Anda di halaman 1dari 35

REFERAT KEPANITERAAN KLINIK

ANESTESI LOKAL DAN REGIONAL

Disusun Oleh:
Thania (01073190081)

Pembimbing:
dr. Irma Lusiana Tantri,Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
RUMAH SAKIT UMUM SILOAM PERIODE
SEPTEMBER – OKTOBER 2019
TANGERANG
BAB I
PENDAHULUAN
Definisi anastesi menurut American Board of Anesthesiology adalah suatu
tindakan yang bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit ketika dilakukan
prosedur medis seperti tindakan pembedahan, obstetrik, diagnostik dan
terapeutik.1 Anestesi dapat dibagi menjadi anestesi umum, dimana pasien akan
kehilangan kesadaran sehingga tanda-tanda vital pasien harus dimonitor
Anestesi lainnya dapat berupa Regional dan Lokal. Pada tipe anestesi ini pasien
berada dalam keadaan sadar, namun obat diberikan untuk menghilangkan
sensasi pada area-area tertentu. Anestesi lokal sendiri memiliki definisi suatu
tindakan yang menyebabkan hilangnya sensasi secara reversibel pada suatu
area spesifik dan terbatas pada tubuh yang disebabkan karena adanya hambatan
pada pembangkitan impuls dan propagasi, Sedangkan anestesi regional adalah
anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri sebagian tubuh tanpa
kehilangan kesadaran, anastesi regional memiliki berbagai macam teknik
pembagian yaitu , blok sentral/neuroaksial dan blok perifer/ blok saraf.
Obat anestesi lokal memiliki kegunaan utama melakukan blok saraf
secara lokal atau regional. Contoh spesifik penggunaannya antara lain dalam
prosedur dental, operasi mata, anestesi epidural dan subarachnoid utnuk operasi
abdomen dan ekstremitas bawah, large nerve block pada ekstremitas untuk
operasi ortopedik, dan dalam melakukan biopsy.
Walaupun insidensi nya dapat dikatakan cukup jarang, anestesi lokal dan
regional juga dapat menimbulkan beberapa macam toksisitas terutama pada
sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskular. Tanda dan gejala terjadinya
toksisitas harus diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang
berbahaya, karena toksisitas dapat bersifat sistemik yang akhirnya berujung pada
gagal jantung dan gagal nafas. Oleh sebab itu penting untuk mempelajari lebih
lanjut mengenai cara kerja anastesi lokal dan regional serta macam-macam obat
anestesi dan efeknya pada sistem organ dalam tubuh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi


Kolumna vertebralis terdiri atas 7 vertebra servikal, 12 vertebra torakal, 5
vertebra lumbal, 5 vertebra sakral dan 5 koksigeal yang menyatu pada dewasa. Prosesus
spinosus C2 teraba langsung di bawah oksipital dan prosesus spinosus C7 menonjol dan
disebut sebagai vertebra prominens. 1

Gambar 1. Kolumna vertebtalis

Pada sumsum tulang belakang terdapat beberapa lapisan (meninges), lemak, dan
pleksus venosus. Meninges dibagi menjadi 3 lapisan, yaitu piamater, arachnoid mater, dan
duramater. Piamater melekat dengan sumsum tulang belakang, dan arachnoid mater
melekat pada duramater. Cairan serebrospinal berada diantara piamater dan arachnoid
mater yang, yang disebut subarachnoid space. Sumsum tulang belakang umumnya
memnajnag dari formaen magnum sampai level L1 pada orang dewasa, dan sampai L3
pada anak-anak. Serabut saraf dibawah itu membentuk kauda ekuina (“ekor kuda”). 2
Gambar 2. Vertebra lumbalis

Suplai darah pada sumsum tulang belakang dan serabut saraf berasal dari satu arteri
spinalis anterior dan sepasang arteri spinalis posterior. Arteri spinalis anterior berasal dari
arteri vertebralis pada basal kepala, berjalan kebawah pada permukaan anterior sumsum
tulang belakang, sedangkan arteri spinalis posterior berasal dari arteri serebralis posterior
inferior. Arteri spinalis anterior meperdarahi 2/3 bagian anterior sumsum tulang belakang
dan arteri spinalis posterior mensuplai 1/3 bagian psoterior sumsum tulang belakang. 2

Gambar 3. Suplai darah spinal


Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus
desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat
perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum berfungsi
untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran.
Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) informasi eksteroseptif, yang
berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan raba, dan (2) informasi proprioseptif,
yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot dan sendi. 3
Traktus desenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari: 3
1. Traktus kortikospinalis, merupakan lintasan yang berkaitan dengan gerakan-
gerakan terlatih, berbatas jelas, volunter, terutama pada bagian distal
anggota gerak.
2. Traktus retikulospinalis, dapat mempermudah atau menghambat aktivitas
neuron motorik alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan karena
itu, kemungkinan mempermudah atau menghambat gerakan volunter atau
aktivitas refleks.
3. Traktus spinotektalis, berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks postural
sebagai respon terhadap stimulus verbal.
4. Traktus rubrospinalis bertidak baik pada neuron-neuron motorik alpha dan
gamma pada columna grisea anterior dan mempermudah aktivitas otot-otot
ekstensor atau otot-otot antigravitasi.
5. Traktus vestibulospinalis, akan mempermudah otot-otot ekstensor,
menghambat aktivitas otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan aktivitas
postural yang berhubungan dengan keseimbangan.
6. Traktus olivospinalis, berperan dalam aktivitas muskuler.

Traktus asenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari: 3


1. Kolumna dorsalis, berfungsi dalam membawa sensasi raba, proprioseptif, dan
berperan dalam diskriminasi lokasi.
2. Traktus spinotalamikus anterior berfungsi membawa sensasi raba dan tekanan
ringan.
3. Traktus spinotalamikus lateral berfungsi membawa sensasi nyeri dan suhu.
4. Traktus spinoserebellaris ventralis berperan dalam menentukan posisi dan
perpindahan, traktus spinoserebellaris dorsalis berperan dalam menentukan
posisi dan perpindahan.
5. Traktus spinoretikularis berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam dan
lama.

Gambar 4. Traktus Desenden dan Asenden


2.2 Definisi Anestesi
Anestesi didefinisikan oleh American Board of Anesthesiology sebagai
suatu tindakan yang bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit (pada
konsentrasi tinggi dapat mengurangi aktivitas motorik) ketika dilakukan
prosedur medis seperti tindakan pembedahan, obstetrik, diagnostic dan
terapeutik.1 Anestesi dibagi menjadi anestesi umum dan anestesi lokal.
Anestesi lokal merupakan suatu teknik untuk menghilangkan sensasi di bagian
tertentu dari tubuh. Obat anestesi lokal diberikan secara lokal (topikal atau
suntikan) dalam kadar yang cukup dapat menghambat hantaran impuls pada
saraf yang dikenai oleh obat tersebut tanpa menghilangkan kesadaran.
Sedangkan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan
bebas nyeri sebagian tubuh tanpa kehilangan kesadaran, anastesi regional
memiliki berbagai macam teknik pembagian yaitu, blok sentral/neuroaksial dan
blok perifer/ blok saraf
2.3 Cara Pemberian
Anestetik lokal dapat diberikan dengan berbagai teknik seperti topikal,
infiltrasi, blok saraf perifer, blok epidural dan blok subaraknoid.

