Anda di halaman 1dari 14

A.

DEFINISI
B. ETIOLOGI
a. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat &
menimbulkan cedera local. Kerusakan local meliputi Contusio
serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang
disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul & menyebabkan cedera menyeluruh
(difusi) : kerusakannya menyebar secara luas & terjadi dalam 4
bentuk: cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak
menyebar, hemoragi kecil, multiple pada otak koma terjadi karena
cedera menyebar pada hemisfer, cerebral., batang otak atau kedua-
duanya (Wijaya, 2013)

C. MANIFESTASI KLINIS
D. PATOFISIOLOGI
Cedera Kepala diklasifikasikan menjadi cedera kepala primer atau
sekunder. Cedera primer adalah akibat cedera awal. Cedera awal
menyebabkan gangguan integritas fisik, kimia dan listrik dari sel diarea
tersebut, yang menyebabkan kematian sel. Cedera sekunder meliputi
respons fisiologi cedera otak, termasuk edema serebral, iskemia serebral,
perubahan biokimia, dan perubahan hemodinamik serebral. Penelitian
terkini dan terapi yang ada difokuskan pada mencegah dan meringankan
cedera otak sekunder untuk memaksimalkan kesempatan hasil akhir
funggsional yangg positif.
a. Cedera Otak Primer
LASERASI KULIT KEPALA
Laserasi kulit kepala sering sekali menyebabkan pendarahan dalam
juumlah besar karena vaskularitas kulit kepala, dan sering
menunjukkan adanya cedera lain pada tulang tengkorak dan jaringan
otak. Area tersebut secara cermat dipalpasi untuk mengatahui
adanya deformitas sebelum memberikan tekanan pelan guna
menghentikan perdarahan. Fraktur tulang tengkorak dapat tetap ada
meskipun deformitas tidak terpalpalsi,sehingga tindakan dapat
dilakukan dengan menekan luka kulit kepala. Apabila deformitas
pada tulang tengkorak terdeteksi, pemasangan kassa steril dan
kering adalah tindakan yang tepat. Laserasi kulit kepala dapat di
jahit disisi tempat tidur atau mungkin memerlukan perbaikan bedah,
bergantung pada ukurang dan luasnya cedera. Avulsi (tindakan
menarik dan merobek) area kulit kepala seringkali membutuhkan
reimplantasi bedah karena struktur vaskular juga harus diperbaiki
selama pembedahan.
FRAKTUR TULANG TENGKORAK
Tulang tengkorak memberikan perlindungan pada otak dengan
mendistribusikan tekanan ke luar, yang mengurangi dampak
langsung pada otak. Penting di ingat bahwa pembuluh darah
menjalar sepanjang lekukan tulang pada permukaan dalam tulang
tengkorak. Fraktur yang langsung mengenai pembuluh darah
tersebut dapat mencederai pembuluh darah, yang menyebabkan
hematoma epidural. Fraktur tulang tengkorak mungkin berbentuk
compound atau displaced, atau dapat berbentuk linear. Fraktur
tulang tengkorak terdepresi adalah fraktur dengan tulang tertekan
kedalam dura; keadaan tersebut seringkali dirasakan sebagai depresi
atau cekungan ada saat palpasi. Pasien yang mengalami fraktur
tulang tengkorak tedepresi seringkali memerlukan elevasi tulang
melalui pembedahan, debridemen fragmen tulang, dan perbaikan
dura secara seksama. Cedera pada dura menyeabkan pasien berisiko
mengalami meningitis; oleh karena itu pemantauan tanda dan gejala
secara seksama adalah langkah penting. Studi belum menunjukan
manfaat jelas dari pengobatan profilaktik dengan antibiotik dalam
mencegah meningitis setelah fraktur tulang tengkorak basilaris dan
kebocoran cairan serebrospinal (CSS).
GEGER OTAK
KONTUSIO
HEMATOMA EPIDURAL
HEMATOMA SUBDURAL
HEMATOMA INTRASEREBRAL
HEMORAGI SUBARAKNOID TRAUMATIK
CEDERA ASONAL DIFUSI
CEDERA SEREBROVASKULAR
CEDERA OTAK SEKUNDER

