.L., Hunter, J.G., Pollock, R.E, editors.
Schwartz’Principles of Surgery 10th ed. New York: McGraw-Hill
Companies. 2015.
22. Paladini P, Pellegrini A, Merolla G, Campi F, Porcellini G. 2012. Treatment
of Clavicle Fracture. New York: Translational Medicine @ UniSa.
23. Sharon Henry, Karen Brasel, Ronald M. S, editors. 2018. Advanced Trauma
Life Support 10th edition. Chicago: The American College os Surgeons.
24. Smal, V. 2008. Surgical Emergencies. In: Dolan, Brian and Holt, Lynda, ed.
Accident & Emergency Theory into Practice. 2nd edition. London: Elsevier.
79