A.Topikal
Anestesi topikal merupakan obat anestesi yang digunakan untuk
menghilangkan sensasi terutama rasa nyeri pada bagian permukaan tubuh,
seperti permukaan kulit, bola mata, bagian dalam hidung , telinga, tenggorokan,
anus dan organ genitalia. Sediaan topikal anestesia ada dalam bentuk krim,
salep, aerosol, semprotan, lotion dan gel. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pemberian anestetik topikal bersamaan dengan DMSO (Dimetil
Sulfoksida) dapat memperdalam absorbsi obat sehingga teknik ini mulai sering
digunakan.
B. Infiltrasi
Obat anestesi lokal disuntikkan ke dalam jaringan dimana ujung-ujung
saraf terminal berada tanpa mempertimbangkan saraf secara spesifik. Obat
kemudian akan berdifusi dan khasiatnya dicapai melalui penghambatan ujung
saraf perasa dijaringan subutan. Infiltrasi dapat dilakukan secara subkutan,
submucosa, maupun secara langsung ke jaringan yang dituju seperti luka.
Teknik ini biasanya dilakukan sebelum tindakan pembedahan kecil, penjahitan
luka, pengambilan kulit untuk transplantasi, pencabutan gigi. Salah satu
keuntungannya adalah teknik ini cukup sederhana dan mudah untuk dilakukan.

C. Blok Saraf Perifer, Epidural dan Spinal


Tipe anestesi ini dilakukan untuk menghilangkan sensasi pada area tubuh
yang lebih luas, sehingga termasuk dalam tipe anestesi regional. Beberapa teknik
yang termasuk dalam blok saraf perifer adalah blok supraklavikular,
infraklavikular, pleksus brakialis, pleksus lumbaris, saraf femoral, saraf siatik,
saraf popliteal, saraf safenus dan lain-lain. Anestesi epidural dilakukan dengan
memasukan agen anestesi ke ruang epidural yaitu antara ligamentum flavum dan
duramater. Anestesi subaraknoid atau spinal dilakukan dengan memasukan
anestesi kedalam ruang subarachnoid.

2.4 Struktur dan Klasifikasi Obat Anestesi Lokal


Molekul obat anestesi lokal merupakan basa lemah yang terdiri atas 3
komponen; bagian lipofilik (cincin aromatik benzene) dan bagian hydrophilic group
(gugus amin tertier) yang dipisahkan oleh rantai pengantara (eter atau amide). Anestesi
lokal adalah basa lemah yang sering memiliki muatan positif pada gugus amin tertier
dalam pH fisiologis. Masing-masing komponen berkontribusi pada sifat molekul obat.

Anestesi lokal diklasifikasikan berdasarkan hubungan kimia rantai


penghubungnya dimana juga menentukan pola biotransformasinya. Anestesi lokal
dibagi menjadi golongan ester dan golongan amida, berdasarkan perbedaan rantai yang
berikatan struktur kimia hidrofilik dan lipofilik. Golongan ester cenderung mudah
terhidrolisis daripada golongan amin dan ester biasanya punya durasi aksi yang lebih
pendek.3
1. Golongan Ester
Golongan ester dihidrolisis oleh plasma esterase. Terdapat beberapa tipe seperti :
Procaine, chloroprocaine, propoxycaine, butacaine, cocaine
2. Golongan amida

Golongan amin mendapat biotransformasi di liver. Terdapat beberapa tipe


seperti : Lidocaine, prilocaine, articaine, bupivacaine, dibucaine, etidocaine,
mepivacaine. Golongan amida ini mengalami biotransformasi di liver.

2.5 Mekanisme kerja dari anestesu Lokal

3. Anestesi regional
Anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri
sebagian tubuh tanpa kehilangan kesadaran. Anestesi regional semakin berkembang dan
meluas pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya
relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang minimal, menghasilkan analgesi yang
adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara lebih sempurna. Anestesi
regional memiliki berbagai macam teknik.

Pembagian Anestesi/Analgesia Regional:


3. Blok sentral atau blok neuroaksial, yang meliputi blok spinal, epidural, dan
kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
4. Blok perifer atau blok saraf, yang meliputi anestesi topikal, infiltrasi lokal,
blok lapangan, dan analgesia regional intravena.

3.1 Anestesi spinal

Anestesia spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke


dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan blokade pada somatik dan
autonomik.2 Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.1
Spinal blok dapat dilakukan secara tunggal atau dapat digunakan bersama
dengan anestesi umum. Indikasi dilakukannya anestesi spinal adalah sebagai
anestesi utama yang sangat berguna untuk operasi pada perut bagian bawah,
inguinal, urogenital, rektum, dan ekstremitas bawah.2
Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat
dan obat-obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :

 Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
 Peralatan resusitasi / anestesia umum.
 Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, quincke
bacock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitacre),
dipersiapkan dua ukuran.
 Betadine, alkohol untuk antiseptik.
 Kapas/ kasa steril dan plester.
 Obat-obatan anestetik lokal.
 Spuit 3 ml dan 5 ml.4

Gambar 5. Jenis jarum spinal

 Teknik Anestesi Spinal


Posisi duduk atau lateral dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling
sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya
diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Prosesus spinosus biasanya akan diraba untuk
menentukan garis tengah. Jika tidak teraba dapat juga dibantu dengan menggunakan
ultrasonografi (USG). Pada daerah servikal, yang pertama teraba adalah C2, dengan tangan
terlentang, posesus spinosus T7 akan selevel dengan arkus. inferior dari skapula. Garis dari
titik tertinggi krista iliaka kanan dan kiri (Tuffier’s line) biasanya berada pada korpus L4
atau pada celah L4-L5.2
Gambar 6. Bagian permukaan untuk menentukan level spinal.

Gambar 7. Posisi duduk, dibantu oleh asisten untuk fleksi spinal maksimal

Gambar 8. Posisi lateral dekubitus


Setelah itu palpasi garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligament
interspinosus. Sterilkan tempat tusukan menggunakan betadine atau alkohol. Berikan
anestesi lokal seperti lidokain 1-2% sebanyak 2-3ml pada tempat tusukan. Terdapat dua
teknik penusukan yaitu dengan pendekatan median dan paramedian. Pada teknik medial,
penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari sumbu tulang belakang. Pada tusukan
paramedian, tusukan dilakukan 1,5cm lateral dari garis tengah dan dilakukan tusukan
sedikit dimiringkan ke kaudal.

Gambar 9. Teknik penusukan jarum, pendekatan median (kiri), dan pendekatan


paramedian (kanan)
Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligament supraspinosum, ligament
interspinosum, ligamentum flavum, epidural, dramater, dan subarachnoid. Setelah cairan
serebrospinal keluar, obat anestetik disuntikkan kedalam ruang arachnoid tersebut. Setelah
15 menit, umumnya larutan anestesi sudah terfiksasi dan menetap, sehingga batas analgesia
tidak dapat diubah dengan posisi. Lalu tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan
rangsang pada dermatom kulit.
Gambar 10. Lokasi dermatom sensoris.

 Farmakologi
Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade saluran
natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsangan transmisi sepanjang
saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal setelah keluar dari
saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti
kerusakan struktur saraf.1 Obat-obat anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan harus
memenuhi syarat-syarat yaitu blokade sensorik dan motorik yang adekuat, mula kerja yang
cepat, tidak neurotoksik, dan pemulihan blokade motorik yang cepat pascaoperasi sehingga
mobilisasi lebih cepat dapat dilakukan dan risiko toksisitas sistemik yang rendah. 1

