Anda di halaman 1dari 4

1.

Patogenesis ISK

Patogenesis infeksi saluran kemih sangat kompleks, karena tergantung dari banyak faktor seperti

faktor pejamu (host) dan faktor organisme penyebab. Bakteri dalam urin dapat berasal dari

ginjal, ureter, vesika urinaria atau dari uretra. Beberapa faktor predisposisi ISK adalah obstruksi

urin, kelainan struktur, urolitiasis, benda asing, refluks atau konstipasi yang lama. Bakteri

uropatogenik yang melekat pada pada sel uroepitelial, dapat mempengaruhi kontraktilitas otot

polos dinding ureter, dan menyebabkan gangguan peristaltik ureter. Melekatnya bakteri ke sel

uroepitelial, dapat meningkatkan virulensi bakteri tersebut (Hanson, 1999).

Mukosa kandung kemih dilapisi oleh glycoprotein mucin layer yang berfungsi sebagai anti

bakteri. Rusaknya lapisan ini akibat dari mekanisme invasi bakteri seperti pelepasan toksin dapat

menyebabkan bakteri dapat melekat, membentuk koloni pada permukaan mukosa, masuk

menembus epitel dan selanjutnya terjadi peradangan. Bakteri dari kandung kemih dapat naik ke

ureter dan sampai ke ginjal melalui lapisan tipis cairan (films of fluid), apalagi bila ada refluks

vesikoureter maupun refluks intrarenal. Bila hanya vesika urinaria yang terinfeksi, dapat

mengakibatkan iritasi dan spasme otot polos vesika urinaria, akibatnya rasa ingin miksi terus

menerus (urgency) atau miksi berulang kali (frequency), dan sakit waktu miksi (dysuri).

Mukosa vesika urinaria menjadi edema, meradang dan perdarahan (hematuria). Infeksi ginjal

dapat terjadi melalui collecting system. Pelvis dan medula ginjal dapat rusak, baik akibat infeksi

maupun oleh tekanan urin akibat refluks berupa atrofi ginjal. Pada pielonefritis akut dapat

ditemukan fokus infeksi dalam parenkim ginjal, ginjal dapat membengkak, infiltrasi lekosit

polimorfonuklear dalam jaringan interstitial, akibatnya fungsi ginjal dapat terganggu. Pada
pielonefritis kronik akibat infeksi, adanya produk bakteri atau zat mediator toksik yang

dihasilkan oleh sel yang rusak, mengakibatkan parut ginjal (renal scarring). (Hanson, 1999).

2. ISK dan Kolestasis

Pada ISK bawah, walaupun tidak ada penyebaran bakteri ke aliran darah sistemik, masih

mungkin menimbulkan kolestasis intrahepatik. Infeksi maupun non-infeksi yang menyebabkan

aktivasi sitokin proinflamasi dapat menyebabkan peradangan/ inflamasi yang dapat

menyebabkan kolestasis hepatoselular. Inflamasi yang menyebabkan kolestasis tidak bergantung

pada penyebabnya, dimediasi oleh efek endotoksin misalnya lipopolisakarida (LPS) pada

membran luar bakteri Gram negatif dan atau LPS yang merangsang sitokin proinflamasi seperti

TNF-alpha dan berbagai interleukin. Telah diketahui bahwa sitokin proinflamasi adalah inhibitor

yang poten untuk ekspresi gen transporter hepatobilier yang me- nyebabkan gangguan fungsi

transport empedu dan menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia (ko- lestasis). Pada keadaan

infeksi baik yang masuk ke dalam hati maupun di luar hati, bakteri dapat menghasilkan

endotoksin dan endotoksin ini dapat masuk dalam sirkulasi walaupun bakteri yang menginfeksi

tidak masuk dalam peredaran darah. Oleh sebab itu mungkin saja ditemukan kolestasis walaupun

tidak ada bakteriemia. Endotoksin dapat merangsang sintesis sitokin oleh makrofag (di hati

misalnya sel Kuppfer). Sel Kupffer dan sel imuno- kompeten lainnya dalam hati mensintesis

sitokin intrahepatik seperti TNF-alpha, IL-1, IL-6, dan IL-8, sehingga sitokin intrahepatik

meningkat jumlahnya, mengganggu fungsi hepatosit dan menyebabkan kolestasis. Selain itu

sitokin juga dilepaskan oleh sel epitel duktus biliaris (kolangiosit) yaitu TNF-alpha dan IL-6.

Hepatosit dan kolangiosit ternyata berkontribusi aktif pada respons sitokin proinflamasi.
Spesimen urine pagi pertama (First morning urine)

1. Urine pagi

Baik untuk pemeriksaan sedimen dan pemeriksaan rutin serta tes kehamilan (Strasinger

dan Lorenzo, 2016). Urine pagi pertama lebih pekat bila dibandingkan dengan urine yang

dikeluarkan siang hari, jadi urine ini baik untuk pemeriksaan sedimen, berat jenis,

protein, dan lain-lain, serta baik juga untuk tes kehamilan berdasarkan adanya human

chorionic gonadotrophin (HCG) (Gandasoebrata, 2013). Sebaiknya spesimen urine yang

kumpulkan adalah urine porsi tengah atau midstream urine (Sacher dan McPherson,

2004).

3. Spesimen urine pagi kedua

Spesimen urine ini dikumpulkan 2 – 4 jam setelah urine pagi pertama. Spesimen ini

dipengaruhi oleh makanan dan minuman, dan aktivitas tubuh. Spesimen ini lebih praktis

untuk pasien rawat jalan (Strasinger dan Lorenzo, 2016).

2. Spesimen urine sewaktu (Random)

Urine sewaktu adalah urine yang dikeluarkan setiap saat dan tidak ada prosedur khusus

atau pembatasan diet untuk pengumpulan spesimen (Sacher dan McPherson, 2004).

Spesimen ini dapat digunakan untuk bermacam-macam pemeriksaan, biasanya cukup

baik untuk pemeriksaan urine rutin (Almahdaly, 2012).

3. Spesimen urine berdasarkan waktu (Timed collection)


a)Urine 24 jam

Spesimen ini adalah urine yang dikeluarkan selama 24

jam terus-menerus dan kemudian dikumpulkan dalam satu wadah (Strasinger dan

Lorenzo, 2016). Urine ini kadang kala ditampung secara terpisah-pisah dengan maksud

tertentu (Gandasoebrata, 2013).

b) Urine post prandial

Urine yang pertama kali dikeluaran 1,5 – 3 jam setelah makan. Spesimen ini baik

digunakan untuk pemeriksaan glukosaria (Gandasoebrata, 2013).

Anda mungkin juga menyukai