b. Cedera Otak Sekunder


Cedera otak sekunder mencakup semua kejadian yang menyebabkan
kerusakan otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma. Contoh
kondisi yang menyebabkan cedera otak sekunder adalah
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang tidak terkendali,
iskemia serebral, hipotensi sistemik, dan infeksi lokal dan sistemik.
Pencegahan cedera sekunder sangat penting dalam memelihara
fungsi otak dan mengoptimalkan hasil akhir fungsional, mekanisme
yang membahayakan neuron yang berfungsi meliputi inflamasi,
iskemia dan gangguan aliran darah serebral. Proses sekunder ini
dapat mengakibatkan infark cerebral, koma, dan herniasi.
Pencegahan hipotensi, hiperkarbia, hipoksemia, dan kejang sangat
penting untuk mencegah cedera lebih lanjut. Pemahaman tentang
dinamika intrakranial dan sifat aliran darah serebral sangat penting
untuk mencegah dan mengobati cedera otak sekunder
EDEMA SEREBRAL
ISKEMIA
SINDROM HERNIASI
KOMA
KONDISI VEGETATIF PERSISTEN

E. PATHWAY
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. CT scan
Pemeriksaan awal yang paling umum dilakukan karena pemeriksaan
ini dapat dengan cepat dilakukan dan sensitive terhadap perdarahan.
Satu kelemahan CT scan adalah bahwa pemeriksaan tersebut tidak
dapat secara adekuat menangkap struktur fosa posterior.
b. MRI (Magnetic resonance imaging)
Bermanfaat karena artifak tulang diminimalkan sehingga struktur
pada dasar tengkorak dan medulla spinalis dapat divisualisasikan
lebih baik dan perubahan neuronal dapat diamati. Selain itu MRI
dapat digunakan untuk mengevaluasi cedera vascular serebral
dengan cara noninvasive.
c. Angiografi serebral
Alat yang berguna dalam mengkaji diseksi dalam pembuluh darah
dan tidak adanya aliran darah serebral pada pasien yang dicurigai
mengalami kematian batang otak.
Risiko prosedur tersebut meliputi rupture pembuluh darah, stroke
akibat debris emboli, reaksi alergi akibat terpajan pewarna radiopak,
gagal ginjal akut akibat pewarna IV, dan perdarahan retroperitoneal
dari area pemasangan selubung setelah infus dilepaskan.
d. Ultrasonografi Doppler Transkranial
Secara tidak langsung mengevaluasi aliran darah serebral dan
mekanisme autoregulasi dengan mengukur kecepatan darah yang
melewati pembuluh darah. Kemampuan pemeriksaan ini dalam
meberikan informasi mengenai autoregulasi serebral dapat
mempengaruhi penatalaksanaan dinamik intracranial pada pasien
cedera kepala dimasa yang akan datang.
e. EEG (elektro ensefalogram)
Mengukur aktivitas gelombang otak disemua regio korteks dan
berguna dalam mendiagnosis kejang serta mengaitkan pemeriksaan
neurologis abnormal dengan fungsi kortikal abnormal. Pemeriksaan
yang penting dalam mengeliminasi kejang subklinis atau non
konvulsif. Temuan yang paling umum pada pasien cedera kepala
adalah perlambatan aktivitas gelombang listrik pada area cedera.
f. BAER (brainsteam auditory evoked responses) dan SSEP
(somatosensory evoked potential)
g. Pemeriksaan prognostik yang bermanfaat pada pasien cedera kepala.
Hasil abnormal dari salah satu pemeriksaan tersebut dapat
membantu menegakkan diagnosis disfungsi batang otak yang tidak
akan menghasilkan pemulihan fungsional yang bermakna
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan cedera otak traumatik berat pada orang dewasa.
Pengkajian dan penanganan awal pasien dengan cedera kepala dimmulai
segera setelah cedera, yang seringkali dilakukan oleh tenaga kesehatan pra-
rumah sakit spesific prehospital guidelines for prehospital managemen of
traumatic brain injury, penanganan pra rumah sakit pada pasien cedera
kepala berfokus pada pengkajian sistem secara cepat dan penatalaksanaan
jalan nafass definitif, intervesi yang dapat berdampak positif terhadap hasil
akhir pasien karena koreksi dini hipoksia dan hiperkapnia,yang telah
terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak sekunder.
Penatalaksanaan jalan nafas adalah langkah awal yang sangat penting dalam