Obat anestesi lokal yang digunakan dibagi ke dalam dua macam, yakni golongan
ester seperti kokain, benzokain, prokain, kloroprokain, ametokain, tetrakain dan golongan
amida seperti lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain, etidokain, dibukain, ropivakain,
levobupivakain. Perbedaannya terletak pada kestabilan struktur kimia. Golongan ester
mudah dihidrolisis dan tidak stabil dalam cairan, sedangkan golongan amida lebih stabil.
Golongan ester dihidrolisa dalam plasma oleh enzim pseudo-kolinesterase dan golongan
amida dimetabolisme di hati.1 Di Indonesia golongan ester yang paling banyak digunakan
ialah prokain, sedangkan golongan amida tersering ialah lidokain dan bupivakain. 1,5
Berat jenis cairan serebrospinal pada suhu 37ºC ialah 1,003-1,008. Anestetik lokal
dengan berat jenis sama dengan cairan serebrospinal disebut isobarik. Anestetik lokal
dengan berat jenis lebih besar dari cairan serebrospinal disebut hiperbarik. Anestetik lokal
dengan berat jenis lebih kecil dari cairan serebrospinal disebut hipobarik. Anestetik lokal
yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik yaitu campuran antara anestetik lokal
dengan dekstrosa.1
Larutan hipobarik ialah larutan yang lebih ringan dari cairan serbrospinal bersifat
melawan gravitasi, larutan isobarik ialah larutan yang sama berat dengan cairan
serbrospinal bersifat menetap pada tingkat daerah penyuntikkan, larutan hiperbarik ialah
larutan yang lebih berat daripada cairan otak bersifat mengikuti gravitasi setelah
pemberian.4 Larutan hiperbarik biasanya menghasilkan tingkat blok yang lebih tinggi.
Contoh pengaruh barisitas dan posisi pasien terhadap penyebaran anestetik lokal: 6
 Posisi kepala kebawah maka larutan hiperbarik akan menyebar ke arah cephalad,
sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah kaudal.
 Posisi kepala keatas maka larutan hiperbarik akan menyebar ke arah kaudal,
sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah cephalad.
 Posisi lateral maka larutan hiperbarik akan menyebar mengikuti posisi lateral dan
sebaliknya untuk larutan hipobarik.
 Posisi apapun dengan larutan isobarik akan berada pada daerah sekitar
penyuntikkan.
 Saat pasien dalam posisi supinasi maka setelah penyuntikkan larutan hiperbarik,
anestetik lokal akan menyebar ke area T4-T8 dan puncaknya akan mengikuti
lekukan normal dari vertebra yaitu di T4.
Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain atau
adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi lokal khususnya pada
anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :
 Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme kerja obat
anestesi lokal di ruang subaraknoid. Obat anestesi lokal seperti alfa adrenergik
agonis seperti epinephrine 0.1-0.2 mg dimetabolisme lambat di dalam rongga
subaraknoid. Dan proses pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran
oleh vena dan saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan
memperlambat clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat
menjadi lebih lama.4,7
 Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat onset
terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid misalnya fentanyl
adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur
pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga penyerapan obat anestesi local menjadi
semakin cepat. Penelitian juga menyatakan bahwa penambahan analgesik opioid
pada anestesi spinal menambah efek anestesi post-operasi. 7
 Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin adalah
obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya hipotensi akibat
vasodilatasi dan penurunan heart rate.2

Tabel 1. Jenis Anestesi Lokal


Klasifikasi
Ester
Prokain
Kloroprokain
Tetrakain
Amida
Lidokain
Etidokain
Prilokain
Mepivakain
Bupivakain
Ropivakain
Levobupivakain

Table 2. Barisitas Obat Anestesi Lokal


Anestetik lokal Berat jenis Sifat
Lidokain
2% plain 1.000-1.006 Isobarik
5% dalam dekstrosa 7,5% 1.026-1.033 Hiperbarik
Bupivakain
0.5% plain 0.999-1.005 Isobarik
0.5% dalam dekstrosa 8.25% 1.022-1.027 Hiperbarik
Procaine
10% plain 1.0104 Hiperbarik
2.5% dalam air 0.9983 Isobarik
Tetrakaine
0.5% dalam air 0.997-0.999 Hipobarik
0.5% dalam D5W 1.013-1.020 Hiperbarik

 Mekanisme Obat Anestesi Spinal


Mekanisme aksi obat anestesi lokal adalah mencegah transmisi impuls saraf atau
blokade konduksi dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion
natrium selektif pada membran saraf. 5 Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran
natrium, mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium,
sehingga hasilnya tak terjadi konduksi saraf. 1 Obat anestesi lokal setelah masuk cairan
serebrospinal, berdifusi menyebrang selubung saraf dan membran, tetapi hanya yang
dalam bentuk basa yang bisa menembus membran lipid ini. Ketika mencapai akson
terjadi ionisasi dan dalam bentuk kation yang bermuatan bisa mencapai reseptor pada
saluran natrium. Akibatnya terjadi blokade saluran natrium, hambatan konduksi natrium,
penurunan kecepatan dan derajat fase depolarisasi aksi potensial, dan terjadi blokade
saraf.
Obat anestesi lokal juga memblok kanal kalsium dan potasium dan reseptor N-
methyl-D-aspartat (NMDA) dengan derajat berbeda-beda. Tidak semua serabut saraf
dipengaruhi sama oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas terhadap blokade ditentukan dari
diameter aksonal dan derajat mielinisasi serta berbagai faktor anatomi dan fisiologi lain. 5
Anestetik lokal lebih mudah menyekat serabut yang berukuran kecil karena jarak
propragasi pasif suatu impuls listrik melalui serabut tadi lebih pendek. Semakin besar dan
tebal suatu serabut saraf (misalnya, neuron motorik), nodusnya makin terpisah jauh satu
sama lain sehingga sulit diblokade. 6 Diameter yang kecil dan sedikit atau tidak memiliki
mielin meningkatkan sensitivitas terhadap anestesi lokal dan akan lebih mudah untuk
diblok.5,6 Sedangkan diameter yang besar dan mielin yang tebal seperti pada saraf
motorik akan lebih sulit untuk diblok. Saraf simpatis dan sensoris mempunyai lebih
sedikit mielin dibandingkan saraf motorik. 6 Dengan demikian, sensitivitas saraf spinalis
terhadap anestesi lokal mulai dari autonom, sensorik, dan motorik. 5

Tabel 3. Klasifikasi serabut saraf. 1,8


Serabut Mielin Diameter Fungsi Kepekaan
saraf terhadap blokade
A-alfa ++ 6-22 Eferen motorik, aferen +
proprioseptik
A-beta ++ 6-22 Eferen motorik, aferen ++
proprioseptik
A-gamma ++ 3-6 Eferen kumparan otot ++
(spindle)
A-delta ++ 1-4 Nyeri, suhu, rabaan +++
B + <3 Otonomik preganglionik ++++
C - 0.3-1.3 Nyeri, suhu, rabaan ++++
Otonom pascaganglionik

Serabut saraf C memerlukan konsentrasi obat anestesi lokal lebih sedikit untuk
memblok konduksi dibandingkan serabut tipe B dan serabut saraf tipe B memerlukan
konsentrasi lebih rendah daripada serabut saraf tipe A. Maka dari itu, urutan hilangnya
fungsi sel saraf pada anestesi lokal sebagai berikut: (1) simpatis (vasomotor) berupa
dilatasi pembuluh darah arteri dan vena, (2) sensoris suhu dan nyeri, (3) sensoris raba dan
tekanan, (4) proprioseptif berupa kesadaran akan posisi tubuh, (5) fungsi motorik. 4

Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan potensi dan lama
kerja menjadi 3 grup. Grup I meliputi prokain, kloroprokain yang memiliki potensi dan
lama kerja yang singkat. Grup II meliputi lidokain, mepivakain dan prilokain yang
memiliki potensi dan lama kerja sedang. Grup III meliputi tetrakain, bupivakain, etidokain
yang memiliki potensi kuat dan lama kerja yang panjang. Anestesi lokal juga dibedakan
berdasarkan pada mula atau awal kerjanya seperti kloroprokain, lidokain, mepivakain,
prilokain, etidokain memiliki mula kerja yang relatif cepat, bupivakain memiliki mula kerja
sedang, sedangkan prokain dan tetrakain bermula kerja lambat. 5
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten, karena itu
merupakan kemampuan anestesi lokal untuk menembus membran yang hidrofobik. 2,4
Secara umum, potensi dan kelarutan lemak meningkat dengan meningkatnya jumlah total
atom karbon pada molekul.2
Lama kerja obat anestetik lokal dipengaruhi oleh (1) kelarutan dalam lemak, obat
dengan kelarutan dalam lemak yang tinggi akan memiliki kerja lebih panjang sebab lebih
lambat dikeluarkan dari sirkulasi darah 1,5. (2) Ikatan dengan protein (protein binding)
mempengaruhi lama kerja, obat dengan kelarutan lemak yang tinggi juga mempunyai
ikatan protein plasma yang tinggi terutama terhadap alfa-1 asam glikoprotein dan sedikit
terhadap albumin, sebagai konsekuensinya eliminasi memanjang. 1,5 (3) Potensi dan lama
kerja anestesi spinal berhubungan dengan sifat individual obat anestesi dan ditentukan oleh
kecepatan absorpsi sistemik, sehingga semakin tinggi tingkat daya ikat protein pada
reseptor, semakin panjang lama kerja anestesi spinal tersebut. Potensi dan lama kerja dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan konsentrasi dan dosis. Potensi yang kuat berhubungan
dengan tingginya kelarutan dalam lemak, karena hal ini akan memungkinkan kelarutan dan
memudahkan obat anestesi regional. Pemilihan obat lokal anestesi yang akan digunakan
pada umumnya berdasar pada perkiraan durasi dari pembedahan yang akan dilakukan dan
kebutuhan pasien untuk segera pulih dan mobilisasi.
Tabel 4. Perbandingan golongan ester dan golongan amida1
Klasifikasi Potensi Mula kerja
Ester
Prokain 1 (rendah) Cepat
Kloroprokain 3-4 (tinggi) Sangat cepat
Tetrakain 8-16 (tinggi) Lambat
Amida
Lidokain 1-2 (sedang) Cepat
Etidokain 4-8 (tinggi) Lambat
Prilokain 1-8 (rendah) Lambat
Mepivakain 1-5 (sedang) Sedang
Bupivakain 4-8 (tinggi) Lambat
Ropivakain 4 (tinggi) Lambat
Levobupivakain 4 (tinggi) Lambat

Faktor-faktor lain yang memperngatuhi pemberian obat anestetik spinal adalah, 2


 Umur
Umur pasien berpengaruh terhadap level analgesi spinal. Ruang arakhnoid dan
epidural menjadi lebih kecil dengan bertambahnya umur yang membuat
penyebaran obat analgetika lokal lebih besar atau luas, dengan hasil penyebaran
obat analgetika lokal ke cephalad lebih banyak sehingga level analgesia lebih
tinggi dengan dosis sama dan tinggi badan sama. Sehingga dosis hendaknya
dikurangi pada umur tua. Cameron dkk telah melakukan penelitian pengaruh
umur pada penyebaran obat analgetika lokal, ternyata ada korelasi yang
bermakna antara umur dan level analgesia.
 Tinggi badan
Makin tinggi tubuh makin panjang medula spinalisnya, sehingga penderita yang
tinggi memerlukan dosis lebih banyak daripada yang pendek.
 Berat badan
Kegemukan berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga epidural
yang akan mengurangi volume cairan serebrospinal. Pengalaman klinis
mengindikasikan bahwa kegemukan berpengaruh sedikit terhadap penyebaran
obat anastetik lokal dalam cairan serebrospinal.
 Tekanan intraabdomen
Tekanan intraabdomen yang meninggi menyebabkan tekanan vena dan isi darah
vertebral meningkat yang menyebabkkan berkurangnya isi cairan serebrospinal.
Akibatnya hasil anastetik lokal yang dicapai lebih tinggi seperti pada ibu hamil,
obesitas, dan tumor abdomen.8
 Anatomi kolumna vertebralis
Lekukan kolumna vertebralis akan mempengaruhi penyebaran obat anastetik
lokal dalam cairan serebrospinal. Ini akan tampak pada cairan yang bersifat
hiperbarik atau hipobarik pada posisi terlentang horizontal. Penyuntikkan di atas
L3 dengan posisi pasien supinasi setelah penyuntikkan akan membuat
penyebaran anestetik lokal kerah cephalad dan mencapai kurvatura T4. 8
 Tempat penyuntikkan
Kurang berperan terhadap tingginya analgesia. Tusukan pada lumbal 2-3 atau
lumbal 3-4 memudahkan penyebaran obat ke arah torakal, sedangkan tusukan
pada lumbal 4-5 karena bentuk vertebral memudahkan obat berkumpul di daerah
sacral.8
 Arah penyuntikkan
Bila anestetik lokal disuntikkan kearah kaudal maka pennyebaran obat akan
terbatas dibandingkan dengan penyuntikkan kearah cephalad.
 Barbotase atau kecepatan penyuntikkan
Kecepatan penyuntikan yang lambat menyebabkan difusi lambat dan tingkat
analgesia yang dicapai rendah. Selain itu, volume dan berat jenis cairan
serebrospinal juga mempengaruhi penyebaran atau tingginya blok saraf. Dimana
volume cairan serebrospinal yang menurun akan meninggikan tingkat blok saraf,
sedangkan bila volume cairan serebrospinal yang meningkat akan menurunkan
tingkat blok saraf. Kedua yaitu berat jenis cairan serebrospinal yang tinggi akan
mengurangi penyebaran tingkat blok saraf, sedangkan berat jenis cairan
sererbospinal yang rendah akan menghasilkan penyebaran obat anestetik lokal
yang besar.6
Gambar 11. Kurvatura vertebra pada posisi supinasi
 Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal
Komplikasi dapat dibagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut: ketinggian blokade
saraf, lokasi jarum penyuntikkan dan toksisitas obat. 6 Ketinggian blokade saraf bisa
menimbulkan hipotensi, retensi urin sampai henti jantung. Ketinggian blokade saraf bisa
terjadi akibat dosis lebih dari anestetik lokal, kegagalan untuk mengurangi dosis pada
pasien-pasien yang rentan terhadap penyebaran berlebih anestetik lokal (usia tua, hamil,
obesitas dan pendek), peningkatan sensitifitas, penyebaran obat yang berlebih. Gejala
awal yang muncul berupa dispnea, rasa kebal atau kelemahan pada lengan, mual bisa
dikarenakan hipoperfusi otak, dan hipotensi ringan sampai sedang. 3 Jika penyebaran
anestetik lokal sampai pada servikal maka akan muncul gejala hipotensi berat,
bradikardia, dan gagal nafas. Bila timbul gangguan kesadaran dan apnea, maka
penanganan airway dan breathing berupa pemberian oksigen, intubasi dan ventilasi
mekanik diperlukan. Selanjutnya penangan sirkulasi berupa pemberian cairan intravena,
posisi trendelenburg dan vasopressor.6
 Hipotensi4
Efek blokade simpatis dari anestesi spinal akan mengubah hemodinamik. Ketinggian
dari blokade saraf akan meninggikan blokade simpatis, yang dapat dilihat dari
perubahan kardiovaskular terutama serabut saraf simpatis yang mengatur denyut
jantung keluar dari segmen T1-T4 dan blokade pada serabut saraf ini akan
menimbulkan bradikardia. Hipotensi dan bradikardia adalah efek samping yang
diakibatkan oleh denervasi simpatis. Faktor risiko hipotensi antara lain hipovolemia,
hipertensi preoperatif, ketinggian blokade sensoris, usia diatas 40 tahun, obesitas,
kombinasi anestesia umum dan regional. Konsumpsi alkohol kronis, riwayat
hipertensi, BMI lebih, ketinggian blokade sensoris, kedaruratan pembedahan akan
meningkatkan hipotensi setelah anestesi spinal.
Dilatasi arteri dan vena pada anestesi spinal akan menimbulkan hipotensi.
Dilatasi arteri tidak terjadi maksimal setelah blokade spinal dan otot polos pembuluh
darah akan tetap mempertahankan tonus otonom setelah denervasi simpatis. Karena
pertahanan tonus otonom masih ada tersebut, maka resistensi total pembuluh darah
perifer menurun hanya 15-18%, selanjutnya MAP menurun 15-18% bila cardiac
output tidak menurun. Pada pasien dengan penyakit arteri koroner, resistensi
pembuluh darah sistemik akan menurun sampai 33% setelah anestesi spinal.
Sebaliknya setelah anestesi spinal akan terjadi dilatasi vena yang maksimal. Aliran
balik vena ke jantung atau preload bergantung pada posisi pasien saat anestesi spinal.
Penurunan aliran balik vena juga akan menyebabkan bradikardia karena tekanan
pengisian jantung berkurang dan memicu reseptor regangan intracardiac untuk
menurunkan denyut jantung.
 Retensi urin
Ini terjadi akibat blokade saraf S2-4 yang menurunkan tonus otot kandung kemih dan
menghambat refleks berkemih. Pemasangan kateter urin bermanfaat pada
pembedahan yang cukup lama.6 Penilaian postoperatif terhadap retensi urin sangat
berguna karena bila terdapat retensi urin yang lama merupakan tanda adanya
kerusakan saraf yang serius.3

 Lokasi penyuntikkan
 Nyeri punggung2
Saat penyuntikkan dengan jarum pada bagian punggung melewati kulit dan ligament-
ligamen akan memicu respon peradangan dan memar yang akan menyebabkan rasa
nyeri setelah operasi. Gejala ini biasanya ringan dan hilang sendiri namun dapat
berlanjut dalam beberapa minggu. Penanganan yang dapat diberikan berupa kompres
hangat/dingin, OAINS, dan parasaetamol. Nyeri punggung ini bisa juga merupakan
tanda awal dari komplikasi hematoma spinal dan abses.
 Postdural puncture headache2
Nyeri kepala terjadi akibat adanya penurunan tekanan intrakaranial akibat kebocoran
cairan serebrospinal pada dura. Ketika pasien dalam posisi tegak akan terjadi
intrakranial hipotensi yang menyebabkan traksi pada dura, meninges, tentorium dan
pembuluh darah yang menimbulkan nyeri. Nyeri kepala umumnya bilateral, frontal,
retro orbital, oksipital dan menjalar ke leher. Nyeri dapat dirasa berdenyut atau terus-
menerus disertai rasa mual dan fotofobia. Traksi pada saraf kranial juga dapat
menyebakan diplopia dan tinnitus. Onset nyeri ini terjadi 12-72 jam setelah prosedur.
Insiden terjadinya PDPH terkait kuat dengan ukuran dan jenis jarum yang
digunakan. Semakin besar jarum yang digunakan, semakin besar kemungkinan
terjadinya PDPH, dan penggunaan jarum tajam lebih besar insidensnya dibandingkan
dengan penggunaan pencil point pada ukuran yang sama.
Penanganan PDPH ini dapat dilakukan dengan mejaga posisi pasien dalam posisi
supinasi untuk mengurangi tekanan hidrostatik yang mendorong keluarnya cairan
serebrospinal dari dura dan meminimalisir sakit kepala. Obat analgesik seperti
asetaminofen, OAINS, atau opioid juga dapat diberikan. Pemberian hidrasi dan
kafein dapat menstimulasi produksi cairan serebrospinal dan kafein juga dapat
membantu dengan vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial.
 Hematoma spinal2
Insidensi hematoma spinal pada anestesi spinal 1:220.000. adapun faktor yang
meningkatkan risiko hematoma spinal antara lain pemakaian antikoagulan atau
penyakit yang berhubungan dengan koagulasi darah, dan penyuntikkan anestesi
spinal berulang kali. Perdarahan pada ruang subarachnoid akan mengompresi saraf
dan menimbulkan iskemia dan kerusakan sel saraf. Onset gejala berjalan cepat
berupa nyeri tajam pada punggung dan tungkai bawah, hilang rasa dan kelemahan
motorik, dan disfungsi sfingter.
 Toksisitas obat2
o Transcient neurological symptoms(TNS)2
Gejala dan tanda berupa nyeri punggung bawah menjalar ke tungkai
bawah tanpa adanya gangguan sensorik dan motorik. Gejala umumnya
timbul setelah anestesi spinal lalu berkurang dan kembali menjadi normal
dalam beberapa hari. Sangat sering diasosiasikan dengan lidokain
hiperbarik (11,9%).2 Mekanisme pasti belum dapat diketahui namun
secara teoritis bahwa lidokain lebih neurotoksik pada serabut saraf tak
bermielin dibandingkan anestetik lokal lainnya. TNS lebih sering pada
pasien dengan anestesi spinal dan posisi litotomi. Pecegahan berupa
pemakaian bupivakain sebagai alternatif lainnya
3.2 Anestesi Epidural
Anestesi epidural merupakan salah satu bentuk teknik blok neuroaksial yang
dapat dilakukan melalui pendekatan lumbal, torakal, servikal atau sakral yang lazim
disebut blok caudal. Teknik epidural sangat luas penggunaannya pada anestesia operatif,
obstetric, analgesia post operatif, dan penanggulangan nyeri kronik. Ruang epidural
berada diuar selaput dura. Radiks saraf berjalan di dalam ruang epidural ini setelah keluar
dari bagian lateral medula spinalis, dan selanjutnya menuju kearah luar. Anestesi epidural
dapat dilakukan single shot atau dengan kateter yang memungkinkan untuk bolus
intermiten atau berlanjut. Onset dari anestesi epidural (10 – 20 menit) lebih lambat
dibandingkan dengan anestesi spinal. Dengan menggunakan konsentrasi obat anestesi
lokal yang relatif lebih encer dan dikombinasi dengan obat-obat golongan opioid
menghasilkan analgesia tanpa blok motorik. Blok segmental ditandai dengan
meninggalkan akar saraf diatas dan bawah tidak terblok. Contohnya adalah epidural
torakal yang menimbulkan anestesia abdomen dan meninggalkan akar saraf servikal dan
lumbal.3

3.3 Lumbal Epidural

Lumbal epidural merupakan daerah anatomis yang paling sering menjadi


tempat insersi atau tempat memasukan epidural anestesia dan analgesia.
Pendekatan median atau paramedian dapat dikerjakan pada tempat ini. Anestesia
lumbal epidural dapat dikerjakan untuk tindakan- tindakan dibawah diafragma.
Oleh karena medula spinalis berakhir pada level L1, keamanan blok epidural pada
daerah lumbal dapat dikatan aman, terutama apabila secara tidak sengaja sampai
menembus dura.5

3.4 Anestesia Kaudal


Kanalis kaudalis yang merupakan kepanjangan dari ruang epidural dan obat
ditempatkan di ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis dapat dirasakan
sebagai lekukan diatas coccyx dan antara dua tonjolan tulang yaitu kornu sakralis.
Anatomi ini lebih mudah dipahami pada anak kecil. Hiatus sakralis ditutup oleh
ligamentum sakrokogsigeal tanpa tulang yang analog dengan gabungan antara
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum dan ligamentum flavum.
Kalsifikasi dari ligamentum sakrokoksigeal dapat membuat anestesi kaudal lebih sulit
pada orang dewasa. Ruang kaudal berisi saraf sakral, pleksus venosus, filum terminale,
dan kantong dura. Indikasi: bedah daerah sekitar perineum, inguinal, dan anorektal. Pada
anak – anak, anestesi kaudal biasanya dikombinasi dengan anestesi general sebagai
suplementasi intraoperatif dan analgesia postoperatif. Blok kaudal pada anak kecil
biasanya setelah terinduksi.
.

Gambar 12. Anatomi hiatus sakralis


Teknik:

1. Posisi pasien lateral dekubitus atau pronasi dengan satu atau dua panggul
terfleksi, dan sakral hiatus dipalpasi.

2. Dapat digunakan jarum suntik biasa atau kateter vena ukuran 18 – 23 Gauge.

3. Identifikasi hiatus sakralis diperoleh dengan menemukan kornu sakralis kanan


dan kiri dan spina iliaka superior posterior. Dengan menghubungkan ketiga
tonjolan tersebut diperoleh hiatus sakralis.