merawat pasien cedera kepala karena hipoventilasi biasa terjadi pada
kondisipennurunan kesadaran, dan hipoksia serta hiperkapnia
a. Pemantauan dan Pengendalian tekanan intrakranial
b. Pemeliharaan Perfusi serebral
c. Pencegahan pencegahan dan pengobatan kejang
d. Pemantauan status cairan dan elektrolit
e. Penatalaksanaan komplikasi kardiovaskular
f. Penatalaksanaan komplikasi paru
g. Memastikan nutrisi yang optimal
h. Penatalaksanaan komplikasi muskuloskeletal dan integumen
i. Perawatan untuk keluarga
Pengkajian dan penanganan awal pada pasien cedera kepala dimulai segera
setelah cedera, yang seringkali dilakukan oleh tenaga kesehatan pra
rumahsakit. Penanganan pra-rumahsakit pada pasien cedera kepala
berfokus pada pengkajian system secara cepat dan penatalaksanaan jalan
napas definitive, intervensi yang dapat berdampak positif terhadap hasil
akhir pasien karena koreksi dini hipoksia dan hiperkapnia, yang telah
terbukti menyebabkan dan memperburuk cedera otak sekunder.
Pendekatan perawatan yang benar dan kecepatan dalam memberikan
pertolongan menekan angka kematian hingga 36% (National Traumatic
Coma Data Bank). Prinsip dasarnya sel saraf diberikan kondisi/suasana
yang optimal maka pemulihan akan berfungsi kembali :
a. Penatalaksanaan jalan napas
Langkah awal yang sangat penting dalam merawat pasien cedera
kepala karena hipoventilasi biasa terjadi pada kondisi penurunan
kesadaran, dan hipoksia serta hiperkpnia sangat memperburuk kondisi
pasien pada tahap awal cedera. Evaluasi lanjut terhadap status
neurologis dapat memperlihatkan perlunya terapi hiperventilasi jika
terdapat tanda herniasi serebral dan tidak dapat dikontrol dengan
terapi farmakologis awal, pemantauan lebih lanjut aliran darah
serebral.
b. Hiperventilasi
Harus dilakukan hati-hati, dibuat dengan cara menurunkan PCO2 dan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak, penurunan volume
intracranial ini akan menurunkan TIK. Hiperventilasi yang lama dan
agresif akan menurunkan perfusi otak, terutama bila PCO2
<25mmHg. PCO2 harus dipertahankan pada 30 mmHg, sehingga bila
PCO2 <25mmHg hiperventilasi harus dicegah.
Penatalaksanaan sirkulasi pada pasien cedera kepala bertujuan
meningkatkan perfusi serebral yang adekuat melalui resusitasi cairan
dan penggunaan vasopresor, jika perlu. Penatalaksanaan TIK untuk
menurunkan tahanan intracranial terhadap aliran darah.
c. Cairan
Cairan intravena : jumlah cairan dalam cedera kepala dipertahankan
agar nomovolemia, kelebihan jumlah cairan akan membahayakan jiwa
penderita. Jangan memberikan cairan hipotonik, penggunaan cairan
yang mengandung glukosa dapat menyebabkan penderita
hyperglikemia yang berakibat buruk pada penderita cedera kepala.
Karena itu cairan yang digunakan untuk resusitasi sebaiknya larutan
garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar Natrium perlu diperhatikan
karena hiponatremia akan dapat menyebabkan odema otak yang harus
dihindari.
d. Obat
1) Manitol : digunakan untuk menurunkan tekanan intra kranial,
umumnya dengan konsentrasi 20%, dosis 1gr/kg bb, diberikan bolus
intra vena dengan cepat. Untuk penderita hipotensi tidak boleh karena
akan memperberat hipovolemi.
2) Furosemide : diberikan bersama manitol untuk untuk menurunkan
TIK, kombinasi keduanya akan meningkatkan diuresis, dosis lazim
0,3-0,5 mg/kg bb IV
3) Steroid : tidak bermanfaat dalam mengendalikan kenaikan TIK dan
tidak memperbaiki hasil terapi, sehingga steroid tidak dianjurkan
4) Barbiturate : bermanfaat menurunkan TIK, karena punya efek
hipotensi tak diberikan pada penderita dengan kondisi tersebut. Tidak
dianjurkan pada resusitasi akut
5) Anti konvulsan : epilepsy pasca trauma terjadi 5% pada penderita
trauma kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Anti
konvulsan hanya berguna untuk minggu pertama terjadinya kejang,
tidak minggu yang berikut, jadi hanya dianjurkan pada minggu
pertama saja.