4. Setelah dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada daerah hiatus sakralis,
ditusukkan jarum mula – mula 90 ◦ pada kulit. Setelah diyakini masuk kanalis
sakralis, arah jarum diubah 45◦ dan dimasukkan hingga terasa ’’pop’’ ketika jarum
menembus ligamentum sakrokoksigeal. Sudut dari jaurm kemudian diratakan
dan dilanjutkan.

5. Aspirasi jarum untuk melihat apakah ada darah dan CSF atau tidak, dapat
dilanjutkan kembali

3.5 Torakal Epidural

Secara teknik lebih sulit dikerjakan dibandingkan lumbal epidural karena angulasi
yang lebih besar dan prosesus spinosus vertebra yang saling tumpang tindih, demikian
juga risiko cedera pada medula spinalis lebih besar. Pendekatan median dan paramedian
dapat dipergunakan. Teknik torakal epidural lebih banyak digunakan untuk intra atau post
operatif analgesia. Kateter epidural berguna untuk memperpanjang durasi analgesia dan
meniadakan atau mempersingkat ventilasi postoperative di pasien dengan penyakit paru
dan setelah pembedahan dada.
3.6 Servikal Epidural

Teknik ini biasanya dikerjakan dengan posisi pasien duduk, leher ditekuk dan
menggunakan pendekatan median. Secara klinis digunakan terutama untuk penanganan
nyeri.
 Jarum dan Kateter Epidural

Jarum standar epidural biasanya 17 – 18 gauge, dengan panjang 3 – 3.5 inci, dan
memiliki bevel tumpul dengan sudut 15–30° di ujungnya. Jarum Tuohy paling banyak
digunakan dengan ujung yang tumpul dan melengkung secara teori membantu untuk
mendorong dura setelah menembus ligamentum flavum. Jarum Crawford lurus tanpa
ujung melengkung memiliki risiko lebih tinggi terhadap kejadian pungsi dura, namun
dapat memfasilitasi kateter epidural. Modifikasi jarum seperti ujung bersayap dan
perangkat introducer dirancang untuk membantu penempatan kateter.3

Gambar 13. Jarum epidural

Menempatkan kateter ke ruang epidural memungkinkan untuk infusi menetap


atau bolus intermiten. Selain menambah durasi blok, kateter juga dapat mengurangi
jumlah dosis lokal anestesi yang digunakan. Kateter epidural berguna untuk anestesi
epidural intraoperative, dan / atau analgesia postoperative. Kateter 19 – 20-gauge
biasanya di introduced melalui jarum epidural 17 – 18 gauge. Ketika menggunakan jarum
ujung lengkung, pembukaan bevel diarahkan cephal atau caudal, dan kateter dimasukkan
2 – 6cm dalam ruang epidural.
Semakin pendek jarak kateter dimasukkan, semakin mungkin dapat terlepas.
Sebaliknya, semakin jauh kateter dimasukkan, semakin besar kesempatan blok unilateral.
Setelah kedalamannya sesuai, jarum dilepas meninggalkan kateter di tempatnya. Kateter
bisa ditempel atau diamankan di belakang. Kateter yang bertahan untuk waktu yang lama
(> 1 minggu) dapat ditanam di kulit. Kateter memiliki port tunggal di ujung distal atau
port multipel dekat ujungnya. Kateter yang diperkuat kawat spiral sangat tahan terhadap
belitan dan diasosiasikan dengan kejadian yang lebih rendah terhadap paesthesia, dan
insersi intravaskular yang tidak disengaja.3

Gambar 14. Jenis kateter epidural

Teknik:
Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subaraknoid.
1. Posisi pasien saat tusukan dapat duduk atau lateral dekubitus.
2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4 secara median
atau paramedian.
3. Untuk mengenal ruang epidural digunakan teknik loss of resistance dan hanging
drop

Teknik loss of resistance lebih banyak dipilih oleh para klinisi. Jarum epidural
dimasukkan menembus jaringan subkutan dengan stilet masih terpasang sampai
mencapai ligamentum interspinosum yang ditandai dengan meningkatnya resistensi
jaringan. Kemudian stilet atau introducer dilepaskan dan spuit gelas yang terisi 2 cc
cairan disambungkan ke jarum epidural tadi. Bila ujung jarum masih berada pada
ligamentum, suntikan secara lembut akan mengalami hambatan dan suntikan tidak bisa
dilakukan. Jarum kemudian ditusukan secara perlahan, milimeter demi milimeter sambil
terus atau secara kontinyu melakukan suntikan. Apabila ujung jarum telah masuk ke
ruang epidural, secara tiba-tiba akan terasa adanya loss of resistance dan injeksi akan
mudah dilakukan. Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang epidural, dilakukan uji
dosis (test dose).
Teknik hanging drop menggunakan persiapan yang sama dengan teknik
sebelumnya, namun pada teknik ini menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai
terlihat ada tetes NaCl yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidural perlahan –
lahan secara lembut sampai terasa menembus jaringan keras yang kemudian disusul oleh
tersedotnya tetes NaCl ke ruang epidural. Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang
epidural, dilakukan uji dosis (test dose)

Kontraindikasi blok neuraxial.2


Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relatif
Pasien menolak Infeksi sistemik (sepsis, bakterimia)
Infeksi pada tempat suntikan Deformitas spinal berat
Hipovolemia berat atau syok Hipovolemia ringan
Koagulopati atau mendapat terapi Kelainan neurologis dan kelainan
antikoagulan psikis
Tekanan intrakranial meninggi Bedah lama
Aortic stenosis berat Obstruksi aliran ventrikel kiri
Mitral stenosis berat Lesi demielinasi

 Obat Anestesi Epidural

Pilihan obat anestesi lokal untuk anestesi epidural ditentukan oleh efek klinis
yang diinginkan, dan untuk durasi lama kerja dapat dibagi menjadi kerja singkat atau
kerja panjang single shot atau insersi kateter. Agen yang biasa digunakan untuk kerja
singkat hingga menengah untuk anestesia pembedahan adalah chloroprocaine, lidocaine,
dan mepivacaine. Agen dengan kerja yang lebih lama termasuk bupivacaine,
levobupivacaine, dan ropivacaine. Hanya anestesi lokal bebas pengawet atau yang telah
dilabeli khusus untuk epidural atau caudal yang digunakan.
Mengikuti aturan 1 – 2ml per segmen bolus, dosis berulang dikirim melalui
kateter epidural baik dilakukan pada interval waktu yang tetap, berdasarkan pada
pengalaman praktisi dengan agen, atau ketika blok menunjukkan beberapa tingkat
regresi. Sewaktu regresi di tingkat sensorik telah tecapai, sepertiga hingga setengah dari
dosis aktivasi awal umumnya aman untuk dimasukkan kembali dalam dosis tambahan.
Chloroprocaine, suatu ester dengan onset yang cepat, durasi singkat, dan toksisitas yang
sangat rendah dapat mempengaruhi efek analgesic dari opioid epidural. Formula
chloroprocaine sebelumnya dengan pengawet, khususnya bisulfite dan
ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) menghasilkan cauda equina syndrome ketika
secara tidak sengaja diinjeksi dalam jumlah yang besar secara intratekal. Bisulfite dari
chloroprocaine dipercaya memiliki keterkaitan dengan neurotoksisitas, sedangkan EDTA
memiliki keterkaitan dengan sakit punggung yang parah (dipercaya karena hypocalcemia
yang terlokalisasi).

Gambar15. Rekomendasi dosis dan properti anestetik lokal epidural8

Lidokain merupakan prototipe dari obat anestesi lokal untuk analgesi epidural
dengan konsentrasi 1,5–2%, namun obat ini dapat menyebabkan fenomena takifilaksis
dan meningkatkan risiko toksisitas anestesi lokal. Bupivakain saat ini masih menjadi obat
anestesi lokal yang banyak digunakan. Ropivakain memiliki toksisitas terhadap jantung
lebih rendah dibanding dengan bupivakain. Meskipun menurut literatur obat ini memiliki
toksisitas jantung yang tinggi, namun masih banyak digunakan di Indonesia. Hal ini
serupa di beberapa negara lain.
Regimen obat yang banyak digunakan untuk analgesi epidural adalah bupivakain
0,0625% dengan adjuvan morfin 25 sampai 50 mcg/cc atau bupivakain 0,0625% dengan
fentanil 1−10 mcg/cc.3 Konsentrasi fentanil yang optimal untuk analgesi epidural belum
diketahui hingga saat ini, namun pada satu penelitian didapatkan 3 kombinasi dengan
efikasi yang baik antara lain, bupivakain 0,9 mg/cc ditambah fentanil 3,3 mcg/cc dengan
kecepatan 9 cc/jam, bupivakain 1,3 mg/cc ditambah fentanil 3 mcg/ cc dengan kecepatan
7 cc/jam, bupivakain 1,4 mg/cc ditambah morfin 2,8 mcg/cc dengan kecepatan 9 cc/jam.
Fentanil memiliki onset yang cepat dan bertahan 1 sampai 2 jam saat diberikan
secara bolus. Kombinasi untuk epidural yang popular di Inggris adalah bupivakain 0,1%
atau 0,0625% dan fentanil 2 mcg/cc. Analgesi epidural menggunakan anestesi lokal dan
adjuvan opioid memberikan hasil yang lebih baik dibanding dengan pemberian analgesi
opioid sistemik maupun analgesi epidural dengan anestesi lokal tanpa adjuvan.
Penggunaan adjuvan paling banyak di Jawa Barat adalah fentanil. Hal ini kemungkinan
karena fentanil sangat larut dalam lemak sehingga lebih cepat berikatan pada saraf dan
jaringan lemak di rongga epidural, absorpsi kedalam darah cepat sehingga memiliki
durasi yang lebih singkat dibanding dengan opioid. Maka dari itu, opioid yang lipofilik
mempunyai risiko depresi napas lebih rendah.11

 Komplikasi
Intra operatif

a. Total spinal anestesi


Terjadi ketika ada injeksi intratekal secara tidak disengaja. Onset biasanya cepat
karena dosis yang dibutuhkan untuk epidural dan caudal 5 – 10x daripada anestesi spinal.
Aspirasi yang hati – hati, test dose, dan teknik injeksi yang baik dapat menghindari
komplikasi ini.

b. Injeksi intravaskuler
Menyebabkan toksisitas pada sistem saraf pusat (kejang dan perubahan
kesadaran) dan kardiovaskuler (hipotensi, aritmia, kontraktilitas yang terdepresi) hingga
konvulsi dan cardiopulmonary arrest. Gejala – gejala ini merupakan gejala dari (Local
Anesthetic Systemic Toxicity). Aspirasi yang hati – hati, test dose, dan teknik injeksi yang
baik dapat menghindari komplikasi ini. Observasi yang baik mengenai tanda – tanda awal
injeksi intravaskuler perlu diperhatikan seperti tinnitus, dan sensasi lingual. Tatalaksana
merupakan resusitasi, dan emulsi lipid harus segera diberikan. Urutan potensi anestesi
lokal untuk menyebabkan toksisitas sama dengan urutan potensi pada blok syaraf.
Chloroprocaine memiliki potensi rendah dan dimetabolisme secara cepat, lidocaine dan
mepivacaine memiliki potensi dan toksisitas menengah, sedangkan bupivacaine,
ropivacaine, dan tetracaine merupakan paling poten dan toksik.
c. Overdosis anestesi lokal
Toksisitas anestesi local secara sistemik kemungkinan disebabkan oleh adanya
penggunaan obat yang jumlahnya relatif basar pada anestesi epidural.
Post-Operasi
a. Sakit kepala post pungsi dural.
Postdural Puncture Headache (PDPH) terjadi karena kebocoran CSF dari dura dan
adanya hipotensi intrakranial. Kehilangan CSF pada tingkat yang lebih cepat daripada
yang bisa dihasilkan menyebabkan traksi pada struktur yang mendukung otak khususnya
meninges, dura, dan tentorium. Peningkatan traksi dari pembuluh darah dan saraf kranial
juga dapat berkontribusi pada nyeri. Insiden PDPH pun bergantung pada penggunaan
ukuran jarum. Semakin besar ukuran jarum, maka semakin besar pula angka kejadiannya.
Analgesik dari acetaminophen hinga NSAID dan opioid dapat digunakan. Hidrasi
dan caffeine juga dapat membantu menstimulasi produksi CSF. Caffeine juga turut
membantu vasokonstriksi dari pembuluh darah intrakranial. Epidural blood patch adalah
terapi efektif untuk PDPH. Kira – kira 15 – 20ml darah autologous diinjeksi ke ruang
epidural ditempat atau satu sela dibawah pungsi dura. Dapat menghentikan kebocoran
berlanjut dengan efek masa atau koagulasi. Efeknya biasanya cepat namun membutuhkan
beberapa jam karena produksi CSF perlahan membuat tekanan intracranial.
b. Abses epidural
Sumber infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari penyebaran secara
hematogen pada ruang epidural dari suatu infeksi pada bagian yang lain. Infeksi dapat
juga timbul dari kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi kateter yang dipergunakan
untuk pertolongan nyeri post-operasi atau melalui suatu infeksi kulit pada tempat insersi.
Pasien awalnya akan mengalami nyeri punggung yang hebat dan diperparah ketika
diperkusi. Selanjutnya dapat terjadi nyeri radikuler, lalu defisit motorik dan sensorik atau
disfungsi sphincter hingga yang terakhir adalah paraplegia atau paralisis. Pada awalnya
pemeriksaan laboratorium ditemukan suatu leukosit dari lumbal pungsi. Diagnosa pasti
ditegakkan dengan pemeriksaan Myelography atau Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Penanganan yang dianggap penting adalah dekompresi laminektomi dan pemberian
antibiotik. Penyembuhan neurologik yang baik adalah berhubungan dengan cepatnya
penegakan diagnosis dan penanganan.

c. Hematoma epidural
Trauma pada vena epidural menimbulkan coagulophaty yang dapat menyebabkan
suatu hematoma epidural yang besar. Pasien akan merasakan nyeri punggung yang hebat
dan defisit neurologi yang persisten setelah anestesi epidural. Diagnosis dapat segera
ditegakkan dengan computered tomography atau MRI. Dekompresi laminektomi penting
dilakukan untuk memelihara fungsi neurologi.
 Blokade somatik

Dengan mengganggu transmisi rangsangan nyeri dan menghilangkan tonus otot rangka,
blok neuraksial dapat memberikan kondisi operasi yang sangat baik. Blok sensori menghambat
stimulus nyeri baik pada somatik dan viseral, sedangkan blokade motorik menghasilkan relaksasi
otot rangka. Pengaruh anestesi lokal pada serabut saraf bervariasi sesuai dengan ukuran serabut
saraf, apakah itu bermielin, konsentrasi yang dicapai dan lama kontak. Akar saraf tulang belakang
terdiri dari berbagai tipe serat saraf. Serat lebih kecil dan bermielin umumnya lebih mudah
diblokir daripada yang lebih besar dan tidak bermielin. Fakta bahwa konsentrasi anestesi lokal
menurun dengan meningkatnya jarak dari level injeksi, menjelaskan fenomena blokade
diferensial. Diferensial blokade biasanya menghasilkan blokade simpatik (dinilai oleh sensitivitas
suhu) yang mungkin dua segmen lebih tinggi dari blok sensorik (nyeri, sentuhan ringan), dan dua
segmen lebih tinggi dari blokade motorik.2