I. KEMATIAN OTAK
J. TERAPI FARMAKOLOGIS
K. PEMERIKSAAN FISIK
a. PRIMARY SURVEY
Adalah suatu kegiatan untuk menilai kondisi penderita (diagnostic)
sekaligus tindakan (resusitasi) untuk menolong nyawa. Kunci utama
untuk penanganan pada pasien trauma adalah penanganan pada
keadaan yang mengancam nyawa (Jakarta Medical Service 119
Training Division, 2012).
1. Airway
Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menit
setelah anoxia otak. Oleh karena itu, prioritas pertama dalam
penanganan trauma yaitu pastikan kelancaran jalan nafas,
ventilasi yang adekuat dan oksigenasi. Ini meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat
disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibular atau maksila., fraktur laring atau trakea.
Penanganan airway juga harus dipikirkan adanya dugaan
trauma pada vertebra servikal. Usaha untuk membebaskan
airway harus melindungi vertebra servikal. Vertebra servikal
harus sangat hati-hati dijaga setiap saat dan jangan terlalu
hiperekstensi, hiperfleksi atau rotasi yang dapat menggangu
jalan nafas. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan posisi
kepala dalam keadaan netral, chin lift atau jaw thrust
diperlukan juga pada penanganan airway.
Mekanisme pembersihan oada oropharing sering dilakukan
didalam pembukaan jalan nafas. Dalam hal ini kelancaran
jalan nafas yang dibutuhkan dalam berbagai posisi dapat
terjadi dengan dilakukan nasal atau oropharingeal airway.
Jika tindakan pembersihan jalan nafas ini juga tidak berhasil,
maka dapat dilakukan tindakan intubasi endotrakeal.
Tindakan ini dinamakan airway definitive. Pada airway
devinitif maka ada pipa didalam trahea dengan balon (cuff)
yang dikembangkan, pipa tersebut dihubungkan dengan
suatu alat bantu pernafasan yang diperkaya oksigen, dan
airway tersebut dipertahankan ditempatnya dengan plester.
Penentuan pemasangan airway definitive didasarkan pada
penemuan-penemuan klinis antara lain.
a. Adanya apnea
b. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang
bebas dengan cara-cara yang lain
c. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi
darah atau vomitus
- Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway.
Seperti multiple fraktur pada tulang wajah, kejang-kejang
yang berkepanjangan
- Cedera kepala tertutup yang memrlukan bantuan nafas
(GCS=8)
- Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang
adekuat dengan pemberian oksigen tambahan lewat masker
wajah
Intubasi nasotrakeal adalah teknik yang bermanfaaat apabila
urgensi pengelolaan airway tidak stabil. Intubasi nasotrakeal
secara membuta (blind nasotrakeal intubation) hanya
dilakukan padapenderita yang masih bernafas spontan.
Prosedur ini merupakan kontraindikasi untuk penderita ya
ng apnoe. Fraktur wajah, frajtur frontalis, fraktur basis
cranii, dan fraktur lamina chiriformis merupakan
kontrainidikasi relative untuk intubasi nasotrakeal.
Bila kesemua tindakan diatas juga tidak mampu untuk
mengatasi didalam control airway, tindakan
krikotiroidotomi dapat dilakukan. Tindakan ini dinamakan
airway surgical.
1) Breathing
Tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventialsi.
Penururnan oksigen yang tajam (10L/min) harus dilakukan suatu tindakan
ventilasi. Analisa Gas darah dan pulse oximeter dapat membantu untuk
mengetahui kualitas ventilasi dari penderita.
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertikaran
gas yang terjadi ada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi
fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen
ini harus di evaluasi secara cepat.
Tanda hipoksia dan hi[ercarbia bias terjadi pada penderita dengan
kegagalan ventilasi. Kegagalan oksigenasi harus dinilai dengan dilakukan