 Blokade otonom

Interupsi dari transmisi eferen pada nervus spinal dan menyebabkan blokade dari simpatik
dan parasimpatik. Simpatik outflow spinal cord bisa dideskripsikan sebagai torakolumbal dan
parasimpatis disebut kraniosakral. Serabut saraf praganglion simpatis (kecil, serabut
termielinisasi tipe B) keluar dari spinal cord dari T1 sampai L2 dan bisa menyebabkan rantai
simpatis ke atas maupun ke bawah sebelum bersinap dengan posganglion sel pada ganglia
simpatik. Anestesi neuroaksial tidak memblok nervus vagus. Respon fisiologi dari anestesi ini
adalah menurunkan kerja simpatis.2
Blok neuroaksial tipikal menyebabkan penurunan tekanan darah yang disertai dengan
penurunan detak jantung dan kontraktilitas jantung. Tonus vasomotor secara primer ditentukan
oleh serabut simpatik yang muncul dari T5 dan L1, yang menginervasi otot polos arteri dan vena.
Blokade dari nervus ini menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh vena, penurunan pengisian
darah dan menurunkan venous return ke jantung. Untuk beberapa kasus vasodilatasi ateria dapat
menyebabkan penurunan resistensi sistemik pembuluh darah. Efek dari vasodilatasi atrial dapat
diminimalisir dengan cara mengkompensasi vasokonstriksi diatas blok. Blok simpatis yang tinggi
tidak hanya mengkompensasi vasokonstriksi tapi juga memblok serabut akselarator jantung yang
berasal dari T1-T4. Hipotensi bisa disebabkan oleh bradikardi dan penurunan kontraktilitas
jantung. Hal ini dapat diperbaiki dengan cara meningkatkan vena balik dengan meninggikan
kepala.2
Efek kardiovaskular harus diantisipasi untuk meminimalkan hipotensi. Hal ini diantisipasi
dengan cara pemberian cairan intravena 10-20 mL/Kg pada pasien sehat akan secara parsial
berkompensasi untuk pengisian vena. Walaupun dengan usaha ini hipotensi masih tetap terjadi
dan harus ditangani dengan tepat. Penanganan cairan dapat ditingkatkan dan autotransfusi dapat
dilakukan dengan cara menurunkan kepala pasien. Bradikardi berlebih dan simptomatik harus
ditangani dengan pemberian atropin dan hipotensi diterapi menggunakan vasopresor. Direct α-
adrenergic agonis (seperti fenilefrin) meningkatkan tonus vena dan menyebabkan konstriksi
arteriolar, yang menyebabkan peningkatan aliran balik vena dan resistensi sistemik vaskular. Efek
langsung penggunaan efedrin adalah meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas, sedangkan
efek tidak langsung menghasilkan beberapa vasokonstriksi. Jika hipotensi dan atau bradikardia
bertahan meskipun intervensi ini, epinefrin (5-10 g intravena) harus diberikan segera. 2
Perubahan klinis yang signifikan dari fisiologi paru biasanya minimal dengan blok
neuraksial karena diafragma dipersarafi oleh saraf frenikus yang berasal dari C3-C5. Bahkan
dengan segmen thorakal tinggi, volume tidal tidak berubah, hanya ada sedikit penurunan
kapasitas vital, yang disebabkan oleh hilangnya kontribusi otot perut 'untuk ekspirasi paksa. 2
Pada prosedur pembedahan yang menyebabkan trauma menyebabkan neuroendokrin
trauma melalui respon inflamasi lokal dan aktivasi serat saraf aferen somatik dan viceral. Respon
ini termasuk peningkatan hormon adrenokortikotropik, kortisol, epinefrin, norepinefrin, dan level
vasopresin melalui sistem aktivasi renin-angiotensin-aldosteron. Neuroaksial blokade dapat
menurunkan sebagian atau secara total respon stres ini. 2
BAB III
KESIMPULAN
Anestesi lokal merupakan suatu teknik untuk menghilangkan sensasi dari suatu
bagian tertentu dari tubuh. Obat anestesi lokal dapat diberikan secara topikal, infiltrasi,
blok saraf perifer, epidural dan spinal. Obat anestesi lokal memiliki sifat hidrofilik dan
lipofilik dan dihubungkan oleh rantai pengantara ester atau amine yang digunakan
sebagai dasar menentukan golongan obat anestesi lokal. Anestesi lokal golongan ester
terdiri dari klorprokain, kokain, prokain dan tetrakain, sedangkan anestesi lokal
golongan amin terdiri dari bupivakain, etidokain, lidokain, mepivakain, prilokain,
ropivakain dan levobupivakain. Cara kerja anestesi lokal adalah dengan memblokir
kerja saluran sodium dan menghalangi masuknya ion sodium ke dalam sel agar tidak
terjadi depolarisasi. Anestesi lokal memiliki awitan, durasi kerja obat, efektivitas dan
potensi obat masing-masing.
Spinal anestesi, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa digunakan sebagai alternatif
dari anestesi umum. Prinsip yang digunakan adalah menggunakan obat anestetik lokal untuk
menghambat hantaran saraf sensorik, motorik dan autonom untuk sementara (reversible). Dan
pada teknik anestesi ini, pasien tetap sadar. Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang
melibatkan tungkai bawah, panggul, dan perineum.
Istilah epidural sering pendek untuk anestesi epidural, suatu bentuk anestesi
regional yang melibatkan injeksi obat melalui kateter ditempatkan ke dalam ruang
epidural. Injeksi dapat menyebabkan keduanya kehilangan sensasi (anestesi) dan
hilangnya rasa sakit (analgesia), dengan menghalangi transmisi sinyal melalui saraf di
dalam atau dekat tulang belakang.
Penggunaan teknik epidural anatesi baik untuk anestesi bedah, analgesia obstetri,
kontrol nyeri postoperative, manajemen nyeri kronik merupakan salah satu pilihan ideal
yang dapat dipertimbangkan. Teknik anestesi epidural seperti loss of resistance serta
hanging drop, aktifasi beserta test dose, faktor yang mempengaruhi tingkat blok serta
obat – obat yang tersedia harus dimengerti oleh praktisi dan dikorelasikan dengan kondisi
pasien dengan baik. Beberapa komplikasi yang ditimbulkan dapat terjadi oleh anestesi
epidural saat intra operasi dan post operasi namun hal ini dapat di cegah dengan
pelaksanaan prosedur yang teliti dan baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief S, A. Suryadi K, Ruswan Dachlan M. Petunjuk Praktis Anestesiologi. 2nd ed.


Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2007.
2. Morgan G, Mikhail M, Murray M, Kleinman W, Nitti G, Nitti J et al. Clinical
anesthesiology. 5th ed. New York: McGraw-Hill; 2013.
3. Snell R. Clinical Neuroanatomy. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott
Williams & Wilkins; 2010.
4. Samodro R, Sutiyono D, Hendriarto Satoto H. Mekanisme Kerja Obat Anestetik Lokal.
Jurnal Anestesiologi Indonesia. 2011;:48-59.
5. Spinal Anesthesia. NYSORA The New York School of Regional Anesthesia. 2019
6. D. Moose D. Basic Guide to Anesthesia for Developing Countries. 2nd ed. 2008.
7. M Molnar R. Spinal, aepidural, and Caudal anesthesia. In : Clinical Anesthesia
Procedures of the Massachusetts General Hospital.London: Little brown and Company,
1993;200
8. Muhiman M, Thaib R, Sunatrio S, Dahlan R. Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI
9. Duarte LT, Fernandes MJ, Fernandes MC, Saravia RA. Continues epidural analgesia:
analysis of efficacy, side effect, and risk factor. Rev Bras Anesthesiol. 2004;54:371– 90.
10. Huang J, Gao H. Regional anesthesia practice in China: a survey. J Clin Anesth.
2016;34:115–23.
11. Visser L. Epidural anesthesia. World Federation of Societies of Anesthesiologists.
2001;11 (4Pt). Available from: http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u13/u1311_01.htm.

Anda mungkin juga menyukai