observasi dan auskultasi pada leher dan dada melalui distensi vena, devasi
trakeal,gerakan paradoksal pada dada, dan suara nafas yang hanya pada satu
sisi (unilateral).
Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dalah
tension pneumothorax, flail chest dengan kontusio paru, open
pneumothorax, massive hemothorax. Keadaan-keadaan ini harus dikenali
pada saat dilakukan primary survey. Hematothorax, simple pneumothorax,
patahnya tulang iga dan kontusio paru menggangu ventilasi dalam derajat
yang lebih ringan dan harus dikenali pada saat melakukan secondary
survey.
2) Circulation
Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang
mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepatdab tepat di rumah sakit.
Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia,
sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian
yang cepat dari status henodinamika penderita. Kerusakan pada jaringan
lunak dapat mengenai pembuluh darah besar dan menimbulkan kahilangan
darah yang banyak. Menghebtikan perdarahan yang terbaik adalah dengan
tekanan langsung.
Hipotensi dengan pasien pada multiple trauma selalu disebabkan
oleh kehilangan darah yang banyak. Penanganan segera dengan pemberian
larutan Ringer Laktat secara intravena harus memberikan respons yang baik
(2-L pada dewasa, ana 30ml/kgbb). Peradarahan oleh karena luka yang
terbuka dapat di control dengan penekanan luka secara langsung. Perfusi
jaringan dapat di evaluasi dengan produksi urine dan pengisian kapiler pada
ujung-ujung jari lebih dari 2 menit ini menandakan perfusi jaringan lemah.
Jika hipotensi memberikan respon yang baik pada penanganan
pertama, maka pemberian larutan kristaloid dapat diberikan bahkan sampai
dengan pemberian transfuse darah. Namun jika respon tersebut sedikit atau
sama sekali tidak memberikan respontidak, maka pemberian cairan dengan
larutan ringer laktat (2L) dapat diulang kembali. Kemudian dapat dilakuakn
transfuse darah baik tipe spesifik atau noncross matched universal donor O
negative. Vasopressor tidak boleh diberikan pada pasien dengan syok
hipovolemik.
Klasifikasi perdarahan ini berguna untuk memastikan tanda-tanda
dini dan patofisiologi keadaan syok. Terdapat 4 klasifikasi perdarahan
antara lain :
- Perdarah kelas 1 (kehilngan volume darah sampai 15%) ; gejala klinis
dari kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada komplikasi,
akan terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti dari
tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Pengisisan
transkapiler dan mekanisme kompensasi lain akan memulihkan volume
darah dalam 24 jam.
- Perdarahan kelas II (kehilangan darah 15% sampai 30%); gejala-gejala
klinis termasuk takikardi (denyut jantung lebih dari 100 pada orang
dewasa) takipnea, dan penurunan tekanan nadi. Perubahan saraf sentral
yang tidak jelas sperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan,
produksi urine hanya sedikit terpengaruh. Ada penderita yang kadang-
kadang memrlukan transfusi darah, tetapi dapat distabilkan dengan
larutan kristaloid pada mulanya.
- Perdarahan kelas III ( 30% samapi 40% kehilangan volume darah);
Akibat kehilangan darah sebanyak ini (sekitar 2000ml untuk orang
dewasa) dapat sangat parah. Penderitanya hampir selalu menunjukan
tanda klasik perfusi yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan takipnea
yang jelas, perubahan penting oada status mental, dan perubahan
tekanan darah sistolik. Dalam keadaaan yang tidak berkomplikasi,
inilah jumlah kehilangan darah paling kecil yang selalu menyebabkan
tekanan sistolik menurun. Penderita dengan kehilangan darah tingkat ini
hamper selalu memerlukan transfuse darah. Keputusan untuk memberi
transfuse darah didasarkan atas respon penderita terhadap resusitasi
cairan semula dan peruse dan oksigenasi organ yang adekuat.
- Perdarahan kelas IV (lebih dari 40% kehilangan volume darah); Dengan
kehilangan darah sebnayak ini, jiwa penderita terancam. Gejala-
gejalanya meliputi takikardia yang jelas, penurunan tekanan darah
sistolik yang cukuo besar, dan tekanan nadi yang sangat sempit (atau
tekanan diastolic yang tidak teraba). Produksi urine hampir tidak ada,
kesadaran jelas menurun. Kulit teraba dingin dan tampak pucat.
Penderita ini sering kali memerlukan transfuse cepat dan intervensi
pembedahan segera. Keputusan tersebut didasarkan atas respon
resusitasi cairan yang diberikan. Kehilangan lebih dari 50% volume
darah penderita mengaibatkan ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi,
dan tekanan darah.
Patah tulang panjang dapat menimbulkan perdarahan yang berat.
Fraktur kedua femur dapat menimbulkan kehilangan darah did alam
tungkai sampai 3-4 liter. Menimbulkan syok kelas III. Pemasangan
bidai yang baik akan dapat menurunkan perdarahan secara nyata
dengan mengurangi pergerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade
otot sekitar fraktur. Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan
steril umumnya dapat menghentikan oerdarahan. Resusitasi cairan yang
agresif merupakan hal yang penting disamping usaha menghentikan
perdarahan.
3) Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap
keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat
kesadaran, serta ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara sederhana untuk
menilai tingkat kesadaran adalah metode AVPU :
A : Alert (sadar)
V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara)
P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain)
U : Unresponsive (tidak ada respon)
GCS (Glasgow Coma Scale) adalah system skoring yang sederhana
dan dapat meramal kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat
dilakukan sebagau pengganti AVPU. Bila belum dilakukannya reeavaluasi
pada primary survey, harus dilakukan pada secondary survey pada saat
pemeriksaan neurologis
Penurunan keasadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau
penurun an perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung padaotak.
Penurunan kesadraan menun tut dilakukannya reevaluasi terhadap
oksigenasi, ventilasi, dan perfusi.
4) Exposure
Keadaan dengan laserasi, kontusio, abrasi, swelling, dan deformitas
sering terjadi pada pasien trauma. Cara yang paling aman dengan
membuka paaian penderita secara keseluruhan. Ini dilakukan dengan
tujuan untuk memudahkan dalam memeriksa dan mengevaluasi
keadaan penderitra, mencegah terjadinya displacement pada fraktur
meminimalkan resiko terjadiny komplikasi lebih lanjut.
Hypothermia harus dapat dicegah, fungsi jantung harus baik,
terutama bila volume darah turun. Kain yang steril dapat digunakan
untuk menutupi luka yang terbuka dengan tujuan untuk mencegah
kontaminasi lebih lanjut.

a. SECONDARY SURVEY

G. ANALISA DATA
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
I. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

DAFTAR PUSTAKA

Morton, P. G., Fontaine, D.,


Hudak, C. M., &
Gallo, B. M. (2012).
Keperawatan Kritis:
Pendekatan Asuhan Holistik.
Edisi 8.
Volume 1. Jakarta: EGC.
Morton, P. G., Fontaine, D.,
Hudak, C. M., &
Gallo, B. M. (2012).
Keperawatan Kritis:
Pendekatan Asuhan Holistik.
Edisi 8.
Volume 2. Jakarta: EGC.
Morton,P.G.,Fontaine, D., Hudak,C.M.& Gallo,B.M (2012) keperawatan
kritis;pendekatan Holistik Edisi 8.Volume 1.Jakarta: EKG

Diakses pada tanggal 2 desembember 2020 (buku)

Tersedia di :

Perpustakaan stik immanuel bandung

Anda mungkin juga menyukai